• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tradisi yang dilakukan oleh masyarakat desa Karangbenda berupa menghormat Bulan Sura. Kegiatan yang dilakukan adalah bersih desa, bersih kubur. Selain kegiatan tersebut masyarakat kejawen di desa Karangbenda juga melakukan tradisi puasa-puasa khas. Seperti puasa patigeni, puasa mutih, puasa

ngrowot, puasa ngebleng dan sebagainya. Puasa patigeni dilakukan dengan cara tidak memakan makanan hasil perapian, puasa mutih artinya hanya makan nasi putih dan air putih saja saat berbuka, puasa ngrowot dilakukan dengan hanya memakan buah-buahan, puasa ngebleng dilakukan dengan menanam dirinya di tanah dan sebagainya. Puasa-puasa ini tentu saja dilakukan dengan tujuan untuk melatih kejiwaan dan kekuatan batin agar dekat dengan Allah sing agawe urip (Tuhan yang mencipta kehidupan). Urip iku urup artinya bahwa hidup itu adalah pengabdian kepada Tuhan untuk kepentingan kemanusiaan.Bulan Sura di kalangan orang Jawa dikenal sebagai bulan tirakatan. Tirakat yang dilakukan oleh orang Jawa tentu agak berbeda dengan tarekat dalam pengertian organisasi kaum sufi. Tirakatan artinya adalah tindakan untuk pendekatan khusus kepada Allah swt, melalui puasa, berdzikir atau eling kepada Allah, melanggengkan ritual-ritual khusus yang dianggap sebagai cara atau jalan agar bisa berdekatan dengan Tuhan. Puncak kegiatan suran adalah kenduri selamatan dengan perlengkapan berupa : tumpeng rasulan, nasi ambeng lengkap dengan lauk-pauknya, ayam panggang, jajan pasar, kupatlepet, dan telor ayam kampung. Selain itu ada sajian berupa komaran yang terdiri dari pisang ambon dan pisang raja, ayam panggang, dan segala jenin minuman (Wawancara dengan Witomiarso, 13 April 2017).

Di samping kegiatan-kegiatan tersebut di atas, pada Bulan Sura masyarakat desa Karangbenda dan juga masyarakat lain baik dari desa tetangga maupun luar kecamatan bahkan luar Kabupaten Cilacap melakukan ritual di Gunung Selok.Beberapa tempat yang dijadikan sebagai tempat ritual, yaitu Jambe Lima, Jambe Pitu, Makam K.H. Makhfud Abdurrahman, Vihara, Pura, Kaendran, Gua

Nagaraja, Gua Rahayu, Gua Ratu, Gua Tikus, Gua Sri Bolong, Gua Paku Waja Gua Sepi Angin, Batu Tumpang, Watu Kelir, Watu Lumbung, Karang Kahinepan, Sumur Windu, Tranggul Asih, Patra Baya, dan Watu Tapak Bima. Berbagai penganut agama yang mengadakan ritual di beberapa tempat yang ada di Gunung Selok tersebut, baik mereka yang berasal dari desa Karangbenda maupun yang berasal dari luar desa Karangbenda hidup secara harmonis. Masyarakat bersikap toleran dan saling menghormati antara pemeluk agama dan kepercayaan yang berbeda-beda sehingga tidak pernah terjadi pertikaian atau konflik serius yang berbasis agama.Bahkan, para pendatang atau peziarah yang datang dari berbagai agama dan kepercayaan, dan datang dari segenap penjuru tanah air, tidak pernah mendapatkan halangan dari warga Karangbenda dan sekitarnya.Para peziarah melakukan berbagai ritual sesuai dengan keyakinannya, misalnya membakar kemenyan, menabur bunga (nyekar), bertapa, bersemedi, melaksanakan tahlil, dan sebagainya.Pluralisme agama yang terdapat dalam masyarakat Karangbenda selama ini tidak menimbulkan masalah yang berarti, baik dalam interaksi internal masyarakat, maupun antara masyarakat Karangbenda dengan masyarakat yang datang dari berbagai agama dan wilayah.Prinsip menghormati ajaran agama dan praktik keagamaan yang berbeda-beda sudah menjadi keseharian masyarakat sehingga interaksi sosial yang menuju ke arah kompetisi yang tidak sehat dan konflik tidak terjadi.Biasanya para peziarah melakukan ritual-ritual khusus, misalnya sholat hajat, dzikir, dan doa-doa yang diajarkan oleh agama.Mereka memilih tempat itu karena dirasa lebih tenang dan jauh dari kehidupan duniawi sehingga merasa lebih khusyuk. Kegiatan ritual ini dilakukan tidak hanya pada

Bulan Sura saja, tetapi pada waktu-waktu tertentu seperti pada malam Selasa Kliwon dan malam Jumat Kliwon. Seperti yang diungkapkan oleh Mbah Ali juru kunci Gua Rahayu bahwa ritual labuhan berupa aneka sesaji yang dipersiapkan dimaksudkan untuk membersihkan diri dari segala kesulitan, sial, atau ibarat baju dicuci untuk dibersihkan kembali. Adapun sesaji itu berupa kemenyan, sekar telon, jajanan pasar,tumpeng mugana, sayur kambing, kopi manis, kopi pahit, teh manis, teh pahit, air putih, kelapa muda ijo. Sesaji tersebut diyakini sebagai bentuk penghormatan kepada para leluhur, dan sebagai wasilah atau perantara doa manusia kepada Gusti Allah. Ada keyakinan bahwa, doa yang tanpa syarat diyakini akan tidak dikabulkan, sebaliknya doa yang dibarengi dengan syarat tertentu akan dikabulkan (Wawancara dengan Witomiarso, 13 April 2017).

Selain ritual tersebut di atas, di desa Karangbenda ini masih ada bentuk ritual Umum,yaitu 1) Selamatan masa tanam atau miwiti dilakukan dengan tujuan agar tanaman yang akan mereka tanam nantinya menghasilkan panenan yang banyak. Pemilik sawah/ ladang melakukan selamatan dengan menaruh sesaji di sawah atau ladang yang sudah siap ditanami. Adapun bentuk sesajinya adalah menyan, dupa yang dibakar dan beberapa jajan pasar.Sebagai tanda tempat sesaji itu ditancapkan tangkai kayu atau bambu belah yang sudah lama dipakai. Tujuan sesaji dan selamatan tersebut adalah minta kepada "Dewi Sri sing mbahureksa tetanduran" (Dewi Sri yang melindungi tanaman) untuk menyampaikan keinginan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Posisi Dewi Sri dalam hal ini sebagai perantara antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. 2) Selamatan masa panen sebagai wujud rasa syukur dilakukan setelah masa panen selesai dengan harapan

selamatan ini agar pada masa tanam yang akan datang bisa menghasilkan hasil tanaman yang lebih baik. 3) Selamatan Rasulan yaitu selamatan dalam rangka pindah atau menempati rumah baru agar rumah yang ditempati bisa mendatangkan keberkahan dan keselamatan penghuninya (Wawancara dengan Witomiarso, 13 April 2017).

Dokumen terkait