BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hasil Belajar
Menurut Gagne, belajar mempunyai dua pengertian, yaitu : :
a. Belajar ialah suatu proses untuk memperoleh motivasi dalam pengetahuan,
keterampilan, kebiasaan, dan tingkah laku
b. Belajar ialah penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang diperoleh dari
instruksi. (http://indramunawar.blogspot.com)
Menurut M. Sobri Sutikno, belajar merupakan suatu proses usaha yang
dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh suatu perubahan yang baru sebagai hasil
pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
(http://indramunawar.blogspot.com)
Menurut Hilgrad dan Bower, belajar berhubungan dengan perubahan tingkah
laku seseorang terhadap sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya
yang berulang-ulang dalam suatu situasi. (http://indramunawar.blogspot.com/2009/06/ )
Dari beberapa pengertian belajar di atas, maka dapat diketahui bahwa belajar
adalah suatu proses usaha seseorang berdasarkan pengalamannya sendiri yang
dilakukan secara berulang-ulang dalam interaksi dengan lingkungannya untuk
memperoleh perubahan dalam tingkah laku, penguasaan pengetahuan dan keterampilan.
Menurut Gagne, belajar terdiri dari beberapa jenis, yaitu :
Belajar bagian dilakukan oleh seseorang jika dihadapkan pada materi belajar yang
bersifat luas atau ekstensif, misalnya mempelajari sajak ataupun gerakan-gerakan
motoris seperti bermain silat.
2. Belajar dengan wawasan (learning by insight).
Wawasan (insight), merupakan pokok utama dalam pembicaraan psikologi belajar
dan proses berpikir. Menurut Gestalt teori wawasan merupakan proses
mereorganisasikan pola-pola tingkah laku yang telah terbentuk menjadi satu tingkah
laku yang ada hubungannya dengan penyelesaian atau persoalan.
3. Belajar diskriminatif (discriminatif learning).
Belajar diskriminatif merupakan usaha untuk memilih beberapa sifat
situasi/stimulus dan menjadikannya sebagai pedoman dalam bertingkah laku. Dalam
hal ini, seseorang dapat berespon secara berbeda terhadap stimulus yang berlainan.
4. Belajar global/keseluruhan (global whole learning).
Bahan pelajaran dipelajari secara keseluruhan berulang ulang sampai pelajar
menguasainya. Belajar global merupakan lawan dari belajar bagian. Metode belajar
ini sering juga disebut metode Gestalt.
5. Belajar insidental (incidental learning)
Belajar insidental bertentangan dengan anggapan bahwa belajar itu selalu
berarah-tujuan (intensional), karena dalam belajar insidental pada individu tidak ada sama sekali kehendak untuk belajar.
6. Belajar instrumental (instrumental learning).
Dalam belajar instrumental, reaksi-reaksi seseorang siswa yang diperlihatkan diikuti
hukuman, berhasil atau gagal. Individu diberi hadiah bila berperilaku sesuai dengan
perilaku yang dikehendaki, dan sebaliknya dihukum bila memperlihatkan perilaku
yang tidak sesuai dengan yang dikehendaki, sehingga akhirnya akan terbentuk
perilaku tertentu.
7. Belajar intensional (intentional learning).
Belajar intensional adalah belajar dalam arah tujuan, merupakan lawan dari belajar
insidental.
8. Belajar laten (latent learning).
Perubahan-perubahan tingkah laku yang terlihat pada belajar laten tidak terjadi
secara segera, dan oleh karena itu disebut laten. Dalam penelitian mengenai ingatan,
belajar laten ini diakui memang ada yaitu dalam bentuk belajar insidental.
9. Belajar mental (mental learning).
Perubahan kemungkinan tingkah laku yang terjadi di sini tidak nyata terlihat,
melainkan hanya berupa perubahan proses kognitif karena ada bahan yang
dipelajari. Ada yang mengartikan belajar mental sebagai belajar dengan cara
melakukan observasi dari tingkah laku orang lain, membayangkan gerakan-gerakan
orang lain.
10. Belajar produktif (productive learning).
R. Berguis (1964) memberikan arti belajar produktif sebagai belajar dengan transfer
yang maksimum. Belajar adalah mengatur kemungkinan untuk melakukan transfer
tingkah laku dari satu situasi ke situasi lain. Belajar disebut produktif bila individu
mampu mentransfer prinsip menyelesaikan suatu persoalan dalam satu situasi ke
11. Belajar verbal (verbal learning).
Belajar verbal adalah belajar mengenai materi verbal dengan melalui latihan dan
ingatan. Dasar dari belajar verbal diperlihatkan dalam eksperimen klasik dari
Ebbinghaus. Sifat eksperimen ini meluas dari belajar asosiatif mengenai hubungan
dua kata yang tidak bermakna sampai pada belajar dengan wawasan mengenai
penyelesaian persoalan yang kompleks yang harus diungkapkan secara verbal.
(Slameto,2003 : 5-8)
Selain jenis-jenis belajar di atas, ada lagi jenis belajar yang lain yaitu:
1. Signal learning (belajar isyarat)
2. Stimulus-response learning (belajar stimulus-respons)
3. Chaining (rantai atau rangkaian) 4. Verbal association (asosiasi verbal)
5. Discrimination learning (belajar diskriminasi) 6. Concept learning (belajar konsep)
7. Rule learning (belajar aturan)
8. Problem solving (memecahkan masalah).( Nasution, 2005:136) Berdasarkan jenis-jenis belajar di atas, maka seseorang dapat belajar hanya pada
1 jenis belajar saja dan dapat pula sekaligus belajar dengan beberapa jenis belajar.
Seseorang yang belajar mempunyai tujuan. Tujuan belajar adalah meningkatkan
kemampuan pengetahuan, kemampuan ketrampilan dan sikap yang dimiliki oleh siswa
sebagai akibat dari hasil pengajaran yang dinyatakan dalam bentuk tingkah laku
Sedangkan menurut Dimyati dan Mujiono (2002:20) tujuan belajar antara lain
sebagai berikut :
a. Meningkatkan kemampuan kognitif yaitu kemampuan yang sifatnya menambah
pengetahuan, informasi, pemahaman, penerapan, analisis sintesis dan evaluasi.
b. Meningkatkan kemampuan afektif yaitu kemampuan yang meliputi penelitian sikap,
apresiasi, nilai – nilai evaluasi, menyenangkan, menghormati dan lain – lain.
Untuk memperoleh suatu keberhasilan harus ditempuh dengan belajar, akan
tetapi ada beberapa faktor yang mempengaruhi belajar seseorang. Menurut Slameto
(2003:54) faktor – faktor yang mempengaruhi adalah : :
a. Faktor Intern yaitu faktor yang ada dalam diri individu yang sedang belajar, meliputi
faktor jasmaniah, faktor psikologi dan faktor kelelahan. Faktor kelelahan meliputi
kelelahan jasmani dan kelelahan rohani ( bersifat psikis )
b. Faktor Ekstern yaitu faktor yang berasal dari lingkungan keluarga, faktor sekolah
dan faktor masyarakat.
Faktor keluarga meliputi cara orang tua mendidik, relasi antara anggota keluarga,
suasana rumah tangga dan keadaan ekonomi keluarga.
Faktor sekolah meliputi metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa,
relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat pelajaran, waktu sekolah, standar
pelajaran di atas ukuran, keadaan gedung, metode belajar dan tugas rumah.
Faktor masyarakat meliputi kegiatan siswa dalam masyarakat, mass media, teman
bergaul dan bentuk kehidupan masyarakat.
Seseorang yang belajar akan memperoleh hasil belajar berupa perubahan tingkah
Menurut Nana Sudjana (1990 : 3) hasil belajar adalah suatu proses pemberian
nilai terhadap hasil – hasil belajar yang dicapai siswa dengan kriteria tertentu. Hasil
belajar siswa pada hakekatnya adalah perubahan tingkah laku yang mencakup bidang
sikap, pengetahuan dan ketrampilan. Penilaian proses hasil belajar merupakan upaya
memberi nilai terhadap kegiatan pembelajaran yang dilakukan siswa dan guru dalam
mencapai tujuan pembelajaran.
Dari pendapat di atas dapat diketahui bahwa dalam lingkungan pendidikan
formal, hasil belajar akan diperoleh siswa setelah dilakukan penilaian terhadap kegiatan
pembelajaran yang telah dilakukan siswa dan guru dalam mencapai tujuan
pembelajaran.
Penilaian atau evaluasi adalah komponen pembelajaran yang penting, karena
dengan evaluasi, guru akan mengetahui sejauhmana siswa mencapai hasil yang telah
ditentukan dalam tujuan pembelajaran. Evaluasi juga dapat dijadikan sebagai bahan
untuk melakukan refleksi terhadap proses pembelajaran yang telah dilakukan.
(http://asepsutisna.wordpress.com)
Tipe hasil belajar yang diperoleh siswa dapat dibagi menjadi tiga yaitu tipe hasil
belajar bidang kognitif, tipe hasil belajar bidang afektif dan tipe hasil belajar bidang
psikomotor. Berikut perincian masing-masing tipe hasil belajar tersebut ::
1. Tipe hasil belajar bidang kognitif
a. Tipe hasil belajar pengetahuan hafalan (knowledge) pengetahuan hafalan
samping pengetahuan yang mengenai hal-hal yang perlu diingat kembali seperti
batasan, peristilahan, pasal, hukum, bab, ayat, rumus, dan lain-lain.
b. Tipe hasil belajar pemahaman (comprehention). Tipe hasil belajar pemahaman lebih tinggi satu tingkat dari tipe hasil belajar pengetahuan hafalan. Pemahaman
memerlukan kemampuan menangkap makna atau arti dari sesuatu konsep.
c. Tipe hasil belajar penerapan (aplication).
Aplikasi adalah kesanggupan menerapkan dan mengabstraksi suatu konsep, ide,
rumus hukum dalam situasi yang baru. Misalnya memecahkan persoalan dengan
menggunakan rumus tertentu, menerapkan suatu dalil atau hukum dalam suatu
persoalan.
d. Tipe hasil belajar analisis (analysis)
Analisis adalah kesanggupan memecah, mengurangi suatu integritas (kesatuan
yang utuh) menjadi unsur-unsur atau bagian-bagian yang mempunyai arti, atau
mempunyai tingkatan atau hirarki.
e. Tipe hasil belajar sintesis (synthesis)
Sintesis adalah lawan analisis. Bila pada analisis ditekankan pada kesanggupan
menguraikan suatu integritas menjadi bagian yang bermakna, pada sintesis
adalah kesanggupan menyatukan unsur atau bagian menjadi satu integritas.
f. Tipe hasil belajar evaluasi (evaluation)
Evaluasi adalah kesanggupan memeberikan keputusan tentang nilai sesuatu
berdasarkan judgment yang dimilikinya dan kriteria yang dipakainya. Tipe hasil belajar ini dikategorikan paling tinggi, dan terkandung semua tipe hasil belajar
2. Tipe hasil belajar afektif Ada beberapa tingkatan bidang afektif sebagai tujuan dari
tipe hasil belajar. Tingkatan tersebut dimulai tingkat yang dasar atau sederhana
sampai tingkatan yang kompleks.
a. Receiving atau attending, yakni semacam kepekaan dalam menerima rangsangan (stimulasi) dari luar yang datang pada siswa, baik dalam masalah situasi ataupun
gejala.
b. Responding atau jawaban. Yakni yang diberikan seseorang terhadap stimulasi
yang datang dari luar. Dalam hal ini termasuk ketetapan reaksi, perasaan,
kepuasan dalam menjawab stimulus dari luar yang datang kepada dirinya.
c. Valuing (penilaian). Yakni berkenaan dengan nilai dan kepercayaan terhadap
gejala atau stimulus tadi.
d. Organisasi, yakni pengembangan nilai ke dalam satu sistem organisasi, termasuk
menentukan hubungan satu nilai dengan nilai lain dan kemantapan, dan prioritas
nilai yang telah dimilikinya.
e. Karakteristik nilai atau internalisasi nilai yakni keterpaduan dari semua sistem
nilai yang telah dimiliki seseorang yang mempengaruhi pola kepribadian dan
tingkah lakunya.
3. Tipe Hasil Belajar Bidang Psikomotor
Hasil belajar bidang psikomotor tampak dalam bentuk keterampilan (skill), kemampuan bertindak individu (seseorang). Ada enam tingkatan keterampilan
yakni:
a. Gerakan refleks (keterampilan pada gerakan yang tidak sadar).
c. Kemampuan perseptual termasuk di dalamnya membedakan visual,
membedakan auditif motorik dan lain-lain.
d. Kemampuan dibidang fisik, misalnya kekuatan, keharmonisan, dan ketepatan.
e. Gerakan-gerakan skill, nilai dari keterampilan sederhana sampai pada
keterampilan yang kompleks.
f. kemampuan yang berkenaan dengan non decursive komunikasi seperti gerakan ekspresif, interpretatif (Sudjana,1989:50-52).
Seseorang yang sedang belajar, dapat memperoleh satu tipe hasil belajar dan
dapat memperoleh dua atau tiga jenis belajar sekaligus.
B. Pendidikan Kewarganegaraan
Menurut Depdiknas (2006:241) mata pelajaran Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami
dan mampu melaksanakan hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara
Indonesia yang cerdas, terampil dan berkarakter yang dianamatkan oleh Pancasila dan
Undang – Undang dasar 1945.
Menurut Depdiknas (2006:241) mata pelajaran Kewarganegaraan bertujuan
agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut :
1. Berfikir kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan.
2. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, bertindak secara cerdas dalam
kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta pencegahan terhadap
3. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan
pada karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa –
bangsa lainnya.
4. Berinteraksi dengan bangsa – bangsa lain dalam percaturan dunia secara
langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan
komunikasi.
Dalam Encyclopedia of Educational Research dijelaskan bahwa Pendidikan
Kewarganegaraan dapat dibagi 2, yaitu dalam arti sempit dan dalam arti luas. Dalam arti
sempit, Pendidikan Kewarganegaraan membahas masalah hak dan kewajiban.
Sedangkan dalam arti luas, Pendidikan Kewarganegaraan membahas masalah : moral,
etika, sosial, serta berbagai aspek kehidupan ekonomi (Suriakusuma,1992).
(http://massofa.wordpress.com)
Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan memiliki visi dan misi. Visi mata
pelajaran pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yaitu terwujudnya suatu mata
pelajaran yang berfungsi sebagai sarana pembinaan watak bangsa (nation and character
building) dan pemberdayaan warga negara. Sedangkan misi mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaran yaitu membentuk warga negara yang baik yakni warga negara yang
sanggup melaksanakan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bernegaran, dilandasi
oleh kesadaran politik, kesadaran hukum, dan kesadaran moral. Untuk mewujudkan
misi di atas, para pendidik harus memiliki kemampuan kewarganegaraan yang
multidimensional agar dapat menjalankan hak dan kewajibannya dalam berbagai aspek
Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan berfungsi sebagai wahana untuk
membentuk warga negara yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang setia kepada
bangsa dan negara Indonesia dengan merefleksikan dirinya dalam kebiasaan berpikir
dan bertindak sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945. Jika rumusan fungsi
Pendidikan Kewarganegaraan tersebut dihubungkan dengan dimensi keilmuan
Pendidikan Kewarganegaraan, maka fungsi Pendidikan Kewarganegaraan tersebut dapat
dikelompokkan menjadi :
a. Fungsi Pendidikan Kewarganegaraan dalam membina kecerdasan/pengetahuan
peserta didik
b. Fungsi Pendidikan Kewarganegaraan dalam membina keterampilan peserta didik
c. Fungsi Pendidikan Kewarganegaraan dalam membina watak/karakter peserta didik.
(http://massofa.wordpress.com)
C. Metode Role Playing
Dalam proses pembelajaran mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan,
metode role playing merupakan salah satu bentuk permainan pendidikan (Education Games) yang digunakan untuk menyampaikan atau memecahkan masalah yang sering
muncul dalam kehidupan sehari – hari siswa. Dengan metode ini siswa diharapkan
dapat memerankan sesuatu dari segi sosial, kemasyarakatan, ilmu pengetahuan, sejarah
atau yang lainnya sehingga siswa dapat mengerti, memahami, menghayati serta
menghargai pendapat atau perasaan orang lain.
Menurut Nana Sudjana (1991:84), bermain peran adalah mendramatisasi
Pendapat lain dikemukakan oleh Engkoswara (1998:58), bermain peran adalah
suatu drama tanpa naskah yang akan dimainkan dengan singkat dalam waktu dua atau
tiga menit kemudian anak memerankan. Persoalan atau pokok yang akan di
dramatisasikan diambil dari situasi sosial.
Dari beberapa pendapat role playing atau bermain peran di atas dapat
disimpulkan bahwa metode role playing atau bermain peran adalah metode mendramatisasi suatu tindakan atau tingkah laku dalam hubungan sosial yang lebih
menekankan pada kenyataan tanpa harus menghafal sebuah naskah, tetapi siswa benar
-benar dapat menjiwai dan menghayati masalah dalam hubungan sosial.
Melalui bermain peran (role playing) para peserta didik mencoba
mengeksplorasi hubungan antar manusia dengan cara memperagakannya dan
mendiskusikannya sehingga secara bersama-sama para peserta didik dapat
mengeksplorasi perasaan, sikap, nilai dan berbagai strategi pemecahan masalah.
(http://dahli-ahmad.blogspot.com)
Menurut Nana Sudjana (1991:84) tujuan penggunaan metode role playing
dalam proses pembelajaran adalah :
a. Agar siswa dapat menghayati dan menghargai perasaan orang lain
b. Dapat belajar bagaimana membagi tanggung jawab.
c. Dapat belajar mengambil keputusan dalam situasi kelompok secara spontan
d. Merangsang kelas untuk berpikir dan memecahkan masalah
a. Melatih anak – anak untuk mendengarkan dan menangkap cerita singkat dengan
teliti.
b. Memupuk dan melatih keberanian
c. Memupuk daya cipta
d. Belajar menghargai dan menilai kecakapan orang lain dan menyatakan pendapatnya
tentang dramatisasi yang dilakukan anak lain di muka kelas.
e. Untuk mendalangi masalah sosial.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari penggunaan
metode role playing dalam proses pembelajaran adalah agar siswa dapat berfikir secara aktif, kreatif, efektif dan inovatif dalam menanggapi dan memecahan masalah –
masalah dalam hubungan sosial.
Menurut Engkoswara (1998:59) syarat – syarat penggunaan metode role
playing adalah :
- Kelas harus mempunyai perhatian terhadap masalah yang di kemukakan
- Para pelaku harus mempunyai gambaran yang jelas mengenai pokok yang dihadapi.
- Bermain peran / role playing harus dipandang sebagai alat pelajaran untuk memahami suatu masalah sosial bukan sebagai pemain hiburan.
Menurut Engkoswara (1988:60) langkah penggunaan metode role playing
adalah sebagai berikut : a. Persiapan
1. Menentukan masalah. pokok yang akan diroleplayingkan dengan prinsip :
(a). Persoalan / pokok diambil dari situasi sosial yang dapat dan mudah dikenal
(b). Persoalan hendaknya memberikan berbagai kemungkinan atau dapat
ditafsirkan bermacam ragam pendapat baik menganai persamaan, perbedaan,
kemungkinan pemecahan dan kelanjutannya.
(c). Persoalan yang dipilih hendaknya bertahap, mula – mula sederhana, dan
pertemuan berikutnya yang mungkin agak sukar dan sedikit bervariasi.
2. Guru menjelaskan kepada murid. Penjelasan dapat berupa isi permasalahan,
peranan pelaku ataupun peranan penonton atau anak-anak lainnya. Persoalan
perlu dijelaskan sampai selesai dan lengkap betul, tetapi harus jelas, bahwa ada
kalanya suatu persoalan dikemukakan belum selesai untuk kemudian
diselesaikan oleh anak – anak sendiri.
3. Pemilihan pelaku. Ini dapat dilakukan dengan menunjuk seorang anak yang
kira-kira dapat mendramatisasikan dapat juga diajukan secara sukarela.
4. Mempersiapkan pelaku dan penonton. Para pelaku, cukup ditunjuk orang dan
jumlahnya. Sedangkan pemain lebih baik diserahkan kepada mereka, karena itu
ada baiknya untuk sekedar persiapan singkat, para pelaku itu disuruh kelas
sekitar 2 atau 3 menit.
b. Pelaksanaan
Para pelaku yang telah disiapkan selama 2 atau 3 menit itu kemudian dipersilahkan
untuk mendramatisasikan menurut pendapat dan kreasi mereka. Perbuatan mereka
diharapkan secara spontan. Guru hanya berperan mengawasi dan mencari kebebasan
kepada pelaku dan mengawasi ketertiban kelas. Tetapi apabila para pelaku
Hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan metode role playing adalah : dilakukan secara spontan, bercirikan ungkapan dan perolehan serta waktu relatif
pendek.
Menurut Depdikbud (1994:90) kelebihan penggunaan metode role playing
adalah memberikan rangsangan untuk aktif berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran,
menyenangkan dan memotivasi belajar siswa, memberikan kesempatan kepada siswa
untuk terlibat secara langsung dalam kegiatan pembelajaran tanpa perasaan takut
akibat yang mungkin timbul dalam situasi yang sesungguhnya, mengembangkan
aktifitas berfikir secara kritis dan melatih siswa untuk berinisiatif dan berkreasi
mengikuti situasi, serta dapat menganalisis dengan cepat.
Menurut Depdikbud (1994:90) kelemahan menggunakan metode role playing
adalah adanya kurang kesungguhan para pemain mengakibatkan tujuannya tidak
tercapai.
Sedangkan menurut Sukewi Sugito (1994:47) kelemahan menggunakan metode
role playing adalah :
a. Banyak memakan waktu
b. Sukar mengendalikan kelas
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kelemahan
penggunaan metode role playing antara lain adalah : metode bermain peran / role playing membutuhkan waktu yang lama untuk memerankannya, siswa sering malu
siswa sering menertawakan tingkah laku pemain sehingga merusak suasana dan kelas
menjadi ramai.
D. Nilai-nilai Juang Dalam Proses Perumusan Pancasila
Sejak akhir tahun 1944 Jepang mulai banyak mengalami kekalahan dari Sekutu
dalam Perang Dunia Ke II, sehingga Jepang menjanjikan kemerdekaan kepada
Indonesia agar Indonesia tidak melawan dan bersedia membantunya melawan Sekutu.
1. Pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI)
Jepang membentuk BPUPKI untuk meyakinkan bangsa Indonesia tentang
kemerdekaan ynag dijanjikan. Dalam Bahasa Jepang badan itu disebut Dokkuritsu
Hunbi Cosakai. Jenderal Kumakichi Harada, Komandan Pasukan Jepang untuk Jawa
mengumumkan pembentukan BPUPKI pada tanggal 1 Maret 1945.
Pada tanggal 28 April 1945 diumumkan pengangkatan anggota BPUPKI.
Upacara peresmian dilaksanakan di Gedung Cuo Sangi In di Pejambon Jakarta
(sekarang Gedung Departemen Luar Negeri). Ketua BPUPKI adalah dr. Rajiman
Wedyodiningrat, wakilnya adalah Ichibangase (Jepang) dan sekretarisnya adalah
R.P. Soeroso. Jumlah anggota BPUPKI adalah 63 orang yang mewakili hampir
seluruh wilayah Indonesia ditambah 7 orang tanpa hak suara.
a. Masa Persidangan Pertama BPUPKI (29 Mei-1 Juni 1945).
Pada sidang pertama ini, BPUPKI membahas rumusan dasar negara untuk
Indonesia merdeka yang dikemukakan oleh Mr. Mohammad Yamin, Mr.
b. Masa Persidangan Kedua BPUPKI (10-16 Juli 1945)
Masa persidangan pertama BPUPKI berakhir, tetapi rumusan dasar negara
untuk Indonesia merdeka belum terbentuk, sehingga BPUPKI membentuk
panitia perumus dasar negara yang beranggotakan sembilan orang yang disebut
Panitia Sembilan. Tugas Panitia Sembilan adalah menampung berbagai aspirasi
tentang pembentukan dasar negara Indonesia merdeka. Anggota Panitia
Sembilan terdiri atas : Ir. Sukarno (ketua), Abdulkahar Muzakir, Drs. Moh.
Hatta, K.H. Abdul Wachid Hasyim, Mr. Moh. Yamin, H. Agus Salim, Ahmad
Subarjo, Abikusno Cokrosuryo, dan A.A. Maramis.
Pada tanggal 22 Juni 1945, Panitia Sembilan berhasil merumuskan dasar
negara untuk Indonesia merdeka. Rumusan itu oleh Mr. Moh. Yamin diberi
nama Piagam Jakarta atau Jakarta Charter. (Sunarso dan Anis Kusumawardani,
2008 : 3-5)
2. Pembentukan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI
Pada tanggal 7 Agustus 1945, BPUPKI dibubarkan Jepang dan sebagai gantinya
Jepang membentuk PPKI (Dokuritsu Junbi Inkai). PPKI beranggotakan 21 orang,
kemudia tanggal 18 Agustus ditambah 6 orang sehingga semua anggota PPKI
berjumlah 27 orang. PPKI dipimpin oleh Ir. Sukarno, wakilnya Drs. Moh. Hatta.
a. Proses Penetapan Dasar Negara dan Konstitusi Negara
Pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengadakan sidangnya yang
pertama. Pada sidang pertama ni PPKI membahas konstitusi negara Indonesia,
Presiden dan Wakil Presiden Indonesia, serta lembaga yang membantu tugas
b. . Perbedaan dan Kesepakatan yang Muncul dalam Sidang PPKI
Pada sidang pertama PPKI, rancangan UUD hasil kerja BPUPKI dibahas
kembali. Pada pembahasannya terdapat dua usul perubahan yang dikemukakan
kelompok Hatta, yaitu :
• Pertama, berkaitan dengan sila pertama yang semula berbunyi “Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”
diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
• Kedua, Bab II UUD 1945 Pasal 6 yang semula berbunyi “Presiden ialah
orang Indonesia yang beragama Islam” diubah menjadi “Presiden ialah
orang Indonesia asli”.
Semua usulan itu diterima peserta sidang. Hal itu menunjukkan mereka sangat
memperhatikan persatuan dan kesatuan bangsa. Rancangan hukum dasar yang
diterima BPUPKI pada tanggal 17 Juli 1945 setelah disempurnakan oleh PPKI
disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. UUD itu kemudian
dikenal sebagai UUD 1945.