• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Pembangunan di bidang ekonomi ini sangat penting karena dengan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Pembangunan di bidang ekonomi ini sangat penting karena dengan"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1.1 Latar Belakang

Setiap Negara mempunyai tujuan dalam pembangunan ekonomi termasuk Indonesia. Pembangunan di bidang ekonomi ini sangat penting karena dengan meningkatnya pembangunan di bidang ekonomi maka sektor-sektor yang lain akan meningkat pula seiring dengan peningkatan pada sektor ekonomi. Dalam proses pembangunan, pemerintah daerah mempunyai peranan penting karena pemerintah daerah yang lebih tahu akan potensi dan sumber daya baik manusia dan alam yang dimiliki oleh daerahnya sendiri. Pembangunan ekonomi merupakan masalah penting dalam perekonomian suatu Negara.

Sesuai dengan amanat dalam Pembukaan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa tujuan akhir pembangunan ekonomi Indonesia adalah masyarakat adil dan makmur. Pengertian adil dan makmur sebenarnya relatif, sehingga sukar diberi batas kuantitatif. Namun demikian jelas bahwa yang dikehendaki masyarakat Indonesia adalah pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat dan hasil pertumbuhan dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat dan bukannya hanya segolongan kecil masyarakat saja.

Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang melibatkan berbagai perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosial, tingkah laku sosial, dan institusi sosial, di samping akselerasi pertumbuhan ekonomi, pemerataan ketimpangan pendapatan, serta pemberantasan kemiskinan. Maka tujuan dari pembangunan itu sendiri adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

(2)

masyarakat. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat diperlukan pertumbuhan ekonomi yang meningkat dan distribusi pendapatan yang merata. Pertumbuhan ekonomi yang cepat yang tidak diimbangi dengan pemerataan, akan menimbulkan ketimpangan wilayah.

Pada masa pemerintahan Orde Baru, proses pembangunan dilaksanakan secara sentralistis. Pemerintah pusat menempatkan dirinya sebagai penggerak utama dalam upaya akselerasi pembangunan diseluruh pelosok tanah air. Berbagai kebijakan pembangunan diputuskan secara terpusat dengan instrumen utamanya Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Sentralisasi berbagai keputusan pada pemerintah pusat semakin memperbesar inefisiensi, karena banyak proyek-proyek yang dilakukan tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh daerah.

Proses pembangunan yang sentralistik tersebut membuat ketimpangan wilayah yang sangat mencolok antara Kawasan Indonesia Barat dengan Kawasan Indonesia Timur, antara Pulau Jawa dengan Luar Pulau Jawa, bahkan di dalam Pulau Jawa sendiri ada ketimpangan wilayah antara Kota dengan Kabupaten, antara Jakarta dengan Luar Jakarta (Sjafrizal, 2008).

Setelah runtuhnya masa Orde Baru, selanjutnya dimulailah masa Otonomi Daerah dimana proses pembangunan menjadi desentralisasi. Otonomi Daerah ditandai dengan dikeluarkannya UU. No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah. Pelaksanaan kedua Undang-undang tersebut secara resmi dimulai pada tanggal 1 Januari 2001. Kedua undang-undang ini kemudian diamandemen menjadi UU No. 32 dan No. 33 tahun 2004.

(3)

Desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, khususnya dalam rangka memberikan pelayanan umum yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Desentralisasi dapat diwujudkan dengan pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan di bawahnya untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxing power), terbentuknya Dewan yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh DPRD, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari Pemerintah Pusat (Sidik, 2002).

Ketimpangan wilayah (regional disparity) tersebut, terlihat dengan adanya wilayah yang maju dangan wilayah yang terbelakang atau kurang maju. Hal ini dikarenakan tidak memperhatikan apakah pertumbuhan tersebut lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk atau perubahan struktur ekonomi. Pertumbuhan ekonomi ini diukur dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan laju pertumbuhannya atas dasar harga konstan. Ketimpangan wilayah (regional disparity) timbul dikarenakan tidak adanya pemerataan dalam pembangunan ekonomi. Ketidak merataan pembangunan ini disebabkan karena adanya perbedaan antara wilayah satu dengan lainnya.

Berkembangnya kabupaten/kota dan desentralisasi diduga akan mendorong kesenjangan antar daerah yang lebih lebar. Ketimpangan memiliki dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif dari adanya ketimpangan adalah dapat mendorong wilayah lain yang kurang maju untuk dapat bersaing dan meningkatkan pertumbuhannya guna meningkatkan kesejahteraannya. Sedangkan dampak negatif dari ketimpangan yang ekstrim antara lain inefisiensi ekonomi,

(4)

melemahkan stabilitas sosial dan solidaritas, serta ketimpangan yang tinggi pada umumnya dipandang tidak adil (Todaro, 1997).

Ketimpangan menyebabkan inefisiensi ekonomi, sebab ketimpangan yang tinggi, tingkat tabungan secara keseluruhan di dalam perekonomian cenderung rendah, karena tingkat tabungan yang tinggi biasanya ditemukan pada kelas menengah. Meskipun orang kaya dapat menabung dalam jumlah yang lebih besar, mereka biasanya menabung dalam bagian yang lebih kecil dari pendapatan mereka, dan tentunya menabung dengan bagian yang lebih kecil lagi dari pendapatan marjinal mereka (Todaro, 1997). Dampak negatif inilah yang menyebabkan ketimpangan yang tinggi menjadi salah satu masalah dalam pembangunan dalam menciptakan kesejahteraan di suatu wilayah. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator dari kesejahteraan masyarakat. Di mana ketika suatu wilayah memiliki pertumbuhan yang tinggi maka wilayah tersebut dapat dikatakan wilayah yang makmur. Simon Kuznets mengemukakan enam karakter atau ciri proses pertumbuhan ekonomi yang bias ditemui dihampir semua negara yang sekarang maju sebagai berikut (Todaro, 1997) :

1. Tingkat pertumbuhan output per kapita dan pertumbuhan penduduk yang tinggi.

2. Tingkat kenaikan produktifitas faktor total yang tinggi. 3. Tingkat transformasi struktural ekonomi yang tinggi. 4. Tingkat transformasi sosial dan ideologi yang tinggi.

5. Adanya kecenderungan negara-negara yang mulai atau yang sudah maju perekonomiannya untuk berusaha merambah bagian-bagian dunia lainnya sebagai daerah pemasaran dan sumber bahan baku yang baru.

(5)

6. Terbatasnya penyebaran pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai sepertiga bagian penduduk dunia.

Propinsi Sumatera Utara berada dibagian Barat Indonesia yang terletak pada garis 10-40 LU dan 980-1000 BT. Berdasarkan letak dan kondisi alamnya Sumatera Utara dibagi atas 3 kelompok wilayah yaitu: Wilayah Pesisir Pantai Barat, wilayah Pantai Timur dan wilayah pegunungan. Masyarakat pesisir pantai diSumatera Utara merupakan masyarakat yang jumlahnya tidak sedikit. Jumlah masyarakat yang mendiami daerah pesisir tersebut yang cukup besar menjadi suatu masalah karena daerah tersebut menjadi kantung-kantung kemiskinan di Sumatera Utara. Pesisir timur merupakan wilayah di dalam propinsi yang paling pesat perkembangannya karena persyaratan infrastruktur yang relatif lebih lengkap daripada wilayah lainnya. Wilayah pesisir timur juga merupakan wilayah yang relatif padat konsentrasi penduduknya dibandingkan wilayah lainnya.

Propinsi Sumatera Utara memiliki latar belakang perbedaan antar wilayah. Perbedaan ini berupa perbedaan karakteristik alam, sosial, ekonomi, dan sumber daya alam yang penyebarannya berbeda disetiap propinsi. Perbedaan tersebut menjadi hambatan dalam pemerataan pembangunan ekonomi dikarenakan terkonsentrasinya suatu kegiatan perekonomian yang berdampak meningkatnya pertumbuhan ekonomi dibeberapa propinsi atau wilayah yang memiliki sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan alam yang dimiliki seharusnya dapat menjadikan nilai tambah dalam meningkatkan pembangunan ekonomi. Kelebihan yang dimiliki tesebut diharapkan memberikan dampak menyebar (spread effect). Hanya saja kekayaan alam ini tidak dimiliki oleh seluruh kabupaten/kota secara

(6)

merata. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab timbulnya ketimpangan atau kesenjangan antar daerah.

Salah satu indikator untuk menunjukkan tingkat kemakmuran suatu daerah adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) baik Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) maupun Atas Dasar Harga Konstan. Propinsi Sumatera Utara merupakan propinsi yang memiliki PDRB atas harga berlaku terbesar kedua di Pulau Sumatera setelah Propinsi Riau. PDRB atas harga berlaku Propinsi Sumatera Utara dari tahun 2009-2013 terus mengalami peningkatan, dimana pada tahun 2009 nilai PDRB mencapai 236.353,62 milyar rupiah dan terus meningkat hingga tahun 2013 mencapai 403.933,05 milyar rupiah.

Tabel 1.1. PDRB ADHB di Pulau Sumatera 2009-2013 (Milyar rupiah)

Propinsi 2009 2010 2011 2012 2013 1. Aceh 71.986,95 79.145,28 87.530,42 95.074,22 103.04,.56 2. Sumatera Utara 236.353,62 275.056,51 314.372,44 351.090,36 403.933,05 3. Sumatera Barat 76.752,94 87.226,62 98.966,99 110.179,65 127.099,95 4. Riau 297.173,03 345.773,81 413.706,12 469.073,02 522.241,43 5. Jambi 44.127,01 53.857,69 63.409,98 72.634,07 85.558,31 6. Sumatera Selatan 137.331,85 157.735,04 182.390,49 206.297,63 231.683,04 7. Bengkulu 16.385,36 18.600,12 21.241,86 24.119,36 27.388,25 8. Lampung 88.934,86 108.404,27 127.908,26 144.639,48 164.393,43 9. Kep. Bangka Belitung 22.997,90 26.712,97 30.483,95 34.458,59 38.934,84 10. Kepulauan Riau 63.892,94 71.614,51 80.237,79 90.568,21 100.310,42 Sumatera 1.055.936,45 1.224.126,82 1.420.248,30 1.598.134,61 1.804.588,26 Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sumatera Utara

Perekonomian Propinsi Sumatera Utara juga dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi yang merupakan salah satu indikator sangat penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu

(7)

2008 2009 2010 2011 2012 2013 Sumatera Utara 6,39 5,09 6,35 6,63 6,22 6,01 Nasional 6,06 4,63 6,22 6,49 6,23 5,78 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 Pe rt um bu ha n E ko no m i %

daerah. Pertumbuhan ekonomi Propinsi Sumatera Utara tahun 2008-2013 mengalami fluktuatif dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 6,11 persen. Selama periode tersebut, rata-rata angka pertumbuhan ekonomi Propinsi Sumatera Utara selalu berada di atas angka pertumbuhan ekonomi Nasional, kecuali pada tahun 2012 pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara sebesar 6,22% dibawah perumbuhan ekonomi Nasional sebesar 6,23% dan turun kembali pada tahun 2013 sebesar 6,01%, akan tetapi masih diatas rata-rata pertumbuhan ekonomi Nasional sebesar 5,78%.

Gambar 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Propinsi Sumatera Utara dan Nasional Tahun 2008-2013

Perkembangan PDRB perkapita diwilayah Pesisir Pantai Barat dan Pesisir Pantai Timur dapat dilihat pada tabel 1.2. PDRB masing-masing kabupaten/kota terus mengalami peningkatan dari tahun ketahun. Pada tahun 2013 Kota Medan memiliki PDRB yang tertinggi sebesar Rp. 21.392.243 dan PDRB terendah berada diKabupaten Nias Barat sebesar Rp. 3.417.124.

(8)

Tabel 1.2 Perkembangan PDRB Perkapita Wilayah Pantai Barat Dan Pantai Timur di Sumatera Utara atas dasar Harga Konstan.

Wilayah Kabupaten/Kota 2010 2011 2012 2013

Pantai Barat

Kab. Nias 3.887.995 4.114.291 4.362.338 4.587.471 Kab. Mandailing Natal 5.017.866 5.289.454 5.598.362 5.806.692 Kab. Tapanuli Selatan 6.761.855 7.054.246 7.372.397 7.743.887 Kab. Tapanuli Tengah 3.850.869 4.054.842 4.247.764 4.312.886 Kab. Nias Utara 3.851.851 4.071.108 4.251.354 4.474.675 Kab. Nias Barat 3.106.083 3.285.312 3.441.874 3.417.124 Kab. Nias Selatan 4.251.105 4.399.593 4.627.730 4.744.116 Kota Sibolga 8.759.806 9.120.584 9.542.938 10.102.079 Kab. Padang Lawas Utara 3.479.380 3.710.435 3.887.968 3.907.699 Kab. Palas 3.356.540 3.510.898 3.665.380 3.665.529 Kota Padang Sidempuan 4.887.204 5.126.794 5.295.987 5.503.751 Kota Gunung Sitoli 6.877.659 7.254.352 7.652.430 7.892.374

Pantai Timur

Kota Tanjung Balai 9.043.279 9.394.860 9.782.507 9.892.215 Kab. Deli Serdang 8.107.952 8.515.516 8.843.683 9.488.691 Kab. Langkat 7.452.508 7.809.889 8.249.329 8.552.669 Kota Tebing Tinggi 8.024.751 8.481.007 8.981.782 9.299.796 Kota Medan 17.077.622 18.220.195 19.651.288 19.949.516 Kota Binjai 8.209.884 8.644.670 9.127.004 9.402.747 Kota Labuhan Batu 7.857.113 8.229.694 8.616.226 8.722.119 Kab. Labuhan Batu Utara 9.565.185 10.065.377 10.654.210 11.053.379 Kab. Serdang Bedagai 7.663.966 8.039.104 8.463.565 8.970.803 Kab. Batu Bara 19.672.216 20.485.047 21.288.665 21.392.243 Kab. Asahan 8.065.320 8.420.068 8.844.690 9.159.762 Kab. Labuhan Batu

Selatan 10.216.170 10.737.944 11.235.828 11.296.408 Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sumatera Utara

Isu kesenjangan ekonomi antar daerah di Indonesia ini sudah menjadi kajian menarik karena menyangkut kepentingan Negara dan bangsa, yakni: stabilitas politik, ekonomi, dan sosial, utamanya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Saat ini isu tersebut masih relevan karena permasalahan kesenjangan/ketimpangan ekonomi antar daerah belum terpecahkan secara memuaskan, disamping berkembangnya dinamika spasial. Pembangunan dalam lingkup negara secara spasial tidak selalu merata. Perbedaan kemajuan antar

(9)

daerah yang berlebihan tentu akan meyebabkan pengaruh yang merugikan (Backwash Effect) mendominasi pengaruh yang menguntungkan (spread effect) terhadap pertumbuhan daerah, dalam hal ini mengakibatkan proses ketidakseimbangan.

Secara alamiah ketimpangan pembangunan antar daerah terjadi sebagai konsekuensi dari latar belakang perbedaan antar wilayah. Perbedaan itu berupa perbedaan karakteristik alam, sosial, ekonomi, dan sumber daya alam yang penyebarannya berbeda di setiap wilayah. Perbedaan tersebut menjadi penghambat dalam pemerataan pembangunan ekonomi dikarenakan terkonsentrasinya suatu kegiatan perekonomian yang berdampak meningkatnya pertumbuhan ekonomi di beberapa wilayah/daerah yang memiliki sumber daya alam yang melimpah.

Kelebihan kekayaan alam yang dimiliki diharapkan memberi dampak menyebar (spread effect). Hanya saja kekayaan alam ini tidak dimiliki oleh seluruh wilayah secara merata di Indonesia. Disamping itu juga adanya ketimpangan redistribusi pembagian pendapatan dari pemerintah pusat atau propinsi ke daerah (Kuncoro,2004). Hal inilah yang meyebabkan terjadinya ketimpangan atau kesenjanagan antar daerah. Namun demikian, kondisi tersebut tidak dapat digunakan sebagai pembenaran untuk membiarkan ketimpangan ekonomi antar daerah semakin melebar.

Untuk itu perhatian pemerintah harus tertuju pada semua daerah tanpa ada perlakuan khusus pada daerah tertentu saja. Namun hasil pembangunan terkadang masih dirasakan belum merata dan masih terdapat kesenjangan antar daerah. Hal yang terpenting dalam pembangunan daerah adalah bahwa daerah tersebut mampu

(10)

mengidentifikasi setiap potensi sektor-sektor potensial yang dimilikinya, kemudian menganalisisnya untuk membuat sektor-sektor tersebut memiliki nilai tambah bagi pembangunan ekonomi daerah. Tujuan utamanya adalah meningkatkan kesejahteraan penduduknya, sehingga salah satu upaya yang dilakukan yaitu melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi. Indikator keberhasilan pembangunan suatu daerah bisa dilihat laju pertumbuhan ekonominya. Oleh sebab itu, setiap daerah selalu menetapkan target laju pertumbuhan yang tinggi didalam perencanaan dan tujuan pembangunan daerahnya. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan kondisi utama bagi kelangsungan pembangunan ekonomi.

Pertumbuhan PDB yang cepat tidak secara otomatis meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Dengan kata lain bahwa apa yang disebut dengan “Trickle Down Effects” atau efek cucuran kebawah dari manfaat pertumbuhan ekonomi bagi penduduk miskin tidak terjadi seperti apa yang diharapkan bahkan berjalan cenderung sangat lambat. Selama proses awal pembangunan terjadi suatu dilema yaitu antara pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan distribusi pendapatan, ini menjadi masalah yang telah lama dan harus dihadapi oleh negara-negara miskin dan berkembang. Trade off atau pertukaran antara pertumbuhan ekonomi dengan distribusi pendapatan dimasing-masing daerah selalu terjadi. Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis merasa tertarik untuk menganalisis ketimpangan didaerah Kabupaten/kota di Pesisir Pantai Barat dan Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara dengan judul “Analisis Ketimpangan Wilayah Di Pesisir Pantai Barat Dan Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara”.

(11)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah terjadi ketimpangan wilayah antara kabupaten/kota Pesisir Pantai Barat dan Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara?

2. Sektor-sektor ekonomi unggulan (potensi ekonomi) apakah yang dapat menunjang pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di kabupaten/kota Pesisir Pantai Barat dan Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara?

3. Bagaimana pengaruh jumlah penduduk terhadap ketimpangan wilayah diwilayahPesisir Pantai Barat dan Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara?

4. Bagaimana pengaruh PDRB terhadap ketimpangan wilayah diwilayah Pesisir

Pantai Barat dan Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara?

5. Bagaimana pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap ketimpangan wilayah

diwilayah Pesisir Pantai Barat dan Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara?

6. Bagaimana pengaruh aglomerasi terhadap ketimpangan wilayah diwilayah

Pesisir Pantai Barat dan Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang dan perumusan masalah diatas maka tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menganalisis ketimpangan pembangunan yang terjadi antara kabupaten/kota Pesisir Pantai Barat dan Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara.

(12)

2. Menganalisis dan mengetahui sektor-sektor ekonomi unggulan (potensi ekonomi) yang ada di kabupaten/kota Pesisir Pantai Barat dan Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara.

3. Untuk mengetahui pengaruh jumlah penduduk terhadap ketimpangan wilayah diwilayah Pesisir Pantai Barat dan Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara? 4. Untuk mengetahui pengaruh PDRB terhadap ketimpangan wilayah diwilayah

Pesisir Pantai Barat dan Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara.

5. Untuk mengetahui pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap ketimpangan wilayah diwilayah Pesisir Pantai Barat dan Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara.

6. Untuk mengetahui pengaruh aglomerasi terhadap ketimpangan wilayah di wilayah Pesisir Pantai Barat dan Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Untuk pemerintah

a. Mengevaluasi arah kebijakan ekonomi pemerintah daerah, terutama dalam rangka perencanaan ekonomi makro regional khususnya kabupaten/Kota Pesisir Pantai Barat dan Pesisir Pantai Timur.

b. Sebagai bahan informasi dan pertimbangan bagi pemerintah daerah untuk penetapan kebijakan yang akan datang yang berkaitan dengan pembangunan regional khususnya Kabupaten/Kota Pesisir Pantai Barat dan Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara.

(13)

2. Untuk akademisi sebagai bahan penelitian berikutnya yang terkait.

3. Untuk penulis sebagai pengembangan dan pelatihan diri dalam menerapkan ilmu pengetahuan yang diperoleh, sehingga dari pengetahuan-pengetahuan yang penulis peroleh dalam penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan dalam kegiatan penulis selanjutnya..

Gambar

Tabel 1.1. PDRB ADHB di Pulau Sumatera 2009-2013 (Milyar rupiah)
Gambar 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Propinsi Sumatera Utara dan Nasional  Tahun 2008-2013
Tabel 1.2 Perkembangan PDRB Perkapita Wilayah Pantai Barat Dan Pantai  Timur di Sumatera Utara atas dasar Harga Konstan

Referensi

Dokumen terkait

Namun terdapat satu hal yang harus diperhatikan yaitu pada saat kita mengimplementasikan interface turunan, kita juga harus mengimplementasikan semua method yang

Kemajuan yang dicapai pada masa al walid itu, telah mrmberi dukungan besar untuk  Kemajuan yang dicapai pada masa al walid itu, telah mrmberi dukungan besar untuk 

sekali dibaca dibaca oleh oleh setiap setiap muslim muslim agar agar diberi diberi keturunan keturunan yang yang

Maka, rasanya kita tidak perlu menjadi heran, bila ada perbedaan dalam menyembah Tian yang sama itu, dan yang lebih penting lagi untuk tidak berusaha terus

Pada lokasi 1 dengan ukuran kernel 13x13, diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa homogeneity dan entropy memiliki kemampuan yang paling baik dalam memisahkan kelas

Hukum rakyat dalam hal ini adalah hukum yang pada prinsipnya tidak berasal dari negara, yaitu hukum adat, hukum agama, kebiasaan-kebiasaan atau kesepakatan dan konvensi

Bahwa Setelah kedua pasangan calon melakukan perbaikan syarat calon dan pencalonan dari tanggal 6 September sampai dengan 10 September 2015, pada hari Kamis

Nilai bobot biji per tanarnan tertinggi untuk kedua varietas temyata tidak diperoleh dari perlakuan yang menghasilkan bobot kering bintil akar dan kandungan N daun