SKRIPSI
/ISLAM
TUROL HADIYANTO 96231165
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata (SI) Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta
L ,SLAM )
TUROL HADIYANTO 96231165
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA
Dipertahankan Di Depan Panitia Ujian Skripsi
Fakultas Psikologi
Universitas Islam Indonesia Diterima Untuk memenuhi Sebagian Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar
Derajat Sarjana SI Psikologi
Tanggal
i ! OCT 2001
Mengesahkan
Fakultas Psikologi
Universitas Islam Indonesia
Tim Penguji:
1. H. Fuad Nashori, S. Psi., MSi 2. Hj. Ratna Syifa'a R, S. Psi., MSi 3. Yulianti Dwi Astuti, S. Psi
Tanda Tangan
Karya Sederhana ini Saya Persembahkan
Kepada:
Bapak <&Mama, Yang tiada terputus bagaikan udara
kasih sayangmupadaku dan
kepada kakak-kakak dan adik-adikkujang aku sayangi.
Dosen, Mahasiswa, intelektual' Muda,
Para Pendekar Ilmu Pengetahuan dan Cendekiawan
Yang cinta kepada ilmu
Siapapun dan di manapun
Jinda Membaca Karya ini
Bacalah!
Dengan (menyebut) nama Tuhanmu.
Yang menciptakan manusia dengan segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmulah yang paling pemurah. Yang mengajarkan (manusia) dengan perantara kalam. Dia mengajari manusia apa yang tidak diketahui
(QS. Al 'Alaq (96): 1-5).
Sesungguhnya daiam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya siang cfap malam,
terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal.
(yaitu) Orang-orang yang mengingat Allah sambil perdiri,
duduk atau dalam keadaan bertfaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata); Ya Tuhan kami, tiada Engkau menciptakan ini dengan sia-sia,
Maha Suci Engkau maka peliharalah kami dari siksa neraka
(QS. Al -Imran (3); 190-191).
Sesungguhnya aku ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus (yaitu) agama yang benar,
agama Ibrahim yang lurus dan
Ibrahim itu bukanlah orang yang musyrik.
Sesungguhnyc sembahyangku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)
(QS. Al-An'am (60): 161-163).
Sesungguhnya Allah
tidak akan mengubah keadaan suatu kaum,
sehmgga mereka mengubah keadaan yang ada
dalam diri mereka sendiri
(QS. Ar'Rad(13); 11).
Boleh jadi kamu membenci sesuatu
padahalia sangat baik bagimu dan boleh jadi (pula)
kamu menyukai sesuatupadahalia amat buruk bagimu.
Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui
(QS. AlBaqarah (20; 216).
Orang-orang yang beriman dan hati mereka
menjadi tentram dengan mengingat Allah
Ingatlah! Hanya mengingat Allah saja hati menjadi tentram
(QS. Ar'rad (13); 28).
HADIST QUDSI
Wahai Isa! Pasti Aku bangkitkan setelah kamu satu umat
Apabila mereka peroleh yang mereka senangi,
mereka memuji Tuhan dan bersyukur.
Apabila mereka peroleh yang tidak mereka senangi
mereka tetap tekun dan sabar.
Mereka tidak berlapang dada dan beriimu.
Isa berkata;" Wahai Tuhanku!Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi kepada mereka
padahal mereka tidak beriapang dada atau beriimu?"
Allah SWT Berfirman;"llmu dari sebagian sifat-Ku!".
Segala Puja, Puji dan Syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas
Rahmat, Hidayah dan Inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
akhir yaitu penyusunan skripsi ini. Selam itu, pada kesempatan yang baik mi
penulis ingin menyampaikan rasa tenmakasih yang sangat dalam dan penghargaan
yang setinggi-tingginyanya kepada;
1. Pimpinan Universitas Islam Indonesia dan Fakultas Psikologi, atas
kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk belajar di fakultas mi
2. Bpk. Fuad Nashori, S. Psi., Msi selaku pembimbing utama dalam penyusunan
tugas skripsi in, yang dengan sabar, perhatian dan motivasi serta bantuan
berupa ide-ide "bnlyan" yang secara langsung maupun tidak telah mengilhami
terselesaikannya penulisan ini
3. Ibu Yulianti Dwi Astuti, S. Psi selaku pembimbing pendamping dalam
penyusunan skripsi ini yang juga sangat sabar, teliti dalam pengkoreksian dan
semua saran-saran yang pasti mem.liki tujuan baik, serta pinjaman buku yang
sulit saya peroleh demi terselesaikannya penulisan mi
4. Ibu Rina Mulyati, S. Psi. selaku dosen wali
5. Seluruh dosen tetap dan tamu yang pernah mengampu pada matakuliah yang
pernah saya tempuh, yang dengannya memperoleh tambahan ilmu
6. Seluruh karyawan Fakultas Psikologi yang dengannya telah memperlancar
jalannya proses belajar mengajar selama menempuh studi di fakultas ini
kesediaannya membantu pengisian skala untuk data penelitian ini
8. Khusus teman kosku yang baik "Ginung" yang telah banyak membantu dalam
menerjemahkan buku bahasa inggns, ket.ka menyelesaikan dasar teori dan
pengolahan data penelitian
9. "Tidak akan saya lupakan" kepada Pak Abdul Hans atas "kebaikannya" yang
telah banyak membantu dalam pengolahan data penelitian
10. Spesial sekali untuk Bapak, Mama' dan Kakak-kakak serta Adik-Adikku
semua yang telah memberi kesempatan untuk belajar dan menyelesaikan studi
di faluktas ini
Yogyakarta, 3 Oktober 2001
Penulis
JUDUL SKRIPSI i PENGESAHAN... ii PERSEMBAHAN.. iii MOTTO iv
SUMBER INSPIRASI SKRIPSI
v UCAPAN TERIMAKASIH VI DAFTAR ISI viil DAFTAR TABEL.... xi DAFTAR LAMPIRAN xii BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Tujuan Penelitian14
C. Manfaat Penelitian
14
D. Keaslian Penelitian
BAB II. LANDASAN TEORI
A. Hidup Bennakna
16
A. 1. Pengertian Makna Hidup Dan Hidup Bermakna
16
A.2. Sindroma Ketidakbermaknaan
7
A.3. Hubungan Ketidakbennaknaan Dengan Konsep Humamsme
Sekuler
j
28
A.6. Faktor-faktor Yang mempengaruhi Hudup Bermakna 36
A.7. Hidup Bermakna Dan Kesehatan Mental 37
B. Gaya Atribusi
B.l. Pengertian 3g
B.2.Gaaya Atribusi Optimistik dan Pesimistik 39 B.3. Hubungan Gaya Atribusi dengan Depresi 43 C. Hubungan Gaya Atribusi Dengan Hidup Bermakna
C.l. Ketidakberdayaan Dan Kertidakbermaknaan 47
C.2. Ketidakberdayaan, Optimisme Dan Makna 49
C.3. Hipotesis 50
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Identifikasi Variabel Penelitian 51
B. Definisi Operasional 51
C. Subjek Penelitian 52
D. Metode Pengumpulan Data 52
E. Validitas Dan Reliabilitas 57
F. Metode Analisis Data 58
BAB IV. LAPORAN PENELITIAN
A. Orientasi Kancah 59
B.2. Uji-Coba Alat Ukur B.3. Hasil Uji-Coba Alat Ukur. C. Pelaksanaan Penelitian D. Hasil AnalisisData E. Pembahasan BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran-saran 60 60 61 .63 64 66 66
Tabel 1. Blue-Print Skala Hidup Bermakna
55
Tabel 2. Blue-Print Skala Gaya Aatribusi
57
Taabel 3. Blue-Print Skala Hidup Bermakna yang Lolos Seleksi
62
A. SKALA
. Gaya Atribusi ro
06
. Hidup Bermakna
70
B. DATAUJICOBA
. Skala Gaya Atribusi Hasil Baik dan Buruk
71
. Skala Hidup Bermakna
73
C. DATA PENELITIAN
. Skala Atribusi on
oO
. Skala Hidup Bermakna
88
D. HASIL ANALISIS DATA
. Koefisien Korelas... n^
y&
. Uji Normalitas
1f),
. .Uji Linieritas in,
t Uo
•UjiKorelasi
lQ
. Koefisien Determinan (sumbangan efektif)
l08
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Sesungguhnya JRllah tidak akan mengubah keadaan suatu hangsa.
(seseotang), sebingga mereka mengubah keadaan yang ada dalam diri mereka sendiri. 0an apabila J%llab mengbendaki kehurukan terbadap suatu hangsa, maka tak ada yang dapat menolaknya dan sekali-kali tak ada yang
menjadipelindung selain <Dia (QS.&r <%aad (13): 11).
Pada abad XXI ini perkembangan sains dan teknologi mengalami kemajuan yang luar biasa. Manusia terbukti berhasil menciptakan peradaban modern yang
maju. Penemuan-penemuan teknologi juga telah membuat masyarakat
memperoleh banyak kemudahan di banyak bidang kehidupan. Namun di sisi lain,
sebagaimana dikatakan oleh Bastaman (1995), abad ini juga dapat dijuluki sebagai
abad kecemasan (the Age ofAnxiety).
Flal itu selaras dengan apa yang diilustrasikan Musavi (1993) bahwa dewasa
ini banyak dari alam semesta dari kedalaman laut hingga ruang angkasa telah
menjadi wilayah perjalanan dan petualangan manusia. Bersamaan dengan itu,
berbagai kebutuhan ruhani manusia menjadi lemah, orang telah menempatkankeuntungan maten sebagai prioritas utama, kemudian menggeser nilai-nilai
kebajikan untuk melindungi pemberontakan jiwa (fitrah) dari pencemarannya.
Karena itulah manusia dewasa ini tengah berjuang antara hidup dan mati.
Madjid (dalam Bastaman, 1996) mengatakan seluruh sejarah umat manusia
adalah wujud dari rentetan usahanya untuk menemukan hakekat diri dan maknahidup. Dari adanya rasa dan kesadaran akan makna hidup itulah kebahagiaan akan
zaman modern mempakan sumber pokok persoalan manusia dalam menemukan dirinya dan makna hidupnya yang lebih mendalam.
Frankl, penggagas logoterapi, mengatakan bahwa hasrat untuk hidup
bermakna mempakan motivasi utama setiap manusia. Hidup bermakna menurut Bastaman (1995) merupakan gerbang kebahagiaan dan hidup tak bermakna adalahgerbang pendentaan. Manusia sebagai makliluk sosial dalam kaitannya dengan
makna, menurut Goffman (1959), bahwa makna itu dilahirkan dalam proses sosial
dan masih akan terns dihubungkan dengan proses itu, artinya lingkungan sosial atau
orang lainlah yang memberi makna bagi diri seseorang.
Menurut Musavi (1993) perjuangan untuk memperoleh harta, kekuasaan,
popularitas dan pendapatan materi lainnya tidak lain merupakan kebohongan belaka.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk memperoleh kebahagiaan adalah sesuatu yang
sia-sia, karena kebahagiaan manusia terletak "di dalam jiwanya" dan kesengsaraan
terletak "di dalam lubuk hati yang paling dalam".
Ternyata hal mi selaras dengan yang dikatakan seorang filsuf Yunani kuno
Apictatus (dalam Musavi, 1993) yang mengatakan, "biarkanlah orang mengetahui
kalau kebahagiaan dan keberuntungan tidak selalu dapat ditemukan di sembarang
tempat yang diyakini ada, karena kebaliagiaan yang sesungguhnya tidak terletak
dalam kekuasaan dan kemampuan yang dimilikinya. Dicontohkan orang kaya raya
di masanya bernama Sondnapal dan Aghamnin, namun dikenal dengan tangisan
terus menerus karena merasa dirinya sebagai mainan kemalangan. Para pembesar
Romawi tidak merasa hidupnya bahagia meskipun memiliki kekuasaan besar.
kebahagiaan yang "sesungguhnya ada di dalam jiwa dan kesadaran mereka sendin".
Bila seseorang tidak berhasil menemukan dan memenuhi makna hidupnya,
maka hasrat untuk hidup bennakna tidak tercapai. Akibatnya ia akan mengalami
"frustrasi eksistensiar dengan keluhan utama menghayati hidupnya hampa tidak
bermakna {meaningless) yang merupakan gerbang ke arah penderitaan. Hidup tak
bennakna dalam pandangan logotean bukanlah suatu penyakit, melainkan
kehidupan yang dapat menjelma menjadi gangguan neurosis, sikap totaliter dan
gaya hidup konformistis. Necrosis noogenik mempakan gangguan yang bersumber .
dari kehidupan tidak bennakna, dengan gejala serba bosan, hampa, putus asa,
kehilangan minat dan misiatif. Kehidupan orang konfonnis ditandai dengan
perbuatan-perbuatan yang semata-mata karena orang lam melakukannaya, mereka
mudah terbawa arus situasi dan "pantang ketinggalan mode". Kemudian, seorang
pribadi totaliter, senantiasa berbuat sesuatu karena orang lam mengharapkan berbuat
seperti itu dan individu yang bersangkutan bersedia mentaatinya (Bastaman, 1995).
Kehidupan modem menawarkan tiga hal kepada manusia yaitu; harapan,
kesempatan dan tantangan. Menjanjikan harapan untuk memperbaiki nasib,
kelimpahan maten dan membuka peluang untuk mengatualisasikan diri. Kehidupan
modem tidak nngan untuk dijalam, karena telah terjadi persaingan yang keras dan
ketat bila ingin tetap hidup maju {survive). Bagi yang berhasil akan memperoleh
imbalan berupa maten yang berlimpali dan "harga diri" yang terhormat, karena
modernnisasi membenkan harapan untuk meningkatkan prestasi dan prestise
mana dapat menyesuaikan diri terhadap tuntutan modernisasi dan mampu menemukan
makna dari modem itu sendin (Bastaman, 1995). Pola kehidupan modem yang
berorientasi pada prestasi dan prestise, sedangkan diperoleh dengan mengantungkan
pada respons sosial berarti telali mengabaikan pcrolehan makna yang sebenamya.
Makna hidup yang sebenamya "ada didalam kesadaran dan jiwa manusia sendin".
Gaya hidup modem berdasar humanisme sekuler, sedikit banyak mempengamhi
sebagian mahasiswa dewasa ini yang mengabaikan hal-hal syarat mengandung makna.
Kehidupan tidak bermakna di era modem menjadi meningkat kuantitasnya.
Sindroma ini sudali menggejala dalam masyarakat modem seiring dengan proses
industrialist. Dilaporkan Habmger (1970-1972), sindroma ini di Wina bembali pesat
dari 30 %meningkat menjadi 80 %, dan Crumbaugh (1971) melaporkan sindroma ini
menyebar di sejumlah negara Eropa dan Afrika (Koeswara, 1992).
Dalam deklarasi humanisme dinyatakan bahwa "manusia telah kehilangan
kepercayaan kepada kemampuannya sendiri untuk memecahkan problem-problem
kemanusiaan" Ma'anf (1983) menjelaskan bahwa timbulnya humanisme sekuler
modem sejalan dengan renaisans di Eropa yang merupakan bentuk reaksi tehadap
gelombang gerakan fundamentalisme agama baik Kristen, Yahudi dan Islam.
Humanisme yang membatasi pandangan hanya pada manusia telah membuat
manusia modem kehilangan kemampuan untuk membayangkan lebih jauh mengenai
dirinya. Akibatnya, manusia jatuh ke dalam egoisme diri yang memutuskan hubungan
perbuatan yang positif pula, demikian sebaliknya (Bastaman, 1995). Seorang psikiater
Sullivan (dalam Bastaman, 1995), menyatakan adanya dua ragam citra diri manusia,
yaitu citra diri positif dan negatif. Citra diri positif terbentuk karena seseorang secara
terns menems menerima umpan balik yang positif bempa pujian dan penghargaan,
sedangkan citra diri yang negatif memperoleh umpan balik negatif seperti ejekan dan
perendahan. Kedua, umpan balik itu selalu diterima dari orang-orang sekitamya,
temtama yang besar pengamhnya bagi penerima umpan balik. Akhimya menumbuhkan
penghayatan dan citra sebagai "orang baik" dan "Bumk" .
Mahasiswa adalah salah satu aset negara yang berharga. Bila baik kualitasnya,
maka kondisi masa depan negara pun bisa lebih baik dan maju, namun sebaliknya bila
kualitasnya kurang baik maka masa depan bangsa pun bisa jadi taruhannya. Hal mi
dapat dipahami mahasiswa adalah generasi muda penems bangsa. Selain itu, mahasiswa
mempakan kelompok masyarakat yang memiliki kemampuan intelektual menengah ke
atas dari warga masyarakat kebanyakkan, sehingga tidak berlebihan bila dikatakan masa
depan bangsa ada dipundak mahasiswa dan pemuda.
Salah satu sebutan manusia adalah sebagai mahluk sosial, artinya manusia tidak
bisa hidup lepas dari lingkungan sosial. Diantara kelompok manusia yang sangat luas
adalah manusia muda mahasiswa. Hiruk-pikuk kehidupan mahasiswa adalah sangat
menank, sebab usia mahasiswa berada di persimpangan, artinya masa peralihan remaja
menuju dewasa. Ketika masa di SMU aturan sangat ketat, diperlakukan seperti anak
kecil, dalam mengerjakan tugas selalu dikontrol oleh gum, namun setelah menjadi
mahasiswa aturan relatif longar, dipedakukail sebagaimana orang dewasa. Misalnya,
yang sebenamya rajin atau pemalas.
Upaya untuk menemukan jati diri ini, tidak lepas dari "memilih hal-hal yang
pentmg dan membenkan arti hidup bagi dinnya". Hal ini sejalan dengan yang dikatakan
Rogers (dalam Bastaman, 1995), bahwa setiap manusia secara sadar atau tidak akan
terus-menems akan menyaring atau memilih hal-hal yang dianggapnya pentmg dan
bennakna untuk dimtemalisasikan. Disisi lam ada hal-hal yang diabaikan karena
dianggap tidak memberi makna bagi hidupnya.
Berdasar hasil pengamatan penulis balrwa mahasiswa dewasa ini tampak memiliki
kecendemngan mencan sesuatu yang bisa mendatangkan makna hidup berdasarkan
respon dan hngkungan sosial. Sebagian mahasiswa bila melakukan sesuatu, tergantung
bagannana reaksi Hngkungan sosial sekitar terhadap dinnya. Misalnya, seorang
mahasiswa rambutnya di cat kumng atau pakai anting-antmg ditelinga bahkan dihidung,
mahasiswi pakai jilbab namun bagian leher dibuka, baju dan celana sangat ketat.
Mereka melakukan itu dengan harapan Hngkungan sosial mengaguminya, sehmgga akan
diperoleh imbalan dan Hngkunan sosial berupa makna. Mereka berpenampilan seperti
im agar hngkungan betul-betul "kagum" dan menyukai penampilan itu.
Berdasarkan pengamatan penulis, adanya ketidakselarasan pada mahasiswa
khususnya di Fakultas Psikolog, Universitas Islam Indonesia yang di kenal sebagai
lembaga pendidikan tinggi Islam. Namun terlihat dan penampilan pada sebagian
mahasiswa tidak mencemnnkan gaya hidup yang religius, optimis dan bermakna.
Ketidakoptimisan dan ketidakbennaknaan tersebut, tampak pada penampilan aneh-aneh
yang sama sekali ticfak mencerminkan pengamalan dan penghayatan nilai-nilai
Fakta sehari-han menunjukkan bahwa gaya penampilan yang aneh-aneh tersebut
antara lam, misalnya mahasiswa mengecat rambutnya, memakai anting-anting di telinga
bahkan ada yang dihidung, pakaian ke kampus yang super ketat sehmgga lekuk-lekuk
tubuhnya menjadi jelas walaupun d, atas pakai jilbab. D, dalam ajaran Islam yang
penulis ketahui, hal itu merupakan cara berpakamnnya perempuan-perempuan jahiliyalv
Seperti ungkapan benkut, "berpakaian sama dengan telanjang". Cara berpakaian seperti
ini sangat dilarang Islam.
Gaya penampilan mahasiswa seperti itu yang menggejala dewasa ini, mempakan
petunjuk bahwa mulai menggejalanya gangguan psikis yang berkaitan dengan
kehidupan bennakna yang disebut gaya hidup konformis, sikap totaliter dan dan
mengarah pada neurosis noogenik {noogenic neurosts) semng modermsasi yang sudah
menglobal. Bila hal ini telah terjadi pada mahasiswa mungkm perlu diadakan
langkah-langkah antisipasi untuk jangka panjang.
Gaya penampilan sepert, di atas, menunjukkan adanya perasaan kurang yakm
pada tuntunan agama bahwa di dalam tuntunan tersebut mengandung sumber makna
hidup yang memang sangat dibutuhkan manusia bila diamalkan dan dihayati dengan
sungguh-sungguh. Berdasarkan keyakinan penulis bahwa di dalam tuntunan agama
Islam sumber makna hidup ada di dalam din manusia, artinya makna itu tergantung
pada mdividu masmg-masmg untuk bersedia atau tidak menghayati hal-hal yang sudah
ditunjukkan agama.
Dicontohkan pada seorang teman mahasiswi mengatakan pada penulis, bahwa
dinnya bam merasa aman, nyaman dan "menikmati" untuk memakai jilbab setelah
teman-teman sesama mahasiswa menurut keyakman kagum dengan penampilan yang
aneh-aneh, kagum dengan pakaian mahasisw, ketat sehmgga lekuk-lekuk tubuli tampak
transparan padahal hemat penulis itu hanya fatamorgana saja dan Iain-lain.
Pola kehidupan mahasiswa yang disadari atau tidak sudah terpengaruh dengan
humanisme sekuler modem, yaitu menjauhnya pengamalan dan penghayatan mlai-mla,
rehgius adalah sebagai penyebab mulai menggejalanya gangguan neurosis noogenik
dikalangan mahasiswa.
Pola kehidupan manusia selalu berubah. Adakalanya susah dan berganti senang,
adakalanya berhasil mencapa, sesuatu dan kadang gagal. Ketika senang dan berhasil
mencapai sesuatu, tentu saja kondisi psikis mdividu tetap stabil, namun bila kegagalan
menghantamnya secara bertubi-tubi yang tak dapat dikendalikan yang membuatnya
mendenta, mungkin bagi sebagian orang tetap stabil dan sebagian yang lain membuat
mentalnya menjadi melemah.
Bila kondisi yang dialami individu datang secara beruntun, maka reaksi manusia
secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, la akan pesimis dan
menyerah begitu saja terhadap kondisi yang menekan itu sebab diyakini bila di lawan
akan sia-sia saja. Hal ini karena belajar dari kondisi sebelumnya. Orang jems ini adalah
tipe yang dikelompokkan sebagai orang pesumstik. Kedua, mereka yang memiliki gaya
atribusi optimistik akan tetap berusaha, sebab mereka punya keyakman bahwa masalah
berhasil atau tidak yang pentmg bertahan dan dicoba, sedangkan cin ini adalah orang
optimistik.menjadikannya stres. Hal ini terjadi karena setiap keingman yang muncul tidak selalu
dapat terpenuhi, harapan atau cita-cita tidak selalu berhasil, hambatan hams
dismgkirkan, pilihan hams ditetapkan, tekanan dari hngkungan luar terasa menyesakan
dada dan peraturan ketat hams dipatuhi.
Di sisi lain, stres memang diperlukan sebab tanpa adanya stres orang sulit untuk
bisa maju, bahkan dalam kondisi damai pun orang akan selalu mencari rangsangan.
Zukerman (dalam Atkinson dkk, 1993) mengembangkan skala pencari sensasi dalam
mehbatkan aktivitas-aktivitas berbahaya untuk menghindan kebosanan, seperti terjun
payung, balap sepeda motor dan mobil, tmju, gulat, boxer dan Iain-lain.
Aktivitas-aktivitas berbahaya dilakukan orang, membuktikan bahwa manusia tidak akan merasa
puas dengan kondisi tenang dalam jangka waktu yang cukup lama, sehingga selalu
melakukan aktivitas yang bisa menimbulkan sensasi walaupun hal itu berbahaya bagi
keselamatannya.
Stres akan terjadi bila upaya mencapai suatu tujuan terhalang atau individu
sedang dalam kondisi tekanan fisik maupun psikologis. Reaksi menghadapi situasi stres
setiap individu berbeda-beda dan bermacam-macam jemsnya, antara lam; melakukan
tindakan agresi, perasaan cemas, marah-marah, kecewa dan apati-depresi. Reaksi stres
yang berjenis apati (acuh tak acuh) mi, bila sumber stres muncul secara kontinyu dan
dalam kondisi menekan itu individu tidak mampu lagi untuk mengatasinya, maka
kondisi apati tersebut bisa meningkat levelnya menjadi ketidakberdayaan pada tmgkat
Salah satu teori psikologi yang berkaitan dengan reaksi terhadap stres yang
berjenis apati-depresi ini adalah teori "ketidakberdayaan yang dipelajari -{learned
helplessness) dan Sehgman (dalam Atkinson dkk, 1993). Teori mi menjelaskan
bahwa "pengalaman dengan peristiwa yang tidak menyenangkan dan tidak dapat'
dikendalikan merupakan sebagai penyebab apati-depresi". Teori ketidakberdayaan
yang dipelajari, melalui rumusan yang memasukkan gaya atribusi sangat membantu
dalam memahami persoalan; mengapa sebagian orang tampak mudah menyerah dan
menerima tanpa syarat ketika dalam kondisi sulit, sedang sebagian yang lain tidak?
Abramson, Seligman, dan teasdele (1978) mengajukan gaya atribusi untuk
merumuskan kembali teori ketidakberdayan yang dipelajari karena dipandang tidak
adekuat bila diterapkan pada manusia yang mengalami kegagalan yang tidak bisa
dikendalikan. Abramson mengajukan tiga dimensi atribusional penting untuk
menjelaskan orang yang mengalami ketidakberdayaan yang dipelajari dan depresi.
Ketiga dimensi tersebut; internal-eksternal, stabil-tidak stabil dan global-tertentu.
Jadi, Skala Gaya Atribusional optimistik dan pesimistik yang disusun Abramson
dkk, merupakan metode penyempumaan hipotesis ketidakberdayaan yang dipelajari.
Di bawah ini, contoh kasus orang yang menunjukkan sikap ketidakberdaya
yang dipelajan sebagai akibat hasil belajar dan peristiwa sebelumnya. Kasus ini
penulis kutip dari teks pidato pengukuhan Guru Besar Amien Rais (1999);
Seorang ilmuan politik, aktivis dan peneliti konflik antar kepentmgan
perusahaan besar dengan warga sekitar dan Amerika bemama John Gaventa
menehti di lembah pegunungan Appalachia tengah AS. Daerah mi kaya
dengan bahan tambang, salah satunya batubara. Tambang mi digarap dan
dieksploitasi oleh perusahaan besar milik orang kaya dan London Inggris
Penduduk d, sekitarnya miskm sekali, sebab sebanyak 70% penduduk
setempat hidup di bawah garis kemiskinan dan sisanya 30 % keluarga
menganggur. Daerah ini di kenal sebagai kantong kemiskinan d, negara
ketidakadilan seperti perusahaan hanya membayar pajak yang rendah
kampung yang dulu indah permai sekarang carut-marut banyak galian yang tak
terurus penuh dengan endapan lumpur dan asam batubara, sedang Pak tua
sendin mengidap sakit paru-paru hitam, karena bekerja di bawah permukaan
tanah dalam waktu yang lama menghirup partikel-partikel batubara. Maksud
Gaventa itu menyadarkan Pak tua supaya bersedia ikut bergabung dengan
pekerja lain untuk menuntut ganti rugi pada perusahaan tambang raksasa itu
Mendengar
keterangan
Gaventa
itu,
Pak
tua
hanya
diam
mendengarkan.Dalam hati Pak tua bergumam; "Saya tahu lebih banyak
tentang ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi di kampung saya ini
Misalnya, Anda tidak tahu kalau tanah ayah saya dijarah perusahaan tambang
itu tanpa kompensasi", karenanya tidak ada ekspresi terkejut di wajah Pak tua
dan tidak ada isyarat kesediaannya untuk ikut bergabung dengan pekerja lain
untuk menuntut ganti rugi pada perusahaan itu. Namun sebaliknya justru
Gaventa sendin heran bukan kepalang. Betapa mungkin! orang tidak tertarik
sama sekali memperjuangkan hak-haknya sendiri di negara demokrasi seperti
AS? Mengapa senkat buruh yang dulu dikenal militan dan aktif namun
sekarang menjadi pasif dan menerima status -quo? Mengapa dalam kondisi
ketimpangan dan ketidakadilan yang meluas tidak bereaksi melawan?
(AMANAT, 22 April 1999).
Kronologi cerita beserta pertanyaan-pertanyaan di atas, secara langsung telah
mendorong untuk menjadikannya bahan kajian penelitian menank dalam psikologi,
khususnya berkaitan teori "ketidakberdayaan yang dipelajan". Oleh karena itu,
penulis tertarik mengambil sebagai salah satu contoh kasus pentmg dalam penelitian
Teori ketidakberdayaan yang dipelajari dalam rumusan yang memasukkan
gaya atribusi, tentu bisa diterapkan untuk menjelaskan kasus di atas dan kasus-kasus
lain yang sejenis dalam kehidupan sehari-hari. Tampaknya teori ini bisa membantu
untuk mengungkap sebab-sebab dan memperoleh jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Gaventa yang mengherankan. Mungkin sedikit bisa
dimaklumi, bila kasus mi terjadi di negara diktator atau proses demokrasi, tapi
Reaksi apati, bila terjadi dalam jangka waktu yang lama bisa membuat orang
yang mengalami hidupnya tidak bermakna, tetapi bisa juga tidak ada berpengaruh
pada individu yang mengalami ketidakberdayaan bersangkutan, artinya tetap
bennakna dalam kondisi tidak berdaya. Menurut istilah Frankl (dalam, Koeswara
1992), mampu berpenlaku "heroik". Oleh karena itu, respon setiap orang
berbeda-beda terhadap kondisi menekan yang tidak dapat dikendalikan merupakan sumber
ketidakberdayaan daan stres.
Mahasiswa dalam penelitian ini sebagian besar adalah pendatang dari luar
Jogjakarta, sehingga dapat dapat dipastikan jauh dan orang tua. Pola kehidupan tidak
selalu tetap. Ketika mengadapi peroalan sulit yang tidak dapat dikendalikan hasilnya
sedangkan harus diselesaikan sendin tanpa bantuan orang tua atau keluarga, atau
karena jauh dan orang tua maka memiliki kebebasan yang tidak pernah dimiliki
sebelumnya. Dari situ kemampuannya menjadi kelihatan dalam menyelesaikan
masalah, daya tahan terhadap stres dan karakter aslinya dalam memanfaatkan
kebebasan tersebut.
Dengan demikian, akan kelihatan tipe manusia optimistik atau pesimistik,
dan juga akan menjadi lebih baik atau semakin brutal yang kaitannya dengan
pencanan makna hidup. Contoh masalah yang sering dihadapi mahasiswa antara
lain, nilai studi yang diperoleh tidak seperti yang diharapkan, keterlambatan dan
kekurangan keuangan, konflik antar teman yang tak bisa terelakkan dan lainnya.
Pentingnya masalah ini untuk di teliti, mengingat sebagian mahasiswa bila
dalam kondisi tidak berdaya senngkali mengalami shock, frustrasi dan perasaan
hampa dalam hidup, tak bermakna. Misalnya, ada mahasiswa dan Fakultas Psikologi
walaupun sudah mengulang beberapa kali, akhirnya putus asa ambil cuti kuliah.
Mahasiswa ini mengatakan bahwa dirinya termasuk kelompok mahasiswa yang "tertindas". Kasus ini betul-betul terjadi. Kemudian kasus lain, gagal dalam
mengemukakan pendapat pada teman walaupun sudah mengemukakan
argumen-argumen yang sebenamya, sehingga mahasiswa ini menilai dirinya sebagai
mahasiswa yang kurang pandai (citra diri yang negatif)- Mahasiswa ini
mencontohkan, kalau dirinya tidak pernah berbicara di depan kelas atau
mempresentasikan makalah (diskusi) walaupun hanya sekali dan Iain-lain.
Di sisi lain, pencarian makna hidup pada sebagian mahasiswa lebih
berorientasi pada hal-hal di luar diri yaitu pada respon penilaian Hngkungan sosial.
Hal ini merupakan salah satu tanda dari banyak tanda ketidakberdayaan mahasiswa
dalam upayanya menggali makna hidup yang bersumber dari dalam diri sendiri.
Kegagalan menemukan makna yang bersumber dari dalam, akibat kekurangtahuan
atau pesimisnya terhadap penghayatan nilai-nilai kebenaran dan keimanan.Pendek kata, munculnya peristiwa yang tidak dapat dikendalikan, kemudian
disikapi dengan gaya atribusi pesimistik, kemungkinan akan mengakibatkan
ketidakberdayaan dan ketidakbermaknaan yang menyebabkan hidupnya menderita
secara psikologis. Kondisi seperti ini dapat merambat ke fisik {psikisomatis),
sehingga penting untuk dilakukan deteksi dan pencegahan sedini mungkin.Salah satu upaya mencari strategi pencegahan adalah dengan menyikapi
peristiwa yang tak dapat dikendalikan dengan bagaimana bersikap dan bertindak
secara benar dengan mengembangkan gaya atribusi optimistik, sebab dengan cara ini akan berpengaruh positif terhadap kesehatan baik fisik maupun mental bagi individu yang bersangkutan.B. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah "mencari kejelasan mengenai hubungan antara
ketidakberdayaan yang dipelajari yang ditunjukkan melalui sikap atribusi optimistik
dan pesimistik dengan hidup bermakna. Apakah ketidakberdayaan yang dipelajari
yang dialami seseorang ada hubungannya dengan makna hidup? Dalam mencari
jawaban tersebut maka perlu diadakan penelitian ini.
C. MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberi sumbangan dalam ilmu
psikologi. Hal ini didasarkan pada hubungannya dengan teori ketidakberdayaan
dalam psikologi yang sedang menjadi isu menarik untuk di kaji. Daya tarik kajian
penelitian ini terletak pada gaya atribusi optimistik dan pesimistik terhadap
pengaruh individu yang melakukannya, karena sikap optimistik sangat penting untuk
di kembangkan, maka perlu untuk dilakukan pembuktian melalui penelitian.
Hasil penelitian diharapkan bisa menjadi salah satu telaah yang bisa
menjelaskan bahwa atribusi optimistik membawa individu ke dalam kondisi hidup
yang penuh makna dan pada gilirannya membawa ke gerbang pintu hidup bahagia.
Sebaliknya, atribusi pesimistik membawa hidup tak bermakna dan membawa ke
gerbang pendentaan. Oleh karena itu, untuk memperoleh kehidupan yang bennakna
dan bahagia diantara gerbang yang harus di buka adalah selalu mengembangkan
D. KEASLIAN PENELITIAN
Beberapa topik penelitian skripsi sebelumnya yang mendasarkan teori
Seligman," ketidakberdayaan yang dipelajari" sepanjang penulis ketahui baru ada
n
tiga yaitu; Pangest, (1992) dengan judul penelitian^™, dalam hubungannyT^
dengan kognm negatif dan ketidakberdayaan yang dipelajan'- Kedua, Widati
(1995) dengan judui/^ngaruh ketidakberdayaan yang dipelajan terhadap state
anxiety dan kemamptxdn memecahkan masalah dan kesulilan tugas", dan ketiga,
Wahyudani (1995) dengan}udu\(yXgaruh kebisingan dengan ketidakberdayaan".
Pada vanabel
hidup bermakna bila dihubungkan dengan vanabel
ketidakberdayaan maka hanya bisa diungkap dengan metode skala, karena bila
mengunakan metode ekspenmen pasti menjadi rancu. Oleh karena itu, keaslian
dalam penelitian ini terletak antara lain pada metode pengumpulan data yang '
disesuaikan dengan kebutuhan yaitu mengunakan skala psikologi yang di susun
berdasarkan pada peristiwa yang pernah atau mendekati pernah dialami subjek,
namun bila tidak maka didasarkan hipotertik. Selam perbedaan dalam pengumpulan
data, perbedaan lain terletak pada vanabel yang mengikuti yaitu hidup bermakna.
Kemudian, vanabel kebermaknaan hidup pada penelitian skripsi yang pernah
dilakukan yang penulis ketahui adalah yang dialakukan oleh Pihasmwati (1998)
dengan judul "hubungan antara penghayatan Al -Quran terhadap kebermaknaan
hidup". Muhamad Soleh (2000) dengan judul "perbedaan kebermaknaan hidup
antara mahasiswa reguler dan mahasiswa unggula UII". Susilowati (2000) dengan
judul "hubungan antara motivasi berprestasi ditinjau dan konsep din dan
kebermaknaan hidup".A. HIDUP BERMAKNA
A.l. Pengertian Makna Hidup Dan Hidup Bermakna
Kebermaknaan hidup dan hidup bermakna nampaknya tidak ada perbedaan. Sebenamya memiliki perbedaan arti, walaupun dalam praktek pendefmisiannya disamakan. Frankl (dalam Koeswara, 1992) mendefinisikan makna sebagai sesuatu yang bersifat objektif yang ada di seberang kesadaran manusia dan mutlak. Crumbaugh dan Maholick (1967), mengatakan makna hidup pengertiannya sama dengan tujuan hidup {the purpose in life) artinya kepentingan keberadaan hidup menurut sudut pandang individu yang mengalaminya, sedang Bastaman (1995) menyimpulkan dari pengertian di atas bahwa makna hidup adalah hal-hal yang oleh seseorang dipandang penting, dirasakan berharga dan diyakini sebagai sesuatu yang benar serta dapat dijadikan tujuan hidupnya.
Letak perbedaan pengertian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
kebermaknaan hidup hanya terbatas dalam perasaan atau kondisi psikis muncul arti diri, sedangkan dalam hidup bermakna meliputi perasaan dan sampai pada perilaku
nyata. Pengertian hidup bennakna yaitu adanya perasaan puas yang dirasakan
individu dan memiliki arti hidup setelah mengalami, menghayati dan mencapai tujuan-tujuan hidup yang sudah ditetapkan berdasarkan kenyakinannya sendin
maupun tujuan yang belum ditetapkan sebelumnya, namun secara tidak disadari telah mampu memberikan makna tersendiri.
Penetapan tujuan tersebut karena dipandang sebagai hal yang penting,
dirasakan berharga dan diyakini sebagai sesuatu yang benar. Hidup bermakna ini bersifat universal, karena kondisi ini sudah mencapai eksistensi nilai kemanusian
yang ada dalam dirinya. Hal ini disebabkan, tujuan-tujuan yang sudah ditetapkan diyakininya akan mampu memenuhi harga diri sebagai manusia. Makna dalam
pengertian ini bersifat subjektif
Manusia adalah makhluk yang unik dan keunikannya ini tidak dimiliki oleh mahluk lain. Salah satu keumkan manusia adalah sebagaimana yang dikatakan oleh filsuf besar Dewey (dalam Carnegie, 1990), "Hasrat dan dorongan manusia yang paling besar adalah keinginan manusia untuk dianggap penting", karena ini soal asasi. Sebuah kasus yang dialami oleh seorang psikolog terkenal Dale Carnegie. Ketika masih kanak-kanak ayahnya memelihara sapi dan babi. Ketika mengikuti kontes (lomba) hewan terbaik ayahnya memenangkan lomba sebagai juara pertama. Ayah Carnegie telah memenangkan berpuluh-puluh hewan ternaknya, kemudian piagam penghargaan yang diperolehnya di pasang sebagai pigura. Carnegie dan ayahnya merasa sangat bangga atas kemenangan hewan-hewan itu. Namun, yang menarik untuk di kaji, justru sapi-sapi dan babi-babi itu tidak menghiraukan sama sekali atas kemenangan tersebut. Mengapa malah Carnegie dan ayahnya yang menjadi bangga, bukan sapi-sapi dan babi-babi itu? Menurut Carnegie sendiri,
semata-mata karena hewan itu memberi "perasaan penting" atau makna.
Frankl (dalam Koeswara,1992) mengatakan semua binatang tidak akan pernah bisa membayangkan dan mempertanyakan makna keberadaannya. Pendek
kata, selain manusia tidak ada makhluk yang peduli untuk mempersoalkan makna
Makna akan muncul dari unsur subjektif, sedangkan subjektifitas ini berasal dari fakta bahwa makna yang akan dan perlu di capai oleh individu adalah makna
yang speifik dari hidup pribadinya dalam situasi tertentu. Setiap individu adalah
unik, termasuk kehidupannya. Kehidupan dan perspektif seseorang tidak bisa
dipertukarkan dengan kehidupan orang lain, dari masing-masing perpektif itulah
setiap individu melihat dunia akan nilai-nilai (dalam Koeswara, 1992). Lebih lanjut
Frankl mengingatkan, makna itu melampaui intelektualitas manusia. Oleh karena
itu, 1a tidak bisa dicapai hanya dengan proses akal atau usaha intelektual. Untuk
mencapai makna ini, individu harus menunjukkan tindakan komitmen yang muncul
dari kedalaman dan pusat kepribadiannya, sebab usaha itu berakar pada keberadaan
totalnya. Dengan tindakan komitmen itu, individu menjawab tantangan yang muncul
di dalam hidupnya. Ini tepatnya dilakukan oleh individu ketika ia merealisasikan
nilai-nilai kreatif yang dalam wujud konkritnya muncul berupa aktivitas kerja.
Makna bisa
bersifat
subjektif
dan objektif,
maka makna hidup
bisa bersifat personal, temporer dan unik, artinya apa yang "dianggap penting dapat
berubah dari waktu ke waktu berikutnya, sebab dalam waktu tertentu bermakna bagi
seseorang belum tentu bermakna pula bagi orang lain dan di waktu berikutnya. Ciri
lain makna bersifat objektif, konkrit dan spesifik, artinya makna hidup benar-benar
dapat ditemukan dalam pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari serta tak
selalu dapat dikaitkan dengan hal-hal abstrak, filosofis dan ideal is.
Ketika masih duduk di sekolah menengah, Frankl "kecil" pernah memprotes
guru fisikanya ketika menerangkan peajaran" hidup manusia tak lam hanyalah suatu
proses pembakaran" Kemudian ia balik bertanya, kalau begitu apa artinya manusia
Menurut konsep humanisme manusia adalah makhluk yang "bebas", namun
Frankl mengatakan kebebasan manusia sebagai makhluk yang terbatas, berada
dalam kebebasan yang terbatas. Manusia tidak akan bebas dari kondisi biologis,
psikologis dan sosiologis, akan tetapi manusia berkebebasan untuk mengambil sikap
terhadap kondisi-kondisi tersebut. Manusia bebas untuk tampil di atas
detenmnan-determinan somatik dan psikis dan keberadaannya, sehingga manusia bisa
memasuki dimensi baru yang disebut "nootic" yaitu dimensi "spiritual". Suatu
dimensi tempat kebebasan manusia yang di letakkan dan dialami. Dan situ manusia
sanggup mengambil sikap bukan saja terhadap dunia, tetapi juga terhadap dirinya
sendin, karena itu pula manusia menjadi sanggup berefleksi dan bahkan menolak
dirinya sendin kemudian ia bisa menjadi hakim dan sekaligus menghakimi
perbuatannya sendin (dalam Koeswara, 1992).
Pendek kata, fenomena khas manusia yang berkaitan satu sama lam adalah
kesadaran din dan hat, nuram. Ini tidak bisa dipahami, sebelum memahami terlebih
dahulu bahwa manusia adalah mahkluk yang berkesanggupan, mampu melakukan
pemisahan din {self detachment) yaitu mengambil jarak terhadap din sendiri,
memnggalkan dimensi biologis dan psikologis, kemudian memasuki dimensi
spiritual (noologis). Dimensi noologis yang khas manusia in, tidak terdapat dan
tidak akan terjangkau oleh mahkluk yang lain.
Berdasarkan inilah sapi-sapi dan babi-babi tidak menghiraukan sama sekali
atas kemenangan itu, namun malah Carnegie dan ayahnya yang menjadi bangga,
merasa penting dan bermakna atas kemenangan hewan-hewan tersebut. Efek dan
kemampuan manusia untuk membuat penilaian terhadap din sendir, punya malu,
jiwa manusia ketika belum banyak terpengaruh masih menunjukkan sifat
keasliannya. Ini terlihat dari protes Frankl tersebut. Setelah terpengaruh oleh pemikiran orang lain termasuk yang ateis,' Frankl dalam konsep logoterapi menjadi kebelinger, sebab penolakan "spiritualitas" yang tidak ada hubungan dengan agama.
Kesalahan pertama yang dilakukan oleh Frankl adalah pendefinisiannya
terhadap makna. Frankl mendefinisikan makna sebagai sesuatu yang objektif yang berada di seberang keberadaan manusia. Nataatmadja (1982) menolak objektivitas sebagai sesuatu yang dialami manusia sebagai subjek. Kemudian diajukan
pertanyaan; "bisakah dengan ilmu objektif mempelajari manusia (dalam hal ini
makna hidup) sebagai subjek?" Sebab keberadaan spiritual (subjektif) hanya bisa mengenali keberadaan yang bersifat objektif, tetapi bila sebaliknya mustahil bisa terjadi. Oleh karena itu, bila Frankl mengunakan pemahaman humanisme-eksistensial yang sekuler dan ateis, maka Naisbitt dan Aburdene (dalam Nashir, 1997) menolak pemahaman tersebut (lihat penjelaskan di atas). Demikian juga Nataatmadja mempertegas bahwa sains sama sekali tidak memperjelas makna pengalaman-pengalaman manusiawi yang justru merupakan dasar dari eksistensi manusia di alam ini. Namun yang bisa memberi makna hidup hanyalah dengan menghadap "ke Hadirat Ilahi". Jadi yang bisa memberi makna bersifat "subjektif.
Pernyataan Nataatmadja ternyata sejalan dengan bukti yang ditemukan oleh Persinger dan Ramachandran (dalam Zohar dan Marshall, 2001), berkaitan dengan pengalaman religius di otak bagian lobus temporal yang disebut "Titik Tuhan". Michael Persinger, neuro psikolog asal Kanada, telah mengalami kehadiran Tuhan untuk pertama kalinya. Keunikan ini terletak karena Persinger bukanlah seorang religius. Ketika mengalami itu, sedang ada di laboratorium Universitas Laurentian.
Ramachandran sebagai direktur Center for Brain dan Cognition di Universitas California, telah meneliti pasien-pasien yang menderita epilepsi. Dikatakan berdasar pengalamannya "Ada cahaya Ilahiyah yang menyinari segala sesuatu", kemudian, "ada kebenaran tertinggi yang berada di luar jangkauan pikiran biasa yang bersembunyi di tengah riuh-rendah kehidupan untuk menangkap keindahan dan keagungan-Nya. "Tiba-tiba semuanya menjadi terang benderang sepeti kristal. Di sisi lain, ada pasien yang melaporkan "telah mengalami keterpesonaan, sehingga yang lain seperti sirna. Dalam keterpesonan itu yang ada hanyalah "kecemerlangan, persentuhan dengan Ilahi, tidak ada kategori, tiada batas,
hanya Kesatuan dengan Sang Pencipta.
Seorang psikolog William James, melihat kaum materialis "berfikir sederhana", karena diangapnya telah gagal membedakan dua pertanyaan mendasar
yaitu apakah sifat dan asal-usul biologis dari pengalaman spiritual itu? Apa
maknanya? James percaya bahwa otak merupakan pemain kunci dalam sebagian besar pengalaman psikologis (Zohar dan Marshall, 2001). Pernyataan James ini ternyata sejalan dengan pendapat Khan (2000). Dikatakan bahwa seseorang dapat menemukan Ke-Esaan Tuhan yang ada di balik semua nama dan bentuk, kemudian di situ manusia akan Bersatu dengan Tuhan.
Lebih lanjut dikatakan, pengalaman individu yaitu pikiran, perasaan, pengetahuan individu, pengalaman suku-suku atau berbangsa-bangsa, tidak hanya
merujuk pada individu atau kelompok semua berpulang kembali pada kedalamannya
dimana manusia berasimilasi dengan pikiran ketuhannan. Hanya satu sumber semua
pikiran terhubung. .Tidak satu objek atau pikiran pun yang dapat eksis tanpa
Tempat pertemuan itu adalah pikiran Ke-Tuhannan. Jadi, konsep Frankl mengenai
"spiritual", namun tidak ada hubungannya dengan agama adalah konsep yang salah. Lebih lanjut Frankl mengatakan, berkaitan status objektifnya itulah makna memiliki sifat menuntut (menantang) manusia untuk mencapainya, tetapi bila status objektif itu tidak dimiliki oleh makna dan makna itu semata-mata ungkapan keberadaan, tidak lain merupakan rancangan subjektif atau hanya sekedar proyeksi
dan naluri-naluri, maka makna tidak akan bersifat menuntut dan tidak menjadikan
tantangan nyata bagi manusia untuk mencapainya. Ini jelas konsep Frankl terbalik
dari makna hidup yang sesungguhnya. Dari sini menjadi jelas tujuan pemaparan latar belakang munculnya humanisme sekuler sebagai penyebab pemahaman yang salah dari kosep yang benar yaitu mengenai "makna hidup".
Orang bijak mengatakan bahwa "berfikir yang benar merupakan pengantar menuju pengetahuan yang benar, sedangkan pengetahuan yang benar merupakan
pengantar bagi kenyakinan, sehingga akan tercapailah kesempurnaan". Oleh karena
itu, letak kasalahan Frankl yang menggantungkan konsep pada aliran filsatat humanisme sekuler dapat kita koreksi melalui pemahaman filsafat mengenai objektivitas. Polanyi (1996) menjelaskan bahwa Francis Bacon memandang objektivitas sebagai hasil dari observasi empiris, sedangkan Polanyi sendiri bersama filsuf-filsuf dewasa ini menyakini bahwa "obvektivitas sebagai hasil dari pemenuhan subjektivitas, karena objektivitas adalah hasil dari komitmen personal atas visi terhadap realitas". Oleh karena itu, hemat penulis, frankl melihat objektivitas sebagaimana Bacon, dan penulis sependapa objektivitas menurut mendasarkan Polanyi, dan para filsuf dewasa ini, antara lain Nataatmadja.
A.2. Sindroma Ketidakbermaknaan
Frankl (dalam Koeswara, 1992) mengatakan bahwa sindroma ketidakbermaknaan mulai disadari sebagai masalah yang menonjol dalam masyarakat modern. Sindroma ini merupakan representasi dari persoalan makna hidup. Logoterapi yang mempunyai akar "spiritual" memandang sindroma yang
mengejala ini muncul seiring dengan industrialisasi.
Menurut Frankl (dalam Koeswara, 1992), sindroma ini ditandai dengan dua tahap yaitu yang disebut frustrasi eksistensial dan neurosis noogenik:
2.a. Frustrasi eksistensial (existentialfrustration) merupakan satu fenomena uraum yang berkaitan dengan keterhambatan atau kegagalam individu dalam memenuhi keingman akan makna. Frustrasi eksistensial ini disebut juga dengan kehampaan eksistensial (existential vacuum) yang dipandang sebagai sindroma
ketidakbennaknaan. Manusia mencari makna hidup bukan sesuatu yang
patologis, tapi itu tanda yang pasti dari adanya hasrat untuk menjadi manusia yang benar-benar manusia. Frustrasi eksistensial ini bukanlah suatu penyakit dalam arti klinis, tetapi sebagai penderitaan batin yang sudah menjadi fenomena umum. Hemat penulis, muncul melalui tiga sebab:
2.a.l. Adanya kecongkakkan yang mengandalkan rasio dan keunggulan diri, maka manusia modem menjadi "tidak memahami makna dan konsep hidup", yang sesungguhnya sebagai sumber untuk menperoleh "gelar
manusia sejati" di tengah kemajuan yang luar biasa. Manusia modrn
tidak tahu, untuk apa hidup dan akan ke mana akhir dari hidup ini? Kemudian, dalam istilah orang Jawa tidak tahu "Sangkan Paraning
2.a.2. Perhatian manusia yang terlalu tinggi terhadap materi, sedangkan
komponen manusia manusia berasal dari nonmatri, maka selaras dengan
ungkapan seorang filsuf Alexis Carrel dalam buku "Manusia Mahkluk
yang Tak Dikenal". Carrel menyatakan bahwa "derajat keterpisahan
manusia dari dirinya, berbanding terbalik dengan perhatiannya yang
demikian tinggi terhadap dunia yang ada di luar dirinya" (dalam
Syari'ati,1996). Manusia "modem" yang mendewa-dewakan materi,
popularitas, kekuasaan telah mengalami sindroma ketidakbermaknaan.
2.a.3. Kehilangan keseimbangan dan ketidakpahaman atas makna hidup.
Sebagaimana yang diungkap filsuf John Dewey bahwa "Manusia modem
menjadi lebih dungu daripada manusia primitif dalam hal menaklukkan
dirinya". Mereka bingung dalam hiruk-pikuk kehidupan spetakuler yang
dibangunya, karena tidak mampu untuk menjawab pertanyaan, "fa aina
la-habuun?". Mau apa dan kemana sesungguhnya Anda Hidup?"
Manusia modem menjadi dungu, sebagaimana sindiran Allah dalam
Al-Qur'an, "wa maa yasy'uruun", mereka sungguh-sunggu tak menyadari
(Al-Baqarah: 9) dan juga tidak memahaminya (Al-Baqarah: 13),
sehingga manusia modem yang maju rasionya menjadi
terombang-ambing oleh fatamorgana dunia dan hidupnya menjadi hampa tidak
bermakna (Nashir, 1997). Keluhan mi, menurut Bastaman (1995) dialami
orang walaupun memiliki taraf sosial-ekonomi dan edukasi yang baik,
tak ada peristiwa traumatik sebagai pencetusnya. Oleh karena itu,
frustrasi eksistensial tak tampak jelas, sebab hanya bisa diketahui melalui
2.a.3.a. Bersikap masa bodoh terhadap hidup dan neurosis kelektif
Ketika perang dunia II berlangsung, orang hidup dari satu hari ke
hari berikutnya tanpa kepastian, apakah masih bisa hidup atau
tidak. Sesudah perang berlalu sikap masa bodoh masih terus
melekat pada kebanyakan orang dan diperkuat dengan perasaan
takut akan pecahnya perang nuklir, sebab itulah banyak orang
mencampakkan ide-ide masa depan. Masa tersebut di analogikan
Frankl dengan masa sekarang "hidup secara sementara
(provisional) dari satu hari ke hari berikutnya karena tidak tahu
apa yang hilang dari dalam dirinya". Mereka bersikap masa
bodoh, permisif terhadap hidup dan merasa tidak perlu
merencanakan masa depan karena diyakininya akan sia-sia.
Menurut Frankl, gaya hidup masyarakat sekarang "mirip
dengan" sebagian besar orang yang tinggal didalam
kamp-konsenterasi.
2.a.3.b. Bersikap fatalistik terhadap hidup. Orang fatalistik melihat masa
depan sebagai sesuatu yang mustahil dan meggangap
perencanaan masa depan sebagai sesuatu yang sia-sia saja.
Mereka cenderung mengganggap diri sebagai barang mainan
dan faktor eksternal dan objek pengkondisian internal, sehingga
mereka membiarkan diri sendiri sebagai korban dari berbagai
mekamsme psikis dan produk hngkungan ekonomis (dalam
Koeswara, 1992). Hal tersebut terjadi, karena orang-orang yang
2.a.3.c. Pemikiran konformis dan kolektivis. Menurut Frankl, ciri ini muncul ketika manusia sekarang dalam kehidupan
sehari-harmya melakukan kegiatan meleburkan diri dalam masa.
Dengan istilah lain, Bastaman (1995) mengatakan bahwa individu yang berkepribadian konformis ditandai dengan perbuatan-perbuatan yang semata-mata karena orang lain
melakukannya. Mereka mudah sekali terbawa arus situasi dan
pantang ketinggalan mode". Hal ini tampak sekali pola gaya penampilan anak-anak muda yang melakukan pengecatan rambut dari warna merah, kuning, hijau seperti pelangi. Perlu di ingat menurut Frankl bahwa massa bisa menghancurkan kepribadian, dan menekan kebebasan individu yang pada gilirannya membuat individu mengingkari keribadiannya sendiri, sehingga komunitas hidup memeriukan konfonnitas agar bennakna dan komunitas membutuhkan keberadaaan individu
agar individu memiliki makna pula.
2.a.3.d. Fanatisme. Orang ini beranggapan bahwa tidak ada orang lain yang bisa mengatasi dirinya atau tidak ada pendapat yang benar, kecuali pendapat yang mereka yakini dari opini kelompoknya. Kasus ini terlihat pula pada sebagian masyarakat Indonesi pada
masa pemerintahan Wahid seperti adanya pasukan berani mati membela Gus Dur dan pasukan tandingan. Menurut Frankl, sepanjang manusia sanggup mengatasi konflik hati nurani, maka akan kebal terhadap fanatisme dan neurosis kolektif
2.b. Neurosis
Noogenik (noogenic neurosis). Ini merupakan suatu manifestasi
khusus dari frustrasi eksistensial yang ditandai oleh simtomatologi neurotic
klmis tertentu yang tampak. Sindroma berjenis ini oleh Frankl di kategorikan
sebagai neurosis yang berakar pada konflik
yang muncul dari dimensi
"spiritual". Ini berbeda dengan somatogenic
atau psycogenic. Bastaman
(1995) mengatakan bahwa hidup tak bermakna bukanlah suatu penyakit,
melainkan bentuk gangguan:2.b.l. Neurosis noogenik. Sindrom ini muncul seiring dengan kehidupan tidak
bermakna. Gejalanya serba bosan, hampa, kehilangan arti hidup
2.b.2. Sikap totaliter yaitu melakukan sesuatu karena orang lain mengharapkan
untuk melakukanya, sedang yang bersangkutan bersedia melakukannya
2.b.3. Gaya hidup konformi. Penampilan atau gaya hidupnya semata-mata
karena orang lain melakukan, dalam arti pantang ketinggalan mode.
Kasus sindroma ini dialami oleh seorang pemusik terkenal bernama John Mc
Cullum tahun 1984, lewat salah satu lagunya; "Kemana mesti sembunyi/ Bunuh
dirilahjalan keluarnya Tak tahukah kau artinya^ Serta tak dapatkah kau tolong
akw Tembak dan hancurkan benakku, Ohya....\ (Wa Islama, Mei 1994). Sindroma
ini juga dialami oleh Kurt Cobain, seorang gitaris dan vokalis utama grup musik
keras yang sangat terkenal sampai sekarang, yaitu Nirvana. Cobain mati
mengenaskan akibat bunuh diri dengan pistol ditangannya. Sebelum menembak
kepala sendiri berkata (sebagai katarsis), "/ hate myself and want to die"! (Aku
benci dinku sendiri dan aku ingin mati). Kedua kasus terebut, merupakan contoh
orang yang memiliki popularitas yang tentu taraf ekonomi dan edukasi yang baik
pula, telah menjadi korban dari sindroma ketidakbermaknaan hidup.
B.3. Sindroma Ketidakbermaknaan dan konsep Humanisme Sekuler.
Logoterapi yang ditemukan Frankl merupakan corak pandangan psikologi
yang sering dikelompokkan dalam psikologi humanistik. Konsep terapi ini
menemukan adanya dimensi lain di samping dimensi raga (somatic) dan dimensi
kejiwaan (Psikis) yaitu dimensi neotic yang sering disebut dimensi "spiritual".
Menurut Frankl sendiri (dalam Koeswara, 1992) pengertian spiritual di sini sama
sekali tidak mengandung konotasi agamis. Namun dimensi ini diyakini sebagai inti
kemanusiaan dan merupakan sumber makna hidup serta potensi dari berbagai
kemampuan dan sifat luhur manusia yang luar biasa.
Penolakan arti spiritual oleh Frankl tampaknya sama dengan alasan
penolakan Zohar dan Marshall (2001), yaitu sejak mereka mencari akar dalam
agama kakek neneknya dan juga agama-agama lain, namun sepanjang pencariannya
tersebut tidak pernah membenkan kepuasan. Berdasar pengalamannya ini,
tampaknya yang menjadi alasan mereka menolak konsep spiritual berkaitan dengan
agama, karena kegagalannya dalam memperoleh kepuasan dari agama, bukan karena
spiritual betul-betul tidak ada hubungannya dengan agama.
Sindroma ketidakbennaknaan dalam konsep logoterapi Frankl yang memiliki
akar spiritual tersebut, dibangun berdasarkan filosofis humanisme sekuler
eksistensial
yang
berwawasan
sekuler.
Knsis
makna
atau
sindroma
ketidakbermaknaan, sesungguhnya efek samping terkuat dari anjuran pemikir
humanisme modern.
Naisbitt dan Aburdene (dalam Nashir, 1997) mengatakan bahwa; Pertama,
ilmu pengetahuan tidak mengatakan kepada kita tentang apa arti dan hakekat hidup.
Ini bukan berarti mengesampingkan peran ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK)
dalam kehidupan modem, tapi justru mengakui kemajuan peradaban modem karena
IPTEK. Kedua, menyakinkan tentang keterbatasan IPTEK untuk membuka misteri
kehidupan manusia yang paling hakiki yaitu mengenai keberadaan manusia dalam
jagad raya ini. Hakekat hidup yang dimaksudkan berkisar pada asal mula kehidupan,
untuk apa manusia hidup dan ke mana akhir dari hidup ini. IPTEK tidak mampu
menjelaskan "arti hidup" yang merupakan dimensi dari hakekat dari kehidupan
manusia. Dipilihnya agama sebagai mstitusi untuk membuka rahasia terdalammanusia, karena agama yang dimaksud tidak terbatas pada lembaga keagamaannya,
namun lebih mengarah pada dimensi spiritualitasnya.
Nashir (1997) mengatakan sekularisasi merupakan proses pada sektor-sektor
kehidupan masyarakat dan kebudayaan dipisahkan dari dominasi institusi dan
simbol-simbol religius. Dengan semangat humanisme sekuler dan rasionalitasmanusia menjadi angkuh, karena mengesampingkan bahkan mengingkari hal-hal
yang religius dan gaib. Dikatakan oleh Syan'ati (1996) bahwa pada abad 18, 19 dan
sampai sekarang bahwa para pemikir sekuler mengatakan "singkirkan Tuhan" dari
kaidah moral dan gantikan dengan hati nuram, sebab manusia makhluk yang
mempunyai kata hati yang bersifat bawaan. Kata hati mi menurutnya tumbuh dari
jati diri manusia.
Sekarang menjadi jelas bahwa sumber ketidakbermaknaan hidup muncul
sebagai wujud dari pemberontakan jiwa (baca; fitrah), terhadap penolakan
keberadaan Tuhan. Hal ini menjadi sangat ironis bila keinginan "menyingkirkan
Tuhan" dari kaidah moral dengan mengganti dengan kata hati, tetapi yang terjadi
malah "pemberontakan hati nuram" (baca; fitrah) terhadap keberadaan Tuhan
Berdasar uraian di atas, bukan berarti penulis menolak konsep logoterapi Frankl, namun konsep tersebut tampaknya kurang lengkap karena dalam
mendefinisikan mengenai "spiritual" tidak mengakui dimensi agamis. Tampaknya konsep logoterapi ini disebabkan Frankl lebih terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran para filsuf yang berwawasan humanisme sekuler dan ateis. Perbedaan ini terlihat
jauh dengan kisah protesnya Frankl terhadap guru fisika ketika masih kanak-kanak.
Maksud penulis, bukan berarti menolak atau tidak setuju dengan konsep "makna
hidup", namun konsep Frankl belum bisadikatakan tepat sasaran.
Ideologi modern yang berusaha mengganti peran agama samawi (wahyu)
terbukti tidak mampu memberikan jawabannya, lebih-lebih untuk menjawab
kebutuhan manusia yang mendasar mengenai makna. . Pandangan humanisme yang
menjadi penyebab manusia modern kehidupanya tidak bermakna, menurut Syari'ati
(1996) ada dua faktor. Pertama, ditinjau dari sistem kemasyarakatan yaitu berupa
pengabaian din manusia sebagai makhluk yang mempunyai jati diri yang berasal
dari luar materi. Kedua, Sistem sosial. Kapitalisme dan komunisme muncul di awal
berkembangnya industrialisasi. Keduanya memandang manusia sebagai homo
economicus atau manusia ekonomi. Sistem ekonomi adalah landasan kehidupan
masyarakat kapitalisme industri Barat.
A.4. Karakteristik Hidup Bermakna
Karakteristik individu yang memiliki hidup bennakna
a). Schultz (dalam Pihasniwati, 1998) ada sebelas unsur individu yang memiliki
karakteristik hidup bermakna yaitu:
4.a.2. Mengenali diri sendiri dan menyadari bahwa dirinya sebagai makhluk Tuhan,
kemudian dapat merasakan kedudukannya sebagai manusia dan menolak perbuatan-perbuatan yang merendahkan derajat
4.a.3. Memiliki kendali dan kontrol dalam hidup
4.a.4. Adanya kebebasan memilih, bertindak dan bersikap sesuai keyakinan diri
4.a.5. Memiliki kemampuan memberi dan menerima cinta4.a.6. Mampu melakukan Xransendensi diri (mengambil jarak dengan diri sendiri)
4.a.7. Berorientasi pada masa depan dan bersikap optimis
4.a.8. Tidak ditentukan oleh kekuatan-kekuatan dari luar diri
4.a.9. Memiliki alasan untuk terus menjalani hidup
4.a. 10. Merealisasikan nilai-nilai kreatif, penghayatan dan bersikap
4,a.ll Menggunakan waktu sebijaksana mungkin, agar kerja dapat dikembangkan
secara maksimal.
b). Bastaman (1995), ada empat unsur yang mempengaruhi yaitu:
4.b. 1. Kehidupan sehari-hari yang penuh gairah dan optimis
4.b.2. Memiliki tujuan hidup yang jelas, baik jangka pendek maupun jangka panjang
4.b.3. Mampu menyesuaikan diri secara fleksibel, artinya menyadari adanya
pembatasan-pembatasan Hngkungan, tetapi tetap bisa menetukan sendiri yang
terbaik untuk dirinya serta mampu berperilaku luwes
4.b.4. Mampu memberi dan menerima cinta
Mengingat karakteristik hidup bermakna yang menunjukkan adanya atribut
psikologis yang dikemukakan kedua tokoh mi masih tumpang-tindih antara
komponen teoritik dengan indikator perilaku, maka penulis melakukan modifikasi
teori sedemikian rupa. Kemudian, antara komponen dengan indikatornya dilakukan
pemisahan, sehingga diharapkan lebih mampu menyentuh individu yang mengalami
hidup bermakna dan pada skala-skala sebelumnya. Berdasarkan alasan inilah semua
karakteristik yang dikemukakan kedua tokoh ini dicantumkan semua. Bila tidak
di pakai dalam komponen maka dimasukkan dalam indikator perilaku.
c). Berdasarkan beberapa literatur yang penulis rangkum pada uraian-uraian di atas,
bahwa karakteristik orang mengalami kehidupan bermakna memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
4.c.l. Bebas dari sifat dengki (hasad). Alasan orang dengki mengalami hidup
tak bermakna, karena menurut Musavi (1993) orang-orang dengki
terbakar dalam kobaran rasa gelisah dan resah, sebagai akibat dari
perasaan sedih dan sakit hati secara terns menerus. Filsuf besar Socrates
(dalam Musavi, 1993) mengatakan orang-orang yang dengki
menghabiskan hari-han dengan menghancurkan dinnya melalui perasaan
duka terhadap apa yang didapat orang lain, sedang dinnya tidak
memperolehnya. Merasa sedih dan menyesal karena mengmginkan
semua orang hidup dalam kesengsaraan dan pendentaan seraya berusaha
merampas kebahagiaan orang lain yang berhasil. Bedanya dengan
dengki, orang yang hidupnya bermakna merasakan jiwanya tenang dan
tentram, karena tidak ada in akibat orang lain berhasil.
4.C.2. Syukur. Syukur nikmat yang diperolehnya, baik dalam jumlah sedikit
lebih-lebih yang banyak. Nikmat yang diperoleh baik sedikit maupun
banyak bila disyukun mampu memberi makna hidup. Musavi (1993),
sepakat dengan Socrates bahwa kebahagiaan "ada di dalam jiwa dan
banyaknya harta, kekuasaan, popularitas. Oleh karena itu, hubungan antara hidup bennakna dengan sikap syukur terletak pada cara menemukan kebahagiaan yang ada di dalam jiwa dan kesadaran diri. Contoh, manusia diberi dua telinga dan mata. Bila tuli dan buta, tentu tidak bisa tahu keindahan alam dan kehidupan ini.
4.C.3. Qona'ah. Qona'ah mengandung lima hal, dua di antaranya adalah menerima dengan rela apa yang dimiliki dan meminta pada Tuhan tambahan yang pantas dengan berusaha (Hamka, 2000). Qonaah ini
berlawanan dengan sifat tamak (serakah), sebab dalam tamak orang tidak pernah merasakan kecukupan, walaupun bila di kuantitatifkan yang dimilikinya melebihi orang kebanyakan. Nabi Muhammad saw bersabda;
" Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya harta benda, tapi kekayaan
yang sebenamya ialah kaya hati" (HR. Bukhari dan Muslim).
Menurut Al Hilali (1997) orang yang qonaah hatinya selalu tenang dan jiwanya selalu tentram. Orang tamak miskin jiwanya, karena
ketidakpuasannya. Manusia diperbudak oleh keinginan-keinginan kosong. Hidupnya menjadi hampa sebab terobsesi oleh hal-hal seperti
materi yang lebih banyak, karena ketamakan. Disadari atau tidak, sudah
terbawa dalam gaya hidup sekuler, sebab mungkin memiliki banyak materi namun miskin jiwa. Kemiskinan jiwa inilah sebagai sumber
kehampaan, hidup tidak bermakna.
4.c.4. Tawadhu', yaitu mampu merendahkan hatinya dihadapan orang lain. Tawadhu' berlawanan sifat ujub, yaitu membanggakan diri. Al Hilali (1997) mengatakan orang yang tawadhu' senantiasa mengakui bahwa
apa yang dimiliki itu merupakan karunia Tuhan. Dengan demikian,
manusia tidak cepat-cepat untuk memutuskan bahwakenikmatan-kenikmatan yang diperolehnya berasal dari kemampuan, kekuatan, ilmu
yang dimiliki dan seterusnya. Mereka senantiasa merasa dirinya lemah
dan menggantungkan pada Allah swt, sebab mereka sadar bila nikmat itu
dilepas dari dirinya, maka dalam sekejap bisa binasa. Kaitannya dengan
hidup bennakna bahwa sifat ujub berhubungan dengan paham
humanisme sekuler karena dalam faham ini membanggakan kemampuan
din sebagai manusia dengan mengesampingkan peran Tuhan. Untuk
mengendalikan sifat ujub harus melalui perjuanga berat. Individu yang
berhasil mengendalikan, hidupnya akan menjadi bennakna karena telah
berhasil merepres "egois dirinya".A.5. Sumber Hidup Bermakna