POTENSI FITOPLANKTON Tetraselmis chui SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN BIOETANOL
Sukmawati Usman*, Indah Raya, Hasnah Natsir
Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Hasanuddin Kampus Tamalanrea, Makassar, 90245 *Email: usman.sukmawati@gmail.com
Abstrak. Penelitian mengenai potensi biomassa fitoplakton Porphyridium cruentum dan Tetraselmis chui sebagai bahan baku pembuatan bioetanol dengan metode fermentasi telah dilakukan. Dalam penelitian ini, dilakukan serangkaian kultivasi fitoplankton untuk memperoleh biomassa sebagai bahan baku substrat untuk fermentasi bioetanol. Proses pembuatan bioetanol terdiri dari dua tahap yakni pretreatment biomassa dan fermentasi bioetanol. Proses pretreatment terdiri dari proses delipidasi dengan metode ekstraksi ultrasonik menggunakan pelarut etanol 96%, kemudian biomassa dihidrolisis menggunakan HCl 0,1 M hingga diperoleh larutan glukosa. Kadar glukosa hasil hidrolisis untuk Tetraselmis chui adalah 0,0849 mg/mL.
Kata kunci: fitoplakton, , hidrolisis, fermentasi
Abstract. Research on phytoplankton biomass potential Porphyridium cruentum and Tetraselmis chuii as raw material for bioethanol production by fermentation method has been done. In this study, carried out a series of cultivation to obtain phytoplankton biomass as a raw material substrate for ethanol fermentation. Bioethanol production process consists of two stages: pretreatment of biomass and ethanol fermentation. Pretreatment process consists of process delipidation with ultrasonic extraction method using ethanol 96%, then the biomass was hydrolyzed using HCl 0,1 M to obtain a solution of glucose. Hydrolysis to glucose levels of Tetraselmis chui is 0.0849 mg/mL.
Keywords: phytoplankton, hydrolysis, fermentation Pendahuluan
Indonesia memiliki potensi sumber daya alam hayati yang melimpah, terutama wilayah perairan yang dapat dimanfaatkan untuk produksi biofuel sebagai energi terbarukan. Biota yang hidup diperairan, baik dalam bentuk mikroorganisme hingga makroorganisme memiliki potensi yang dapat dimanfaat sebagai bahan baku untuk produksi biofuel. Beberapa tahun belakangan ini, telah banyak dilakukan penelitian mengenai potensi makroalga sebagai bahan baku pembuatan bioetanol. Makroalga dianggap mampu dijadikan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol disebabkan kandungan selulosanya yang cukup tinggi. Beberapa penelitian mengenai potensi mikroalaga sebagai bahan baku bioetanol diantaranya produksi bioetanol dari selulosa alga merah (Septiany, 2013) dan alga coklat (Sargassum sp.) (Manurung, 2011).
Kendala berupa keberadaan lignin yang cukup tinggi pada makroalga mendorong eksplorasi mengenai potensi organisme lainnya yakni mikroalga. Mikroalga atau disebut juga fitoplankton merupakan organisme produsen primer yang menempati trofik tingkat pertama dalam rantai makanan bersama dengan tumbuhan fotosintetik lainnya. Sebagai produsen fitoplankton dapat mesintesis makanannya sendiri termasuk didalamnya karbohidrat, protein, lipid dan berbagai metabolit lainnya yang dibutuhkan untuk tumbuh (Lee, 2008).
Bioetanol merupakan hasil proses fermentasi glukosa dari bahan yang mengandung komponen pati atau selulosa. Kedua komponen ini merupakan homopolimer dari glukosa. Bietanol dapat dipergunakan sebagai salah satu energi alternatif pensubsitusi bensin yang ramah lingkungan jika dibandingkan dengan bahan bakar fosil. Semakin tingginya harga BBM sementara persediaan semakin menipis, diharapkan penggunaan sumber energi terbarukan berupa bahan bakar nabati (BBN) atau bioenergi terbarukan dapat ditingkatkan. Bila target BBN pada 2010 adalah bioetanol sebesar 5 % konsumsi premium atau 1,48 juta kl, maka pada pada 2025 ditargetkan pemanfaatan bioetanol sebesar 15% konsumsi premium 6,28 juta kl. Pada tahap awal, pemerintah Indonesia memfokuskan pengembangan bioetanol dari bahan baku ubi kayu. Namun demikian untuk pengembangan selanjutnya tidak tertutup kemungkinan digunakan bahan baku lainnya yang lebih murah dan mudah didapatkan tanpa bersaing dengan bahan pangan maupun pakan (Richana, 2011).
Pembuatan bioetanol dapat dilakukan dengan menggunakan metode fermentasi yang didahului dengan proses hidrolisis bahan baku, baik secara kimiawi maupun secara enzimatik (Richana, 2011). Hidrolisis diperlukan agar bahan baku yang digunakan terkonversi menjadi larutan glukosa yang siap untuk difermentasi menjadi bioetanol.
Penggunaan fitoplankton dalam produksi bioetanol kebanyakan masih pada tahap wacana dan masih sedikit publikasi mengenai hal ini. Sehingga dibutuhkan berbagai usaha penelitian untuk mengkaji potensi biomassa fitoplankton sehingga dapat dimanfaatkan sebagai subtitusi atau aditif bagi bahan bakar fosil yang telah ada saat ini. Berdasarkan dari fakta tersebut maka dilakukanlah penelitian ini.
Bahan dan Metode
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium Kimia Anorganik dan Biokimia, Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin pada bulan Juni 2014-Februari 2015.
Alat Penelitian
Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini antara lain: Alat-alat gelas (beker glass, erlenmeyer, corong pisah, labu takar, gelas ukur, pipet tetes, pipet volume, dsb.), seperangkat alat distilasi, seperangkat alat kultur fitoplankton, salinometer, termometer, oven, hotplate stirrer, neraca analitik, stop watch, shaker inkubator, alat ultrasonik, spektrofotometer UV-Vis
Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini antara lain: biakan fitoplankton Tetraselmis chuii yang berasal dari Balai Budidaya Air Jepara, air laut
yang berasal dari daerah pantai Makassar, akuades, medium Conway, reagensia Nelson, reagensia Arsenomolibdat, etanol, HCl, CaCO3, kertas pH universal (E.Merck).
Prosedur Penelitian
1. Kultivasi Fitoplankton Laut
Tahap pertama fitoplankton Porphyridium cruentum dan Tetraselmis chuii dikultur di dalam ruang dengan temperatur dan pencahayaan serta aerasi terkontrol untuk mencapai pertumbuhan optimal. Stok fitoplankton kemudian dibudidayakan di dalam kontainer dengan pencahayaan dan aerasi terkontrol. Air laut ditampung dalam wadah kemudian disterilkan dan disaring dengan menggunakan kertas saring, selanjutnya diukur salinitasnya dengan menggunakan salinometer. Salinitas air laut yang sesuai untuk spesies fitoplankton diperoleh dengan cara pengenceran atau pemekatan. Setelah diperoleh salinitas air laut yang dibutuhkan. Setelah itu, air laut steril ditambahkan medium Conway, dilakukan aerasi untuk pengkondisian CO2,
kemudian ditambahkan stok fitoplankton yang ingin dibudidayakan. Budidaya dilakukan sampai jenuh (sekitar 14-20 hari).
2. Proses Hidrolisis secara Kimiawi
Proses hidrolisis pati dalam biomassa fitoplankton dilakukan dengan menggunakan larutan asam kuat. Sebanyak 1 gram biomassa kering ditambahkan ke dalam 100 mL larutan HCl 0,1 M (perbandingan 1:100). Suspensi kemudian dipanaskan dengan hotplate pada suhu 90 oC selama 30 menit yang dilengkapi dengan
stirrer. Larutan glukosa hasil hidrolisis dianalisis kadar gula reduksinya dengan metode Nelson-Somogy.
Hasil dan Pembahasan
Proses kultivasi fitoplankton Porphyridium cruentum dan Tetraselmis chui dilakukan selama 14-20 hari. Kultur yang telah siap dipanen dikumpulkan dengan sentrifugasi pada 10000 rpm dan dikeringkan sehingga diperoleh biomassa yang kering seperti pada gambar 9 dan 10.
Gambar 1. Biomassa fitoplankton Tetraselmis chui setelah dikeringkan
Bubuk fitoplankton yang diperoleh kemudian ditimbang hingga diperoleh berat kering biomassa
Tahap selanjutnya yaitu proses hidrolisis untuk memperoleh larutan glukosa dari biomassa fitoplankton bebas lipid. Pada tahap ini, dilakukan hidrolisis secara kimiawi menggunakan asam klorida. Biomassa bebas lipid
ditimbang sebanyak 1 gram lalu ditambahkan ke dalam 100 mL larutan HCl 0,1 N (1:100). Suspensi kemudian dihomogenkan lalu dipanaskan hingga suhu 90 oC selama 30 menit sambil terus diaduk. Menurut Iryani (2013),
hidrolisis pati ubi kayu dengan menggunakan larutan asam HCl memberikan hasil konversi yang cukup besar, yakni sekitar 0,2884. Meskipun konversi ini lebih kecil dibandingkan dengan menggunakan HNO3, namun
penggunaan HNO3 sebaiknya dihindari
karena dalam proses hidrolisis dengan suhu yang cukup tinggi HNO3 dapat
terkonversi menjadi gas NO2 yang dapat
mengganggu proses fermentasi lebih lanjut. Setelah proses hidrolisis selesai, larutan kemudian dinetralkan dengan menggunakan larutan NaOH 0,5 N hingga larutan menjadi netral.
Larutan glukosa yang diperoleh kemudian dianalisis kadar glukosanya dengan metode Nelson-Somogy. Data kadar gula dari hidrolisis biomassa fitoplankton dapat dilihat pada Tabel 3: Tabel 1. Kadar gula hasil hidrolisis biomassa fitoplankton
No. Biomassa Fitoplankton
Konsentrasi Substrat Biomassa Fitoplankton Konsentrasi larutan HCl (N) Kadar Gula (mg/mL) 1 Tetraselmis chui 1% 0,1 0,0849
Larutan glukosa yang diperoleh selanjutnya digunakan sebagai substrat dalam fermentasi bioetanol. Langkah pertama yang dilakukan adalah menyiapkan kultur khamir Saccharomyces cerevisiae. Biakan murni khamir Saccharomyces cerevisiae diremajakan dan diperbanyak pada media agar miring PDA (Potato
Dextrose Agar). Khamir kemudian ditumbuhkan selama 3 hari
Fermentasi dilakukan selama 7 hari (168 jam) dan dilakukan proses sampling tiap 24 jam untuk analisis kadar gula reduksi dan indeks bias etanol yang dihasilkan.
Referensi
Dragone, G., Fernandes, B., Vicente, A.A., dan Teixera, J.A., 2010, Third Generation Biofuels from Microalgae, Technology and Education Topics in Applied Microbiology and Microbial Biotechnology, 1355-1366. Harun, R., Singh, M., Forde, G. M., dan
Danquah, M. K., 2010, Bioprocess Engineering of Microalgae to Produce a Variety of Common Products, Renewable and Sustainable Energy Reviews, 24: 1037-1047.
Kwangdinata, R., 2014, Production of Biodiesel from Lipid of
Porphyridium cruentum Through Ultrasonic Method, ISRN Renewable Energy, 2014:1-16. Lee, R.E., 2008, Phycology Fourth
Edition, Cambridge University Press, New York.
Manurung, M., 2011, Sakarifikasi dan Fermentasi Simultan (SSF) dari Limbah Ekstraksi Alginat untuk Pembuatan Bioetanol, Tesis tidak diterbitkan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Richana, N., 2011, Bioetanol: Bahan Baku, Teknologi, Produksi dan
Pengendalian Mutu, Penerbit Nuansa, Bandung.
Singh, J. dan Gu, S., 2010, Commercialization Potential of Microalgae for Biofuels Production, Renewable and Sustainable Energy Reviews, 14, 2596-2610.
Septiany, I., 2013, Produksi Bioetanol dari Selulosa Alga Merah dengan
Sistem Fermemasi Dua Tahap Menggunakan Jamur Trichoderma viride dan Bakteri Zymomonas mobilis, Tesis tidak diterbitkan, Universitas Hasanuddin, Fakultas matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Makassar.