PENYESUAIAN DIRI
PASANGAN SUAMI ISTRI BEDA AGAMA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)
Program Studi Psikologi
Oleh:
Antonia Widyasmara NIM: 039114057
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
Rintang yang harus ku hadapi Perbedaan tiada bertepi
Mengenali keinginanmu terhadap aku Tak semuanya keinginanku...
Mengapa tak pernah kita coba selaraskan rasa dalam jiwa Ini diriku...dan begitulah dirimu...
Tak pernah sempurna...Cuma manusia
Seharusnya yang terjadi slalu dapat disadari
Dua beda kan saling menyatu bukan ‘tuk diri sendiri
Bila sampai hari ini masih ada cinta yang membuat kita satu Itu semua anugerah Yang Kuasa...
Kita cuma manusia yang dianugrahkan cinta oleh Yang Kuasa
Dipersembahkan untuk :
Papa dan Mama yang selalu ada di hatiku,
ABSTRAK
Penyesuaian Diri Pasangan Suami Istri Beda Agama Antonia Widyasmara
039114057
Perkawinan beda agama bukanlah hal baru dalam masyarakat Indonesia. Informasi mengenai kebijakan yang membahas perkawinan beda agama memang masih simpang siur. Banyak masyarakat yang memandang perkawinan beda agama ini rentan masalah bahkan bisa memicu terjadinya perceraian. Namun, hal ini tidak membuat banyak pasangan membatalkan perkawinannya walaupun berbeda agama.
Penelitian kualitatif deskriptif ini bertujuan untuk mendeskripsikan penyesuaian diri pasangan suami istri yang melakukan perkawinan beda agama Penelitian ini penting dilakukan karena semakin banyak pasangan yang tetap menjalani perkawinan beda agama, walaupun banyak pihak yang tidak mendukung. Penyesuaian diri pasangan yang melakukan perkawinan beda agama akan dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri, peran agama dalam kehidupan perkawinan, cara dan proses penyesuaian diri dalam perkawinan.
Subjek penelitian adalah pasangan suami istri yang menjalani kehidupan perkawinan berbeda agama. Tiga pasang suami istri yang teridentifikasi sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya, dipilih menjadi subjek penelitian. Pengumpulan data dengan teknik wawancara yang melibatkan pasangan suami istri dan salah satu anggota keluarga yang lain.
Hasil penelitian menggambarkan pasangan suami istri yang melakukan perkawinan beda agama memiliki latar belakang penyesuaian diri yang hampir sepenuhnya sama. Cara dan proses penyesuaian diri ketiga pasangan suami istri yang berbeda agama juga memiliki kesamaan satu sama lain. Permasalahan dalam penyesuaian diri yang dialami ketiga pasangan cukup bervariasi. Sedangkan peran agama dalam kehidupan ketiga pasang subjek penelitian tidak berperan besar karena hanya tampak saat mengenalkan agama kepada anak-anak mereka atau pada saat beribadah. Faktor lain yang juga cukup mempengaruhi adalah kehidupan beragama. Kehidupan beragama hanya aktif dilakukan oleh para istri.
Beberapa temuan penelitian perlu dikaji lebih lanjut, seperti peran suami pada perkawinan beda agama. Pengkajian ini meliputi mengapa dominasi istri dalam kehidupan perkawinan begitu kuat, khususnya perkawinan beda agama. Pengkajian lebih lanjut juga perlu dilakukan pada pasangan yang belum lama menjalani perkawinan beda agama. Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah permasalahan dan faktor yang mempengaruhi perkawinan mereka juga sama dengan pasangan yang telah menjalani kehidupan perkawinan lebih dari 10 tahun. Selain itu, perlu adanya penelitian mengenai perkawinan beda gereja dan beda agama. Hal ini bertujuan untuk memberikan informasi dan gambaran kepada masyarakat persamaan dan perbedaan diantara keduanya.
ABSTRACT
The Self Adaptation of The Couple Who Have Done Interfaith Marriage Antonia Widyasmara
039114057
Interfaith marriage isn’t a new case in Indonesian society. Information about the wisdom of interfaith marriage confuses the people. The people have a low opinion about the interfaith marriage because they think the people who get married with different religion always meet with problems even they end up with divorce. But, this opinion didn’t make the couples cancel their marriage.
This descriptive-qualitative study aimed to describe the self adaptation of the couples who get married with different religion. This study is important to conducted because more couples which persist interfaith marriage, although many people which don’t support them. The self adaptation of couples who interfaith marriage will be seen from factors influencing of self-adaptation, role of religion in life of marriage, the method and process self adaptation in marriage.
The subjects of this study are the couples who married with different religion. Three identified couples has fulfilled the predetermined requirements of the study. The data were collected using the interview technique which involved the couples and one of their families.
The results of the study describe that the couples who are doing interfaith marriage have a similarity life background. They used the same method and process to adapt each other. They have a variety of problems in their self-adaptation. The religion function is just for introducing religion to their children or only for praying. The other factors that influence are their religion activity.
Some findings of the study must be followed up such as wife domination in life of marriage. Further study also requires to be conducted at newly couples (less than five years). This matter aimed to know what their problems, the methods and process of self adaptation is similar with the couples which have experienced more than five years. Besides, further study also requires for interfaith marriage with interchurch marriage. This study is aimed at giving information to people about the similarity and the difference among them.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul Penyesuaian Diri Pasangan Suami Istri Menikah Beda Agama.
Selama proses menyelesaikan penelitian ini, penulis banyak mendapat
dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima
kasih secara tulus kepada orang-orang yang telah mendukung dan menginspirasi
penulis selama kuliah dan melakukan penelitian ini :
1. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Bapak V. Didik Suryo Hartoko, S.Psi, M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi
yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan kepada penulis.
3. Segenap Bapak dan Ibu dosen Fakultas Psikologi sebagai pembimbing dan rekan
diskusi penulis.
4. Segenap karyawan Fakultas Psikologi : Mas Muji, Mas Gandung, Mbak Nanik,
Mas Doni, Pak Gi yang telah membantu penulis selama studi, Terima kasih
banyak buat semua bantuannya.
5. Seluruh subjek penelitian penulis yang dengan senang hati mau berbagi
pengalamannya sehingga penelitian ini bisa berjalan dengan lancar.
6. Papa tersayang, PV. Joko Nugroho, yang mengajari penulis bagaimana hidup
7. Mama tersayang, Elisabeth Sri Budiarti, seorang wanita hebat, yang selalu
mengajari penulis arti berjuang tanpa kenal lelah dan menyerah, menjadi seorang
wanita yang kuat dan mandiri..
8. FX. Lanang Waskito, adik penulis. Jangan pernah merasa puas ya Dek, teruslah
berjuang. I trust u can do it.
9. Om Nondo, Bulik Murni, Tika, Carol, dan Krista, keluarga kedua penulis.
Terima kasih atas semua dukungan, nasehat dan pengalaman hidup yang
diberikan kepada penulis selama ini.
10.Keluarga besar Sentolo dan Semarang, terima kasih untuk semua dukungan yang
diberikan kepada penulis selama ini.
11.PSM “Cantus Firmus”, tempat penulis untuk menyalurkan hobi dan
menghilangkan rasa jenuh.. Makasih ya Om Ponco (Mas Mbong) dan juga
teman-teman buat kebersamaannya walaupun gak lama.
12.Fany dan Ranie, sahabat penulis sejak SMA. Makasih ya buat pertemanan kita
selama ini..Masa SMA dan hidup di asrama tidak akan pernah menyenangkan
tanpa adanya kalian...
13.Teman-teman penulis dari SMU Stella Duce 2 Yogyakarta, Ana, Yessi,
Icha-bochie dan winarni...kapan kita jualan sandwich lagi?hehehe....
14.Lukas, kakak angkat penulis. Kak, makasih ya buat supportnya selama
ini...cepetan lulus kak, masa keduluan sama adiknya sih..hehehe...
15.Dhanie dan Anna, sahabat yang memberikan penulis banyak pengalaman hidup..
Makasih ya Dol, buat semua waktu dan support yang selalu ada di saat ku
16.Boz (Linda), sahabat juga guru bagi penulis. Boz, makasih ya buat semua
penjelasan boz tentang apapun selama kuliah.
17.Diana, sahabat yang selalu bisa membuat penulis untuk selalu ingat pada Tuhan.
Makasih ya Dol, buat persahabatan kita selama ini.
18.Melan dan Melati, dua sahabat yang lucu dan unik. Melan, ku senang dengan
semua kepolosan dan keceriaan mu yang bisa muncul kapan saja.hehehehe...
19.Atok, rondang, beni, indri, wiwid, dan nanang. Saat kuliah dan bermain jadi
lebih menyenangkan bersama kalian.
20.Seseorang yang akan selalu ada di dalam hati penulis...Makasih ya baNk, buat
semua support, rasa senang, sedih, dan sakit selama ini... you’ll be in my
heart...always...
21.Untuk seseorang yang kembali hadir dalam kehidupan penulis...terimakasih
sudah membuat ku kembali bersemangat menjalani hidup walaupun kamu gak
tahu itu....
22.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu penulis.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa penelitian dan penyusunan skripsi ini
masih jauh dari sempurna. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun untuk kesempurnaan skripsi ini dari pembaca semua. Semoga skripsi ini
memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan dalam hidup
sehari-hari.
Yogyakarta,
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING...ii
HALAMAN PENGESAHAN...iii
HALAMAN MOTTO...iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA...v
ABSTRAK...vi
ABSTRACT...vii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI...viii
KATA PENGANTAR...ix
DAFTAR ISI...xii
DAFTAR TABEL...xiv
DAFTAR GAMBAR...xv
DAFTAR LAMPIRAN...xvi
BAB 1. PENDAHULUAN...1
A. Latar Belakang Permasalahan...1
B. Rumusan Masalah...6
C. Tujuan Penelitian...7
D. Manfaat Penelitian...7
BAB 2. LANDASAN TEORI...8
A. Perkawinan Beda Agama...8
1. Perkawinan Beda Agama...8
2. Peran Agama dalam Perkawinan...11
B. Penyesuaian Diri pada Perkawinan...13
1. Perkawinan...13
2. Pengertian Penyesuaian Diri pada Perkawinan...14
3. Masalah dalam Penyesuaian Diri pada Perkawinan...15
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Penyesuaian Perkawinan...17
C. Kerangka Pemikiran...21
BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN...25
A. Jenis Penelitian...25
B. Fokus Penelitian...26
C. Metode Pengumpulan Data...27
D. Subjek Penelitian...28
1. Proses Pengumpulan Data...28
2. Pemilihan Subjek Penelitian...32
E. Analisis Data...34
F. Pertanggungjawaban Mutu...37
BAB 4. HASIL PENELITIAN...39
A. Pasangan 1 (EW dan CR)...39
B. Pasangan 2 (MM dan I)...56
C. Pasangan 3 (SM dan FI)...70
BAB 5. PEMBAHASAN...85
A. Pembahasan...85
1. Latar Belakang...85
2. Cara dan Proses Penyesuaian Diri...92
3. Permasalahan dalam Proses Penyesuaian Diri...95
4. Peran Agama dalam Perkawinan...101
5. Faktor Lain yang Cukup Penting...103
B. Diskusi Umum...113
BAB 6. KESIMPULAN...119
A. Kesimpulan...119
B. Keterbatasan Penelitian...120
C. Saran...121
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel I Panduan Wawancara...28
Tabel II Identitas Subjek Penelitian...33
Tabel III Daftar Kode Analisis Data...36
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 : Denah Rumah Subjek EW dan CR...41
Gambar 2 : Denah Rumah Subjek MM dan I...58
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1: Hasil Wawancara...124
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan salah satu tahapan hidup yang akan dilewati oleh
manusia. Pada saat seorang individu memutuskan untuk melakukan sebuah
perkawinan, berarti individu tersebut telah siap membuka diri untuk menerima orang
lain dalam kehidupannya. Banyak hal yang harus dipersiapkan ketika seorang
individu memutuskan untuk melakukan sebuah perkawinan, yaitu siap secara lahir
dan batin. Siap secara lahir, berarti individu tersebut telah cukup umur untuk
melangsungkan perkawinan dan sudah memiliki materi yang cukup. Siap secara batin
berarti individu tersebut telah siap untuk berbagi hidupnya dengan orang lain,
bertanggung jawab, memiliki emosi yang stabil dan terkontrol. Perkawinan bukanlah
sebuah titik akhir, tetapi sebuah perjalan panjang yang harus dilalui oleh keduanya
demi tercapainya tujuan dari sebuah perkawinan yang telah disepakati oleh keduanya.
Setiap pasangan juga harus terus belajar mengenai kehidupan bersama dan harus kian
menyiapkan mental untuk menerima kelebihan sekaligus kekurangan pasangannya.
Perkawinan juga memerlukan penyesuaian secara terus menerus. Setiap
perkawinan, selain cinta juga diperlukan sikap saling pengertian yang mendalam,
kesediaan untuk saling menerima pasangan masing-masing dengan latar belakang
bersedia untuk menerima dan ikut terlibat dalam lingkungan sosial dan budaya
pasangannya. Oleh karena itu, diperlukan keterbukaan dan toleransi yang sangat
tinggi, serta rasa untuk saling menyesuaikan diri. Wismanto (dalam Anjani, 2006),
menyatakan bahwa proses pengenalan antar pasangan berlangsung terus menerus
hingga salah satu pasangan meninggal.
Penyesuaian diri adalah salah satu faktor penting dalam mencapai
keberhasilan perkawinan karena penyesuaian diri merupakan suatu usaha suami istri
untuk mengurangi perbedaan-perbedaan diantara mereka. Pada saat pasangan suami
istri mampu berinteraksi dengan baik dan mampu saling mengkomunikasikan
kebutuhan, keinginan, pandangan hidup dan harapan mereka satu sama lain, mampu
menjalin relasi dengan lingkungan sosial pasangan, keluarga pasangan, dan juga
dalam menyelesaikan permasalahan dapat dikatakan bahwa penyesuaian diri dalam
kehidupan perkawinannya tercapai. Sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh
Gunarsa (1991), bahwa penyesuaian diri dalam suatu perkawinan adalah suatu usaha
untuk mencapai pengenalan dan pengertian yang lebih mendalam dengan mengurangi
perbedaan-perbedaan maupun sumber masalah demi terbinanya kesatuan suami istri.
Penyesuaian diri dalam perkawinan akan berjalan dengan baik ketika usaha yang
dilakukan tersebut tercapai, namun ada perbedaan-perbedaan yang masih sulit untuk
disesuaikan satu sama lain seperti perbedaan agama.
Agama merupakan salah satu hal yang sangat jelas membedakan individu
agama tertentu atau tidak. Dengan kata lain, agama secara otomatis membentuk
kelompok. Individu yang tidak termasuk dalam kelompok agama tersebut termasuk
kelompok yang out-group sedangkan individu yang memiliki kepercayaan yang sama
akan termasuk dalam kelompok tersebut atau in-group. Lalu, bagaimana dengan
pasangan suami istri yang melakukan perkawinan beda agama? Bagaimana cara
pasangan tersebut melakukan penyesuaian diri dalam kehidupan perkawinannya yang
jelas memiliki perbedaan agama satu sama lain.
Perkawinan beda agama merupakan perkawinan yang memiliki dua prinsip
agama yang berbeda. Kehidupan perkawinan pasangan yang berbeda agama juga
akan mengalami masalah terkait dengan penyesuaian diri. Perbedaan agama yang ada
diantara pasangan suami istri memiliki andil untuk memunculkan perselisihan,
pertengkaran, maupun dalam penyelesaian masalah. Setiap pasangan tetap berpegang
teguh pada ajaran agama yang dianutnya dan merasa yakin bahwa apa yang
diyakininya adalah benar. Hal inilah yang pada akhirnya membuat pasangan suami
istri yang berbeda agama kesulitan untuk menyatukan perbedaan yang ada. Berbeda
ketika pasangan suami istri mampu menempatkan perbedaan agama sebagai sesuatu
yang harus dihormati dan dihargai, sehingga dapat memunculkan kerukunan serta
rasa toleransi yang tinggi dan ini membuat keduanya tidak kesulitan untuk saling
menyesuaikan diri dan menyatukan perbedaan yang ada.
Informasi mengenai perkawinan beda agama di Indonesia masih simpang siur.
bahwa hal ini sah-sah saja. Pada kenyataannya, hal ini masih sulit untuk dilaksanakan
karena perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya (pasal 2 UU Perkawinan No.1 Tahun 1974, dalam
Monschovir, 2005). Pada saat akan menikah, calon pasangan suami istri ini sudah
mengalami banyak hambatan, mulai dari proses akan melangsungkan perkawinan,
seperti adanya tekanan yang datang dari lingkungan sosial ataupun dari pihak
keluarga sendiri karena pada dasarnya tidak ada ajaran agama di Indonesia yang
menganjurkan umatnya untuk melakukan perkawinan dengan orang yang berlainan
agama. Sama halnya dengan lingkungan sosial yang menganggap hal ini tidak sesuai
dengan ajaran agama, maka tidak jarang muncul pendapat yang menentang terjadinya
perkawinan beda agama.
Seperti contoh kasus pada Nn. H dan Tn. F yang kebetulan berbeda agama
dan akan segera melangsungkan pernikahan. Nn. H merasa gelisah dan takut akan
bahaya kegagalan rumah tangganya karena perbedaan agama (Hidayat, 2007). Ini
menunjukkan bahwa kecemasan yang dialami oleh pasangan beda agama sudah
dialami sejak mereka akan melangsungkan pernikahan. Permasalahan yang sama juga
dialami oleh Ahmad Nurcholish dan Ang Mei Yong, yaitu pasangan suami istri yang
beragama Islam dan Konghucu pada saat akan melangsungkan perkawinan mendapat
protes keras dari pengelola Masjid Al-Azhar, Jakarta. Hal ini disebabkan aktivitas
yang dilakukan oleh Nurcholish selama ini adalah sebagai pengurus teras di Youth
perkawinan dengan Ang Mei Yong, penganut agama Konghucu jelas memancing
keberatan dari pihak masjid. (Laporan Khusus, Gatra, Nomor 47 Beredar Senin, 3 Oktober 2005).
Penyesuaian diri pasangan suami istri yang menikah beda agama pun akan
sulit dilaksanakan jika tidak ada kematangan pribadi baik sosial dan emosi. Selain itu,
adanya motivasi dari masing-masing pasangan untuk saling menyesuaikan diri juga
menjadi unsur pendukung penyesuaian diri. Penyesuaian antara kedua keluarga juga
akan mengalami kesulitan. Permasalahan perbedaan agama sering kali membuat salah
satu pasangan menjadi terkucil dari lingkungan keluarganya. Konsekuensi lainnya
adalah dalam tumbuh kembang anak. Apakah anak akan memilih agama ayah atau
ibu atau bukan keduanya (tidak mengikuti agama ayah atau ibu) karena kebingungan.
Pada akhirnya tidak jarang kedua pasangan memilih untuk menjalankan hidup apa
adanya karena tidak mampu menyelesaikan konflik dalam menjalankan agamanya
masing-masing.
Uraian diatas menunjukkan bahwa penyesuaian diri menjadi faktor penting
dalam tercapainya keberhasilan yang pada akhirnya menentukan terciptanya
kebahagiaan dalam sebuah perkawinan. Penyesuaian diri merupakan masalah yang
harus dihadapi oleh pasangan suami istri. Bila mampu dilalui dengan baik, maka
perkawinan akan terus bertahan dan sebaliknya jika tidak mampu untuk
menyelesaikannya, maka perkawinan akan dengan mudah berakhir. Persoalan ini
penyesuaian diri yang dilakukan oleh pasangan suami istri yang menjalani
perkawinan beda agama. Peneliti ingin mengetahui pengalaman keduanya saling
menyesuaikan diri selama berpacaran sampai pada akhirnya menikah. Peneliti juga
ingin mengetahui mengapa mereka tetap memilih untuk melakukan perkawinan beda
agama yang sudah jelas dilarang oleh agama yang dianut oleh keduanya. Selain itu,
peneliti ingin mengetahui bagaimana agama berperan dalam kehidupan perkawinan
mereka.
Metode yang akan digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah model
studi kualitatif deskriptif , yaitu metode penelitian yang digunakan untuk memahami
masalah sosial atau fenomena yang dialami oleh manusia secara menyeluruh,
kompleks, dan detail dengan cara mendeskripsikannya dalam bentuk kata-kata dan
bahasa dalam suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai
metode ilmiah (Creswell dalam Moleong,2005)
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Bagaimana penyesuaian diri
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah “Ingin mengetahui bagaimana cara dan
proses penyesuaian diri pasangan suami istri yang melakukan perkawinan beda
agama serta peran agama dalam kehidupan perkawinan mereka”.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan sumbangan pada bidang konseling keluarga dan perkawinan,
terutama pada hal-hal yang terkait dengan perkawinan beda agama.
b. Memberikan sumbangan informasi bagi para pembaca penelitian ini, sehingga
diharapkan mampu memberikan bantuan ide mengenai tema-tema yang terkait
dengan penyesuaian perkawinan dan pernikahan beda agama.
2. Manfaat Praktis
a. Peneliti ingin memberikan informasi baru kepada para pembaca penelitian
BAB II
LANDASAN TEORI
A. PERKAWINAN BEDA AGAMA 1. Perkawinan Beda Agama
Perkawinan beda agama adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
wanita yang berbeda agama, yang menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang
berlainan mengenai syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan
hukum agamanya masing-masing dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Rusli & Tama, 2000). Sesuai
dengan Piagam Hak asasi Manusia, undang-undang perkawinan sipil di Indonesia
pada dasarnya tidak melarang pernikahan antar agama. Menjadi susah dalam
penerapannya karena adanya pasal 2 UU Perkawinan No1. Tahun 1974 yang
mengatakan bahwa “ Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Ini berarti setiap warga Negara
Indonesia yang akan menikah harus melewati lembaga agamanya masing-masing dan
tunduk pada aturan pernikahan agamanya. Apabila keduanya memiliki agama yang
berlainan, maka lembaga agama tidak dapat menikahkan mereka kecuali salah
Pengecualian yang dapat diterima adalah calon istri dari agama lain kawin
dengan calon suami dari agama Islam, karena hal ini tidak menyalahi peraturan
perkawinan dalam agama Islam. Namun, tidak semua KUA bersedia melaksanakan
pernikahan ini dengan alasan adanya perbedaan pemahaman Al-Qur’an antar ulama.
Dalam pernikahan Kristen-Katolik, dapat diberkati di satu gereja, contoh di gereja
Katolik dengan meminta Dispensasi kepada Uskup Diosesan karena pernikahan
termasuk dalam kategori Matrimonia Mixta (menikah campur tetapi masih
sama-sama beriman Kristen, baik itu Kristen Katolik dan Kristen Protestan)
Ada satu cara yang dapat dilakukan bagi calon pasangan suami-istri yang
melakukan perkawinan berbeda agama, yaitu dengan memohon kepada Ketua
Pengadilan Negeri Setempat untuk melakukan pencatatan terhadap pernikahan itu
dengan sebelumnya mengajukan persyaratan-persyaratan administrasi. Jika
permohonan tersebut dikabulkan, maka itu yang menjadi dasar untuk dibawa ke
catatan sipil dan bukan ke Kantor Urusan Agama. Hal ini berlaku pada agama apapun
dan status perkawinan adalah sah jika calon pasangan suami istri telah melewati
prosedur-prosedur yang benar. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka semakin jelas
bahwa calon pasangan suami istri yang berbeda agama tidak perlu lagi keluar negeri
Dua prosedur yang berbeda yang berlaku bagi para penganut ke lima
kelompok agama dalam pengesahan hukum perkawinan, yaitu:
a. Islam
Bagi penganut agama Islam, pernikahan dilaksanakan menurut upacara
Islam dan pencatatannya dilakukan dalam satu upacara dihadapan penghulu.
b. Katolik, Kristen Protestan, Budha, dan Hindu
Penganut agama-agama ini dinikahkan pertama-tama menurut upacara
agama yang dianut oleh calon pasangan suami istri. Kemudian, perkawinan
tersebut dicatat oleh pejabat Catatan Sipil. Setelah itu, satu Akte Perkawinan
diterbitkan.
Menurut Hilman (2003), adanya perbedaan agama atau perbedaan dalam
melaksanakan upacara agama yang dipertahankan oleh suami isteri dalam kehidupan
rumah tangga mereka, adakalanya menimbulkan ketidakseimbangan dalam
kehidupan rumah tangga. Perbedaan pendapat merupakan hal yang melatarbelakangi
munculnya ketidakseimbangan dalam kehidupan rumah tangga pasangan yang
melakukan perkawinan beda agama karena pada dasarnya setiap agama
mengharapkan agar individu menikah menurut hukum agamanya masing-masing.
Perbedaan pendapat akan muncul kembali saat munculnya anak dalam kehidupan
rumah tangga, akan dibawa kemana agama anak, apakah sesuai dengan agama ibu
Perkawinan pada dasarnya bukan hanya antara dua individu, tetapi melibatkan
keluarga kedua belah pihak. Bila agama pasangan berbeda, maka penyesuaian antara
kedua keluarga juga akan mengalami kesulitan. Sehingga, sering kali salah satu
pasangan menjadi terkucil dari lingkungan keluarganya (Teddy, 2005).
2. Peran Agama Dalam Perkawinan
Menurut Almirzanah (2001) agama berasal dari kata “religare” yang artinya
mengikat manusia dengan Tuhan. Makna dari kata “mengikat” yaitu agama dengan
aturan dan kewajiban-kewajiban yang ada harus dilaksanakan, dimana
aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban itu berfungsi untuk mengikat dan mengutuhkan diri
seseorang atau sekelompok orang dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama serta
alam semesta (Driyarkara, 1978).
Agama khususnya agama timur bukanlah suatu sistem dogma melainkan lebih
kepada suatu cara hidup agar manusia bisa hidup secara harmonis dengan alam dan
sesamanya yang diwujudkan dalam mengamalkan sikap kasih dan tanggap satu
terhadap yang lain (Sumarah, 2002).
Jadi, agama merupakan suatu keyakinan dalam diri manusia yang mengatur
dan mempengaruhi tingkah lakunya melalui aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban
dengan tujuan untuk menciptakan keharmonisan, baik dengan sesama maupun
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa agama membentuk
dan akhirnya menjadi dasar dari gaya hidup individu yang tampak dalam perilakunya
dengan lingkungan dan sesamanya. Selain itu, agama bagi kebanyakan orang juga
berfungsi untuk menjaga kebahagiaan hidup mereka (Agama Untuk Manusia. 2007 ).
Salah satu cara untuk mencapai kebahagiaan itu adalah dengan melakukan
perkawinan karena dengan melakukan perkawinan, individu tersebut sudah
melakukan salah satu kewajibannya untuk menciptakan keharmonisan dengan
sesamanya. Dalam perkawinan, agama memiliki peran yang sama yaitu menjadi dasar
hidup bagi pasangan suami-istri dalam menjalani kehidupan perkawinannya. Saat
agama pasangan suami-istri ini sama, maka dasar untuk menyatukan gaya hidup
mereka akan lebih mudah karena dasar hidup yang digunakan oleh keduanya adalah
sama. Sehingga, diharapkan dengan latar belakang agama yang sama akan membuat
pasangan suami-istri ini akan lebih mudah menyesuaikan diri dan pada akhirnya bisa
mencapai kebahagiaan hidup perkawinan mereka.
Berbeda ketika pasangan suami-istri ini memiliki latar belakang berbeda
agama, dasar hidup yang dimiliki oleh keduanya akan berbeda dan ini juga
berpengaruh pada gaya hidup mereka. Penyesuaian diri yang harus dilakukan oleh
keduanya tidak hanya pada kebiasaan dan perilaku pasangannya tetapi juga pada
hal-hal yang membentuk gaya hidup tersebut. Kebahagiaan juga bisa dicapai oleh
pasangan suami-istri yang melakukan perkawinan beda agama tetapi melalui hal-hal
Pasangan yang melakukan perkawinan beda agama dan tetap pada agamanya
masing-masing seharusnya bisa lebih saling menghargai dan memahami perbedaan
yang ada di antara mereka. Perbedaan tersebut seharusnya dijadikan sarana untuk
saling berbagi kebaikan bagi pasangan mereka dan sebagai landasan toleransi antar
sesama. Pada dasarnya yang membedakan agama yang satu dengan yang lainnya
adalah tata caranya saja, tetapi inti dari setiap agama adalah sama yaitu mengajarkan
umatnya untuk melakukan kebaikan terhadap sesama dan lingkungannya
(Nurcholish, 2004)
B. PENYESUAIAN DIRI PADA PERKAWINAN 1. Perkawinan
Perkawinan merupakan penyatuan antara dua orang menjadi satu kesatuan
yang saling merindukan, saling menginginkan kebersamaan, saling membutuhkan,
saling melayani dan kesemuanya diwujudkan dalm kehidupan yang dinikmati
bersama. Perkawinan juga merupakan sebuah ikatan yang bersifat menetap antara
pasangannya yang sah dan perlu diarahkan untuk menciptakan kesejahteraan dan rasa
aman dalam keluarga (Gunarsa, 1991). Menurut Walgito (1984) perkawinan
merupakan sebuah aktivitas yang menyatukan dua pribadi menjadi kesatuan.
Selanjutnya, sebagai sebuah aktivitas, sama dengan aktivitas-aktivitas lainnya, maka
perkawinan juga pasti memiliki tujuan yang hendak dicapai. Sebuah perkawinan
keduanya menjadi tidak sama. Bila hal tersebut terjadi, maka keduanya harus mencari
cara untuk membuat suatu keputusan yang merupakan kesatuan dari kedua tujuan
mereka yang berbeda. Pasangan suami istri yang mampu menyatukan tujuan yang
berbeda tersebut, akhirnya akan mencapai kebahagiaan dalam perkawinan keduanya.
2. Pengertian Penyesuaian Diri Pada Perkawinan
Penyesuaian diri pada perkawinan adalah usaha tercapainya pengenalan dan
pengertian yang lebih mendalam dengan berkurangnya perbedaan-perbedaan maupun
sumber permasalahan demi terbinanya kesatuan suami istri (Gunarsa, 1991). Le
Master (dalam Hepi, 2002) berpendapat bahwa penyesuaian perkawinan sebagai
kemampuan untuk melakukan penyesuaian atau beradaptasi dan kemampuan untuk
memecahkan masalah yang muncul dalam perkawinan. Menurut Laswell & Laswell
(dalam Hepi, 2002), penyesuaian perkawinan mengandung dua pengertian.
Pengertian yang pertama, penyesuaian perkawinan berarti adanya hubungan yang
saling menguntungkan (mutualisme) antara pasangan suami-istri untuk saling
memberi dan menerima, sehingga tingkat penyesuaian perkawinannya bisa dikatakan
tinggi. Tetapi jika pasangan suami-istri tidak bisa melaksanakan kewajibannya satu
sama lain, maka tingkat penyesuaian perkawinannya rendah. Pengertian yang kedua,
dalam penyesuaian perkawinan secara tidak langsung menunjukkan adanya dua
individu yang saling belajar untuk mengakomodasi kebutuhan, keinginan, dan
karena adanya perbedaan kebutuhan, keinginan, dan harapan di antara pasangan
suami-istri.
Jadi, penyesuaian diri merupakan suatu usaha pasangan suami istri untuk
saling menyesuaikan diri satu sama lain dengan cara saling membuka diri untuk mau
berbagi dan menerima kelebihan dan kekurangan pasangannya demi berkurangnya
perbedaan-perbedaan yang sering memicu timbulnya masalah dalam perkawinan.
3. Masalah dalam Penyesuaian Diri pada Perkawinan
Menurut Clayton (dalam Ati,1997), dalam perkawinan terdapat permasalahan
untuk menyesuaikan diri pada perkawinan yang dapat dipilah menjadi:
a. Marriage Sociability, yaitu penyesuaian antar pasangan menikah yang terkait
dengan hubungan social seperti kemampuan menjalin hubungan social dengan
pasangan dan lingkungan. Selain itu juga dalam sikap terhadap jaringan social
pasangannya
b. Marriage Companionship, yaitu tingkat persahabatan antara suami isteri
seperti keterbukaan, empati, dan melakukan sesuatu bersama pasangannya.
c. Economic Affair, yaitu terkait dengan pengaturan keuangan dalam rumah
tangga yang meliputi pembelanjaan uang, baik untuk kebutuhan rumah tangga
maupun kebutuhan pribadi suami istri termasuk juga urusan pekerjaan
masing-masing pasangan seperti pekerjaan sebagai ibu rumah tangga. Selain
d. Marriage Power, yaitu pembagian kekuasaan dalam rumah tangga, berkaitan
dengan kewenangan membuat keputusan termasuk ekspresi unilateral yang
berhubungan dengan respect-prestige, compliance-power. Ada tiga dominasi
marital power, yaitu power bases (keunggulan priadi yang dimiliki dibanding
pasangannya), power process (proses pengambilan keputusan), dan power
outcomes (siapa yang memutuskan)
e. Extra Family Relationship, yaitu hubungan pasangan suami istri dengan
orangtua, mertua, ipar, maupun keluarga besar. Hal ini juga termasuk dalam
tugas penyesuaian diri karena saat menikah selain menyesuaikan diri dengan
pasangannya juga harus menyesuaikan diri dengan keluarga pasangannya.
f. Idiological Congruence, yaitu usaha pasangan suami istri dalam menyatukan
pandangan hidup, aturan rumah tangga, etika, aturan moral dan cita-cita
mereka.
g. Marital Intimacy, meliputi ekspresi kasih sayang yang ditunjukkan oleh setiap
pasangan suami istri.
h. Interaction Tactics, yaitu taktik yang digunakan oleh pasangan yang menikah
dalam melakukan interaksi, termasuk cara berkomunikasi, kerjasama, dan
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Perkawinan
Menurut Schneider (dalam Hepi,2002), ada lima faktor yang mempengaruhi
perkawinan, yaitu:
a. Penyesuaian sebelum menikah
Penyesuaian sebelum menikah merupakan faktor yang menonjol dalam
penyesuaian perkawinan. Penyesuaian perkawinan akan berhasil jika penyesuaian
sebelum menikah seorang individu berjalan dengan baik dan hal ini berhubungan erat
dengan latar belakang kehidupan individu yang bersangkutan. Latar belakang
keluarga menjadi faktor yang paling penting dalam membentuk seorang individu
yang mampu melakukan penyesuaian diri dengan baik. Kehidupan perkawinan orang
tua yang bahagia dan relasi dengan anak juga baik sehingga anak merasa bahagia dan
di cintai, dapat menjadi dasar kehidupan perkawinan yang bahagia bagi anak-anak
mereka kelak.
Kebahagian yang dirasakan anak dalam relasinya dengan orang tua mereka
akan membuat mereka cenderung jatuh cinta pada individu yang memiliki
karakteristik yang sama dengan orang tuanya. Jika mereka tidak merasakan
kebahagiaan dalam relasi dengan orang tuanya anak akan memilih pasangan hidup
yang berlawanan dengan orang tuanya. Selain itu, perkembangan sosial pada anak
juga ikut memberikan pengaruh dalam mensukseskan kehidupan perkawinan mereka.
Oleh karena itu, keluarga dan perkawinan menjadi sebuah institusi sosial yang
b. Sikap terhadap perkawinan
Sikap terhadap perkawinan menjadi faktor kedua yang mempengaruhi suami
istri dalam melakukan penyesuaian perkawinan. Sikap terhadap perkawinan diartikan
sebagai suatu bentuk tanggung jawab dari perkawinan yang ingin dijalani oleh
pasangan suami istri dalam kehidupan perkawinannya. Jika perkawinan dimaknai
sebagai sebuah perpaduan yang tidak dapat dibatalkan oleh suami istri, maka ide
mengenai perpisahan dan perceraian tidak akan pernah ada. Tetapi jika perceraian
menjadi salah satu syarat dalam perkawinan suami dan istri, maka ini menunjukkan
bahwa keduanya belum memiliki kedewasaan dan juga keinginan untuk bertanggung
jawab secara penuh dalam kehidupan perkawinannya. Selain itu, penyesuaian diri
dalam perkawinan juga akan dipengaruhi oleh baik dan buruknya sikap dalam
memiliki dan membesarkan anak.
Kejujuran menjadi hal yang penting untuk dibicarakan sebelum dan sesudah
perkawinan, sehingga kemungkinan munculnya hal-hal yang mengganggu dalam
perkawinan bisa dikurangi. Cobaan dan kesulitan yang dialami dalam perkawinan
bukan menjadi sesuatu hal yang harus membuat pasangan suami istri menjadi
khawatir melainkan menjadi sebuah kegagalan yang perlu untuk diatasi
c. Motivasi yang mendasari perkawinan
Motivasi yang mendasari perkawinan dimaknai sebagai sebuah alasan dan
tujuan seorang individu yang memutuskan untuk menikah. Jika individu menikah
dengan tujuan untuk menambah materi, mencari tempat berlindung yang aman atau
satu-satunya kesempatan untuk menghindari tetap lajang, tanpa adanya rasa cinta dan
tanggung jawab pada keluarga maka perkawinan tersebut sudah gagal sejak awal.
Selain itu, perkawinan menjadi tidak sehat jika perkawinan hanya dianggap sebagai
cara untuk mengabadikan hubungan anak laki-laki dengan ibunya. Sehingga istri
hanya dianggap sebagai ibu bukan sebagai partner dalam hubungan perkawinan.
Motivasi yang cukup memadai adalah ketika perkawinan mewakili ekspresi tulus
saling mencintai dan bersahabat. Selain itu, adanya kebutuhan yang mendalam untuk
persahabatan dan keinginan untuk memiliki anak dan keluarga juga dapat menjadi
alasan bagi seseorang untuk menikah.
d. Menyeleksi pasangan
Menyeleksi pasangan adalah hal yang juga penting untuk dilakukan dalam
penyesuaian perkawinan. Setiap individu pasti ingin mendapatkan pasangan yang
terbaik sesuai dengan keinginan mereka. Proses menyeleksi pasangan ini biasanya
dilakukan melalui proses persahabatan. Persahabatan memberikan keuntungan
kepada setiap individu untuk lebih mengenal seperti apa individu lain tersebut. Tetapi
mencapai kebahagiaan perkawinan. Sebagai contoh, istri yang berwatak tenang,
bermoral baik dan mempunyai prinsip agama dan sikap yang sehat terhadap tanggung
jawab pada kehidupan perkawinan merupakan hal yang lebih penting dalam suatu
perkawinan dibandingkan menjadi istri dan ibu yang baik, tahu dan belajar untuk
membuat tempat tinggal menjadi baik, membuat kue, menjahit dan sebagainya. Sama
halnya pada suami yang mempunyai potensi baik sebagai pencari nafkah yang tetap,
perhatian pada keluarga, memiliki emosi yang dewasa, sadar akan tanggung jawab
dalam perkawinan akan jauh lebih baik.
e. Faktor-faktor lain yang cukup penting
Faktor lain yang juga turut berperan dalam penyesuaian perkawinan adalah
latihan spiritual karena latihan spiritual mempunyai peran penting untuk meneguhkan
keyakinan pada Tuhan, sikap menderma dan rendah hati, keyakinan pada sakramen
dan doa perkawinan. Suami istri yang mencurahkan diri untuk satu sama lain dan
untuk kesejahteraan anak melalui latihan spiritual akan banyak memberi masukan
untuk kebahagiaan kehidupan perkawinan mereka. Sebagai contoh, jika pasangan
suami istri sama-sama memiliki keyakinan untuk berusaha mengerti sudut pandang
satu sama lain maka mereka akan memperlihatkan kemauan untuk berkompromi,
menghargai kepribadian pasangannya, menahan diri untuk saling mengejek atau
meremehkan pasangannya, hal ini akan sangat baik untuk kebahagiaan suami dan
menghadapinya karena sama-sama mampu menjaga kebahagian perkawinan mereka
melalui cara menghargai satu sama lain. Faktor lain yang juga cukup penting adalah
usia suami dan istri, lama perkawinan, kemampuan financial dan usia ketika
menikah.
C. Kerangka Pemikiran
Perkawinan merupakan satu tahapan hidup yang akan dilewati oleh setiap
individu dan dilakukan oleh dua orang individu yang sama-sama memiliki kesiapan
diri baik lahir maupun batin untuk menerima orang lain dalam kehidupan pribadi
maupun keluarga mereka. Perkawinan yang diijinkan oleh agama dan Negara adalah
bila pasangan yang akan melakukan perkawinan menganut kepercayaan yang sama,
tetapi pada kenyataannya banyak pasangan suami istri yang tetap melakukan
perkawinan walaupun keduanya memiliki perbedaan agama.
Pandangan masyarakat mengenai perkawinan beda agama pada umumnya
tidak setuju dengan adanya perkawinan beda agama. Karena masyarakat menganggap
perkawinan yang dilandasi oleh dua agama yang berbeda akan banyak mengalami
kesulitan dalam perkawinan mereka. Hal ini disebabkan karena perbedaan latar
belakang agama yang tidak sama, sehingga tidak dapat dipungkiri adanya perbedaan
pendapat, sikap, dan acuan individu dalam melakukan suatu tindakan juga berbeda.
Tidak dapat dipungkiri ada faktor-faktor lain yang juga turut andil dalam setiap
belakang keluarga, pendidikan, dan sebagainya. Selain itu, hubungan pasangan yang
melakukan perkawinan beda agama dengan keluarga dari masing-masing pasangan
seringkali menjadi tidak harmonis dan pada akhirnya anak yang akan menjadi korban
karena bingung harus mengikuti agama yang mana dari kedua orang tuanya.
Gunarsa (1991) menyatakan bahwa penyesuaian diri pada perkawinan
merupakan suatu usaha untuk tercapainya pengenalan dan pengertian yang lebih
mendalam dengan berkurangnya perbedaan-perbedaan maupun sumber masalah demi
terbinanya kesatuan suami istri. Ketika pasangan suami istri mampu untuk saling
menyesuaikan diri satu sama lain, seharusnya permasalahan perbedaan agama
diantara keduanya juga bisa untuk diatasi. Oleh karena itu, peneliti ingin
mengungkap sebagian pengalaman pasangan suami istri yang melakukan perkawinan
beda agama dalam menyesuaikan diri satu sama lain. Permasalahan apa saja yang
sering muncul dan juga bagaimana peran agama dalam perkawinan mereka. Selain
itu, peneliti juga ingin mengungkap bagaimana relasi keduanya dengan anak-anak
mereka dan keluarga dari masing-masing pasangan.
Peneliti ingin memberikan gambaran yang sebenarnya kepada masyarakat
bagaimana kehidupan perkawinan pasangan suami istri yang melakukan perkawinan
beda agama. Hal ini diungkap oleh peneliti dengan melihat faktor apa saja yang
mempengaruhi pasangan suami istri dalam melakukan penyesuaian dengan pasangan,
anak bahkan keluarga dari masing-masing pasangan. Ada lima faktor yang
Schneider (dalam Hepi, 2002). Melalui lima faktor tesebut kita bisa melihat
bagaimana proses dan pengalaman mereka dalam melakukan penyesuaian diri sejak
berpacaran sampai saat ini. Selain itu, peneliti juga ingin melihat bagaimana agama
berperan dan permasalahan apa saja yang sering muncul dalam kehidupan
perkawinan mereka. Clayton (dalam Ati,1997) mengungkapkan ada delapan
permasalahan yang dihadapi oleh pasangan suami istri untuk menyesuaikan diri. Jadi,
peneliti ingin melihat permasalahan apa saja yang sering muncul dalam kehidupan
perkawinan mereka dan pada akhirnya nanti peneliti ingin melihat apakah agama
menjadi suatu masalah atau tidak bagi perkawinan mereka.
D. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan penelitian ini terdiri dari dua jenis yaitu pertanyaan pokok dan
pertanyaan lain-lain. Pertanyaan pokok penelitian ini adalah: Bagaimanakah
pengalaman, cara dan proses penyesuaian diri pasangan suami istri yang menikah
berbeda agama?
Pertanyaan khusus untuk membantu menjawab pertanyaan pokok pada
penelitian ini adalah :
1. Latar Belakang
a. Apa saja yang dilakukan pasangan suami-istri berbeda agama untuk saling
b. Bagaimanakah sikap pasangan suami-istri yang berbeda agama dalam
memandang perkawinan mereka?
c. Apa yang memotivasi pasangan suami-istri yang berbeda agama untuk
menikah?
d. Bagaimana cara pasangan suami-istri yang berbeda agama dalam
menyeleksi pasangan hidup yang sesuai dengan keinginan mereka?
2. Bagaimana cara dan proses penyesuaian diri pasangan suami-istri yang menikah
beda agama?
3. Bagaimanakah peran agama dalam kehidupan perkawinan?
4. Permasalahan apa saja yang dialami dalam pernyesuaian diri pada perkawinan?
5. Adakah faktor lain yang ikut mempengaruhi pasangan suami-istri yang berbeda
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis penelitian
Metode penelitian adalah salah satu bagian penting dalam suatu penelitian
ilmiah karena permasalahan yang muncul dalam penelitian dapat dipecahkan
dengan menggunakan metode penelitian yang kita gunakan. Data yang diperoleh
dari penggunaan metode penelitian yang tepat adalah data yang dapat kita
pertanggungjawabkan.
Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian
kualitatif deskriptif. Penelitian kualitatif bertujuan untuk memahami masalah
sosial atau fenomena yang dialami manusia secara menyeluruh (holistik),
kompleks, detail dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa
pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai
metode ilmiah (Creswell dalam Moleong, 2005). Penelitian kualitatif
mendasarkan diri pada kekuatan narasi dalam mengungkapkan realitas sosial yang
diteliti (Poerwandari, 2005). Oleh karena itu, penelitian kualitatif akan
menghasilkan dan mengolah data yang bersifat deskriptif seperti transkrip
wawancara, catatan lapangan, gambar, foto, rekaman video, dan lain sebagainya
Penelitian kualitatif deskriptif digunakan dalam penelitian ini karena
tujuan penelitian ini ingin mendeskripsikan bagaimana pengalaman, proses, dan
cara pasangan suami istri yang melakukan perkawinan beda agama ini saling
menyesuaikan diri.
B. Fokus Penelitian
Penyesuaian diri pada perkawinan beda agama adalah usaha tercapainya
pengenalan dan pengertian yang lebih mendalam dengan berkurangnya
perbedaan-perbedaan maupun sumber permasalahan demi terbinanya kesatuan
suami istri yang memilliki perbedaan agama. Penyesuaian diri pada perkawinan
beda agama dapat dilihat dari bagaimana pengalaman, cara, dan proses pasangan
suami istri dalam melakukan penyesuaian diri satu sama lain. Selain itu latar
belakang subjek dan faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri dalam
perkawinan seperti penyesuaian sebelum menikah, sikap terhadap perkawinan,
motivasi yang mendasari perkawinan, menyeleksi pasangan, dan juga adanya
faktor-faktor lain yang penting seperti seperti: kehidupan beragama, relasi dengan
keluarga pasangan, bagaimana cara menyingkapi kebiasaan yang berbeda dengan
pasangan. Selain itu juga terkait dengan pengaturan keuangan, pengambilan
keputusan, dan pemegang kekuasaan dalam rumah tangga. Hal-hal tersebut dapat
digunakan untuk mengungkap bagaimana pasangan suami-istri yang menikah
beda agama melakukan penyesuaian diri dalam perkawinannya melalui
pertanyaan-pertanyaan didalam proses wawancara terhadap pasangan suami istri
C. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
wawancara.
1. Wawancara. Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang
diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu (Poerwandari, 2005). Wawancara
kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan
tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik
yang diteliti, dan melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak
dapat dilakukan melalui pendekatan lain (Banister, dkk dalam Poerwandari 2005).
Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. wawancara informal. Dalam wawancara informal proses wawancara
didasarkan sepenuhnya pada berkembangnya pertanyaan-pertanyaan secara
spontan dalam interaksi alamiah (Patton dalam Poerwandari, 2005). Dalam proses
wawancara ini orang-orang yang diajak berbicara mungkin tidak menyadari
bahwa ia sedang diwawancarai. Jenis wawancara ini digunakan pada saat peneliti
sedang berinteraksi dengan anggota keluarga ataupun semua pihak yang terkait
dengan subjek penelitian.
b. wawancara dengan pedoman umum. Dalam proses wawancara ini,
peneliti dilengkapi dengan pedoman wawancara yang sangat umum, yang
mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan.
Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai
aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan (Patton dalam
Poerwandari, 2005).
Berikut ini pedoman wawancara pada saat peneliti melakukan penelitian : Tabel I. Panduan Wawancara
Panduan Wawancara
Judul: Pengalaman Penyesuaian Diri Pasangan Suami-Istri yang Menikah Beda Agama Waktu /Tempat wawancara :
Tanggal : Interviewee : Setting : Pertanyaan :
1. Apa saja yang dilakukan pasangan suami-istri berbeda agama untuk saling menyesuaikan diri sebelum mereka menikah?
2. Bagaimanakah sikap pasangan suami-istri yang berbeda agama dalam memandang perkawinan mereka?
3. Apa yang memotivasi pasangan suami-istri yang berbeda agama untuk menikah?
4. Bagaimana cara pasangan suami-istri yang berbeda agama dalam menyeleksi pasangan hidup yang sesuai dengan keinginan mereka?
5. Apakah ada hal-hal lain yang ikut mempengaruhi pasangan suami-istri yang berbeda agama untuk saling menyesuaikan diri?
6. Bagaimana pengalaman penyesuaian diri pasangan suami-istri yang menikah beda agama?
D. Subjek Penelitian 1. Proses Pengumpulan Data
Tahap pengumpulan data dilakukan oleh peneliti dalam beberapa tahap,
yaitu perkenalan pada key person (individu yang mengenal dekat subjek
penelitian), perkenalan secara khusus dengan subjek penelitian dan anggota
keluarga subjek penelitian secara umum, penentuan jadwal penelitian,
penganbilan data melalui wawancara pada subjek penelitian dan salah satu
Informasi mengenai subjek penelitian diperoleh oleh peneliti melalui
teman dan juga saudara dari peneliti. Mereka yang kemudian di sebut key person
oleh peneliti, melalui mereka peneliti bisa bertemu dengan subjek penelitian.
Perkenalan pertama peneliti pada subjek 1 (MM dan I) dilakukan pada tanggal 13
Februari 2008, pada jam 16.30 WIB bertempat di rumah subjek 1. Perkenalan
pertama ini, peneliti datang bersama dengan teman peneliti (key person) dan
dalam pertemuan pertama ini peneliti sempat sedikit menjelaskan dan melakukan
wawancara singkat dengan subjek I. Selain itu, peneliti dan subjek I
bersama-sama menentukan jadwal wawancara. Pertemuan kedua dilakukan pada tanggal 15
Februari 2008 pada jam 11.15 WIB bertempat di rumah subjek MM dan I. Peneliti
terlebih dahulu melakukan pendekatan dengan berkenalan dan menanyakan
kegiatan sehari-hari subjek MM dan I. Setelah itu, peneliti melakukan wawancara
kepada MM dan I secara bergantian tetapi karena MM merasa malu peneliti
memutuskan MM dan I untuk diwawancarai bersama-sama. Pertemuan ketiga
dilakukan pada tanggal 17 Februari 2008, pada jam 16.30 WIB bertempat di
rumah subjek MM dan I. Pada pertemuan yang ketiga ini, peneliti melakukan
wawancara pada anak MM dan I. Wawancara ini bertujuan untuk melakukan
pengecekan pada beberapa pertanyaan yang terkait dengan kehidupan perkawinan
subjek MM dan I, khususnya dalam hal perbedaan agama keduanya. Selain
wawancara, peneliti juga melakukan observasi pada wawancara yang pertama dan
kedua.
Perkenalan subjek EW dan CR dilakukan oleh peneliti melalui bantuan
dan CR tinggal. Perkenalan pertama peneliti dengan EW dan CR dilakukan
tanggal 7 Maret 2008 pada jam16.30 WIB bertempat di teras rumah subjek EW
dan CR. Pertemuan pertama ini bertujuan untuk perkenalan dan penentuan jadwal
wawancara EW dan CR. Pertemuan yang kedua dilakukan tanggal 10 Maret 2008
pada jam 16.30 WIB di sanggar wayang milik EW. Pada pertemuan yang kedua
ini, peneliti hanya melakukan wawancara pada CR saja karena EW sedang pergi
memancing bersama teman-temannya. Pertemuan ketiga dilakukan tanggal 13
Maret 2008 pada jam 18.15 WIB bertempat di sanggar wayang milik EW yang
berada tepat di sebelah rumah mereka. Pada pertemuan ketiga ini, peneliti hanya
melakukan wawancara dan observasi pada subjek EW saja karena CR sedang
pergi mengikuti kegiatan sembayangan di lingkungan tempat tinggal mereka.
Pertemuan yang keempat dilaksanakan tanggal 15 Maret 2008 pada jam 17.15
WIB ditempat yang sama dengan pertemuan sebelumnya. Pertemuan yang
keempat ini, peneliti melakukan wawancara pada anak subjek EW dan CR yang
berinisial WH. Wawancara tersebut dilakukan dengan tujuan untuk melakukan
pengecekan pada hasil wawancara EW dan CR sebelumnya apakah pada beberapa
hal sesuai dengan penilaian dan pengalaman WH sebagai anak EW dan CR
selama ini. Pertemuan yang terakhir dilakukan oleh peneliti pada tanggal 4 Mei
2008 ditempat yang sama dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya, pada jam
18.05 WIB. Pertemuan yang kelima ini dilakukan oleh peneliti untuk melakukan
Perkenalan dan pertemuan subjek penelitian yang ketiga yaitu SM dan FI,
dibantu oleh teman peneliti yaitu RC yang adalah anak SM dan FI. Pertemuan
pertama peneliti dengan SM dan FI pada tanggal 28 Mei 2008, jam 15.30 WIB
berlangsung di kamar perawatan kelas III RS. Mata Dr. YAP. Hal ini terjadi
karena peneliti kesulitan menemui SM yang tinggal di Jakarta dan terpisah dengan
FI dan anak-anaknya yang tinggal di Jogja. Sehingga pada saat SM datang ke
Jogja untuk menjenguk ibu mertuanya yang akan menjalani operasi mata, peneliti
langsung datang dan memanfaatkan waktu yang sedikit untuk melakukan
wawancara pada SM. Pertemuan yang kedua dilakukan pada tanggal 30 Mei
2008, jam 14.00 WIB di rumah SM dan CR di Jogja. Pada pertemuan yang kedua
ini, peneliti melakukan wawancara kepada FI. Selama proses wawancara, FI pada
awalnya terlihat malu namun setelah beberapa menit berlalu mulai lancar
menjawab pertanyaan yang diberikan oleh peneliti dan terkadang bercerita tanpa
perlu ditanya lagi. Pertemuan yang terakhir dilakukan oleh peneliti pada anak SM
dan FI, yaitu RC. Pertemuan ini dilakukan untuk melakukan pengecekan atas
jawaban dari SM dan FI sesuai dengan pengalaman yang dialami oleh RC terkait
dengan kehidupan perkawinan kedua orang tuanya yang berbeda agama.
Selama proses pengumpulan data ini, peneliti cukup mengalami banyak
hambatan seperti kesulitan mendapatkan subjek penelitian yang dengan sukarela
berbagi pengalamannya menjalani kehidupan rumah tangga dengan dua agama
yang berbeda didalamnya. Beberapa subjek yang sebelumnya sudah didapatkan
oleh peneliti pada akhirnya memutuskan untuk tidak mau di wawancarai dengan
jadwal wawancara karena keadaan, seperti pasangan suami istri yang tidak tinggal
satu rumah karena istri harus menemani anak-anak tinggal di Jogja. Latar
belakang pendidikan juga sangat mempengaruhi jawaban-jawaban yang diberikan
oleh subjek penelitian. Hal ini membuat peneliti harus membuat pertanyaan
menjadi lebih sederhana dan di mudah di mengerti oleh subjek penelitian.
2. Pemilihan Subjek Penelitian
Pemilihan subjek dalam penelitian kualitatif didasarkan pada kriteria
sebagai berikut (Sarantoks dalam Poerwandari, 2005) :
a. Tidak diarahkan pada jumlah sampel yang besar, tetapi pada kasus-kasus
yang sesuai dengan masalah penelitian
b. Tidak ditentukan secara kaku sejak awal, tetapi dapat berubah baik dalam
hal jumlah maupun karakteristik sampelnya,
c. Lebih menekankan pada kecocokan konteks.
Berdasarkan kriteria diatas, maka peneliti memilih subjek penelitian
dengan menggunakan metode pengambilan sampel berupa criterion sampling
(pengambilan sampel berdasarkan kriteria tertentu). Pada penelitian ini hal yang
ingin diukur adalah pengalaman, cara, dan proses penyesuaian diri pasangan
suami-istri yang menikah beda agama, maka peneliti memberikan beberapa
kriteria berkaitan dengan subjek penelitian sebagai berikut :
1. Subjek penelitian adalah pasangan suami-istri yang menikah berbeda
2. Subjek penelitian adalah pasangan suami-istri yang keduanya masih dalam
kondisi sehat dan mampu untuk berkomunikasi
3. Subjek penelitian tidak berstatus janda atau duda.
4. Subjek penelitian adalah pasangan suami-istri yang masih berpegang teguh
pada kepercayaannya.
Tabel II. Identitas Subjek Penelitian
Pasangan 1 Pasangan 2 Pasangan 3
No
Keterangan Suami Istri Suami Istri Suami Istri
1. Nama EW CR MM I SM FI
2. Usia 57 tahun 55 tahun 52 tahun 47 tahun 50 tahun 45 tahun
3. Agama Islam Katolik Katolik Islam Islam Katolik
4. Status Menikah Menikah Menikah Menikah Menikah Menikah
5. Pekerjaan Wiraswasta Ibu
rumah tangga
Tukang parkir
Ibu rumah tangga
Karyawan swasta
Ibu rumah tangga 6. Pendidikan
Terakhir
E. Analisis Data
Tahap dalam penelitian yang sangat penting adalah analisis data. Data-data
yang sudah dikumpulkan tidak berarti apa-apa tanpa dilakukannya analisis. Dalam
melakukan analisis data, peneliti mungkin akan menemukan pola-pola tertentu
tentang makna yang terdapat dalam hasil pengumpulan data. Metode analisis data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis tematik. Analisis tematik
merupakan proses mengkode informasi, yang dapat menghasilkan daftar tema,
model tema atau indikator yang kompleks, kualifikasi yang biasanya terkait
dengan tema itu, atau hal-hal di antara atau gabungan dari yang telah disebutkan
(Poerwandari, 2005). Boyatzis dalam Poerwandari (2005) menyatakan bahwa
dalam suatu tema dapat diidentifikasi pada dua tingkat, yaitu termanifestasi
(manifest level), yakni yang secara langsung dapat terlihat dan tingkat laten (latent
level), yaitu tidak secara eksplisit terlihat tetapi mendasari atau membayangi
Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh peneliti untuk menganalisis data
yang sudah diperoleh dari hasil wawancara adalah (Poerwandari, 2005) :
1. Organisasi Data
Organisasi data adalah kegiatan memindahkan hasil wawancara dari tape
recorder ke dalam buku atau kertas kosong secara rapi dan sistematis. Peneliti
harus mendengarkan dengan seksama dan mencatat kembali semua hasil
wawancara baik dalam bentuk kata-kata atau kalimat apapun ke dalam kertas yang
telah disediakan. Dalam metode kualitatif hal ini sering disebut dengan transkrip
Peneliti akan memperoleh kualitas data yang baik, mendokumentasikan
analisis yang dilakukan dan menyimpan hasil penelitian dengan baik jika peneliti
mampu mengorganisasi data dengan sistematis (Poerwandari, 2005).
2. Koding
Tahap selanjutnya dalam analisis data yaitu koding. Koding dilakukan
untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan
mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang
dipelajari (Poerwandari, 2005). Koding dilakukan pada setiap pernyataan dan
tulisan yang sesuai dengan tema penelitian dan diletakan pada bagian kanan
Tabel III. Daftar Kode Analisis
Aspek Hal-hal yang diungkap Kode
Sifat dan kehidupan pribadi L.B.Skp Kehidupan Perkawinan dan Keluarga L.B.Kpk
Pekerjaan L.B.P Latar Belakang
Aktivitas Lain L.B.Al
Masa Pacaran P.Sm.Mp
Relasi dengan Pasangan P.Sm.Rp Penyesuaian
Sebelum Menikah
Relasi dengan keluarga pasangan dan lingkungan
P.Sm.Kp
Makna sebuah perkawinan P.Sp.Mp Sikap terhadap
Perkawinan
Ada perbedaan atau tidak dalam rumah tangga sampai saat ini
P.Sp.Bt
Motivasi yang mendasari Perkawinan
Alasan menikah M.Mp.Am
Pasangan Hidup yang diinginkan M.Sp.Pd Menyeleksi
Pasangan Pasangan hidup saat ini sesuai
dengan kriteria yang diinginkan atau tidak
M.Sp.Ps
Kehidupan beragama F.Lp.Kb
Cara mengatasi masalah atau perbedaan
F.Lp.Am
Pengaturan keuangan F.Lp.Pu
Pengambilan Keputusan F.Lp.Pk
Pemegang peran dalam rumah tangga F.Lp.Pp Faktor-faktor lain
yang cukup penting
Relasi dengan keluarga pasangan atau lingkungan
F.Lp.Kp
Cara-cara menyesuaikan diri P.Pd.Cp Pengalaman
F. Pertanggungjawaban Mutu 1. Kredibilitas
Kredibilitas adalah istilah ysng digunakan untuk merangkum bahasan
menyangkut kualitas penelitian kualitatif. Kredibilitas studi kualitatif terletak pada
keberhasilannya mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan
setting, proses kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks. (Poerwandari,
2005). Kredibilitas pada penelitian ini dicapai melalui:
a. Validitas komunikatif. Validitas komunikatif pada penelitian ini
dilakukan melalui dikonfirmasikannya kembali data dan analisisnya pada
responden penelitian. Hasil penelitian yang didapatkan oleh peneliti hanya
dikonfirmasikan kembali kepada salah satu pasang responden penelitian, yaitu
pasangan EW dan CR. Hal ini disebabkan karena adanya hambatan pada
responden penelitian. Pada pasangan MM dan I menyatakan bahwa tidak perlu
lagi membaca hasil penelitian yang diberikan oleh peneliti, apa yang disampaikan
oleh keduanya adalah apa adanya. Sedangkan pada pasangan SM dan FI,
hambatan terjadi karena kesulitan untuk bertemu dengan keduanya. Sering tidak
menetap di Yogya menyebabkan peneliti sulit untuk mengatur waktu untuk
bertemu dengan keduanya. Pada akhirnya, responden penelitian menyatakan tidak
b. Validitas argumentatif. Validitas argumentatif dilakukan dengan
melakukan cross check data dengan sumber lain, yakni wawancara informal
dengan anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah dengan responden.
2. Confirmability.
Confirmability mengandung arti bahwa temuan penelitian dapat dikonfirmasikan
(Poerwandari, 2005). Confirmability digunakan untuk menggantikan konsep
objektivitas. Objektivitas dalam penelitian ini dicapai melalui transparansi, yaitu
peneliti bersedia mengungkapkan secara terbuka proses dan elemen-elemen
penelitiannya, sehingga pihak lain bisa melakukan penilaian terhadap penelitian
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian lapangan setiap pasangan yang diperoleh melalui wawancara dan
observasi akan dipaparkan berdasarkan aspek-aspek yang akan diteliti:
A. Pasangan 1 (EW dan CR)
1. Deskripsi Pasangan EW dan CR.
Subjek 1 (untuk selanjutnya akan disebut dengan EW dan CR)
merupakan pasangan suami istri yang sudah mejalani kehidupan perkawinan kurang lebih
34 tahun. Saat ini usia EW 57 tahun dan CR berusia 55 tahun. Pasangan ini dalam
kesehariannya terlihat santai. Hal ini terlihat dari cara EW dan CR saling berkomunikasi
dan saat sedang diwawancarai oleh peneliti. EW dan CR sering menyampaikan sesuatu
sambil bercanda namun ada saatnya sesuatu disampaikan dengan serius. EW memiliki
perawakan yang kurus dan pendek. EW memiliki kulit bewarna sawo matang. Potongan
rambut EW pendek (cepak) dan berwarna dominan hitam namun rambut yang berwarna
putih juga sudah mulai banyak tumbuh. CR memiliki perawakan yang agak gemuk dan
pendek, memiliki kulit sawo matang. Potongan rambut CR sebahu dan lebih sering
terlihat diikat, berwarna dominan hitam namun rambut berwarna putih juga mulai banyak
yang tumbuh. EW adalah orang yang supel dan memiliki sifat ngemong (membimbing).
Sejak kecil, EW sebenarnya lebih condong untuk menganut agama Katolik karena sudah
terbiasa dengan lingkungan Katolik tetapi ia tidak pernah mau untuk dibaptis karena
yang lemah lembut dan keibuan. CR memiliki 4 saudara, 3 laki-laki dan 1 perempuan.
Saat ini CR adalah anak tertua di dalam keluarganya karena kedua orang tua dan kakak
perempuannya sudah meninggal. Ketiga adiknya berada diluar kota sehingga komunikasi
jarang terjadi, namun hubungan mereka tetap terjalin baik. Di dalam keluarganya hanya
CR dan kakak perempuannya saja yang menganut agama Katolik.
EW dan CR menikah di catatan sipil pada tahun 1975 dan memiliki 6 orang anak
diantaranya 4 orang perempuan dan 2 orang laki-laki. 4 orang anak EW dan CR sudah
menikah, 2 diantaranya tinggal serumah dengan EW dan CR. EW dan CR tinggal di salah
satu daerah bagian selatan kota Yogyakarta, rumah EW dan CR tidak memiliki halaman
karena berada di pinggir jalan kampung. EW dan CR selain memiliki usaha pembuatan
wayang kulit juga memiliki kost-kostan yang sederhana dan usaha bengkel yang
dijalankan oleh menantu mereka di depan rumah.
Saat diwawancara, EW selalu duduk agak jauh dari peneliti dan sambil merokok.
Setiap peneliti memberikan pertanyaan dan meminta EW menjawab pertanyaan tersebut
tidak pernah terlihat EW melihat ke arah peneliti. Selama proses wawancara EW tidak
pernah berhenti merokok dan beberapa kali wawancara terhenti karena EW harus masuk
untuk mengambil rokok. Sedangkan CR, saat diwawancarai selalu duduk bersebelahan
dengan peneliti dan dalam menjawab pertanyaan yang diajukan peneliti selalu tenang dan
pelan-pelan. Saat peneliti mengajukan pertanyaan dan CR menjawab pertanyaan tersebut
lebih sering untuk melihat peneliti.
CR termasuk orang yang aktif didalam kegiatan doa dan juga kegiatan di
memule, ziarah dan juga ke gereja. Selain itu CR juga aktif dalam kegiatan RT seperti
arisan dan 17an tetapi tidak pernah mengikuti pengajian. Di lingkungan RT, EW
memiliki tugas pada bagian rumah tangga khusus barang-barang perkakas. Selain itu.
EW juga mengetuai grup keroncong yang sebenarnya hanya sebagai hobi dan juga upaya
untuk melestarikan budaya. EW juga tidak keberatan untuk datang ke pengajian jika ia
diundang karena ia sebenarnya juga bisa mengaji.
Gambar I. Denah Rumah Subjek EW dan CR
Utara
Kamar Mandi Ruang Kosong
Sumur
Dapur
Kamar Tidur
Kamar Tidur
Kamar Tidur
Kamar Tidur
Kamar Tidur
J A L A N
Kamar Tidur
Sanggar Wayang
Ruang Santai
Bengkel
J A L A N
2. Tahap Penyesuaian Sebelum Menikah.
i. Penyesuaian sebelum menikah
Penyesuaian sebelum menikah dilalui oleh EW dan CR dengan masa pacaran
kurang lebih 1-2 tahun. Awal perkenalan EW dan CR karena dulu EW sering datang ke
tempat temannya yang adalah tetangga CR dan akhirnya mereka mulai berkenalan. CR
menyatakan awalnya mengira EW hanya ingin berteman, namun lama-kelamaan
keduanya mulai tertarik dan memutuskan untuk berpacaran EW dan CR menyatakan
selama pacaran keduanya sering mencuri-curi waktu untuk bertemu saat CR pulang
kuliah. CR menyatakan selama bersekolah ia tinggal bersama bude (anggota keluarga
yang lebih tua). Menurut EW, bude CR adalah seseorang yang memiliki sifat yang kolot
(kuno) juga keras. EW menyatakan bahwa setiap kali datang ke rumah CR, hanya
diperbolehkan masuk sampai diteras rumah saja dan tidak pernah diijinkan untuk masuk
ke dalam rumah. Selain itu, pada jam 9 EW sudah harus meninggalkan rumah CR.
budenya itu ketat banget, makanya dulu saya apel ke rumah itu gak boleh masuk dalam rumah. Ketemunya ya di teras itu, kalau burung perkututnya sudah bunyi itu kalau gak salah berita jam 9 malam, ya sudah budenya buka pintu langsung ibunya bilang sudah jam 9 sana pulang.
(Hasil wawancara EW, baris 336-339)
EW menyatakan bahwa bude CR sebenarnya orang kaya karena dari penampilan bude
CR yang selalu memakai banyak perhiasan. Namun, bude CR juga orang yang sangat
kolot karena televisi saja tidak punya. EW juga menyatakan bahwa selama masa pacaran
mereka tidak pernah bertengkar
Pada awalnya orang tua CR tidak menyetujui hubungan EW dan CR Bude CR
adalah orang yang pertama kali menyetujui hubungan keduanya. CR menyatakan bahwa