• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada setiap ada kematian salah satu warga, maka seluruh warga masyarakat pada umumnya, secara sukarela untuk memberikan bantuan. Begitu juga di desa Karangbenda, secara bergotong-royong mempersiapkan segala sesuatu untk kepentingan upacara pemakaman, dan berbagai hal yang berkaitan dengan peralatan penguburan. Beberapa rangkaian upacara kematian dilakukan,yaitu brobosan, nyaur tanah, telung dina, pitung dina, patangpuluh dina, nyatus dina, pendak pisan, pendak pindo, dan sewu dina.

Brobosan, suatu upacara yang diselenggarakan di halaman rumah orang yang meninggal.Waktunya pun dilaksanakan ketika jenazah akan diberangkatkan ke peristirahatan terakhir atau dimakamkan, dan dipimpin oleh salah satu anggota keluarga yang paling tua. Tata cara pelaksanaannya antara lain Keranda/peti mati dibawa keluar menuju ke halaman rumah dan dijunjung tinggi ke atas setelah doa

jenazah selesai; secara berturutan, para ahli waris yang ditinggal (mulai anak laki-laki tertua hingga cucu perempuan) berjalan melewati keranda yang berada di atasnya (mbrobos) selama tiga kali dan searah jarum jam; secara urutan, yang pertama kali mbrobosi keranda adalah anak laki-laki tertua dan keluarga inti, selanjutnya disusul oleh anak yang lebih muda beserta keluarganya mengikuti di belakang.Upacara tradisional ini merupakan pengejawantahan dari pepatah Mikul dhuwur mendhem jero yakni menjunjung tinggi, menghormati, mengenang jasa-jasa almarhum semasa hidupnya dan memendam hal-hal yang kurang baik dan tidak perlu diungkit-ungkit . Selain itu disediakan perlengkapan lain seperti adanya bunga ronce, sawur berupa bunga dicampur uang dan beras kuning, kelapa muda, dan lain-lain.

Surtanah berasal dari kata (Jawa: ngesur tanah), yang berarti nylameti wong kang mentas mati (Poerwodarminto, 1989: 396) yang maksudnya melakukan selamatan terhadap orang yang baru saja meninggal.Kegiatan selamatan surtanah merupakan tradisi yang sudah mengakar di desa Karangbenda. Adapun perlengkapan yang harus disiapkan adalah nasi putih yang ditaruh di atas piring dan disertai lauk-pauknya terdiri dari oseng tempe, tempe goreng, mie/sayur oseng, gebing/cincangan kelapa muda, lauk yang lain lagi adalah ikan asindicampur lombok hijau. Pelaksanaannya setelah pulang dari kuburan. Di samping kenduri, pihak tuan rumah juga membuat sesaji terdiri dari komaran berupa pisang raja dan pisang ambon, jajan pasar, bubur merah dan bubur putih, minuman kumplit, dan bunga telon yang di letakkan pada tempat bekas untuk memandikan, disertai dengan lampu sentir pada malam hari.

Selamtan nelung dina ini dilaksanakan tepat tiga hari sesudah kematian seseorang. Telu berarti tiga, dan dina berarti hari. Materi atau perlengkapan pada selamatan telung dina hampir sama pada selamatan surtanah, tetapi tanpa tumpeng pungkur beserta lauk pauknya, kemudian ditambah dengan takir pontang, yaitu wadah dari daun pisang dan daun kelapa yang masih muda, berisikan nasi putih dan nasi punar, yaitu nasi yang diberi kunyit, sehingga disebut juga disebut nasi/sega kuning. Selain itu juga ditambah ancah, yaitu sayur kecambah, kacang panjang yang telah dipotong-potong, bawang merah yang telah diiris-iris, garam dan lain sebagainya. Dalam hal penggunaan sajen juga sama.

Upacara selamatan pitung dina/tujuh hari itu tepat hari kematian seseorang. Rangkaian materinya sama dengan selamatan telung dina/tiga hari, tetapi ditambah dengan apem, ketan, dan kolak. Ada sebagian anggota masyarakat Karangbenda yang berpendapat bahwa apem, ketan, dan kolak itu diadakan hanya mulai pada selamatan patang puluh dina/empat puluh hari. Masalah sesajen masih sama.

Upacara selamatan patang puluh dina/empat puluh hari itu dilaksanakan tepat empat puluh hari dari kematian seseorang. Materi atau perlengkapannya sama dengan upacara selamatan pitung dina. Hanya saja materi yang berupa ingkung ayam biasanya diusahakan dari ayam jantan.Sehingga sejak empatpuluh hari mulai ada lauk yang berupa daging ayam. Pelaksanaan sesajen juga sama dengan upacara selamatan sebelumnya. Kegiatan dilakukan pada malam hari diawali dengan membaca tahlil, kemudian kenduri yang diawali oleh perwakilan tuan rumah menyampaikan sambutan dilanjut dengan ujudan oleh sesepuh desa.

Gambar.22 Ingkung Ayam Sumber : Dokumen pribadi

Upacara selamatan satus dina/seratus hari ini dilaksanakan tepat seratus hari sejak kematian seseorang. Macam materi atau perlengkapan dan sesajen juga sama dengan kegiatan selamatan empatpuluh hari.

Upacara selamatan pendak pisan ini dilaksanakan tepat tempo setahun sejak kematian seseorang, sedangkan upacara selamatan pendak pindo ini dilaksanakan tepat tempo dua tahun sejak hari kematian seseorang. Materi dan perlengkapan serta sesajennya juga sama dengan di atas.

Upacara selamatan sewu dina atau 1000 hari ini dilaksanakan tepat 1000 hari sejak kematian seseorang. Selamatan sewu dina ini biasanya diadakan secara besar-besaran, sebab yang dianggap terakhir kalinya. Materinya sama dengan di atas, tetapi biasanya ditambah dengan potong kambing, di samping juga ayam. Ada syarat-syarat tertentu bagi binatang yang akan dipotong pada upacara

selamatan kematian ini yang memotong juga harus kayim, baru penyelesaiannya dilakukan oleh orang lain yang telah ditunjuk.

Tujuan dari kegiatan selamatan kematian ini mendoakan kepada si mayat agar jembar kuburane (luas kuburanya) dan leres lampahane (lurus jalannya) menjalani kehidupan dialam kubur dengan memohon kepada pangerang kang Maha Kuasa. Acara ini dikenal dengan acara dzikiran atau muji. Adapun makna dari bilangan-bilangan tersebut adalah sebagai berikut:hari ketiga adalah masa menyempurnakan bulu kuku (wulu kuku),hari ketujuh adalah masa meyempurnakan daging, hari keempat puluh adalah masa menyempurnakan otot, hari keseratus adalah masa menyempurnakan tulang, dan hari keseribu adalah masa menyempurnakan sumsum.

Dokumen terkait