• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PROGRAM PEMBARUAN AGRARIA NASIONAL (PPAN): LANDASAN HUKUM, KONSEPSI IDEAL DAN REALISASINYA DI KABUPATEN CIAMIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB VI PROGRAM PEMBARUAN AGRARIA NASIONAL (PPAN): LANDASAN HUKUM, KONSEPSI IDEAL DAN REALISASINYA DI KABUPATEN CIAMIS"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB VI

PROGRAM PEMBARUAN AGRARIA NASIONAL (PPAN):

LANDASAN HUKUM, KONSEPSI IDEAL DAN REALISASINYA DI

KABUPATEN CIAMIS

6.1. Landasan Hukum

Bersamaan dengan lengsernya rezim Orde Baru pada tahun 1998, secara otomatis keran demokrasi menjadi terbuka. Karena pada masa ini pula UU No. 5 Tahun 1960 di peti-eskan, sehingga penantian masyarakat untuk dilaksanakannya reforma agraria masih berlanjut. Setelah runtuhnya Orde Baru, banyak orang yang menaruh harapan bahwa akan terjadi perubahan di segala bidang, termasuk dalam hal keagrariaan. Namun, harapan tersebut baru muncul pada tahun 2001 melalui TAP MPR no. IX/2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam. Kemudian, MPR mengingatkan kembali perlunya pelaksanaan reforma agraria ini dengan dilahirkannya Keputusan MPR Nomor 5 Tahun 2003 tentang Penugasan kepada Pimpinan MPR-RI untuk menyampaikan Saran atas Pelaksanaan Putusan MPR-RI oleh Presiden, DPR, BPK, MA pada Sidang Tahunan MPRI-RI tahun 2003, memerintahkan kepada Presiden dan DPR untuk melaksanakan Pembaruan Agraria (Reforma Agraria), antara lain menyelesaikan berbagai konflik dan permasalahan di bidang agraria secara proporsional dan adil, mulai dari permasalahan hukumnya sampai dengan implementasi di lapangan, menyusun peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pembaruan agraria (Reforma Agraria), dan mempermudah pemberian akses tanah terhadap masyarakat kecil, khususnya petani.

Khusus di Desa Banjaranyar, pelaksanaan PPAN yang dilakukan mempunyai payung hukum yang lebih khusus lagi. Paling tidak ada 13 landasan hukum yang digunakan dalam proses pemberian hak di Desa Banjaranyar tersebut. UU No. 5 Tahun

(2)

1960 atau yang dikenal dengan UUPA tentu saja menjadi titik tolak pelaksanaan PPAN di Banjaranyar. Dalam upaya penyelesaian kasus, BPN membentuk panitia untuk melakukan penelitian. Pembentukan panitia ini mengacu pada Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 12 Tahun 1992; Tentang Susunan dan Tugas Panitia Pemeriksaan Tanah. Sedangkan dasar dalam melakukan hukum penelitian adalah PP 12 tahun 1992 (saat ini sudah diperbaharui dengan SK BPN RI No. 7 tahun 2007 tentang Panitia Pemeriksaan Tanah). Setelah proses penelitan selesai dan kondisi di lapangan sudah memenuhi syarat pembagian tanah, maka proses pembagian tanah dilakukan dengan mengacu pada Keputusan BPN melalui Surat Keputusan No. 11 Tahun 1997 tentang penetapan tanah-tanah obyek Redistribusi landreform. SK ini tentu memiliki gandengan, yaitu TAP MPR/XII/2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam.

Pemberian hak yang dilakukan di Banjaranyar mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2010 Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Menurut pengakuan salah satu informan di Kantah Ciamis, sebelum adanya PP No. 11 Tahun 2010 ini, proses penyelesaian dan pembagian tanah hanya menggunakan win-win solution. Proses selanjutnya adalah pemberian hak tanah pada masyarakat OTL Banjaranyar II melalui Surat Kepala Badan Pertanahan Nasional RI c.q. Deputi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah No. 1281-310.3-D.III tanggal 23 April 2007.

(3)

6.2. Konsepsi PPAN19 6.2.1. Makna dan Tujuan

Reforma Agraria merupakan suatu keharusan, yang dalam pelaksanaanya disebut Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Makna Reforma Agraria adalah restrukturisasi penggunaan, pemanfaatan, penguasaan dan pemilikan sumber-sumber agraria, terutama tanah yang mampu menjamin keadilan dan keberlanjutan peningkatan kesejahteraan rakyat. Komponen-komponen mendasar dalam Reforma Agraria, yaitu: (a) restrukturisasi penguasaan aset tanah kearah penciptaan struktur sosial-ekonomi dan politik yang lebih berkeadilan (equity); (b) sumber peningkatan kesejahteraan yang berbasis keagrariaan (welfare); (c) penggunaan atau pemanfaatan dan faktor-faktor produksi lainnya secara optimal (efficiency); (d) keberlanjutan (sustainability); penyelesaian sengketa tanah (harmony).

Atas dasar ini, maka Reforma Agraria yang akan dilaksanakan oleh BPN ini didefinisikan sebagai landreform plus, yakni landreform untuk mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, lalu ditambah dengan access reform. Secara mudah, pengertian ini dapat diringkaskan dalam rumusan sebagai berikut (Winoto, 2007)20:

Reforma Agraria = Asset Reform (Landreform) + Access Reform

19

Rujukan yang digunakan dalam sub-bab ini diambil dari buku Reforma Agraria: Mandat Politik, Konstitusi, dan Hukum Dalam Rangka Mewujudkan “Tanah untukKeadilan dan Kesejahteraan Rakyat”. Jakarta: Badan Pertanhan Nasional Republik Indonesia. Kecuali bila ada keterangan tambahan dari sumber lainnya.

20

(4)

Berdasarkan pengertian yang menyeluruh semacam ini, maka pelaksanaan reforma agraria diharapkan dapat mencapai tujuan-tujuan sebagai berikut:

1. menata kembali ketimpangan struktur penguasaan dan penggunaan tanah ke arah yang lebih adil;

2. mengurangi kemiskinan; 3. menciptakan lapangan kerja;

4. memperbaiki akses rakyat kepada sumber-sumber ekonomi, terutama tanah; 5. mengurangi sengketa dan konflik pertanahan;

6. memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup; dan 7. meningkatkan ketahanan pangan.

6.2.2. Lingkup Kegiatan

Reforma Agraria atau Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) merupakan agenda besar bangsa, yang membutuhkan perencanaan penyelenggaraan yang cermat guna memastikan tercapainya tujuan. Secara garis besar mekanisme pelaksanaan Reforma Agraria mencakup empat lingkup kegiatan utama, yaitu: penetapan obyek, penetapan subyek, mekanisme dan delivery system Reforma Agraria serta Access Reform. Keseluruhan proses tersebut dapat dilihat dalam Gambar 2.1 berikut (BPN, 2007):

(5)

Gambar 6.1. Bagan Alir Penetapan Obyek, Penetapan Subyek dan Mekanisme &

6.2.3. Obyek Reforma Agraria

Tanah-tanah obyek reforma agraria adalah tanah

tanah-tanah ini dapat dikelompokkan berdasarkan kepadatan penduduk, yakni penduduk padat dan kurang padat. Pemilihan obyek reforma agraria dalam wilayah yang berpenduduk padat dipandang s

permasalahan-permasalahan pertan

diperkirakan lebih terkonsentrasi di wilayah

Selain itu, mengingat makna strategis dari reforma agraria adalah re penggunaan, pemanfaatan, penguasaan, dan pemilikan sumber

diperlukan juga penyediaan tanah yang cukup baik luasannya maupun kualitasnya guna menjamin terselenggaranya restrukturisasi yang dimaksud.

Dalam kaitan ini, untuk

kurang padat Presiden SBY telah mengalokasikan tanah seluas 8,15 juta ha di luar Tanah seluas ini diidentifikasi dari areal indikatif kawasan hutan produksi konversi yang akan dilepaskan statusnya sebagai kawasan hutan. Sedangkan untuk wilayah berpenduduk padat, BPN telah mengidentifikasi tanah negara seluas 1,1 juta ha dari

Bagan Alir Penetapan Obyek, Penetapan Subyek dan Mekanisme & Delivery System

Reforma Agraria

Obyek Reforma Agraria

reforma agraria adalah tanah-tanah Negara. Keberadaan tanah ini dapat dikelompokkan berdasarkan kepadatan penduduk, yakni penduduk Pemilihan obyek reforma agraria dalam wilayah yang berpenduduk padat dipandang strategis dan diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan pertanahan seperti sengketa dan konflik pertanahan yang diperkirakan lebih terkonsentrasi di wilayah-wilayah yang padat penduduknya.

Selain itu, mengingat makna strategis dari reforma agraria adalah restrukturisasi penggunaan, pemanfaatan, penguasaan, dan pemilikan sumber-sumber agraria, maka diperlukan juga penyediaan tanah yang cukup baik luasannya maupun kualitasnya guna menjamin terselenggaranya restrukturisasi yang dimaksud.

obyek reforma agraria di wilayah yang berpenduduk kurang padat Presiden SBY telah mengalokasikan tanah seluas 8,15 juta ha di luar Tanah seluas ini diidentifikasi dari areal indikatif kawasan hutan produksi konversi yang akan dilepaskan statusnya sebagai kawasan hutan. Sedangkan untuk wilayah berpenduduk padat, BPN telah mengidentifikasi tanah negara seluas 1,1 juta ha dari

Delivery System

tanah Negara. Keberadaan tanah ini dapat dikelompokkan berdasarkan kepadatan penduduk, yakni penduduk Pemilihan obyek reforma agraria dalam wilayah yang harapkan dapat menyelesaikan han seperti sengketa dan konflik pertanahan yang

strukturisasi sumber agraria, maka diperlukan juga penyediaan tanah yang cukup baik luasannya maupun kualitasnya guna

obyek reforma agraria di wilayah yang berpenduduk Jawa. Tanah seluas ini diidentifikasi dari areal indikatif kawasan hutan produksi konversi yang akan dilepaskan statusnya sebagai kawasan hutan. Sedangkan untuk wilayah berpenduduk padat, BPN telah mengidentifikasi tanah negara seluas 1,1 juta ha dari

(6)

berbagai sumber yang dapat dialokasikan sebagai obyek reforma agraria. Dengan demikian, luasan keseluruhan tanah obyek reforma agraria ini adalah seluas 9,25juta ha yang berasal dari sejumlah sumber sebagai berikut (Shohibuddin dkk, 2007):

Tabel 6.1. Hubungan Antara Obyek dan Tujuan Reforma Agraria

Obyek Tujuan

1 2 3 4 5 6 7

1. Tanah bekas HGU, HGB atau HP ü ü ü ü ü ü ü

2. Tanah yang terkena ketentuan konversi ü ü - ü ü ü -

3. Tanah yang diserahkan oleh pemiliknya ü ü - ü ü - -

4. Tanah yang pemegangannya melanggar ü ü ü ü ü ü -

5. Tanah obyek landreform ü ü - ü ü ü ü

6. Tanah bekas obyek landreform ü ü - ü ü ü ü

7. Tanah timbul ü - - ü ü ü -

8. Tanah bekas kawasan pertambangan ü ü ü ü ü ü ü

9. Tanah yang dihibahkan oleh pemerintah ü ü ü ü ü ü ü

10. Tanah tukar menukar dari dan oleh pemerintah ü ü ü ü - - ü

11. Tanah yang dibeli oleh pemerintah ü ü ü ü - - ü

12. Tanah dari hutan produksi konversi ü ü ü ü ü ü ü

13. Tanah hutan produksi konversi yang dilepaskan ü ü ü ü ü ü ü

Keterangan:

1. Menata ulang ketimpangan struktur penguasaan dan penggunaan tanah kearah yang lebih adil,

2. Mengurangi kemiskinan, 3. Menciptakan lapangan kerja,

4. Memperbaiki akses rakyat kepada sumber-sumber ekonomi terutama tanah,

5. Mengurangi sengketa dan konflik pertanahan,

6. Memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup,

7. Meningkatkan ketahanan pangan dan energi rumah tangga

(7)

6.2.4. Proses Penetapan Subyek Reforma Agraria

Tingkat keberhasilan program reforma agraria selain ditentukan ketersediaan tanah yang menjadi obyeknya, juga amat tergantung pada penentuan penerima manfaatnya (subyek reforma agraria) secara tepat. Pada prinsipnya, tanah yang dialokasikan untuk reforma agraria adalah untuk rakyat miskin. Kriteria miskin ini disusun secara hati-hati dan mendalam, dengan mempertimbangkan berbagai standar kemiskinan. Penyusunan penerima manfaat akan didasarkan pada pendekatan hak-hak dasar rakyat (basic rights approach) yang merupakan hak yang universal dan dijamin oleh konstitusi. Dari sini diperoleh tiga variabel pokok dalam menentukan kriteria, yaitu kependudukan, sosial-ekonomi, dan penguasaan tanah (Winoto 2007). Dari ketiga variabel ini ditetapkan kriteria umum, kriteria khusus dan urutan prioritas.

Tahapan penentuan rakyat miskin ini mestilah dimulai dari mereka yang tinggal di dalam atau terdekat dengan lokasi, baru selanjutnya dibuka kemungkinan melibatkan kaum miskin dari daerah lain (termasuk dari daerah perkotaan), sejauh punya kemauan tinggi untuk mendayagunakan tanah. Dalam proses seleksi dan penentuan final nama-nama penerima manfaat ini, Pemerintah Daerah bersangkutan tentunya harus banyak berperan (Shohibuddin dkk, 2007). Secara umum, kelompok-kelompok prioritas dalam penentuan subyek penerima dapat digambarkan dalam pola gambar berikut ini:

(8)

Gambar 6.2. Kriteria Umum Subyek Reforma Agraria

6.2.5. Mekanisme dan Delivery System Keberhasilan penataan tanah

penerima tidak terlepas dari penentuan serta pemilihan mekanisme dan yang tepat. Model-model alternatif

obyek dan subyek reforma agraria. Secara garis besar mekanisme dan

reforma agraria dapat dikelompokkan menjadi tiga model dasar. Ketiga model tersebut adalah:

1. Model I: Mendekatkan Obyek ke Tempat Subyek.

dari daerah yang surplus tanah atau tidak padat penduduknya didekatkan ke daerah minus tanah, padat penduduknya dan dekat dengan penerima manfaat. 2. Model II: Mendekatkan Subyek Ke Tempat Letak Obyek.

ini, calon penerima manfaat (subyek) berpindah secara sukarela ( lokasi tanah yang tersedia.

.2. Kriteria Umum Subyek Reforma Agraria Berdasarkan Prioritas

Delivery System Reforma Agraria

Keberhasilan penataan tanah-tanah obyek reforma agraria kepada subyekny penerima tidak terlepas dari penentuan serta pemilihan mekanisme dan delivery system

model alternatif sistem tersebut disusun berdasarkan letak/posisi obyek dan subyek reforma agraria. Secara garis besar mekanisme dan delivery system

orma agraria dapat dikelompokkan menjadi tiga model dasar. Ketiga model tersebut

Model I: Mendekatkan Obyek ke Tempat Subyek. Dalam model ini, tanah dari daerah yang surplus tanah atau tidak padat penduduknya didekatkan ke daerah minus tanah, padat penduduknya dan dekat dengan penerima manfaat.

Mendekatkan Subyek Ke Tempat Letak Obyek. Dalam model anfaat (subyek) berpindah secara sukarela (voluntary lokasi tanah yang tersedia.

tanah obyek reforma agraria kepada subyeknya delivery system sistem tersebut disusun berdasarkan letak/posisi delivery system orma agraria dapat dikelompokkan menjadi tiga model dasar. Ketiga model tersebut

Dalam model ini, tanah dari daerah yang surplus tanah atau tidak padat penduduknya didekatkan ke daerah minus tanah, padat penduduknya dan dekat dengan penerima manfaat.

Dalam model voluntary) ke

(9)

3. Model III: Subyek dan Obyek di Satu Lokasi yang Sama.

diarahkan untuk keadaan di mana subyek dan obyek berada di lokasi yang sama.

Gambar 6.3. Mekanisme dan

6.3. Pelaksanaan PPAN di Kabupaten Ciamis

Tahun 2007, secara tegas pemerintahan SBY menetapkan bahwa pelaksanaan reforma agraria ini mutlak perlu dilakukan. Program reforma agraria yang dirancang pemerintah ini, yang disebut Prog

dinyatakan oleh Presiden SBY untuk dimulai secara bertahap sejak tahun 2007. Dalam pidatonya pada 31 Januari 2007, Presiden menyatakan sebagai berikut

21 Diku p dar i Shohi buddi n et . al . 2007.

Agraria Nasional di Provinsi Lampung: Hasil Kunjungan Singkat Ke Kabupate

Lampung Tengah. Kerjasama antara Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN), Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), dan Sajogjo Ins tue (SAI NS ) . Ha l ama n 16.

Subyek dan Obyek di Satu Lokasi yang Sama. Model ini diarahkan untuk keadaan di mana subyek dan obyek berada di lokasi yang

.3. Mekanisme dan Delivery System Reforma Agraria Pelaksanaan PPAN di Kabupaten Ciamis

ahun 2007, secara tegas pemerintahan SBY menetapkan bahwa pelaksanaan reforma agraria ini mutlak perlu dilakukan. Program reforma agraria yang dirancang pemerintah ini, yang disebut Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN),

Presiden SBY untuk dimulai secara bertahap sejak tahun 2007. Dalam pidatonya pada 31 Januari 2007, Presiden menyatakan sebagai berikut21:

Diku p dari Shohi buddi n et . al . 2007. Laporan Peneli an Pel aksanaan Uj i Coba Pr ogr am Pemb ar uan Agraria Nasional di Provinsi Lampung: Hasil Kunjungan Singkat Ke Kabupaten Lampung Selatan dan

Kerjasama antara Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN), Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), dan Sajogjo Ins tue (SAI NS ) . Ha l ama n 16.

Model ini diarahkan untuk keadaan di mana subyek dan obyek berada di lokasi yang

ahun 2007, secara tegas pemerintahan SBY menetapkan bahwa pelaksanaan reforma agraria ini mutlak perlu dilakukan. Program reforma agraria yang dirancang ram Pembaruan Agraria Nasional (PPAN), telah Presiden SBY untuk dimulai secara bertahap sejak tahun 2007. Dalam

Laporan Peneli an Pel aksanaan Uj i Coba Pr ogr am Pemb ar uan n Lampung Selatan dan Kerjasama antara Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN), Koalisi Rakyat untuk

(10)

Program Reforma Agraria…secara bertahap… akan dilaksanakan mulai tahun 2007. Langkah itu dilakukan dengan mengalokasikan tanah bagi rakyat termiskin yang berasal dari hutan konversi dan tanah lain yang menurut hukum pertanahan kita boleh diperuntukkan bagi rakyat. Inilah yang saya sebut sebagai prinsip Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat… (yang) saya anggap mutlak untuk dilakukan”

Sesuai kutipan Pidato Presiden SBY di atas bahwa program reforma agraria akan mulai dilaksanakan pada tahun 2007, maka sebagai tindak lanjutnya Kepala BPN RI pada tahun itu telah menginstruksikan kepada seluruh jajaran Kantor Wilayah dan Kantor Pertanahan BPN RI di seluruh Indonesia untuk melakukan inventarisasi atas calon lokasi kegiatan PPAN di wilayahnya masing-masing. Hasil inventarisasi inilah yang kemudian menghasilkan angka calon obyek reforma agraria seluas 1,1 juta ha tanah negara, di luar 8,15 juta ha dari kawasan hutan konversi.

Berdasarkan identifikasi tersebut, beberapa daerah yang dipandang sudah siap kemudian diminta untuk menjalankan uji coba pengembangan model-model reforma agraria sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. Beberapa daerah tersebut adalah Provinsi Jawa Timur (Kab. Blitar), Provinsi Jawa Barat (Kab. Bogor dan Ciamis), Provinsi Banten (Kab. Lebak), Provinsi Lampung (Kab. Lampung Tengah dan Lampung Selatan), Provinsi Sumatra Selatan (Kab. Ogan Komering Ilir), Provinsi Sumatra Utara (Kab. Langkat dan Asahan), Provinsi Sulawesi Tenggara (Kab. Kolaka), dan Provinsi Bali (Kab. Karangasem)22.

Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Di kabupaten ini pelaksanaan reforma agraria baru dilaksanakan di satu desa yaitu Desa Banjaranyar. Sedangkan satu desa lagi yaitu Desa Pasawahan sedang dalam proses pelaksanaan.

(11)

6.3.1. Penetapan Lokasi PPAN

Pemberian hak di Desa Banjaranyar dimulai ketika perpanjangan HGU No. 2 Cigayam oleh PT. Mulya Asli, namun dalam prosesnya disana sudah ada masyarakat yang menggarap lahan tersebut. Namun kemudian PT. Mulya Asli ini tidak keberatan untuk melepaskan sebagian lahannya tersebut, yaitu sebanyak 69,59 Ha. Disatu sisi masyarakat mengajukan permohonan penggarapan langsung ke BPN Provinsi hingga ke BPN Pusat. Kemudian setelah melalui beberapa proses, timbul surat dari Mahkamah Agung (MA) yang menyatakan memberi hak pada penggarap dan menyatakan bahwa tanah tersebut menjadi tanah negara untuk pertanian.

Kemudian, terbit SK Kepala BPN RI No. 1281-310.3-D. III tanggal 23 April 2007 yang menyatakan pelepasan lahan sebanyak 556 bidang, yang dibagikan pada masyarakat sebanyak 554 bidang karena dua bidang lainnya dijadikan sebagai kawasan konservasi air. Surat BPN RI ini berasal dari biaya PRONA. Adapun kronologis pemberian hak di OTL Banjaranya 2 akan di bahas pada sub-bab penetapan obyek PPAN.

6.3.2. Mekanisme Pelaksanaan PPAN di Banjaranyar 6.3.2.1. Mediasi

Di kasus Banjaranyar, yang terjadi disana bukanlah “legalisasi” tanah melainkan berupa penyelesaian sengketa antara Mulya Asli dengan masyarakat. Prosesnya dimulai ketika ada permohonan perpanjangan HGU oleh PT. Mulya Asli namun setelah dilakukan penelitian terhadapnya ternyata tanah HGU tersebut sudah ada masyarakat yang menggarapa lahannya. Oleh karena itu BPN meminta PT. Mulya Asli untuk melepaskan + 70 hektar lahan yang kemudian dibagikan pada sekitar 556 penggarap.

(12)

Lama penyelesaian sengketa + 1 tahun melalui proses mediasi. Prosesnya pertama, diberikan dulu kebebasan PT. Mulya Asli untuk menyelesaikan sengketa sendiri dengan masyarakat. Namun mereka tidak mampu menyelesaikannya, sehingga BPN turun tangan. Hal ini bisa berhasil karena jika PT. Mulya Asli tidak mau melepaskan lahannya maka HGUnya tidak akan diperpanjang (prosesnya lebih mudah jika dibandingkan dengan persengketaan dengan Kehutanan). Luas lahan PT. Mulya Asli ini sekitar 369 hektar. Hal ini dapat dilihat dari keterangan salah satu birokrat Kanwil BPN Jawa Barat yaitu Bapak J, berikut ini:

“…Proses penyelesaian sengketa dilakukan melalui proses mediasi dengan cara mengundang pihak-pihak yang bersengketa – dalam hal ini masyarakat dengan PT. Mulya Asli – untuk duduk berdampingan dan berusaha menyesaikan masalahnya secara kekeluargaan..”

Pernyataan ini berbeda dengan apa yang disampaikan warga, mereka tidak pernah merasa bertemu dengan pihak perkebunan. Yang mereka lakukan hanyalah upaya melalui aksi-aksi yang mereka lakukan. Sedangkan dengan pihak perkebunan sendiri tidak pernah ada pertemuan yang membahas pelepasan tanah tersebut. Mereka hanya dihubungi oleh pihak BPN bahwa mereka termasuk daerah yang mendapatkan program PPAN yang kemudian mereka dimintai data nominatifnya.

6.3.2.2. Penetapan Obyek

Status tanah di Kabupaten Ciamis, khususnya di Desa Banjaranyar adalah tanah bekas HGU yang terdaftar atas nama PT Mulya Asli dikenal dengan nama Hak Guna Usaha Nomor 2/Cigayam, yang telah berakhir masa berlakunya. Tanah yang dilepaskan oleh PT. Mulya Asli telah ditegaskan menjadi tanah negara berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia c.q. Deputi Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah Nomor : 1281 – 310.3 – D III tanggal 23 April 2007.

(13)

Pada areal seluas 69,59 hektar, oleh masyarakat penggarap telah diusahakan menjadi areal pertanian dan permukiman. Oleh pemerintah, tanah tersebut ditegaskan menjadi Tanah Objek Landreform (TOL) dan diredistribusikan kepada masyarakat (para penggarap). Lokasi tersebut selanjutnya ditetapkan sebagai lokasi Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN), yang selanjutnya dilakukan sertifikasi dengan pembiayaan melalui Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA).

Lama penyelesaian sengketa lahan eks HGU PT.Mulya Asli kurang lebih memakan waktu satu tahun melalui proses mediasi. Proses mediasi diawali dengan BPN memberikan ruang kepada PT. Mulya Asli untuk menyelesaikan sengketa lahan yang berada di areal klaim HGU dengan masyarakat sebelum SK Perpanjangan HGU dikeluarkan dengan prinsip clean and clear. Namun proses dialog antara PT. Mulya Asli dengan masyarakat tidak mencapai kata mufakat, sehingga mendorong BPN terlibat dalam proses negosiasi. Dengan kondisi belum adanya status clean and clear di areal tersebut, kemudian BPN mendesak agar lahan yang menjadi sengketa untuk dilepaskan dari areal HGU. Menurut penuturan salah seorang aparatur BPN Ciamis, pelaksanaan legalisasi aset tanah untuk masyarakat dan penyelesaian sengketa di areal eks HGU swasta relatif lebih mudah jika dibandingkan di areal garapan perusahaan Kehutanan milik negara. Berdasarkan penuturan Kepala Kantah Ciamis berikut ini:

“Pelaksanaan redistribusi tanah di Banjaranyar ini tidak ada hambatan yang berarti karena tanah tersebut memang telah ditetapkan sebagai tanah untuk redist, jadi BPN Ciamis hanya tinggal meredistribusi saja. Lahan di Banjaranyar ini sebelumnya merupakan tanah yang direklaiming oleh SPP”.

Redistribusi tanah HGU kepada petani Desa Banjaranyar (OTL Banjaranyar II) ini adalah 20 persen dari total luasan HGU yang dikuasai oleh PT. Mulya Asli (348 Ha). Luasan tanah yang dilepaskan dan diberikan haknya kepada petani hanya setengah dari

(14)

total luasan yang diusulkan oleh petani OTL Banjaranyar II (150 hektar). Adapun secara kronologis, proses pemberian hak di Banjaranyar dapat dijelaskan berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu pegawai Kantor Pertanahan Ciamis (Bapak Kustiawan):

“Ada permohonan dari masyarakat kemudian masyarakat bawa daftar nominatif, masyarakat membawa Surat ke BPN RI (kebetulan ada program PRONA pada saat itu). Selanjutnya ada koordinasi antara PT. Mulya Asli dengan BPN yang kemudian BPN menurunkan 4 tim untuk melakukan penelitian dengan landasan hukum PP 12 tahun 1992 tentang PMNA (saat ini sudah diperbaharui dengan SK BPN RI no. 7 tahun 2007 tentang Panitia Pemeriksaan Tanah. Terakhir, keluarlah SK Kepala Kantor Pertanahan Ciamis tentang Pemberian Hak Milik berupa Sertifikat.”

6.3.2.3. Penetapan Subyek

Inisiasi awal pemberian sertifikat adalah adanya permohonan dari penggarap, disamping itu juga ada permohonan perpanjangan HGU. Kemudian BPN menindaklanjutinya. Dalam melaksanakan tugasnya, BPN bersifat pasif yang artinya BPN hanya melakukan pemberian hak ketika ada permohonan.

“….BPN itu bersifat aktif [sic!], ketika ada laporan/permohonan baru ditindaklanjuti, kalau gak ada yang daftar mah ya diam aja. Pasif gitu…”

Program PPAN di desa ini merupakan pengembangan model reforma agraria yang tergolong sederhana. Obyek dan subyek reforma agraria telah berada di lokasi yang sama. Dengan mengacu kepada mekanisme asset reform yang dijelaskan pada Bab 2, maka kondisi di desa ini mewakili Model III (S ↔ O). Dalam model ini, maka obyek yang menjadi calon lokasi PPAN pada dasarnya secara de facto sudah dikuasai oleh masyarakat. Dengan demikian, penataan asset reform yang dilakukan sesungguhnya lebih merupakan bentuk penguatan hak masyarakat melalui redistribusi atas tanah yang

(15)

statusnya adalah TOL. Meskipun ada penataan ulang struktur pemilikan dan penguasaan tanah, penataan itu dilakukan oleh masyarakat melalui musyawarah di tingkat mereka sendiri (lihat Tabel 5.2.).

Ciamis sudah membentuk Tim Terpadu Penyelesaian Masalah Pertanahan di tingkat Pemda dan Agustiana – Sekjen SPP – ini duduk sebagai wakil ketua, ketuanya Bupati Ciamis dan BPN termasuk di dalamnya sebagai anggota. Berikut potongan wawancara dengan Bapak Mukti mengenai pembentukan Tim Terpadu ini:

“….jadi di Ciamis mah sudah enak, kalo ada masalah apa-apa tinggal duduk bersama. Kalau dulu kan sering sekali demo. Jadi dengan adanya tim ini, apalagi Pak Agus duduk sebagai wakil ketua, Alhamdulillah sudah gak ada masalah lagi…”

6.3.3. Program-program Pasca Pemberian Hak di Bajaranyar

Penetapan Reforma Agraria di desa Banjaranyar masih sebatas pada asset reform sehingga tidak ada tindak lanjut setelahnya. Menurut Kepala BPN Kabupaten Ciamis, hal pertama yang harus dilakukan pasca pembagian sertifikat ini adalah memperbaiki akses jalan ke desa Banjaranyar untuk mempermudah distribusi hasil-hasil pertanian (memotong rantai distribusi). Tidak adanya access reform disana salah satunya disebabkan oleh tidak sinkron-nya agenda BPN dengan proyek dari Pemda sehingga seringkali programnya tumpang-tindih. Seharusnya antara Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pertanian, Bappeda dan BPN duduk bersama dan berkoordinasi agar pelaksanaan masing-masing program dapat berjalan maksimal. Oleh karena itu, pemberian access reform di desa ini diserahkan sepenuhnya kepada SPP selaku organisasi yang mewadahi masyarakat.

(16)

6.3.4. Rencana Penyelesaian Kasus di Pasawahan

Kasus Pasawahan sebenarnya proses sertifikasi sudah mulai tahap perencanaan. Bahkan sudah dikaji oleh bagian sengketa Kantor Pertanahan (Kantah) Kabupaten Ciamis. Hampir semua persyaratan sudah terpenuhi, seperti adanya permohonan dari masyarakat (dalam hal ini SPP – OTL Pasawahan II), tanah tersebut sudah digarap lebih dari 2 tahun bahkan sudah ada yang mendirikan rumah (dihuni). Namun kendala muncul karena PT. Cipicung sebagai pemegang HGU sulit ditemui, sehingga tidak memungkinkan terjadinya koordinasi antara pihak perusahaan dengan BPN – Kantah Ciamis. Pihak BPN tidak dapat begitu saja memberikan hak, meskipun HGU PT. Cipicung tersebut sudah habis masa berlakunya sejak tahun 1993. Seperti keterangan salah satu informan di Kantah Ciamis berikut ini.

“…Sebenarnya ketika HGU berkahir dan tidak diperpanjang maka tanah tersebut adalah tanah negara, namun yang menjadi perhatian BPN adalah aset yang ada di dalam lahan eks HGU tersebut, siapa tahu masih tersisa sehingga BPN tidak berani untuk memberikan hak atas tanah tersebut selama belum ada kesepakatan ‘hitam di atas putih’ walaupun secara de facto lahan tersebut sudah dikuasai masyarakat…”

Meski belum terjadi proses sertifikasi di desa Pasawahan, ternyata sudah terjadi perdebatan dikalangan masyarakat SPP itu sendiri. Lebih tepatnya selisih pendapat antara tokoh-tokoh OTL Pasawahan II dengan pendamping SPP (FARMACI dan “LBH”). Perdebatan muncul ketika pendamping SPP (FARMACI dan LBH) mengemukakan gagasan agar sertifikat yang akan diperoleh OTL Pasawahan II ini adalah sertifikat kolektif (atas nama OTL), namun para pengurus tidak setuju dengan gagasan tersebut. Pihak pengurus OTL ingin sertifikat yang diberikan adalah sertifikat individu seperti biasanya. Mereka beralasan dengan sertifikat individu, hak-hak individu akan tetap terjamin. Namun pihak pendamping memiliki pandangan lain tentang

(17)

sertifikat, mereka memberi gagasan agar sertifikat ini diberikan sebagai sertifikat kolektif yang dikelola oleh koperasi SPP.

Alasan yang dikemukakan pendamping ini adalah pelajaran dari OTL Banjaranyar II. Di OTL ini, pemberian sertifikat yang diberikan adalah sertifikat individu. Yang terjadi adalah organisasi SPP di sana mulai mengalami kemunduran. Masyarakat di sana menganggap perjuangan tanah telah selesai setelah mendapatkan sertifikat tanah. Akibatnya banyak masyarakat yang menjual lagi tanahnya, dampaknya, kesejahteraan masyarakat tidak naik setelah adanya sertifikat, malah menurun karena setelah menjual tanahnya mereka benar-benar seorang “landless”. Dari sini dapat diketahui bahwa SPP terus mendampingi masyarakat OTL Pasawahan II mulai dari pendidikan dan penyadaran masyarakat melalui pendidikan dan pelatihan, perjuangan reklaiming tanah melalui pengkaplingan hingga proses sertifikasi yang akan dilakukan di OTL Pasawahan II. Ini dilakukan karena SPP tidak ingin kejadian di OTL Banjaranyar II terulang lagi di sini.

6.4. Analisis Perbandingan

Terdapat beberapa perbedaan dalam proses pemberian hak di OTL Banjaranyar II dan Pasawahan II antara lain adalah jika di OTL Banjaranyar II sudah diberikan haknya melalui sertifikasi dari Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) sedangkan di OTL Pasawahan II pemberian hak atas tanah ini masih dilangsungkan. Perbedaan lainnya adalah perusahaan perkebunan pemilik HGU di daerah masing-masing. Jika di OTL Banjaranyar II pemilik perkebunannya adalah PT. Mulya Asli dengan status HGU aktif dan diperpanjang (lihat Lampiran 12), begitu juga dengan perusahaannya sendiri yang sampai saat ini masih beroperasi. Sedangkan di OTL Pasawahan II, baik perusahaannya yaitu PT. Cipicung dan HGU-nya sudah sama-sama

(18)

tidak aktif. Artinya, selain perusahaannya sudah tidak beroperasi secara aktif, HGU yang dimiliki PT. Cipicung inipun sudah habis dan tidak diperpanjang lagi.

Sebenarnya yang menyebabkan OTL Banjaranyar II ini mendapatkan program sertifikasi terlebih dahulu daripada OTL Pasawahan II adalah terletak pada perusahaan yang memiliki HGU di masing-masing OTL itu sendiri. Seperti sudah dijelaskan pada pembahasan-pembahasan sebelumnya, proses pemberian hak di OTL Banjaranyar II di mulai ketika pihak perkebunan yaitu PT. Mulya Asli hendak memperpanjang HGU-nya dan bersamaan dengan itu ada masyarakat yang melakukan penggarapan di tempat tersebut sehingga proses perpanjangan HGU menjadi terhambat. Namun kemudian PT. Mulya Asli bersedia melepaskan tanah HGU-nya untuk digarap oleh masyarakat sebanyak 69,59 hektar. Bersamaan dengan itu, ada program PPAN yang hendak dilaksanakan oleh BPN. Dengan adanya permohonan perpanjangan HGU oleh perusahaan serta permohonan tanah oleh masyarakat maka BPN bisa dengan mudah menentukan tanah tersebut sebagai obyek PPAN.

Sedangkan untuk kasus OTL Pasawahan II, meskipun sudah melakukan penggarapan dan permohonan tanah namun perusahaan yang memegang HGU-nya sudah tidak beroperasi sehingga BPN sulit untuk menetapkan tanah yang direklaiming oleh masyarakat sebagai obyek PPAN. Hal ini disebabkan oleh pertimbangan bahwa di dalam perkebunan tersebut masih ada aset-aset perkebunan, disini Kantor Pertanahan (Kantah) Ciamis tidak berani mengambil resiko dengan melakukan pemberian hak. Namun setelah diadakan peninjauan lapangan dan penelitian singkat yang dilakukan pihak Kantah Ciamis, pemberian sertifikat di OTL ini mungkin untuk dilaksanakan. Hingga saat ini prosesnya masih berjalan. Untuk lebih memahami perbedaan pemberian sertifikat di kedua OTL tersebut, berikut disajikan tabel perbandingan proses pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) di kedua tempat tersebut.

(19)

Tabel 6.2. Perbandingan Proses Pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional di OTL Banjaranyar II dan OTL Pasawahan II

Pelaksanaan PPAN OTL Banjaranyar II OTL Pasawahan II Permohonan dari Masyarakat Ada Ada Penggarapan oleh Masyarakat Ada Ada Pemberian Sertifikat/Bentuk

Sudah/sertifikat individu Rencana/sertifikat kolektif

Perusahaan Pemegang HGU

PT. Mulya Asli PT. Cipicung

Komoditas Utama Perkebunan

Karet Karet

Status Perusahaan Aktif dan Beroperasi Tidak aktif dan tidak beroperasi

Gambar

Gambar 6.1. Bagan Alir Penetapan Obyek, Penetapan Subyek dan Mekanisme &
Gambar 6.2. Kriteria Umum Subyek Reforma Agraria
Gambar 6.3. Mekanisme dan
Tabel 6.2.   Perbandingan Proses Pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional di OTL  Banjaranyar II dan OTL Pasawahan II

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian lanjutan mengenai jenis logam berat yang berbeda serta parameter lingkungan yang dapat berpengaruh terhadap akumulasi logam berat oleh organisme seperti suhu, pH

Akibat gaya tarik yang diberikan, dengan kekuatan baut yang lebih tinggi daripada betonnya, maka kegagalan akan terjadi pada beton seperti terlihat pada Gambar

Adapun evaluasi untuk PkM ini terhadap siswa-siswi setelah melakukan praktikum, latihan dan diskusi yaitu mereka dapat memahami proses pembuatan website sederhana

Selanjutnya jika pada setiap sisi segitiga dan segienam dibangun persegi, maka garis dari titik pusat persegi pada segienam dengan titik pusat persegi pada

Tipe Koreksi ini digunakan untuk menurunkan HPP item karena user mendapatkan potongan hutang dari suplier sebagai pengganti nilai barang suplier yang harganya diturunkan

, HAM, Hakekat, Konsep & Implikasinya dalam Perspektif Hukum & Masyarakat, Bandung : Refika Aditama, 2004 Bagir Manan, Perkembangan Pemikiran & Pengaturan HAM

Bahwa dengan perbedaan obyek perkara baik letak maupun batas-batas tanah perkara tersebut Majelis Hakim Pengadilan Negeri Cibinong untuk memastikan obyek perkara telah menetapkan

Validity, Reliability, and Responsiveness of the “Schedule for the Evaluation of Individual Quality of Life – Direct Weighting” (SEIQoL-DW) in Congenital Heart Disease. Health