• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kandungan Klorofil-a dan Karaginan Eucheuma cottonii yang Ditanam pada Kedalaman Berbeda di Desa Palasa, Pulau Poteran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kandungan Klorofil-a dan Karaginan Eucheuma cottonii yang Ditanam pada Kedalaman Berbeda di Desa Palasa, Pulau Poteran"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Abstrak—Salah satu jenis rumput laut yang dibudidayakan dan memiliki nilai ekonomis tinggi adalah Eucheuma cottoni. Untuk melakukan penyerapan terhadap cahaya pada tingkat kedalaman yang berbeda, E. cottonii menggunakan berbagai macam pigmen diantaranya klorofil-a dan fikoeritrin. Kandungan pigmen yang berbeda pada berbagai tingkat kedalaman ini diperkirakan akan berpengaruh terhadap produk utama hasil fotosintesis pada E. cottonii, yaitu karaginan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan klorofil-a dan karaginan rumput laut jenis E. cottonii yang ditanam pada kedalaman yang berbeda yaitu 20 cm, 120 cm dan 220 cm.

Metode yang digunakan untuk penanaman bibit adalah metode rakit apung. Pemanenan dilakukan setelah 45 hari masa penanaman. Selanjutnya dilakukan analisis laboratorium terkait kandungan klorofil-a dan karaginan.

Hasil penelitian ini, didapatkan bahwa kedalaman memberikan pengaruh yang nyata tehadap kandungan klorofil-a dan karaginan pada E. cottonii. Kandungan klorofil-a dan karaginan tertinggi pada kedalaman 20 cm dengan kandungan klorofil-a sebesar 104,84 mg/g dan karaginan sebesar 68,43 %. Kata Kunci—E. cottonii, metode rakit apung, klorofil-a dan karaginan

I. PENDAHULUAN

UMPUT laut banyak dikembangkan di pesisir pantai Indonesia, mengingat panjangnya garis pantai Indonesia (81.000 km), maka peluang budidaya rumput laut sangat menjanjikan. Jika menilik permintaan pasar dunia ke Indonesia yang setiap tahunnya mencapai rata-rata 21,8 % dari kebutuhan dunia, sekarang ini pemenuhan untuk memasok permintaan tersebut masih sangat kurang, yaitu hanya berkisar 13,1 %. Rendahnya produksi rumput laut Indonesia disebabkan karena kegiatan budidaya yang masih kurang optimal [1].

Ganggang merah (Rhodophyceae) seperti Eucheuma sp. dikelompokkan sebagai rumput laut penghasil karaginan karena memiliki kadar karaginan yang relatif tinggi, sekitar 62-68 % dari berat keringnya [2].

Salah satu kawasan pesisir yang mempunyai potensi untuk dikembangkan budidaya rumput lautnyaadalah di Desa Palasa,

Pulau Poteran, Madura. Diketahui sebagian besar wilayah Pulau Poteran merupakan wilayah pesisir. Berdasarkan hasil survey dan wawancara sekitar 90 % masyarakat pada umumnya merupakan nelayan dan berprofesi sebagai petani rumput laut yang memanfatkan luas laut yang dimiliki sebagai mata pencaharian utama.

Salah satu jenis rumput laut yang dibudidayakan di Pulau Poteran, Madura khususnya Desa Palasa adalah Eucheuma cottoni. Jenis ini mempunyai nilai ekonomis penting karena sebagai penghasil karaginan. Dalam dunia industri dan perdagangan karaginan mempunyai manfaat yang sama dengan agar-agar dan alginat yaitu digunakan sebagai bahan baku untuk industri farmasi, kosmetik, makanan dan lain-lain) [3]. Alga memerlukan cahaya untuk proses fotosintesis sehingga distribusinya tergantung pada tersedianya cahaya. Pada suatu perairan, dengan bertambahnya kedalaman maka cahaya akan berkurang secara kuantitatif dan kualitatif [4].

Untuk melakukan penyerapan terhadap cahaya, alga mengembangkan berbagai macam pigmen. Setiap pigmen memiliki tingkat absorpsi yang berbeda terhadap spektrum warna cahaya. Beberapa pigmen yamg masuk dalam kelompok utama adalah (1) Chlorophylls (Chl) yang dengan kuat mengabsorpsi cahaya biru dan merah, contohnya adalah Chl a (terdapat pada seluruh alga dan (2) Phycobilins yang mengabsorpsi cahaya hijau, kuning, dan orange, contoh phycoerythrin (terdapat pada alga merah) [5].

Pada tingkat kedalaman yang berbeda, terjadi perubahan komposisi pigmen klorofil-a [6]. Komposisi pigmen yang berbeda pada berbagai tingkat kedalaman ini diperkirakan akan berpengaruh terhadap produk utama hasil fotosintesis pada E. cottonii, yaitu karaginan.

Berdasarkan penjelasan di atas untuk pengembangan pengetahuan, keterampilan, dan informasi maka diperlukan penelitian di Desa Palasa, Pulau Poteran, Madura untuk mengetahui adanya perbedaan kandungan klorofil-a dan karaginan rumput laut jenis E. cottoni yang dipengaruhi oleh perbedaan kedalaman penanaman dan kaitannya dengan intensitas pencahayaan

Kandungan Klorofil-a dan Karaginan

Eucheuma cottonii yang Ditanam pada

Kedalaman Berbeda di Desa Palasa, Pulau

Poteran

Aminatul B. Ikrom, dan Aunurohim

Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Sepuluh

Nopember (ITS)

Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 Indonesia

e-mail

: aunurohim@bio.its.ac.id

(2)

II. METODOLOGI

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Maret –Juni 2014 di Laboratorium Ekologi Jurusan Biologi ITS dan . Penerapan Metode Penanaman dengan rakit apung dilakukan di Desa Palasa, Pulau Poteran, Madura.

B. Pemilihan Bibit

Bibit yang digunakan berasal dari budidaya sendiri yakni rumput laut yang telah berumur 20 hari dengan berat 100 g, dari sisa budidaya sebelumnya atau dari pembudidaya lain dalam satu daerah.

C. Penanaman Bibit

Budidaya rumput laut ini menggunakan metoderakit apung dimana rakit sebagai alat utama dalamproses budidaya. Rakit yang berjumlah 1 buah terbuat dari bambu ini berbentuk persegi panjang dengan ukuran 9 x 7 m yang sisi dalamnya terbagimenjadi empat bagian yang dibatasi bambu. Tali yang digunakan untuk mengikat rumput laut, digunakan tali ris berupa tali nilon berukuran diameter 4 mm dengan panjang sekitar 11 meter sebanyak 3 buah yang diikatkan dari satu sisi rakit ke satu sisi yang berlawanan. Jarak antar tali ris sekitar kurang lebih 2,25 m. Sepanjang tali ris terdapat tali ris lagi yang menjulur ke bawah dengan panjang 20 cm, 120 cm dan 220 cm. Pada tali ris (menjulur ke bawah) terdapat pengikat rumput laut yang dinamakan tali gabar. Tiap tali gabar memiliki panjang kurang lebih 20 cm berjumlah 1 buah tiap risnya. Pada bagian tengahnya, diikatkan secara kuat pada tali ris sehingga kedua ujungnya bergelantungan bebas dan kemudian dapat digunakan untuk mengikat rumput laut. Tiap ikatan antara tali ris yang menjulur ke bawah berjarak 20-25 cm dalam satu tali ris.

Bibit rumput laut yang berukuran besar dipotong menjadi lebih kecil, kira-kira apabila ditimbang memiliki berat sekitar 100 gram. Kemudian bibit diikat secara kuat pada tali gabar. Proses pengikatan rumput laut di lokasi penelitian dilakukan di darat, biasanya dapat dilakukan di gardu kecil di pinggir pantai yang memang disediakan untuk para pekerja, kemudian tali ris diikatkan ke rakit.

Dalam penelitian ini rakit dipasang pada berbagai tingkat kedalaman., yaitu 20 cm, 120 cm, dan 220 cm di bawah permukaan laut. Jarak antara bibit satu dengan lainnya adalah 25 cm. Langkah berikutnya setelah tali ris diikatkan, rakit di tarik ke lokasi budidaya yakni sekitar 200 meter dari tepi pantai hingga 1 mil ke arah laut. Langkah terakhir yakni mengikatkan tali pengikat rakit ke jangkar ataupun pasak yang ditancapkan di dasar laut. Untuk ilustrasi penanaman dapat dilihat pada Lampiran 1.

D. Pemeliharaan

Pemeliharaan tanaman rumput laut di lokasi penelitian dilakukan setiap dua atau tiga hari sekali. Pemeliharaan meliputi pengontrolan rakit sebagai tempat budidaya, pengontrolan tali ris sebagai pengikat rumput laut, dan pengontrolan terhadap tanaman rumput laut dari hama dan penyakit

.

E. Pemanenan

Pemanenan dilakukan apabila berat rumput laut telah mencapai berat sekitar empat kali berat awal atau sudah mencapai masa budidaya 45 hari dengan tingkat pertumbuhan 2-3% setiap harinya [2]. Eucheuma cottoni memiliki kandungan karagenan yang optimal setelah mencapai 45 hari. Pada umur 45 hari memperlihatkan kandungan karagenan 47% dan selanjutnya hanya terjadi peningkatan karagenan yang tidak signifikan sehingga pemanenan sebaiknya dilakukan sampai rentaang waktu 45 hari. Apabila pemeliharaan masih tetap dilakukan berarti hanya akan menambah biaya operasional budidaya. Setelah dipanen, rumput laut dibawa ke laboratorium dan diamati kandungan klorofil a dan karaginan. F. Analisis Klorofil-a dan Karaginan

Analisis Klorofil-a

Diambil 10 g (berat basah) sampel rumput laut Eucheuma cottonii. Diblender dalam 10 ml aseton 80%. CaCO3

ditambahkan agar tidak terbentuk feofitin. Dihomogenkan dengan melakukan sentrifugasi sebesar 3000 rpm selama 15 menit. Diambil cairannya, bila cairannya keruh, disaring sehingga diperoleh filtrat jernih. Filtrat jernih diambil sebanyak 5 ml dituang dalam kuvet dan selanjutnya diukur nilai absorbansinya menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 427 nm. Untuk mengetahui kadar klorofilnya dibuatkan larutan standart klorofil dan diukur dengan panjang gelombang yang sama. Kandungan klorofil dihitung menggunakan rumus :

Klorofil-α (mg) =

nilai absorbansi sampel x konsentrasi klorofil standart nilai absorbansi standart

[7]. Analisis Karaginan

Diambil rumput laut laut kering sekitar 5 g, dan dicuci dengan air tawar. Selanjutnya direndam dengan aquades selama 12 jam. Sterilisasi di autoclave dengan suhu 1210C selama 30 menit. Setelah selesai, dipanaskan dalam 200 ml air dengan suhu 1000C, diambil filtrat sampai 100 ml. Kemudian dihaluskan menggunakan blender. Disaring dan diendapkan dengan isopropanol 100 ml. Langkah terakhir dikeringkan di bawah sinar matahari selama kurang lebih 7 hari [8]. Untuk menentukan kadar karagenan rumput laut digunakan rumus:

Kadar Karagenan = Wc Wm Keterangan:

Wc = berat karagenan ekstrak (g) Wm = berat rumput laut kering (g)

[9].

G. Perhitungan Biomassa

Dilakukan pengukuran biomassa untuk memperkuat hasil karaginan yang didapat karena ada hubungan antara karaginan dengan biomassa rumput laut E.cottonii. Produksi biomassa dihitung dengan persamaan sebagai berikut :

(3)

Dimana :

W = Produksi biomassa (gram)

Wt = Berat basah pada akhir percobaan (gram) Wo = Berat basah pada awal percobaan (gram)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kandungan Klorofil-a

Panen awalnya direncanakan pada hari ke 45 setelah penanaman. Pada penelitian ini, panen dilakukan seminggu lebih awal dari rencana semula, salah satunya karena ombak begitu besar yang mengakibatkan rakit apung (ancak) patah dan sebagian rumput laut terhempas.

Seperti penjelasan Triajie (2012) dalam penelitiannya di Desa Talang, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur bahwa arus dan ombak yang berkekuatan besar dapat menyebabkan kerusakan pada rumput laut seperti patah atau terlepas dari rakit apung. seperti pada gambar di bawah ini :

Gambar 4.1 Ancak yang Patah (ancak pada awalnya berbentuk segiempat dan gambar di atas adalah salah satu sisi ancak yang patah karena diterjang ombak)

Dari data yang didapat kemudian dilakukan pengolahan data untuk mengetahui bagaimana pengaruh kedalaman terhadap kandungan klorofil-a dan karaginan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kedalaman berpengaruh nyata terhadap kandungan klorofil-a pada Eucheuma cottonii. Lebih jelasnya dapat dilihat dari hasil analisa statistika dibawah ini :

Tabel 4.1 Hasil Anova One Way untuk Pengaruh Kedalaman terhadap Kandungan Klorofil-a ( α= 5%)

Kedalaman Rata-rata

20 cm 104,84a

120 cm 94,497b

220 cm 81,42c

Keterangan : Angka yang diikuti huruf berbeda pada kolom rata-rata menunjukkan berbeda nyata berdasarkan uji Tukey

Terlihat pada tabel di atas, angka pada kolom rata-rata dijumpai notasi yang berbeda yang menunjukkan bahwa kandungan klorofil-a pada E.cottonii berbeda nyata dengan kedalaman 120 cm dan kedalaman 220 cm. Kandungan klorofil-a yang tertinggi dihasilkan oleh E.cottonii yang ditanam pada kedalaman 20 cm, yaitu rata rata 104,84 mg/g

berat kering. Jumlah klorofil-a semakin menurun bersamaan dengan semakin bertambahnya kedalaman. Kandungan klorofil-a yang paling rendah dihasilkan oleh E.cottonii yang ditanam pada kedalaman 220 cm, yaitu sebesar 81,42 mg/g berat kering. Diduga, kandungan klorofil-a pada E.cottonii dipengaruhi oleh perbedaan intensitas cahaya. Permukaan perairan menyerap cahaya dengan kuat, tetapi dengan bertambahnya kedalaman penyerapan cahaya semakin lemah. Semakin dalam perairan intensitas cahaya yang diterima semakin berkurang [10].

Aminot dan Rey (2000) menyebutkan bahwa klorofil-a menyerap sinar tampak pada panjang gelombang kurang dari 460 nm (biru) dan 630-670 nm (merah). Tingkat penyerapan cahaya pada klorofil-a dapat dilihat pada Gambar di bawah ini:

Gambar 4.2 Tingkat penyerapan cahaya pada klorofil-a (Steer, 2002

Keberhasilan cahaya yang diserap oleh tanaman tergantung pada intensitasnya. E.cottonii yang ditanam di permukaan perairan akan mendapat penyinaran yang lebih lama, dibanding dengan yang ditanam di perairan yang lebih dalam [11]. Adanya perbedaan intensitas cahaya dan lama penyinaran terhadap alga diduga akan mempengaruhi pembentukan klorofil-a, akibatnya klorofil-a di kedalaman 20 cm lebih banyak jumlahnya daripada di kedalaman 120 cm ataupun 220 cm. Di bawah ini adalah grafik perbedaan kandungan klorofil-a Eucheuma cottonii yang ditanam pada kedalaman berbeda :

Gambar 4.3 Perbedaan Kandungan Klorofil-a pada Eucheuma cottonii yang Ditanam pada kedalaman yang Berbeda.

Penyinaran cahaya matahari akan berkurang secara cepat sesuai dengan makin tingginya kedalaman perairan. Adanya bahan-bahan yang melayang dan tingginya nilai kekeruhan di perairan dekat pantai penetrasi cahaya akan berkurang di tempat ini. Intensitas cahaya yang diterima sempurna oleh

(4)

thallus merupakan faktor utama dalam proses fotosintesis yang menentukan tingkat pertumbuhan rumput laut [12].

B. Kandungan Karaginan

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tingkat kedalaman rumput laut berpengaruh nyata terhadap kandungan karaginan. Pada kolom grup, notasi yang ditampilkan berbeda (a,b dan c) hal itu menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kandungan karaginan yang signifikan antara rumput laut yang ditanam pada kedalaman 20 cm, dengan 120 cm dan 220 cm. Lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel hasil analisis Anova di bawah ini :

Tabel 4.2 Hasil Anova One Way untuk Pengaruh Kedalaman terhadap Kandungan Karaginan ( α= 5%)

Kedalaman Rata-rata

20 cm 68,427a

120 cm 61,255b

220 cm 55,68c

Keterangan : Angka yang diikuti huruf berbeda pada kolom rata-rata menunjukkan berbeda nyata berdasarkan uji Tukey

Karaginan terdapat dalam dinding sel rumput laut atau matriks intraselulernya dan karaginan merupakan hasil dari fotosintesis yang juga menjadi bagian penyusun yang besar dari berat kering rumput laut dibandingkan dengan komponen yang lain [12].

Jika dikaitkan dengan fotosintesis, maka akan ada hubungannya dengan kandungan klorofil-a. Semakin banyak klorofil-a maka akan semakin meningkat proses fotosintesinya, dan meningkat pula kandungan karaginannya [12]. Jadi semakin banyak kandungan klorofil-a maka semakin tinggi pula kandungan kandungan karaginannya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa kandungan karaginan tertinggi terdapat pada kedalaman 20 cm sebesar 68,43 %, serta kandungan klorofil-a tertinggi terdapat pada kedalaman 20 cm juga yaitu sebesar 104,84 mg/g.

Dibawah ini adalah hasil karaginan yang ditanam pada kedalaman berbeda :

Gambar 4.4 Perbedaan Kadar Karaginan pada Eucheuma cottonii yang ditanam pada kedalaman yang berbeda.

Beberapa penelitian kadar karaginan yang dilakukan di Indonesia menunjukkan hasil yang beragam untuk lokasi yang berbeda. Hasil penelitian kandungan karaginan rumput laut di perairan Kecamatan Kupang Barat tergolong baik namun lebih rendah dibandingkan penelitian Syaputra (2005) sebesar 48%

di Lhokseudu Aceh, Apriyana (2006) sebesar 68,35% di perairan Kecamatan Bluto dan Amarullah (2007) sebesar 52,11% di Teluk Tamiang. Menurut Doty (1985) tentang CAY (standar kadar karaginan) bagi rumput laut sebesar 40%. Selanjutnya menurut Dawes, C.J (1981) bahwa kadar karaginan sangat dipengaruhi oleh kondisi setempat, dimana siklus hidup algae juga berperan dalam menentukkan kualitas karaginan. Zaitsev (1969) dalam Syaputra (2005) menyatakan bahwa kandungan karaginan dari rumput laut sangat bervariasi tergantung spesies, tahap pertumbuhan dan kondisi lingkungan setempat.

Hasil pengamatan terhadap kandungan karaginan menunjukkan bahwa kadar tertinggi dihasilkan oleh Eucheuma yang ditanam pada kedalaman 20 cm, yaitu sebesar 68,43% berat kering. Sedangkan untuk kedalaman 120 cm sebesar 61,25% berat kering dan 220 cm sebesar 55,68% berat kering. Perbedaan kadar karaginan tersebut diduga dipengaruhi oleh waktu pemeliharaan, jarak tanam, dan metode ekstraksi. Hayashi dkk., (2007) menyatakan bahwa kondisi karaginan terbaik dapat dicapai bila rumput laut dibudidayakan selama 45 hari. Sementara Freile-Pelegrin (2006), menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kualitas karaginan adalah benda asing, musim, cahaya, nutrien, suhu dan salinitas. Jumlah dan kualitas karaginan yang berasal dari budidaya laut bervariasi, tidak hanya berdasarkan varietas, tetapi juga umur tanaman, sinar, nutrien, suhu dan salinitas [8].

Sulistijo dan Atmadja (1996) menambahkan bahwa biomassa rumput laut berkorelasi dengan kandungan karaginannya, dimana saat biomassa tinggi maka karaginan yang dihasilkan juga tinggi.

Tabel 4.3 Hasil Anova One Way untuk Pengaruh Kedalaman terhadap Biomassa ( α= 5%)

Kedalaman Rata-rata

20 cm 223,33a

120 cm 171,67b

220 cm 140,00c

Keterangan : Angka yang diikuti huruf berbeda pada kolom rata-rata menunjukkan berbeda nyata berdasarkan uji Tukey

Produksi paling tinggi dijumpai pada perlakuan penanaman dengan kedalaman 20 cm sebesar 223,33 gram dan terendah pada kedalaman 220 cm sebesar 140,00 gram disebabkan kondisi lingkungan yang sangat mendukung antara lain dengan adanya arus dan gelombang yang optimal yang dapat mempercepat tumbuhnya percabangan baru dan mempercepat penyerapan unsur hara/nutrien. Hal ini didukung pernyataan Winarno (1990), ombak diperlukan oleh rumput laut untuk mempercepat zat-zat makanan terserap ke dalam sel sedangkan arus diperlukan untuk pertumbuhan karena membawa zat-zat makanan bagi rumput laut dan menghanyutkan kotoran-kotoran yang melekat.

Pada setiap perlakuan menunjukkan bahwa dengan kedalaman penanaman yang berbeda akan menghasilkan produksi biomasaa yang sangat berbeda dengan kemampuan masing-masing dalam pertumbuhannya. Hal ini disebabkan karena setiap perlakuan mempunyai kesempatan untuk memperoleh sinar matahari dan unsur hara yang berbeda

(5)

sehingga pertumbuhannya juga berbeda, ada yang cepat dan ada yang lambat

Gambar 4.5 Perbedaan Biomassa pada Eucheuma cottonii yang ditanam pada kedalaman yang berbeda.

Terjadi penurunan produksi biomassa pada penelitian ini dibandingkan dengan panen-panen biasanya (3-4 kali lipat berat awal). Biomassa yang didapat hanya 1-2 kali lipat berat awal. Hal itu diduga disebabkan karena ombak dan gelombang yang membuat rumput laut banyak yang patah, karena gangguan hama seperti: hewan pemangsa dan ice-ice (penyakit), gangguan predator dapat menyebabkan perbedaan dan penurunan pertumbuhan.

Gambar 4.6 Eucheuma cottonii yang Terkena Penyakit Ice-Ice

Penyakit rumput laut didefinisikan sebagai terganggunya struktur dan fungsi yang normal, seperti terjadinya perubahan laju pertumbuhan, penampakkan (warna dan bentuk), serta akhirnya berpengaruh terhadap tingkat produktivitas. Ice-ice diketahui pertama kali menginfeksi Eucheuma di Philipina pada tahun 1974 merupakan penyakit yang banyak menyerang rumput laut pada saat musim hujan (Oktober-April). Ice-ice merupakan penyakit dengan tingkat infeksi cukup tinggi di negara Asia penghasil Eucheuma [13].

Penyakit ini merupakan efek bertambah tuanya rumput laut dan kekurangan nutrisi ditandai dengan timbulnya bintik/bercak-bercak merah pada sebagian thallus yang lama kelamaan menjadi kuning pucat dan akhirnya berangsur-angsur menjadi putih dan akhirnya menjadi hancur atau rontok. Ice-ice dapat menyebabkan thallus menjadi rapuh dan mudah putus. Gejala yang diperlihatkan adalah pertumbuhan yang lambat, terjadinya perubahan warna menjadi pucat dan pada beberapa cabang thallus menjadi putih dan membusuk [13]. Stress yang diakibatkan perubahan kondisi lingkungan yang mendadak seperti: perubahan salinitas, suhu air dan intensitas cahaya, merupakan faktor utama yang memacu timbulnya penyakit ice-ice. Ketika rumput laut mengalami stress karena rendahnya salinitas, suhu, pergerakan air dan instensitas cahaya, akan memudahkan infeksi patogen. Dalam keadaan

stress, rumput laut (misalnya: Gracilaria, Eucheuma atau Kappaphycus) akan membebaskan substansi organik yang menyebabkan thallus berlendir dan diduga merangsang banyak bakteri tumbuh di sekitarnya. Laminaria juga terinfeksi penyakit yang mirip ice-ice disebabkan karena tinggi Hidrogen Sulfida (H2S) yang diproduksi oleh bakteri saprofit. Kejadian penyakit ice-ice bersifat musiman dan menular. Bakteri yang dapat diisolasi dari rumput laut dengan gejala ice-ice antara lain adalah Pseudomonas spp., Pseudoalteromonas gracilis, dan Vibrio spp. Agarase (arginase) dari bakteri merupakan salah satu faktor virulen yang berperan terhadap infeksi ice-ice [13].

Faktor-faktor predisposisi atau pemicu lainnya juga dapat menyebabkan ice-ice. Predisposisi itu antara lain serangan hama seperti ikan baronang (Siganus spp.), penyu hijau (Chelonia midas), bulu babi (Diadema sp.) dan bintang laut (Protoneostes) yang menyebabkan terjadinya luka pada thallus. Luka akan memicu terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri. Pertumbuhan bakteri pada thallus akan menyebabkan bagian thallus tersebut menjadi putih dan rapuh. Selanjutnya, pada bagian tersebut mudah patah dan jaringan menjadi lunak. Infeksi ice-ice menyerang pada pangkal thallus, batang dan ujung thallus muda, menyebabkan jaringan menjadi berwarna putih. Pada umumnya penyebarannya secara vertikal (dari bibit) atau horizontal melalui perantara air. Infeksi akan bertambah berat akibat serangan epifit yang menghalangi penetrasi sinar matahari karena thallus rumput laut tidak dapat melakukan fotosintesa sehingga menyebabkan biomassa E. cottonii akan turun [13].

C. Kualitas Perairan

Pengukuran faktor fisik-kimia perairan dalam penelitian dilakukan untuk mengetahui kisaran kualitas air yang ditolerir dan dapat mendukung kehidupan dan pertumbuhan rumput laut Eucheuma cottonii. Parameter kualitas air diamati setiap 7 hari, meliputi: pH, oksigen terlarut (DO), kecerahan, suhu, salinitas dan kandungan Mg yang diambil 6 kali selama 45 hari proses penelitian. Hasil pengukuran kualitas air selama penelitian, sebagaimana tertera pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Hasil Pengukuran Fisik-Kimia Perairan

Parameter Hasil Referensi

pH 8,2-8,4 7-9 ( Patadjai, 2007) DO 7,6 >6,5 (Wardoyo, 1975 Suhu ( 0C) 30-33 28-32 (Neish, 2005) Salinitas (ppm) 28-35 32-34 ( Patadjai, 2007) Kecerahan ( m ) 1-2 1-5 (Ditjenkanbud, 2005) Mg mg/l 103,2 - IV. KESIMPULAN/RINGKASAN

Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Kedalaman memberikan pengaruh yang nyata tehadap kandungan klorofil-a dan karaginan pada E cottonii Penyakit

(6)

Semakin dalam posisi E. cottonii, maka kandungan klorofil-a dan karaginan semakin menurun.

2. Kandungan klorofil-a dan karaginan tertinggi pada kedalaman 20 cm. Untuk kandungan klorofil-a sebesar 104,84 mg/g dan karaginan sebesar 68,43 %.

3. Intensitas cahaya berpengaruh terhadap kandungan klorofil-a dan karaginan E. cottonii.

4. Semakin tinggi biomassa rumput laut maka akan semakin tinggi pula kadar karaginannya. Biomassa tertinggi pada kedalaman 20 cm sebesar 223,33 gram dan terendah pada kedalaman 220 cm sebesar 140,00 gram.

LAMPIRAN

Lampiran 1 : Ilustrasi Penanaman Rumput Laut E. Cottonii dengan Metode Rakit Apung

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang telah memberikan dukungan finansial melalui Beasiswa Bidik Misi tahun 2010-2014 dan kepada Bapak Aunurohim, S.Si., DEA selaku Dosen pembimbing yang membantu hingga terselesaikannya penelitian ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua dan keluarga atas doa dan kasih sayangnya serta dukungan teman-teman seperjuangan angkatan 2010 dan seluruh pihak

yang telah membantu.

DAFTAR PUSTAKA.

[1] Aslan, L. M. 2011. Strategi Pengembangan Budidaya Rumput Laut Di

Indonesia. Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar Dalam Bidang Budidaya Perairan. Disampaikan Pada Rapat Senat Terbuka Luar Biasa Universitas Haluoleo Tanggal 22 Januari 2011.

[2] Aslan, L. M. 1998. Budidaya Rumput Laut. Yogyakarta : Kanisius. 96 hal.

[3] Mubarak, H. 1994. Petunjuk Tekhnis Budidaya Rumput Laut. Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Badan Penelitian Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. 20 Hlm.

[4] Neish, I., C., 2003. The ABC of Eucheuma Seaplant Production. Agronomy, Biology, and Crop-handling of Betaphycus, Eucheuma and Kappaphycus the Gelatinae, Spinosum and Cottonii of Commerce. SuriaLink Monograph.

[5] Sunarto. 2008. Peranan Cahaya dalam Proses Produksi di Laut. Bandung : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjajaran [6] Tandeau, Nicole. 2003. Phycobiliprotein and phycobilisome: the early

observations. Kluwer Academic Publisher. Netherland. Photosynthesis Research. 76: 197-205.

[7] Windholz, Martha et al. 1976. The Merck Index An Encyclopedia of Chemicals & Drugs. Ninth Edition. USA : Merck & Co.Inc

[8] Abdan et al. 2013. The Effect of Planting Distance on Growth and Carragenan Content of Seaweed Eucheuma spinosum using Long Line Method. Kendari : Hijau Tridarma University.

[9] Munoz J., Freile-Pelegrin, Y., Robledo, D., 2004. Mariculture of Kappaphycus alvarezii (Rhodophyta, Solieriaceae) Color Strains In Tropical Waters of Yucatan, Mėxico. Aquaculture. 239: 161-171 [10] Saffo, Mary Beth. 1987. New Light on Seaweeds. BioScience, Vol. 37,

No. 9.pp. 654-664.

[11] Abidin Z., 1987., Ilmu Tanaman. Bandung. Penerbit Angkasa

[12] Pelegrín, Yolanda Freile & Daniel Robledo. 2007. Carrageenan of

Eucheuma isiforme (Solieriaceae, Rhodophyta) from Nicaragua.

Mexico : Springer Science & Business Media B.V

[13] Santoso, Limin., Yudha Tri Nugraha. 2007. Pengendalian Penyakit Ice-Ice Untuk Meningkatkan Produksi Rumput Laut Indonesia. Bandar Lampung : Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian,Universitas Lampung

Referensi

Dokumen terkait

Tata usaha merupakan pengguna yang memiliki akses untuk mengisi data surat masuk maupun data surat keluar sampai pembuatan data laporan namun tidak dapat mengisi

Sebagai hasil penelitian penulis dengan judul Analisis Sengketa Kepemilikan Tanah Dalam Perspektif Politik Agraria Indonesia (Dalam Kasus Sengketa Kepemilikan

Kecepatan akses data yang bisa didapat dari UMTS adalah sebesar 384 kbps pada frekuensi 5KHz sedangkan kecepatan akses yang didapat dengan CDMA1x ED- DO Rel0 sebesar 2.4 Mbps

Berdasar hal tersebut peneliti akan melakukan penelitian untuk mengetahui hubungan kadar timah hitam di udara dan kadar timah hitam dalam darah terhadap profil darah (kadar

Dengan demikian, konsepsi negara-negara Barat sejak semula ternyata telah mendominasi pemikiran negara-negara lain yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

Urutkan judul artikel ilmiah yang pernah diterbitkan selama 5 tahun terakhir dimulai dari artikel yang paling relevan menurut

Penduga parameter distribusi generalized Weibull dengan menggunakan metode kemungkinan maksimum mempunyai sifat ketakbiasan yang diperoleh untuk parameter ( , , ) mempunyai bias

Jenis fiber yang sering digunakan di bidang kedokteran gigi adalah fiber polyethylene, karena dapat meningkatkan kekuatan dan modulus elastistas material komposit,