• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengamatan Histopatologi Analisis Statistik HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot Badan dan Kondisi Fisik Hewan Coba

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengamatan Histopatologi Analisis Statistik HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot Badan dan Kondisi Fisik Hewan Coba"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

larutan alkohol dengan konsentrasi bertingkat. Hasilnya diberi permount mounting medium dan ditutup dengan kaca penutup (Hastuti 2008).

Pengamatan Histopatologi

Pengamatan histopatologi dilakukan dengan mikroskop cahaya dengan perbesaran 20 x dan 40x. Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah perubahan sel pada jaringan yang diamati dengan luasan tertentu. Pengamatan dilakukan sebanyak 20 lapang pandang pada daerah jaringan hati. Masing-masing lapang pandang dihitung hepatosit yang mengalami degenerasi dan nekrosis, kemudian dibagi dengan jumlah hepatosit dalam satu lapang pandang. Pengamatan pada jaringan ginjal diamati perubahan glomerulus dan sel epitel tubuli. Perubahan sel epitel tubuli berupa degenerasi, nekrosis, dan endapan protein. Pada glomerulus diamati terjadinya atrofi. Masing-masing lapang pandang dihitung jumlah epitel tubuli yang mengalami perubahan dibagi dengan jumlah sel epitel tubuli dalam satu lapang pandang. Demikian juga halnya pada glomerulus, hasil yang diperoleh dihitung persentasenya dan dirata-ratakan.

Analisis Statistik

Data jumlah hematologi dan histopatologi dianalisis statistik menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan model persamaan : Yijk = µ + αi + εij Keterangan : i = perlakuan 1, 2, ... 5 j = hari ke-0, 3, 7, 10, 14, 17, 20, 23, 26, dan 29 k = ulangan 1, 2, ... 5

Yij = pengamatan pada perlakuan ke-i, hari ke-j dan ulangan ke-k.

µ = rataan umum

αi = pengaruh perlakuan ke-i

εij = komponen acak dari interaksi perlakuan dan ulangan

Uji lanjut perbandingan berganda menggunakan metode Duncan untuk mengetahui beda nyata antara dosis angkak yang diberikan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bobot Badan dan Kondisi Fisik Hewan Coba

Tikus percobaan dipelihara selama 42 hari yang meliputi masa adaptasi selama 14 hari,

perlakuan dengan penggunaan kuinin mulai hari ke-1 sampai hari ke-14 dan masa perlakuan dengan angkak mulai hari ke-14 sampai hari ke-29. Pengamatan fisik hewan yang diamati meliputi bobot badan, nafsu makan, keadaan fisik, dan tingkah laku. Hasil pengaruh pemberian kuinin dan penambahan angkak terhadap bobot badan hewan coba terdapat pada Gambar 3. Bobot badan tikus terus mengalami kenaikan selama masa adaptasi dan masa perlakuan dengan angkak. Namun bobot badan mengalami penurunan, selama masa perlakuan dengan kuinin terutama pada kelompok II, III, dan IV.

Pemberian kuinin dalam dosis toksik mempengaruhi nafsu makan. Berdasarkan literatur dosis kuinin yang terlalu tinggi dapat menyebabkan demam, mual, muntah, serta gangguan saluran pencernaan (Katz et al. 1983). Gejala ini yang menyebabkan nafsu makan menurun yang berakibat menurunnya bobot badan. Uji statistik pada kelompok negatif menunjukkan beda nyata (p<0.05) bobot badan tikus masa perlakuan dengan kuinin jika dibandingkan dengan masa adaptasi. Pemberian kuinin dapat mempengaruhi bobot badan hewan coba.

Uji statistik pada kelompok III, IV, dan V menunjukkan beda nyata (p<0.05) bobot badan tikus masa perlakuan angkak jika dibandingkan dengan masa perlakuan kuinin dan aklimatisasi. Pemberian angkak dapat mempengaruhi bobot badan hewan coba. Peningkatan bobot badan terjadi pada masa perlakuan dengan angkak pada kelompok III, IV, dan V. Hal ini mungkin dikarenakan kandungan angkak yang dapat meningkatkan bobot badan hewan coba. Menurut Erdogrul & Azirak (2004), angkak mengandung serat, magnesium, asam lemak tak jenuh seperti asam oleat, serta vitamin B kompleks.

Menurut Tisnadjaja (2006), angkak mengandung beberapa asam lemak tak jenuh seperti asam oleat, asam linolenat, asam linoleat, serta vitamin B kompleks seperti niasin. Vitamin B kompleks terdiri dari vitamin B1(tiamin), B2 (riboflavin), B3 (niasin), B6 (piridoksin), dan B12 (kobalamin) (Guyton & Hall 1997). Vitamin B1, B3, B12 memiliki fungsi mendorong dan penjaga nafsu makan serta meningkatkan pertumbuhan. Kandungan ini yang menyebabkan nafsu makan hewan coba meningkat sehingga bobot badan juga akan meningkat. Selain pengamatan bobot badan, gejala klinis yang diamati meliputi tingkah laku, keadaan mata, dan keadaan bulu. Pengamatan terhadap mata, tingkah laku, dan bulu tidak mengalami perubahan selama masa percobaan.

(2)

Gambar 3 Grafik bobot badan tikus selama adaptasi, perlakuan dengan kuinin, dan perlakuan dengan angkak. Kelompok I tanpa perlakuan (■), kelompok II perlakuan dengan kuinin tanpa angkak (■), kelompok III diberi kuinin kemudian angkak 0.04 g/kg bb (■), kelompok IV diberi kuinin kemudian angkak 0.08 g/kg bb (■), dan kelompok V diberi angkak 0.04 g/kg bb tanpa kuinin (■).

Analisis Hematologi Darah Tikus Trombosit

Hasil analisis jumlah trombosit selama masa percobaan mengalami penurunan dan peningkatan. Gambar 4 menunjukkan terjadinya penurunan jumlah trombosit kelompok II, III, dan IV selama masa perlakuan dengan kuinin kecuali kelompok normal. Penurunan jumlah trombosit diduga akibat pemberian kuinin dengan dosis toksik mulai hari ke-1 sampai hari ke-14. Jumlah trombosit pada kelompok III, IV, dan V selama masa perlakuan angkak mulai hari ke-14 hingga hari ke-29 dapat meningkatkan jumlah trombosit yang mengalami penurunan. Pemberian angkak dapat mengembalikan jumlah trombosit pada keadaan normalnya. Jumlah trombosit pada H0 (hari ke-0) untuk semua kelompok berkisar 320.300/mm3 -487600/mm3.

Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1988), jumlah trombosit tikus normal sebesar 150-460 x 103/mm3

.

Gambar 4 juga memperlihatkan bahwa jumlah trombosit kelompok V mengalami penurunan, meskipun tidak diberi kuinin. Adapun penurunan nilai trombosit pada kelompok V dikarenakan kondisi fisik hewan coba yang tidak baik

akibat faktor lingkungan yang ekstrim dan tidak steril.

Hasil uji statistik terhadap kelompok normal yang tidak diberi angkak maupun kuinin menunjukkan jumlah trombosit yang tidak beda nyata (p>0.05) dibandingkan dengan masa perlakuan kuinin maupun angkak. Tabel 1 menunjukkan rata-rata jumlah trombosit yang diberi kuinin mengalami penurunan yang signifikan (p<0.05) dibandingkan dengan rata-rata H0 (sebelum perlakuan). Rata-rata jumlah trombosit setelah pemberian angkak dosis 0.04 g/kg bb mengalami peningkatan yang signifikan (p<0.05) dibandingkan dengan rata-rata pemberian kuinin, namun tidak berbeda nyata dengan H0.

Tabel 1 juga menunjukkan rata-rata jumlah trombosit setelah pemberian angkak dosis 0.08 g/kg bb mengalami peningkatan yang tidak signifikan (p>0.05) dibandingkan dengan rata-rata pemberian kuinin. Namun rata-rata-rata-rata jumlah trombosit setelah pemberian kuinin, jumlah trombosit mengalami penurunan yang signifikan (p<0.05) dibandingkan dengan rata-rata H0 (sebelum perlakuan).

Hasil analisis sesuai dengan pendapat Bougie et al. (2006), kuinin dapat menyebabkan trombositopenia. Kuinin menginduksi trombositopenia disebabkan adanya ikatan antara antibodi dengan membran glikoprotein pada trombosit antara lain melalui kompleks GP Ib/IX dan kompleks GP IIb/IIIa. Adanya ikatan ini mengakibatkan trombosit dibersihkan oleh makrofag di sistem retikuloendotelial sehingga terjadi trombositopenia (Setiabudy 2007). Menurut Warkentin (2007), sekitar 85-90% pasien yang mengkonsumsi kuinin mengalami penurunan jumlah trombosit sebesar 20.000/mm3.

Angkak dapat meningkatkan jumlah trombosit, tetapi peningkatan jumlah trombosit antara kelompok yang berbeda dosis tidak beda nyata. Hal ini dimungkinkan karena dosis 0.04 g/kg bb sudah dapat memicu peningkatan jumlah trombosit, sehingga dosis dengan kelipatan lebih besar tidak menimbulkan peningkatan jumlah trombosit secara kelipatannya. Hasil analisis sesuai dengan Nurhidayat (2008) yang menyatakan angkak mampu meningkatkan trombosit tikus sampai 67%. Sementara itu, tikus percobaan tetap aktif dan tidak teramati adanya perubahan kondisi yang berarti selama masa percobaan. Peningkatan jumlah trombosit diduga karena kandungan pigmen merah dalam angkak yang dapat memicu pembentukan trombosit baru (Rombe 2005). Selain itu, lovastatin juga dapat berperan dalam peningkatan trombosit.

(3)

Gambar 4 Jumlah trombosit tikus selama percobaan. Kelompok I = tanpa perlakuan (■), kelompok II = perlakuan dengan kuinin tanpa angkak (■), kelompok III=kuinin kemudian angkak dosis 0.04 g/kg bb (■), kelompok IV=kuinin kemudian angkak dosis 0.08 g/kg bb (■), dan kelompok V=angkak dosis 0.04 g/kg bb tanpa kuinin(■).

Tabel 1 Rata-rata jumlah trombosit selama percobaan. Hari‡

ke- Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV Kelompok V 0 320300 ± 40931a 487600 ± 90121a 324500 ± 125918a 387300 ± 221676a 367000 ± 113240a (1-14) 285350 ± 146589a 250175 ± 160095b 225200 ± 131467b 209725 ± 91472b 223625 ± 166909b (15-28) 323880 ± 166950a 367080 ± 170598ab 321600 ± 125512a 311720 ± 170387ab 353540 ± 167866ab Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%.

Hari ke-0 : sebelum perlakuan, Hari ke-(1-14) : perlakuan dengan kuinin (kelompok II, III, IV) dan perlakuan

dengan air mineral (kelompok I dan V), hari ke-(15-28) : perlakuan dengan angkak (kelompok III, IV, V) dan perlakuan air mineral (kelompok I dan II).

Lovastatin dikenal baik sebagai agen penurun kolesterol. Setidaknya dalam mekanisme penurunan kolesterol, lovastatin menurunkan kolesterol jahat LDL (low density lipoprotein) dengan mereduksi oksidasi LDL. LDL yang teroksidasi diketahui dapat menghambat pembentukan monosit dan megakariosit kemotaktik protein-1. Oksidasi LDL yang tereduksi oleh lovastatin ini akan mengurangi hambatan pembentukan protein perangsang kinetika monosit dan megakariosit merangsang proliferasi, regenerasi dan pengumpulan monosit dan megakariosit untuk bermigrasi ke ruang endothelium dan berubah, masing-masing menjadi makrofag dan trombosit aktif (Nurhidayat 2008).

Eritrosit

Hasil analisis jumlah sel darah merah dari sampel darah tikus putih dapat dilihat pada Gambar 5. Jumlah sel darah merah tikus normal berkisar 7.2 – 9.6 x 106/mm3(Baker et al. 1979). Selama masa perlakuan dengan kuinin, jumlah sel darah merah kelompok II, III, dan IV cenderung mengalami penurunan bila dibandingkan dengan jumlah sel darah merah pada hari ke-0. Uji statistik penurunan jumlah eritrosit tidak berbeda nyata (p>0.05) pada tiap kelompok. Hal ini tidak sesuai dengan Aster (1993) dan Blayney (1992) yang

menyatakan bahwa penggunaan kuinin pada dosis toksik dan berulang dapat menurunkan jumlah eritrosit. Menurut Blayney (1992), kuinin dengan dosis toksik dapat menyebabkan trombositopenia, neutropenia, kegagalan ginjal, serta pansitopenia.

Jumlah sel darah merah tikus tidak mengalami kenaikan yang tidak signifikan (p>0.05), selama masa perlakuan dengan angkak mulai hari ke-14 hingga hari ke-29. Kelompok III mengalami kenaikan tertinggi pada hari ke-20 (hari ke-6 setelah diberi angkak sebesar 8.82x106/mm3. Kelompok IV mengalami kenaikan tertinggi pada hari ke-17 (hari ke-3 setelah pemberian angkak) sebesar 10.14 x 106/mm3. Kelompok V mengalami kenaikan tertinggi pada hari ke- 20 (hari ke-6 setelah pemberian angkak) sebesar 9.03 x 106/mm3.

Hasil percobaan terhadap jumlah eritrosit tidak sesuai dengan Nurhidayat (2008), yang menyatakan kandungan angkak dapat meningkatkan jumlah eritrosit. Kandungan angkak berupa vitamin B12 dapat meningkatkan pembentukan dan pematangan sel darah merah. Selain itu, angkak dengan lovastatinnya juga dapat menyumbangkan ubikuinon dan hemeA yang penting dalam peningkatan energi sel dan perbaikan sel-sel darah merah (Nurhidayat 2008).

(4)

21

Gambar 5 Jumlah sel darah merah tikus selama percobaan. Kelompok I = tanpa perlakuan (■), kelompok II = perlakuan dengan kuinin tanpa angkak (■), kelompok III = kuinin kemudian angkak dosis 0.04 g/kg bb (■), kelompok IV = kuinin kemudian angkak dosis 0.08 g/kg bb (■), dan kelompok V= angkak dosis 0.04 g/kg bb tanpa kuinin(■).

Hemoglobin

Kadar hemoglobin tikus putih selama masa percobaan dapat dilihat pada Gambar 6. Kadar hemoglobin tikus pada keadaan awal berkisar pada kadar hemoglobin normal, yaitu 14-20 g/dL (Baker et al. 1979). Selama masa perlakuan dengan kuinin mulai hari ke-1 hingga hari ke-ke-14, jumlah hemoglobin kelompok II mengalami penurunan yang beda nyata (p>0.05) bila dibandingkan dengan kadar hemoglobin kelompok I, III, V. Hal ini sesuai Aster (1993), yang menyatakan penggunaan kuinin pada dosis toksik dapat menurunkan jumlah eritrosit. Penurunan jumlah eritrosit akan berakibat penurunan terhadap jumlah hemoglobin. Sel darah merah yang matang mengandung ± 95% hemoglobin.

Kadar hemoglobin tikus mengalami kenaikan, selama masa perlakuan dengan angkak mulai hari ke-14 hingga hari ke-29. Kelompok III mengalami kenaikan tertinggi pada hari ke-20 (hari ke-6 setelah pemberian angkak) sebesar 16.02 g/dL. Kelompok IV mengalami kenaikan tertinggi pada hari ke-17 (hari ke-3 setelah pemberian angkak) sebesar 15.96 g/dL. Kelompok V mengalami kenaikan tertinggi pada hari 23 (hari ke-14 setelah pemberian angkak) sebesar 18.27 g/dL. Namun kenaikan hemoglobin tidak signifikan. Uji statistik kadar peningkatan hemoglobin selama masa percobaan terdapat beda nyata (p<0.05) antar kelompok II

dengan kelompok I, III, dan V. Namun tidak beda nyata dengan kelompok IV.

Peningkatan kadar hemoglobin berbanding lurus dengan peningkatan sel darah merah. Sekitar 30% isi sel darah merah terdiri atas zat warna merah darah, yaitu hemoglobin (Ernst 1991). Kenaikan jumlah hemoglobin setelah pemberian angkak diduga karena angkak mengandung vitamin B12. Vitamin B12 merupakan vitamin penting dalam pembentukan hemoglobin. Rantai hemoglobin tersusun atas subunit heme dan globin. Molekul heme terdiri atas struktur cincin porfirin (Leavell & Thorup 1960)..

Gambar 6 Kadar hemoglobin tikus selama percobaan. kelompok I = tanpa perlakuan (■), kelompok II = perlakuan dengan kuinin tanpa angkak (■), kelompok III = kuinin kemudian angkak dosis 0.04 g/kg bb (■), kelompok IV = kuinin kemudian angkak dosis 0.08 g/kg bb (■), dan kelompok V= angkak dosis 0.04 g/kg bb tanpa kuinin(■).

Hematokrit

Nilai hematokrit tikus putih selama masa percobaan dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar 7 menunjukkan bahwa kadar hematokrit tikus pada keadaan awal (hari ke-0) berkisar pada nilai hematokrit normal, yaitu 36-48% (Baker et al. 1979). Selama masa perlakuan dengan kuinin dari hari ke-1 sampai hari ke-14, nilai hematokrit mengalami penurunan yang signifikan (p<0.05) terutama pada kelompok II. Hal ini sesuai dengan Aster (1993), yang menyatakan penggunaan kuinin dengan dosis toksik dan berulang dapat menurunkan nilai hematokrit. Hal ini dikarenakan penurunan jumlah sel darah merah yang diakibatkan oleh kerusakan periferal dari elemen selular darah.

Perlakuan dengan angkak mulai hari ke-14 hingga hari ke-29 memberikan pengaruh yang nyata (p<0.05) terhadap nilai

(5)

22

hematokrit tikus dibandingkan dengan kelompok II. Namun nilai hematokrit tidak berbeda nyata (p>0.05) antara kelompok I, III, IV, dan V. Nilai hematokrit tikus selama perlakuan dengan angkak masih berada pada kisaran normal hematokrit tikus Sprague dawley. Jumlah sel darah merah dan ukuran sel dapat mempengaruhi nilai hematokrit. Selain itu, nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh kenaikan derajat aktivitas tubuh, anemia, dan ketinggian lokasi. Variasi nilai hematokrit juga dapat dipengaruhi oleh ruang vaskuler darah dimana contoh darah diambil (Guyton & Hall 1997).

Gambar 7 Persentase hematokrit tikus selama percobaan. kelompok I = tanpa perlakuan (■), kelompok II = perlakuan dengan kuinin tanpa angkak (■), kelompok III = kuinin kemudian angkak dosis 0.04 g/kg bb (■), kelompok IV = kuinin kemudian angkak dosis 0.08 g/kg bb (■), dan kelompok V= angkak dosis 0.04 g/kg bb tanpa kuinin(■).

Histopatologi Hati dan Ginjal Tikus Histopatologi Hati

Pengamatan terhadap organ hati tikus setelah dinekropsi dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis. Hasil pengamatan makroskopis hati tikus akibat pemberian angkak secara oral tidak ditemukan perubahan atau kelainan secara spesifik pada kelompok kontrol dan perlakuan. Hasil pengamatan histopatologi hati pada kontrol dan kelompok perlakuan ditemukan adanya perubahan. Perubahan meliputi degenerasi dan nekrosis (kematian sel). Namun, persentase kerusakannya yang membedakan satu sama lain.

Hasil pengamatan mikroskopik sel hati dapat dilihat pada Gambar 8. Hasil pengamatan menunjukkan terdapat kongesti dan perluasan sinusoid pada interstitiumnya. Adanya kongesti dan perluasan sinusoid

mungkin dikarenakan euthanasia yang menggunakan eter. Eter merupakan bahan anestisik kuat yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah organ-organ (Ganiswara 1995). Oleh karena itu, kongesti tidak digunakan sebagai kategori dalam perubahan mikroskopik akibat perlakuan. Gambar 9 menunjukkan gambaran mikroskopik organ hati yang diberi angkak 0.04 g/kg bb dengan vena sentralis di tengahnya.

Gambar 10 menunjukkan adanya degenerasi hidropis, degenerasi lemak, dan nekrosis. Degenerasi merupakan gangguan metabolisme sel. Degenerasi sel sering diartikan sebagai kehilangan struktur normal sel sebelum kematian sel. Degenerasi hidropis merupakan suatu keadaan dimana sitoplasma sel mengandung air. Kelanjutan dari degenerasi hidropis sebelum mengalami kematian sel adalah degenerasi lemak. Degenerasi lemak melibatkan gangguan keseimbangan antara trigliserida misel dan lemak globular. Keracunan senyawa toksik yang bersifat eksperimental menyebabkan pengurangan pembebasan oksigen ke jaringan sehingga terjadi oksidasi asam lemak dan mengganggu solubilitas lemak. Kematian sel eksperimental (nekrosis) menunjukkan bahwa tidak adanya oksigen dan substrat enzim menjurus pada hilangnya fosforilasi oksidatif, ketidakmampuan mengoksidasi zat antara pada siklus Krebs, dan hilangnya kofaktor enzim (Spector 1993). Secara mikroskopik, nekrosis bersifat koagulatif yang ditandai dengan inti hepatosit berubah menjadi suram, gelap, dan terdapat inti hepatosit yang mengalami karioreksis. Karioreksis ditandai dengan penyusutan inti sel, mengecil, dan akhirnya menghilang.

Perubahan hepatosit terjadi di seluruh perlakuan termasuk kelompok normal (I). Degenerasi pada kelompok normal dapat terjadi karena lingkungan hewan coba yang tidak steril sehingga ditemukan gangguan lain yang bersifat tidak spesifik. Jika perubahan hepatosit yang tidak signifikan secara statistik maka perubahan dianggap berasal dari gangguan yang tidak spesifik seperti keadaan lingkungan yang ekstrim. Namun jika ditemukan perubahan hepatosit yang signifikan secara statistik, maka perubahan yang terjadi akibat pengaruh perlakuan. Persentase besarnya hepatosit yang mengalami lesio dapat dilihat pada Tabel 2. Kelompok II dengan perlakuan kuinin mengalami lesio hepatosit yang meliputi degenerasi hidropis, degenerasi lemak, dan nekrosis tertinggi. Kelompok V

(6)

23

mengalami lesio hepatosit terendah. Hasil uji statistik menunjukkan lesio kelompok II (kuinin) berbeda nyata (p<0.05) dengan kelompok I (normal), III (kuinin kemudian angkak dosis 0.04 g/kg bb), IV (kuinin kemudian angkak dosis 0.08 g/kg bb), dan V (angkak dosis 0.04 g/kg bb tanpa kuinin). Pemberian kuinin dapat mempengaruhi histopatologi hati. Kuinin dapat mengakibatkan kerusakan pada organ hati.

Hal ini dikarenakan sifat kuinin yang hepatotoksik pada dosis tinggi. Konsumsi kuinin secara berulang pada dosis sangat toksik dapat menyebabkan granulomatous hepatitis (Katz et al. 1983). Lesio hepatosit mengalami penurunan, yaitu pada kelompok III dan IV. Angkak memberikan pengaruh terhadap perbaikan histopatologi hati. Mekanisme bagaimana angkak dapat menurunkan lesio pada sel hati yang telah terpapar kuinin belum diketahui. Pengamatan histopatologi yang dilakukan menunjukkan angkak mampu memberikan kontribusi terhadap perbaikan histopatologi hati. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa angkak terbukti tidak memberikan dampak buruk terhadap hati (Tisnadjaja 2004). Menurut Yang et al. (2005), respon toksik tidak ditemukan pada pemberian angkak secara oral baik dosis rendah (1 g/kg bb) maupun dosis tinggi (5 g/kg bb).

Tabel 2 Pemeriksaan histopatologi hati tikus Kelompok Lesio Hepatosit (%)

I 3.56 ± 1.77a

II 37.77 ± 11.82b III 20.28 ± 8.31c

IV 13.54 ± 5.41d

V 1.57 ± 0.74a

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%.

Gambar 8 Gambaran histopatologi hati yang mengalami kongesti (►). Pewarnaan HE, perbesaran 20 x.

Gambar 9 Gambaran histopatologi jaringan hati yang diberi angkak dosis 0.04 g/kg bb tanpa kuinin (V). Pewarnaan HE, perbesaran 20 x.

Gambar 10 Gambaran histopatologi hati yang diberi kuinin (kelompok II). Lesio hepatosit berupa: degenerasi hidropis (►), degenerasi lemak (►), dan nekrosis (►). Pewarnaan HE, perbesaran 40 x.

Histopatologi Ginjal

Pengamatan terhadap organ ginjal tikus setelah dinekropsi dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis. Hasil pengamatan makroskopis ginjal tikus akibat pemberian angkak secara oral tidak ditemukan perubahan atau kelainan secara spesifik pada kelompok kontrol dan perlakuan. Hasil pengamatan histopatologi ginjal pada kontrol dan kelompok perlakuan ditemukan adanya perubahan. Perubahan meliputi degenerasi dan nekrosis (kematian sel). Namun persentase kerusakannya yang membedakan satu sama lain.

Hasil pengamatan histopatologi ginjal pada kontrol dan kelompok perlakuan ditemukan adanya perubahan. Perubahan terjadi pada tubuli dan glomerulus. Perubahan pada tubuli meliputi degenerasi hidropis, nekrosis, dan endapan protein sedangkan perubahan pada glomerulus meluputi atrofi glomerulus. Namun

(7)

24

persentase kerusakannya yang membedakan satu sama lain. Pada interstitiumnya mengalami kongesti (Gambar 11). Adanya kongesti dikarenakan euthanasia yang menggunakan eter.

Gambar 12 menunjukkan adanya degenerasi hidropis, nekrosis, dan endapan protein. Degenerasi hidropis merupakan keadaan dimana sitoplasma sel mengandung air. Pembengkakan sel ini mungkin disebabkan oleh gangguan dalam permeabilitas membran atau dalam enzim yang mengontrol transport ion, terutama mekanisme pompa natrium. Pembengkakan sel terjadi karena ion natrium mempunyai selubung hidrasi yang lebih besar daripada ion kalium (Spector 1993). Nekrosis sebagai bentuk lanjutan dari degenerasi. Nekrosis pada sel-sel epitel tubuli dapat terjadi karena adanya racun atau toksin, virus, dan kekurangan oksigen (Underwood 1992). Adanya endapan protein di lumen tubulus dipengaruhi berbagai faktor diantaranya peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus sehingga protein dapat lolos. Selain itu, menurunnya kemampuan absorbsi tubulus yang dikarenakan epitel tubulus telah mengalami degenerasi hingga nekrosis juga menjadi faktor adanya endapan protein (Carlton & McGavine 1995).

Perubahan yang terjadi pada glomerulus akibat pemberian kuinin dapat dilihat pada Gambar 13, perubahan yang terjadi berupa atrofi. Hasil perhitungan perubahan glomerulus disajikan pada Tabel 3. Uji statistik perubahan glomerulus menunjukkan ada beda nyata (p<0.05) tiap perlakuan. Atrofi, yaitu menurunnya ukuran jaringan disebabkan oleh berkurangnya jumlah sel atau berkurangnya ukuran sel (Spector 1993). Menurut Cotran, Kumar, dan Robbins (1989), atrofi ditandai dengan mengecilnya glomerulus dalam ruang Bowman sehingga ruang diantara glomerulus dan kapsula Bowman semakin melebar.

Hasil penghitungan lesio tubuli disajikan pada Tabel 4. Kelompok II dengan perlakuan kuinin mengalami lesio tubuli yang meliputi degenerasi hidropis, nekrosis, dan endapan protein tertinggi. Kelompok I mengalami lesio tubuli terendah. Hasil uji statistik menunjukkan lesio kelompok II berbeda nyata (p<0.05) dengan kelompok I, III, IV, dan V. Hasil uji statistik terhadap lesio glomerulus menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05) pada hampir semua kelompok. Sehingga dapat dikatakan perlakuan mempengaruhi lesio pada tubuli ginjal. Kuinin dapat mengakibatkan

kerusakan pada organ ginjal. Hal ini dikarenakan kuinin merupakan senyawa toksik terhadap ginjal. Efek samping yang ditemukan dengan pemberian kuinin secara berulang pada dosis toksik salah satunya gagal ginjal (Gottschall et al. 1991). Lesio baik pada tubuli maupun glomerulus mengalami penurunan, yaitu pada kelompok III dan IV. Mekanisme bagaimana angkak dapat menurunkan lesio pada sel ginjal yang telah terpapar kuinin belum diketahui.

Pengamatan histopatologi yang dilakukan menunjukkan angkak mampu memberikan kontribusi terhadap perbaikan histopatologi ginjal. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa angkak terbukti tidak memberikan dampak buruk terhadap ginjal (Tisnadjaja 2004). Menurut Yang et al. (2005), respon toksik tidak ditemukan pada pemberian angkak secara oral baik dosis rendah (1 g/kg bb) maupun dosis tinggi (5 g/kg bb). Ginjal merupakan organ sensitif terhadap senyawa xenobiotik. Tubulus proksimal merupakan bagian yang paling mudah mengalami kerusakan karena tubulus proksimal terjadi proses absorbsi dan sekresi berbagai zat. Selain itu, kadar sitokrom P-450 pada tubulus proksimal lebih tinggi untuk mendetoksifikasi atau mengaktifkan toksikan. Setiap senyawa kimia pada dasarnya bersifat racun dan kejadian keracunan dapat terjadi karena pengaruh dosis dan cara pemberian (Lu 1995).

Tabel 3 Hasil pemeriksaan histopatologi glomerulus ginjal tikus

Kelompok Atrofi glomerulus (%)

I 0.00 ± 0.00a

II 30.73 ± 24.32b

III 29.36 ± 29.41c

IV 16.07 ± 18.14d

V 6.36 ± 10.47ad

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%. Tabel 4 Hasil pemeriksaan histopatologi

tubuli ginjal tikus.

Kelompok Lesio Tubuli (%)

I 2.30 ± 3.03a

II 46.98 ± 14.98b

III 28.19 ± 17.13c

IV 16.28 ± 6.97d

V 8.09 ± 5.59a

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%.

(8)

25

Gambar 11 Gambaran histopatologi ginjal yang mengalami kongesti (►). Pewarnaan HE, perbesaran 20 x.

Gambar 12 Gambaran histopatologi ginjal yang diberi kuinin (kelompok II). Lesio tubuli berupa: degenerasi hidropis (►), nekrosis (►), dan endapan protein (►). Pewarnaan HE, perbesaran 40 x.

Gambar 13 Gambaran histopatologi ginjal yang diberi kuinin dan angkak dosis 0.04 g/kg bb (III). Lesio glomerulus berupa: atrofi glomerulus (►). Pewarnaan HE, perbesaran 20 x.

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Pemberian kuinin dapat menurunkan bobot badan hewan coba. Uji statistik menunjukkan ada beda nyata (p<0.05) penurunan bobot badan dibandingkan masa adaptasi. Pemberian angkak dapat meningkatkan bobot badan hewan coba. Uji statistik pada kelompok III, IV, dan V menunjukkan ada beda nyata (p<0.05) bobot badan tikus masa perlakuan dengan angkak.

Angkak mempengaruhi parameter hematologi berupa trombosit, eritrosit, hemoglobin, dan hematokrit. Angkak dosis 0.04 g/kg bb sudah mampu meningkatkan jumlah trombosit (p<0.05) dibandingkan masa pemberian kuinin. Angkak dapat mempertahankan jumlah eritrosit, hemoglobin, dan hematokrit pada kisaran nilai normalnya.

Organ hati dan ginjal mengalami kongesti, degenerasi hidropis, degenerasi lemak, dan nekrosis oleh kuinin dengan dosis 100 g/kg bb. Pada ginjal juga ditemukan endapan protein di lumen tubulus dan atrofi glomerulus. Angkak mampu memberikan kontribusi perbaikan pada organ hati dan ginjal dengan dosis 0.04 g/kg bb dan 0.08 g/kg bb.

Saran

Perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui interaksi antara kuinin dengan angkak serta pengaruh interaksi tersebut terhadap darah, hati, dan ginjal. Perlu dilakukan penelitian uji pigmen merah angkak dalam peranannya memicu jumlah trombosit dan mekanisme angkak dalam menormalkan jumlah trombosit, eritrosit, hemoglobin, dan hematokrit. Selain itu, agar dilakukan uji aktivitas enzim ALT, AST, dan kadar urea darah.

DAFTAR PUSTAKA

Aster RH. 1993. Quinine-sensitivity: a new cause of the hemolytic uremic. Annals of Internal Medicine 119: 243-244.

Bougie DW et al. 2006. Patients with

quinine-induced immune

thrombocytopenia have both drug-dependent and drug-specific antibodies. Blood Journal 108: 922-927.[terhubung berkala]. http://www.bloodjournal. hema

Gambar

Gambar  3  Grafik  bobot  badan  tikus  selama  adaptasi,  perlakuan  dengan  kuinin,  dan    perlakuan  dengan  angkak
Tabel 1 Rata-rata jumlah trombosit selama percobaan.  Hari ‡
Gambar  6  Kadar  hemoglobin  tikus  selama  percobaan.  kelompok  I  =  tanpa  perlakuan  (■),  kelompok  II  =  perlakuan  dengan  kuinin  tanpa  angkak  (■),  kelompok  III  =  kuinin  kemudian  angkak  dosis  0.04 g/kg bb ( ■ ), kelompok IV =  kuinin
Gambar  9  Gambaran  histopatologi  jaringan  hati  yang  diberi  angkak  dosis  0.04  g/kg  bb  tanpa  kuinin  (V)
+3

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu subjek pendukung yang tidak kalah pentingnya adalah dukungan ( support ) para pengusaha. Tanpa dukungan mereka niscaya sulit rasanya untuk

Dengan mengucapkan puji pangastuti kehadapan Tuhan Yang Maha Esa Ida Sang Hyang Widhi Wasa, atas karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan

Dalam kegiatan analisis mengenai tingkat bahaya erosi multitemporal dilakukan perhitungan melalui model USLE dengan beberapa variabel penyusunnya yaitu erosivitas

Alhamdulilah puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah mencurahkan kasih sayang serta rahmat dan ridha-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

Dari perhitungan deposit air (tabel 6.26) dapat dihitung volume efektif reservoir berdasarkan fluktuasi pemakaian air. Volume efektif = Deposit

Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) adalah semua kegiatan kurikuler yang harus dilakukan oleh mahasiswa praktikan Universitas Negeri Semarang, sebagai pelatihan

pengalaman pribadi penulis dan orang- orang disekitar penulis, ada anggapan, memotong rambut ditempat pangkas yang biasa dipinggir jalan, tidak memberikan

Laczi Renáta – Pelle Anita –Tabajdi Gabriella –Végh Marcell Zoltán (2015): Oktatás, foglalkozta- tás, szegénység és társadalmi kirekesztés Magyarországon a válság után