• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN KEPUSTAKAAN. tidak memiliki karakterisik disebut ayam kampung (Nataamijaya, 2010). Ayam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN KEPUSTAKAAN. tidak memiliki karakterisik disebut ayam kampung (Nataamijaya, 2010). Ayam"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Ayam Lokal

Di Indonesia terdapat berbagai jenis ayam lokal, baik itu ayam asli maupun ayam hasil adaptasi yang sudah ada sejak ratusan tahun silam. Ayam lokal yang tidak memiliki karakterisik disebut ayam kampung (Nataamijaya, 2010). Ayam lokal memiliki potensi besar untuk dikembangkan dalam upaya menunjang ketahanan pangan dan meningkatkan kesejahteraan petani. Di Indonesia dilaporkan terdapat 32 jenis ayam lokal (ecotype) dan masing-masing jenis memiliki keunggulan tersendiri.

Ayam lokal merupakan hasil domestikasi ayam hutan (Gallus gallus) dan dapat dikelompokkan menjadi tipe pedaging (Ayam Pelung, Gaok, Nagrak dan Sedayu), petelur (Kedu Hitam, Kedu Putih, Nunukan, Nusa Penida, Merawang, Wareng, dan Ayam Sumatera), dan dwiguna (Ayam Sentul, Bangkalan, Olagan, Ayunai, Melayu, dan Ayam Siem). Selain itu dikenal pula ayam tipe petarung (Ayam Banten, Ciparage, Tolaki, dan Bangkok) dan ternak kegemaran/ hias (Ayam Pelung, Gaok, Tukung, Burgo, Bekisar, dan Walik) (Nataamijaya, 2010).

Ayam lokal adalah salah satu sumber genetik ternak yang memiliki kelebihan bila ditinjau dari kemampuan adaptasinya dan relatif tahan terhadap penyakit yakni Avian Infulenza (Seyama dkk., 2006). Selain karena adaptasinya ayam lokal memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan telur dan daging pada ayam ras pada umumnya sehingga layak untuk dikembangkan menjadi ayam pedaging. Selain untuk konsumsi di beberapa tempat ayam ini menjadi salah satu pelengkap dalam upacara tradisional (Nataamijaya, 2010).

(2)

2.2 Telur Tetas

Telur tetas merupakan telur yang dapat ditetaskan untuk digunakan sebagai bibit yang baik dalam bidang perunggasan. Telur tetas memiliki peranan yang penting dalam alur peternakan unggas juga menentukan kualitas DOC. Telur tetas adalah telur fertil yang dihasilkan oleh induk ayam, yaitu telur yang telah dibuahi oleh sel kelamin jantan atau telur yang telah mengalami proses fertilisasi. (Mulyanti, 2010)

Telur tetas dihasilkan dari peternakan ayam pembibit yang sehat dan produktifitasnya tinggi, umur telur tidak lebih dari satu minggu, bentuk telur normal, berat telur seragam, telur tidak terlalu tipis dan telur tetas yang baik permukaannya halus, tidak kotordan tidak retak (Suprijatna dkk., 2008). Telur yang baik berbentuk oval. Namun beberapa induk secara kontiniu bertelur dengan bentuk tidak sempurna, yaitu berbentuk benjol-benjol, ceper, bulat pada ujungnya dan sebagainya. Ketidaksempurnaan bentuk telur akan ditemukan pada setiap telur yang dihasilkan induk, beberapa diantaranya bersifat genetis dan yang lainya karena ketidaknormalan oviduk (Suprijatna dkk., 2008). Umur telur tetas yang semakin meningkat akan menurunkan kualitas telur karena penguapan CO2 dan H2O, menurunnya kualitas telur akan menghambat perkembangan embrio sehingga dapat menurunkan fertilitas dan daya tetas (Winarno dan Kosmara, 2002).

2.3 Kualitas Anak Ayam

Kualitas anak ayam merupakan hal penting untuk dinilai, sehingga dapat ditentukan melalui pendekatan kuantitatif dengan mempertimbangkan berbagai kriteria kualitas numerik atau observasi dalam penetasan (Decuypere dan Bruggeman, 2007). Sifat kuantitatif adalah sifat yang harus diukur dengan cara perhitungan tertentu karena antarkelas fenotipe sangat kecil dan dikontrol oleh

(3)

banyak pasangan gen yang aksinya bersifat aditif (Noor, 2008). Pengukuran nilai kuantitatif yang digunakan untuk menilai kualitas DOC yang baik adalah panjang badan (Barri, 2008), berat yolk sac dan bobot tetas tanpa kuning telur anak ayam (Ipek dkk., 2013). Joseph., dkk (2006) menyatakan bahwa terdapat korelasi antara yolk sac, panjang tubuh dan bobot tetas DOC. Semakin sedikit yolk sac yang dihasilkan bobot tetas semakin tinggi, begitu pula dengan panjang tubuh anak ayam tersebut.

2.3.1 Panjang Tubuh Anak Ayam

Pengukuran panjang tubuh anak ayam merupakan cara yang praktis untuk menentukan perkembangan ayam. Pengukuran ini dilakukan dengan cara mengukur ujung paruh sampai jari kaki ketiga. Terdapat korelasi antara panjang tubuh anak ayam dengan tingkat penyerapan nutrisi (kuning telur) (Decuypere dan Bruggeman, 2007). Semakin panjang tubuh anak ayam maka tingkat penyerapan nutrisi semakin tinggi, sehingga dapat menyebabkan bobot badan yang lebih tinggi (Molenaar dkk, 2009).

Faktor penting yang mempengaruhi panjang tubuh anak ayam adalah umur induk dalam satu flok (Hill, 2002). Anak ayam relatif akan sama panjangnya dari umur induk yang sama. Terdapat kolerasi antara panjang tubuh dan perkembangan organ (Ketels, 2011). Semakin panjang tubuh anak ayam maka perkembangan berat organ seperti berat hati dan limpa lebih tinggi.

2.3.2 Yolk Sac Ayam

Yolk Sac merupakan membran yang membungkus kuning telur selama proses perkembangan embrio berlangsung. Pada waktu menetas yolk sac harus sepenuhnya diserap (Ipek dkk., 2013). Yolk sac terdiri dari lapisan epitel kolumnar

(4)

sederhana. Epitel dibentuk oleh sel endodermal, dan dilipat secara mendalam ke dalam lumen. Kalsium spherules menempel pada sel endodermal dan meningkat dalam jumlah seiring lamanya masa inkubasi (Noy dkk., 1996). Yolk mengandung 2 jenis komponen yang berbeda: kuning telur, yang terdiri dari globules 1/3 protein dan 2/3 lipid, dan putih telur, yang dibentuk oleh butiran kecil yang terdiri dari 2/3 protein dan 1/3 lipid (Dzoma dan Dorrestein, 2001). Yolk sac memiliki membran yang dapat mensekresikan enzim yang mengubah kandungan yolk sac menjadi sumber energi dan cadangan makanan melalui asam lemak oksidasi selama perkembangan embrio dan satu-satunya sumber lipid untuk pertumbuhan jaringan embrio (Yadgray dkk., 2010).

Selama tahap awal perkembangan, embrio bergantung pada metabolisme protein dan karbohidrat dari albumen untuk memenuhi kebutuhannya (Richards, 1991). Selama beberapa hari terakhir di telur saat embrio siap menetas (periode peri-hatch), kuning telur diinternalisasi ke dalam rongga tubuh untuk diserap oleh anak ayam selama periode penetasan dan pasca-penetasan (Noble and Cocchi , 1990). Selama periode peri-hatch, embrio mulai menyerap kuning telur dan menggunakan lipid sebagai sumber energi utamanya, dan protein dan asam amino sebagai sumber pertumbuhan dan pengembangan jaringan (Speake dkk., 1998). Sekitar 90% dari total kebutuhan energi embrio berasal dari metabolisme lipid, dan lebih dari 80% lipida kuning telur diserap selama proses penetasan (Noble dan Cocchi). Selama masa inkubasi keseluruhan massa kuning telur dipertahankan konstan. Sisanya kuning telur yang tidak terserap dari proses penetasan menjadi diserap dan dimanfaatkan ketika posthatching.

Penyerapan kuning telur oleh embrio sudah terjadi pada minggu pertama inkubasi. Kontrol suhu yang sesuai dapat menghasilkan daya tetas dan kualitas telur

(5)

yang lebih baik. Hal ini dikarenakan serapan kuning telur oleh embrio akan jauh lebih tinggi dan dengan demikian mengurangi angka kematian pada minggu pertama karena sisa kuning telur yang lebih rendah (Meijerhof, 2003).

2.4 Penetasan

Penetasan merupakan proses perkembangan embrio di dalam telur hingga menetas menghasilkan anak ayam. Pada dasarnya penetasan terbagi menjadi penetasan alami dan penetasan buatan. Penetasan secara alami dilakukan langsung oleh induk dengan cara mengerami telur hingga menetas. Cara ini sudah dilakukan ketika ayam mulai didomestikasi. Proses penetasan secara alami ini dapat dilakukan ketika tersedia tempat untuk penetasan yang sering disebut sarang atau sangkar. Setelah sarang tersedia kegiatan berikutnya peletakan telur di atasnya. Induk ayam biasanya dapat mengerami telur 10-15 butir bergantung pada ukuran tubuh serta lebatnya bulu induk tersebut (Paimin, 2011).

Sedangkan penetasan buatan dibantu oleh mesin tetas yang keadaan suhunya menyerupai induk ayam yang lingkungannya sesuai dengan perkembangan embrio. Kelebihan dari penetasan buatan adalah jumlah telur yang dapat ditetaskan jauh lebih banyak dibandingkan dengan penetasan secara alami. Keberhasilan penetasan buatan bergantung banyak faktor seperti telur tetas, mesin tetas dan tata laksana penetasan (Suprijatna dkk., 2008).

2.4.1 Mesin Tetas

Mesin tetas merupakan sebuah peti atau lemari dengan konstruksi yang dibuat sedemikian rupa sehingga panas di dalamnya tidak terbuang. Suhu di dalam ruangan mesin tetas dapa diatur sesuai dengan ukuran derajat panas yang diperlukan

(6)

selama periode penetasan. Prinsip kerja mesin tetas sama dengan induk yang mengerami telur (Paimin, 2011).

Pada dasarnya terdapat dua tipe mesin tetas yang lazim digunakan untuk menetaskan telur tetas, yakni tipe “flat” atau “still air” dan tipe “cabinet”, “agited” atau “forced draft”. Kedua tipe ini satu sama lain dibedakan dari sistem pergerakan udara di dalamnya. Pada tipe “flat” atau “still air”udara di dalamnya diam (tidak bergerak); sedangkan pada tipe “cabinet”, “agited” atau “forced draft” ada mekanisme pergerakan udara yang secara mekanis membantu sistem ventilasi (Srigandono, 1997)

Dalam proses penetasan temperatur atau suhu inkubasi memegang peranan paling penting dalam menentukan keberhasilan suatu penetasan. Selain keberhasilan dalam penetasan temperatur ini mempengaruhi pertumbuhan embrio pasca anak ayam menetas (Lourens dkk., 2005). Embrio tidak mampu mengatur temperatur sendiri sampai menetas, temperatur tubuh embrio diatur oleh temperatur inkubator (Leksrimpong dkk., 2007). Oleh karenanya embrio akan bergantung pada temperatur incubator, kemampuan panas untuk mentransfer antara inkubator dan embrio, serta panas memproduksi panas metabolic (French, 1997).

2.4.1.1 Temperatur Mesin Tetas

Pembentukan embrio yang optimal terjadi saat suhu 37,2-39,4°C (Ensminger dkk., 2004). Fluktuasi suhu yang terjadi dalam rentan suhu tersebut tidak masalah namun jika suhu inkubasi terlalu tinggi dapat meningkatkan mortalitas embrio, serta sebaliknya suhu yang terlalu rendah akan menghambat pertumbuhan embrio dan telur menurunkan daya tetas. Suhu optimum perkembangan embrio berbeda pada masing-masing telur, hal ini dipengaruhi oleh ukuran telur, kualitas kulit telur, genetik (breed atau strain), umur telur saat

(7)

dimasukkan dalam inkubator, kelembaban inkubasi (Mulyantini, 2010). Tempertaur optimal untuk penetasan pada ayam adalah antara 37,0-38,0oC (98,0 – 100,4oF) meski pada temperatur 35.0-42.2oC masih memungkinkan untuk dilakukan penetasan (Nick, 2010).

Menurut Farghly (2015) temperatur mesin tetas untuk ayam adalah 37,8oC pada pada fase setter sampai hari ke-18, sedangkan fase hatcher sampai hari ke-21 yakni 37,3oC suhu diturunkan hingga 0,5 oC. Namun menurut Joseph dkk., (2006) pengaturan temperatur mesin tetas ini diatur dalam tiga tahap yakni early (hari 1-10), middle (hari 10-18), dan late (hari 19-21). Pembagian ini memudahkan untuk mengontrol tingkat kematian serta perkembangan embrio pada saat inkubasi. Terutama pada minggu pertama masa inkubasi, karena menunjang perkembangan embrio selanjutnya. Jika suhu terlalu tinggi atau rendah dapat menyebabkan kegagalan dalam penetasan.

2.4.1.2Kelembaban Mesin Tetas

Kelembaban yang optimum untuk perkembangan telur tetas yang baik adalah 60% (Berry, 2007). Kelembaban akan ditingkatkan menjadi 75% menjelang menetas atau saat tiga hari terakhir inkubasi, karena kelembaban yang rendah saat anak ayam baru menetas akan menyebabkan telur kering terlalu cepat dan akan meningkatkan terjadinya kematian embrio (Mulyantini, 2010). Embrio yang sedang tumbuh menghasilkan panas lebih sehingga memerlukan pendinginan dengan menaikkan kelembaban dan menurunkan temperatur inkubasi. Selain itu kelembaban ditingkatkan di akhir inkubasi untuk mengurangi hilangnya albumen secara berlebih melalui pori kulit telur dan membran (King’ori, 2011). Kelembaban dari telur akan hilang melalui pori-pori kulit telur dengan adanya proses penguapan.

(8)

Laju pelepasan kelembaban dapat dikontrol dengan mengatur kelembaban di sekitar telur.

2.4.1.3 Pengaruh Temperatur Mesin Tetas terhadap Kualitas Anak Ayam Temperatur mesin tetas sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan kualitas anak ayam. Lourens (2003) mengemukakan bahwa suhu inkubasi atau suhu embrio yang lebih spesifik merupakan faktor terpenting yang mempengaruhi kualitas anak ayam. Faktor-faktor yang mempengaruhi suhu embrio adalah produksi panas embrio sendiri (breed, breeder age, stadium inkubasi dan tingkat

overheating), suhu udara pada setter dan hatcher, kecepatan udara dan kelembaban udara (kadar air udara). Kontrol suhu embrio antara rentang yang dapat diterima dapat menghasilkan daya tetas yang lebih baik dan kualitas telur yang lebih baik karena fakta bahwa serapan kuning telur oleh embrio akan jauh lebih tinggi dan dengan demikian mengurangi angka kematian pada minggu pertama karena sisa kuning telur yang lebih rendah dan infeksi E. coli (Meijerhof, 2003).

Banyak peneliti telah melaporkan efek suhu inkubasi yang bervariasi terhadap kualitas anak ayam. Deeming (2000) menunjukkan bahwa suhu tinggi meningkatkan laju perkembangan embrio serta kebutuhan oksigen. Karena embrio membakar lebih banyak oksigen, ia menghasilkan lebih banyak limbah panas, meningkatkan suhu telur lebih tinggi yang pada gilirannya menyebabkan peningkatan metabolisme dan kebutuhan akan lebih banyak oksigen (Lourens, 2003). Konsekuensi dari ini adalah tingkat pertumbuhan yang buruk, ketidakmampuan untuk benar-benar memanfaatkan protein albumen. Pada penetasan, tingkat kematian embrio yang tinggi, daya tetas rendah, kualitas anak ayam yang buruk dengan tingkat kematian dini yang tinggi pada ayam (Deeming,

(9)

2000). Selain itu, embrio sangat sensitif terhadap variasi suhu dan fluktuasi yang terlalu sering pada suhu inkubasi akan mempengaruhi kualitas penetasan dan kualitas telur ayam (Taylor, 2000). Waktu inkubasi normal untuk menghasilkan kualitas anak ayam sebaiknya sekitar 21 hari dan 6 jam.

Decuypere (1984) mendalilkan bahwa suhu inkubasi diferensial tidak hanya sebagai efek mempercepat atau memperlambat perkembangan organisme, namun juga mengubah kinerja tertinggi selama pertumbuhan dan reproduksi juga. Dia juga menunjukkan bahwa penelitian untuk menentukan suhu lingkungan yang optimal harus mempertimbangkan efek jangka panjang yang mungkin dari pengaruh eksogen selama periode awal pengembangan dan diferensiasi. Alsop (1919) melaporkan bahwa panas yang berlebihan (40 - 42.2oC) menghasilkan kematian pada anak ayam dan banyak embrio memiliki berbagai bentuk kelainan pada sistem saraf. Suhu yang berlebihan mempercepat perkembangan embrio, sementara suhu rendah memperlambat laju pertumbuhannya. Suhu antara 39.4oC dan 42.2oC menghasilkan 90% embrio abnormal. Kelainan ini 46% berada di daerah kepala sementara 54% berada di saraf.

Referensi

Dokumen terkait

Informasi tersebut dapat berupa karya peserta didik dari proses pembelajaran yang dianggap paling terbaik, hasil tes (bukan nilai), atau informasi lain yang relevan

(5) Penjabaran lebih lanjut mengenai tugas pokok dan fungsi Rumah Sakit Umum Daerah Kelas D ditetapkan dengan Peraturan Bupati.. Bagian Kedua

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa dalam novel Surga Yang Tak Dirindukan karya Asma Nadia, didalamnya terkandung pesan moral yang

Keseimbangan labil : Sebuah pararel epipedum miring ( balok miring ) yang bidang diagonalnya AB tegak lurus pada bidang alasnya diletakkan diatas bidang datar, maka ia dalam

Kebijakan puritanisme oleh sultan Aurangzeb dan pengislaman orang-orang Hindu secara paksa demi menjadikan tanah India sebagai negara Islam, dengan menyerang berbagai praktek

Dengan perkambangan teknologi smartphone, dibutuhkan konten berbasis web yang dapat disajikan melalui perangkat mobile tersebut. Oleh karena itu, dikembangkan juga

Pada luka insisi operasi dilakukan infiltrasi anestesi local levobupivakain pada sekitar luka karena sekresi IL-10 akan tetap dipertahankan dibandingkan tanpa

Penelitian ini adalah penelitian untuk mengetahui pengaruh satu atau lebih variabel bebas ( independent variable ) terhadap variabel terikat ( dependent variable )