DAYA HASIL GENOTIPE KEDELAI
TUMPANGSARI JAGUNG-KEDELAI
Titik Sundari dan Novita Nugrahaeni
Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Jl. Raya Kendalpayak Km 8 Kotak Pos 66 Malang 65101, Telp.(0341) 801468Email: titik_iletri@yaho.co.id
ABSTRAK
Peningkatan luas tanam kedelai dapat diupayakan melalui pemanfaatan lahan di bawah tegakan tanaman kehutanan, perkebunan, maupun pangan dengan pola tumpangsari. Penelitian bertujuan untuk mengetahui daya hasil galur-galur harapan kedelai pada tumpangsari dengan jagung. Penelitian dilaksanakan di KP Muneng, KP Ngale, Nganjuk, dan Grobogan. Bahan yang digunakan adalah 12 galur harapan kedelai toleran naungan dan tiga varietas pembanding (Pangrango, Argomulyo dan Grobogan). Rancangan percobaan yang
digunakan di setiap lokasi adalah acak kelompok, diulang empat kali, ukuran plot 9,6 m2, jarak
tanam kedelai 40 cm x 15 cm, dua tanaman per rumpun. Jagung varietas P21 ditanam secara baris ganda, dengan jarak antarbarisan jagung 2 m x 0,5 m x 0,2 m. Pemupukan kedelai dilakukan pada saat tanam dengan dosis Urea 50 kg, SP36 100 kg dan KCl 75 kg/ha. Pemupukan jagung dilakukan dua tahap, pertama pada saat tanam dengan dosis 150 kg Urea + 100 kg SP36 + 50 kg KCl/ha, dan kedua pada umur 1 bulan setelah tanam (BST) dengan dosis 100 kg Urea + 50 kg KCl/ha. Pengamatan dilakukan terhadap tinggi tanaman, umur berbunga, umur panen, bobot biji per tanaman, bobot biji per hektar (konversi dari bobot biji per plot) dan bobot 100 biji kedelai, bobot biji jagung, serta tingkat naungan jagung di masing-masing lokasi yang diamati secara periodik. Hasil penelitian menunjukkan interaksi antara genotipe dengan lokasi nyata untuk semua karakter yang diamati. Argomulyo x IAC,100-10-KP-40-120 merupakan genotipe yang memberikan hasil tertinggi di tiga lokasi pengujian (KP Muneng, Grobogan, dan KP Ngale), masing-masing dengan hasil 1,72; 1,55; dan 1,88 t/ha. Tumpangsari jagung–kedelai Argomulyo x IAC.100-10-KP-40-120 maupun IAC.100/Burang-rang x Malabar-10-KP-30-75 merupakan kombinasi yang mampu memberikan hasil jagung dan kedelai yang tinggi, dengan rata-rata hasil jagung 5,63 t dan 5,62 t/ha, serta hasil kedelai 1,57 t dan 1,14 t/ha.
Kata kunci: hasil, kedelai, jagung, tumpangsari.
ABSTRACT
The yield potential of soybean genotypes intercropped with maize. An increase of
soybean planting area could be achieved through the utilization of land under forest, estate and food crops by intercropping system. The aim of the study was to determine the yield potential of soybean promising lines grown intercropped with maize. The experiment was conducted at four locations i.e. Probolinggo, Ngawi, Nganjuk and Grobogan. A number of 12 shading tolerant lines and three soybean varieties: Pangrango, Argomulyo and Grobogan, as check was
grown in randomized complete block design replicated four times. The plot size was 9.6 m2,
plant spacing was 40 cm x 15 cm, two plants per hill. The P21 maize variety was planted in double rows, with inter and intra rows spacing were 2 m and 0.5 m x 0.2 m, respectively. For
soybean, basal fertilizers of 50 kg Urea, 100 kg SP36, and 75 kg KCl ha-1 were applied at
planting time. Whilst for maize, fertilization was applied two times; 150 kg Urea + 100 kg SP36
+ 50 kg KCl ha-1 was applied at planting time and 100 kg Urea + 50 kg KCl ha-1 were applied
weight and the shading level. The results showed the significant interaction between genotypes and locations for all variables. Argomulyo x IAC.100-10-KP-40-120 and IAC.100/Burangrang x Malabar-10-KP-30-obtained the highest yield in three sites. Under intercropping, those two lines
and maize gave highest yield i.e. 5.63 and 5.62 t ha-1 for maize, 1.57 and 1.14 t ha-1 for
soybean.
Key words: grain yield, soybean, maize, intercropping.
PENDAHULUAN
Pada tahun 2010
areal panen kedelai di Indonesia adalah 660.823 ha, dengan
rata-rata produktivitas 1,7 t/ha dan produksi 907.031 ton (BPS 2010). Angka ini belum
mencukupi kebutuhan dalam negeri yang mencapai 2,4 juta ton. Beberapa upaya
pemerintah untuk meningkatkan produksi dalam negeri telah dilakukan, di antaranya
adalah peningkatan luas tanam dan luas panen. Peluang peningkatan luas tanam dan luas
panen kedelai akan menjadi lebih besar dengan memanfaatkan lahan perkebunan dan
lahan kehutanan (Perhutani) yang tanamannya masih muda, serta tumpangsari dengan
tanaman pangan yang lain seperti jagung dan ubikayu.
Tumpangsari merupakan pendekatan yang sederhana, efektif meningkatkan hasil
panen, meningkatkan rasio kesetaraan lahan (LERs) dan secara luas digunakan untuk
mengamankan pasokan pangan (Li
et al
. 2009; Emuh 2007). Tumpangsari jagung-kedelai
merupakan salah satu model yang berhasil digunakan untuk meningkatkan produksi
kedelai di Cina Selatan (Wang dan Yang 2007). Dalam sistem tumpangsari, jagung
merupakan alternatif yang baik karena memberikan respon hasil yang baik, dari efek baris
(Cruse 2008). Kedelai juga bisa merupakan pilihan yang baik untuk sistem tumpangsari,
karena kualitas hijauannya baik, terutama ketika dipanen pada awal tahap pemasakan
polong.
Dalam tumpangsari jagung-kedelai, pada tahap pertumbuhan vegetatif, kedelai
tumbuh di bawah kanopi jagung. Penyerapan radiasi matahari oleh vegetasi jagung
menyebabkan cekaman naungan, yang menjadi isyarat penting bagi kedelai untuk mulai
pemanjangan ruas batang. Perpanjangan ruas batang yang berlebihan menyebabkan
penurunan hasil kedelai (Wu
et al.
2007).
Hingga kini hanya ada satu varietas yang direkomendasikan sesuai untuk naungan,
yaitu Pangrango. Namun varietas ini memiliki umur yang panjang dan ukuran biji kecil
hingga sedang, yang kurang diminati oleh petani. Untuk mengoptimalkan pemanfaatan
peluang di atas, diperlukan varietas unggul baru kedelai yang toleran naungan, berumur
genjah dan berbiji besar. Varietas yang toleran naungan dicirikan oleh kemampuan
adaptasi fisiologisnya untuk bersaing dalam mendapatkan cahaya.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui daya hasil galur-galur harapan kedelai
pada tumpangsari dengan jagung.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan di empat lokasi, yaitu di KP Muneng, KP Ngale, Nganjuk dan
Grobogan. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 12 galur harapan kedelai
toleran naungan dan tiga varietas pembanding (Pangrango, Argomulyo dan Grobogan).
Rancangan percobaan yang digunakan di setiap lokasi adalah rancangan acak kelompok
diulang empat kali. Setiap unit perlakuan ditanam pada plot berukuran 9,6 m
2, jarak
tanam kedelai 40 cm x 15 cm, dengan dua tanaman per rumpun. Jagung varietas P21
ditanam secara baris ganda, dengan jarak antar barisan jagung 2 m x 0,5 m x 0,2 m.
Pemupukan kedelai dilakukan pada saat tanam dengan dosis Urea 50 kg, SP36 100 kg
dan KCl 75 kg/ha. Pemupukan jagung dilakukan dua tahap, pertama pada saat tanam
dengan dosis 150 kg Urea + 100 kg SP36 + 50 kg KCl/ha, dan kedua pada umur 1 bulan
setelah tanam (bst) dengan dosis 100 kg Urea + 50 kg KCl/ha. Pengamatan dilakukan
terhadap tinggi tanaman, umur berbunga, umur panen, bobot biji per tanaman, bobot biji
per hektar (konversi dari bobot biji per plot) dan bobot 100 biji kedelai, bobot biji jagung,
serta tingkat naungan jagung di masing-masing lokasi yang diamati secara periodik.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pola penerimaan intensitas cahaya oleh tanaman kedelai di bawah naungan tanaman
jagung di masing-masing lokasi menunjukkan perbedaan (Gambar 1).
Umur tanaman kedelai (HST)
0 10 20 30 40 50 60 70 80 30 45 60 75 In te ns ita s c ah aya /N au ng an (% ) Intensitas cahaya Naungan KP Muneng
Umur tanaman kedelai (HST)
‐ 10 20 30 40 50 60 70 80 90 30 44 58 72 In te ns ita s c aha ya /N aunga n (% ) Naungan Intens itas c ahaya
Grobogan
Umur tanaman kedelai (HST) 0 10 20 30 40 50 60 70 28 42 56 70 In te ns ita s c aha ya /N au nga n (% ) Intensitas cahaya Naungan KP Ngale
Umur tanaman kedelai (HST)
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 30 37 44 51 58 65 72 In te ns ita s c aha ya /N aung an (% ) Intensitas cahaya Naungan Nganjuk
Gambar 1. Pola penerimaan intensitas cahaya pada tanaman kedelai di bawah naungan tanaman jagung di empat lokasi, 2011.
Besarnya intensitas yang sampai ke permukaan kanopi tanaman kedelai dipengaruhi
oleh fase dan tingkat pertumbuhan jagung sebagai tanaman penaung. Pertumbuhan
kanopi tanaman jagung yang terlalu subur berakibat pada semakin tingginya tingkat
naungan dan semakin rendahnya intensitas cahaya yang diterima oleh tanaman kedelai.
Pola penaungan oleh tanaman jagung di KP Ngale berbeda dengan di tiga lokasi lainnya.
Penerimaan cahaya oleh tanaman kedelai selama fase vegetatif lebih rendah dibandingkan
dengan penerimaan cahaya di tiga lokasi yang lain. Namun penerimaan cahaya ini
mengalami peningkatan selama fase pembentukan dan pengisian polong (Gambar 1).
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antara genotipe dengan lokasi
ber-pengaruh nyata terhadap semua variabel yang diamati (tinggi tanaman, jumlah polong isi,
umur berbunga, umur masak, dan bobot biji kedelai, serta bobot biji jagung). Adanya
interaksi menunjukkan respon masing-masing genotipe terhadap setiap lokasi berbeda.
Pertumbuhan tanaman yang ditunjukkan oleh tinggi tanaman memperlihatkan
perbe-daan di antara galur dan lokasi. Tanaman terendah ditunjukkan oleh genotipe kedelai
yang diuji di Grobogan (Tabel 1). Tinggi tanaman di KP Muneng dan Nganjuk tidak
menunjukkan perbedaan (29 dan 28 cm), sedangkan di KP Ngale tertinggi. Secara
kese-luruhan, genotipe Argomulyo x IAC.100-10-KP-40-120 memiliki tanaman tertinggi di tiga
lokasi (KP Muneng, Grobogan, dan KP Ngale), sedangkan di Nganjuk menempati posisi ke
dua setelah Pangrango (Tabel 1).
Tabel 1. Tinggi tanaman genotipe kedelai pada tumpangsari jagung-kedelai di empat lokasi, 2011.
Tinggi tanaman (cm) Genotipe KP
Muneng
Grobo-gan KP Ngale Nganjuk
Rata-rata IAC.100/Burangrang x Kaba-10-KP-2-3 21 21 28 23 23 IAC.100/Burangrang x Kaba-10-KP-3-9 21 21 29 23 23 IAC.100/Burangrang x Kaba-10-KP-8-19 23 19 29 25 24 IAC.100/Burangrang x Kaba-10-KP-9-22 22 22 32 25 25 IAC.100/Burangrang x Kaba-10-KP-10-23 24 22 30 23 25 IAC.100 x Ijen-10-KP-12-27 28 25 38 30 30 IAC.100/Burangrang x Malabar-10-KP-20-49 24 21 29 21 24 IAC.100/Burangrang x Malabar-10-KP-21-50 21 20 30 24 24 IAC.100/Burangrang x Malabar-10-KP-27-67 24 19 33 24 25 IAC.100/Burangrang x Malabar-10-KP-30-75 32 24 44 29 32 IAC.100/Burangrang x Ijen-10-KP-36-98 30 30 46 31 34 Argomulyo x IAC.100-10-KP-40-120 48 41 68 36 48 Pangrango 48 35 60 43 47 Argomulyo 38 28 38 33 34 Grobogan 29 28 38 27 31 Rata-rata 29 25 38 28 30 LSD 5% 3,33
Umur berbunga genotipe yang diuji menunjukkan perbedaan di setiap lokasi.
Grobo-gan merupakan genotipe yang paling cepat berbunga di semua lokasi, kecuali di KP
Muneng yang menempati peringkat ke dua setelah Argomulyo (Tabel 2).
Tabel 2. Umur berbunga genotipe kedelai pada tumpangsari jagung-kedelai di empat lokasi, 2011.
Umur berbunga (hari) Genotipe KP
Muneng Grobogan Ngale KP Ngan-juk Rata-rata IAC.100/Burangrang x Kaba-10-KP-2-3 31 33 32 31 32 IAC.100/Burangrang x Kaba-10-KP-3-9 32 31 33 33 32 IAC.100/Burangrang x Kaba-10-KP-8-19 33 31 34 33 33 IAC.100/Burangrang x Kaba-10-KP-9-22 32 32 34 32 32 IAC.100/Burangrang x Kaba-10-KP-10-23 33 31 34 33 33 IAC.100 x Ijen-10-KP-12-27 32 34 34 32 33 IAC.100/Burangrang x Malabar-10-KP-20-49 32 31 33 33 32 IAC.100/Burangrang x Malabar-10-KP-21-50 31 32 33 31 32 IAC.100/Burangrang x Malabar-10-KP-27-67 31 31 31 31 31 IAC.100/Burangrang x Malabar-10-KP-30-75 29 31 29 31 30 IAC.100/Burangrang x Ijen-10-KP-36-98 30 32 29 31 30 Argomulyo x IAC.100-10-KP-40-120 29 31 31 31 31 Pangrango 30 33 33 34 33 Argomulyo 22 30 29 33 29 Grobogan 28 30 28 29 29 Rata-rata 30 32 32 32 31 LSD 5% 2,88
Tidak ada galur yang mempunyai umur masak lebih genjah dari Grobogan (74 hari)
maupun Argomulyo (73 hari) (Tabel 3). Namun di antara galur-galur yang diuji, terdapat
satu galur yang mempunyai umur masak setara dengan kedua varietas pembanding
tersebut, yaitu Argomulyo x IAC.100-10-KP-40-120 (75 hari).
Jumlah polong isi masing-masing genotipe berbeda di setiap lokasi. Rata-rata jumlah
polong terbanyak dicapai di KP Ngale (37 polong/tanaman), sedangkan di tiga lokasi yang
lain berkisar antara 16
−
18 polong/tanaman. Jumlah polong terbanyak di KP Muneng
dicapai oleh Pangrango (26 polong/tanaman), di Grobogan oleh galur
IAC.100/Burang-rang x Ijen-10-KP-36-98, dan Argomulyo x IAC.100-10-KP-40-120 masing-masing 23
po-long/tanaman, di KP Ngale pada galur Argomulyo x IAC.100-10-KP-40-120 dengan 56
polong/tanaman, dan di Nganjuk pada galur IAC.100/Burangrang x Kaba-10-KP-9-22
sebanyak 22 polong/tanaman (Tabel 4). Tingginya jumlah polong yang terbentuk di KP
Ngale disebabkan karena adanya peningkatan penerimaan cahaya oleh tanaman kedelai
selama fase reproduktif (Gambar 1). Hasil penelitian Kurosaki dan Yumoto (2003)
menun-jukkan bahwa naungan mengakibatkan berkurangnya jumlah polong yang terbentuk.
Tabel 3. Umur masak genotipe kedelai pada tumpangsari jagung−kedelai di empat lokasi, 2011.
Umur masak (hari)
Genotipe KP Muneng Grobogan KP Ngale Nganjuk Rata-rata IAC.100/Burangrang x Kaba-10-KP-2-3 74 81 78 79 78 IAC.100/Burangrang x Kaba-10-KP-3-9 74 81 78 77 77 IAC.100/Burangrang x Kaba-10-KP-8-19 75 81 79 79 78 IAC.100/Burangrang x Kaba-10-KP-9-22 73 81 79 76 77 IAC.100/Burangrang x Kaba-10-KP-10-23 73 81 79 77 77 IAC.100 x Ijen-10-KP-12-27 77 83 79 82 80 IAC.100/Burangrang x Malabar-10-KP-20-49 75 81 79 78 78 IAC.100/Burangrang x Malabar-10-KP-21-50 74 83 78 79 78 IAC.100/Burangrang x Malabar-10-KP-27-67 73 84 78 78 78 IAC.100/Burangrang x Malabar-10-KP-30-75 71 84 75 77 77 IAC.100/Burangrang x Ijen-10-KP-36-98 74 84 78 81 79 Argomulyo x IAC.100-10-KP-40-120 71 81 72 75 75 Pangrango 76 85 79 82 80 Argomulyo 70 76 71 77 73 Grobogan 72 76 72 75 74 Rata-rata 73 82 77 78 77 LSD 5% 1,46
Tabel 4. Rata-rata jumlah polong isi per tanaman genotipe kedelai pada tumpangsari jagung-kedelai di empat lokasi pengujian, 2011.
Jumlah polong isi/tanaman
Genotipe KP Muneng Grobogan KP Ngale Nganjuk Rata-rata IAC.100/Burangrang x Kaba-10-KP-2-3 13 19 29 21 21 IAC.100/Burangrang x Kaba-10-KP-3-9 15 20 29 14 20 IAC.100/Burangrang x Kaba-10-KP-8-19 14 16 28 15 18 IAC.100/Burangrang x Kaba-10-KP-9-22 15 18 33 22 22 IAC.100/Burangrang x Kaba-10-KP-10-23 16 16 30 18 20 IAC.100 x Ijen-10-KP-12-27 17 20 37 21 23 IAC.100/Burangrang x Malabar-10-KP-20-49 16 16 31 19 20 IAC.100/Burangrang x Malabar-10-KP-21-50 16 17 35 14 20 IAC.100/Burangrang x Malabar-10-KP-27-67 13 14 36 15 19 IAC.100/Burangrang x Malabar-10-KP-30-75 16 16 39 18 22 IAC.100/Burangrang x Ijen-10-KP-36-98 15 23 46 17 25 Argomulyo x IAC.100-10-KP-40-120 22 23 56 13 29 Pangrango 26 18 54 20 30 Argomulyo 17 16 37 11 20 Grobogan 14 13 33 10 18 Rata-rata 16 18 37 16 22 LSD 5% 0,89
Bobot biji per tanaman menunjukkan perbedaan di antara lokasi (Tabel 5). Genotipe
Argomulyo x IAC.100-10-KP-40-120 memberikan hasil biji tertinggi di tiga lokasi (KP
Muneng, Grobogan, dan KP Ngale), masing-masing 5,50; 6,15; dan 9,39 g/tanaman.
Sedangkan untuk lokasi Nganjuk, dicapai galur IAC.100/Burangrang x Kaba-10-KP-9-22
(5,24 g/tanaman). Demikian juga halnya dengan hasil biji per hektar (Tabel 6). Perbedaan
hasil biji di masing-masing lokasi disebabkan oleh pola penaungan kanopi tanaman jagung
di setiap lokasi berbeda (Gambar 1). Hasil biji di KP Muneng menunjukkan yang terendah,
karena tingkat penaungan oleh kanopi tanaman jagung selama periode pengisian polong
kedelai paling tinggi dibandingkan dengan tiga lokasi lainnya. Tingginya tingkat
penaung-an ini berdampak terhadap berkurpenaung-angnya penerimapenaung-an cahaya oleh tpenaung-anampenaung-an kedelai.
Menurut hasil penelitian Akunda (2001), naungan pada tumpangsari sorgum-kedelai
me-nyebabkan penurunan laju fotosintesis kedelai. Penelitian lain menyebutkan bahwa
tum-pangsari jagung-kedelai menyebabkan penurunan hasil kedelai sebesar 50
−
59% (Prasad
dan Brook 2005).
Tabel 5. Bobot biji per tanaman genotipe kedelai pada tumpangsari jagung−kedelai di empat
lokasi, 2011.
Bobot biji (g/tanaman) Genotipe KP
Muneng Grobogan Ngale KP Nganjuk Rata-rata IAC.100/Burangrang x Kaba-10-KP-2-3 2,44 3,83 6,28 5,12 4,42 IAC.100/Burangrang x Kaba-10-KP-3-9 2,26 4,28 5,79 3,35 3,92 IAC.100/Burangrang x Kaba-10-KP-8-19 2,06 3,64 6,41 3,27 3,85 IAC.100/Burangrang x Kaba-10-KP-9-22 2,69 4,23 7,15 5,24 4,83 IAC.100/Burangrang x Kaba-10-KP-10-23 2,52 3,83 6,52 4,22 4,27 IAC.100 x Ijen-10-KP-12-27 3,51 3,64 6,06 4,10 4,33 IAC.100/Burangrang x Malabar-10-KP-20-49 2,51 3,61 6,62 4,33 4,27 IAC.100/Burangrang x Malabar-10-KP-21-50 2,59 3,75 7,09 3,46 4,22 IAC.100/Burangrang x Malabar-10-KP-27-67 2,60 3,18 6,90 3,63 4,08 IAC.100/Burangrang x Malabar-10-KP-30-75 3,04 3,54 6,92 4,69 4,54 IAC.100/Burangrang x Ijen-10-KP-36-98 2,70 4,31 6,23 3,75 4,24 Argomulyo x IAC.100-10-KP-40-120 5,50 6,15 9,39 3,83 6,21 Pangrango 3,75 3,50 7,03 3,60 4,47 Argomulyo 2,90 4,13 7,75 2,96 4,43 Grobogan 3,03 3,94 8,74 3,40 4,78 Rata-rata 2,94 3,97 6,99 3,93 4,46 LSD 5% 0,43
Ukuran biji kedelai dinilai berdasarkan bobot 100 biji. Rata-rata ukuran biji terbesar
dicapai di KP Ngale, diikuti Nganjuk, Grobogan dan KP Muneng. Ukuran biji terbesar di
KP Ngale, Nganjuk, dan Grobogan dicapai oleh varietas Grobogan, sedangkan di KP
Muneng oleh galur Argomulyo x IAC.100-10-KP-40-120 (11,27 g/100 biji), setara dengan
ukuran biji varietas Grobogan (11,07 g/100 biji) (Tabel 7).
Tabel 6. Bobot biji genotipe kedelai pada tumpangsari jagung−kedelai di empat lokasi, 2011.
Bobot biji (t/ha) Genotipe
KP Muneng Grobogan KP Ngale Nganjuk Rata-rata IAC,100/Burangrang x Kaba-10-KP-2-3 0,74 0,85 1,48 1,36 1,11 IAC,100/Burangrang x Kaba-10-KP-3-9 0,71 0,98 1,41 0,92 1,00 IAC,100/Burangrang x Kaba-10-KP-8-19 0,65 0,89 1,33 0,87 0,93 IAC,100/Burangrang x Kaba-10-KP-9-22 0,84 1,01 1,61 1,40 1,21 IAC,100/Burangrang x Kaba-10-KP-10-23 0,79 0,96 1,42 1,13 1,07 IAC,100 x Ijen-10-KP-12-27 1,07 0,81 1,18 1,09 1,04 IAC,100/Burangrang x Malabar-10-KP-20-49 0,79 0,91 1,35 1,13 1,04 IAC,100/Burangrang x Malabar-10-KP-21-50 0,81 0,79 1,41 0,92 0,98 IAC,100/Burangrang x Malabar-10-KP-27-67 0,81 0,98 1,37 0,97 1,03 IAC,100/Burangrang x Malabar-10-KP-30-75 0,95 0,89 1,42 1,32 1,14 IAC,100/Burangrang x Ijen-10-KP-36-98 0,84 0,81 1,19 1,00 0,96 Argomulyo x IAC,100-10-KP-40-120 1,72 1,55 1,88 1,13 1,57 Pangrango 1,17 1,01 1,50 0,96 1,16 Argomulyo 0,84 0,77 1,60 0,79 1,00 Grobogan 0,98 0,83 1,70 0,91 1,10 Rata-rata 0,91 0,93 1,46 1,06 1.09 LSD 5% 0,099
Tabel 7. Bobot 100 biji genotipe kedelai pada tumpangsari jagung−kedelai di empat lokasi, 2011
Bobot 100 biji Genotipe KP
Muneng Grobo-gan Ngale KP Ngan-juk Rata-rata IAC.100/Burangrang x Kaba-10-KP-2-3 7,63 11,06 13,66 13,24 11,40 IAC.100/Burangrang x Kaba-10-KP-3-9 6,93 12,10 13,15 12,87 11,26 IAC.100/Burangrang x Kaba-10-KP-8-19 7,22 12,06 15,78 11,79 11,71 IAC.100/Burangrang x Kaba-10-KP-9-22 7,61 11,62 13,00 12,69 11,23 IAC.100/Burangrang x Kaba-10-KP-10-23 6,96 12,73 13,33 13,92 11,74 IAC.100 x Ijen-10-KP-12-27 7,55 11,37 13,04 11,40 10,84 IAC.100/Burangrang x Malabar-10-KP-20-49 6,93 13,17 13,44 12,50 11,51 IAC.100/Burangrang x Malabar-10-KP-21-50 7,32 11,66 14,01 13,31 11,57 IAC.100/Burangrang x Malabar-10-KP-27-67 9,04 12,79 12,88 14,35 12,26 IAC.100/Burangrang x Malabar-10-KP-30-75 8,37 14,12 14,40 15,08 12,99 IAC.100/Burangrang x Ijen-10-KP-36-98 7,30 11,51 13,37 11,52 10,93 Argomulyo x IAC.100-10-KP-40-120 11,27 15,18 14,65 16,33 14,36 Pangrango 5,52 10,15 11,39 9,94 9,25 Argomulyo 8,30 14,15 15,04 15,88 13,34 Grobogan 11,07 17,78 22,74 19,26 17,71 Rata-rata 7,93 12,76 14,26 13,61 11,98 LSD 5% 1,05
Hasil biji jagung tertinggi dicapai di Nganjuk, rata-rata 6,47 t/ha, diikuti oleh KP
Mu-neng (6,36 t/ha), KP Ngale (5,38 t/ha), dan Grobogan (3,95 t/ha). Rata-rata hasil jagung
tertinggi di Nganjuk dicapai pada kombinasi antara jagung dengan kedelai Argomulyo,
dengan hasil jagung 7,78 t/ha dan hasil kedelai 0,79 t/ha. Hasil jagung tertinggi di KP
Muneng dicapai pada tumpangsari jagung dengan kedelai IAC.100/Burangrang x
Kaba-10-KP-2-3, dengan hasil jagung 7,21 t/ha, dan kedelai 0,75 t/ha; di Grobogan dicapai
pada tumpangsari jagung dengan IAC.100/Burangrang x Kaba-10-KP-2-3, dan IAC.100/
Burangrang x Malabar-10-KP-27-67, masing-masing dengan hasil jagung 5,22 t/ha, hasil
kedelai 0,85 dan 0,98 t/ha, dan di KP Ngale dicapai pada tumpangsari jagung dengan
IAC.100/Burangrang x Malabar-10-KP-30-75, dengan hasil jagung 6,16 t/ha dan kedelai
0,89 t/ha (Tabel 8 dan 6). Pencapaian hasil jagung berbanding terbalik dengan hasil
kedelai. Apabila hasil jagung tinggi, maka hasil kedelai rendah, demikian sebaliknya.
Tabel 8. Rata-rata bobot biji jagung tumpangsari jagung−kedelai di empat lokasi pengujian, 2011
Bobot biji jagung (t/ha) Genotipe KP Muneng Grobo-gan KP Ngale Ngan-juk Rata-rata IAC.100/Burangrang x Kaba-10-KP-2-3 7,21 5,22 5,16 6,49 6,02 IAC.100/Burangrang x Kaba-10-KP-3-9 6,56 3,50 5,18 6,31 5,39 IAC.100/Burangrang x Kaba-10-KP-8-19 6,56 4,72 5,38 5,78 5,61 IAC.100/Burangrang x Kaba-10-KP-9-22 6,08 3,05 5,25 6,22 5,15 IAC.100/Burangrang x Kaba-10-KP-10-23 6,40 2,78 5,47 6,82 5,37 IAC.100 x Ijen-10-KP-12-27 6,51 3,16 4,91 5,59 5,04 IAC.100/Burangrang x Malabar-10-KP-20-49 6,64 5,05 5,38 6,12 5,80 IAC.100/Burangrang x Malabar-10-KP-21-50 6,57 4,22 5,44 6,52 5,69 IAC.100/Burangrang x Malabar-10-KP-27-67 6,42 5,22 5,54 7,03 6,05 IAC.100/Burangrang x Malabar-10-KP-30-75 5,42 3,50 6,16 7,39 5,62 IAC.100/Burangrang x Ijen-10-KP-36-98 5,52 4,72 5,18 5,65 5,27 Argomulyo x IAC.100-10-KP-40-120 6,23 3,05 5,22 8,00 5,63 Pangrango 6,44 2,78 5,27 4,87 4,84 Argomulyo 6,86 3,16 5,40 7,78 5,80 Grobogan 5,93 5,05 5,82 6,44 5,81 Rata-rata 6,36 3,95 5,38 6,47 5,34 LSD 5% 0,85
Hasil terbaik kedelai dan jagung di KP Muneng dicapai oleh tumpangsari jagung-
kedelai No. 6 (IAC.100 x Ijen-10-KP-12-27), dengan hasil kedelai 1,07 t/ha dan jagung
6,51 t/ha, dan kombinasi jagung-kedelai No. 12 (Argomulyo x IAC.100-10-KP-40-120),
dengan hasil kedelai 1,72 t/ha dan jagung 6,23 t/ha. Di Grobogan, hasil terbaik dicapai
pada tumpangsari jagung
−
kedelai No. 9 (IAC.100/Burangrang x Malabar-10-KP-27-670,
dengan hasil kedelai 0,98 t/ha dan jagung 5,22 t/ha. Di KP Ngale hasil terbaik dicapai
pada tumpangsari jagung
−
kedelai No. 15 (Grobogan), dengan hasil kedelai 1,70 t/ha dan
jagung 5,82 t/ha, dan pada tumpangsari jagung-kedelai No. 10 (IAC,100/Burangrang x
Malabar-10-KP-30-75), dengan hasil kedelai 1,42 t/ha dan jagung 6,16 t/ha. Di Nganjuk
dicapai pada tumpangsari jagung-kedelai No. 10 (IAC.100/Burangrang x
Malabar-10-KP-30-75), dengan hasil kedelai 1,32 t/ha dan jagung 7,39 t/ha, dan tumpangsari
jagung-kedelai No. 12 (Argomulyo x IAC.100-10-KP-40-120), dengan hasil jagung-kedelai 1,13 t/ha dan
jagung 8 t/ha. Hasil yang dicapai oleh masing-masing komoditas tersebut sama atau lebih
tinggi dibandingkan hasil rata-rata masing-masing komoditas.
Hasil kedelai Hasil jagung Rata-rata hasil jagung Rata-rata hasil kedelai 0 1 2 3 4 5 6 7 8 G1 G2 G3 G4 G5 G6 G7 G8 G9 G10G11G12Pangrang o Argom ulyo Grobogan Genotipe kedelai H asil b iji (t/h a) Hasil kedelai Hasil jagung Rata-rata hasil jagung Rata-rata hasil kedelai 0 1 2 3 4 5 6 G1 G2 G3 G4 G5 G6 G7 G8 G9 G10G11G12Pan gra ngo Ar gom ulyo Gr obog an Genotipe kedelai Ha si l b iji (t /h a) Hasil kedelai Hasil jagung Rata-rata hasil jagung Rata-rata hasil kedelai 0 1 2 3 4 5 6 7 8 G1 G2 G3 G4 G5 G6 G7 G8 G9 G10G11G12Pang rango Ar gom ulyo Gr obo gan Genotipe kedelai H asil b iji (t/h a) Hasil kedelai Hasil jagung Rata-rata hasil jagung Rata-rata hasil kedelai 0 1 2 3 4 5 6 G1 G2 G3 G4 G5 G6 G7 G8 G9 G10G1 1G12Pangr ang o Ar gom ulyo Gr obo gan Genotipe kedelai H as il b iji (t/ ha)
Gambar 2. Hasil biji kedelai dan jagung di KP Muneng (kiri atas), Grobogan (kanan atas), KP Ngale (kiri bawah), dan Nganjuk (kanan bawah). Nama lengkap genotipe lihat Tabel 8.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa respon setiap genotipe
terhadap pola penaungan pada tumpangsari jagung-kedelai menunjukkan perbedaan.
Argomulyo x IAC,100-10-KP-40-120 merupakan genotipe yang memberikan hasil tertinggi
di tiga lokasi pengujian (KP Muneng, Grobogan, dan KP Ngale), masing-masing 1,72 t;
1,55 t; dan 1,88 t/ha. Tumpangsari jagung–kedelai Argomulyo x IAC.100-10-KP-40-120
maupun IAC.100/Burangrang x Malabar-10-KP-30-75 merupakan kombinasi yang
mampu memberikan hasil jagung dan kedelai yang tinggi, rata-rata hasil jagung 5,63 t dan
5,62 t/ha, serta hasil kedelai 1,57 t dan 1,14 t/ha.
DAFTAR PUSTAKA
Akunda E M. 2001. Inter cropping and population density effects on yield component, seed quality
and photosynthesis of sorghum and soybean. The J of Food Technol in Africa, 6(3) 2001 pp.
96−100.
BPS. 2010. Statistik Indonesia 2010. Badan Statistik Indonesia. http://www.bps.go.id/ tnmn_pgn. php?kat=3 Diakses tanggal 19 Juni 2012.
Cruse R.M. 2008. Strip intrcropping:ACRP conversion option. Conservation reserve program: issues and options. CRP-17. Reviewed June 2008. Iowa St.Univ, University Extentsion, Ames, Iowa, USA.
Emuh FN. 2007. Economic yield and sustainability of maize crop (zea mays L.) in associate with
cowpea (Vigna unguiculata (L) Walp) and Egusi-melon (Citrullus lunatus (Thumb) mansf) in
South Western Nigeria. J. Agron. 6:157-161.
Kurosaki H & S Yumoto. 2003. Effect of low temperature and shading during flowering on the yield
components in soybeans. Plant Production Science. 6(1): 17−23.
Li C, et al. 2009. Crop diversity for yield increase. PLos One.4:e8049-e8049. http://www. ncbi.nlm. nih.gov/pubmed/19956624 (1 Juni 2011).
Prasad R.B, and R.M Brook. 2005. Effect of varying maize densities on intercropped maize and
soybean in Nepal. Experimental Agriculture. 41: 365−382.
Wang Z, Yang W. 2007. New soybean planting system in South China hilly ground. Crop Res. 34: 35-38.
Wu Q, Wang Z, Yang W. 2007. Seedling shading effects morphogenesis and substance accumulation
of stem in soybean. Soybean Sci.26:05−210. http://en.cnki.com.cn/ Article