• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN BERDASARKAN HUKUM KELUARGA DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN BERDASARKAN HUKUM KELUARGA DI INDONESIA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG KEDUDUKAN ANAK LUAR KAWIN BERDASARKAN HUKUM KELUARGA DI INDONESIA

A. Kedudukan Anak Luar Kawin Dalam Hubungan Kekerabatan

Kedudukan anak diatur di dalam Undang-Undang Perkawinan dalam Bab IX Pasal 42 sampai Pasal 43. Masalah kedudukan anak ini, terutama adalah dalam hubungannya dengan pihak bapaknya, sedangkan terhadap pihak ibunya secara umum dapat dikatakan tidak terlalu susah untuk mengetahui siapa ibu dari anak yang dilahirkan tersebut. Untuk mengetahui siapa ayah dari seorang anak, masih dapat menimbulkan kesulitan. Bagi seseorang, anak dianggap selalu mempunyai hubungan hukum dengan ibunya. Dengan pihak bapak, anak tidaklah demikian. Anak tidak mempunyai hubungan hukum dengan pihak ayah yang telah membenihkannya.8

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dengan perkawinan suami isteri memperoleh keturunan. Yang dimaksudkan dengan “keturunan” disini adalah hubungan darah antara bapak, ibu dan anak-anaknya. Jadi antara bapak dan ibu serta anak ada hubungan biologis. Anak-anak yang dilahirkan dari hubungan biologis ini dan ditumbuhkan sepanjang pekawinan adalah anak-anak sah (wettige of echte kinderen).9

Sedangkan anak-anak lainnya, yakni anak yang mempunyai ibu dan bapak yang tidak terikat dengan perkawinan, dinamakan anak tidak sah, atau anak di luar nikah juga sering disebut anak anak alami atau onwettige onechte of natuurlijke

8 Darmabrata dan Sjarif, op.cit., hal. 131.

9 Martiman Prodjohamijojo, Hukum Perkawinan Indonesia, Cet.II, (Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing, 2007), hal . 53.

(2)

kinderen. Jadi terhadap anak yang lahir di luar nikah terdapat hubungan biologis hanya dengan ibunya tetapi tidak ada hubungan biologis dengan ayahnya.10

Berdasarkan Pasal 272 K.U.H.Perdata pengertian anak luar kawin dibagi menjadi dua yaitu dalam arti luas dan sempit. Anak luar kawin dalam arti luas meliputi anak zina, anak sumbang dan anak luar kawin lainnya. Sedangkan anak luar kawin dalam arti sempit, artinya tidak termasuk anak zina dan anak sumbang, anak luar kawin dalam arti sempit ini yang dapat diakui. Sedangkan dalam Islam anak luar kawin disebut sebagai anak zina.

Anak zina adalah anak yang lahir dari suatu hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan yang tidak terikat dalam nikah yan sah meskipun ia lahir dalam suatu perkawinan yang sah dengan laki yang melakukan zina atau laki-laki lain. Meskipun anak zina itu mempunyai status hukum yang sama dengan anak li’an yaitu sama-sama tidak sah, namun perbedaan antara keduanya adalah bahwa anak zina telah jelas statusnya dari awal, seperti lahir dari perempuan yang tidak bersuami sedangkan anak li’an lahir dari perempuan yang bersuami, namun tidak diakui anak tersebut oleh suaminya. Anak zina itu tidak mempunyai hubungan nasab dengan laki-laki yang menyebabkan ia lahir.11

Menurut Undang-Undang Perkawinan dalam Pasal 42 Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Sedangkan anak yang dilahirkan di luar perkawinan, merupakan anak luar kawin dan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43 Undang-Undang Perkawinan). Artinya si anak tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya, baik yang berkenaan dengan pendidikan maupun warisan.

Dalam Undang-Undang Perkawinan Pasal 43 ayat (2) dikatakan bahwa kedudukan anak luar kawin selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Akan tetapi sampai saat ini Peraturan Pemerintah yang dimaksud tersebut belum juga diterbitkan. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 yang merupakan peraturan pelaksanaan Undang-Undang tersebut tidak mengatur mengenai status anak tersebut.

Anak luar kawin tersebut tidak dapat dinasabkan kepada bapaknya sehingga ia tidak akan mempunyai hubungan baik secara hukum maupun

10Ibid..

(3)

kekerabatan dengan bapaknya. Sehingga secara yuridis formal ayah tidak wajib memberikan nafkah kepada anak itu, walaupun secara biologis anak itu adalah anaknya sendiri. Jadi hubungan kekerabatan hanya berlangsung secara manusiawi bukan secara hukum.

Dengan adanya ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan bahwa anak luar kawin hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya maupun juga antara keluarga ibu dengan anak yang dilahirkan di luar perkawinan tersebut, maka secara hukum anak tersebut berada dalam asuhan dan pengawasan ibunya sehingga timbul kewajiban dari ibunya untuk memelihara dan mendidik, serta berhak untuk memperoleh warisan yang timbul baik antara ibu dan anak maupun dengan keluarga ibu dan anak.

Undang-Undang Perkawinan tidak mengenal anak luar kawin terhadap ibunya, oleh karena anak yang lahir di luar perkawinan adalah anak dari ibu yang melahirkannya, asas mana didasarkan pada asas yang terdapat dalam hukum adat. Memang bagaimanapun juga lahirnya anak tidak dapat dielakkan bahwa anak tersebut adalah anak dari ibu yang melahirkannya. Tidak mungkin anak lahir tanpa ibu. Anak itu mempunyai hubungan perdata dengan ibu yang melahirkannya dan keluarga dari ibunya itu, tetapi tidak ada hubungan perdata dengan laki-laki yang membenihkannya.12

B. Kedudukan Anak Luar Kawin Dalam Hubungan Kewarisan

Kalau kita lihat di dalam lingkungan Hukum Adat, Hukum Islam, maupun di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), anak-anak dari si peninggal warisan merupakan golongan yang terpenting dan yang utama. Dr. Wirjono dalam bukunya Hukum Waris di Indonesia, antara lain menyebutkan bahwa oleh karena mereka (anak-anak) pada hakikatnya merupakan satu-satunyan golongan ahli waris, artinya sanak kelurga tidak menjadi ahli waris apabila si peninggal warisan meninggalkan anak-anak13

Maka dari itu kedudukan seorang anak dalam masalah hubungan kewarisan sangat penting karena anak merupakan keturunan atau penerus dari

12Darmabrata dan Sjarif, op.cit., hal. 135.

13Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Cet.II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal.31.

(4)

orang tuanya, dimana orang tua juga mempunyai kewajiban untuk mengurus dan menafkahi anak mereka, sudah selayaknya jika seorang anak menjadi ahli waris pertama yang didahulukan untuk mendapat bagian warisan dari orang tuanya. Tetapi dengan adanya pembedaan status anak antara anak sah dengan anak luar kawin diakui maka tentu saja pembagian diantara keduanya juga berbada.

Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya saja karena itu anak luar kawin hanya akan memperoleh warisan dari ibunya maupun keluarga ibunya saja. Tidak berhak atas warisan dari bapaknya karena tidak mempunyai hubungan perdata dengan bapaknya.

Pengaturan mengenai Hukum Waris di Indonesia masih beraneka ragam karena adanya sifat pluralistik dengan berlakunya tiga sistem hukum kewarisan, yaitu Hukum Waris Adat, Hukum Waris Islam, dan Hukum Waris Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Dikarenakan bahwa sesungguhnya dalam kehidupan masyarakat di dunia ini memiliki kondisi kekeluargaan yang berbeda-beda, dari inilah keadaan warisan dari masyarakat itu tergantung dari masyarakat tertentu yang ada kaitannya dengan kondisi kekeluargaan serta membawa dampak pada kekayaan dalam masyarakat tersebut.14

Mengenai masalah kewarisan di Indonesia belum ada Undang-Undang yang mengatur secara spesifik mengenai hal tersebut, maka berdasarkan ketentuan Pasal 66 UU No.1 Tahun 1974 yang mengatakan:

“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-Undang ini, maka dengan berlakunya Undang-Undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordonnantie Christen Indonesiers S. 1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh setelah diatur dalam undang-undang ini, dinyatkan tidak berlaku”.

Dengan ketentuan tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa mengenai Hukum Waris yang terdapat dalam K.U.H.Perdata hanya berlaku bagi mereka yang tunduk atau menundukkan diri kepada Kitab Undang-Undang hukum Perdata, khususnya bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa dan

14Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, Cet. IV, (Jakarta: 2006), hal. 5. |

(5)

Eropa dan ketentuan dalam K.U.H.Perdata masih dapat diterapkan karena belum ada Undang-Undang yang secara khusus mengaturnya.

Mengenai masalah kewarisan bagi anak luar kawin, hukum di Indonesia memberikan solusi agar anak luar kawin dapat memperoleh bagian warisan dari ayahnnya, yaitu dengan cara diakuinya anak tersebut oleh ayahnya. Namun pengakuan anak luar kawin ini hanya diperuntukkan bagi golongan keturunan Tionghoa yang diatur dalam K.U.H.Perdata.

Dalam K.U.H.Perdata hak waris anak luar kawin yang diakui diatur pada Pasal 862-866 dan Pasal 867 ayat (1). Ahli Waris anak luar kawin timbul jika pewaris mengakui dengan sah anak luar kawin tersebut.

Syarat agar anak luar kawin dapat mewaris ialah bahwa anak tersebut harus diakui dengan sah oleh orang tua yang membenihkannya. Dalam K.U.H.Perdata dianut prinsip bahwa, hanya mereka yang mempunyai hubungan hukum dengan pewaris yang berhak mewaris. Hubungan hukum antara anak luar kawin dengan ayah ibunya, timbul sesudah ada pengakuan dari ayah ibunya tersebut. Hubungan hukum tersebut bersifat terbatas, dalam arti hubungan hukum itu hanya ada antara anak luar kawin yang diakui dengan ayah ibu yang mengakuinya saja (Pasal 872 K.U.H.Perdata).15

Bagian seorang anak yang lahir di luar perkawinan, tetapi diakui (erkend natuurlijk), itu tergantung dari berapa adanya anggota keluarga yang sah. Jika ada ahli waris dari golongan pertama maka bagian anak yang lahir di luar perkawinan tersebut sepertiga dari bagian yang akan diperolehnya seandainya ia dilahirkan dari perkawinan yang sah. Dan jikalau ia bersama-sama mewaris dengan anggota-anggota keluarga dari golongan kedua, bagiannya menjadi separoh dari bagian yang akan diperolehnya seandainya ia dilahirkan dari perkawinan yang sah. Pembagian warisan, harus dilakukan sedemikian rupa, sehingga anak yang lahir di luar perkawinan itu, harus dihitung dan dikeluarkan lebih dahulu barulah sisanya dibagi antara ahli waris yang lainnya, seolah-olah sisa warisan itu utuh. Contoh: jika ada 2 orang anak yang lahir di luar perkawinan, di disamping 3 orang anak yang sah, maka yang pertama itu akan menerima masing-masing 1/3 x 1/5 = 1/15 atau bersama-sama 2/15. Bagian ini harus diambilkan terlebih dahulu, dan sisanya

15 Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat, Cet. II, (Jakarta: Kencana Media Group), hal. 87.

(6)

13/15 dibagi antara anak-anak yang sah yang karenanya masing-masing mendapat 13/30 bagian dari warisan. Juga terhadap anak yang lahir di luar perkawinan, Undang-Undang memuat pasal-pasal perihal “penggantian” (plaatsvervulling), sehingga apabila ia meninggal lebih dahulu ia dapat di gantikan oleh anak-anaknya sendiri.16 Jika pewaris hanya meninggalkan waris yang lebih jauh dari waris yang disebut diatas maka ia mendapat 3/4 warisan. Pembagian tersebut di atur dalam Pasal 863 K.U.H.Perdata dalam hal jika pengakuan anak luar kawin dilakukan sebelum perkawinan. Dalam Pasal 272 K.U.H.Perdata, Jika pengakuan anak luar kawin dilakukan pada saat perkawinan, maka anak luar kawin mendapat bagiannya sama dengan anak sah.

Sedangkan apabila pengakuan anak luar kawin dilakukan sepanjang perkawinan, maksudnya pengakuan dilakukan suami atau istri yang mengakui anak itu sewaktu dalam suatu ikatan perkawinan, maka pengakuan tersebut tidak boleh merugikan istri dan anak-anak dari perkawinan pada waktu pengakuan dilakukan.

P = Pewaris melakukan hubungan di luar nikah dan mempunyai anak D. Kemudian P menikah dengan A dan mempunyai anak C dan B.

Sepanjang perkawinan antara P dan A, maka P mengakui anak luar kawin (D). Dalam hal ini pengakuan P terhadap D tidak boleh merugikan A,C,B, yaitu istri dan anak-anaknya. Menurut Pasal 285 K.U.H.Perdata, maka D tidak mendapatkan bagian warisan, warisan tetap dibagi tanpa memandang adanya D,

(7)

untuk tidak merugikan istri dan anak-anak (A, C, B). Dengan demikian harta dibagi antara A, C, B dan masing-masing mendapatkan 1/3 bagian. Lain halnya apabila anak luar kawin yang diakui Ayahnya, yaitu Pewaris sebelum perkawinan dengan istrinya B, seperti bagan dibawah ini :

X adalah anak luar kawin yang diakui sah sebelum Pewaris melakukan perkawinannya dengan B. Dalam hal ini X mendapat warisan. X boleh merugikan istri Pewaris, yaitu B dan anak-anak Pewaris, yaitu M dan N. Kalau pengakuan tidak merugikan istri/suami dalam perkawinan si orang tua yang mengakuinya terikat, dan tidak merugikan anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut, maka pengakuan itu dapat menguntungkan anak luar kawin tersebut, artinya anak luar kawin tersebut dapat mewaris dari orang tua yang mengakuinya.

C

D

P

A

B

P = Pewaris mempunyai anak luar kawin B. P kemudian menikah dengan A, dan tidak mempunyai anak. Dalam perkawinannya dengan A, P mengakui B. Kemudian A meninggal dunia, baru kemudian P. Pada waktu P meninggal ahli warisnya ada B, C dan D (orang tua P). Dalam hal ini tidak ada masalah

merugikan A (istri) dan anak-anak. Oleh karena itu B dapat mewaris. B bagiannya 1/2 C dan D masing-masing 1/4 bagian (1/2 x 1/2).17

Apabila ada kemungkinan bahwa pewaris tidak meninggalkan ahli waris selain anak luar kawin tersebut, Pasal 865 K.U.H.Perdata secara garis besar menentukan bahwa anak luar kawin mewaris seluruh harta warisan.

(8)

Mengenai anak-anak yang lahir di luar kawin dan tidak diakui terdapat 2 golongan18:

a). Anak-anak yang lahir dalam zinah, yaitu anak yang lahir dari perhubungan orang lelaki dan orang perempuan, sedangkan salah satu dari mereka atau kedua-duanya berada di dalam perkawinan dengan orang lain.

b). Anak-anak yang lahir dalam sumbang, yaitu anak yang lahir dari perhubungan orang lelaki dan orang perempuan, sedangkan di antara mereka terdapat larangan kawin, karena masih sangat dekat hubungan kekeluargannya (Pasal 30).

Anak-anak sebagaimana tersebut di atas memuat Pasal 283 K.U.H.Perdata tidak dapat diakui. Mengenai hak waris anak-anak ini Pasal 867 K.U.H.Perdata menentukan, bahwa mereka itu tidak dapat mewaris dari orang yang membenihkannya. Mereka hanya dapat nafkah untuk hidup.19

Pasal 868 K.U.H.Perdata menentukan bahwa nafkah ditentukan menurut kekayaan si ayah atau si ibu, serta jumlah dan keadaan para waris yang sah. Adapun status dari anak-anak tersebut bukanlah sebagai waris tapi sebagai seorang yang berpiutang.

Pasal 873 K.U.H.Perdata ayat 2 mengatakan jika anak luar kawin meninggal dunia yang dapat mewaris adalah:

1). Keturunannya dan isteri (suami)nya, kalau ini tidak ada;

2). Bapak dan/atau ibu yang mengakuinya dengan saudara-saudara beserta keturunannya, kalau ini tidak ada;

3). Keluarga yang terdekat dari ayah dan/atau ibu yang mengakuinya. Dan dalam Pasal 871 menjelaskan bahwa pasal ini mengatur barang-barang yang berasal dari warisan orang tuanya dahulu. Dimana jika anak luar kawin pernah mewaris barang-barang dari orang tuanya, dan barang-barang itu masih terdapat dalam wujudnya, maka jika ia meninggal dunia dan ia tidak meninggalkan keturunan atau isteri (suami), barang itu kembali kepada keturunan sah dari ayah atau ibu. Ketentuan ini juga berlaku bagi tuntutan untuk minta

18 Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, Cet.IV, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004), hal. 43.

(9)

kembali sesuatu barang yang telah dijual tapi belum dibayar. Adapun barang-barang lainnya dapat diwaris oleh saudara-saudaranya atau keturunannya.

C. Penyebab Terjadinya anak luar kawin

1. Adanya Pengingkaran (penyangkalan) yang dilakukan oleh suami

Sebagaimana dengan ketentuan Pasal 42 UU Perkawinan bahwa anak yang lahir dalam perkawinan yang sah antara suami-isteri dianggap anak yang sah dari kedua orang tuanya. Akan tetapi dalam Pasal 44 Ayat (1) UU Perkawinan memberi hak kepada si suami untuk dapat menyangkal atas keabsahan anak yang lahir dalam perkawinan.

Menurut Hukum BW penyangkalan keabsahan anak, secara limitatife disebutkan ada 1 hal, yaitu20:

1). Apabila anak dilahirkan sebelum hari ke 180, terhitung dari hari dilangsungkannya perkawinan (Pasal 251 K.U.H.Perdata).

2). Apabila si suami sejak hari ke 300 sampai hari ke 180 sebelum lahirnya anak baik karena perpisahan maupun sebagai akibat sesuatu kebetulan berada dalam ketakmungkinan yang nyata untuk bersetubuh dengan isterinya (Pasal 252 K.U.H.Perdata).

3). Apabila si isteri melakukan zinah dan menyembunyikan kelahiran anaknya bagi si suami(Pasal 253 K.U.H.Perdata).

4). Apabila anak dilahirkan 300 hari setelah hari keputusan perpisahan meja dan tempat tidur memperoleh kekuatan mutlak (Pasal K.U.H.Perdata).

Suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya karena berzina dan pengadilan akan memberikan keputusan tentang sah tidaknya anak itu. Yang menjadi pertanyaan apakah kata ‘berzina’ atau ‘perzinaan’ dalam UU No. 1-1974 itu sama dengan pengetian berzina (overspel, bermukah) dalam Pasal 284 K.U.H.Pidana yang dikaitkan dengan Pasal 27 K.U.Perdata (asas monogami) ataukah berzina menurut pengertian hukum adat atau agama? Apabila Pasal 44 UU No. 1-1974 itu dikaitkan dengan Pasal 63 tentang pengadilan, maka yang diartikan berzina adalah berdasarkan K.U.H.Perdata bagi perkawinan yang

(10)

beragama Kristen atau orang-orang Cina yang akan diselesaikan pada Pengadilan Negara, sedangkan bagi perkawinan yang beragama Hindu Budha, berzina diartikan menurut pengertian agama masing-masing dan diselesaikan pada pendeta/Dewan Pandita masing-masing atau ke Pengadilan Negara, sedangkan bagi perkawinan menurut agama Islam yang diartikan berzina adalah berdasarkan Hukum Islam yang diselesaikan Pengadilan Agama21.

Penyangkalan yang dilakukan oleh suami terhadap anak yang dilahirkan dari hasil hubungan zina isterinya dengan laki-laki lain tersebut beban pembuktian dalam ketentuan ini oleh hukum dibebankan pada suami yang melakukan penyangkalan. Adapun yang harus dibuktikannya adalah anak tersebut adalah akibat perzinaan yang dilakukan oleh isteri dengan laki-laki lain yang menjadi sebab kelahiran anak tadi. Apabila suami atau ayah dari anak tersebut tidak dapat menunjukkan bukti-bukti yang kuat, maka penyangkalan tidak dapat dilakukan. Bahkan Pengadilan mewajibkan yang berkepentingan untuk mengucapkan sumpah berkaitan dengan keputusan yang akan dikeluarkan tentang sah/tidaknya anak tersebut (Pasal 44 ayat (1), dan (2) Undang-Undang Perkawinan).

Namun demikian, K.U.H.Perdata Pasal 254 juga memberikan hak kepada isteri untuk mengemukakan segala bukti, baik dari peristiwa, saksi, atau bukti lain yang bisa membuktikan bahwa suaminyalah bapak dari anak tersebut.

Alat bukti yang digunakan berkaitan dengan pembuktian adalah:

a). Akta Kelahiran anak (yang telah dibukukan dalam register Catatan Sipil;

b). Saksi-saksi, hal ini dapat dilakukan bila tidak ada akta kelahiran. Pembuktian denagn saksi ini hanya boleh dilakukan apabila telah ada bukti permulaan dengan tulisan, dugaan-dugaan dan petunjuk-petunjuk tersimpul dari peristiwa-peristiwa yang tidak dapat disangkal lagi kebenarannya;

c). Pengadilan mewajibkan yang berkepentingan untuk mengucapkan sumpah (Penjelasan Pasal 44 UU Perkawinan);

d). Melakukan tes DNA. Tes ini dapat membuktikan jenis darah dari pihak yang mengingkari dan yang diingkari, yang kemudian dapat

21Hilmam Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut: Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Cet.III, (Bandung: Mandar Maju, 2007), hal. 125.

(11)

dipakai untuk memperkirakan adanya hubungan darah antara keduanya.

Hukum Islam juga mempunyai lembaga penyangkalan yang disebut dengan istilah “li’an”. Yang berarti suami menuduh isterinya berbuat zina dengan laki-laki lain, dengan tujuan untuk menyangkal kehamilan yang sedang dikandung oleh isteri sebagai kehamilan yang bukan hasil benih yang ditanamkan si suami pada rahim isteri. Li’an itu juga bertujuan untuk menyangkal, bahwa anak yang dilahirkan si isteri bukan anak yang sah dari kami tetapi adalah anak yang diperoleh isteri dari hasil perbuatan zina dengan laki-laki lain.

Sekarang kalau kita bertanya cara bagaimanakah penyangkalan itu dilakukan. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 ini sama sekali tidak ada mengatur cara-cara penyangkalan dimaksud. Apakah semata-mata terserah pada kebikjasanaan peradilan, jika demikian halnya maka penyangkalan anak atas dasar zina, bagi mereka yang beragama Islam dengan sendirinya berlaku ketentuan-ketentuan Li’an yang diterangkan di atas. Sebab masalah yang menyangkut perkawinan, perceraian hadlanah dan status anak sesuai dengan Undang-Undang No. 32/1954 adalah wewenang Peradilan Agama. Maka dengan demikian ketentuan hukum penyangkalan yang akan dipergunakan ialah lembaga ”li’an” yang diatur dalam hukum syariat Islam22.

Dan bagi mereka yang tunduk di luar Peradilan Agama, cara dan prosedurnya wewenang dari Pengadilan Negeri. Oleh karenanya baiknya jika cara dan prosedurnya sesuai dengan acara yang diatur dalam proses hukum perdata dengan meletakkan beban pembuktian pada suami, mengingat Pasal 44 ayat (1) UU Perkawinan telah menentukan sendiri pembebanan bukti dalam penyanglkalan anak zina terletak pada si penyangkal.

Meskipun UU Perkawinan tidak menjelaskan secara tegas kapan seorang bapak dapat mengingkari anaknya, namun dalam K.U.H.Perdata memberi batas waktu sebagai berikut:

a). Satu bulan jika ia tinggal di tempat kelahiran si anak atau sekitarnya;

22M.Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, Cet.III, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 191.

(12)

b). Dua bulan setelah pulang kembalinya, jika ia berada dalam keadaan tidak hadir;

c). Dua bulan setelah tipu muslihat diketahuinya, jika kelahiran anak tersebut disembunyikan darinya.

Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 102 K.U.H.Perdata memberi batas waktu pengajuan pengingkaran anak ke Pengadilan Agama adalah:

a). 180 hari sesudah lahir si anak;

b). 360 hari sesudah putusnya perkawinan;

c). Setelah suami mengetahui bahwa isterinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya ke Pengadilan Agama.

Pengingkaran seorang suami terhadap anak yang dilahirkan oleh isterinya, meskipun dalam Undang-Undang Perkawinan tidak diatur, namun dalam K.U.H.Perdata di atur dalam Pasal 256.

Prosedur mana adalah sebagai berikut:

1). Suami tadi haruslah memasukkan tuntutan perdata ke Pengadilan dalam tenggang waktu dua bulan. Kalau suami tadi meninggal perkara dapat diteruskan oleh ahli warisnya.

2). Pengingkaran ini harus dilakukan dalam batas-batas waktu yang telah ditentukan (seperti yang telah dijelaskan di atas).

3). Penuntutan-penuntutan di muka hakim harus dilakukan terhadap seorang sebagai tergugat yang harus ditetapkan lebih dahulu oleh hakim selaku wali dari anak itu, sedangkan ibu anak pun dalam perkara harus dipanggil dengan sah untuk didengar keterangannya ( Pasal 260 K.U.H.Perdata). 2. Perkawinan di bawah tangan

Meski masih menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, praktek perkawinan bawah tangan hingga kini masih banyak terjadi. Padahal perkawinan bawah tangan sangat merugikan bagi perempuan.

Perkawinan bawah tangan dikenal dengan berbagai istilah lain seperti ’kawin siri’ atau ’nikah siri’. Perkawinan bawah tangan adalah perkawinan yang dilakukan hanya berdasarkan aturan agama atau adat istiadat dan tidak dicatatkan

(13)

di kantor pencatat nikah (Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam, Kantor Catatan Sipil bagi yang beragama non muslim). Meski secara atau adat istiadat dianggap sah, namun perkawinan yang dilakukan diluar pengetahuan dan pengawasan pegawai pencatat nikah tidak memiliki ketetapan hukum dan dianggap tidak sah dimata hukum.

Sistem hukum Indonesia tidak mengenal istilah ’kawin bawah tangan’ dan tidak mengatur secara khusus dalam sebuah peraturan. Namun secara istilah ini diberikan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan dan dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan Undang-Undang yang berlaku, khususnya tentang perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan Pasal 2 ayat (2).

Perkawinan bawah tangan berdampak sangat merugikan bagi isteri dan perempuan umumnya, baik secara hukum maupun sosial. Secara Hukum:

1. Tidak dianggap sebagai isteri yang sah;

2. Tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ia meninggal;

3. Tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum perkawinan dianggap tidak pernah terjadi.

Secara Sosial akan sulit bersosialisasi karena perempuan yang melakukan perkawinan di bawah tangan sering dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan (kumpul kebok) atau dianggap menjadi isteri simpanan.

Sementara terhadap anak, tidak sahnya perkawinan bawah tangan menurut negara memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum, karena perkawinan bawah tangan akan menimbulkan status anak luar kawin.

Status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Artinya tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya (Pasal 42 dan Pasal 43 UU Perkawinan, Pasal 100 KHI).

Di dalam akta kelahirannyapun statusnya dianggap sebagai anak luar kawin, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkan saja. Keterangan berupa status sebagai anak luar kawin dan tidak tercantumnya nama ayah dalam akta kelahiran akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologis. Yang jelas merugikan adalah, anak tidak berhak atas biaya kehidupan dan warisan dari ayahnya.

(14)

Terhadap laki-laki atau suami hampir tidak ada dampak yang mengkhawatirkan atau merugikan bagi diri laki-laki atau suami. Yang terjadi malah dapat menguntungkannya karena suami bebas untuk menikah lagi, karena perkawinan sebelumnya yang dianggap tidak sah dimata hukum. Suami bisa berkelit dan menghindar dari kewajibannya memberikan nafkah isteri maupun kepada anak-anaknya.

Apabila perkawinan di bawah tangan ini sudah terlanjur terjadi, maka yang dapat dilakukan adalah: Bagi yang beragama Islam dapat mengajukan permohonan itsbat nikah (penetapan nikah) kepada Pengadilan Agama (Kompilasi Hukum Islam Pasal 7). Tetapi untuk perkawinan bawah tangan, hanya dimungkinkan itsbat nikah dalam rangka penyelesaian perceraian. Itsbat nikah dalam beberapa hal hanya dimungkinkan bila berkenaan dengan:

a. Dalam rangkaian penyelesaian perceraian; b. Hilangnya akta nikah;

c. Adanya keraguan tentang tidak adanya salah satu syarat perkawinan; d. Perkawinan terjadi sebelum berlakunya UU No.1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan;

e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974.

Satu dari kelima alasan di atas yang dapat dipergunakan, dapat segera mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama, dan apabila telah memiliki akta nikah harus segera mengurus kelahiran anak-anak ke Kantor Catatan Sipil setempat agar status anak menjadi sah di mata hukum.

Selain itu, juga dapat melakukan perkawinan ulang yang dilakukan layaknya perkawinan menurut agama Islam dan perkawinan harus disertai dengan pencatatan perkawinan oleh pejabat yang berwenang pencatat perkawinan (KUA). Pencatatan ini penting agar ada perubahan status bagi perkawinannya. Namur, status anak-anak yang lahir dalam perkawinan bawah tangan akan tetap dianggap sebagai anak luar kawin, karena perkawinan tidak berlaku surut terhadap status anak yang dilahirkan sebelum perkawinan dilangsungkan. Oleh karenanya, dalam akta kelahiran, anak yang dilahirkan sebelum perkawinan ulang tetap sebagai anak

(15)

luar kawin, sebaliknya anak yang lahir dalam perkawinan ulang statusnya sebagai anak sah yang lahir dalam perkawinan.

Bagi yang beragama non-Islam dapat melakukan perkawinan ulang dan pencatatan perkawinan. Perkawinan ulang dilakukan menurut ketentuan agama yang dianut, dan setelah perkawinan ulang selesai dilaksanakan, perkawinan harus dicatatkan di muka yang berwenang. Dalam hal ini di Kantor Catatan Sipil. Jika Kantor Catatan Sipil menolak menerima pencatatan itu, maka dapat digugat di PTUN (Peradilan Negara).

Jika dalam perkawinan telah lahir anak-anak, maka dapat diikuti dengan pengakuan anak. Yakni pengakuan yang dilakukan oleh bapak atas anak yang lahir di perkawinan yang sah menurut hukum. Pada dasarnya, pengakuan anak dapat dilakukan baik oleh ibu maupun bapak. Namur berdasarkan Pasal 43 UU No. 1 Tahun 1974 intinya menyatakan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan tidak mempunyai hubngan perdata dengan ayahnya, maka untuk mendapatkan hubungan perdata, seorang ayah dapat melakukan pengakuan anak. Namur, bagaimanapun pengakuan hanya dapat dilakukan dengan persetujuan ibu, sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 284 K.U.Perdata.

D. Sebab-sebab lain terjadinya anak luar kawin

Selain karena adanya penyangkalan (pengingkaran) yang dilakukan oleh seorang suami terhadap anak yang dilahirkan oleh isterinya dan adanya praktek perkawinan bawah tangan, terjadinya anak luar kawin juga bisa disebabkan oleh hal-hal berikut ini:

1). Anak yang dilahirkan dari seorang ibu yang tidak diketahui bapaknya, misalnya kehamilan yang diakibatkan karena perkosaan atau adanya praktek pelacuran. Kebanyakan anak yang dilahirkan dari akibat tersebut di atas tidak dikehendaki oleh ibunya karena dianggap membawa aib dan beban bagi ibunya maupun keluarga ibunya.

2). Anak yang dilahirkan yang dikehendaki oleh ibu dan bapaknya, tetapi orang tua tersebut memang menghendaki untuk hidup bersama tanpa ikatan perkawinan atau yang biasa disebut di masyarakat dengan kumpul kebok.

(16)

3). Anak yang dilahirkan dari seorang ibu yang masih dalam masa iddah setelah percerainnya, namun bukan merupakan anak dari suaminya tetapi sebagai hasil hubungan dengan laki-laki lain.

4). Anak yang dilahirkan dari seorang perempuan dan laki-laki yang akibat dari ketentuan agama tidak dapat menikah, misalnya dalam ajaran Katolik dimana terdapat ketentuan yang mengatakan tidak mengenal cerai hidup.

5). Anak yang dilahirkan dari seorang ibu dan seorang laki-laki yang akibat hukum perdata atau menurut hukum negara tidak dapat nikah, misalnya seoran WNA menikah dengan seorang WNI, tetapi tidak mendapat izin dari kedutaan karena masih terikat dengan perkawinan lain di negaranya.

6). Anak yang sama sekali tidak diketahui siapa orang tuanya sebagai anak temuan.

7). Anak yang dilahirkan dimana ke dua orang tuanya berada dalam perkawinan yang dilangsungkan secara adat saja.

Referensi

Dokumen terkait

Kekerasan yang dapat dicapai tergantung pada kadar karbon dalam logam baja dan unsur lainya dalam baja, temperatur pemanasan, holding time dan laju pendinginan yang dilakukan

Dampak lain dari self disclosure adalah individu yang sengaja berbagi pengalaman dan emosi dapat membantu mengurangi gejala depresi pada saat stres dan akan mengalami

pengusutan dalam mengungkapkan perilaku rakus para koruptor. Interception yang diterapkannya dalam perundang- undangan, sangat membutuhkan pengkoordinasian antara

1) Anggota wajib memberikan perlindungan terhadap karya cipta yang berupa desain produk industri yang baru atau asli. Anggota dapat menentukan bahwa suatu desain industri tidak

Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh dalam pelaksanaan tindakan tentang peningkatan hasil belajar siswa pada materi komunikasi lisan dengan pesawat telepon di kelas III

meminimalisir risiko yang ada, asuransi bertanggung jawab terhadap risiko yang akan terjadi dengan persyaratan yang telah ditentukan perusahaan, asuransi cenderung

Sebab hampir tidak ada guna menguasai informasi yang telah usang, padahal perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat mengakibatkan usia informasi menjadi

Rataan bobot potong atau bobot akhir ternak kambing jantan yang diberi pakan hijauan dan asam lemak terproteksi 0 g/ekor, 200 g/ekor, 250 g/ekor dan 300 g/ekor dapat dilihat