• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.) Program Studi Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.) Program Studi Psikologi"

Copied!
234
0
0

Teks penuh

(1)

PENYESUAIAN DIRI

PASANGAN SUAMI ISTRI BEDA AGAMA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)

Program Studi Psikologi

Oleh:

Antonia Widyasmara NIM: 039114057

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

Rintang yang harus ku hadapi Perbedaan tiada bertepi

Mengenali keinginanmu terhadap aku Tak semuanya keinginanku...

Mengapa tak pernah kita coba selaraskan rasa dalam jiwa Ini diriku...dan begitulah dirimu...

Tak pernah sempurna...Cuma manusia

Seharusnya yang terjadi slalu dapat disadari

Dua beda kan saling menyatu bukan ‘tuk diri sendiri

Bila sampai hari ini masih ada cinta yang membuat kita satu Itu semua anugerah Yang Kuasa...

Kita cuma manusia yang dianugrahkan cinta oleh Yang Kuasa

Dipersembahkan untuk :

Papa dan Mama yang selalu ada di hatiku,

(5)
(6)

ABSTRAK

Penyesuaian Diri Pasangan Suami Istri Beda Agama Antonia Widyasmara

039114057

Perkawinan beda agama bukanlah hal baru dalam masyarakat Indonesia. Informasi mengenai kebijakan yang membahas perkawinan beda agama memang masih simpang siur. Banyak masyarakat yang memandang perkawinan beda agama ini rentan masalah bahkan bisa memicu terjadinya perceraian. Namun, hal ini tidak membuat banyak pasangan membatalkan perkawinannya walaupun berbeda agama.

Penelitian kualitatif deskriptif ini bertujuan untuk mendeskripsikan penyesuaian diri pasangan suami istri yang melakukan perkawinan beda agama Penelitian ini penting dilakukan karena semakin banyak pasangan yang tetap menjalani perkawinan beda agama, walaupun banyak pihak yang tidak mendukung. Penyesuaian diri pasangan yang melakukan perkawinan beda agama akan dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri, peran agama dalam kehidupan perkawinan, cara dan proses penyesuaian diri dalam perkawinan.

Subjek penelitian adalah pasangan suami istri yang menjalani kehidupan perkawinan berbeda agama. Tiga pasang suami istri yang teridentifikasi sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya, dipilih menjadi subjek penelitian. Pengumpulan data dengan teknik wawancara yang melibatkan pasangan suami istri dan salah satu anggota keluarga yang lain.

Hasil penelitian menggambarkan pasangan suami istri yang melakukan perkawinan beda agama memiliki latar belakang penyesuaian diri yang hampir sepenuhnya sama. Cara dan proses penyesuaian diri ketiga pasangan suami istri yang berbeda agama juga memiliki kesamaan satu sama lain. Permasalahan dalam penyesuaian diri yang dialami ketiga pasangan cukup bervariasi. Sedangkan peran agama dalam kehidupan ketiga pasang subjek penelitian tidak berperan besar karena hanya tampak saat mengenalkan agama kepada anak-anak mereka atau pada saat beribadah. Faktor lain yang juga cukup mempengaruhi adalah kehidupan beragama. Kehidupan beragama hanya aktif dilakukan oleh para istri.

Beberapa temuan penelitian perlu dikaji lebih lanjut, seperti peran suami pada perkawinan beda agama. Pengkajian ini meliputi mengapa dominasi istri dalam kehidupan perkawinan begitu kuat, khususnya perkawinan beda agama. Pengkajian lebih lanjut juga perlu dilakukan pada pasangan yang belum lama menjalani perkawinan beda agama. Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah permasalahan dan faktor yang mempengaruhi perkawinan mereka juga sama dengan pasangan yang telah menjalani kehidupan perkawinan lebih dari 10 tahun. Selain itu, perlu adanya penelitian mengenai perkawinan beda gereja dan beda agama. Hal ini bertujuan untuk memberikan informasi dan gambaran kepada masyarakat persamaan dan perbedaan diantara keduanya.

(7)

ABSTRACT

The Self Adaptation of The Couple Who Have Done Interfaith Marriage Antonia Widyasmara

039114057

Interfaith marriage isn’t a new case in Indonesian society. Information about the wisdom of interfaith marriage confuses the people. The people have a low opinion about the interfaith marriage because they think the people who get married with different religion always meet with problems even they end up with divorce. But, this opinion didn’t make the couples cancel their marriage.

This descriptive-qualitative study aimed to describe the self adaptation of the couples who get married with different religion. This study is important to conducted because more couples which persist interfaith marriage, although many people which don’t support them. The self adaptation of couples who interfaith marriage will be seen from factors influencing of self-adaptation, role of religion in life of marriage, the method and process self adaptation in marriage.

The subjects of this study are the couples who married with different religion. Three identified couples has fulfilled the predetermined requirements of the study. The data were collected using the interview technique which involved the couples and one of their families.

The results of the study describe that the couples who are doing interfaith marriage have a similarity life background. They used the same method and process to adapt each other. They have a variety of problems in their self-adaptation. The religion function is just for introducing religion to their children or only for praying. The other factors that influence are their religion activity.

Some findings of the study must be followed up such as wife domination in life of marriage. Further study also requires to be conducted at newly couples (less than five years). This matter aimed to know what their problems, the methods and process of self adaptation is similar with the couples which have experienced more than five years. Besides, further study also requires for interfaith marriage with interchurch marriage. This study is aimed at giving information to people about the similarity and the difference among them.

(8)
(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat-Nya sehingga penulis

dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul Penyesuaian Diri Pasangan Suami Istri Menikah Beda Agama.

Selama proses menyelesaikan penelitian ini, penulis banyak mendapat

dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima

kasih secara tulus kepada orang-orang yang telah mendukung dan menginspirasi

penulis selama kuliah dan melakukan penelitian ini :

1. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Bapak V. Didik Suryo Hartoko, S.Psi, M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi

yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan kepada penulis.

3. Segenap Bapak dan Ibu dosen Fakultas Psikologi sebagai pembimbing dan rekan

diskusi penulis.

4. Segenap karyawan Fakultas Psikologi : Mas Muji, Mas Gandung, Mbak Nanik,

Mas Doni, Pak Gi yang telah membantu penulis selama studi, Terima kasih

banyak buat semua bantuannya.

5. Seluruh subjek penelitian penulis yang dengan senang hati mau berbagi

pengalamannya sehingga penelitian ini bisa berjalan dengan lancar.

6. Papa tersayang, PV. Joko Nugroho, yang mengajari penulis bagaimana hidup

(10)

7. Mama tersayang, Elisabeth Sri Budiarti, seorang wanita hebat, yang selalu

mengajari penulis arti berjuang tanpa kenal lelah dan menyerah, menjadi seorang

wanita yang kuat dan mandiri..

8. FX. Lanang Waskito, adik penulis. Jangan pernah merasa puas ya Dek, teruslah

berjuang. I trust u can do it.

9. Om Nondo, Bulik Murni, Tika, Carol, dan Krista, keluarga kedua penulis.

Terima kasih atas semua dukungan, nasehat dan pengalaman hidup yang

diberikan kepada penulis selama ini.

10.Keluarga besar Sentolo dan Semarang, terima kasih untuk semua dukungan yang

diberikan kepada penulis selama ini.

11.PSM “Cantus Firmus”, tempat penulis untuk menyalurkan hobi dan

menghilangkan rasa jenuh.. Makasih ya Om Ponco (Mas Mbong) dan juga

teman-teman buat kebersamaannya walaupun gak lama.

12.Fany dan Ranie, sahabat penulis sejak SMA. Makasih ya buat pertemanan kita

selama ini..Masa SMA dan hidup di asrama tidak akan pernah menyenangkan

tanpa adanya kalian...

13.Teman-teman penulis dari SMU Stella Duce 2 Yogyakarta, Ana, Yessi,

Icha-bochie dan winarni...kapan kita jualan sandwich lagi?hehehe....

14.Lukas, kakak angkat penulis. Kak, makasih ya buat supportnya selama

ini...cepetan lulus kak, masa keduluan sama adiknya sih..hehehe...

15.Dhanie dan Anna, sahabat yang memberikan penulis banyak pengalaman hidup..

Makasih ya Dol, buat semua waktu dan support yang selalu ada di saat ku

(11)

16.Boz (Linda), sahabat juga guru bagi penulis. Boz, makasih ya buat semua

penjelasan boz tentang apapun selama kuliah.

17.Diana, sahabat yang selalu bisa membuat penulis untuk selalu ingat pada Tuhan.

Makasih ya Dol, buat persahabatan kita selama ini.

18.Melan dan Melati, dua sahabat yang lucu dan unik. Melan, ku senang dengan

semua kepolosan dan keceriaan mu yang bisa muncul kapan saja.hehehehe...

19.Atok, rondang, beni, indri, wiwid, dan nanang. Saat kuliah dan bermain jadi

lebih menyenangkan bersama kalian.

20.Seseorang yang akan selalu ada di dalam hati penulis...Makasih ya baNk, buat

semua support, rasa senang, sedih, dan sakit selama ini... you’ll be in my

heart...always...

21.Untuk seseorang yang kembali hadir dalam kehidupan penulis...terimakasih

sudah membuat ku kembali bersemangat menjalani hidup walaupun kamu gak

tahu itu....

22.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah

membantu penulis.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa penelitian dan penyusunan skripsi ini

masih jauh dari sempurna. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat

membangun untuk kesempurnaan skripsi ini dari pembaca semua. Semoga skripsi ini

memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan dalam hidup

sehari-hari.

Yogyakarta,

(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING...ii

HALAMAN PENGESAHAN...iii

HALAMAN MOTTO...iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA...v

ABSTRAK...vi

ABSTRACT...vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI...viii

KATA PENGANTAR...ix

DAFTAR ISI...xii

DAFTAR TABEL...xiv

DAFTAR GAMBAR...xv

DAFTAR LAMPIRAN...xvi

BAB 1. PENDAHULUAN...1

A. Latar Belakang Permasalahan...1

B. Rumusan Masalah...6

C. Tujuan Penelitian...7

D. Manfaat Penelitian...7

BAB 2. LANDASAN TEORI...8

A. Perkawinan Beda Agama...8

1. Perkawinan Beda Agama...8

2. Peran Agama dalam Perkawinan...11

B. Penyesuaian Diri pada Perkawinan...13

1. Perkawinan...13

2. Pengertian Penyesuaian Diri pada Perkawinan...14

3. Masalah dalam Penyesuaian Diri pada Perkawinan...15

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Penyesuaian Perkawinan...17

C. Kerangka Pemikiran...21

(13)

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN...25

A. Jenis Penelitian...25

B. Fokus Penelitian...26

C. Metode Pengumpulan Data...27

D. Subjek Penelitian...28

1. Proses Pengumpulan Data...28

2. Pemilihan Subjek Penelitian...32

E. Analisis Data...34

F. Pertanggungjawaban Mutu...37

BAB 4. HASIL PENELITIAN...39

A. Pasangan 1 (EW dan CR)...39

B. Pasangan 2 (MM dan I)...56

C. Pasangan 3 (SM dan FI)...70

BAB 5. PEMBAHASAN...85

A. Pembahasan...85

1. Latar Belakang...85

2. Cara dan Proses Penyesuaian Diri...92

3. Permasalahan dalam Proses Penyesuaian Diri...95

4. Peran Agama dalam Perkawinan...101

5. Faktor Lain yang Cukup Penting...103

B. Diskusi Umum...113

BAB 6. KESIMPULAN...119

A. Kesimpulan...119

B. Keterbatasan Penelitian...120

C. Saran...121

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel I Panduan Wawancara...28

Tabel II Identitas Subjek Penelitian...33

Tabel III Daftar Kode Analisis Data...36

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 : Denah Rumah Subjek EW dan CR...41

Gambar 2 : Denah Rumah Subjek MM dan I...58

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1: Hasil Wawancara...124

(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan salah satu tahapan hidup yang akan dilewati oleh

manusia. Pada saat seorang individu memutuskan untuk melakukan sebuah

perkawinan, berarti individu tersebut telah siap membuka diri untuk menerima orang

lain dalam kehidupannya. Banyak hal yang harus dipersiapkan ketika seorang

individu memutuskan untuk melakukan sebuah perkawinan, yaitu siap secara lahir

dan batin. Siap secara lahir, berarti individu tersebut telah cukup umur untuk

melangsungkan perkawinan dan sudah memiliki materi yang cukup. Siap secara batin

berarti individu tersebut telah siap untuk berbagi hidupnya dengan orang lain,

bertanggung jawab, memiliki emosi yang stabil dan terkontrol. Perkawinan bukanlah

sebuah titik akhir, tetapi sebuah perjalan panjang yang harus dilalui oleh keduanya

demi tercapainya tujuan dari sebuah perkawinan yang telah disepakati oleh keduanya.

Setiap pasangan juga harus terus belajar mengenai kehidupan bersama dan harus kian

menyiapkan mental untuk menerima kelebihan sekaligus kekurangan pasangannya.

Perkawinan juga memerlukan penyesuaian secara terus menerus. Setiap

perkawinan, selain cinta juga diperlukan sikap saling pengertian yang mendalam,

kesediaan untuk saling menerima pasangan masing-masing dengan latar belakang

(18)

bersedia untuk menerima dan ikut terlibat dalam lingkungan sosial dan budaya

pasangannya. Oleh karena itu, diperlukan keterbukaan dan toleransi yang sangat

tinggi, serta rasa untuk saling menyesuaikan diri. Wismanto (dalam Anjani, 2006),

menyatakan bahwa proses pengenalan antar pasangan berlangsung terus menerus

hingga salah satu pasangan meninggal.

Penyesuaian diri adalah salah satu faktor penting dalam mencapai

keberhasilan perkawinan karena penyesuaian diri merupakan suatu usaha suami istri

untuk mengurangi perbedaan-perbedaan diantara mereka. Pada saat pasangan suami

istri mampu berinteraksi dengan baik dan mampu saling mengkomunikasikan

kebutuhan, keinginan, pandangan hidup dan harapan mereka satu sama lain, mampu

menjalin relasi dengan lingkungan sosial pasangan, keluarga pasangan, dan juga

dalam menyelesaikan permasalahan dapat dikatakan bahwa penyesuaian diri dalam

kehidupan perkawinannya tercapai. Sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh

Gunarsa (1991), bahwa penyesuaian diri dalam suatu perkawinan adalah suatu usaha

untuk mencapai pengenalan dan pengertian yang lebih mendalam dengan mengurangi

perbedaan-perbedaan maupun sumber masalah demi terbinanya kesatuan suami istri.

Penyesuaian diri dalam perkawinan akan berjalan dengan baik ketika usaha yang

dilakukan tersebut tercapai, namun ada perbedaan-perbedaan yang masih sulit untuk

disesuaikan satu sama lain seperti perbedaan agama.

Agama merupakan salah satu hal yang sangat jelas membedakan individu

(19)

agama tertentu atau tidak. Dengan kata lain, agama secara otomatis membentuk

kelompok. Individu yang tidak termasuk dalam kelompok agama tersebut termasuk

kelompok yang out-group sedangkan individu yang memiliki kepercayaan yang sama

akan termasuk dalam kelompok tersebut atau in-group. Lalu, bagaimana dengan

pasangan suami istri yang melakukan perkawinan beda agama? Bagaimana cara

pasangan tersebut melakukan penyesuaian diri dalam kehidupan perkawinannya yang

jelas memiliki perbedaan agama satu sama lain.

Perkawinan beda agama merupakan perkawinan yang memiliki dua prinsip

agama yang berbeda. Kehidupan perkawinan pasangan yang berbeda agama juga

akan mengalami masalah terkait dengan penyesuaian diri. Perbedaan agama yang ada

diantara pasangan suami istri memiliki andil untuk memunculkan perselisihan,

pertengkaran, maupun dalam penyelesaian masalah. Setiap pasangan tetap berpegang

teguh pada ajaran agama yang dianutnya dan merasa yakin bahwa apa yang

diyakininya adalah benar. Hal inilah yang pada akhirnya membuat pasangan suami

istri yang berbeda agama kesulitan untuk menyatukan perbedaan yang ada. Berbeda

ketika pasangan suami istri mampu menempatkan perbedaan agama sebagai sesuatu

yang harus dihormati dan dihargai, sehingga dapat memunculkan kerukunan serta

rasa toleransi yang tinggi dan ini membuat keduanya tidak kesulitan untuk saling

menyesuaikan diri dan menyatukan perbedaan yang ada.

Informasi mengenai perkawinan beda agama di Indonesia masih simpang siur.

(20)

bahwa hal ini sah-sah saja. Pada kenyataannya, hal ini masih sulit untuk dilaksanakan

karena perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agama dan kepercayaannya (pasal 2 UU Perkawinan No.1 Tahun 1974, dalam

Monschovir, 2005). Pada saat akan menikah, calon pasangan suami istri ini sudah

mengalami banyak hambatan, mulai dari proses akan melangsungkan perkawinan,

seperti adanya tekanan yang datang dari lingkungan sosial ataupun dari pihak

keluarga sendiri karena pada dasarnya tidak ada ajaran agama di Indonesia yang

menganjurkan umatnya untuk melakukan perkawinan dengan orang yang berlainan

agama. Sama halnya dengan lingkungan sosial yang menganggap hal ini tidak sesuai

dengan ajaran agama, maka tidak jarang muncul pendapat yang menentang terjadinya

perkawinan beda agama.

Seperti contoh kasus pada Nn. H dan Tn. F yang kebetulan berbeda agama

dan akan segera melangsungkan pernikahan. Nn. H merasa gelisah dan takut akan

bahaya kegagalan rumah tangganya karena perbedaan agama (Hidayat, 2007). Ini

menunjukkan bahwa kecemasan yang dialami oleh pasangan beda agama sudah

dialami sejak mereka akan melangsungkan pernikahan. Permasalahan yang sama juga

dialami oleh Ahmad Nurcholish dan Ang Mei Yong, yaitu pasangan suami istri yang

beragama Islam dan Konghucu pada saat akan melangsungkan perkawinan mendapat

protes keras dari pengelola Masjid Al-Azhar, Jakarta. Hal ini disebabkan aktivitas

yang dilakukan oleh Nurcholish selama ini adalah sebagai pengurus teras di Youth

(21)

perkawinan dengan Ang Mei Yong, penganut agama Konghucu jelas memancing

keberatan dari pihak masjid. (Laporan Khusus, Gatra, Nomor 47 Beredar Senin, 3 Oktober 2005).

Penyesuaian diri pasangan suami istri yang menikah beda agama pun akan

sulit dilaksanakan jika tidak ada kematangan pribadi baik sosial dan emosi. Selain itu,

adanya motivasi dari masing-masing pasangan untuk saling menyesuaikan diri juga

menjadi unsur pendukung penyesuaian diri. Penyesuaian antara kedua keluarga juga

akan mengalami kesulitan. Permasalahan perbedaan agama sering kali membuat salah

satu pasangan menjadi terkucil dari lingkungan keluarganya. Konsekuensi lainnya

adalah dalam tumbuh kembang anak. Apakah anak akan memilih agama ayah atau

ibu atau bukan keduanya (tidak mengikuti agama ayah atau ibu) karena kebingungan.

Pada akhirnya tidak jarang kedua pasangan memilih untuk menjalankan hidup apa

adanya karena tidak mampu menyelesaikan konflik dalam menjalankan agamanya

masing-masing.

Uraian diatas menunjukkan bahwa penyesuaian diri menjadi faktor penting

dalam tercapainya keberhasilan yang pada akhirnya menentukan terciptanya

kebahagiaan dalam sebuah perkawinan. Penyesuaian diri merupakan masalah yang

harus dihadapi oleh pasangan suami istri. Bila mampu dilalui dengan baik, maka

perkawinan akan terus bertahan dan sebaliknya jika tidak mampu untuk

menyelesaikannya, maka perkawinan akan dengan mudah berakhir. Persoalan ini

(22)

penyesuaian diri yang dilakukan oleh pasangan suami istri yang menjalani

perkawinan beda agama. Peneliti ingin mengetahui pengalaman keduanya saling

menyesuaikan diri selama berpacaran sampai pada akhirnya menikah. Peneliti juga

ingin mengetahui mengapa mereka tetap memilih untuk melakukan perkawinan beda

agama yang sudah jelas dilarang oleh agama yang dianut oleh keduanya. Selain itu,

peneliti ingin mengetahui bagaimana agama berperan dalam kehidupan perkawinan

mereka.

Metode yang akan digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah model

studi kualitatif deskriptif , yaitu metode penelitian yang digunakan untuk memahami

masalah sosial atau fenomena yang dialami oleh manusia secara menyeluruh,

kompleks, dan detail dengan cara mendeskripsikannya dalam bentuk kata-kata dan

bahasa dalam suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai

metode ilmiah (Creswell dalam Moleong,2005)

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Bagaimana penyesuaian diri

(23)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah “Ingin mengetahui bagaimana cara dan

proses penyesuaian diri pasangan suami istri yang melakukan perkawinan beda

agama serta peran agama dalam kehidupan perkawinan mereka”.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan sumbangan pada bidang konseling keluarga dan perkawinan,

terutama pada hal-hal yang terkait dengan perkawinan beda agama.

b. Memberikan sumbangan informasi bagi para pembaca penelitian ini, sehingga

diharapkan mampu memberikan bantuan ide mengenai tema-tema yang terkait

dengan penyesuaian perkawinan dan pernikahan beda agama.

2. Manfaat Praktis

a. Peneliti ingin memberikan informasi baru kepada para pembaca penelitian

(24)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. PERKAWINAN BEDA AGAMA 1. Perkawinan Beda Agama

Perkawinan beda agama adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan

wanita yang berbeda agama, yang menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang

berlainan mengenai syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan

hukum agamanya masing-masing dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia

dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Rusli & Tama, 2000). Sesuai

dengan Piagam Hak asasi Manusia, undang-undang perkawinan sipil di Indonesia

pada dasarnya tidak melarang pernikahan antar agama. Menjadi susah dalam

penerapannya karena adanya pasal 2 UU Perkawinan No1. Tahun 1974 yang

mengatakan bahwa “ Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Ini berarti setiap warga Negara

Indonesia yang akan menikah harus melewati lembaga agamanya masing-masing dan

tunduk pada aturan pernikahan agamanya. Apabila keduanya memiliki agama yang

berlainan, maka lembaga agama tidak dapat menikahkan mereka kecuali salah

(25)

Pengecualian yang dapat diterima adalah calon istri dari agama lain kawin

dengan calon suami dari agama Islam, karena hal ini tidak menyalahi peraturan

perkawinan dalam agama Islam. Namun, tidak semua KUA bersedia melaksanakan

pernikahan ini dengan alasan adanya perbedaan pemahaman Al-Qur’an antar ulama.

Dalam pernikahan Kristen-Katolik, dapat diberkati di satu gereja, contoh di gereja

Katolik dengan meminta Dispensasi kepada Uskup Diosesan karena pernikahan

termasuk dalam kategori Matrimonia Mixta (menikah campur tetapi masih

sama-sama beriman Kristen, baik itu Kristen Katolik dan Kristen Protestan)

Ada satu cara yang dapat dilakukan bagi calon pasangan suami-istri yang

melakukan perkawinan berbeda agama, yaitu dengan memohon kepada Ketua

Pengadilan Negeri Setempat untuk melakukan pencatatan terhadap pernikahan itu

dengan sebelumnya mengajukan persyaratan-persyaratan administrasi. Jika

permohonan tersebut dikabulkan, maka itu yang menjadi dasar untuk dibawa ke

catatan sipil dan bukan ke Kantor Urusan Agama. Hal ini berlaku pada agama apapun

dan status perkawinan adalah sah jika calon pasangan suami istri telah melewati

prosedur-prosedur yang benar. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka semakin jelas

bahwa calon pasangan suami istri yang berbeda agama tidak perlu lagi keluar negeri

(26)

Dua prosedur yang berbeda yang berlaku bagi para penganut ke lima

kelompok agama dalam pengesahan hukum perkawinan, yaitu:

a. Islam

Bagi penganut agama Islam, pernikahan dilaksanakan menurut upacara

Islam dan pencatatannya dilakukan dalam satu upacara dihadapan penghulu.

b. Katolik, Kristen Protestan, Budha, dan Hindu

Penganut agama-agama ini dinikahkan pertama-tama menurut upacara

agama yang dianut oleh calon pasangan suami istri. Kemudian, perkawinan

tersebut dicatat oleh pejabat Catatan Sipil. Setelah itu, satu Akte Perkawinan

diterbitkan.

Menurut Hilman (2003), adanya perbedaan agama atau perbedaan dalam

melaksanakan upacara agama yang dipertahankan oleh suami isteri dalam kehidupan

rumah tangga mereka, adakalanya menimbulkan ketidakseimbangan dalam

kehidupan rumah tangga. Perbedaan pendapat merupakan hal yang melatarbelakangi

munculnya ketidakseimbangan dalam kehidupan rumah tangga pasangan yang

melakukan perkawinan beda agama karena pada dasarnya setiap agama

mengharapkan agar individu menikah menurut hukum agamanya masing-masing.

Perbedaan pendapat akan muncul kembali saat munculnya anak dalam kehidupan

rumah tangga, akan dibawa kemana agama anak, apakah sesuai dengan agama ibu

(27)

Perkawinan pada dasarnya bukan hanya antara dua individu, tetapi melibatkan

keluarga kedua belah pihak. Bila agama pasangan berbeda, maka penyesuaian antara

kedua keluarga juga akan mengalami kesulitan. Sehingga, sering kali salah satu

pasangan menjadi terkucil dari lingkungan keluarganya (Teddy, 2005).

2. Peran Agama Dalam Perkawinan

Menurut Almirzanah (2001) agama berasal dari kata “religare” yang artinya

mengikat manusia dengan Tuhan. Makna dari kata “mengikat” yaitu agama dengan

aturan dan kewajiban-kewajiban yang ada harus dilaksanakan, dimana

aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban itu berfungsi untuk mengikat dan mengutuhkan diri

seseorang atau sekelompok orang dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama serta

alam semesta (Driyarkara, 1978).

Agama khususnya agama timur bukanlah suatu sistem dogma melainkan lebih

kepada suatu cara hidup agar manusia bisa hidup secara harmonis dengan alam dan

sesamanya yang diwujudkan dalam mengamalkan sikap kasih dan tanggap satu

terhadap yang lain (Sumarah, 2002).

Jadi, agama merupakan suatu keyakinan dalam diri manusia yang mengatur

dan mempengaruhi tingkah lakunya melalui aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban

dengan tujuan untuk menciptakan keharmonisan, baik dengan sesama maupun

(28)

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa agama membentuk

dan akhirnya menjadi dasar dari gaya hidup individu yang tampak dalam perilakunya

dengan lingkungan dan sesamanya. Selain itu, agama bagi kebanyakan orang juga

berfungsi untuk menjaga kebahagiaan hidup mereka (Agama Untuk Manusia. 2007 ).

Salah satu cara untuk mencapai kebahagiaan itu adalah dengan melakukan

perkawinan karena dengan melakukan perkawinan, individu tersebut sudah

melakukan salah satu kewajibannya untuk menciptakan keharmonisan dengan

sesamanya. Dalam perkawinan, agama memiliki peran yang sama yaitu menjadi dasar

hidup bagi pasangan suami-istri dalam menjalani kehidupan perkawinannya. Saat

agama pasangan suami-istri ini sama, maka dasar untuk menyatukan gaya hidup

mereka akan lebih mudah karena dasar hidup yang digunakan oleh keduanya adalah

sama. Sehingga, diharapkan dengan latar belakang agama yang sama akan membuat

pasangan suami-istri ini akan lebih mudah menyesuaikan diri dan pada akhirnya bisa

mencapai kebahagiaan hidup perkawinan mereka.

Berbeda ketika pasangan suami-istri ini memiliki latar belakang berbeda

agama, dasar hidup yang dimiliki oleh keduanya akan berbeda dan ini juga

berpengaruh pada gaya hidup mereka. Penyesuaian diri yang harus dilakukan oleh

keduanya tidak hanya pada kebiasaan dan perilaku pasangannya tetapi juga pada

hal-hal yang membentuk gaya hidup tersebut. Kebahagiaan juga bisa dicapai oleh

pasangan suami-istri yang melakukan perkawinan beda agama tetapi melalui hal-hal

(29)

Pasangan yang melakukan perkawinan beda agama dan tetap pada agamanya

masing-masing seharusnya bisa lebih saling menghargai dan memahami perbedaan

yang ada di antara mereka. Perbedaan tersebut seharusnya dijadikan sarana untuk

saling berbagi kebaikan bagi pasangan mereka dan sebagai landasan toleransi antar

sesama. Pada dasarnya yang membedakan agama yang satu dengan yang lainnya

adalah tata caranya saja, tetapi inti dari setiap agama adalah sama yaitu mengajarkan

umatnya untuk melakukan kebaikan terhadap sesama dan lingkungannya

(Nurcholish, 2004)

B. PENYESUAIAN DIRI PADA PERKAWINAN 1. Perkawinan

Perkawinan merupakan penyatuan antara dua orang menjadi satu kesatuan

yang saling merindukan, saling menginginkan kebersamaan, saling membutuhkan,

saling melayani dan kesemuanya diwujudkan dalm kehidupan yang dinikmati

bersama. Perkawinan juga merupakan sebuah ikatan yang bersifat menetap antara

pasangannya yang sah dan perlu diarahkan untuk menciptakan kesejahteraan dan rasa

aman dalam keluarga (Gunarsa, 1991). Menurut Walgito (1984) perkawinan

merupakan sebuah aktivitas yang menyatukan dua pribadi menjadi kesatuan.

Selanjutnya, sebagai sebuah aktivitas, sama dengan aktivitas-aktivitas lainnya, maka

perkawinan juga pasti memiliki tujuan yang hendak dicapai. Sebuah perkawinan

(30)

keduanya menjadi tidak sama. Bila hal tersebut terjadi, maka keduanya harus mencari

cara untuk membuat suatu keputusan yang merupakan kesatuan dari kedua tujuan

mereka yang berbeda. Pasangan suami istri yang mampu menyatukan tujuan yang

berbeda tersebut, akhirnya akan mencapai kebahagiaan dalam perkawinan keduanya.

2. Pengertian Penyesuaian Diri Pada Perkawinan

Penyesuaian diri pada perkawinan adalah usaha tercapainya pengenalan dan

pengertian yang lebih mendalam dengan berkurangnya perbedaan-perbedaan maupun

sumber permasalahan demi terbinanya kesatuan suami istri (Gunarsa, 1991). Le

Master (dalam Hepi, 2002) berpendapat bahwa penyesuaian perkawinan sebagai

kemampuan untuk melakukan penyesuaian atau beradaptasi dan kemampuan untuk

memecahkan masalah yang muncul dalam perkawinan. Menurut Laswell & Laswell

(dalam Hepi, 2002), penyesuaian perkawinan mengandung dua pengertian.

Pengertian yang pertama, penyesuaian perkawinan berarti adanya hubungan yang

saling menguntungkan (mutualisme) antara pasangan suami-istri untuk saling

memberi dan menerima, sehingga tingkat penyesuaian perkawinannya bisa dikatakan

tinggi. Tetapi jika pasangan suami-istri tidak bisa melaksanakan kewajibannya satu

sama lain, maka tingkat penyesuaian perkawinannya rendah. Pengertian yang kedua,

dalam penyesuaian perkawinan secara tidak langsung menunjukkan adanya dua

individu yang saling belajar untuk mengakomodasi kebutuhan, keinginan, dan

(31)

karena adanya perbedaan kebutuhan, keinginan, dan harapan di antara pasangan

suami-istri.

Jadi, penyesuaian diri merupakan suatu usaha pasangan suami istri untuk

saling menyesuaikan diri satu sama lain dengan cara saling membuka diri untuk mau

berbagi dan menerima kelebihan dan kekurangan pasangannya demi berkurangnya

perbedaan-perbedaan yang sering memicu timbulnya masalah dalam perkawinan.

3. Masalah dalam Penyesuaian Diri pada Perkawinan

Menurut Clayton (dalam Ati,1997), dalam perkawinan terdapat permasalahan

untuk menyesuaikan diri pada perkawinan yang dapat dipilah menjadi:

a. Marriage Sociability, yaitu penyesuaian antar pasangan menikah yang terkait

dengan hubungan social seperti kemampuan menjalin hubungan social dengan

pasangan dan lingkungan. Selain itu juga dalam sikap terhadap jaringan social

pasangannya

b. Marriage Companionship, yaitu tingkat persahabatan antara suami isteri

seperti keterbukaan, empati, dan melakukan sesuatu bersama pasangannya.

c. Economic Affair, yaitu terkait dengan pengaturan keuangan dalam rumah

tangga yang meliputi pembelanjaan uang, baik untuk kebutuhan rumah tangga

maupun kebutuhan pribadi suami istri termasuk juga urusan pekerjaan

masing-masing pasangan seperti pekerjaan sebagai ibu rumah tangga. Selain

(32)

d. Marriage Power, yaitu pembagian kekuasaan dalam rumah tangga, berkaitan

dengan kewenangan membuat keputusan termasuk ekspresi unilateral yang

berhubungan dengan respect-prestige, compliance-power. Ada tiga dominasi

marital power, yaitu power bases (keunggulan priadi yang dimiliki dibanding

pasangannya), power process (proses pengambilan keputusan), dan power

outcomes (siapa yang memutuskan)

e. Extra Family Relationship, yaitu hubungan pasangan suami istri dengan

orangtua, mertua, ipar, maupun keluarga besar. Hal ini juga termasuk dalam

tugas penyesuaian diri karena saat menikah selain menyesuaikan diri dengan

pasangannya juga harus menyesuaikan diri dengan keluarga pasangannya.

f. Idiological Congruence, yaitu usaha pasangan suami istri dalam menyatukan

pandangan hidup, aturan rumah tangga, etika, aturan moral dan cita-cita

mereka.

g. Marital Intimacy, meliputi ekspresi kasih sayang yang ditunjukkan oleh setiap

pasangan suami istri.

h. Interaction Tactics, yaitu taktik yang digunakan oleh pasangan yang menikah

dalam melakukan interaksi, termasuk cara berkomunikasi, kerjasama, dan

(33)

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian Perkawinan

Menurut Schneider (dalam Hepi,2002), ada lima faktor yang mempengaruhi

perkawinan, yaitu:

a. Penyesuaian sebelum menikah

Penyesuaian sebelum menikah merupakan faktor yang menonjol dalam

penyesuaian perkawinan. Penyesuaian perkawinan akan berhasil jika penyesuaian

sebelum menikah seorang individu berjalan dengan baik dan hal ini berhubungan erat

dengan latar belakang kehidupan individu yang bersangkutan. Latar belakang

keluarga menjadi faktor yang paling penting dalam membentuk seorang individu

yang mampu melakukan penyesuaian diri dengan baik. Kehidupan perkawinan orang

tua yang bahagia dan relasi dengan anak juga baik sehingga anak merasa bahagia dan

di cintai, dapat menjadi dasar kehidupan perkawinan yang bahagia bagi anak-anak

mereka kelak.

Kebahagian yang dirasakan anak dalam relasinya dengan orang tua mereka

akan membuat mereka cenderung jatuh cinta pada individu yang memiliki

karakteristik yang sama dengan orang tuanya. Jika mereka tidak merasakan

kebahagiaan dalam relasi dengan orang tuanya anak akan memilih pasangan hidup

yang berlawanan dengan orang tuanya. Selain itu, perkembangan sosial pada anak

juga ikut memberikan pengaruh dalam mensukseskan kehidupan perkawinan mereka.

Oleh karena itu, keluarga dan perkawinan menjadi sebuah institusi sosial yang

(34)

b. Sikap terhadap perkawinan

Sikap terhadap perkawinan menjadi faktor kedua yang mempengaruhi suami

istri dalam melakukan penyesuaian perkawinan. Sikap terhadap perkawinan diartikan

sebagai suatu bentuk tanggung jawab dari perkawinan yang ingin dijalani oleh

pasangan suami istri dalam kehidupan perkawinannya. Jika perkawinan dimaknai

sebagai sebuah perpaduan yang tidak dapat dibatalkan oleh suami istri, maka ide

mengenai perpisahan dan perceraian tidak akan pernah ada. Tetapi jika perceraian

menjadi salah satu syarat dalam perkawinan suami dan istri, maka ini menunjukkan

bahwa keduanya belum memiliki kedewasaan dan juga keinginan untuk bertanggung

jawab secara penuh dalam kehidupan perkawinannya. Selain itu, penyesuaian diri

dalam perkawinan juga akan dipengaruhi oleh baik dan buruknya sikap dalam

memiliki dan membesarkan anak.

Kejujuran menjadi hal yang penting untuk dibicarakan sebelum dan sesudah

perkawinan, sehingga kemungkinan munculnya hal-hal yang mengganggu dalam

perkawinan bisa dikurangi. Cobaan dan kesulitan yang dialami dalam perkawinan

bukan menjadi sesuatu hal yang harus membuat pasangan suami istri menjadi

khawatir melainkan menjadi sebuah kegagalan yang perlu untuk diatasi

(35)

c. Motivasi yang mendasari perkawinan

Motivasi yang mendasari perkawinan dimaknai sebagai sebuah alasan dan

tujuan seorang individu yang memutuskan untuk menikah. Jika individu menikah

dengan tujuan untuk menambah materi, mencari tempat berlindung yang aman atau

satu-satunya kesempatan untuk menghindari tetap lajang, tanpa adanya rasa cinta dan

tanggung jawab pada keluarga maka perkawinan tersebut sudah gagal sejak awal.

Selain itu, perkawinan menjadi tidak sehat jika perkawinan hanya dianggap sebagai

cara untuk mengabadikan hubungan anak laki-laki dengan ibunya. Sehingga istri

hanya dianggap sebagai ibu bukan sebagai partner dalam hubungan perkawinan.

Motivasi yang cukup memadai adalah ketika perkawinan mewakili ekspresi tulus

saling mencintai dan bersahabat. Selain itu, adanya kebutuhan yang mendalam untuk

persahabatan dan keinginan untuk memiliki anak dan keluarga juga dapat menjadi

alasan bagi seseorang untuk menikah.

d. Menyeleksi pasangan

Menyeleksi pasangan adalah hal yang juga penting untuk dilakukan dalam

penyesuaian perkawinan. Setiap individu pasti ingin mendapatkan pasangan yang

terbaik sesuai dengan keinginan mereka. Proses menyeleksi pasangan ini biasanya

dilakukan melalui proses persahabatan. Persahabatan memberikan keuntungan

kepada setiap individu untuk lebih mengenal seperti apa individu lain tersebut. Tetapi

(36)

mencapai kebahagiaan perkawinan. Sebagai contoh, istri yang berwatak tenang,

bermoral baik dan mempunyai prinsip agama dan sikap yang sehat terhadap tanggung

jawab pada kehidupan perkawinan merupakan hal yang lebih penting dalam suatu

perkawinan dibandingkan menjadi istri dan ibu yang baik, tahu dan belajar untuk

membuat tempat tinggal menjadi baik, membuat kue, menjahit dan sebagainya. Sama

halnya pada suami yang mempunyai potensi baik sebagai pencari nafkah yang tetap,

perhatian pada keluarga, memiliki emosi yang dewasa, sadar akan tanggung jawab

dalam perkawinan akan jauh lebih baik.

e. Faktor-faktor lain yang cukup penting

Faktor lain yang juga turut berperan dalam penyesuaian perkawinan adalah

latihan spiritual karena latihan spiritual mempunyai peran penting untuk meneguhkan

keyakinan pada Tuhan, sikap menderma dan rendah hati, keyakinan pada sakramen

dan doa perkawinan. Suami istri yang mencurahkan diri untuk satu sama lain dan

untuk kesejahteraan anak melalui latihan spiritual akan banyak memberi masukan

untuk kebahagiaan kehidupan perkawinan mereka. Sebagai contoh, jika pasangan

suami istri sama-sama memiliki keyakinan untuk berusaha mengerti sudut pandang

satu sama lain maka mereka akan memperlihatkan kemauan untuk berkompromi,

menghargai kepribadian pasangannya, menahan diri untuk saling mengejek atau

meremehkan pasangannya, hal ini akan sangat baik untuk kebahagiaan suami dan

(37)

menghadapinya karena sama-sama mampu menjaga kebahagian perkawinan mereka

melalui cara menghargai satu sama lain. Faktor lain yang juga cukup penting adalah

usia suami dan istri, lama perkawinan, kemampuan financial dan usia ketika

menikah.

C. Kerangka Pemikiran

Perkawinan merupakan satu tahapan hidup yang akan dilewati oleh setiap

individu dan dilakukan oleh dua orang individu yang sama-sama memiliki kesiapan

diri baik lahir maupun batin untuk menerima orang lain dalam kehidupan pribadi

maupun keluarga mereka. Perkawinan yang diijinkan oleh agama dan Negara adalah

bila pasangan yang akan melakukan perkawinan menganut kepercayaan yang sama,

tetapi pada kenyataannya banyak pasangan suami istri yang tetap melakukan

perkawinan walaupun keduanya memiliki perbedaan agama.

Pandangan masyarakat mengenai perkawinan beda agama pada umumnya

tidak setuju dengan adanya perkawinan beda agama. Karena masyarakat menganggap

perkawinan yang dilandasi oleh dua agama yang berbeda akan banyak mengalami

kesulitan dalam perkawinan mereka. Hal ini disebabkan karena perbedaan latar

belakang agama yang tidak sama, sehingga tidak dapat dipungkiri adanya perbedaan

pendapat, sikap, dan acuan individu dalam melakukan suatu tindakan juga berbeda.

Tidak dapat dipungkiri ada faktor-faktor lain yang juga turut andil dalam setiap

(38)

belakang keluarga, pendidikan, dan sebagainya. Selain itu, hubungan pasangan yang

melakukan perkawinan beda agama dengan keluarga dari masing-masing pasangan

seringkali menjadi tidak harmonis dan pada akhirnya anak yang akan menjadi korban

karena bingung harus mengikuti agama yang mana dari kedua orang tuanya.

Gunarsa (1991) menyatakan bahwa penyesuaian diri pada perkawinan

merupakan suatu usaha untuk tercapainya pengenalan dan pengertian yang lebih

mendalam dengan berkurangnya perbedaan-perbedaan maupun sumber masalah demi

terbinanya kesatuan suami istri. Ketika pasangan suami istri mampu untuk saling

menyesuaikan diri satu sama lain, seharusnya permasalahan perbedaan agama

diantara keduanya juga bisa untuk diatasi. Oleh karena itu, peneliti ingin

mengungkap sebagian pengalaman pasangan suami istri yang melakukan perkawinan

beda agama dalam menyesuaikan diri satu sama lain. Permasalahan apa saja yang

sering muncul dan juga bagaimana peran agama dalam perkawinan mereka. Selain

itu, peneliti juga ingin mengungkap bagaimana relasi keduanya dengan anak-anak

mereka dan keluarga dari masing-masing pasangan.

Peneliti ingin memberikan gambaran yang sebenarnya kepada masyarakat

bagaimana kehidupan perkawinan pasangan suami istri yang melakukan perkawinan

beda agama. Hal ini diungkap oleh peneliti dengan melihat faktor apa saja yang

mempengaruhi pasangan suami istri dalam melakukan penyesuaian dengan pasangan,

anak bahkan keluarga dari masing-masing pasangan. Ada lima faktor yang

(39)

Schneider (dalam Hepi, 2002). Melalui lima faktor tesebut kita bisa melihat

bagaimana proses dan pengalaman mereka dalam melakukan penyesuaian diri sejak

berpacaran sampai saat ini. Selain itu, peneliti juga ingin melihat bagaimana agama

berperan dan permasalahan apa saja yang sering muncul dalam kehidupan

perkawinan mereka. Clayton (dalam Ati,1997) mengungkapkan ada delapan

permasalahan yang dihadapi oleh pasangan suami istri untuk menyesuaikan diri. Jadi,

peneliti ingin melihat permasalahan apa saja yang sering muncul dalam kehidupan

perkawinan mereka dan pada akhirnya nanti peneliti ingin melihat apakah agama

menjadi suatu masalah atau tidak bagi perkawinan mereka.

D. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan penelitian ini terdiri dari dua jenis yaitu pertanyaan pokok dan

pertanyaan lain-lain. Pertanyaan pokok penelitian ini adalah: Bagaimanakah

pengalaman, cara dan proses penyesuaian diri pasangan suami istri yang menikah

berbeda agama?

Pertanyaan khusus untuk membantu menjawab pertanyaan pokok pada

penelitian ini adalah :

1. Latar Belakang

a. Apa saja yang dilakukan pasangan suami-istri berbeda agama untuk saling

(40)

b. Bagaimanakah sikap pasangan suami-istri yang berbeda agama dalam

memandang perkawinan mereka?

c. Apa yang memotivasi pasangan suami-istri yang berbeda agama untuk

menikah?

d. Bagaimana cara pasangan suami-istri yang berbeda agama dalam

menyeleksi pasangan hidup yang sesuai dengan keinginan mereka?

2. Bagaimana cara dan proses penyesuaian diri pasangan suami-istri yang menikah

beda agama?

3. Bagaimanakah peran agama dalam kehidupan perkawinan?

4. Permasalahan apa saja yang dialami dalam pernyesuaian diri pada perkawinan?

5. Adakah faktor lain yang ikut mempengaruhi pasangan suami-istri yang berbeda

(41)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis penelitian

Metode penelitian adalah salah satu bagian penting dalam suatu penelitian

ilmiah karena permasalahan yang muncul dalam penelitian dapat dipecahkan

dengan menggunakan metode penelitian yang kita gunakan. Data yang diperoleh

dari penggunaan metode penelitian yang tepat adalah data yang dapat kita

pertanggungjawabkan.

Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian

kualitatif deskriptif. Penelitian kualitatif bertujuan untuk memahami masalah

sosial atau fenomena yang dialami manusia secara menyeluruh (holistik),

kompleks, detail dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa

pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai

metode ilmiah (Creswell dalam Moleong, 2005). Penelitian kualitatif

mendasarkan diri pada kekuatan narasi dalam mengungkapkan realitas sosial yang

diteliti (Poerwandari, 2005). Oleh karena itu, penelitian kualitatif akan

menghasilkan dan mengolah data yang bersifat deskriptif seperti transkrip

wawancara, catatan lapangan, gambar, foto, rekaman video, dan lain sebagainya

(42)

Penelitian kualitatif deskriptif digunakan dalam penelitian ini karena

tujuan penelitian ini ingin mendeskripsikan bagaimana pengalaman, proses, dan

cara pasangan suami istri yang melakukan perkawinan beda agama ini saling

menyesuaikan diri.

B. Fokus Penelitian

Penyesuaian diri pada perkawinan beda agama adalah usaha tercapainya

pengenalan dan pengertian yang lebih mendalam dengan berkurangnya

perbedaan-perbedaan maupun sumber permasalahan demi terbinanya kesatuan

suami istri yang memilliki perbedaan agama. Penyesuaian diri pada perkawinan

beda agama dapat dilihat dari bagaimana pengalaman, cara, dan proses pasangan

suami istri dalam melakukan penyesuaian diri satu sama lain. Selain itu latar

belakang subjek dan faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri dalam

perkawinan seperti penyesuaian sebelum menikah, sikap terhadap perkawinan,

motivasi yang mendasari perkawinan, menyeleksi pasangan, dan juga adanya

faktor-faktor lain yang penting seperti seperti: kehidupan beragama, relasi dengan

keluarga pasangan, bagaimana cara menyingkapi kebiasaan yang berbeda dengan

pasangan. Selain itu juga terkait dengan pengaturan keuangan, pengambilan

keputusan, dan pemegang kekuasaan dalam rumah tangga. Hal-hal tersebut dapat

digunakan untuk mengungkap bagaimana pasangan suami-istri yang menikah

beda agama melakukan penyesuaian diri dalam perkawinannya melalui

pertanyaan-pertanyaan didalam proses wawancara terhadap pasangan suami istri

(43)

C. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

wawancara.

1. Wawancara. Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang

diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu (Poerwandari, 2005). Wawancara

kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan

tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik

yang diteliti, dan melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak

dapat dilakukan melalui pendekatan lain (Banister, dkk dalam Poerwandari 2005).

Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. wawancara informal. Dalam wawancara informal proses wawancara

didasarkan sepenuhnya pada berkembangnya pertanyaan-pertanyaan secara

spontan dalam interaksi alamiah (Patton dalam Poerwandari, 2005). Dalam proses

wawancara ini orang-orang yang diajak berbicara mungkin tidak menyadari

bahwa ia sedang diwawancarai. Jenis wawancara ini digunakan pada saat peneliti

sedang berinteraksi dengan anggota keluarga ataupun semua pihak yang terkait

dengan subjek penelitian.

b. wawancara dengan pedoman umum. Dalam proses wawancara ini,

peneliti dilengkapi dengan pedoman wawancara yang sangat umum, yang

mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan.

Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai

(44)

aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan (Patton dalam

Poerwandari, 2005).

Berikut ini pedoman wawancara pada saat peneliti melakukan penelitian : Tabel I. Panduan Wawancara

Panduan Wawancara

Judul: Pengalaman Penyesuaian Diri Pasangan Suami-Istri yang Menikah Beda Agama Waktu /Tempat wawancara :

Tanggal : Interviewee : Setting : Pertanyaan :

1. Apa saja yang dilakukan pasangan suami-istri berbeda agama untuk saling menyesuaikan diri sebelum mereka menikah?

2. Bagaimanakah sikap pasangan suami-istri yang berbeda agama dalam memandang perkawinan mereka?

3. Apa yang memotivasi pasangan suami-istri yang berbeda agama untuk menikah?

4. Bagaimana cara pasangan suami-istri yang berbeda agama dalam menyeleksi pasangan hidup yang sesuai dengan keinginan mereka?

5. Apakah ada hal-hal lain yang ikut mempengaruhi pasangan suami-istri yang berbeda agama untuk saling menyesuaikan diri?

6. Bagaimana pengalaman penyesuaian diri pasangan suami-istri yang menikah beda agama?

D. Subjek Penelitian 1. Proses Pengumpulan Data

Tahap pengumpulan data dilakukan oleh peneliti dalam beberapa tahap,

yaitu perkenalan pada key person (individu yang mengenal dekat subjek

penelitian), perkenalan secara khusus dengan subjek penelitian dan anggota

keluarga subjek penelitian secara umum, penentuan jadwal penelitian,

penganbilan data melalui wawancara pada subjek penelitian dan salah satu

(45)

Informasi mengenai subjek penelitian diperoleh oleh peneliti melalui

teman dan juga saudara dari peneliti. Mereka yang kemudian di sebut key person

oleh peneliti, melalui mereka peneliti bisa bertemu dengan subjek penelitian.

Perkenalan pertama peneliti pada subjek 1 (MM dan I) dilakukan pada tanggal 13

Februari 2008, pada jam 16.30 WIB bertempat di rumah subjek 1. Perkenalan

pertama ini, peneliti datang bersama dengan teman peneliti (key person) dan

dalam pertemuan pertama ini peneliti sempat sedikit menjelaskan dan melakukan

wawancara singkat dengan subjek I. Selain itu, peneliti dan subjek I

bersama-sama menentukan jadwal wawancara. Pertemuan kedua dilakukan pada tanggal 15

Februari 2008 pada jam 11.15 WIB bertempat di rumah subjek MM dan I. Peneliti

terlebih dahulu melakukan pendekatan dengan berkenalan dan menanyakan

kegiatan sehari-hari subjek MM dan I. Setelah itu, peneliti melakukan wawancara

kepada MM dan I secara bergantian tetapi karena MM merasa malu peneliti

memutuskan MM dan I untuk diwawancarai bersama-sama. Pertemuan ketiga

dilakukan pada tanggal 17 Februari 2008, pada jam 16.30 WIB bertempat di

rumah subjek MM dan I. Pada pertemuan yang ketiga ini, peneliti melakukan

wawancara pada anak MM dan I. Wawancara ini bertujuan untuk melakukan

pengecekan pada beberapa pertanyaan yang terkait dengan kehidupan perkawinan

subjek MM dan I, khususnya dalam hal perbedaan agama keduanya. Selain

wawancara, peneliti juga melakukan observasi pada wawancara yang pertama dan

kedua.

Perkenalan subjek EW dan CR dilakukan oleh peneliti melalui bantuan

(46)

dan CR tinggal. Perkenalan pertama peneliti dengan EW dan CR dilakukan

tanggal 7 Maret 2008 pada jam16.30 WIB bertempat di teras rumah subjek EW

dan CR. Pertemuan pertama ini bertujuan untuk perkenalan dan penentuan jadwal

wawancara EW dan CR. Pertemuan yang kedua dilakukan tanggal 10 Maret 2008

pada jam 16.30 WIB di sanggar wayang milik EW. Pada pertemuan yang kedua

ini, peneliti hanya melakukan wawancara pada CR saja karena EW sedang pergi

memancing bersama teman-temannya. Pertemuan ketiga dilakukan tanggal 13

Maret 2008 pada jam 18.15 WIB bertempat di sanggar wayang milik EW yang

berada tepat di sebelah rumah mereka. Pada pertemuan ketiga ini, peneliti hanya

melakukan wawancara dan observasi pada subjek EW saja karena CR sedang

pergi mengikuti kegiatan sembayangan di lingkungan tempat tinggal mereka.

Pertemuan yang keempat dilaksanakan tanggal 15 Maret 2008 pada jam 17.15

WIB ditempat yang sama dengan pertemuan sebelumnya. Pertemuan yang

keempat ini, peneliti melakukan wawancara pada anak subjek EW dan CR yang

berinisial WH. Wawancara tersebut dilakukan dengan tujuan untuk melakukan

pengecekan pada hasil wawancara EW dan CR sebelumnya apakah pada beberapa

hal sesuai dengan penilaian dan pengalaman WH sebagai anak EW dan CR

selama ini. Pertemuan yang terakhir dilakukan oleh peneliti pada tanggal 4 Mei

2008 ditempat yang sama dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya, pada jam

18.05 WIB. Pertemuan yang kelima ini dilakukan oleh peneliti untuk melakukan

(47)

Perkenalan dan pertemuan subjek penelitian yang ketiga yaitu SM dan FI,

dibantu oleh teman peneliti yaitu RC yang adalah anak SM dan FI. Pertemuan

pertama peneliti dengan SM dan FI pada tanggal 28 Mei 2008, jam 15.30 WIB

berlangsung di kamar perawatan kelas III RS. Mata Dr. YAP. Hal ini terjadi

karena peneliti kesulitan menemui SM yang tinggal di Jakarta dan terpisah dengan

FI dan anak-anaknya yang tinggal di Jogja. Sehingga pada saat SM datang ke

Jogja untuk menjenguk ibu mertuanya yang akan menjalani operasi mata, peneliti

langsung datang dan memanfaatkan waktu yang sedikit untuk melakukan

wawancara pada SM. Pertemuan yang kedua dilakukan pada tanggal 30 Mei

2008, jam 14.00 WIB di rumah SM dan CR di Jogja. Pada pertemuan yang kedua

ini, peneliti melakukan wawancara kepada FI. Selama proses wawancara, FI pada

awalnya terlihat malu namun setelah beberapa menit berlalu mulai lancar

menjawab pertanyaan yang diberikan oleh peneliti dan terkadang bercerita tanpa

perlu ditanya lagi. Pertemuan yang terakhir dilakukan oleh peneliti pada anak SM

dan FI, yaitu RC. Pertemuan ini dilakukan untuk melakukan pengecekan atas

jawaban dari SM dan FI sesuai dengan pengalaman yang dialami oleh RC terkait

dengan kehidupan perkawinan kedua orang tuanya yang berbeda agama.

Selama proses pengumpulan data ini, peneliti cukup mengalami banyak

hambatan seperti kesulitan mendapatkan subjek penelitian yang dengan sukarela

berbagi pengalamannya menjalani kehidupan rumah tangga dengan dua agama

yang berbeda didalamnya. Beberapa subjek yang sebelumnya sudah didapatkan

oleh peneliti pada akhirnya memutuskan untuk tidak mau di wawancarai dengan

(48)

jadwal wawancara karena keadaan, seperti pasangan suami istri yang tidak tinggal

satu rumah karena istri harus menemani anak-anak tinggal di Jogja. Latar

belakang pendidikan juga sangat mempengaruhi jawaban-jawaban yang diberikan

oleh subjek penelitian. Hal ini membuat peneliti harus membuat pertanyaan

menjadi lebih sederhana dan di mudah di mengerti oleh subjek penelitian.

2. Pemilihan Subjek Penelitian

Pemilihan subjek dalam penelitian kualitatif didasarkan pada kriteria

sebagai berikut (Sarantoks dalam Poerwandari, 2005) :

a. Tidak diarahkan pada jumlah sampel yang besar, tetapi pada kasus-kasus

yang sesuai dengan masalah penelitian

b. Tidak ditentukan secara kaku sejak awal, tetapi dapat berubah baik dalam

hal jumlah maupun karakteristik sampelnya,

c. Lebih menekankan pada kecocokan konteks.

Berdasarkan kriteria diatas, maka peneliti memilih subjek penelitian

dengan menggunakan metode pengambilan sampel berupa criterion sampling

(pengambilan sampel berdasarkan kriteria tertentu). Pada penelitian ini hal yang

ingin diukur adalah pengalaman, cara, dan proses penyesuaian diri pasangan

suami-istri yang menikah beda agama, maka peneliti memberikan beberapa

kriteria berkaitan dengan subjek penelitian sebagai berikut :

1. Subjek penelitian adalah pasangan suami-istri yang menikah berbeda

(49)

2. Subjek penelitian adalah pasangan suami-istri yang keduanya masih dalam

kondisi sehat dan mampu untuk berkomunikasi

3. Subjek penelitian tidak berstatus janda atau duda.

4. Subjek penelitian adalah pasangan suami-istri yang masih berpegang teguh

pada kepercayaannya.

Tabel II. Identitas Subjek Penelitian

Pasangan 1 Pasangan 2 Pasangan 3

No

Keterangan Suami Istri Suami Istri Suami Istri

1. Nama EW CR MM I SM FI

2. Usia 57 tahun 55 tahun 52 tahun 47 tahun 50 tahun 45 tahun

3. Agama Islam Katolik Katolik Islam Islam Katolik

4. Status Menikah Menikah Menikah Menikah Menikah Menikah

5. Pekerjaan Wiraswasta Ibu

rumah tangga

Tukang parkir

Ibu rumah tangga

Karyawan swasta

Ibu rumah tangga 6. Pendidikan

Terakhir

(50)

E. Analisis Data

Tahap dalam penelitian yang sangat penting adalah analisis data. Data-data

yang sudah dikumpulkan tidak berarti apa-apa tanpa dilakukannya analisis. Dalam

melakukan analisis data, peneliti mungkin akan menemukan pola-pola tertentu

tentang makna yang terdapat dalam hasil pengumpulan data. Metode analisis data

yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis tematik. Analisis tematik

merupakan proses mengkode informasi, yang dapat menghasilkan daftar tema,

model tema atau indikator yang kompleks, kualifikasi yang biasanya terkait

dengan tema itu, atau hal-hal di antara atau gabungan dari yang telah disebutkan

(Poerwandari, 2005). Boyatzis dalam Poerwandari (2005) menyatakan bahwa

dalam suatu tema dapat diidentifikasi pada dua tingkat, yaitu termanifestasi

(manifest level), yakni yang secara langsung dapat terlihat dan tingkat laten (latent

level), yaitu tidak secara eksplisit terlihat tetapi mendasari atau membayangi

Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh peneliti untuk menganalisis data

yang sudah diperoleh dari hasil wawancara adalah (Poerwandari, 2005) :

1. Organisasi Data

Organisasi data adalah kegiatan memindahkan hasil wawancara dari tape

recorder ke dalam buku atau kertas kosong secara rapi dan sistematis. Peneliti

harus mendengarkan dengan seksama dan mencatat kembali semua hasil

wawancara baik dalam bentuk kata-kata atau kalimat apapun ke dalam kertas yang

telah disediakan. Dalam metode kualitatif hal ini sering disebut dengan transkrip

(51)

Peneliti akan memperoleh kualitas data yang baik, mendokumentasikan

analisis yang dilakukan dan menyimpan hasil penelitian dengan baik jika peneliti

mampu mengorganisasi data dengan sistematis (Poerwandari, 2005).

2. Koding

Tahap selanjutnya dalam analisis data yaitu koding. Koding dilakukan

untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan

mendetail sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang

dipelajari (Poerwandari, 2005). Koding dilakukan pada setiap pernyataan dan

tulisan yang sesuai dengan tema penelitian dan diletakan pada bagian kanan

(52)

Tabel III. Daftar Kode Analisis

Aspek Hal-hal yang diungkap Kode

Sifat dan kehidupan pribadi L.B.Skp Kehidupan Perkawinan dan Keluarga L.B.Kpk

Pekerjaan L.B.P Latar Belakang

Aktivitas Lain L.B.Al

Masa Pacaran P.Sm.Mp

Relasi dengan Pasangan P.Sm.Rp Penyesuaian

Sebelum Menikah

Relasi dengan keluarga pasangan dan lingkungan

P.Sm.Kp

Makna sebuah perkawinan P.Sp.Mp Sikap terhadap

Perkawinan

Ada perbedaan atau tidak dalam rumah tangga sampai saat ini

P.Sp.Bt

Motivasi yang mendasari Perkawinan

Alasan menikah M.Mp.Am

Pasangan Hidup yang diinginkan M.Sp.Pd Menyeleksi

Pasangan Pasangan hidup saat ini sesuai

dengan kriteria yang diinginkan atau tidak

M.Sp.Ps

Kehidupan beragama F.Lp.Kb

Cara mengatasi masalah atau perbedaan

F.Lp.Am

Pengaturan keuangan F.Lp.Pu

Pengambilan Keputusan F.Lp.Pk

Pemegang peran dalam rumah tangga F.Lp.Pp Faktor-faktor lain

yang cukup penting

Relasi dengan keluarga pasangan atau lingkungan

F.Lp.Kp

Cara-cara menyesuaikan diri P.Pd.Cp Pengalaman

(53)

F. Pertanggungjawaban Mutu 1. Kredibilitas

Kredibilitas adalah istilah ysng digunakan untuk merangkum bahasan

menyangkut kualitas penelitian kualitatif. Kredibilitas studi kualitatif terletak pada

keberhasilannya mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan

setting, proses kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks. (Poerwandari,

2005). Kredibilitas pada penelitian ini dicapai melalui:

a. Validitas komunikatif. Validitas komunikatif pada penelitian ini

dilakukan melalui dikonfirmasikannya kembali data dan analisisnya pada

responden penelitian. Hasil penelitian yang didapatkan oleh peneliti hanya

dikonfirmasikan kembali kepada salah satu pasang responden penelitian, yaitu

pasangan EW dan CR. Hal ini disebabkan karena adanya hambatan pada

responden penelitian. Pada pasangan MM dan I menyatakan bahwa tidak perlu

lagi membaca hasil penelitian yang diberikan oleh peneliti, apa yang disampaikan

oleh keduanya adalah apa adanya. Sedangkan pada pasangan SM dan FI,

hambatan terjadi karena kesulitan untuk bertemu dengan keduanya. Sering tidak

menetap di Yogya menyebabkan peneliti sulit untuk mengatur waktu untuk

bertemu dengan keduanya. Pada akhirnya, responden penelitian menyatakan tidak

(54)

b. Validitas argumentatif. Validitas argumentatif dilakukan dengan

melakukan cross check data dengan sumber lain, yakni wawancara informal

dengan anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah dengan responden.

2. Confirmability.

Confirmability mengandung arti bahwa temuan penelitian dapat dikonfirmasikan

(Poerwandari, 2005). Confirmability digunakan untuk menggantikan konsep

objektivitas. Objektivitas dalam penelitian ini dicapai melalui transparansi, yaitu

peneliti bersedia mengungkapkan secara terbuka proses dan elemen-elemen

penelitiannya, sehingga pihak lain bisa melakukan penilaian terhadap penelitian

(55)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian lapangan setiap pasangan yang diperoleh melalui wawancara dan

observasi akan dipaparkan berdasarkan aspek-aspek yang akan diteliti:

A. Pasangan 1 (EW dan CR)

1. Deskripsi Pasangan EW dan CR.

Subjek 1 (untuk selanjutnya akan disebut dengan EW dan CR)

merupakan pasangan suami istri yang sudah mejalani kehidupan perkawinan kurang lebih

34 tahun. Saat ini usia EW 57 tahun dan CR berusia 55 tahun. Pasangan ini dalam

kesehariannya terlihat santai. Hal ini terlihat dari cara EW dan CR saling berkomunikasi

dan saat sedang diwawancarai oleh peneliti. EW dan CR sering menyampaikan sesuatu

sambil bercanda namun ada saatnya sesuatu disampaikan dengan serius. EW memiliki

perawakan yang kurus dan pendek. EW memiliki kulit bewarna sawo matang. Potongan

rambut EW pendek (cepak) dan berwarna dominan hitam namun rambut yang berwarna

putih juga sudah mulai banyak tumbuh. CR memiliki perawakan yang agak gemuk dan

pendek, memiliki kulit sawo matang. Potongan rambut CR sebahu dan lebih sering

terlihat diikat, berwarna dominan hitam namun rambut berwarna putih juga mulai banyak

yang tumbuh. EW adalah orang yang supel dan memiliki sifat ngemong (membimbing).

Sejak kecil, EW sebenarnya lebih condong untuk menganut agama Katolik karena sudah

terbiasa dengan lingkungan Katolik tetapi ia tidak pernah mau untuk dibaptis karena

(56)

yang lemah lembut dan keibuan. CR memiliki 4 saudara, 3 laki-laki dan 1 perempuan.

Saat ini CR adalah anak tertua di dalam keluarganya karena kedua orang tua dan kakak

perempuannya sudah meninggal. Ketiga adiknya berada diluar kota sehingga komunikasi

jarang terjadi, namun hubungan mereka tetap terjalin baik. Di dalam keluarganya hanya

CR dan kakak perempuannya saja yang menganut agama Katolik.

EW dan CR menikah di catatan sipil pada tahun 1975 dan memiliki 6 orang anak

diantaranya 4 orang perempuan dan 2 orang laki-laki. 4 orang anak EW dan CR sudah

menikah, 2 diantaranya tinggal serumah dengan EW dan CR. EW dan CR tinggal di salah

satu daerah bagian selatan kota Yogyakarta, rumah EW dan CR tidak memiliki halaman

karena berada di pinggir jalan kampung. EW dan CR selain memiliki usaha pembuatan

wayang kulit juga memiliki kost-kostan yang sederhana dan usaha bengkel yang

dijalankan oleh menantu mereka di depan rumah.

Saat diwawancara, EW selalu duduk agak jauh dari peneliti dan sambil merokok.

Setiap peneliti memberikan pertanyaan dan meminta EW menjawab pertanyaan tersebut

tidak pernah terlihat EW melihat ke arah peneliti. Selama proses wawancara EW tidak

pernah berhenti merokok dan beberapa kali wawancara terhenti karena EW harus masuk

untuk mengambil rokok. Sedangkan CR, saat diwawancarai selalu duduk bersebelahan

dengan peneliti dan dalam menjawab pertanyaan yang diajukan peneliti selalu tenang dan

pelan-pelan. Saat peneliti mengajukan pertanyaan dan CR menjawab pertanyaan tersebut

lebih sering untuk melihat peneliti.

CR termasuk orang yang aktif didalam kegiatan doa dan juga kegiatan di

(57)

memule, ziarah dan juga ke gereja. Selain itu CR juga aktif dalam kegiatan RT seperti

arisan dan 17an tetapi tidak pernah mengikuti pengajian. Di lingkungan RT, EW

memiliki tugas pada bagian rumah tangga khusus barang-barang perkakas. Selain itu.

EW juga mengetuai grup keroncong yang sebenarnya hanya sebagai hobi dan juga upaya

untuk melestarikan budaya. EW juga tidak keberatan untuk datang ke pengajian jika ia

diundang karena ia sebenarnya juga bisa mengaji.

Gambar I. Denah Rumah Subjek EW dan CR

Utara

Kamar Mandi Ruang Kosong

Sumur

Dapur

Kamar Tidur

Kamar Tidur

Kamar Tidur

Kamar Tidur

Kamar Tidur

J A L A N

Kamar Tidur

Sanggar Wayang

Ruang Santai

Bengkel

J A L A N

(58)

2. Tahap Penyesuaian Sebelum Menikah.

i. Penyesuaian sebelum menikah

Penyesuaian sebelum menikah dilalui oleh EW dan CR dengan masa pacaran

kurang lebih 1-2 tahun. Awal perkenalan EW dan CR karena dulu EW sering datang ke

tempat temannya yang adalah tetangga CR dan akhirnya mereka mulai berkenalan. CR

menyatakan awalnya mengira EW hanya ingin berteman, namun lama-kelamaan

keduanya mulai tertarik dan memutuskan untuk berpacaran EW dan CR menyatakan

selama pacaran keduanya sering mencuri-curi waktu untuk bertemu saat CR pulang

kuliah. CR menyatakan selama bersekolah ia tinggal bersama bude (anggota keluarga

yang lebih tua). Menurut EW, bude CR adalah seseorang yang memiliki sifat yang kolot

(kuno) juga keras. EW menyatakan bahwa setiap kali datang ke rumah CR, hanya

diperbolehkan masuk sampai diteras rumah saja dan tidak pernah diijinkan untuk masuk

ke dalam rumah. Selain itu, pada jam 9 EW sudah harus meninggalkan rumah CR.

budenya itu ketat banget, makanya dulu saya apel ke rumah itu gak boleh masuk dalam rumah. Ketemunya ya di teras itu, kalau burung perkututnya sudah bunyi itu kalau gak salah berita jam 9 malam, ya sudah budenya buka pintu langsung ibunya bilang sudah jam 9 sana pulang.

(Hasil wawancara EW, baris 336-339)

EW menyatakan bahwa bude CR sebenarnya orang kaya karena dari penampilan bude

CR yang selalu memakai banyak perhiasan. Namun, bude CR juga orang yang sangat

kolot karena televisi saja tidak punya. EW juga menyatakan bahwa selama masa pacaran

mereka tidak pernah bertengkar

Pada awalnya orang tua CR tidak menyetujui hubungan EW dan CR Bude CR

adalah orang yang pertama kali menyetujui hubungan keduanya. CR menyatakan bahwa

Gambar

Tabel I. Panduan Wawancara
Tabel II. Identitas Subjek Penelitian
Tabel III. Daftar Kode Analisis
Gambar I. Denah Rumah Subjek EW dan CR
+4

Referensi

Dokumen terkait

Bedasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik suatu kesimpulan yaitu nilai optimum pada uji daya hambat kombinasi tanah Aluvial steril kedalaman 60 cm

Akan tetapi tertutupnya pemerintah Myanmar terhadap negara lain maupun organisasi internasional seperti AICHR itu sendiri yang menjadi kendala bagi AICHR dalam

Menggali dari berbagai buku sumber tentang organisasi internasional PBB dan ASEAN mengenai sejarah, azas, tujuan, fungsi dan peranannya.. Fungsi dan Peranan

Penelitian ini dilakukan rancangan perlakuan faktorial dengan menggunakan rancangan lingkungan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan menggunakan tiga kelompok. Terjadi interaksi

Stratigrafi batuan Tersier daerah Pangkalan berdasarkan Peta Geologi Lembar Solok (Silitonga P.H. & Kastowo, 1995) disusun secara berurutan dari tua ke muda sebagai

Penelitian ini dimotivasi oleh adanya perbedaan hasil penelitian yang menganalisis reaksi pasar terhadap pengumuman penerbitan.. obligasi

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa Sistem penjadwalan praktikum yang dibangun secara online sudah dapat memberikan layanan

Junior Secretary, Supporting Staff, General Banking Staff Teller, Junior Secretary, Supporting Staff, General Banking Staff 11 Gorontalo Bank BTN KC Gorontalo, Jl.