• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Beberapa kelainan mempengaruhi sistem bilier dan mempengaruhi drainase empedu yang normal kedalam duodenum. Penyakit kandung empedu merupakan kelainan pada sistem bilier, kelainan ini mencakup karsinoma, infeksi serta batu pada kandung empedu. Cholecystitis adalah radang kandung empedu yang merupakan inflamasi akut dinding kandung empedu (Noer, 2007). Pada kelainan bilier tidak semua kejadian infeksi pada kandung empedu (cholecystitis) berhubungan dengan batu empedu (cholelithiasis) namun lebih dari 90% penderita kolesistitis akut menderita batu empedu.

Berdasarkan literatur barat, pasien batu empedu ternyata sangat banyak. Misalnya, dinegara Amerika Serikat, sekitar 12% penduduk dewasa atau sekitar 20 juta jiwa menderita batu empedu. Dari jumlah tersebut, pasien wanita lebih banyak dibadingkan pria.Setiap tahun, 1 juta pasien batu empedu baru ditemukan. Setiap tahun, 500.000 pasien batu empedu menjalani operasi pengangkatan batu empedu (kolesistektomilaparoskopi), dengan total biaya sekitar 4 triliun dollar (Suharjo, 2009).

Di Eropa dan Amerika utara, angka kejadian batu empedu 15%. Di Inggris, berdasarkan penelitian menggunakan ultrasonografi, dilaporkan ada 6,9-8% populasi dewasa yang menderita batu empedu. Hal ini berarti ada 4,1 juta pasien batu empedu. Jumlah pasien batu empedu di Indonesia belum diketahui karena belum ada studi tentang hal tersebut (Suharjo, 2009).

Kolesistektomi adalah tindakan pilihan untuk pasien dengan batu empedu multipel/besar karena berulangnya pembentukan batu secara simtomatologi akut atau mencegah berulangnya pembentukan batu. Pendekatan lain yaitu dengan kolesistektomi dini. Keadaan umum diperbaiki dan sepsis diatasi dengan pemberian antibiotik seperti yang dilakukan pada pengobatan konservatif, sambil memastikan diagnosis memperbaiki keadaan umum, dan mengatasi penyakit penyerta seperti pankreatitis. Setelah 24-48 jam, keadaan penderita umumnya lebih baik dan infeksi telah dapat diatasi. Tindakan bedah dini yang dapat dilakukan dalam 72 jam pertama perawatan ini memberikan

(2)

keuntungan karena mempersingkat masa rawat di rumah sakit sampai 5-7 hari, dan mempersingkat masa sakit sekitar 30 hari (Sjamsuhidajat, 2011).

B. RUMUSAN MASALAH

Bagaimanakah konsep penyakit cholecystitis dan asuhan keperawatan pada klien dengan cholecystitis?

C. TUJUAN 1. Tujuan umum

Mengidentifikasi konsepcholecystitis dan asuhan keperawatan yang dapat diterapkan pada kasus cholecystitis.

2. Tujuan khusus

a. Menjelaskan anatomi fisiologi kandung empedu b. Menjelaskan pengertian cholecystitis

c. Menjelaskan faktor risiko cholecystitis d. Menjelaskan etiologi cholecystitis e. Menjelaskan klasifikasi cholecystitis f. Menjelaskan patofisiologi cholecystitis g. Menjelaskan manifestasi klinik cholecystitis h. Menjelaskan pemeriksaan penunjang cholecystitis i. Menjelaskan penatalaksanaan cholecystitis

j. Menjelaskan komplikasi cholecystitis k. Menjelaskan prognosis cholecystitis

l. Menjelaskan Web Of Causation (WOC) cholecystitis

m. Menjelaskanpengkajian keperawatan pada kasus cholecystitis n. Menjelaskan diagnosa keperawatan pada kasus cholecystitis o. Menjelaskan intervensi pada kasus cholecystitis

D. MANFAAT

1. Mahasiswa memahami konsep dan proses asuhan keperawatan pada klien cholecystitis dengan sehingga menunjang pembelajaran mata kuliah.

2. Mahasiswa mengetahui proses asuhan keperawatancholecystitis yang benar sehingga dapat menjadi bekal dalam persiapan praktik di rumah sakit.

(3)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. ANATOMI FISIOLOGI KANDUNG EMPEDU

1. Anatomi

Kandung empedu berbentuk bulat lonjong seperti buah alpukat dengan panjang sekitar 4-6 cm dan berisi 30-60 ml empedu. Bagian fundus umumnya menonjol sedikit ke luar tepi hati, di bawah lengkung iga kanan, di tepi lateral m. Rektus abdominis. Sebagian besar korpus menempel dan tertanam di dalam jaringan hati. Kandung empedu tertutup seluruhnya oleh peritoneum viseral, tetapi infundibulum kandung empedu tidak terfiksasi ke permukaan hati oleh lapisan peritonium. Apabila kandung empedu mengalami distensi akibat bendungan oleh batu, bagian infundibulum menonjol seperti kantong yang disebut kantong hartmann (Sjamsuhidajat, 2011).

Duktus sistikus panjangnya 1-2 cm dengan diameter 2-3 mm. Dinding lumennya mengandung katup berbentuk spiral disebut katup spiral heister, yang memudahkan cairan empedu mengalir masuk ke dalam kandung empedu, tetapi menahan aliran keluarnya (Sjamsuhidajat, 2011).

Saluran empedu ekstrahepatik terletak di dalam ligamentum hepatoduodenale yang batas atasnya porta hepatis, sedangkan batas bawahnya distal papilla vater. Bagian hulu saluran empedu intrahepatik berpangkal dari saluran paling kecil yang disebut kanilikulus empedu yang meneruskan curahan sekresi empedu melalui duktus interlobaris ke duktus lobaris, dan selanjutnya ke duktus hepatikus di hillus (Sjamsuhidajat, 2011).

Panjang duktus hepatikus kanan dan kiri masing-masing antara 1-4 cm. Panjang duktus hepatikus komunis sangat bervariasi, bergantung pada letak muara duktus sistikus. Duktus koledokus berjalan di belakang duodenum menembus jaringan pankreas dan dinding duodenum membentuk papilla vater yang terletak di sebelah medial dinding duodenum. Ujung distalnya dikelilingi oleh otot sfingter Oddi, yang mengatur aliran empedu kedalam duodenum. Duktus pankreatikus

(4)

umumnya bermuara di tempat yang sama dengan duktus koledokus di dalam papilla vater, tetapi juga dapat terpisah. Sering ditemukan variasi anatomi kandung empedu, saluran empedu, dan pembuluh arteri yang memperdarahi kandung empedu dan hati. Variasi yang kadang ditemukan dalam bentuk luas ini, perlu diperhatikan para ahli bedah untuk menghindari komplikasi pembedahan, seperti perdarahan atau cedera pada duktus hepatikus atau duktus koledokus (Sjamsuhidajat, 2011).

Gambar 1. Anatomi Sistem Saluran Empedu di dalam dan di luar Hepar (Cahyono, 2009).

2. Fisiologi

Empedu diproduksi oleh sel hepatosit sebanyak 500-1500 mL perhari. Di luar waktu makan, empedu disimpan untuk sementara di dalam kandung empedu, dan disini mengalami pemekatan sekitar 50% (Sjamsuhidajat, 2011).

Pengaliran cairan empedu dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu sekresi empedu oleh hati, kontraksi kandung empedu, dan tahanan sfingter koledokus. Dalam keadaan puasa, empedu yang diproduksi akan dialih-alirkan ke dalam kandung empedu. Setelah makan, kandung empedu berkontraksi, sfingter relaksasi, dan empedu mengalir ke dalam duodenum. Aliran tersebut sewaktu-waktu seperti disemprotkan karena secara intermitten tekanan saluran empedu akan lebih tinggi daripada tahanan sfingter (Sjamsuhidajat, 2011).

(5)

Kolesistokinin (CCK) hormon sel APUD (amine precursor uptake and decarboxylation cells) dari selaput lendir usus halus, dikeluarkan atas rangsangan makanan berlemak atau produk lipolitik di dalam lumen usus. Hormon ini merangsang nervus vagus sehingga terjadi kontraksi kandung empedu. Dengan demikian, CCK berperan besar terhadap terjadinya kontraksi kandung empedu setelah makan (Sjamsuhidajat, 2011).

a. Fisiologi produksi empedu

Sebagai bahan sekresi, empedu mempunyai tiga fungsi utama. Yang pertama, garam empedu, fosfolipid dan kolesterol beragregasi di dalam empedu untuk membentuk micelles campuran. Dengan emulsifikasi, komple micelles ini memungkinkan absorpsi lemak dan vitamin yang larut dalam lemak (A,D, E, K) yang ada di dalam usus. Absorpsi mineral tertentu (kalsium, tembaga, besi) juga dipermudah. Kedua, empedu bertindak sebagai vehikel untuk ekskresi usus bagi banyak senyawa yang dihasilkan secara endogen dan eksogen (seperti bilirubin). Ketiga, sebagian dengan menetralisi asam lambung, empedu membantu mempertahankan lingkungan alkali yang tepat di dalam duodenum, yang dengan adanya garam empedu, memungkinkan aktivitas maksimum enzim pencernaan sesudah makan (Sabiston, 2012).

Normalnya hepatosit dan saluran empedu menghasilkan 500-1500 ml empedu tiap harinya. Produksi empedu merupakan proses kontinyu yang hanya sebagian menjadi sasaran regulasi saraf, hormon dan humoral. Masukan (input) vagus bekerja langsung pada sel saluran empedu untuk meningkatkan seksresi air dan elektrolit, sedangkan aktivitas simpatis splanknikus cenderung menghambat produksi empedusecara tidak langsung dengan menurunkan aliran darah ke hati. Hormon gastrointestinal kolesistokinin (CCK), sekretin dan gastrin memperkuat sekresi duktus dan aliran empedu dalam respon terhadap makanan. Garam empedu sendiri bertindak sebagai koleretik kuat selama masa sirkulasi enterohepatik yang dinaikkan (Sabiston, 2012).

(6)

Sekresi aktif garam empedu oleh hepatosit merupakan faktor utama yang meregulasi volume empedu yang disekresi. Air dan elektrolit mengikuti secara pasif sepanjang perbedaan osmolar untuk mempertahankan netralitas. Ekskresi lesitin dan kolesterol ke dalam kanalikuli untuk membentuk micelles campuran, sulit dipahami dan bisa digabung dengan sekresi garam empedu melintasi membrana kanalikulus. Sistem transpor aktif terpisah dan berbeda menimbulkan sekresi bilirubin dan anion organik lain. Sel duktulus meningkatkan sekresi empedu dengan memompakan natrium dan bikarbonat ke dalam lumen (Sabiston, 2012).

Empedu dieksresi secara kontinyu oleh hati kedalam saluran empedu. Selama puasa, kontraksi tonik sfingter oddi menyebabkan empedu refluks kedalam vesika biliaris, tempat dimana empedu disimpan dan dipekatkan. Disini garam empedu, pigmen empedu dan kolesterol dipekatkan sebanyak sepuluh kali lipat oleh absorpsi air dan elektrolt. Sekitar 50% kumpulan garam empedu dalam vesika biliaris selam puasa. Tunika mukosa vesika biliaris juga mensekresi mukus yang bisa melakukan fungsi perlindungan. Dengan makan, CCK dilepaskan oleh lemak dan dalam jumlah kecil oleh asam amino yang memasuki duodenum; CCK merangsang kontraksi vesika biliaris dan relaksasi sfingter oddi. Bila tekanan dalam duktus koledokus melebihi tahanan mekanisme sfingter (15 sampai 20 cm H2O), maka empedu memasuki lumen duodenum. Masukan (input) vagus memudahkan memudahkan tonus dan kontraksi vesika biliaris; setelah vagotomi, bila timbul stasis relatif dan merupakan predisposisi pembentukan batu empedu. Setelah kolesistektomi, aliran empedu ke dalam duodenum diregulasi hanya oleh sfingter (Sabiston, 2012).

b. Komposisi Empedu

Menurut Sabiston (2012), empedu merupakan larutan kompleks dalam air yang mengandung elektrolit, garam empedu terkonjugasi, fosfolipid (terutama lesitin), kolesterol, asam lemak,

(7)

musin, protein serta berbagai metabolit hati dan pigmen empedu. Kandungan elektrolit dan osmolaritas empedu mendekati plasma. 1) Metabolisme garam empedu/sirkulasi enterohepatik

Garam empedu terdiri dari inti steroid yang disintesis langsung dari kolesterol. Dua garam empedu primer, kolat dan kenodeoksikolat, disintesis oleh hepatosit di bawah kendali umpan balik yang belum dipahami. Garam empedu sekunder, deoksikolat dan litokolat dibentuk di dalam kolon oleh degradasi bakteri atas garam empedu primer yang lolos reabsorpsi di dalam ileum. Litokolat diekskresi ke dalam feses, tetapi deoksikolat direabsorpsi ke dalam darah porta dan bersama dengan garam empedu primer yang direabsorpsi, diekstraksi oleh hepatosit. Garam empedu ini dikonjugasikan dengan glisin atau taurin dan disekresi secara aktif ke dalam kanalikuli biliaris sebagai 40% kolat, 40% kenodeoksikolat dan 20% deoksikolat dalam konsentrasi total 10 sampai 20 mol. Karean mempunyai daerah hidrofilik dan hidrofobik, maka garam empedu berfungsi sebagai deterjen. Garam empedu beragregasi spontan dalam kelompok 8 sampai 10 molekul untuk membentuk micelles. Inti hidrofobik dalam melarutkan lesitin yang sulit larut dalam air, yang dengan sendirinya lebih memperkuat kelarutan kolesterol dengan memperluas daerah hidrofobik micelles. Kompleks garam empedu-lesitin-kolesterol ini dinamakan micelles campuran. Garam empedu dipekatkan lebih lanjut di dalam vesika biliaris sampai 200-300 mol. Jumlah total kolesterol yang dilarutkan bervariasi sesuai rasio relatif garam empedu dan lesitin maupun konsentrasi garam empedu total.

Setelah memasuki usus halus bagian atas, micelle campuran ini jelas mempotensiasi absorpsi lemak dengan memberikan vehikel dan lingkungan yang sesuai bagi pelarutan, hidrolisis enzimatik dan absorpsi. Sirkulasi enterohepatik garam empedu dilengkapi bila garam empedu didekonjugasi secara enterik, direabsorpsi

(8)

dalam ileum terminalis oleh sistem transpor aktif dan akhirnya diekstraksi dari sirkulasi porta oleh hepatosit. Lima persen garam empedu yang lolos reabsorpsi di dalam ileum diubah menjadi garam empedu sekunder di dalam kolon serta direabsropsi sebagian sebagai deoksikolat. Kumpulan garam empedu total 2,5 sampai 5 g bersirkulasi enam sampai delapan kali sehari; 10 sampai 20% kumpulan total yang hilang bersama feses setiap hari, diganti oleh sintesis baru oleh hati.

2) Lipid Empedu

Lesitin dan kolesterol membentuk sebagian besar lipid empedu. Lesitin merupakan fosfolipid yang sebagian besar tak larut air. Kolesterol disintesis oleh hati dan diabsorpsi oleh traktus gastrointestinal, dan selain itu digunakan juga dalam lintasan intrasel lain, diubah menjadi garam empedu atau diekskresi langsung ke dalam empedu. Micelles garam empedu jelas meningkatkan kelarutan lipid ini di dalam empedu. Tetapi mekanisme transpor lipid intrasel ini ke dalam empedu belum dipahami dan bisa digabung dengan sekresi garam empedu melintasi membrana kanalikuli. Di dalam usus, lesitin dihdrolisis menjadi kolin dan asam lemak. Kolesterol direabsorpsi ke dalam sirkulasi enterohepatik dan bertindak sebagai mekanisme umpan balik dalam kendali sintesis kolesterol di dalam hati.

c. Metabolisme bilirubin

Karena eritrosit yang sudah tidak berguna lagi didegradasi di dalam sistem retikuloendotelial, maka hemoglobin dilepaskan dan diubah menjadi biliverdin. Pigmen ini direduksi menjadi bilirubin yang tak larut air yang tak terkonjugasi (bilirubin indirect yang diukur dengan reaksi van den bergh), diangkut ke dalam darah dan terikat pada albumin, diekstraksi oleh hepatosit. Di dalam sitoplasma, bilirubin diangkut oleh protein Y dan Z ke retikulum endoplasma. Dengan adanya glukoronil transferase, bilirubin dikonjugasikan dengan asam glukoronat dan dalam jumla lebih sedikit dengan sulfat,

(9)

untuk membentuk bilirubin glukoronida dan bilirubin sulfat. Bilirubin terkonjugasi yang larut dalam air ini (bilirubin direct) kemudian disekresi ke dalam kanalikuli biliaris melalui mekanisme transpor aktif yang sama dengan yang dimiliki oleh garam organik lain, tetapi berbeda dari sekresi garam empedu. Beban bilirubin harian bagi sekresi sekitar 30 mg. Di dalam usus, bakteri usus mengubah bilirubin ke kelas senyawa yang dikenal sebagai urobilinogen. Urobilinogen ini terutama diekskresikan di dalam feses, tetapi sebagian di reabsorpsi dan di ekstraksi oleh hepatosit untuk memasuki sirkulasi enterohepatik atau diekskresikan di dalam urin (Sabiston, 2012).

B. KONSEP PENYAKIT 1. Pengertian

Cholecystitis akut adalah peradangan akut pada dinding kandung empedu yang terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh batu empedu (Batticaca, 2009).

Cholecystitisadalah inflamasi akut atau kronis dari kandung empedu, biasanya berhubungan dengan batu empedu yang tersangkut pada duktus kistik, menyebabkan distensi kandung empedu. Batu-batu (kalkuli) dibuat oleh kolesterol, kalsium, bilirubin, atau campuran, disebabkan oleh perubahan pada komposisi empedu (Doengoes, 2000).

Cholecystitis, yang merupakan keadaan inflamasi akut atau kronis dengan menimbulkan distensi kandung empedu yang nyeri, biasanya disertai batu empedu yang terjepit dalam duktus sistikus (Kowalak, 2011).

Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa Cholecystitis merupakan peradangan pada kandung empedu baik akut maupun kronis yang sebagian besar terjadi karena batu empedu.

2. Faktor Pencetus a. Kalkulus

Batu empedu dapat disebabkan oleh:

1) Jenis kelamin perempuan (Female). Perempuan lebih cenderung untuk mengembangkan batu empedu kolesterol daripada laki-laki

(10)

khususnya pada masa reproduksi. Peningkatan batu empedu disebabkan oleh faktor esterogen-progesteron sehingga meningkatkan sekresi kolesterol bilier.

2) Peningkatan usia yakni lebih dari 40 tahun (Fourty). Peningkatan usia baik pada pria dan wanita, keduanya meningkatkan risiko terbentuknya batu pada kandung empedu.

3) Obesitas (Fatty). Kondisi obesitas akan meningkatkan metabolisme umum, resistensi insulin, diabetes mellitus tipe II, hipertensi, dan hiperlipidemia berhubungan dengan peningkatan sekresi kolesterol hepatika dan merupakan faktor risiko utama untuk pengembangan batu empedu kolesterol.

4) Kehamilan (Fertile). Kolesterol batu empedu lebih sering terjadi pada wanita yang mengalami kehamilan multiple. Hal yang dianggap sebagai faktor utama adalah peningkatan progesteron pada saat kehamilan tinggi. Progesteron mengurangi kontraktilitas kandung empedu, menyebabkan retensi berkepanjangan dan konsentrasi lebih besar empedu di kandung empedu.

(Muttaqin, 2011) b. Akalkulus

Menurut Sjamsuhidajat (2011), faktor risiko terjadinya cholecystitis akalkulosa adalah:

1) Nutrisi intravena jangka panjang.

2) Pengosongan lambung yang memanjang (dipuasakan lama). 3) Dismotilitas kandung empedu.

4) Sepsis

5) Trauma multiple 3. Penyebab

a. Peradangan mekanis akibat tekanan intralumen dengan regangan yang menimbulkan iskemia mukosa dan dinding kandung empedu.

b. Peradangan kimiawi akibat pelepasan lisolesitin (akibat kerja fosfolipase pada lesitin dalam empedu) dan faktor jaringan lokal lainnya.

(11)

c. Peradangan bakteri yang mungkin berperan pada 50%-85% klien cholecystitis akut.

4. Klasifikasi

a. Cholecystitisakut

1) Cholecystitis kalkulus

Menurut Sjamsuhidajat (2011), hampir semua cholecystitisakut terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh batu yang terjebak di dalam kantong Hartmann. Komplikasi ini terdapat pada 5% penderita kolelitiasis. cholecystitisakut tanpa batu empedu disebut cholecystitisakalkulosa, dapat ditemukan pasca bedah.

Pada cholecystitisakut, faktor trauma mukosa kandung empedu oleh batu dapat menyebabkan pelepasan fosfolipase yang mengubah lesitin di dalam empedu menjadi lisolesitin, yaitu senyawa toksik yang memperberat proses peradangan. Pada awal penyakit, peran bakteria agaknya kecil saja meskipun kemudian dapat menjadi supurasi.

Perjalanan kolesistitis akut bergantung pada apakah obstruksi dapat hilang sendiri atau tidak, derajat infeksi sekunder, usia penderita, dan penyakit lain yang memperberat keadaan seperti Diabetes Mellitus.

2) Cholecystitisakalkulosa

Lebih kurang 5-10% cholecystitis akut terjadi tanpa batu. Kelainan ini sering dijumpai pada penderita sakit berat yang sedang dirawat karena trauma multiple, pascabedah besar, sepsis, keracunan obat, dan gagal organ multiple. Penyebab lain ialah penderita yang dipuasakan lama dan dirawat dengan nutrisi intravena. Pada penderita biasanya timbul stasis empedu yang kemudian menjadi lumpur empedu. Lumpur empedu yang terdiri atas endapan kalsium bilirubinat agaknya ikut berperan untuk menimbulkan cholecystitis akalkulus. Penyebab lain mungkin invasi kuman secara primer, misalnya oleh Salmonella typhi, E. Coli, dan Clostridium. Gangguan aliran darah melalui arteri sistika,

(12)

serta obstruksi duktus sistikus karena penyebab lain agaknya ikut berperan dalam menimbulkan kolesistitis akalkulus (Sjamsuhidajat, 2011).

b. Cholecystitiskronik

Cholecystitis kronik merupakan kelainan kandung empedu yang paling sering ditemukan. Penyebabnya hampir selalu batu empedu. Penentu penting untuk membuat diagnosis adalah kolik bilier, dispepsia dan ditemukannya batu kandung empedu pada pemeriksaan USG. Keluhan dispepsia dicetuskan oleh makanan berat, seperti gorengan, yang mengandung banyak lemak, tetapi didapat juga timbul setelah makan berbagai jenis kol. Kolik bilier yang khas dirasakan di perut kanan atas dan nyeri alih ke titik Boas.

5. Patofisiologi

Pada cholecystitisakut, inflamasi dinding kandung empedu biasanya terjadi setelah terdapat batu empedu yang terjepit di dalam duktus sistikus. Pada cholecystitis akut, darah yang mengalir ke kantung empedu mungkin menjadi terganggu yang pada gilirannya akan menyebabkan permasalahan dengan pengisian dan pengosongan normal pada kantung empedu.Batu bisa menghalangi saluran pipa cystic yang akan mengakibatkan empedu menjadi terjerat didalam kantung empedu karena radang disekitar batu di dalam saluran pipa.Kalau aliran empedu tersumbat, kandung empedu akan mengalami inflamasi dan distensi. Empedu biasanya steril, tetapi dalam kondisi yang tidak biasa (misalnya di dalam striktur bilier) bisa terkolonisasi bakteri. Pertumbuhan bakteri, biasanya E. coli, bisa turut menimbulkan inflamasi. Edema kandung empedu (dan kadang-kadang duktus sistikus) akan menyumbat aliran empedu dan keadaan ini menimbulkan iritasi kimia pada kandung empedu.Mekanisme kompensasinya adalah dengan darah yang mengalir ke area radang akan diperkecil, melokalisir edema berkembang, kantung empedu menggelembungkan karena empedu tertahan, dan perubahan ischemic akan terjadi di dalam dinding kantung empedu.Sel-sel dalam dinding kandung empedu dapat kekurangan oksigen dan mati ketika organ

(13)

mengalami distensi tersebut menekan pembuluh darah dan mengganggu aliran darah. Sel-sel yang mati akan mengelupas sehingga kandung empedu melekat pada struktur di sekitarnya (Batticaca, 2009).

Cholecystitis kronis terjadi ketika peristiwa kemacetan saluran pipa cystic, yang umumnya karena batu. Ada radang kronis. Kantung empedu sering kontraksi, yang menyebabkan permasalahan pada penyimpanan dan gerakan empedu. Pasien dapat terjangkit penyakit kuning karena tertekannya empedu atau penyakit kuning yang bersifat menghalangi. Mereka akan memperlihatkan suatu warna kekuning-kuningan keselaput lendir dan kulit. Jika pasien mempunyai suatu pewarnaan yang gelap pada kulit mereka, periksa telapak tangan dan kaki. Icterus adalah perubahan warna kuning yang terlihat diselaput putih mata (Batticaca, 2009).

6. Tanda dan Gejala

Menurut Batticaca (2009), tanda dan gejala yang dapat timbul pada pasien dengan kolesistitis antara lain:

a. Perut atas, epigastric, atau sakit abdominal kanan atas yang dapat menyebar ke punggung dan skapula kanan. Rasa sakit pada Right Upper Quadrant (RUQ) meningkat dengan palpasi abdomen kanan atas selama inspirasi (tanda Murphy) menyebabkan pasien berhenti mengambil napas panjang. Nyeri bersifat kolik atau terus-menerus disertai tanda rangsangan peritoneal berupa nyeri tekan, nyeri lepas dan defans muskuler otot perut.

b. Mual dan muntah, terutama setelah makan makanan berlemak (pada kolesistitis yang menyertai kolelitiasis).

c. Selera makan hilang.

d. Demam (38-38,5°C). Apabila timbul demam dan menggigil, harus dicurigai komplikasi yang lebih berat atau penyakit lain.

e. Udara bertambah pada saluran usus (bersendawa, kentut). f. Kulit gatal-gatal karena terbentuknya garam empedu.

g. Feses berwarna tanah liat karena kurangnya sterkobilin di dalam usus (biasanya dikonversi dari bilirubin yang telah diblok dengan aliran empedu).

(14)

h. Penyakit kuning-kulit berwarna kekuningan dan membran mukosa berubah warna.

i. Icterus ringan- perubahan warna menjadi kekuningan pada sklera (putih mata).

j. Urin berwarna gelap dan berbusa karena ginjal berusaha membersihkan bilirubin.

7. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Doengoes (2012), pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan cholecystitis adalah:

a. Pemeriksaan laboratorium

1) Jumlah leukosit meningkat atau dalam batas normal. Apabila jumlah leukosit melebihi 15.000 harus dicurigai komplikasi yang lebih berat.

2) Kadar bilirubin meningkat sedang, mungkin karena sindrom Mirizzi atau penjalaran radang ke duktus koledokus.

3) Fosfatase alkali sering kali mengalami kenaikan sedang, begitu juga dengan kadar amilase darah.

b. Ultrasonografi

Dapat memperlihatkan gambaran batu di dalam kandung empedu. Ultrasonografi juga dapat memperlihatkan gangren dengan gambaran destruksi dinding dan nanah atau cairan sekitar kandung empedu pada komplikasi abses perikolesistitis. Apabila secara klinis sulit menentukan punktum maksimum nyeri dengan palpasi, terutama pada kolesistitis gangren, dengan ultrasonografi sangat membantu.

c. Foto polos abdomen

Kandung empedu yang membesar serta dinding dan jaringan sekitar yang mengalami peradangan, sering terlihat pada foto polos abdomen sebagai bayangan massa jaringan lunak lonjong yang menekan dinding kolon transversum yang berisi udara.

d. Kolangiopankreografi retrograd endoskopik

Memperlihatkan percabangan bilier dengan kanulasi duktus koledikus melalui duodenum.

(15)

e. Kolangiografi transhepatik perkutaneus

Pembedaan gambaran dengan fluoroskopi antara penyakit kandung empedu dan kandung pankreas (bila ikterik ada)

f. Kolesistogram (untuk kolesistitis kronis) menyatakan batu pada sistem empedu. CATATAN : kontraindikasi pada cholecystitis karena pasien terlalu lemah untuk menelan zat lewat mulut.

g. CT Scan

Dapat menyatakan kista kandung empedu, dilatasi duktus empedu, dan membedakan antara ikterik obstruktif/non obstruktif

h. Scan hati dengan zat radioaktif (Sintigram radionuklir hepatobilier) Menunjukkan obstruksi percabangan bilier.

Nursing Consideration

Menurut Smeltzer (2002), intervensi yang dapat dilakukan perawat dalam pemeriksaan diagnostik adalah:

1. Memuasakan pasien pada malam hari sebelum dilakukan pemeriksaan USG. Karena prosedur ini akan memberikan hasil yang paling akurat jika pasien sudah berpuasa pada malam harinya sehingga kandung empedu dalam keadaan distensi.

2. Pada pasien yang akan dilakukan tindakan kolesistografi, harus ditanyakan kepada pasien apakah ia mempunyai riwayat alergi terhadap yodium atau makanan laut. Jika tidak ada riwayat alergi, pasien mendapat preparat kontras oral pada malam hari sebelum pemeriksaan radiografi dilakukan.

3. Sebelum tindakan ERCP, kepada pasien dijelaskan tentang prosedur pemeriksaan dan peranan pasien dalam pemeriksaan tersebut karena ERCP memerlukan kerjasama pasien untuk memungkinkan insersi endoskop tanpa merusak struktur traktus gastrointestinal yang mencakup percabangan bilier. Preparat sedatif diberikan sesaat sebelum pemeriksaan dilakukan. Selaama pemeriksaan ERCP, perawat harus memantau cairan infus yang diberikan, memberikan obta-obatan dan mengatur posisi pasien.

(16)

4. Setelah pemeriksaan selesai dikerjakan, pasien harus diobservasi tanda-tanda vitalnya.

8. Penatalaksanaan

Menurut Sjamsuhidajat (2011) terapi untuk kolesistitis akut berupa: a. Penatalaksanaan pendukung dan diet

1) Tirah baring

2) Puasa, jika terjadi distensi abdomen.

3) Pemasangan pipa nasogastrik untuk dekompresi lambung bila ada ileus.

4) Pemberian nutrisi intravena untuk mengatasi dehidrasi dan gangguan elektrolit serta pemenuhan kebutuhan nutrisi

5) Pemberian antibiotik atau antimikroba

Terapi antibiotik intravena biasanya diindikasikan pada pasien dengan kolesistitis akut berat, meskipun superinfeksi empedu oleh bakteri mungkin belum terjadi pada tahap-tahap awal proses peradangan. Terapi antibiotik disesuaikan dengan organisme yang paling besar kemungkinannya ditemukan, yaitu E. Colli, Klebsiella spp., dan Streptococcus spp. Antibiotik yang efektif mencakup ureidopenisilin, misalnya piperasilin atau mezlosilin, ampicilin, sulbaktam, siprofloxacin dan moksifloksasin (Longo dan Fauci, 2014).

Penisillin dan kotrimoksasol sama-sama disekresi dalam empedu namun sepertiga bakteri koliform empedu ini resisten terhadap ampisillin. Sefotaksim (golongan sefalosforin generasi ketiga) merupakan antibiotik terkini serta metronidazole (jika dicurigai cholecystitis gangrenosa atau emfimatosa)akan mencakup organisme yang paling sering (Ruben Stein, 2003).

Imipenem/meropenem merupakan antibiotik parenteral poten yang mencakup keseluruhan spektrum bakteri penyebab kolangitis asendens. Namun seyogyanya dicadangkan untuk untuk infeksi yang paling parah yang mengancam nyawa (Longo dan Fauci, 2014).

(17)

6) Pemberian analgesik

Obat antiinflamasi non steroid (NSID) biasanya diberikan untuk analgesia karena obat-obat ini tidak terlalu menimbulkan spasme pada sfingter Oddi dibandingkan dengan obat seperti morfin (Longo dan Fauci, 2014).

7) Diet

Diet yang diterapkan segera setelah suatu serangan yang akut, biasanya dibatasi pada makanan cair rendah lemak.

Menurut Almadzier (2006), tujuan diet penyakit hati dan kandung empedu adalah untuk mencapai dan mempertahankan status gizi optimal tanpa memberatkan fungsi hati dengan cara:

a) Meningkatkan regenerasi jaringan hati dan mencegah kerusakan lebih lanjut dan/atau meningkatkan fungsi jaringan hati yang tersisa.

b) Mencegah katabolisme.

c) Mencegah penurunan berat badan dan atau meningkatkan berat badan bila kurang.

d) Mencegah atau mengurangi ascites, varises esopagus dan portal. Syarat diet:

a) Energi tinggi, untuk mencegah pemecahan protein, yang diberikan bertahap sesuai dengan kemampuan pasien yaitu 40-45kkal/KgBB.

b) Lemak cukup, yaitu 20-25% dari kebutuhan energi total, dalam bentuk yang mudah dicerna atau dalam bentuk emulsi. Bila pasien mengalami steatorea, gunakan lemak dengan asam lemak rantai sedang. Pemberian lemak sebanyak 45gr dapat mempertahankan fungsi imun dan proses sintesis lemak.

c) Protein agak tinggi, yaitu 1,25-1,5 g/kgBB agar terjadi anabolisme protein.

d) Vitamin dan mineral diberikan sesuai dengan tingkat defisiensi. e) Bentuk makanan lunak bila ada keluhan mual.

(18)

Penatalaksanaan diet merupakan bentuk terapi utama pada pasien yang hanya mengalami intoleransi terhadap makanan berlemak dan mengeluhkan gejala gastrointestinal ringan (Smeltzer, 2012).

b. Pemberian pelarut batu empedu (Cholecystitis Kalkuli)

Asam ursodeoksilat (urdafalk) dan kenodeoksikolat (chenodiol, chenofalk) telah digunakan untuk melarutkan batu empedu radiolusen yang berukuran kecil dan terutama tersusun dari kolesterol. Asam ursodeoksilat dibandingkan dengan asam kenodeoksikolat jarang menimbulkan efek samping dan dapat diberikan dalam dosis kecil untuk mendapatkan efek yang sama. Mekanisme kerjanya adalah menghambat sintesis kolesterol dalam hati dan sekresinya sehingga terjadi desaturasi getah empedu. Batu yang sudah ada, dapat dikurangi besarnya, batu yang kecil dilarutkan dan batu yang baru dicegah pembentukannya. Pada banyak pasien diperlukan terapi selama 6-12 bulan untuk melarutkan batu empedu dan selama terapi, keadaan pasien dipantau. Dosis yang efektif bergantung pada berat badan pasien; cara terapi ini umumnya dilakukan pada pasien yang menolak pembedahan atau yang dianggap terlalu berisiko untuk menjalani pembedahan. Pembentukan kembali batu empedu telah dilaporkan pada 20 hingga 50% pasien sesudah terapi dihentikan; dengan demikian, pemberian obat ini dengan dosis rendah dapat dilanjutkan untuk mencegah kekambuhan (Smeltzer, 2002).

c. Pengangkatan batu tanpa pembedahan 1) Pelarutan batu empedu

Beberapa metode telah digunakan untuk melarutkan batu empedu dengan menginfuskan suatu bahan pelarut (monooktanoin atau metil tertier butil eter [MTBE]) ke dalam kandung empedu. Pelarut tersebut dapat diinfuskan melalui jalur berikut ini:

a) Melalui selang atau kateter yang dipasang perkutan langsung ke dalam kandung empedu;

(19)

b) Melalui selang atau drain yang dimasukkan melalui saluran T-tube untuk melarutkan batu yang belum dikeluarkan pada saat pembedahan;

c) Melalui endoskop ERCP (Endoscopic Retrograde Choledochopancreaticographic);

d) Kateter bilier transnasal;

Kateter dimasukkan melalui mulut dan diinsersikan ke dalam duktus koledokus. Ujung proksimal kateter tersebut kemudian dipindahkan dari mulut ke hidung dan dibiarkan pada tempat tersebut. Cara ini memungkinkan pasien untuk tetap makan dan minum secara normal sementara pelintasan batu dan pemasukkan bahan kimia untuk melarutkan batu melalui infus terus dipantau. Metode pelarutan batu ini tidak banyak dilakukan pada pasien-pasien batu empedu (Smeltzer, 2002). 2) Pengangkatan nonbedah

a) Sebuah kateter dan alat disertai jaring yang terpasang padanya disisipkan lewat saluran T-tube atau lewat fistula yang terbentuk pada saat insersi T-tube; jaring digunakan untuk memegang dan menarik keluar batu yang terjepit dalam duktus koledokus(Smeltzer, 2002).

b) Penggunaan endoskop ERCP

Sesudah endoskop terpasang, alat pemotong dimasukkan lewat endoskop tersebut ke dalam ampula Vater dari duktus koledokus. Alat ini digunakan untuk memotong serabut-serabut mukosa atau papila dari sfingter Oddi sehingga mulut sfingter tersebut dapat diperlebar; pelebaran ini memungkinkan batu yang terjepit untuk bergerak dengan spontan ke dalam duodenum. Alat lain yang dilengkapi jaring dan balon kecil pada ujungnya dapat dimasukkan melalui endoskop untuk mengeluarkan batu empedu(Smeltzer, 2002).

(20)

c) ESWL (Extracorporeal Shock-Wave Lithotripsy)

Prosedur noninvasif ini menggunakan gelombang kejut berulang yang diarahkan pada batu empedu di dalam kandung empedu atau duktus koledokus dengan maksud untuk memecah batu tersebut menjadi sejumlah fragmen. Setelah batu dipecah secara bertahap, pecahannya akan bergerak spontan dari kandung empedu dan duktus koledokus dan dikeluarkaan melalui endoskop atau dilarutkan dengan pelarut atau asam empedu yang diberikan peroral(Smeltzer, 2002).

Nursing Consideration

Meskipun komplikasi sesudah tindakan jarang terjadi, namun kondisi pasien harus diobeservasi dengan ketat untuk mengamati kemungkinan terjadinya perdarahan, perforasi atau pankreatitis. Persiapan pemulangan pasien dan perawatan sendiri di rumah harus sudah diberikan karena pasien segera pulang. Penyuluhan atau konseling mencakup pemberian informasi tentang gejala yang harus dilaporkan. Penggunaan asam ursodeoksilat sesudah prosedur dilaksanakan akan meningkatkan efektivitas terapi dan mencegah kekambuhan. Apabila preparat oral garam empedu atau asam ursodeoksilat diresepkan, maka jelaskan kepada pasien pentingnya kepatuhan dalam mengikuti petunjuk dokter dan tindak lanjut (Smeltzer, 2002).

d. Pembedahan

Kolesistektomi dini merupakan cara pengobatan terbaik untuk mengatasi kolesistitis akut dan umumnya dapat dilaksanakan dengan aman pada 90% penderita. Namun, penanggulangan awal kolesistitis adalah perawatan konservatif. Sekitar 60% penderita akan sembuh spontan. Pembedahan dilakukan sesuai perkembangan penyakit. Apabila perkembangan memburuk, segera dibedah. Bila membaik, pembedahan dilakukan secara elektif. Setelah serangan akut sembuh, pasien dapat dipulangkan dengan kolesistektomi direncanakan 4-6

(21)

minggu kemudian, sewaktu peradangan telah sembuh (Sjamsuhidajat, 2011).

Indikasi pembedahan: a. Metode duct first:

Yang pertama didiseksi ialah duktus sistikus dan arteri kemudiandipi sahkan setelah kandung empedu diangkat.

Indikasi: tidak ada adhesi atau eksudat pada CBD, CHD dan CD Kontraindikasi: adanya adhesi dan eksudat

b. Metode fundus first

Diseksi dimulai dari fundus kandung empedu dan kemudian berlanjut pada duktus sistikus.

Indikasi: adanya adhesi atau eksudat di CBD, CHD dan CD

Penatalaksanaan medis untuk kolesistitis kronik adalah menghindari makanan berlemak. Selain itu, semua pasien kolesistitis kronis simtomatik harus diterapi pembedahan. Menurut Sabiston (2012), hanya jika pasien mempunyai harapan hidup yang pendek atau jika penyakit sistemik parah yang ada bersamaan merupakan predisposisi risiko anastesi bermakna, maka kolesistektomi tak boleh dilakukan.

Intervensi bedah dapat berupa: 1. Kolesistektomi

2. Minikolesistektomi

3. Kolesistektomi laparaskopik (atau endoskopik) 4. Koledokostomi

5. Bedah Kolesistotomi 6. Kolesistotomi perkutan Nursing consideration

Menurut Smeltzer (2011), persiapan sebelum operasi kandung empedu serupa dengan persiapan bagi setiap tindakan laparatomi abdominal bagian atas. Instruksi dan penjelasan tentang mobilisasi tubuh dan napas dalam harus sudah disampaikan sebelum pembedahan dilakukan. Karena insisi abdomen dilakukan pada lokasi yang lebih

(22)

tinggi, pasien sering enggan untuk bergerak dan membalikkan tubuhnya. Kepada pasien harus diberitahu bahwa segera setelah tindakan pembedahan biasanya dibutuhkan untuk pemasangan selang untuk drainase dan tindakan penghisapan.

Pada periode pascaoperatif, tanda-tanda vital pasien harus dipantau dengan ketat. Drainase (jika T-tube terpasang) dan luka insisi bedah harus diinspeksi untuk melihat kemungkinan perdarahan. Kondisi pasien juga harus dikaji secara periodik untuk mengetahui peningkatan nyeri tekan dan rigiditas pada abdomen. Jika terdapat tanda-tanda dan gejala ini, semuanya harus dilaporkan kepada dokter bedah. Pada pasien dan keluarganya perlu diberi tahu untuk melapor pada dokter bedah jika terdapat perubahan warna feses karena keadaan ini dapat menunjukkan adanya komplikasi.

Setelah menjalani kolisestektomi, perlu diberikan Health Education pada pasien dan keluarga bahwa meskipun kandung empedu telah diangkat, namun fungsi kandung empedu dapat digantikan oleh hati yaitu untuk menyimpan cairan empedu dengan syarat bahwa organ hati pasien dalam kondisi baik.

Setelah menjalani kolesistektomi endoskopik, pengkajian kondisi pasien dilakukan untuk mendeteksi adanya penurunan selera makan, muntah, rasa nyeri, distensi abdomen dan kenaikan suhu badan. Semua gejala ini dapat menunjukkan infeksi atau gangguan pada traktus gastrointestinal dan harus dilaporkan segera pada dokter.

Petunjuk lisan maupun tertulis harus disampaikan kepada pasien dan keluarganya. Informasi mencakup tanda-tanda dan gejala komplikasi intraabdomen yang harus dilaporkan. Kepada pasien harus diberitahukan mengenai obat-obatan yang diperlukan dan cara kerja obat tersebut

9. Komplikasi

Komplikasi meliputi:

a. Perforasi dan pembentukan abses b. Pembentukan fistula

(23)

Fistulasi dalam organ yang berdekatan melekat pada dinding kandung empedu akibat inflamasi dan pembentukan pelekatan. Fistula enterik bilaris tenang secara klinis terjadi sebagai komplikasi kolesistitis kroni. Fistula kolesistoenteritik asimptomatik kadang didiagnosis dengan temuan gas dalam percabangan biliaris pada foto polos abdomen.

c. Gangren

Gangren kandung empedu menimbulkan iskemia pada dinding kandung empedu dan nekrosis dengan bercak atau totak. Kelainan yang mendasari adalah distensi kandung empedu, faskulitis, diabetes mellitus, empiema, atau torsi.

d. Empiema

Terjadi akibat kolesistitis akut dengan sumbatan duktus sistikus persisten menjadi superinfeksi empedu yang tersumbat disertai kuman-kuman pembentuk pus. Gambaran klinis mirip dengan kolangitis, yaitu demam tinggi, nyeri hebat pada kuadran kanan atas, leukositosis berat, keadaan umum lemah(sering), risiko sepsis gram negatif (dan atau perforasi).

e. Kolangitis f. Hepatitis g. Pankreatitis h. Ileus Batu empedu

Menunjukkan pada obstruksi intestinal mekanik yang diakibatkan lintasan batu empedu yang besar ke dalam lumen. Tempat terjepit batu biasanya pada katup ileoseka.

i. Karsinoma 10. Prognosis

Perubahan ischemic dari dinding kantung empedu meningkatkan risiko perforasi organ tubuh atau pengembangan gangren. Radang selaput perut merupakan risiko yang potensial pada pasien jika suatu area penting pada kantung empedu berlubang atau terdapat infeksi atau bisul terkait yang menyebar. Presentase kecil dari pasien akan berkembang menjadi

(24)

kanker kantung empedu. Ada peningkatan risiko operasi pasien lanjut usia atau pasien dengan komorbilitas.

C. ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN

CHOLESCYSTITIS 1. Pengkajian

Menurut Doengoes (2012) hal yang perlu dikaji pada penderita cholecystitispreoperasi adalah:

a. Aktivitas/ istirahat

Gejala : Kelemahan. Tanda : Gelisah. b. Sirkulasi

Tanda : Takikardia, berkeringat. c. Eliminasi

Gejala : Perubahan warna urin dan feses. Tanda : Distensi abdomen.

Teraba massa pada kuadran kanan atas. Urine gelap, pekat.

Feses warna tanah liat, steatorea. d. Makanan/ cairan

Gejala : Anoreksia, mual/muntah.

Tidak toleran terhadap lemak dan makanan “pembuat gas”; regurgitas berulang, nyeri epigastrium, tidak dapat makan, flatus, dyspepsia. Tanda : Kegemukan, adanya penurunan berat badan. e. Nyeri/ kenyamanan

Gejala : Nyeri abdomen atas berat, dapat menyebar ke punggung atau bahu kanan.

Kolik epigastrium tengah sehubungan dengan makan. Nyeri mulai tiba-tiba dan biasanya memuncak dalam 30 menit.

(25)

Tanda : Nyeri lepas, otot tegang atau kaku bila kuadran kanan atas ditekan; tanda Murphy positif.

f. Pernapasan

Tanda : Peningkatan frekuensi pernapasan.

Pernapasan tertekan ditandai oleh napas pendek, dangkal. g. Keamanan

Tanda : Demam,menggigil.

Ikterik, dengan kulit berkeringat dan gatal (pruritus). Kecenderungan perdarahan (kekurangan Vitamin K). h. Penyuluhan/ pembelajaran

Gejala : Kecenderungan keluarga untuk terjadi batu empedu. Adanya kehamilan/melahirkan; riwayat DM, penyakit inflamasi usus, diskrasias darah.

Pertimbangan : DRG menunjukkan rata – rata lama dirawat 3–4 hari.

Rencana pemulangan : Memerlukan dukungandalam perubahan diet/ penurunan berat badan.

2. Diagnosa Keperawatan

Menurut Doenges (2012), diagnosa keperawatan yang lazim terjadi pada kasus cholecystitissebelum dilakukan kolesistektomi antara lain :

a. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri (biologi, kimia, atau fisik) atau kerusakan jaringan.

b. Nyeri kronis berhubungan dengan ketidakmampuan fisik-psikologis kronik (metastase kanker, injuri neurologis, artritis)

c. Hipertermia berhubungan dengan penyakit/trauma, peningkatan metabolisme atau dehidrasi.

d. Ketidakseimbangan nutrisi:kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual/muntah.

e. Mual berhubungan dengan iritasi gaster, distensi gaster. Biofisika: gangguan biokimia (Uremia).Situasional: faktor psikologis seperti nyeri, takut, cemas.

(26)

f. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan gangguan status metabolik.

g. Kecemasan berhubungan dengan krisis situasional, stress, perubahan status kesehatan, ancaman kematian, perubahan konsep diri, kurang pengetahuan dan hospitalisasi.

h. Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan muntah. i. Kurang pengetahuan tentang kondisi berhubungan dengan

keterbatasan kognitif, interpretasi terhadap informasi yang salah, kurangnya keinginan untuk mencari informasi, tidak mengetahui sumber-sumber informasi.

3. Perencanaan

a. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri (biologi, kimia, atau fisik) atau kerusakan jaringan.

NOC:

1) Pain level 2) Pain control 3) Comfort level

Setelah dilakukan tindakan keperawatan, pasien tidak mengalami nyeri atau nyeri berkurang, dengan kriteria hasil:

1) Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)

2) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri

3) Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)

4) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang 5) Tanda vital dalam rentang normal

6) Tidak mengalami gangguan tidur Intervensi (NIC):

1) Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri

(27)

distraksi, kompres hangat/ dingin 3) Tingkatkan istirahat

4) Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan

5) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi 6) Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan

7) Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali

8) Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan

9) Kurangi faktor presipitasi nyeri

10) Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi

11) Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan berkurang dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur

b. Nyeri kronis berhubungan ketidakmampuan fisik-psikologis kronis (metastase kanker, injuri neurologis, artritis)

NOC:

1) Comfort level 2) Pain control 3) Pain level

Setelah dilakukan tindakan keperawatan, nyeri kronis pasienberkurang dengan kriteria hasil:

1) Tidak ada gangguan tidur 2) Tidak ada gangguan konsentrasi

3) Tidak ada gangguan hubungan interpersonal

4) Tidak ada ekspresi menahan nyeri dan ungkapan secara verbal 5) Tidak ada tegangan otot

NIC:

Pain Manajemen

(28)

2) Tingkatkan istirahat dan tidur yang adekuat 3) Kelola anti analgetik

4) Jelaskan pada pasien penyebab nyeri

5) Lakukan tehnik nonfarmakologis (relaksasi, masase punggung)

c. Hipertermia berhubungan denganpenyakit/ trauma, peningkatan metabolisme, atau dehidrasi

NOC:Termoregulasi

Setelah dilakukan tindakan keperawatan, menunjukkan suhu tubuh dalam batas normal dengan kriteria hasil:

1) Suhu 36-37°C

2) Nadi dan RR dalam rentang normal

3) Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing, merasa nyaman

Intervensi (NIC):

1) Monitor suhu sesering mungkin 2) Monitor warna dan suhu kulit 3) Monitor tekanan darah, nadi dan RR 4) Catat adanya fluktuasi tekanan darah 5) Monitor penurunan tingkat kesadaran 6) Monitor WBC, Hb, dan Hct

7) Monitor intake dan output

8) Monitor hidrasi seperti turgor kulit, kelembaban membran mukosa)

9) Selimuti pasien

10) Kompres pasien pada lipat paha dan aksila 11) Tingkatkan sirkulasi udara

12) Tingkatkan intake cairan dan nutrisi 13) Berikan cairan intravena

14) Berikan antipiretik 15) Kelola antibiotik

(29)

d. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan denganmual/muntah.

NOC:

1) Nutritional status: food and fluid intake 2) Nutritional status: nutrient intake 3) Weight Control

Setelah dilakukan tindakan keperawatan, ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuhteratasi dengan kriteria hasil:

1) Adanya peningkatan berat badan

2) Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan 3) Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi 4) Tidak ada tanda-tanda malnutrisi

5) Menunjukkan peningkatan fungsi pengecapan dari menelan 6) Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti

Intervensi (NIC) Nutrition Management

1) Kaji adanya alergi makanan

2) Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori

3) Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan

4) Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi 5) Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake Fe

6) Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C 7) Berikan substansi gula

8) Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah konstipasi

9) Berikan makanan yang terpilih (sudah dikonsultasikan dengan ahli gizi)

10) Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian

11) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien

(30)

e. Mual berhubungan dengan iritasi gaster, distensi gaster. Biofisika: gangguan biokimia.Situasional: faktor psikologis seperti nyeri, takut, cemas.

NOC:

1) Comfort level 2) Hidrasi

3) Nutritional Status

Setelah dilakukan tindakan keperawatan, mual pasien teratasi dengan kriteria hasil:

1) Melaporkan bebas dari mual

2) Mengidentifikasi hal-hal yang mengurangi mual 3) Nutrisi adekuat

4) Status hidrasi: hidrasi kulit membran mukosa baik, tidak ada rasa haus yang abnormal, panas, urin output normal, TD, HCT normal Intervensi (NIC):

Fluid Management

1) Pencatatan intake output secara akurat 2) Monitor status nutrisi

3) Monitor status hidrasi (Kelembaban membran mukosa, vital sign adekuat)

4) Anjurkan untuk makan pelan-pelan

5) Jelaskan untuk menggunakan napas dalam untuk menekan reflek mual

6) Batasi minum 1 jam sebelum, 1 jam sesudah dan selama makan 7) Instruksikan untuk menghindari bau makanan yang menyengat 8) Berikan terapi IV kalau perlu

9) Kelola pemberian antiemetik

f. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan gangguan status metabolik.

NOC:

1) Tissue Integrity : Skin and Mucous Membranes 2) Wound Healing : primer dan sekunder

(31)

Setelah dilakukan tindakan keperawatan, kerusakan integritas kulit pasien teratasi dengan kriteria hasil:

1) Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi, elastisitas, temperatur, hidrasi, pigmentasi)

2) Tidak ada luka/lesi pada kulit 3) Perfusi jaringan baik

4) Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya sedera berulang

5) Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan perawatan alami

6) Menunjukkan terjadinya proses penyembuhan luka NIC:

Pressure Management

1) Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar 2) Hindari kerutan pada tempat tidur

3) Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering

4) Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali 5) Monitor kulit akan adanya kemerahan

6) Oleskan lotion atau minyak/baby oil pada derah yang tertekan 7) Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien

8) Monitor status nutrisi pasien

9) Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat

10) Kaji lingkungan dan peralatan yang menyebabkan tekanan

11) Observasi luka : lokasi, dimensi, kedalaman luka, karakteristik,warna cairan, granulasi, jaringan nekrotik, tanda-tanda infeksi lokal, formasi traktus

12) Ajarkan pada keluarga tentang luka dan perawatan luka 13) Kolaburasi ahli gizi pemberian diae TKTP, vitamin 14) Cegah kontaminasi feses dan urin

15) Lakukan tehnik perawatan luka dengan steril 16) Berikan posisi yang mengurangi tekanan pada luka

(32)

g. Kecemasan berhubungan dengan krisis situasional, Stress, perubahan status kesehatan, ancaman kematian, perubahan konsep diri, kurang pengetahuan dan hospitalisasi

NOC :

1) Kontrol kecemasan 2) Koping

Setelah dilakukan tindakan keperawatan, kecemasan klien teratasi dgn kriteria hasil:

1) Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas 2) Mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukkan tehnik untuk

mengontrol cemas

3) Vital sign dalam batas normal

4) Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat aktivitas menunjukkan berkurangnya kecemasan

Intervensi (NIC) :

Anxiety Reduction (penurunan kecemasan) 1) Identifikasi tingkat kecemasan

2) Gunakan pendekatan yang menenangkan

3) Nyatakan dengan jelas harapan terhadap pelaku pasien

4) Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan 5) Temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi takut 6) Berikan informasi faktual mengenai diagnosis, tindakan prognosis 7) Instruksikan pada pasien untuk menggunakan tehnik relaksasi 8) Libatkan keluarga untuk mendampingi klien

9) Dengarkan dengan penuh perhatian

10) Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur 11) Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan,

persepsi

12) Kelola pemberian obat anticemas

h. Risiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan muntah. NOC:

1) Fluid balance 2) Hydration

(33)

3) Nutritional Status : Food and Fluid Intake

Setelah dilakukan tindakan keperawatan, defisit volume cairan tidak terjadi dengan kriteria hasil:

1) Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ urine normal,

2) Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal

3) Tidak ada tanda tanda dehidrasi, Elastisitas turgor kulit baik, membran mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan 4) Orientasi terhadap waktu dan tempat baik

5) Jumlah dan irama pernapasan dalam batas normal 6) Elektrolit, Hb, Hmt dalam batas normal

7) pH urin dalam batas normal 8) Intake oral dan intravena adekuat Intervensi (NIC) :

1) Monitor status hidrasi ( kelembaban membran mukosa, nadi adekuat, tekanan darah ortostatik ), jika diperlukan

2) Monitor intake dan urin output setiap 8 jam

3) Monitor hasil lab yang sesuai dengan retensi cairan (BUN , Hmt , osmolalitas urin, albumin, total protein )

4) Monitor vital sign setiap 15menit-1 jam 5) Monitor status nutrisi

6) Berikan cairan oral

7) Dorong keluarga untuk membantu pasien makan

8) Berikan penggantian nasogatrik sesuai output (50-100cc/jam) 9) Kolaborasi pemberian cairan IV

10) Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebih muncul memburuk 11) Atur kemungkinan tranfusi

12) Persiapan untuk tranfusi 13) Pasang kateter jika perlu

i. Kurang pengetahuan tentang kondisi berhubungan dengan keterbatasan kognitif, interpretasi terhadap informasi yang salah,

(34)

kurangnya keinginan untuk mencari informasi, tidak mengetahui sumber-sumber informasi.

NOC:

1) Knowledge: disease process 2) Knowledge: health behavior

Setelah dilakukan tindakan keperawatan, pasien menunjukkan pengetahuan tentang proses penyakit dengan kriteria hasil:

1) Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi, prognosis dan program pengobatan

2) Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar

3) Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat/tim kesehatan lainnya

NIC :

1) Kaji tingkat pengetahuan pasien dan keluarga

2) Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini berhubungan dengan anatomi dan fisiologi, dengan cara yang tepat.

3) Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit, dengan cara yang tepat

4) Gambarkan proses penyakit, dengan cara yang tepat

5) Identifikasi kemungkinan penyebab, dengan cara yang tepat 6) Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi, dengan cara

yang tepat

7) Sediakan bagi keluarga informasi tentang kemajuan pasien dengan cara yang tepat

8) Diskusikan pilihan terapi atau penanganan

9) Dukung pasien untuk mengeksplorasi atau mendapatkan second opinion dengan cara yang tepat atau diindikasikan

10) Eksplorasi kemungkinan sumber atau dukungan, dengan cara yang tepat

(35)

4. Implementasi

Implementasi disesuaikan dengan intervensi yang telah disusun. 5. Evaluasi

Evaluasi mengacu pada hasil yang diharapkan dari intervensi dan implementasi.

D. ASUHAN KEPERAWATAN POST OPERATIF KLIEN DENGAN CHOLECYSTITIS

1. Pengkajian

Pengkajian pasien post operatif meliputi(Doenges, 2012): a. Sirkulasi

Gejala : Riwayat masalah jantung, GJK, edema pulmonal, penyakit vascular perifer, atau stasis vascular (peningkatan risiko pembentukantrombus).

b. Integritas ego

Gejala : Perasaan cemas, takut, marah, apatis; faktor-faktor stressmultiple, misalnya financial, hubungan, gaya hidup. Tanda : Tidak dapat istirahat, peningkatan ketegangan/peka

rangsang;stimulasi simpatis. c. Makanan/ cairan

Gejala : Insufisiensi pancreas/DM, (predisposisi untuk hipoglikemia/ketoasidosis); malnutrisi (termasuk obesitas); membran mukosa yang kering (pembatasan pemasukkan/ periode puasa preoperasi)

d. Pernapasan

Gejala : Infeksi, kondisi yang kronis/batuk, merokok. e. Keamanan

Gejala : Alergi/sensitif terhadap obat, makanan, plester, dan larutan; Defisiensi imun (peningkatan risiko infeksi sistemik dan penundaanpenyembuhan); Munculnya kanker/terapi kanker terbaru; Riwayatkeluarga tentang hipertermia malignan/reaksi anestesi; Riwayatpenyakit hepatik (efek dari

(36)

detoksifikasi obat-obatan dan dapatmengubah koagulasi); Riwayat transfusi darah/reaksi transfusi.

Tanda : Munculnya proses infeksi yang melelahkan; demam. f. Penyuluhan / Pembelajaran

Gejala : Penggunaan antikoagulasi, steroid, antibiotik, antihipertensi,kardiotonik glokosid, antidisritmia, bronkodilator, diuretik,dekongestan, analgesik, antiinflamasi, antikonvulsan atautransquilizer dan juga obat yang dijual bebas, atau obat-obatanrekreasional. Penggunaan alkohol (risiko akan kerusakan ginjal,yang mempengaruhi koagulasi dan pilihan anastesia, dan jugapotensial bagi penarikan diri pascaoperasi).

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien post operatif meliputi: a. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri (fisik) atau kerusakan

jaringan.

b. Risiko Infeksi berhubungan dengan prosedur invasif, kerusakan jaringan dan peningkatan paparan lingkungan(Doenges,2012).

3. Perencanaan

a. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri (fisik) atau kerusakan jaringan.

NOC:

1) Pain level 2) Pain control 3) Comfort level

Setelah dilakukan tindakan keperawatan, pasien tidak mengalami nyeri/nyeri berkurang, dengan kriteria hasil:

1) Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)

2) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri

(37)

3) Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)

4) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang 5) Tanda vital dalam rentang normal

6) Tidak mengalami gangguan tidur Intervensi (NIC):

1) Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri

2) Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dalam, relaksasi, distraksi, kompres hangat/ dingin

3) Tingkatkan istirahat

4) Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan

5) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi 6) Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan

7) Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali

8) Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan

9) Kurangi faktor presipitasi nyeri

10) Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi

11) Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan berkurang dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur

b. Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif, kerusakan jaringan dan peningkatan paparan lingkungan.

NOC:

1) Immune Status

2) Knowledge : Infection control 3) Risk control

Setelah dilakukan tindakan keperawatan, pasien tidak mengalami infeksi dengan kriteria hasil:

(38)

1) Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi

2) Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi 3) Jumlah leukosit dalam batas normal

4) Menunjukkan perilaku hidup sehat

5) Status imun, gastrointestinal, genitourinaria dalam batas normal Intervensi (NIC):

1) Kaji suhu badan pada pasien neutropenia setiap 4 jam 2) Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal

3) Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas, dan drainase

4) Monitor adanya luka 5) Pertahankan teknik aseptif 6) Batasi pengunjung bila perlu

7) Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan 8) Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung

9) Ganti letak IV perifer dan dressing sesuai dengan petunjuk umum 10) Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung

kencing

11) Tingkatkan intake nutrisi 12) Dorong masukan cairan 13) Dorong pasien untul istirahat

14) Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi 15) Berikan terapi antibiotik

4. Implementasi

Implementasi disesuaikan dengan intervensi yang telah disusun. 5. Evaluasi

Evaluasi mengacu pada hasil yang diharapkan dari intervensi dan implementasi.

(39)

WOC KOLESISTITIS

Kolelitiasis Infeksi bakteri (escherichia

coli) ke dalam k. empedu

Luka bakar >20% (derajat 3)

Aliran empedu tersumbat Distensi kandung empedu Lapisan dinding kandung empedu rusak Trauma dinding kandung empedu

Port of entri oral (bersama makanan)

Terjadi proses pencernaan di dalam

usus halus Obstruksi duktus

sistikus dan common bile duct

Terjadi absorpsi oleh kapiler mukosa

usus halus

Nutrisi dan bakteri menyebar melalui aliran darah (hematogen) Invasi bakteri ke vesica fellea Pemasangan infus (elektrolit) yang lama

Elektrolit mengendap membentuk kristal

dalam k.empedu Cairan infus pekat

Cairan tdk dapat diserap k.empedu Kerusakan kulit & syaraf Cairan plasma, sel darah, & albumin keluar dari pembuluh darah Osmolaritas darah Endotel pemb. darah rusak Sumbatan pemb. darah Reaksi radang sistemik berlebih Kerusakan pembuluh darah Permeabilitas vaskuler Evaporasi perifer Akut Kronis Kalkuli Akalkuli 38 Pembedahan Non-bedah Bedah a. Disolusi Medis b. ERCP c. ESWL a. Koliseste-ktomi terbuka b. Koliseste-ktomi Laparosk-opik Luka post-operasi Diskontinuitas jaringan

(40)

KOLESISTITIS (radang kandung empedu)

Proses inflamasi

Migrasi leukosit ke lokasi jejas

Merangsang serabut saraf reseptor nyeri

Pengeluaran prostaglandin

Penurunan peristaltik usus dan lambung

Makanan tertahan di lambung Perubahan status kesehatan MK: Cemas MK: Defisiensi pengetahuan Dehidrasi masif Radang kandung empedu Inflamasi Aliran darah di lokasi jejas

Sirkulasi sistem GIT

Kontraktilitas GIT Gg. Peristaltic usus dan lambung Statis empedu Pengosongan kandung empedu terganggu MK:Nyeri akut MK:Risiko Infeksi

(41)

Reaksi radang: calor dan rubor

Suhu tubuh

Nyeri abdomen kuadran kanan atas

MK: Nyeri akut

Rasa mual meningkat

MK: Mual

Nafsu makan

MK: Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari

kebutuhan tubuh Pengaktifan pusat muntah (medula oblongata) Muntah MK: Resiko kekurangan volume cairan Pergerakan sel-sel PMN:

neutrofil, basofil, eosinofil

Fagositosis Reaksi radang: dolor MK: Hipertermi MK: Nyeri Kronis PGD2 PGE2 PGF2 leukosit

(42)

BAB IV TINJAUAN KASUS

Ny. T berusia 55 tahun MRS tanggal 15 September 2014 dengan keluhan utama nyeri di daerah perut kanan atas, nyeri datang terus-menerus terutama pada saat klien menarik napas. Diperoleh hasil TD:120/60 mmHg. RR:26 x/menit, N:110 x/menit, S:38,5°C. Klien mengeluh perutnya kembung dan mual. Klien juga mengatakan sehari sebelumnya muntah dua kali. Setelah dilakukan pemeriksaan USG, tampak adanya pus pada kandung empedu serta batu pada duktus sistikus. Foto polos abdomen menunjukkan adanya batu pada kandung empedu. Pada pemeriksaan darah terjadi peningkatan jumlah leukosit sebanyak 12500/uL dan bilirubin total 2 mg%, bilirubin direk 0,4 mg%. Sejak MRS sampai saat pengkajian tanggal 17 September 2014, Ny. T mengeluh mual dan tidak nafsu makan, BB Ny. T menurun dari waktu MRS 68kg menjadi 65 kg. Pada pemeriksaan fisik didapatkan ikterus pada sklera (+/+), perkusi abdomen pekak pada RUQ, Murphysign(+), BOAS sign (+).Pasien mengatakan sebelumnya pernah dirawat di rumah sakit karena terkena batu empedu, dan menjalani operasi pemasangan stend 2 tahun yang lalu.

A. PENGKAJIAN KEPERAWATAN 1. Identitas Pasien Nama : Ny. T Umur : 55 tahun Agama : Islam Suku : Jawa Alamat : Surabaya Reg. Med : 6897 MRS : 15 September 2014 Pengkajian: 17 September 2014 2. Keluhan Utama

Pasien mengeluh nyeri di daerah perut kanan atas, nyeri menyebar ke punggung, terus-menerus terutama pada saat klien menarik napas.

(43)

3. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien mengatakan mulai merasakan nyeri pada perut kanan atas sejak 1 minggu yang lalu, nyeri semakin terasa ketika pasien menarik nafas. Mata pasien mulai menguning 2 hari yang lalu. Nyeri perut semakin memberat terasa menyebar ke punggung sehingga pasien dibawa ke IRD tanggal 15 September 2014.

4. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien mengatakan sebelumnya pernah dirawat di rumah sakit karena terkena batu empedu, dan menjalani operasi pemasangan stend 2 tahun yang lalu. 5. Riwayat Kesehatan Keluarga

Pasien mengatakan keluarganya tidak ada yang menderita penyakit seperti yang diderita pasien sekarang.

6. Pola Fungsi Kesehatan a. Aktivitas/ istirahat

Pasien mengatakan mudah lelah ketika beraktifitas, tidak mampu beraktifitas lama dan selama di rawat pasien harus bedrest. Pasien mengatakan susah tidur dan ketika tidur sering terbangun karena nyeri. b. Eliminasi

Klien mengatakan kencingnya menjadi gelap seperti teh, BAB berwarna seperti lumpur, dan seperti ada minyaknya.

c. Makanan/ cairan

Pasien mengeluh perutnya kembung dan mual serta tidak nafsu makan. Pasien mengatakan sempat muntah, sehingga tidak mau makan, tidakmenghabiskan makanan dan berat badannya turun dari 68 kg menjadi 65 kg selama MRS.

d. Nyeri/ kenyamanan

Pasien mengeluh nyeri di daerah perut kanan atas, nyeri datang terus-menerus terutama pada saat menarik napas dan menyebar ke punggung atau bahu kanan

e. Keamanan

(44)

7. Pemeriksaan Fisik Tanda-tanda Vital:

TD : 120/60 mmHg RR : 26 x/menit

N :110 x/menit S :38,5°C

c. B1 (Breathing)

Inspeksi : RR 26x/ menit, pernafasan cepat dan dangkal, nampak nyeri ketika bernapas.

Palpasi : Vocal fremitus teraba sama pada paru kanan dan kiri. Auskultasi : Ronchi (-/-), wheezing (-/-).

Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru. d. B2 (Blood)

Inspeksi : Nadi 110x/menit, reguler, kuat angkat, TD 120/60 mmHg, pasien berkeringat, produksi urin 1500 cc/24 jam.

Palpasi : Tidak terdapat edema.

Auskultasi : Suara jantung S1S2 tunggal, reguler.

Perkusi : Batas kanan jantung: ICS II linea parasternal dextra. Batas kiri jantung: ICS V linea midklavikula sinistra.

e. B3 (Brain)

Inspeksi : Klientampak cemas, dapat menghitung ringan, GCS E4V5M6.

f. B4 (Bladder)

Inspeksi : Urine berwarna gelap dan pekat. g. B5 (Bowel)

Inspeksi : Bentuk cembung, distensi abdomen (+).

Palpasi : Terdapat nyeri tekan dan nyeri lepas, nyeri tekan pada abdomenRUQ pada saat klien inspirasi (Murphysign[+]). Auskultas : Bising usus 4x/menit.

Perkusi : Pekak pada RUQ. h. B6 (Bone)

Inspeksi : Kulit ikterik, wajah kemerahan,terpasang infus pada lengan kiri.

Gambar

Gambar 1.  Anatomi  Sistem  Saluran  Empedu  di  dalam  dan  di  luar  Hepar  (Cahyono, 2009)

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan bahasa Indonesia dalam publikasi tersebut belum memuaskan karena terdapat beberapa kesalahan, seperti kesalahan penulisan kata

Sehingga dapat dilihat hasil penilaian rata – rata yang dicapai nilai dari kegiatan kondisi awal 64,77 dan pada silkus pertama nilai rata – rata yang dicapai 65,45

Parameter penilaian dari aspek fisik terdiri dari: a. Pengelolaan tutupan vegetasi. 1) Penilaian pengelolaan tutupan vegetasi dilakukan terhadap kondisi fisik dalam

- Halaman Antarmuka Untuk Staff PP, antarmuka ini hanya digunakan oleh Staff PP, yaitu untuk menginputkan keluhan pelanggan yang nantinya akan ditindaklanjuti oleh

Kumpulan tulisan dari satu orang penulis atau beberapa orang penulis berupa artikel, esai, ataupun makalah yang diterbitkan dalam.. momentum tertentu atau dalam satu

Latar Belakang: Persiapan mental merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dalam proses persiapan operasi karena mental pasien yang tidak siap atau labil dapat

Penelitian ini menunjukkan arah negatif, walaupun CAR berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan tetapi apabila nilai CAR yang terlalu tinggi dapat

Segala puja dan puji kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala karunia, kenikmatan, kesehatan, hidayah dan taufiq-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan