DISTRIBUSI DAN POLA PERTUMBUHAN UDANG PUTIH
Penaeus Merguiensis de Man DI PERAIRAN ESTUARI
SUAKA MARGASATWA KARANG GADING
SUMATERA UTARA
Distribution and Growth Pattern of White Shrimp Penaeus merguiensis de Man in Estuary of
Wildlife Reserve Karang Gading North Sumatra
Audya Rahman1), Miswar Budi Mulya2), Yunasfi3)
1Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera
Utara, Medan, Indonesia 20155 Email : audyarahman@gmail.com
2Staff Pengajar Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia 20155
3Staff Pengajar Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan,
Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia 20155
ABSTRACT
White shrimp Penaeus merguiensis de Man belonging to family of Penaeidae and the tribe of
Decapoda. White shrimp are found in estuary waters of Karang Gading Wildlife North Sumatra. At the present, data about the presence of white shrimp in the waters of the estuary Wildlife Karang Gading North Sumatra have not been obtained, both of which include the abundance and growth patterns, so it is necessary to study. This study aims to determine the distribution and growth patterns of white shrimp in the waters of the estuary Wildlife Karang Gading North Sumatra. Sampling the white prawns done in May-June 2015 on estuary waters Karang Gading Wildlife North Sumatra use purse seine mini made of nylon material polifilamen, with a length of 10 m and a diameter of 3 m mouth opening. Sampling white shrimp is done every 21 days beginning at 08.00 am - 18.00 pm. At each sampling a one-time withdrawal mini purse seine along the 10 m at each station, so that the possibility of damage to the ecosystem of the study sites can be minimized. White shrimp were obtained at each station calculated the number of individuals, measured carapace length and body weight of shrimp, then performed the analysis includes the abundance, distribution, pattern of growth and condition factor. Measurement of physical-chemical parameters of water which include water temperature, water depth, water clarity, flow velocity, water pH, dissolved oxygen and salinity of water in the field at each station with three repetitions before sampling white shrimp. Especially for BOD5 and substrate fraction measurements performed in Agronomi laboratorium of Agriculture Faculty, North Sumatra University. The study concluded that the distribution of white shrimp in the waters of the estuary Wildlife Karang Gading belongs to the group distribution pattern. The growth pattern of white shrimp at stations 1 and 2 estuary waters of Karang Gading Wildlife Reserve is a positive allometric, while at station 3 is negative allometric. The condition factor of white shrimp in each station morphology have good plumpness
PENDAHULUAN
Udang putih (Penaeus merguiensis
de Man) termasuk ke dalam famili Penaeidae dan suku Decapoda. Udang ini banyak ditemukan hampir di seluruh perairan Indonesia, mulai dari daerah estuari atau muara sungai sampai perairan laut. Udang putih dalam perdagangan
internasional dikenal dengan nama white
shrimp atau banana prawn. Di Indonesia, udang ini dikenal sebagai udang jerbung, sedangkan di Sumatera Utara udang putih lebih dikenal dengan nama udang kelong
(Mulya dkk. 2011). Udang putih Penaeus
merguiensis de Man juga banyak ditemukan di perairan estuari Suaka Margasatwa Karang Gading. Perairan estuari Suaka Magsatwa Karang Gading merupakan salah satu perairan yang terletak di pesisir timur Sumatera Utara. Masyarakat yang tinggal di sekitar
kawasan Suaka Margasatwa Karang
Gading umumnya bermata pencaharian sebagai nelayan tradisional dan banyak menangkap udang putih di perairan estuari tersebut. Sampai saat ini belum didapatkan data mengenai keberadaan udang putih di perairan estuari Suaka Margasatwa Karang Gading Sumatera Utara, baik yang
mencakup kelimpahan maupun pola
pertumbuhannya, sehingga perlu dilakukan penelitian.
Rumusan Masalah
Pada saat ini di perairan estuari Suaka Margasatwa Karang Gading banyak dijumpai aktifitas penangkapan udang putih secara terus menerus oleh nelayan. Aktivitas penangkapan terhadap biota ini terkadang dilakukan menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan
(pukat cincin mini), sehingga
menyebabkan udang putih dari berbagai ukuran (kecil maupun dewasa) banyak yang tertangkap. Hal ini dikhawatirkan dapat berpengaruh terhadap kelimpahan dan pertumbuhan udang putih di perairan
ini. Berdasarkan hal tersebut dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana distribusi Udang Putih di
perairan estuari Suaka Margasatwa Karang Gading Sumatera Utara?
2. Bagaimana pola pertumbuhan dan
faktor kondisi Udang Putih di perairan estuari Suaka Margasatwa Karang Gading Sumatera Utara?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis distribusi Udang Putih
di perairan estuari Suaka Margasatwa Karang Gading Sumatera Utara.
2. Menganalisis pola pertumbuhan dan
faktor kondisi Udang Putih
melalui analisis hubungan panjang berat.
Manfaat Penelitian
1. Tersedianya data kelimpahan dan
distribusi Udang di perairan estuari Suaka Margasatwa Karang Gading Sumatera Utara
2. Tersedianya data pola pertumbuhan dan
faktor kondisi Udang Putih
di perairan estuari Suaka Margasatwa
Karang Gading Sumatera Utara,
sehingga dapat dijadikan sebagai data dasar dalam upaya pengelolaan biota ini di perairan tersebut.
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juni 2015. Lokasi pengambilan sampel udang dilakukan di perairan estuari Suaka Matgasatwa Karang Gading Sumatera Utara (Gambar 1). Analisis sampel udang dilakukan di Laboratorium Agronomi Fakultas Petanian Universitas Sumatera Utara.
Gambar 1. Peta Lokasi Pengambilan
Sampel
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pukat cincin mini,
refraktometer, termometer Hg, pH meter,
sechi disk, timbangan analitik, tali
penduga, cool box, jangka sorong, Global
Positioning System, mikroskop binokuler dan meteran gulung.
Bahan yang digunakan adalah
alkohol 96%, batu es, dan wadah sampel
Pengukuran Parameter Fisika Kimia
Pengukuran parameter fisika-kimia air yang mencakup suhu air, kedalaman air, kecerahan air, kecepatan arus, pH air, oksigen terlarut, dan salinitas air dilakukan langsung di lapangan pada tiap stasiun dengan tiga kali pengulangan sebelum pengambilan sampel udang putih. Khusus
untuk BOD5 dan fraksi substrat
pengukuran dilakukan di laboratorium
Pengambilan Sampel Udang Putih
Pengambilan sampel udang putih
dilakukan di perairan estuari Suaka
Margasatwa Karang Gading berdasarkan
zona alami dan zona pemanfaatan,
menggunakan pukat cincin mini yang terbuat dari bahan nilon polifilamen dengan panjang 10 m dengan diameter bukaan mulut 3 m. Pengambilan sampel udang putih dilakukan setiap 21 hari sekali mulai jam 08.00 WIB sampai dengan 18.00 WIB pada saat pasang dengan cara menarik pukat cincin mini menggunakan
perahu motor 10 GT (mengikuti kebiasaan nelayan setempat). Pada setiap sampling di setiap stasiun hanya dilakukan satu kali penarikan pukat cincin mini sepanjang 10 m sehingga kemungkinan kerusakan ekosistem di lokasi penelitian dapat diminimalisir.
Analisis Data
Kelimpahan Udang Putih
Kelimpahan udang putih dianalisis menggunakan persamaan menurut Brower
dkk., (1990) sebagai berikut: A ni N n i
1 Keterangan:N = kelimpahan udang putih (ind/m2)
ni = jumlah individu udang putih
A = luas bukaan mulut pukat cincin mini
(7,065 m2)
Distribusi Udang Putih
Distribusi udang putih dianalisis berdasarkan Indeks distribusi Morista (Bengen, 1998) dengan persamaan sebagai berikut:
1 1 2 i i i n i i N N N x n Id Keterangan:Id = Indeks distribusi Morista
n = banyaknya plot (3 plot)
Ni = jumlah total individu
xi2 = jumlah kuadrat individu
Pola Pertumbuhan
Pola pertumbuhan udang putih
dinalisis dengan melihat hubungan
panjang berat melalui analisis regresi linier (Sparre dan Venema, 1999).
W= a Lb atau Ln W = Ln a + b Ln L
Keterangan:
W = bobot basah (g)
L = lebar karapas
Faktor Kondisi Udang Putih
Keadaan yang menyatakan
kemontokan udang putih dengan angka dinamakan faktor kondisi atau ponderal indeks. Analisis faktor kondisi dilakukan menggunakan persamaam menurut Lagler (1961) diacu oleh Saputra (2005) sebagai berikut. b
aL
W
K
Keterangan:W = berat udang putih (g)
L = panjang karapas (cm)
a dan b = konstanta
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil
Parameter Fisika Kimia Air
Hasil pengukuran parameter fisika kimia air di tiap stasiun dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai Parameter Fisika Kimia Air pada Tiap Stasiun
St Sh A Ked Kcr A Kec A Sal pH DO BOD5
(°C) (m) (cm) (m/det) (‰) Air (mg/l) (mg/l) 1 30,1 4,13 49 0,17 31 7,1 4,45 0,6 2 30 1,55 30,5 0,08 30 6,3 4 0,65 3 30,5 3,37 92 0,11 29 5,9 3,85 0,8
Hasil pengukuran suhu air pada tiap stasiun mendapatkan nilai berkisar antara 30°C-30,5°C. Suhu air tertinggi dijumpai pada stasiun 3 sebesar 30,5°C, diikuti staiun 1 sebesar 30,1°C, dan terendah pada
stasiun 2 sebesar 30°C. Kedalaman air di
tiap stasiun berkisar antara 1,55 m-4,13 m. Kedalaman air tertinggi dijumpai pada stasiun 1 sebesar 4,13 m, diikuti stasiun 3 sebesar 3,37 m, dan terendah pada stasiun
2 sebesar 1,55 m. Kecerahan air
menunjukkan nilai yang berkisar antara 30,5 cm–92 cm. Kecerahan air tertinggi dijumpai pada stasiun 3 sebesar 92 cm, diikuti stasiun 1 sebesar 49 cm, dan terendah pada stasiun 2 sebesar 30,5 cm. Kecepatan arus di tiap stasiun berkisar antara 0,08 m/detik – 0,17 m/detik. Kecepatan arus tertinggi dijumpai pada stasiun 1 sebesar 0,17 m/detik, diikuti
stasiun 3 sebesar 0,11 m/detik, dan stasiun 2 sebesar 0,08 m/detik. Salinitas air berkisar antara 29‰-31‰. Nilai salinitas air tertinggi dijumpai pada stasiun 1 sebesar 31‰, diikuti stasiun 2 sebesar 30‰, dan terendah pada stasiun 3 sebesar 29‰. pH air mendapatkan nilai berkisar antara 5,9-7,1. Nilai pH air tertinggi dijumpai pada stasiun 1 sebesar 7,1 diikuti stasiun 2 sebesar 6,3 dan terendah stasiun 3 sebesar 5,9. Kandungan oksigen terlarut pada tiap stasiun berkisar antara 3,85 mg/l - 4.45 mg/l. Nilai tertinggi dijumpai pada stasiun 1 sebesar 4,,45 mg/l, diikuti stasiun 2 sebesar 4 mg/l, dan terendah pada
stasiun 3 sebesar 3,85 mg/l. Nilai BOD5
berkisar antara 0,6 mg/l - 0,8 mg/l. Nilai tertinggi dijumpai pada stasiun 3 sebesar 0,8 mg/l, diikuti stasiun 2 sebesar 0,65 mg/l, dan terendah pada stasiun 1 sebesar 0,6 mg/l.
Hasil analisis fraksi substrat perairan pada tiap stasiun mendapatkan nilai yang bervariasi (Gambar 2). Hasil analisis menunjukkan fraksi pasir mendominasi pada tiap stasiun dengan nilai masing-masing sebesar 57,84% (stasiun 1), 51,84% (stasiun 2), dan 69,84%.
Gambar 2. Nilai Fraksi Substrat (%) pada Tiap Stasiun
Kelimpahan Udang Putih
Hasil penelitian mendapatkan
kelimpahan udang putih memiliki nilai yang bervariasi pada tiap stasiun, seperti terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Kelimpahan Udang Putih
(ind/m2) pada Tiap Stasiun
Hasil peneitian mendapatkan nilai kelimpahan udang putih tertinggi dijumpai
di stasiun 2 sebesar 12,17 ind/m2, diikuti
stasiun 1 sebesar 9,76 indm2, dan terendah
di stasiun 3 sebesar 2,55 ind/m2.
Distribusi Udang Putih
Distribusi udang putih pada tiap stasiun yang dianalisis menggunakan Indeks distribusi morisita (Bengen, 1998) dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Indeks Distribusi Udang Putih pada Tiap Stasiun
Stasiun
1 2 3
Jumlah individu 69 86 18
Id 2,0 2,0 2,0
Pola Pertumbuhan Udang Putih
Sampel udang yang digunakan pada tiap stasiun masing-masing sebanyak 69 ekor dengan ukuran panjang karapas berkisar antara 4,7 cm - 12,3 cm dan berat berkisar antara 0,6 g – 11,0 g (stasiun 1), 86 ekor dengan ukuran panjang karapas berkisar antara 3,5 cm - 13,7 cm dan berat berkisar antara 0,6 g – 15,8 g (stasiun 2), dan 18 ekor dengan ukuran panjang karapas berkisar antara 3,2 cm - 11,7 cm dan berat berkisar antara 0,6 g – 9,0 g (stasiun 3). Hasil analisis hubungan panjang berat udang putih dapat dilihat
pada Gambar 4.
Gambar 4. Hubungan Panjang Berat Udang Putih pada Tiap Stasiun
Hasil analisis hubungan panjang berat udang putih pada tiap stasiun memperlihatkan pada stasiun 1 memiliki persamaan: Log W = 0,005 + 3,044 log L
atau dalam bentuk eksponensial:
W = 0,005L3,044 dengan nilai koefisien
determinasi (R2) = 0,976. Stasiun 2
memiliki persamaan Log W = 0,004 +
3,139 log L atau dalam bentuk
eksponensial: W = 0,004L3,139 dengan nilai
koefisien determinasi (R2) = 0,959., dan
Stasiun 3 memiliki persamaan
Stasiun 1
Stasiun 2
Log W = 0,021 + 2,394 log L atau dalam
bentuk eksponensialnya: W = 0,021L2,394
dengan nilai koefisien determinasi
(R2) = 0,939. Nilai b menggambarkan pola
pertumbuhan udang putih, sedangkan keeratan hubungan antara panjang karapas udang putih dan bobot tubuhnya dapat
diketahui melalui nilai koefisien
determinasi (R2), sehingga melalui
persamaan tersebut dapat ditentukan
apakah individu dari populasi udang putih pada kawasan ini dapat diduga bobot
tubuhnya melalui ukuran panjang
karapasnya.
Faktor Kondisi Udang Putih
Hasil pengukuran faktor kondisi
udang putih pada tiap stasiun
menunjukkan nilai berkisar antara 1,0057 – 1,0244, seperti terlihat pada Tabel 3. Tabel 4. Faktor Kondisi Udang Putih pada
Tiap Stasiun
Stasiun
1 2 3
FK 1,0057 1,0142 1,0244
g badannya agak pipih berkisar antara 2 – 4, sedangkan pada ikan yang kurang pipih antara 1 – 2.
Pembahasan
Parameter Fisik Kimia Air Suhu Air
Suhu merupakan salah satu faktor pembatas dalam perairan dan berperan penting dalam proses metabolisme udang putih. Tingginya suhu air pada stasiun 3 disebabkan adanya perbedaan waktu pengukuran. Pengukuran suhu air di stasiun 3 dilakukan menjelang tengah hari (sekitar pukul 11.00 WIB), sehingga intensitas cahaya matahari yang masuk ke kolom air juga sedikit lebih tinggi
dibanding stasiun lainnya, dan
berpengaruh terhadap kondisi suhu
perairannya. Officer (1976) diacu oleh
Azis (2007) menyatakan suhu air dipengaruhi oleh tingginya penyinaran matahari yang masuk ke kolom air.
Hasil penelitian menunjukkan suhu di perairan estuari Suaka Margsatwa Karang Gading masih dalam batas toleransi untuk kehidupan udang putih. Hal ini sesuai dengan penyataan Naamin (1984) yang menyatakan bahwa udang putih masih dapat hidup pada suhu 10°C-36°C. Peningkatan suhu perairan dapat
menyebabkan peningkatan kecepatan
metabolisme dan respirasi yang akan
mengakibatkan peningkatan konsumsi
oksigen. Selanjutnya Tung dkk (2002) menyatakan suhu air di bawah 20°C akan menghambat pertumbuhan udang putih
Kedalaman Air
Hasil penelitian mendapatkan bahwa stasiun 2 memiliki kedalaman yang lebih
rendah dibanding stasiun lainnya.
Rendahnya kedalaman air pada stasiun 2 disebabkan stasiun ini merupakan daerah yang berada di areal perkebunan kelapa sawit. Pada stasiun ini masih dijumpai adanya penggunaan alat berat (belko) untuk kegiatan penanaman sawit, sehingga kemungkinan masuknya guguran tanah perkebunan ke kolom air diduga sebagai salah satu penyebab lebih dangkalnya perairan di stasiun ini.
Kecerahan Air
Kecerahan air pada tiap stasiun berkisar antara 30,5 cm - 92 cm. Kondisi ini menggambarkan perairan estuari Suaka Margasatwa Karang Gading relatif keruh. Hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 (2004) tentang baku mutu air laut untuk biota laut, yang menyatakan bahwa nilai baku mutu untuk kecerahan air laut adalah > 3 m. Bila kecerahan air < 3 m maka perairan tersebut dapat dikategorikan keruh. Perairan yang relatif keruh sangat mendukung kehidupan udang putih.
Kecepatan Arus
Tingginya kecepatan arus pada stasiun 1 disebabkan kondisi topografi sungai yang sedikit membelok sehingga menyebabkan arusnya lebih cepat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Barus (2004) yang menyatakan pada alur sungai yang
membelok kecepatan arus paling tinggi akan dijumpai pada bagian luar pinggir sungai. Hasil penelitian juga menunjukkan kecepatan arus di perairan estuari Suaka Margastwa Karang Gading tergolong relatif tenang dan sangat baik bagi kehidupan udang putih. Dall dkk. (1990) menyatakan arus yang cukup tenang sangat disukai oleh udang putih. Bila kecepatan arus lemah, udang putih banyak melakukan aktifitas mencari makan untuk
pertumbuhannya, sedangkan jika
kecepatan arus cukup kuat udang putih
akan membenamkan diri di substrat dasar.
Salinitas Air
Hasil penelitian menunjukkan nilai salinitas air di perairan estuari Suaka Margasatwa Karang Gading masih dalam
kisaran toleransi untuk mendukung
kehidupan udang putih. Boyd dan Fast (1992) menyatakan udang dapat hidup dan tumbuh dengan baik pada perairan dengan kisaran salinitas antara 15‰ - 30‰.
Salinitas yang terlalu tinggi dapat
menyebabkan laju pertumbuhan udang menurun.
pH Air
Derajat keasaman atau pH berperan dalam mendukung pertumbuhan udang. Hasil penelitian mendapatkan stasiun 3 memiliki nilai pH yang rendah dengan nilai 5,9. Rendahnya nilai pH air pada stasiun 3 disebabkan stasiun ini memiliki salinitas cukup rendah, sehingga kondisi perairannya sedikit lebih asam dibanding stasiun lainnya. Hasil penelitian secara keseluruhan menunjukkan nilai pH air pada tiap stasiun masih dalam kisaran toleransi untuk mendukung kehidupan udang putih. Hal ini sesuai dengan pendapat Sumeru dan Anna (2010) yang
menyatakan pH air optimal untuk
pertumbuhan udang putih berkisar antara 5,9-8. Nilai pH air yang terlalu rendah
dapat menyebabkan kandungan CaCO3
pada kulit udang akan berkurang, sehingga
konsumsi oksigen akan meningkat,
permeabilitas tubuh menurun dan insang udang akan mengalami kerusakan.
DO (Disolved Oxygen)
Hasil penelitian mendapatkan stasiun 3 memiliki niai kandungan oksigen terlarut lebih rendah dibanding stasiun lainnya. Rendahnya kandungan oksigen terlarut pada stasiun 3 disebabkan stasiun ini memiliki suhu perairan yang cukup tinggi dibanding stasiun lainnya. Tingginya suhu perairan dapat menyebabkan rendahnya kandungan oksigen terlarut. Boyd dan
Fast (1992) menyatakan kandungan
oksigen terlarut di perairan akan
mengalami penurunan jika suhu perairan tinggi. Hal ini disebabkan biota perairan akan lebih aktif bergerak, sehingga memerlukan lebih banyak oksigen dalam
perairan. Peningkatan suhu perairan
sebesar 10○C akan menyebabkan
terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2-3 kali lipat.
Hasil penelitian secara keseluruhan menunjukkan nilai oksigen terlarut di perairan estuari Suaka Margasatwa Karang Gading masih dalam batas toleransi untuk kehidupan udang putih. Hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 2 (1988) tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan yang menyatakan bahwa kandungan oksigen terlarut yang diperbolehkan untuk badan air golongan C (perikanan) adalah lebih besar dari 3 mg/l. Boyd (1995) juga menyatakan bahwa udang putih masih dapat hidup pada perairan yang memiliki
kandungan oksigen minimal sebesar
3 mg/l.
BOD (Biochemical Oxygen Demand )
Hasil penelitian mendapatkan nilai BOD tertinggi dijumpai pada stasiun 3 (0,8 mg/l). Tingginya nilai BOD pada stasiun 3 disebabkan stasiun ini merupakan perairan yang berdekatan dengan areal
perkebunan kelapa sawit, sehingga
kemungkinan masuknya senyawa organik dari hasil pemupukan organik ke badan perairan cukup tinggi. Hutagalung (1997) menyatakan tingginya nilai BOD dalam suatu perairan mengindikasikan banyaknya senyawa organik yang terdapat di perairan.
Fraksi Substrat
Kelimpahan dan distribusi biota perairan termasuk udang putih dipengaruhi oleh fraksi substrat (Peter dan Kerr, 2003).
Hasil analisis fraksi substrat
menggambarkan substrat dasar perairan estuari Suaka Margasatwa Karang Gading didominasi oleh substrat pasir. Namun demikian, secara keseluruhan substrat dasar perairan estuari Suaka Margasatwa Karang Gading termasuk ke dalam substrat pasir berlumpur. Substrat pasir berlumpur sangat disenangi oleh udang putih untuk mendukung kehidupannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Penn (1975) diacu oleh Naamin (1984) yang menyatakan udang putih lebih menyukai perairan dengan substrat pasir berlumpur terutama dalam hal memijah.
Kelimpahan Udang Putih
Hasil penelitian menunjukkan
kelimpahan udang putih tertinggi dijumpai di stasiun 2, dan terendah di stasiun 3. Kelimpahan udang putih yang tinggi pada stasiun 2 disebabkan kondisi lingkungan perairan di stasiun ini cukup mendukung kehidupan udang putih. Stasiun 2 memiliki kecepatan arus yang relatif lebih tenang (0,08 m/detik) dibanding stasiun lainnya. Hal ini disebabkan kondisi topografi estuari pada stasiun ini, dimana stasiun 2 merupakan aliran estuari yang lurus dan merupakan penghubung antara stasiun 1 dan stasiun 3 sehingga menyebabkan arusnya relatif lebih tenang dibanding kedua stasiun lainnya. Barus (2004) menyatakan pada alur sungai yang lurus, kecepatan arusnya lebih tenang dibanding alur sungai yang berbelok. Perairan yang relatif tenang sangat baik untuk kehidupan udang putih. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Dall dkk (1990) yang
menyatakan arus yang cukup tenang sangat disukai oleh udang putih, terutama
dalam hal mencari makan untuk
mendukung pertumbuhannya.
Stasiun 2 juga memiliki nilai kecerahan air yang cikup rendah (30,5 cm) dibanding stasiun lainnya. Perairan yang relatif keruh sangat mendukung kehidupan
udang putih. Hal ini sesuai dengan pendapat Pramonowibowo (2007) yang menyatakan perairan yang relatif keruh merupakan salah satu penyebab banyaknya dijumpai populasi udang putih di suatu perairan, karena dapat menyebabkan menurunnya jangkauan jarak penglihatan dari predator yang ada di perairan tersebut, sehingga memperluas daerah pembesaran,
yang akhirnya dapat meningkatkan
tingkatan hidup juvenil udang putih.
Distribusi Udang Putih
Hasil analisis distribusi udang putih menggunakan indeks distribusi morisita mendapatkan nilai indeks distribusi lebih besar dari 3 atau Id > 3, yang menggambarkan distribusi udang putih pada tiap stasiun tergolong ke dalam pola distribusi berkelompok. Hal ini terlihat
dari banyaknya udang putih yang
ditemukan di setiap stasiun umumnya memiliki ukuran yang tidak jauh berbeda dan ditemukan selalu berkelompok. Pola distribusi berkelompok merupakan pola yang paling umum dijumpai dalam populasi di alam disebabkan udang putih cenderung mencari habitat yang sesuai untuk mencari makan guna mendukung kehidupannya (Odum, 1998).
Karakteristik lingkungan pada setiap stasiun sangat mendukung kehidupan udang putih. Suhu perairan di lokasi penelitian yang berkisar antara 30°C- 30,5°C merupakan salah satu faktor yang mendukung kehidupan udang putih. Fast dan Lester (1992) menyatakan udang putih
umumnya menyukai perairan yang
memiliki suhu air berkisar antara
28°C-31°C. Salinitas perairan di lokasi
penelitian yang berkisar antara 29‰-31‰ juga berperan terhadap pola distribusi udang putih. Mulya (2012) menyatakan jika salinitas di perairan cukup tinggi (>31‰) maka udang putih tidak akan beruaya ke laut dalam untuk memijah. Kandungan oksigen terlarut yang sesuai
pada tiap stasiun juga mendukung
kehidupan udang putih di perairan estuari
Suaka margasatwa Karang Gading.
udang putih mengikuti ketersediaan oksigen terlarut di perairan. Pada salinitas rendah dengan kelarutan oksigen tinggi, laju respirasi udang akan meningkat, sehingga udang putih termasuk ke dalam
organisme respiratory conformer.
Pola Pertumbuhan Udang Putih
Hasil analisis hubungan panjang berat udang putih yang didapatkan, terlihat bahwa pertumbuhan udang putih pada stasiun 1 dan stasiun 2 bersifat allometrik positif dengan nilai b > 3. Pada stasiun 3 terlihat terdapat perbedaan nilai b, dimana nilai b yang didapatkan adalah lebih kecil dari 3 atau b < 3, sehingga dapat dikatakan pertumbuhan udang putih pada stasiun 3 bersifat allometrik negatif. Berdasarkan nilai b yang didapatkan pada tiap stasiun dapat dikatakan bahwa pada stasiun 1 dan stasiun 2 pertambahan berat udang putih lebih cepat dari pertambahan panjang karapasnya, sedangkan pada stasiun 3 pertambahan panjang karapas udang putih lebih cepat dari pertambahan beratnya. Effendie (1997) menyatakan bila nilai b = 3, maka pertumbuhan dikatakan
isometrik atau pertambahan panjang
karapas sama dengan pertambahan berat tubuhnya, sedangkan bila nilai b lebih besar atau lebih kecil dari 3, pertumbuhan dikatakan allometrik atau pertambahan panjang karapas tidak sama dengan pertambahan beratnya. Pendapat yang sama diutarakan oleh Adisusilo (1983) yang menyatakan pertumbuhan dikatakan sebagai pertumbuhan alometrik positif bila nilai b > 3, yang menggambarkan bahwa
pertambahan berat lebih cepat
dibandingkan dengan pertambahan
panjang, sedangkan pertumbuhan
dinyatakan sebagai pertumbuhan alometrik negatif apabila nilai b < 3, yang
menggambarkan bahwa pertambahan
panjang lebih cepat dibandingkan
pertambahan berat. Beberapa faktor yang
menyebabkan pertumbuhan bersifat
allometrik positif atau allometrik negatif menurut Mulfizar dkk., (2012) antara lain adalah kondisi fisiologis dan lingkungan
seperti suhu, pH, salinitas, letak geografis dan teknik sampling.
Hasil penelitian juga mendapatkan udang putih pada stasiun 1 dan 2 terlihat
sedikit berukuran lebih besar/gemuk
dibanding stasiun 3. Hal ini disebabkan nilai salinitas air yang didapatkan pada stasiun 3 terlihat lebih rendah dibanding stasiun 1 dan stasiun 2. Nilai salinitas air pada stasiun 3 adalah sebesar 29‰, sedangkan pada stasiun 1 dan 2 masing-masing sebesar 31‰ dan 30‰. Fast dan Lester (1992) menyatakan udang putih berukuran kecil umumnya lebih banyak hidup pada salinitas yang berkisar antara 25‰ – 29‰.
Faktor Kondisi Udang Putih
Hasil analisis faktor kondisi udang putih pada tiap stasiun mendapatkan bahwa secara keseluruhan nilai faktor kondisi udang putih di setiap stasiun menunjukkan nilai FK > 1. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi udang putih di perairan estuari Suaka Margasatwa Karang Gading secara morfologi dapat dikatakan memiliki kemontokan yang baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Saputra (2005) yang menyatakan jika nilai faktor kondisi berkisar antara 2-4 maka
tubuh udang dapat dikatakan agak
langsing, dan jika nilai faktor kondisi berkisar antara 1 - 3 maka dapat dikatakan tubuh udang memiliki kemontokan yang baik. Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat diduga bahwa pada saat melakukan penelitian (bulan Mei – Juni 2015) merupakan awal musim pemijahan udang
putih P. merguiensis, walaupun banyak
juga didapatkan udang putih yang
berukuran kecil.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Distribusi udang putih di perairan
estuari Suaka Margasatwa Karang Gading termasuk ke dalam pola distribusi berkelompok
2. Poa pertumbuhan udang putih di stasiun 1 dan 2 perairan estuari Suaka Margasatwa Karang Gading adalah allometrik positif, sedangkan pada stasiun 3 adalah allometrik negatif. Faktor kondisi udang putih di setiap stasiun secara morfologi memiliki kemontokan yang baik.
Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan
tentang aspek reproduksi dan laju eksploitasi udang putih di perairan estuari Suaka Margasatwa Karang Gading dalam upaya pelestarian biota ini di alam.
2. Disarankan penggunaaan alat tangkap
yang ramah lingkungan kepada nelayan
dalam mengeksploitasi sumberdaya
udang putih di perairan estuari Suaka Margasatwa Karang Gading Sumatera Utara.
DAFTAR PUSTAKA
Adisusilo S. 1983. Ukuran Matang Kelamin dan Musim Pemijahan
Udang Jerbung (Penaeus
merguiensis de Man) di Perairan Cilacap dan Sekitarnya. Laporan Penelitian Perikanan Laut 29: 97-102 Anggoro S. 1992. Efek Osmotik Berbagai Tingkat Salinitas Media Terhadap Daya Tetas Telur dan Vitalitas Larva
Udang Windu Penaeus monodon F
(Disertasi). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. Barus, T.A. 2004. Pengantar Limnologi.
Studi Tentang Ekosistem Air Daratan. USU Press, Medan.
Bengen D.G. 1998. Sinopsis Analisis Statistik Multivariabel/ Multidimensi.
Program Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Boyd C.E. 1995. Shrimp Pond Bottom Soil
and Sediment Management. Soil and sediment management. Reviews.
Boyd C.E, A.W Fast. 1992. Pond
Monitoring and Management.
Marine Shrimp Culture-Principles and Practices. Elsevier. Amsterdam. Brower JE, JH Zar, CV Ende. 1990. Field
and Laboratory Methods for General Ecology. Third Edition. Wm. C. Brown Publisher, USA.
Dall W, B.J Hill, P.C Rothlisberg, D.J Sharples. 1990. The Biology of the Penaedae. di dalam: Blaxer JHS, Southward AJ. Eds): Marine Biology 27. Academic Press, London.
Effendie M.I. 1997. Biologi Perikanan.
Yayasan Pustaka Nusatama. Jakarta Fast AW dan L J Lester. 1992. Pond
Monitoring and Management Marine
Shrimp Culture Principle and
Practise. Elsevier Science Publisher Amsterdam. Netherlands.
Hutagalung H.P, D Setiapermana, S.H Riyono. 1997. Metode Analisis Air Laut, Sedimen dan Biota. Buku 2. Puslitbang Oseanologi LIPI. Jakarta. Keputusan Menteri Kesehatan Lingkungan Hidup. No. 02/ Men KLH/1998. Tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup (Kepmen LH). 2004. Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut. No. 51. Jakarta.
Mulfizar, Z.A. Muchlisin dan I.
Dewiyanti. 2012. Hubungan Panjang Berat dan Faktor Kondisi Tiga Jenis Ikan yang Tertangkap di Perairan Kuala Gigieng, Aceh Besar, Provinsi Aceh. Jurnal Depik. 1 (1):1- 9. Mulya M.B, D.G Bengen, R.F Kaswadji,
R. Etty 2011. Distribusi dan Pola
Pertumbuhan Udang Putih Penaeus
merguinensis de Man di Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan Sumatera
Utara. Jurnal Omni Akuatika 1 (13): 49-56.
Mulya M.B. 2012. Kajian Bioekologi
Udang Putih Penaeus merguinensis
de Man di Perairan Ekosistem Mangrove Percut Sei Tuan Sumatera Utara. Disertasi. (tidak dipublikasi)
Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Naamin N. 1984. Dinamika Populasi
Udang Jerbung (P. merguiensis de
Man) di Perairan Arafura dan Alternatif Pengelolaannya. Disertasi
(Tidak Dipublikasikan). Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Odum E.P. 1998. Dasar-dasar Ekologi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Peter J.C, dan J.D. Kerr 2003. Maturation
and Spawning of The Banana Prawn
Penaeus merguiensis de Man (Crustacea: Penaeidae) in the Gulf of Carpentaria, Australia. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology (69): 37-59.
Pramonowibowo, A. Hartoko, A. Ghofar .
2007. Density of Banana Shrimp
(Penaeus merguiensis de Man) in Semarang Territory Waters. Jurnal Pasir Laut 2 (2) : 18-29.
Saputra S.W. 2005. Dinamika Populasi
Udang Jari (Metapenaeus elegans de
Man) dan Pengelolaannya di Laguna
Segara Anakan Cilacap Jawa
Tengah. Disertasi. Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Sparre P and S.C. Venema. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan
Tropis. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perikanan, Badan
Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Jakarta.
Sumeru S.U dan S. Anna . 2010. Persyaratan Biologis dan Kebiasaan Udang Windu. Glitter Text. Tanggal browsing 14 Maret 2016.
Tung H, S.Y Lee, C.P Keenan, G
Marsden. 2002. Effect of
Temperature on Spawning of
Penaeus merguiensis. Journal of Thermal Biology 27 (2): 433– 437