BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Tanaman kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan terbesar ke
empat di Indonesia setelah kelapa sawit, karet dan kakao. Pada tahun 2013, total
ekspor kopi dari Indonesia mencapai sekitar 1,2 milyard USD atau sekitar 4 %
dari total ekspor perkebunan Indonesia 27 milyard USD. Jika dibandingkan
dengan kelapa sawit, angka tersebut masih 64 % di bawah komoditas tersebut
yang mencapai sekitar 1,8 milyard USD pada tahun yang sama (BPS, 2014).
Total ekspor kopi yang tinggi tersebut disebabkan oleh total produksi kopi
di Indonesia yang tinggi pula. Pada tahun 2013, total produksi kopi di Indonesia
mencapai sekitar 700 ribu ton per tahun (AEKI, 2014). Dengan tingginya
produksi kopi tersebut, Indonesia menempati posisi ketiga sebagai negara
penghasil kopi terbesar di dunia setelah Brazil dan Vietnam (FAO, 2015).
Tingginya produksi kopi di Indonesia tersebut erat kaitannya dengan luasnya
lahan yang digunakan untuk budidaya kopi. Pada tahun 2013, luas area
perkebunan kopi di Indonesia mencapai sekitar 1,3 juta ha (AEKI, 2014) atau
menempati urutan kedua terbesar di dunia setelah Brazil (FAO, 2015).
Namun demikian, dalam hal produktivitas, perkebuan kopi di Indonesia
kopi negara lain seperti China atau Malaysia yang mencapai 3 ton/Ha per tahun
(FAO, 2015)
Gambar 1.1 Produktivitas perkebunan kopi Indonesia dibandingkan dengan empat negara dengan produktivitas kopi tertinggi di dunia (FAO, 2015).
Salah satu faktor yang diduga menjadi penyebab utama rendahnya
produktivitas kopi di Indonesia adalah belum tersedianya bibit kopi yang unggul
dalam jumlah yang memadai (Ibrahim et al., 2013). Pada umumnya, petani
membudidayakan kopi dengan menggunakan bibit yang berasal dari biji.
Meskipun teknik tersebut mudah dilakukan, namun bibit yang dihasilkan tidak
seragam. Hal ini dikarenakan tanaman kopi memiliki sifat penyerbuk silang
(Ibrahim et al., 2013) sehingga bibit kopi yang digunakan bersifat tidak seragam
secara genetik.
Alternatif yang dapat digunakan untuk menghasilkan bibit unggul yang
bersifat seragam secara genetik adalah menggunakan perbanyakan secara
tersebut mampu menghasilkan bibit yang sama dengan induknya secara genetik,
murah dan mudah dilakukan (Nursyamsi, 2010). Namun demikian, jumlah bibit
yang dihasilkan masih sangat terbatas (Sukmadjaja, 2005) serta dapat merusak
tanaman induk yang digunakan sebagai sumber (Oktavia et al., 2003).
Alternatif lain yang dapat digunakan untuk menyediakan bibit kopi dalam
jumlah massal, bersifat unggul, seragam secara genetik serta tidak merusak
tanaman induknya adalah dengan menggunakan teknik embriogenesis somatik
(Arimarsetiowati & Ardiyani, 2012; Oktavia et al., 2003). Embriogenesis somatik
merupakan teknik memperbanyak tanaman dengan cara menginduksi embryo dari
sel somatik pada lingkungan yang steril (Sukmadjaja, 2005). Teknik tersebut telah
diaplikasikan pada tanaman kopi dengan menggunakan beberapa tipe eksplan,
seperti eksplan daun (Priyono, 2010; Ibrahim et al., 2013; Hatakana et al., 1991;
Oktavia et al., 2003; Riyadi & Tirtoboma, 2004; Murni, 2010; maupun
Arimarsetiowati, 2011), eksplan batang (Priyono & Danimiharja,1991), eksplan
biji (Ebrahim et al., 2007), eksplan integumen (Sreenath et al., 1995), maupun
protoplas (Tahara et al., 1994) serta eksplan akar, eksplan hipokotil dan eksplan
epikotil (Oktavia et al., 2003).
Sampai saat ini, peresentase keberhasilan induksi embrio somatik pada
tanaman kopi tergolong tinggi. Tingkat keberhasilan pada tahap induksi kalus dan
induksi embrio tergolong sangat tinggi (100 %; Murni, 2010; Riyadi dan
Tirtoboma, 2004) sedangkan keberhasilan pada tahap perkecambahan (90 %) dan
aklimatisasi (78% ; Arimarsetiowati& Ardiyani, 2012); Priyono dan Zaenudin,
Namun demikian, upaya produksi bibit kopi secara masal melalui teknik
embriogenesis somatik masih memiliki banyak kendala, diantaranya adalah
lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menjaga bibit tetap steril pada kondisi in
vitro. Sampai saat ini, tahapan embriogenesis somatik yang banyak dilakukan
meliputi tanpa induksi kalus selama 1 bulan (Sumaryono, 2014), induksi embrio
somatik selama 8 bulan (Ibrahim et al., 2013), tahapan perkecambahan selama 3
bulan (Murni, 2010) dan tahap aklimatisasi selama 3 bulan (Santoso & Rahardjo,
2011). Dengan demikian tahapan in vitro membutuhkan waktu sekitar 15 bulan
(Gatical et al., 2008). Waktu in vitro yang panjang tersebut mengakibatkan resiko
kontaminasi pada bibit in vitro yang tinggi, tingginya medium yang digunakan,
konsumsi listrik maupun tenaga kerja yang banyak (Ahloowalia & Savangikar,
2002). Hal ini menyebabkan tingginya biaya produksi bibit kopi pada kondisi in
vitro (Gatical et al., 2008).
Salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk menurunkan biaya
produksi bibit kopi melalui teknik embriogenesis somatik yaitu dengan cara
mengaklimatisasikan embrio somatik secara langsung ke dalam kondisi ex vitro
(direct sowing). Teknik ini mampu mempersingkat waktu yang dibutuhkan untuk
memelihara kultur dalam kondisi in vitro karena teknik tersebut menggabungkan
tahap perkecambahan embrio dengan tahap aklimatisasi secara bersamaan
(Kubota, 2002). Teknik direct sowing banyak diaplikasikan pada tanaman
Medicago sativa L (Fujii et al., 1989); Magnolia pyramidata (Merkle et al., 1994)
Namun demikian, tingkat keberhasilan teknik direct sowing masih sangat
beragam. Pada tanaman Magnolia pyramidata, tingkat keberhasilan teknik direct
sowin mencapai 50 %, sedangkan pada tanaman Theobroma cacao L mencapai
10 % (Niemenak et al.2008) dan pada tanaman Medicago sativa L mencapai 6 %
(Fujii et al., 1989).
Pada tanaman kopi, teknik direct sowing juga telah dicobakan untuk
digunakan dalam produksi bibit kopi unggul secara masal. Teknik tersebut
berhasil digunakan untuk produksi bibit kopi arabika dengan tingkat keberhasilan
mencapai 80 %. Teknik tersebut juga mampu mempersingkat lama kultur 13 %
lebih cepat dibandingkan dengan teknik embriogenesis somatik secara
konvesional (Etienne-Barry et al., 1999). Pada tanaman kopi robusta, teknik direct
sowing juga telah dicobakan, namun dengan tingkat keberhasilan yang lebih
rendah, yaitu sekitar 50 % (Yenitasari, 2015). Salah satu faktor yang berhubungan
erat dengan pertumbuhan embrio somatik selama proses aklimatisasi adalah
derajat keasaman (pH) substrat tanam. Menurut Purnamaningsih (2002), pH
substrat tanam memiliki peran penting terhadap pengambilan nutrisi oleh sel-sel
tanaman terutama nitrogen yang memacu morfogenesis secara in vitro. Selain itu,
pH substrat tanam juga memiliki peran yang penting dalam penyerapan mineral
dan nutrisi pada tanaman (Widiastoety et al., 2004 ).
Pada umumnya, pH optimum untuk pertumbuhan suatu tanaman berkisar
antara 5,0 - 6,5. Namun demikian, setiap tumbuhan memiliki kisaran nilai pH
optimum yang bervariasi. Derajat keasaman yang optimum untuk pertumbuhan
padi sebesar 5,8 (Purnamaningsih & Mariska, 2008). Pada tanaman kedelai
sebesar 6,9 (Mahagiani, 2010).
Pada umumnya tanaman kopi robusta (Coffea canephora Pierre ex
A.Froehner) membutuhkan pH dengan kisaran sekitar 5,5 – 6,5 namun demikian
pada kisaran pH tersebut juga ditemukan adanya pertumbuhan algae pada medium
tanam (Yenitasari, 2015). Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan variasi
percobaan untuk menentukan kisaran pH terbaik yang dapat memacu
pertumbuhan embryo somatik kopi robusta namun menghambat pertumbuhan
algae sehingga tingkat keberhasilan direct sowing meningkat.
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
Menguji pengaruh pH substrat tanam terhadap keberhasilan aklimatisasi
embrio somatik kopi robusta (Coffea canephora Pierre ex A.Froehner).
1.3Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain:
1. Bagi Ilmu Pengetahuan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi di bidang kultur
jaringan, khususnya pengaruh pH substrat tanam terhadap keberhasilan
aklimatisasi embrio somatik kopi robusta (Coffea canephora Pierre ex
2. Bagi Universitas Muhammadiyah Purwokerto
Penelitian ini diharapkan memberikan tambahan referensi bagi penelitian
pengaruh pH substrat tanam terhadap keberhasilan aklimatisasi embrio
somatik kopi robusta (Coffea canephora Pierre ex A.Froehner).
3. Bagi Penulis
Menambah pengalaman dan ilmu pengetahuan dalam bidang kultur pada
khususnya pengaruh pH substrat tanam terhadap keberhasilan aklimatisasi
embrio somatik kopi robusta (Coffea canephora Pierre ex A.Froehner).
4. Bagi Petani Kopi
Dengan adanya penyediaan bibit kopi robusta (Coffea canephora Pierre ex
A.Froehner) yang berkualitas bagi petani kopi diharapkan dapat
menambah pendapatan dan memberikan kesejahtraan bagi petani kopi.
5. Bagi masyarakat
Semakin tersedianya bibit kopi robusta yang bermutu dan berkualitas yang
dibudidayakan secara masal maka akan tercipta perkebunan yang mampu
membuka lapangan kerja bagi masyarakat. Makin banyaknya perkebunan
kopi akan berdampak positif pada industri kopi, baik industri skala kecil