• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagai anggota dari golongan krustasea, semua badan udang dan kepiting terdiri dari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagai anggota dari golongan krustasea, semua badan udang dan kepiting terdiri dari"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Distribusi dan Morfologi Udang

Sebagai anggota dari golongan krustasea, semua badan udang dan kepiting terdiri dari ruas-ruas yang tertutup oleh kulit keras yang mengandung zat khitin. Secara periodik, kulit keras tersebut terlepas (moulting) dan berganti dengan kulit baru yang lembek. Seiring dengan mengerasnya kulit tersebut selama beberapa hari, tubuh udang tersebut dapat tumbuh besar dengan cepat (Rachmatun & Takarina, 2009).

Giant tiger atau pancet atau tiger shrimp (Penaeus monodon Fab) di Indonesia dikenal populer dengan nama udang windu. Nama-nama lokal dari udang windu yaitu udang pancet, bago, menjangan, pedet, pelaspelas, sito liling/sotong/lotong, baratan, dan tepus (Rachmatun & Takarina, 2009). Udang windu adalah suatu binatang laut yang memiliki kulit agak keras, dan dibesarkan dalam budidaya secara luas untuk makanan. Distribusi udang windu yang alami di Pasifik barat Indonesia, berkisar antara pantai Afrika, dari Semenanjung Arab sampai Asia Tenggara, dan Laut Jepang (Suyanto & Mudjiman, 2006). Udang windu dapat juga ditemukan di Australia, dari Austria timur, dan sejumlah kecil ditemukan di Laut Tengah melalui Terusan Suez. Nama internasional dan nama dagang dari udang windu adalah Tiger Shrimp/tiger prawn

lantaran berukuran besar dan warna tubuhnya bergaris-garis hitam putih seperti harimau (Rachmatun & Takarina, 2009). Bagian-bagian tubuh dari udang windu tersaji pada Gambar 2.1.

6

(2)

Rachmatun& Takarina (2009) mengatakan bahwa tubuh udang dibagi kedalam tiga bagian, yaitu: 1) kepala-dada (Cephalothorax) yang tertutup oleh satu kelopak yang disebut karapks, 2) badan (abdomen), dan 3) ekor. Pada kepala terdapat lima ruas dan delapan ruas dibagian dada, masing-masing ruas mempunyai sepasang anggota badan yang memiliki fungsi tersendiri. Bagian dada terdapat sepasang anggota badan yang disebut pereopoda, bagian ujungnya berjepit yang berfungsi sebagai penangkap makanan. Bagian perut (abdomen) terdapat lima pasang kaki renang (pleopoda) yang tumbuh dari setiap ruas badan tersebut. Di belakang badan terdapat satu ruas lagi yang beranggotakan dua pasang ekor kipas (uropoda) yang berfungsi sebagai kemudi saat udang sedang berenang (Suyanto & Mudjiman, 2006). Udang windu mempunyai ciri-ciri : 1) kulit tebal dan keras, 2) warna hijau kebiruan dengan garis melintang lebih gelap, 3) ada juga yang berwarna kemerahan dengan garis melintang kecoklatan.

2.2. Sistematika Udang Windu

11 6 7 8 9 10 Keterangan: 1. Antennula 7. Scapocerix 2. Rostrum 8. Periopod 3. Mata 9. Pleopod 4. Thoraks 10. Uropod 5. Abdomen 11. Telson 6. Scapocerix

(3)

  Udang adalah jenis hewan yang hidup di perairan, khususnya sungai, laut atau danau. Udang dapat ditemukan di hampir semua "genangan" air yang berukuran besar baik air tawar, air payau maupun air asin pada kedalaman yang bervariasi, dari dekat permukaan hingga beberapa ribu meter di bawah permukaan. Udang biasa dijadikan makanan laut (seafood) (Rachmatun & Takarina, 2009).

Secara taksonomi banyak crustaceae yang dikenal dengan nama "udang", misalnya mantis shrimp dan mysid shrimp, keduanya berasal dari kelas Malacostraca sebagai udang sejati, tetapi berasal dari ordo berbeda, yaitu Stomatopoda dan Mysidaceae. Triops longicaudatus dan Triops cancriformis juga merupakan hewan populer di air tawar, dan sering disebut udang, walaupun mereka berasal dari Notostraca, kelompok yang tidak berhubungan. Sistematika udang windu (Penaeus monodan fab) menurut Soetomo (1990) adalah sebagai berikut.

Kerajaan : Animalia Filum : Arthropoda Sub Filum : Crustacea Kelas : Malacostraca Ordo : Decapoda

Sub Ordo : Dendrobranchiata Famili : Penaiedea

Genus : Penaeus

Spesies : Penaeus monodon Fab

2.3. Daur Hidup Udang Windu

Udang dewasa memijah di laut lepas, sedangkan udang muda (juvenile) bermigrasi ke daerah pantai. Setelah telur-telur menetas, larva hidup di laut lepas menjadi bagian dari zooplankton. Saat stadium post larva, udang bergerak kedaerah dekat pantai dan perlahan-lahan turun ke dasar di daerah estuari dangkal. Perairan dangkal ini memiliki

(4)

kandungan nutrisi, salinitas, dan suhu yang sangat bervariasi dibandingkan dengan laut lepas. Setelah beberapa bulan hidup di daerah estuari, udang dewasa kembali ke lingkungan laut dalam untuk mematangkan kematangan sel kelamin, kemudian melakukan perkawinan dan pemijahan terjadi. Siklus hidup udang windu (Penaeus monodon

fab) menurut Wyban & Sweeney (1991) adalah udang betina bertelur–naupli–protozoea–mysis– postlarva–juvenil–udang dewasa (Gambar 2.2).

 

Telur yang telah dibuahi akan menetas dalam waktu 12 sampai 15 jam dan berkembang menjadi larva (Murtidjo, 2003). Larva masih memiliki cadangan makanan dalam tubuh berupa kuning telur. Stadia zoea terdiri dari tiga sub stadia yang berlangsung selama enam hari dan mengalami alih bentuk tiga kali. Stadia mysis dicirikan oleh bentuk larva yang mulai menyerupai udang dewasa. Pleopod dan telson mulai berkembang dan larva bergerak mundur.

Keterangan:

1. Udang betina bertelur 5. Mysis

2. Telur 6. Post larva 3. Naupli 7. Juvenil 4. Zoea

(5)

Selanjutnya stadia mysis mengalami alih bentuk menjadi postlarva. Selama lima hari pertama stadia postlarva udang bersifat planktonis, dan pada postlarva-VI udang mulai merayap di dasar (Rachmatun & Takarina, 2009).

Habitat udang windu muda (stadia yuwana) adalah daerah pantai berair payau yang banyak ditumbuhi oleh pepohonan bakau yang berlumpur dengan campuran pasir yang subur. Menjelang dewasa udang yuwana akan berpindah kearah laut dalam, tempat udang untuk tumbuh dewasa dan melakukan perkawinan. Selanjutnya bertelur di kedalaman 10-40 m di bawah permukaan laut, jumlah telurnya bisa mencapai 500.000-1.000.000 butir, tergantung dari berat badan sang induk (Rachmatun & Takarina, 2009). Telur akan mengambang menuju permukaan laut selama proses perkembangan embrio, sehingga embrio menetas di lingkungan dekat permukaan laut. Embrio yang baru menetas (Nauplius) akan terbawa ombak ke arah pantai beriringan dengan bermetamorfosa menjadi stadia zoea, kemudian menjadi mysis selama 10 hari. Mysis berubah menjadi stadia post larva (PL) dikenal sebagai benur (benih urang, benih udang), telah sampai diwilayah hutan bakau atau estuari yang berair payau (Murtidjo, 2003).

Buwono (1993) menyatakan bahwa udang dapat bertelur hampir sepanjang tahun tetapi puncaknya terjadi pada saat peralihan musim, yaitu antara musim kemarau dengan musim penghujan dan dari musim penghujan ke musim kemarau. Di wilayah Indonesia barat, puncak musim benur jatuh pada bulan November hingga Februari dan Maret sampai awal Juni. Di Indonesia bagian Timur musim tersebut bergeser satu bulan lebih lambat (Rachmatun & Takarina, 2009). Di sepanjang pantai pada puncak-puncak musim perkembangbiakan, dapat di lihat para nelayan memasang rumpon di laut yang dangkal untuk tempat benur berkumpul sambil berlindung diantara rumpon. Wilayah D.I. Aceh,

(6)

sekitar Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Madura dan sepanjang pantai Timur Jawa Timur terkenal sebagai sumber benih alam (Rachmatun & Takarina, 2009).

2.4. Benih/Benur Udang Windu

Benih udang populer disebut benur, singkatan dari kata benih dan urang. Benur yang baik adalah mempunyai tingkat kelangsungan hidup (survival rate) yang tinggi, sehingga daya adaptasi terhadap perubahan lingkungan juga tinggi, memiliki warna tegas/tidak pucat baik hitam maupun merah, aktif bergerak, sehat, dan mempunyai alat tubuh yang lengkap. Uji kualitas benur dapat dilakukan secara sederhana, yaitu dengan meletakkan sejumlah benur di dalam wadah panci atau baskom yang diberi air, aduk air dengan cukup kencang selama 1-3 menit. Benur yang baik dan sehat akan tahan terhadap adukan tersebut dengan berenang melawan arus putaran air, dan setelah arus berhenti, benur tetap aktif bergerak (Rachmatun& Takarina, 2009).

Benur merupakan udang yang terus aktif tumbuh berkembang hingga mencapai titik dewasa untuk memijah. Tumbuh kembang benur yang baik merupakan hasil dari sebuah proses hayati yang terus menerus terjadi pada tubuh organisme yang ditandai dengan pertambahan bobot, volume dan panjang (Djajasewaka, 1990). Berdasarkan dari asal perolehannya, benur dibedakan menjadi dua jenis, yaitu benih/benur alam dan benih/benur (hatchery).

2.4.1. Benur Alam

Secara alamiah benur banyak terdapat di pantai-pantai wilayah estuari (berair payau) yang berkedalaman dangkal. Benur alam merupakan anakan udang windu yang bercampur dengan jenis udang lain (udang putih, udang api-api, dan lain sebagainya) (Buwono, 1993).

(7)

Induk udang memijah dilaut lepas pada kedalaman 20-25 m secara alamiah. Telur menetas menjadi larva (Nauplius) yang sifatnya terapung di bawah ombak ke arah pantai, diiringi dengan bermetamorfosa berturut-turut menjadi zoea, mysis, dan post larva (Murtidjo, 2003). Ketika tiba di wilayah pantai (estuaria) post larva (PL) telah mencapai sub stadia PL 10-15 dengan ukuran panjang tubuh 12-15 mm. Post larva inilah yang dikenal sebagai benur dan kemudian banyak ditangkap oleh para nelayan. Nelayan di pantai daerah pasang surut memasang alat yang disebut dengan blabar. Rachmatun & Takarina (2009) menyatakan bahwa blabar adalah untaian daun kelapa atau tali plastik atau daun-daun rerumputan yang dipasang pada tiang-tiang bambu yang ditancapkan di laut yang berair dangkal. Blabar ini akan terapung dipermukaan air sebagai tempat persembunyian benur/nener, kemudian diseser oleh nelayan untuk dijual pada petani tambak yang memerlukan. Benih yang di seser ini biasanya merupakan campuran dari udang putih, udang api-api, dan udang krosok, bahkan juga bercampur dengan berbagai jenis anakan ikan dan sampah-sampah yang hanyut. Umumnya di Indonesia benur yang ditangkap dari alam terdiri atas 80-90% adalah benih udang putih, 4-6% udang windu, dan sisanya jenis udang lain yang kurang ekonomis serta anakan ikan (Buwono, 1993). Beberapa wilayah seperti D.I. Aceh, Jawa Timur (Selat Bali) dan Madura, Nusa Tenggara Barat, Teluk Bone (Sulawesi Selatan), dan Sulawesi Tenggara memiliki populasi benih udang windu relatif lebih banyak dibandingkan dengan udang putih (Rachmatun & Takarina, 2009).  

2.4.2. Panti Pembenihan (hatchery)

Sejak dikembangkannya intensifikasi tambak udang, kebutuhan benur untuk tambak tidak lagi dapat tercukupi dari hasil penangkapan di alam. Perhitungan rata-rata untuk produksi udang konsumsi sebanyak 1 ton di tambak memerlukan benur sebanyak 50.000 ekor. Pengembangan tambak intensif di Indonesia ditargetkan mampu

(8)

untukmemproduksi udang panen 7-8 ton/ha/musim, dengan demikian diperlukan benur sebanyak 350.000-400.000 ekor/ha/musim. Potensi benuralam di seluruh Indonesia diperkirakan mencapai 0,8 milyar pertahun. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, kekurangan benur harus dapat diproduksi dari panti-panti pembenihan (hatcery) (Rachmatun & Takarina, 2009).

Awal tahun 1980, Indonesia sudah menghasilkan benur dari panti-panti pembenihan udang secara komersial. Pada mulanya banyak petani tambak yang meragukan mutu (ketahanan hidup) benur tersebut, sehingga mereka lebih suka memelihara benur dari hasil penengkapan di alam yang dipercaya memiliki daya tahan lebih baik di tambak. Pendapat tersebut sekarang telah berubah, petani tidak meragukan lagi benur dari panti-panti pembenihan (hatcery). Menurut Buwono (1993) bahwa ciri-ciri benur yang baik adalah:

a. bila dalam satu bak pemeliharaan benur (dari 1 induk maupun dari beberapa ekor induk), ukurannya harus seragam;

b. bila dikejutkan dengan memukul dinding wadahnya, benur akan melentik dengan kuat;

c. benur yang sehat tubuhnya bergaris dengan warna coklat tua. Sedangkan yang tidak sehat kelihatan pucat, tubuhnya bengkok/cacat sebagai tanda terkena penyakit.

Benur yang sehat akan tumbuh pesat dan setiap hari larvanya akan berganti kulit. Normalnya, larva udang windu setelah menetas akan menjadi stadia post larva (benur) pada umur 9-10 hari, kemudian setelah 12 hari menjadi PL 12, dan 15 hari menjadi PL 15. Benur yang tertangkap di alam, dapat digolongkan menurut ukuran dan umurnya, yaitu

(9)

benur yang masih sangat muda (post larva) dan golongan benur yang agak besar ukuranya yaitu stadia yuwana (Juvenile) (Rachmatun & Takarina, 2009). Benih yang halus biasanya tertangkap di tepi pantai, hidupnya masih bersifat pelagis (planktonis) mengikuti aliran ombak didekat permukaan air laut. Nelayan dapat mengenalinya karena warna tubuhnya coklat kemerahan, panjang badan antara 9-15 mm. Cucuk kepala (rostrum) sedikit melengkung seperti huruf S (sigmoid), dan ekor (uropoda) membentang seperti kipas (Buwono, 1993).

 

2.5. Pakan Udang

Udang uang dibudidayakan di kolam memakan pakan alami dan pakan tambahan atau pakan buatan. Pada kolam yang dikelola secara tradisional atau sederhana, udang hanya memakan berbagai pakan alami yang ada dalam kolam yaitu campuran berbagai organisme, plankton, lumut, dan kotoran ataupun bahan-bahan yang membusuk dalam dasar kolam (Rachmatun & Takarina, 2009). Bahan pakan alami udang terdiri dari zat-zat renik nabati dan hewani yang tumbuh sendiri di dalam air dan dasar kolam secara alamiah. Banyaknya organisme renik bergantung dari tersedianya unsur-unsur hara yang membentuk kesuburan air dan tanah kolam.

Kolam yang dikelola secara semi intensif, tambak tersebut dipupuk untuk mendorong agar pakan alami udang lebih banyak tumbuh guna meningkatkan produksi. Tujuan dari pemupukan tersebut guna menambah unsur hara dalam air dan tanah kolam. Selain pemupukan banyak petani yang menggunakan pakan tambahan untuk meningkatkan produksi kolam. Rachmatun & Takarina (2009) menyatakan bahwa produksi udang windu semi intensif dengan pemupukan dan pakan tambahan dapat

(10)

mencapai 800 s/d 3000 kg/ha/musim tanam, bergantung dengan padat tebar benih, banyaknya kincir, pergantian air dan penanganan yang baik. Pakan yang diberikan hanya sebagai tambahan. Kualitas dan bahan pakan yang diberikan tidak menentu, karena bergantung pada bahan pakan yang ada, mudah diperoleh dan harganya murah.

Kolam yang dikelola dengan intensif, hasil produksinya didasarkan pada pemberikan pakan buatan. Fitoplankton yang tumbuh pada tambak akan menyebabkan air berwarna hijau atau kecoklatan dan hanya digunakan sebagai penyeimbang lingkungan hidup udang. Pakan yang digunakan pada pengelolaan intensif ini adalah pakan buatan (pelet). Pelet yang digunakan mengandung air 10% (Rachmatun & Takarina, 2009). Pelet tersebut terbuat dari berbagai macam kombinasi bahan makanan, semakin banyak jenis bahan yang digunakan maka semakin pula kelengkapan gizinya.

Mudjiman (2007), mengatakan bahwa pakan merupakan saran produksi yang nilainya mencapai 50-70% dari biaya produksi, sehungga pakan yang digunakan betul-betul diperhitungkan mutunya (angka konversi serendah mungkin) dan pemakainya sehemat mungkin. Rachmatun & Takarina juga berpendapat bahwa pakan harus memenuhi syarat sebagai berikut.

1. Nilai stabilitas dalam air baik (cepat hancur), yaitu berkisar 3-4 jam, dan nilai paling baik 6 jam.

2. Beraroma sedap dan disenangi udang (attractant)

3. Pakan mudah tenggelam dalam air, karena udang windu hanya dapat mengambil pakan yang ada dalam dasar kolam

(11)

Pakan memegang peranan yang penting dalam budidaya udang windu. Pemberian pakan yang berkualitas baik dan dalam takaran yang tepat dapat mendukung keberhasilan panen udang windu (Djarijah, 1998). Pemberian pakan yang berkualitas jelek dan dalam jumlah yang kurang akan mengakibatkan pertumbuhan udang tidak maksimal dan meningkatkan sifat kanibalisme. Dilain pihak pemberian pakan yang berlebihan akan menyebabkan pemborosan dan pakan yang tidak terkonsumsi akan membusuk di dasar kolam yang mengakibatkan lingkungan kolam menjadi tidak sehat dan berdampak buruk pada pertumbuhan udang windu.Pakan udang windu terdiri dari dua jenis, yaitu pakan alami berupa fitoplankton, siput-siput kecil, cacing kecil, anak serangga, dan detritus (sisa hewan dan tumbuhan yang membusuk), dan pakan buatan berupa pelet.Pakan buatan yang digunakan harus mengandung kadar protein yang cukup dan bermutu bagi pertumbuhan udang windu, selain itu harus mengandung cukup vitamin dan mineral guna menambah daya tahan tubuh dan menghindari penyakit malnutrisi. Pakan yang baik dan efektif adalah pakan yang mengandung nilai nutrisi yang terdiri dari kandungan protein, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral, kadar air, dan energi (Yuwono & Sukardi, 2001). Menurut Mudjiman (2001) pakan juga harus memenuhi persyaratan fisik yang diperlukan agar dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh udang, yaitu jumlah pakan disesuaikan dengan ukuran dan umur udang yang dipelihara.

2.7. Feed Convertion Ratio (FCR)

FCR adalah banyaknya pakan yang dikonsumsi oleh udang dalam masa pemeliharaan dibagi dengan berat produksi udang yang dihasilkan. Definisi yang sangat mudah untuk difahami adalah berapa banyak pakan (kg) yang diberikan untuk menghasilkan 1 kg udang (Effendi, 2004). Jika pakan yang diberikan 1 kg, berarti FCR =

(12)

1.0, jika FCR = 1.2, maka membutuhkan pakan 1.2 kg untuk menghasilkan 1 kg udang. Pakan yang diberikan kepada udang kultur sesuai dengan kebutuhan dan dapat memberikan pertumbuhan yang optimal dan efisiensi pakan yang tinggi (Mudjiman, 2007).

Kebutuhan pakan harian dinyatakan sebagai tingkat pemberian pakan (feeding rate) perhari yang ditentukan berdasarkan persentase dari bobot udang (Effendi 2004). Tingkat pemberian pakan ditentukan oleh ukuran udang, semakin besar ukuran udang maka feeding rate-nya semakin kecil tetapi jumlah pakan hariannya semakin besar. Total jumlah pakan udang secara berkala dapat disesuaikan (adjustment) dengan pertumbuhan bobot udang dan perubahan populasi (Rachmatun & Takarina, 2009). Semakin besar nilai FCR maka semakin banyak pakan yang dibutuhkan untuk memproduksi 1 kg udang kultur. FCR seringkali dijadikan indikator kinerja teknis dalam mengevaluasi suatu usaha akuakultur. Djarijah (2006) mengatakan bahwa pengukuran kualitas pakan dilakukan dengan membandingkan jumlah pakan yang diberikan dengan pertambahan berat udang yang dihasilkan dan dinyatakan sebagai FCR.

2.8. Kualitas Air

Air merupakan media yang sangat penting dalam proses pembesaran udang berlangsung. Zonneveld et al. (1991) menyatakan bahwa air merupakan kebutuhan yang sangat penting untuk keberlangsungan hidup dalam perairan baik untuk ikan maupun udang. Lebih lanjut Afrianto & Liviawaty (1995) mengemukakan bahwa kualitas air yang memenuhi syarat merupakan salah satu kunci untuk keberhasilan dalam pembudidayaan ikan. Pengelolaan kualitas air dalam pembudidayaan udang maupun ikan harus

(13)

diperhatikan dengan sungguh-sungguh, karena kualitas air dapt berakibat menjadi lebih buruk terhadap keberlangsungan hidup ikan dan udang. Menurut Wardoyo (1994), ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemantauan parameter kualitas air, yaitu pH, suhu, dan oksigen terlarut.

2.8.1. Suhu

Metabolisme udang sangat dipengaruhi sekali oleh adanya suhu, hal ini dapat dilihat dari jumlah plankton di dalam kolam pemeliharaan, dan plankton dapat berkembang baik dengan keadaan iklim yang sedang. Suhu juga sangat dipengaruhi oleh kandungan oksigen terlarut didalam air, sehingga semakin tinggi suhu air maka semakin cepat pula air mengalami kejenuhan oksigen (Buwono, 1993). Berpengaruhnya suhu air terhadap lingkungan hidup udang dapat merangsang pertumbuhan dan nafsu makan udang, karena proses pencernaan makanan udang pada suhu rendah akan sangat lambat dan sebaliknya akan lebih cepat pada perairan yang lebih hangat. Suhu yang optimal dan ideal dalam pemeliharaan keberlangsungan hidup udang mencapai kisaran 250-270C (Murtidjo, 2003).

2.8.2. pH

Berpengaruhnya pH untuk keberlangsungan hidup bagi kehidupan organisme perairan secara alami sangat dipengaruhi oleh karbondioksida maupun senyawa-senyawa asam yang berada di dalamnya. Menurut Hadie & Hadie (1993), bahwa pemeliharaan udang dengan kisaran kandungan pH yang terlarut didalamnya berkisar antara 6,7-8,2.

(14)

pH yang berbeda-beda akan sangat berpengaruh buruk bagi keberlangsungan hidup udang.

2.8.3. Oksigen (O2) Terlarut

Menurut Wardoyo (1994), kandungan oksigen terlarut dalam air dengan kisaran terendah adalah 2 ppm agar dapat mendukung keberlangsungan kehidupan organisme perairan secara normal. O2 terlarut dalam air sangat mendukung untuk kegiatan respirasi larva. Apabila kandungan O2 terlarut dalam air sangat rendah, maka kandungan CO2 akan meningkat. Kadar O2 terlarut dalam media kolam/akuarium sebaiknya pada kisaran 5-7 ppm yang merupakan kadar yang sangat baik untuk pertumbuhan larva udang. Lebih lanjut Murtidjo (2003) menyatakan bahwa batas minimal kandungan O2 terlarut terletak pada kisaran minimal 5-7 ppm agar dapat mendukung dalam keberlangsungan kegiatan budidaya ikan ataupun udang.

Gambar

Gambar 2.1.Morfologi Udang Windu (Amri, 2006)

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan material yang berpengaruh pada keselamatan pasien adalah material dari elemen interior pembentuk ruang seperti lantai dan plafon di Wisma Antasena yang

(1999), yang menguji apakah politik dan dukungan organisasional yang dipersepsikan berhubungan dengan komitmen afektif dan continuance, kepuasan kerja, turnover intent, kinerja

Pada Gambar 9 merupakan plotting transformasi biorthogonal dari penderita polip dengan waktu fonasi sepanjang data 3.5x10 4 pada skala frekuensi sepanjang 9 hingga

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) masyarakat Baduy yang selalu melakukan tebang-bakar hutan untuk membuat ladang (huma), tidak terjadi bencana kebakaran hutan atau tanah longsor

Perkembangan Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Ruang Notariat 1 (Lt.3, Gedung C).. Moderator: Desak Putu Dewi Kasih

Angka Perkawinan Umum adalah suatu angka yang menunjukan proporsi penduduk yang berstatus kawin terhadap jumlah penduduk usia 15 tahun keatas pada pertengahan

Semburan ini dibangkitkan dalam 2 proses, yaitu percepatan elektron di flare matahari hingga energi beberapa keV yang mengalir keluar dari matahari dan membangkitkan

Berdasarkan analisis dan pembahasan yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan bahwa siswa kelas VIII SMP Negeri 02 Sungai Raya mengalami kesulitan koneksi