• Tidak ada hasil yang ditemukan

MANAJEMEN PONDOK PESANTREN. Hefny Dosen Fakultas Tarbiyah IAI Nurul Jadid

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MANAJEMEN PONDOK PESANTREN. Hefny Dosen Fakultas Tarbiyah IAI Nurul Jadid"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

MANAJEMEN PONDOK PESANTREN Hefny

Dosen Fakultas Tarbiyah IAI Nurul Jadid

Abstract :

Boarding schools are educational institutions and religious instruction, in which clerics teach a knowledge of Islam to santri based on books written in Arabic by medieval scholars and the students usually live in huts (dormitory) in the boarding school. A boarding school relies heavily on "attractiveness" the central figure (clerics or teachers) who led, forward or inherited. If the heir full control of both religious knowledge, prestige, wealth and other teaching skills are required, then the boarding school age will long endure. It indirectly affects the management imposed in boarding school environment itself, which then implicated in the form of a figure pesantren leadership.

Pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama, dimana seorang kyai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang di tulis dalam bahasa Arab oleh ulama abad pertengahan dan para santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut. Suatu pesantren sangat bergantung kepada “daya tarik” tokoh sentral (kyai atau guru) yang memimpin, meneruskan atau mewarisinya. Jika pewaris menguasai sepenuhnya baik pengetahuan keagamaan, wibawa, keterampilan mengajar dan kekayaan lainnya yang diperlukan, maka umur pesantren akan lama bertahan. Hal tersebut secara tidak langsung berpengaruh pada manajemen yang diberlakukan di lingkungan pesantren itu sendiri, yang kemudian berimplikasi dalam bentuk kepemimpinan seorang figur pesantren.

(2)

Pendahuluan

Pesantren yang diakui sebagai cikal bakal pendidikan nasional dan diakui survive sejak zaman penjajahan, ternyata menyimpan seribu pertanyaan kenapa hal tersebut bisa terjadi? Kelangsungan hidup suatu pesantren yang sangat bergantung kepada “daya tarik” tokoh sentral (kyai atau guru) yang memimpin, meneruskan atau mewarisinya. Maka figur pemimpin pesantren menjadi rukun utama jika ingin kehidupan pesantren menjadi abadi.

Kepemimpinan seorang kyai (top leader) menjadi penting karena dia adalah satu-satunya orang yang memiliki wewenang. Guna memperoleh pemahaman yang komprehensif tentang manajemen pesantren ada beberapa topik yang menjadi pembahasan pada tulisan kali ini, antara lain:

a. Pengertian dan unsur-unsur utama pondok pesantren.

b. Sejarah ringkas dan jenis-jenis pondok pesantren di Indonesia. c. Problematika manajemen di lingkungan pesantren.

d. Idealitas manajemen dalam memajukan pondok pesantren.

Pengertian dan Unsur Utama Pondok Pesantren

Istilah pondok pesantren berasal dari dua suku kata yaitu: “Pondok dan

Pesantren” yang kemudian dipadukan menjadi satu yang menunjukkan satu pengertian

untuk menggunakannya tidak harus selalu digabungkan menjadi satu, terkadang dengan menyebut salah satu, pondok atau pesantren, namun maksud dari penggunaan kata tersebut tidak berbeda. Sehingga untuk memudahkan penyebutannya sering dijumpai pemakaian kata pondok atau pesantren saja.

Kata pondok berasal dari bahasa Arab “Funduq” yang artinya hotel, penginapan (A. Warson Munawir, 1997 : 1073). Sedangkan dalam kamus umum bahasa Indonesia pondok berarti tempat mengaji, belajar agama Islam (Nur Uhbiyati, 1996 : 239). Secara etimologi kata pesantren berasal dari kata santri dengan awalan pe dan akhiran an yang berarti tempat tinggal para santri (M. Ali Hasan Mukti dan Mukti Ali, 2009 : 93). Sedangkan dalam kamus ilmiah pesantren berarti perguruan pengajian Islam (Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry : 594).

Dari kedua kata tersebut memiliki arti yang sama yakni tempat penginapan dan tempat tinggal para santri. Maka sekurang-kurangnya pesantren berarti tempat para santri menjalani hidup dan belajar selama masa tertentu di bawah bimbingan kyai (Abdul Munir Mulkhan, 2009 : 12).

Pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui oleh masyarakat sekitarnya, dengan sistem asrama yang santri-santrinya menerima pendidikan agama melalui sistem pengajaran atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dan kepemimpinan (leadership) seseorang atau beberapa orang kyai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatik serta independen dalam segala hal (Djamaluddin dan Abdullah Aly, 1999 : 99). Definisi lain juga diberikan oleh Sudjoko Prasodjo, pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama, dimana seorang kyai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang di tulis dalam bahas Arab oleh ulama abad pertengahan dan para santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut (Abuddin Nata, 2001 : 104).

Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam mempunyai elemen-elemen pendidikan yang terdiri dari: kyai, pondok, masjid, santri dan pengajaran kitab-kitab salaf (A. Tafsir : 191).

(3)

1. Kyai

Kyai merupakan guru, pendidik, leader pesantren, karena merekalah yang selalu membimbing, mengarahkan, dan mendidik para santri. Kyai dalam pengertian umum merupakan pendiri dan pemimpin podok sebagai seorang muslim terpelajar membaktikan hidupnya dan menyebarluaskan serta memperdalam ajaran-ajaran dan pandangan Islam melalui kegiatan pendidikan (Manfred Ziemek, 1986 : 138). Memang tidak seluruh orang muslim yang terpelajar, ahli ilmu keislaman akan memperoleh gelar kyai, gelar ulama (juga kyai) diberikan oleh masyarakat muslim karena kealiman mereka dan pelayanan yang mereka berikan kepada masyarakat. Oleh karena itu jika seorang kyai turun hanya menjadi ustsdz (guru mengaji) maka status sosialnyapun juga menurun dan pengaruhnyapun juga menurun.

Menurut Horikoshi (1987:169) kekuatan kyai atau ulama berakar pada dua hal:  Kredebilitas moral.

Kredibilitas moral antara lain dibina dengan dukungan kealiman pengetahuan agama, kemampuan membaca kitab klasik (kitab kuning), keshalihan prilaku (ketaatan melakukan ibadah dan ritual) dan pelayanannya kepada masyarakat muslim.

 Kemampuan mempertahankan pranata sosial.

Kekuatan kyai (ulama) juga karena kemampuannya menjaga pranata sosial. Pranata di sini diartikan peraturan-peraturan, tradisi-tradisi yang hidup di masyarakat. Kekuatan kyai memang ditentukan oleh point kedua, bahkan sebagian dari kekuatan pertama (kredibilitas) tadi akan hilang bila pranata itu tidak dilestarikan. Misalnya: tradisi mencium tangan, tradisi karamah, barakah dan sebagainya (A. Tafsir : 195).

2. Pondok

Pondok atau asrama santri merupakan salah satu dari elemen-elemen yang harus ada di sebuah pesantren yang membedakan dengan sistem tradisional, di masjid-masjid yang berkembang di Indonesia dan negara-negara lainnya, bahkan sistem pendidikan di pondok pesantren relatif berbeda dengan sistem pendidikan di surau atau masjid yang berkembang pada masa lalu dan sekarang.

Menurut Zamakhsyari Dhofir sekurang-kurnagnya ada tiga alasan pesantren menyediakan pondok (asrama) yakni tempat tinggal santri:

a. Kemasyhuran seorang kyai dan kedalaman pengetahuannya tentang agama Islam yang menarik santri dari jauh untuk menuntuk ilmu dari kyai tersebut secara kontinyu dalam waktu cukup lama, sehingga para santri tersebut harus meninggalkan kampung halamannya dan menetap di kediaman kyai.

b. Hampir seluruh pesantren berada di desa-desa, dimana tidak tersedia perumahan yang cukup untuk dapat menampung santri.

c. Adanya sikap timbal balik antara kyai dengan santri, sikap timbal balik ini menimbulkan keakrapan dan kebutuhan untuk saling berdekatan, dengan sikap ini akan melahirkan tanggung jawab pada kyai dan sikap pengabdian pada diri santri tersendiri (Zamakhsyari Dhafir, 1983 : 44).

3. Masjid.

Masjid merupakan salah satu elemen yang memiliki andil yang cukup besar bagi efektifitas kegiatan pesantren untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek sholat lima waktu secara berjama’ah, khutbah, sholat jum’at serta pengajaran kitab-kitab klasik. Masjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi

(4)

pesantren universalisme dari sistem pendidikan tradisional, sistem pendidikan tersebut juga sebagaimana yang telah diperaktekkan oleh Rasulullah SAW.

4. Santri.

Santri merupakan peserta didik yang belajar di pesantren yang dalam arti sosiologis memiliki makna mereka yang dengan taat melaksanakan perintah agama Islam. Manfred Ziemek, membedakan santri menjadi dua: pertama santri mukim, yaitu: yang bertempat tinggal di pesantren dan yang kedua santri kalong, yaitu: santri yang mengunjungi pesantren secara teratur untuk belajar agama (Manfred Ziemek, 1986 : 130).

Predikat santri adalah predikat yang luar biasa dan mempunyai nilai lebih

(surplus value). Karena predikat santri akan terus dipakai walaupun sudah pulang

dari pondok dan terjun di masyarakat sebab dengan menjadi lebih mempunyai tanggung jawab baik secara vertikal maupun secara horisontal. Mau tidak mau, santri dihadapkan pada tanggung jawab moral masyarakat sekitar. Santri dituntut untuk mengamalkan ilmu yang telah di dapat dan harus mengetahui apa visi, aplikasi dan creativity yang harus dilakukan di masyarakat, serta berwawasan global dan progresif. Oleh karena itu santri harus selalu bermental subyek bukan obyek, lain halnya dengan “siswa” sekolah umum yang lain ketika ia sudah keluar dari lembaga yang terkait maka ia bukan lagi siswa.

5. Pengajaran kitab-kitab Salaf

Diantara sekian banyak hal-hal yang ada dipesantren dan tidak bisa dilepaskan adalah pengajaran kitab-kitab salaf yang lebih populer dengan sebutab kitab kuning. Kitab merupakan istilah khusus yang digunakan untuk menyebut karya tulis di bidang keagamaan yang di tulis dengan huruf Arab. Adapun kitab yang dijadikan sumber belajar di pesantren dan lembaga pendidikan Islam tradisional sejenisnya di sebut dengan kitab kuning. Kitab kuning (kitab salaf ) yaitu: karya tulis dengan menggunakan huruf Arab yang di susun oleh para sarjana muslim pada abad pertengahan Islam, sekitar abad 16018. Sebutan “kuning” ini karena kertas yang digunakan berwarna kuning, mungkin karena lapuk di telan masa, oleh sebab itu juga di sebut kitab salaf (kitab klasik atau kitab kuno) (Abuddin Nata, 2001 : 171).

Kitab salaf akan terus dan tetap menarik bagi para peminatnya hal ini bukan hanya disebabkan di cetak dengan menggunakan kertas berwarna kuning saja, melainkan memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut:

a. Untuk memahaminya memerlukan keterampilan tertentu dan tidak cukup hanya dengan menguasai bahasa Arab saja. Sehingga banyak orang yang memiliki kemampuan berbahasa Arab, namun masih kesulitan dalam mengklarifikasikan isi dan kandungan-kandungannya dan begitu pula sebaliknya.

b. Sistematika penyusunannya pada umumnya sudah begitu maju dengan urutan kerangka yang lebih besar, kemudian berturut-turut sub-sub, kerangka itu dituturkan sampai pada yang paling kecil. Misalnya: kitaabun, kemudian baabun, fashlun, far’un dan sebagainya.

c. Tidak menggunakan tanda baca yang lazim. Tidak menggunakan titik, koma, tanda seru tanda tanya dan sebagainya (Sahal Mahfudh, 2003 : 259).

Dengan kreteria tertentu yang dimiliki kitab salaf, hal tersebut tidak sekedar pada tataran penulisan saja yang berbeda melainkan juga berimplikasi pada proses pembelajarannya yang biasa digunakan di pesantren yang menyangkut interaksi guru-santri dan sumber belajar antara lain:

(5)

a. Kyai sebagai guru dipatuhi secara mutlak, dihormati termasuk anggota keluarganya dan terkadang memiliki kekuatan ghaib yang dapat memberi berkah.

b. Diperoleh tidaknya ilmu itu bukan hanya semata-mata karena ketajaman akal, ketepatan metode, mencarinya dan kesungguhan berusaha, melainkan juga bergantung pada kesucian jiwa, restu dan berkah kyai serta upaya ritual keagamaan seperti: puasa dan riadho (Mastuhu, 1988:286)

c. Kitab adalah guru yang paling sabar dan tidak pernah marah. Karena itu, ia harus dihormati dan dihargai atas jasanya yang telah banyak mengajar santri; kutib Mastuhu dari pendapat kyai Mukhtar Syafa’at.

d. Tranmisi lisan para kyai adalah penting meskipun santri mampu menelaah kitab sendiri, yang demikian ini belum di sebut ngaji (Abuddin Nata, 2001 : 176).

Sejarah Ringkas dan Jenis-jenis Pondok Pesantren

1. Sejarah ringkas

Pesantren atau Pondok adalah lembaga yang bisa dikatakan merupakan wujud proses wajar perkembangan system pendidikan nasional. Dari segi histori pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous). Sebab, lembaga yang serupa pesantren ini sebenarnya sudah ada sejak pada masa kekuasaan Hindhu-Budha. Sehingga Islam tinggal meneruskan dan mengislamkan lembaga pendidikan yang sudah ada. Tentunya hal ini tidak berarti mengecilkan peranan Islam dalam mempelopori pendidikan di Indonesia (Nurchalis Madjid, 1997 : 3).

Seandainya negeri kita tidak mengalami penjajahan, mungkin pertumbuhan system pendidikannya akan mengikuti jalur-jalur yang ditempuh oleh pesantren-pesantren itu. Sehingga perguruan tinggi-perguruan tinggi yang ada sekarang tidak akan berupa UI, ITB, UGM, Unair, ataupun yang lainnya, tetapi mungkin namanya “universitas” Tremas, Krapyak, Tebuireng, Bangkalan, Lasem dan seterusnya. Kemungkinan ini bisa kita tarik setelah melihat dan membandingkan secara kasar dengan pertumbuhan system pendidikan di negeri-negeri Barat sendiri, dimana hampir seluurh universitas terkenal cikal bakalnya adalah perguruan-perguruan yang semula berorientasi keagamaan. Mungkin juga, seandainya juga seandainya kita tidak pernah dijajah, pesantren-pesantren itu tidaklah begitu jauh terpencil di daerah pedesaan seperti kebanyakan pesantren sekarang ini, melainkan akan berada di kota-kota pusat perkota-kotaan atau ekonomi, atau sekurang-kurangnya tidak terlalu jauh dari sana, sebagaimana halnya sekolah-sekolah keagamaan di Barat yang kemudian tumbuh menjadi universitas-universitas tersebut (Nurchalis Madjid, 1997 : 4).

Pesantren yang merupakan “Bapak” dari Pendidikan Islam di Indonesia, didirikan karena adanya tuntutan dan kebutuhan zaman, hal ini bisa di lihat dari perjalanan sejarah, di mana jika dirunut kembali, sesungguhnya pesantren dilahirkan atas kesadaran berdakwah Islamiyah, yakni menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam, sekaligus menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam, sekaligus mencetak kader-kader ulama atau da’i.

Kelangsungan hidup suatu pesantren sangat bergantung kepada “daya tarik” tokoh sentral (kyai atau guru) yang memimpin, meneruskan atau mewarisinya. Jika pewaris menguasai sepenuhnya baik pengetahuan keagamaan, wibawa, keterampilan mengajar dan kekayaan lainnya yang diperlukan, maka umur pesantren akan lama bertahan. Sebaliknya pesantren akan menjadi mundur dan mungkin menghilang jika

(6)

pewaris atau keturunan kyai yang mewarisinya tidak memenuhi persyaratan. Jadi seorang figur pesantren memang sangat menentukan dan benar-benar diperlukan (Hasbullah, 1999 : 139).

Walaupun bagaimanapun keadaannya pesantren sampai saat ini harus kita akui bahwa ia merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang survive dari masa ke masa.

2. Jenis-jenis Pondok Pesantren

Dengan adanya syarat tersebut yang harus dimiliki oleh sebuah pesantren maka menimbulkan beberapa perbedaan tentang klasifikasi pesantren, hal tersebut disebabkan adanya perbedaan paradigma berfikir dan dari perspektif mana ia mengklsifikasikannya. Ditinjau dari jumlah santri Zamakhsyari mengklasifikasikannya menjadi:

a. Pesantren kecil yaitu: pesantren yang jumlah santrinya kurang dari 1000 dan pengaruhnya hanya pada tingkat kabupaten.

b. Pesantren menengah yaitu: pesantren yang jumlah santrinya antara 1000-2000 dan pengaruhnya hanya pada beberapa tingkat kabupaten.

c. Pesantren besar yaitu: pesantren yang jumlah santrinya lebih dari 1000 dan pengaruhnya tersebar pada tingkat beberapa kabupaten dan propinsi (A. Tafsir : 1963).

Sedangkan ditinjau dari segi tempat tinggal (pondok) menurut Kafrawi di bagi menjadi 4 macam:

a. Pesantren Pola I

Yaitu: Pesantren yang memiliki unit kegiatan dan elemen yang berupa masjid dan rumah kyai. Pesantren dengan pola ini masih sangat sederhana, kyai mempergunakan masjid atau rumahnya untuk tempat mengaji, biasanya santri datang dari daerah sekitarnya, namun pengajian telah diselenggarakan secara kontinyu dan sistematik.

b. Pesantren Pola II

Yaitu: Pesantren dengan pola I di tambah adanya pondokan bagi santri. c. Pesantren Pola III

Yaitu: Pesantren dengan pola II dengan di tambah adanya madrasah. Jadi di pesantren III ini telah ada pengajian secara klasikal.

d. Pesantren IV

Yaitu: jenis pesantren dengan pola III di tambah adanya unit keterampilan seperti: peternakan, kerajinan, koperasi, sawah, ladang dan lain-lain (A. Tafsir : 193).

Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan ilmu dan teknologi serta zaman maka pesantren dapat diklasifikasikan menjadi:

a. Pesantren Salaf

Pesantren model ini mempunyai beberapa karakteristik diantaranya: pengajian hanya terbatas pada kitab salaf ( K. Kuning), intensifikasi musyawarah (bahtsul masail), berlakunya sistem diniyah (klasikal), pakaian, tempat dan lingkunganya mencerminkan masa lalu, sebagaimana yang telah diterapkan di Lirboyo-Ploso-Kediri, al-Anwar Sarang Rembang dan Pacol Gowang Jombang.

Pesantren model salaf ini memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan yang diantaranya: semangat mengarungi kehidupan yang luar biasa, mental kemandiriannya tinggi, moralitas dan mentalitasnya terjaga dari virus

(7)

modernitas, mampu menciptakan insan dinamis, kreatif dan progresif karena ia tertantang untuk menghadapi hidup dengan tanpa formalitas ijazah, tumbuhnya mental enterpreneurship (kewirausahaan) dan berani sakit dan menderita demi suksesnya sebuah cita-cita. Sedangkan kekurangannya masih didominasi oleh term-term klasik seperti: tawadhu’ yang berlebihan, zuhud, kuwalat dan biasanya akhirat oriented.

b. Pesantren Khalaf

Pesantren modern memiliki beberapa karakteristik diantaranya penguasaan bahasa asing (Arab dan Inggris), tidak ada pengajian kitab-kitab klasik (K. Salaf), kurikulumnya mengadopsi kurikulum modern sebagaimana yang telah diberlakukan di beberapa pesantren antara lain: Pesantren Modern Darussalam Gontor Ponorogo, Zaitun Solo, Daar al-Najah dan Daar al-Rahman Jakarta.

Model pesantren modern ini juga tidak terlepas dengan kelebihan dan kekurangannya. Kelebihannya antara lain: penekanan pada rasionalitas, orientasi pada masa depan, persaingan hidup dan penguasaan teknologi. Adapun kelemahannya: lemah dalam penguasaan terhadap khazanah klasik, bahkan mayoritas out put pesantren ini tidak mampu membaca kitab klasik (kitab kuning) dengan standart yang telah ditetapkan dan diberlakukan di pesantren salaf seperti: penguasaan nahwu, sharaf, balaghah, ‘arudh, mantiq, ushul dan qowaid.

c. Pesantren Semi Salaf-Semi Khalaf

Yaitu: pesantren yang berusaha untuk mengkolaborasikan antara sistem pesantren salaf dan pesantren modern, seperti: pesantren Tebuireng dan Mathaliul al-Falah Kajen. Adapun karakteristik pesantren model semi salaf-semi modern (semi salaf-semi khalaf) adalah adanya pengajian kitab klasik (kitab salaf) seperti: taqrib, jurumiyah dan ta’limul muta’allim, ada kurikulum modern (seperti: bahasa Inggris, Fisika, matematika, manajemen dan sebagainya), mempunyai indepedensi dalam menentukan arah dan kebijakan, ada ruang kreatifitas yang terbuka lebar untuk para santri (seperti: keorganisasian, membuat bulletin, majalah, mengadakan seminar, diskusi, bedah buku dan lain-lain).

Keberadaan pesantren modern dipandang dan diharapkan sebagai wahana untuk mencetak manusia yang sempurna (insan kamil). Namun di sisi lain pesantren semi salaf-semi khalaf memiliki beberapa kelemahan antara lain: santri kurang menguasai secara mendalam tentang khazanah klasik, bergesernya keyakinan tentang term-term salaf yakni: barakah, kuwalat, zuhud dan orientasi ukhrawi serta perjuangan masyarakat menjadi berkurang (Jamal Ma’ruf Asmani : 9).

Walaupun keberadaan pesantren telah diklasifikasikan sebagaimana tersebut di atas, namun yang jelas dan pasti menurut A. Mukti Ali, pesantren memilki beberapa ciri sebagai berikut:

Adanya hubungan yang akrap antara santri dengan kyai, hal ini dimungkinkan karena mereka tinggal dalam satu pondok.

1) Tunduknya santri pada kyai. 2) Hidup hemat dan sederhana.

(8)

4) Jiwa tolong menolong dan suasana persaudaraan sangat mewarnai pergaulan di pesantren.

5) Disiplin.

Problematika Manajemen di Lingkungan Pesantren.

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa kelangsungan hidup suatu pesantren sangat bergantung kepada “daya tarik” tokoh sentral (kyai atau guru) yang memimpin, meneruskan atau mewarisinya. Jika pewaris menguasai sepenuhnya baik pengetahuan keagamaan, wibawa, keterampilan mengajar dan kekayaan lainnya yang diperlukan, maka umur pesantren akan lama bertahan. Sebaliknya pesantren akan menjadi mundur dan mungkin menghilang jika pewaris atau keturunan kyai yang mewarisinya tidak memenuhi persyaratan. Jadi seorang figur pesantren memang sangat menentukan dan benar-benar diperlukan.

Hal tersebut secara tidak langsung berpengaruh pada manajemen yang diberlakukan di lingkungan pesantren itu sendiri, yang kemudian berimplikasi dalam bentuk kepemimpinan seorang figur pesantren. Adapun gaya kepemimpinan pesantren (dengan sample Pesantren Modern Gontor, Pesantren Tebuireng, Pesantren Paciran, Pesantren Guluk-Guluk Sumenep, Pesantren Sukorejo dan Pesantren Sukrejo) adalah:

dari Kharismatik ke Rasionalistik, dari Oteriter-Paternalistik ke Diplomatik-Partisipatif dan dari Laissez Faire ke Birokratik (Mastuhu, 1999 : 106).

1. Dari Kharismatik ke Rasionalistik.

Yang dimaksud dengan kepemimpinan kharismatik adalah kepemimpinan yang bersandar pada kepercayaan santri atau masyarakat umum sebagai jama’ah, bahwa kyai yang sebagai pemimpin pesantren merupakan kekuasaan dari Tuhan. Sementara itu, kepemimpinan pesantren yang rasionalistiik adalah kepemimpinan yang bersandar pada keyakinan dan pandangan santri atau jama’ahnya, bahwa kyai mempunyai kekuasaan karena ilmu pengetahuannya yang dalam dan luas (Mastuhu, 1999 : 106).

Contoh dari keenam pesantren tersebut, Pesantren Sukorejo, kharisma KH.R.As’ad sebagai pemimpin pesantren tunggal sangat terasa.

2. Dari Oteriter-Paternalistik ke Diplomatik-Partisipatif.

Dilihat dari gaya hubungan antara pemimpin pesantren dengan para santri atau bawahannya, secara gradual ditemukan perbedaan di antara keenam pesantren tadi.

Terkait erat dengan gaya kharismatik pemimpin pesantren Sukorejo, KH. As’ad Syamsul Arifin, hubungan antara kyai dengan bawahannya tampak bahwa pengaruh kyai begitu kuat, sehingga usul-usul partisipatif dari bawahan hampir tidak ada, kalaupun ada hal terebut sangatlah kecil dan tidak begitu berarti jika dibandingkan dengan pengaruh kyai. Karena itu, di pesantren ini dilihat dari hubungan antara kyai dan bawahannya, mengesankan suatu gaya kepemimpinan “otoriter”. Dalam gaya kepemimpinan semacam ini bisa dipahami kalau kebebasan para santri dan jama’ahnya yang lain sangatlah kecil, dan karena itu kurang begitu berarti, mereka lebih banyak “menerima” dari pada “mengajukan usul”.

Bersamaan dengan gaya kepemimpinan otoriter ini, hubungan kyai dengan bawahannya tampak lebih bersifat kekeluargaan. Kyai adalah bapak yang berhak untuk mengarahkan anak-anaknya sesuai dengan keinginan atau nilai-nilai yang dianutnya. Dan para santri memandangnya sebagai bapak yang wajib dipatuhi. Ini

(9)

semua mencerminkan bahwa kepemimpinan di Sukorejo, di samping bergaya otoriter juga bergaya paternalistic (Mastuhu, 1999 : 114).

3. Dari Laissez Faire ke Birokratik.

Terkait dengan jenis kepemimpinan yang tersentralisasi pada kekuasaan individual yang bersandar pada kharismati serta hubungan-hubungan yang bersifat otoriter paternalistik, dalam kepemimpinan pesantren juga ditemukan satu graduasi pada pola hubungan antara kyai sebagai pemimpin mereka dengan santrinya dari pola laissez Faire ke yang birokratik. Dimana tatanan kerja organisasinya kurang jelas dan pambagian kerja antara unit-unit tidak dipisahkan secara tajam. Setiap pemimpin unit bebas berinisiatif dan bekerja untuk kebaikan dan kemajuan pesantren selama yang dilakukan tersebut tidak bertentangan dengan sunnah pondok dan memperoleh restu kyai maka selama itu pula pekerjaan boleh diteruskan (Mastuhu, 1999 : 118).

Jika diamati kembali maka dapat ditarik benang merah bahwa kriteria yang dijadikan tolak ukur bagi seorang pemimpin pesantren adalah:

a. Kharisma: Kenyataan bahwa pola kepemimpinan seorang kyai adalah kepemimpinan kharismatik sudah cukup menunjukan segi tidak demokratisnya, sebab tidak rasional.

b. Personal: Karena kepemimpinan kyai adalah karismatik maka dengan sendirinya juga bersifat pribadi atau “personal”. Kenyataan ini mengandung kenyataan bahwa seorang kyai tak mungkin digantikan oleh orang lain serta sulit ditundukkan ke bawah “rule of the game”nya administrasi dan manajemen modern.

c. Religio-Feodalisme: seorang kyai selain menjadi pimpinan sekaligus merupakan “traditional mobility” dalam masyarakat feudal. Dan feodalisme yang dibungkus keagamaan ini bila disalahgunakan jauh lebih berbahaya dari pada feodalisme biasa.

d. Kecakapan tehnis: Karena dasar kepmimpinan seperti diterangkan di atas, maka dengan sendirinya factor kecakapan teknis tidak begitu menjadi penting. Dan kekurangan ini menjadi salah satu sebab pokok ketertinggalan pesantren dari perkembangan zaman (Nurchalis Madjid, 1997 : 96).

Idealitas Manejemen dalam Memajukan Pondok Pesantren

Idealismenya memang seorang kyai yang berperan sebagai orang yang memiliki kewenangan utuh dalam membangun dan mengembangkan pondok pesantren juga dibarengi dengan beberapa kompetensi yang sempurna dalam mengembangkan pesantren disamping harisma.

Setelah mengkaji beberapa tipe kepemimpinan yang ada dan berlaku di dunia pesantren, maka idealnya seorang pemimpin pesantren dapat mengintegrasikan seluruh tipe kepemimpinan yang ada dengan meletakkan keseluruhannya sesuai dengan proporsinya, yakni:

1. Seorang pemimimpin yang rasionalitik yang juga didukung dengan kharismatik. 2. Dalam beberapa hal yang terkait dengan ciri khas misalnya, seorang pemimpin

harus oteriter-paternalistik akan tetapi dalam pengembangan pesantren dia bisa menempatkan posisi dengan memberi kesempatan pada bawahan untuk menampilkan kreatifitasnya yang hal tersebut merupakan sikap diplomatik-partisipatif.

(10)

3. Laissez Faire, perlu dipertahankan dengan tetap memperhatikan birokratik dengan menetapkan job discription masing-masing.

Jika hal tersebut tidak dapat dipenuhi maka dapat diambil langkah-langkah sebagai berikut:

1. Karena dengan adanya pemimpin pribadi (personal) kemungkinan besar mengalami kesulitan dalam melakukan perubahan maka diperlukan “orang dalam”. Sebab untuk diterima gagasan-gagasan baru diperlukan kepemimpinan “legitimate” atau sah menurut ukuran-ukuran pesantren sendiri.

2. Meskipun ada pemimpin legitimate itu, tetap diperlukan sikap hati-hati yang ekstra. Perubahan yang dilakukan tidak mungkin “radikal revolusioner” tetapi diusahakan seperti pepatah “Bagaimana benang tak putus tepung tak terserak”.

3. Kesahan atau “legitimate” pimpinan dan kaitannya dengan karisma. Tetapi tidak cukup hanya dengan karisma saja tetapi juga diperlukan keahlian (Nurchalis Madjid, 1997 : 100).

KESIMPULAN

1. Pesantren adalah perguruan pengkajian Islam yang memiliki unsure-unsur pokok antara lain: kyai, pondok, masjid, santri dan pengajaran kitab-kitab salag.

2. Pesantren merupakan “bapak” dari pendidikan Islam di Indonesia yang didirikan untuk memenuhi tuntutan zaman dan kebutuhan. Jika ditinjau dari jumlah santrinya maka pesantren dapat dibedakan menjadi: pesantren kecil, pesantren menengah dan pesantren besar, jika ditinjau dari segi tempat tinggalnya maka dapat dibedakan menjadi: pola I, pola II, pola III dan pola III. Sedangkan jika ditinjau dari perkembangan ilmu dan teknologi dapat dibagi menjadi: pesantren salaf, khalaf dan semi salaf –semi khalaf.

3. Problem dalam manajemen lingkungan pesantren lebih banyak disebabkan oleh kecenderungan tipe karakter kepemimpinan kyai sebagai sebagai pemimpin dalam pengembangan pesantren itu sendiri.

(11)

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Munir Mulkhan, Menggagas Pesantren Masa Depan Geliat Suara Santri Untuk Indonesia Baru, Qirtas, Yogjakarta, 2003

Abuddin Nata, Sejarah Pertumbuhan Lembaga-Lembaga pendidikan Islam di Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2001

A. Warson Munawir, Kamus Al-Munawir, Pustaka Progesif, Surabaya, Cet.XIV, 1997 Djamaluddin dan Abdullah Aly, Kapita Selekta pendidikan Islam, Pustaka Setia,

bandung, 1999

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Gravindo Persada, Jakarta, 1999 M.Ali Hasan Mukti dan Mukti Ali, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Pedoman Ilmu

Jaya, Jakarta, 2003

Manfred Ziemek, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, P3M, Jakarta, 1986 Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Logos, Jakarta, 1999 Nurchalish Madjid, Bilik-bilik Pesantren, Paramadina, Jakarta, 1997 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, Pustaka Setia, Bandung, 1996

Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Arkola, Surabaya Zamakhsyari Dhafir, Tradisi Pesantren Study tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES,

Jakarta, 1983

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui : 1) Pengaruh Penerapan Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah terhadap Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah

Menurut Dyah kegiatan ini diselenggarakan selain untuk meramaian peringatan Hari Jadi Kota Surabaya ke 718 juga mengasah potensi perempuan Surabaya dalam membuat desain batik

Maka dapat di katakan bila pendapatan asli daerah yang tinggi akan ikut meningkatkan pengeluaran pemerintah dalam mengalokasikan dana untuk belanja modal guna

Agar hal tersebut dapat dikuasai pada modul Konstruksi Baja Kelompok Kompetensi B ini pembelajaran 6 yang dimaksud adalah memahami apa saja peralatan atau bahan

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji keefektifan teknik thought stopping untuk meningkatkan kepercayaan diri pada peserta didik kelas VIII di SMP Negeri

Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian prasyarat untuk mendapat gelar Sarjana pada Program Studi Pendidikan Bimbingan dan Konseling, Fakultas Keguruan dan

18 Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim di Pengadilan Negeri Klas IB Metro, pada hari Senin tanggal 6 Oktober 2014, pada pukul 11.15. Pegawai di Lembaga Pemasyarakatan Klas

Bab Pertama, pendahuluan merupakan uraian tentang mengapa suatu penelitian dilakukan, yang dinarasikan dengan sistematika dalam beberapa sub bab meliputi latar belakang