• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN PENDAHULUAN GBS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN PENDAHULUAN GBS"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

1. Definisi

Guillain – Barre Syndrome adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang biasanya timbul setelah suatu infeksi atau diakibatkan oleh autoimun,di mana proses imunologis tersebut langsung mengenai radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis. Saraf yang diserang bukan hanya yang mempersarafi otot, tetapi bisa juga indera peraba sehingga penderita mengalami baal atau mati rasa. Fase awal dimulai dengan munculnya tanda – tanda kelemahan dan biasanya tampak secara lengkap dalam 2 – 3 minggu. Ketika tidak terlihat penurunan lanjut, kondisi ini tenang. Fase kedua berakhir beberapa hari sampai 2 minggu. Fase penyembuhan ungkin berakhir 4 – 6 bulan dan mungkin bisa sampai 2 tahun. Penyembuhan adalah spontan dan komplit pada kebanyakan pasien, meskipun ada beberapa gejala neurologis, sisa dapat menetap (Japardi, 2002).

Menurut Parry Sindroma Guillain Barre (SGB) adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut. Menurut Bosch, SGB merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis (Parry dalam Japardi, 2002).

Guillain – Barre Syndrome (GBS) adalah sindrom klinis yang penyebabnya tidak diketahui secara pasti ditunjukkan oleh awitan akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit mencakup demielinisasi dan degenerasi selaput myelin dan saraf perifer kranial (Smeltzer, 2002).

Pendapat lain mengatakan bahwa Guillain – Barre Syndrome (GBS) adalah suatu demielinasi polineuropati akut yang dikenal dengan beberapa nama lain yaitu polyneuritis idiopatik, paralisis asenden landry, dan polineuropati inflamasi akut. Gambaran utama GBS adalah paralisis motorik asendens secara primer dengan segala gangguan fungsi sensorik. GBS adalah gangguan neuron motorik bagian bawah dalam saraf perifer, final common pathway untuk gerakan motorik juga (Sylvia A. Price, 2006).

Guillain – Barre Syndrome (GBS) adalah salah satu penyakit saraf, juga merupakan salah satu polineuropati karena hingga sekarang belum dapat diapstikan penyebabnya. Namun kebanyakan kasus terjadi sesudah proses infeksi diduga GBS terjadi karena sistem kekebalan tidak berfungsi. Gejalanya adalah kelemahan otot (parese hingga plegia), biasanya perlahan mulai dari bawah ke

(2)

atas. Jadi gejala awalnya biasanya tidak bisa berjalan atau gangguan berjalan. Sebaliknya penyembuhannya diawalai dari bagian atas tubuh ke bawah sehingga bila ada gejala sisa biasanya gangguan berjalan (Fredericks et all, dalam Ikatan Fisioterapi Indonesia, 2007).

Angka kejadian Guillain – Barre Syndrome, di seluruh dunia berkisar antara 1-1,5 kasus per 100.000 penduduk per tahun. Di Indonesia, kasus GBS masih belum begitu banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III (di bawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Insidensi lebih tinggi pada perempuan dari pada laki-laki dengan perbandingan 2 : 1. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Penyakit ini menyerang semua umur, dan lebih banyak terjadi pada usia dewasa muda yaitu antara 15 sampai dengan 35 tahun. Namun tidak jarang juga menyerang pada usia 50 sampai dengan 74 tahun. Jarang sekali GBS menyerang pada usia di bawah 2 tahun. Umur termuda yang dilaporkan adalah 3 bulan dan tertua adalah 95 tahun, dan tidak ada hubungan antara frekuensi penyakit ini dengan suatu musim tertentu. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei di mana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau (Japardi, 2002)

Berdasarkan beberapa pengertian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa GBS merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer dan nervus kranialis.

2. Klasifikasi

Menurut Lewis (2009) klasifikasi dari Guillain – Barre Syndrome (GBS) adalah sebagai berikut :

a. Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)

Sering muncul cepat dan mengalami paralisis yang berat dengan perbaikan yang lambat dan buruk. Seperti tipe AMAN yang berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni. Patologi yang ditemukan adalah degenerasi akson dari serabut saraf sensorik dan motorik yang berat dengan sedikir demielinisasi.

b. Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN)

Berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni dan titer antibody gangliosid meningkat (seperti, GM1, GD1a, GD1b). Penderita tipe ini memiliki gejala klinis motorik dan secara klinis khas untuk tipe demielinisasi dengan

(3)

asending dan paralysis simetris. AMAN dibedakan dengan hasil studi elektrodiagnostik dimana didapatkan adanya aksonopati motorik. Pada biopsy menunjukkan degenerasi ‘wallerian like’ tanpa inflamasi limfositik. Perbaikannya cepat, disabilitas yang dialami penderita selama lebih kurang 1 tahun.

c. Miller Fisher Syndrome

Variasi dari SGB yang umum dan merupakan 5 % dari semua kasus GBS. Sindroma ini terdiri dari ataksia, optalmoplegia dan arefleksia. Ataksia terlihat pada gaya jalan dan pada batang tubuh dan jarang yang meliputi ekstremitas. Motorik biasanya tidak terkena. Perbaikan sempurna terjadi dalam hitungan minggu atau bulan.

d. Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP)

CIDP memiliki gambaran klinik seperti AIDP, tetapi perkembangan gejala neurologinya bersifat kronik. Pada sebagian anak, kelainan motorik lebih dominant dan kelemahan otot lebih berat pada bagian distal

e. Acute pandysautonomia

Tanpa sensorik dan motorik merupakan tipe SGB yang jarang terjadi. Disfungsi dari sistem simpatis dan parasimparis yang berat mengakibatkan terjadinya hipotensi postural, retensi saluran kemih dan saluran cerna, anhidrosis, penurunan salvias dan lakrimasi dan abnormalitas dari pupil. 3. Etiologi

Etiologi Guillain – Barre Syndrome sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti dan masih menjadi bahan perdebatan. Teori yang dianut sekarang ialah suatu kelainan imunobiologik, baik secara primary immune response maupun immune mediated process. Periode laten antara infeksi dan gejala polineuritis memberi dugaan bahwa kemungkinan kelainan yang terdapat disebabkan oleh suatu respons terhadap reaksi alergi saraf perifer. Pada banyak kasus, infeksi sebelumnya tidak ditemukan namun terdapat gangguan di medula spinalis dan medula oblongata (Japardi, 2002).

Beberapa keadaan/ penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya GBS, antara lain (Japardi, 2002) :

(4)

GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% -80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal. Infeksi akut yang berhubungan dengan GBS :

b. Vaksinasi

c. Pembedahan, anestesi

d. Penyakit sistematik, seperti keganasan, Systemic Lupus Erythematosus, tiroiditis, dan penyakit Addison

e. Kehamilan atau dalam masa nifas f. Gangguan endokrin

4. Manifestasi Klinis a. Masa laten

Waktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang mendahuluinya dan saat timbulnya gejala neurologis. Lamanya masa laten ini berkisar antara satu sampai 28 hari, rata-rata 9 hari. Pada masa laten ini belum ada gejala klinis yang timbul.

b. Gejala Klinis 1) Kelumpuhan

Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor neurone dari otot-otot ekstremitas, badan dan kadang-kadang juga muka. Pada sebagian besar penderita, kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis. Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal, tetapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal.

(5)

Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral. Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik.

3) Saraf Kranialis

Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis nervus laringeus. 4) Gangguan fungsi otonom

Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita GBS. Gangguan tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic profuse diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin jarang dijumpai. Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu atau dua minggu.

5) Kegagalan pernafasan

Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen penderita.

6) Papiledema

Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang.

(6)

5. Patofisiologi

6. Etiologi 7.

8. Proses autoimun (merangsang reaksi kekebalan sekunder 9. pada saraf tepi / aktivasi limfosit T dan makrofag)

10.

11. Infiltrasi sel limfosit dari pembuluh darah kecil pada endo dan epinural 12. Makrofag mensekresi protease

13. Penimbunan komplek antigen, antibodi pada pembuluh darah saraf tepi 14.

15. Menghancurkan myelin yang mengelilingi akson 16.

17. Proses demyelinasi akut syaraf perifer 18.

19. Konduksi salsatori tidak terjadi dan tidak ada transmisi impuls syaraf 20.

21. Gangguan

fungsi syaraf perifer dan kranial Ansietas

22.

23. Guillain Barre Syndrome (GBS)

Prognosis penyakit kurang baik 24.

25.

26. Gangguan fungsi Gangguan syaraf perifer

dan neuromuskular Disfungsi otonom

27. Syaraf kranial :

28.

29. N III, IV, VI N VII, IX, XI Parastesia (kesemutan) dan Paralise lengkap, otot

(7)

30. kelemahan otot kaki, yang nafasan terkena mengakibat- syaraf simpatis dan parasimpatis

31. Diplopia Gg. Refleks gag/ dapat berkembang ke kan insufisiensi

pernafasan perubahan sensori

32. Menelan ekstremitas atas, batang

33. Gg. Penglihatan tubuh, dan otot wajah Penurunan kemampuan batuk

Hipotensi Kerusakan

34. Intake nutrisi kurang peningkatan sekresi mukus

/hipertensi rangsang

35. Risiko jatuh / Kelemahan fisik umum, berkemih

36. cidera Gg. Nutrisi Kurang paralisis otot wajah Ketidakefektifan Takikardi/

37. dari Kebutuhan Pola Nafas Bradikardi Retensi Urin

38. Tubuh Penurunan tonus otot Ketidakefektifan Kerusakan

39. seluruh tubuh, perubahan Bersihan Jalan Nafas rangsang defekasi

40. estetika wajah

41. Hipoksemia Sekresi mukus Gg. Eliminasi Fekal

42. Hambatan Mobilitas Fisik, masuk lebih ke (Kontipasi/diare)

43. Defisit Perawatan Diri Asidosis bawah jalan napas

44. respiratorik

45. resiko tinggi infeksi saluran Pneumonia

(8)

47. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan Fisik

48. Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang bersifat difus dan paralisis. Refleks tendon akan menurun atau bahkan menghilang. Batuk yang lemah dan aspirasi mengindikasikan adanya kelemahan pada otot-otot intercostal. Tanda rangsang meningeal seperti perasat kernig dan kaku kuduk mungkin ditemukan. Refleks patologis seperti refleks Babinsky tidak ditemukan. b. Pemeriksaan laboratorium

49. Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein dalam cairan otak (> 0,5 mg%) tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam cairan otak, hal ini disebut disosiasi sito-albuminik. Peninggian kadar protein dalam cairan otak ini dimulai pada minggu 1-2 dari onset penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu. Jumlah sel mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun demikian pada sebagian kecil penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein dalam cairan otak. Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma Inapproriate Antidiuretik Hormone).

c. Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG)

50. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis GBS adalah kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat. Distal motor retensi memanjang kecepatan hantaran gelombang-f melambat, menunjukkan perlambatan pada segmen proksimal dan radiks saraf. Di samping itu untuk mendukung diagnosis pemeriksaan elektrofisiologis juga berguna untuk menentukan prognosis penyakit : bila ditemukan potensial denervasi menunjukkan bahwa penyembuhan penyakit lebih lama dan tidak sembuh sempurna.

d. Pemeriksaan LCS

51. Dari pemeriksaan LCS didapatkan adanya kenaikan kadar protein ( 1 – 1,5 g/dl ) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh Guillain (1961) disebut sebagai disosiasi albumin sitologis. Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada 48 jam pertama penyakit tidak memberikan hasil apapun juga. Kenaikan kadar protein biasanya terjadi pada minggu pertama atau kedua. Kebanyakan pemeriksaan LCS pada pasien akan

(9)

menunjukkan jumlah sel yang kurang dari 10/mm3 (albuminocytologic dissociation).

e. Pemeriksaan MRI

52. Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan kira-kira pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan gambaran cauda equina yang bertambah besar. Hal ini dapat terlihat pada 95% kasus SGB.

1) Pemeriksaan serum CK biasanya normal atau meningkat sedikit. 2) Biopsi otot tidak diperlukan dan biasanya normal pada stadium awal.

Pada stadium lanjut terlihat adanya denervation atrophy. 53.

54. Penatalaksanaan

55. Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi) (Japardi, 2002).

a. Sindrom, Guillain Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan pasien diatasi di unit perawatan intensif (Japardi, 2002)

1) Pengaturan jalan napas

56. Respirasi diawasi secara ketat terhadap perubahan kapasitas vital dan gas darah yang menunjukkan permulaan kegagalan pernafasan. Setiap ada tanda kegagalan pernafasan maka penderita harus segera dibantu dengan oksigenasi dan pernafasan buatan. Trakheotomi harus dikerjakan atau intubasi penggunaan ventilator jika pernafasan buatan diperlukan untuk waktu yang lama atau resiko terjadinya aspirasi. Walaupun pasien masih bernafas spontan, monitoring fungsi respirasi dengan mengukur kapasitas vital secara regular sangat penting untuk mengetahui progresivitas penyakit.

2) Pemantauan EKG dan tekanan darah

57. Monitoring yang ketat terhadap tekanan darah dan EKG sangat penting karena gangguan fungsi otonom dapat mengakibatkan timbulnya hipotensi atau hipertensi yang mendadak serta gangguan irama jantung. Untuk mencegah takikardia dan

(10)

hipertensi, sebaiknya diobati dengan obat-obatan yang waktu kerjanya pendek (short-acting), seperti : penghambat beta atau nitroprusid, propanolol. Hipotensi yang disebabkan disotonomi biasanya membaik dengan pemberian cairan iv dan posisi terlentang (supine). Atropin dapat diberikan untuk menghindari episode brakikardia selama pengisapan endotrakeal dan terapi fisik. Kadang diperlukan pacemaker sementara pada pasien dengan blok jantung derajat 2 atau 3.

3) Plasmaparesis

58. Pertukaran plasma (plasma exchange) yang menyebabkan reduksi antibiotik ke dalam sirkulasi sementara, dapat digunakan pada serangan berat dan dapat membatasi keadaan yang memburuk pada pasien demielinasi. Bermanfaat bila dikerjakan dalam waktu 3 minggu pertama dari onset penyakit. Jumlah plasma yang dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg. Dalam waktu 7-14 hari dilakukan tiga sampai lima kali exchange. Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Albumin : dipakai pada plasmaferesis, karena Plasma pasien harus diganti dengan suatu substitusi plasma.

4) Perlu diperhatikan pemberian cairan dan elektrolit terutama natrium karena penderita sering mengalami retensi airan dan hiponatremi disebabkan sekresi hormone ADH berlebihan.

5) Ileus paralitik terkadang ditemukan terutama pada fase akut sehingga parenteral nutrisi perlu diberikan pada keadaan ini.

b. Perawatan umum

1) Mencegah timbulnya luka baring/bed sores dengan perubahan posisi tidur.

2) Fisioterapi yang teratur dan baik juga penting. Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps aru. Segera setelah penyembuhan mulai fase rekonvalesen) maka fisioterapi aktif dimulai untuk melatih dan meningkatkan kekuatan otot.

3) Spint mungkin diperlukan untuk mempertahakan posisi anggota gerak yang lumpuh,

4) Kekakuan sendi dicegah dengan gerakan pasif. Gerakan pasti pada kaki yang lumpuh mencegah deep voin thrombosis.

(11)

5) Perawatan kulit, kandung kemih, saluran pencernaan, mulut, faring dan trakhea.

6) Infeksi paru dan saluran kencing harus segera diobati. 7) Bila ada nyeri otot dapat dapat diberikan analgetik. c. Pengobatan

1) Kortikosteroid

59. Seperti : azathioprine, cyclophosphamid

60. Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi GBS. Peter melaporkan kemungkinan efek steroid dosis tinggi intravenous menguntungkan. Dilaporkan 3 dari 5 penderita memberi respon dengan methyl prednisolon sodium succinate intravenous dan diulang tiap 6 jam diikuti pemberian prednisone oral 30 mg setiap 6 jam setelah 48 jam pengobatan intravenous. Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala. 2) Profilaksis terhadap DVT (deep vein thrombosis)

61. Pemberian heparin dengan berat molekuler yang rendah secara subkutan (fractioned Low Molecular Weight Heparin/ fractioned LMWH) seperti : enoxaparin, lovenox dapat mengurangi insidens terjadinya tromboembolisme vena secara dramatik, yang merupakan salah satu keluhan utama dari paralisis ekstremitas. DVT juga dapat dicegah dengan pemakaian kaus kaki tertentu (true gradient compression hose/ anti embolic stockings/ anti-thromboembolic disease (TED) hose).

3) Pengobatan imunosupresan: a) Imunoglobulin IV

62. Beberapa peneliti pada tahun 1988 melaporkan pemberian immunoglobulin atau gamaglobulin pada penderita GBS yang parah ternyata dapat mempercepat penyembuhannya seperti halnya plasmapharesis. Gamaglobulin (Veinoglobulin) diberikan perintravena dosis tinggi. Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan tetapi harganya mahal. Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh. imunoglobulin intravena (IVIG 7s) : dipakai untuk memperbaiki aspek klinis dan imunologis dari

(12)

GBS dan Dosis dewasa adalah 0,4 g/kg/hari selama 5 hari (total 2 g selama 5 hari) dan bila perlu diulang setelah 4 minggu. Kontraindikasi IVIg : adalah hipersensitivitas terhadap regimen ini dan defisiensi IgA, antibodi anti IgE/ IgG. Tidak ada interaksi dng obat ini dan sebaiknya tidak diberikan pd kehamilan.

b) Obat sitotoksik

63. Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah 6 merkaptopurin (6-MP).

64. 65. Komplikasi

a. Paralysis yang persisten b. Kegagalan pernafasan c. Hipotensi atau hipertensi d. Tromboembolisme e. Pneumonia

f. Aritmia kardial g. Aspirasi h. Retensi urinae

i. Problem psikiatrik (seperti : depresi dan ansietas). 66.

67. Asuhan Keperawatan a. Pengkajian

1) Aktivitas/Istirahat

68. Gejala : adanya kelemahan dan paralysis secara simetris yang biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan selanjutnya berkembang dengan cepat ke arah atas, hilangnya kontrol motorik halus tangan. Tanda : kelemahan otot, paralysis plaksid (simetris), cara berjalan tidak mantap.

2) Sirkulasi

69. Tanda : perubahan tekanan darah (hipertensi/hipotensi), disritmia, takikardia/brakikardia, wajah kemerahan, diaforesis.

3) Integritas Ego

70. Gejala : perasaan cemas dan terlalu berkonsentrasi pada masalah yang dihadapi. Tanda : tampak takut dan bingung.

4) Eliminasi

71. Gejala : adanya perubahan pola eliminasi. Tanda : kelemahan pada otot-otot abdomen, hilangnya sensasi anal (anus) atau berkemih dan refleks sfingter.

(13)

72. Gejala : kesulitan dalam mengunyah dan menelan. Tanda : gangguan pada refleks menelan atau refleks gag.

6) Neurosensori

73. Gejala: kebas, kesemutan dimulai dari kaki atau jari-jari kaki dan terus naik, perubahan rasa terhadap posisi tubuh, vibrasi, sensasi nyeri, sensasi suhu, perubahan dalam ketajaman penglihatan. Tanda : hilangnya/menurunnya refleks tendon dalam, hilangnya tonus otot, adanya masalah dengan keseimbangan, adanya kelemahan pada otot-otot wajah, terjadi ptoris kelopak mata, kehilangan kemampuan untuk berbicara.

7) Nyeri/kenyamanan

74. Gejala : nyeri tekan otot, seperti terbakar, mengganggu, sakit, nyeri (terutama pada bahu, pelvis, pinggang, punggung dan bokong). Hiposensitif terhadap sentuhan.

8) Pernafasan

75. Gejala : kesulitan dalam bernafas. Tanda : pernafasan perut, menggunakan otot bantu nafas, apnea, penurunan bunyi nafas, menurunnya kapasitas vital paru, pucat/sianosis, gangaun refleks gag/menelan/batuk.

9) Keamanan

76. Gejala : infeksi virus nonspesifik (seperti ISPA) kira-kira dua minggu sebelum munculnya tanda serangan, adanya riwayat terkena herpes zoster, sitomegalovirus. Tanda : suhu tubuh yang berfluktuasi, penurunan kekuatan/tonus otot, paralysis/parestesia.

(14)

b. Diagnosa Keperawatan c. No d. Diagnosa Keperawatan e. Tujuan dan Kriteria Hasil f. Intervensi g. Rasional h. 1. i. Ketidakefe ktifan bersihan nafas berhubungan dengan kelemahan/ paralisis otot pernafasan j. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan jalan nafas klien adekuat dengan kriteria hasil :

 Tidak ada distress pernafasan  RR klien normal (16-24 x/menit)  GDA normal k. l. Mandiri :

1. Pantau frekuensi, kedalaman, dan kesimetrisan pernafasan. Catat kerja nafas dan observasi warna kulit dan membran mukosa.

2. Catat adanya kelemahan pernapasan selama berbicara

m.

3. Tinggikan kepala tempat tidur (semifowler) n.

4. Evaluasi refleks batuk, refleks gag/menelan secara periodik

o.

5. Lakukan penghisapan sekret, catat warna dan jumlah sekret

p. q.

r. Kolaborasi

6. Lakukan pemeriksaan laboratorium s.

u.

1. Peningkatan distress pernapasan menandakan adanya kelelahan pada otot pernapasan.

v.

2. Indikator yang baik terhadap gangguan fungsi nafas/ menurunnya kapasitas vital paru

3. Meningkatkan ekspansi paru dan usaha batuk, menurunkan kerja pernapasan 4. Evaluasi dilakukan untuk mencegah

aspirasi, infeksi pulmonia, dan gagal napas

5. Kehilangan kekuatan dan fungsi otot mengakibatkan ketidakmampuan klien untuk mempertahankan dan/atau membersihkan jalan nafas

6. Menentukan keefektifan dari ventilasi sekarang dan kebutuhan klien

7. Mengatasi hipoksia w.

(15)

7. Berikan terapi oksigen sesuai indikasi (nasal kanul, masker oksigen, atau ventilator mekanik)

8. Siapkan untuk mempertahankan inkubasi ventilator mekanik sesuai kebutuhan

t.

9. Lakukan perawatan trakheostomi

x.

8. 10-20% klien yang mengalami gangguan pernapasan berarti memerlukan monitoring terus –menerus

9. Mengcegah infeksi y. 2. z. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskular aa. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan klien mampu mempertahankan mobilitas fisik tanpa ada komplikasi dengan kriteria hasil :

 Tidak ada laporan kontraktur,

dekubitus

 Meningkatkan kekuatan oto dan fungsi bagian yang

ab. Mandiri

1. Kaji kekuatan motorik dengan menggunakan skala 0-5. Lakukan pengkajian secara teratur 2. Berikan posisi yang memberikan kenyamanan

pada klien dan lakukan perubahan posisi dengan jadwal yang teratur sesuai kebutuhan individu

3. Sokong ekstremitas dan persendian dengan bantal/papan kaki

ac.

4. Lakukan latihan gerak positif. Hindari latihanaktif selama fase akut

ad.

5. Berikan waktu istirahat saat latihan gerak ae.

af.

aj.

1. Menentukan perkembangan/ intervensi selanjutnya

2. Menurunkan kelelahan, meningkatkan relaksasi, menurunkan resiko terjadinya iskemia/ kerusakan pada kulit

ak.

3. Mempertahankan ekstremitas dalam posisi fisiologis, mencegah kontraktur, dan kehilangan fungsi sendi

4. Menstimulasi sirkulasi, meningkatkan tonus otot, dan meningkatkan mobilisasi sendi

5. Penggunaan otot secara berlebihan dapat meningkatkan waktu yang diperlukan untuk remielinisasi karena dapat

(16)

sakit  Mendemonstrasikan teknik/perilaku yang diinginkan sesuai kemampuannya ag.

6. Anjurkan untuk melatih gerak secara bertahap ah.

7. Berikan lubrikasi/minyak artifisial sesuai kebutuhan

ai. Kolaborasi

8. Konfirmasikan dengan bagian terapi fisik/fisioterapi

memperpanjang waktu penyembuhan 6. Meningkatkan fungsi organ normal dan

memiliki efek psikologis positif

7. Mencegah kekeringan dari jaringan tubuh yang halus

al.

8. Bermanffat dalam menciptakan kekuatan otot am. 3. an. Ansietas berhubungan dengan perubahan dalam status kesehatan dan kurang informasi ao. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan kecemasan klien dan keluarga tentang penyakit berkurang dengan kriteria hasil :

 Menerima dan mendiskusikan rasa takut  Mengungkapkan pengetahuan yang akurat tentang ap. Mandiri

1. Tempatkan pasien dekat dengan ruang perawat, periksa pasien secara teratur.

2. Berikan bentuk komunikasi alternatif jika diperlukan

3. Diskusikan adanya perubahan citra diri, ketakutan akan hilangnya kemampuan yang menetap, kehilangan fungsi, kematian masalah mengenai kebutuhan penyembuhan. 4. Berikan penjelasan singkat mengenai

perawatan, rencana perawatan dengan orang terdekat.

aq.

ar.

1. Memberikan keyakinan bahwa bantuan segera dapat diberikan.

2. Menurunkan perasaan tidak berdaya dan perasaan terisolasi.

3. Membawa perasaan takut secara terbuka, memberikan kesempatan untuk mengkaji persepsi/informasi yang salah dari pasien dan memberikan pemecahan masalah. 4. Pemahaman yang baik dapat

meningkatkan kerja sama pasien dalam kebutuhan akan melakukan aktivitas. Pelibatan pasien dan orang terdekat dapat mempertahankan beberapa perasaan kontrol yang akan

(17)

situasi.

 Tampak rileks dan melaporkan

ansietas berkurang sampai tingkat dapat diatasi.

meningkatkan harga diri

as. at. au. av.

(18)

aw.Daftar Pustaka ax.

1. Doengoes, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Ed. 3. Jakarta: EGC.

2. Israr, Yayan Akhyar, Juraita, dan Rahmat B.S. 2009. Sindroma Guillain Barre. Fakultas Kedokteran Unversitas Riau Pekanbaru.

3. Japardi, Iskandar. 2002. Sindrom Guillain Barre. Fakultas Kedokteran Bagian Bedah Universitas Sumatera Utara.

4. Jurnal Ikatan Fisioterapi Indonesia. 2007. Fisioterapi Guillain Barre Syndrome. Jakarta : Ikatan Fisioterapi Indonesia.

5. Lewis RA. Chronic Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy. Available from : URL : http://emedicine.medscape.com/article/1172965-overview. [diakses tanggal 3 Juni 2014]. Last update ; 2009.

6. Price, A. Sylvia. 2006. Patofisiologi Konsep Vol 2. Jakarta : EGC.

7. Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Ed. 8. Jakarta: EGC.

ay. az. ba. bb. bc. bd. be. bf. bg. bh. bi. bj. bk. bl. bm. bn. bo. bp.

bq.

br.

LAPORAN PENDAHULUAN

bs.

“ GUILLAIN BARRE SYNDROME

(GBS)”

(19)

bu.

bv.

bw.

bx.

by.

bz.

ca.

cb.

cc.

cd.

ce.

cf.

cg.

ch.Oleh :

ci. ANGGI YUWITA

cj. 105070203111003

ck.

cl.

cm.

cn.

co.

JURUSAN ILMU KEPERAWATAN

cp.

FAKULTAS KEDOKTERAN UNVERSITAS

BRAWIJAYA MALANG

Referensi

Dokumen terkait

Banyaknya kasus bangunan yang tidak sesuai dengan ketentuan perizinan menyebabkan Kelestarian alam yang terganggu juga membuktikan bahwa pelaksanaan penegakkan

Komputer memegang peran penting dalam menunjang kelancaran aktivitas pekerjaan di dalam suatu informasi, cara pengaturan data dengan menggunakan Sistem Basis Data yang selama ini

Dapat i dilihat dari hasil i analisis nitrogen terhadap pupuk i organik cair i dari masing-masing kulit buah yaitu 1,17% untuk POC-P dan 1,05% untuk POC-M, sehingga apabila

Sebagai perbandingan di Indonesia, hal serupa juga terjadi, di mana universitas Islam di bawah KEMENAG tidak memiliki akses yang sama terhadap sumberdaya yang

ZULFARDI D, S.PD, M.PD Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu..

(5) Dalam hal beban kerja minimal Pengawas Madrasah dan Pengawas PAI pada sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat(l) tidak terpenuhi karena tidak terdapat jumlah

-untuk pemberitahuan tentang tujuan ,jika untuk melihat kenyataan sebanarnya tidak perlu dilakukan pemberitahuan atau insfeksi sanitasi mendadak tetapi untuk menghindari