• Tidak ada hasil yang ditemukan

EDISI 1 / TAHUN Indeks Kesenjangan di Indonesia: Tren, Tantangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EDISI 1 / TAHUN Indeks Kesenjangan di Indonesia: Tren, Tantangan"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

EDISI 1 / TAHUN 2017

Indeks kesenjangan dI IndonesIa:

Tren, TanTangan

(2)

UTAMA:

l Memahami Persoalan Ketimpangan di Indonesia:

Apa, Mengapa, dan Bagaimana Mengatasinya ... 4

Oleh: Athia Yumna, Niken Kusumawardhani, dan Asep Suryahadi l Menabur “Gula Infrastruktur’’ untuk Memangkas Kesenjangan ...11

Oleh: Mohamad Nasir l Mengatasi Kesenjangan Melalui Pembangunan Infrastruktur di Wilayah Pinggiran ...16

Oleh: Hendro Ratnanto MITIGASI RISIKO: l Penugasan BUMN dalam Penyediaan Pembiayaan Infrastruktur Daerah ...22

Oleh: Ryan Astono Purwandhi l Internal Credit Rating (ICR) sebagai Bentuk Mitigasi Risiko Penjaminan ...27

Oleh: Simeon AP Conterius wAwAncARA: l Wawancara Redaksi Buletin Info Risiko Fiskal (IRF) ...32

Dr. Iskandar Simorangkir, S.E., M.A. (Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Bidang Perekonomian) Oleh: Riko Amir, Tony Prianto, Hani Widyastuti edUKASI fISKAl: l Kebijakan APBN dalam Mengatasi Ketimpangan Ekonomi di Indonesia ... 36

Oleh: Eko Nur Surachman l Tantangan dalam Perbaikan Angka Ketimpangan Pembangunan Melalui Penyediaan Fasilitas Layanan Kesehatan ...41

Oleh: Roki Gangsar Winoto l Program Pemerintah Menekan Angka Ketimpangan ... 46

Oleh: Okta Martua Sitanggang OpInI: l Solusi Ketimpangan dalam Perspektif Ekonomi Islam ...51

Oleh: Eri Hariyanto l Mencermati Alternatif Pembiayaan Infrastruktur Daerah ...57

Oleh: Erdian Dharmaputra SeKIlAS InfO RISIKO: l Perolehan Peringkat Investment Grade dari S&P ... 63

l Hasil Reviu Transparansi Fiskal Tahun 2016 ... 63

InfO UTAnG peMeRInTAh ... 64

expOSURe ... 66 Penanggung jawab: Freddy R. Saragih Brahmantio Isdijoso Riko Amir RedaktuR:

Heri Setiawan, Fajar Hasri Ramadhana, Tony Prianto

Penyunting/editoR:

Syahrir Ika, Farid Arif Wibowo, Novijan Janis, Riza Azmi, Hendro Ratnanto Joni, Eko Nur Surachman, Hadi Setiawan

desain gRafis dan Layout:

Tim Grafis PNM

sekRetaRiat:

Hani Widyastuti, Merta Liana Hafita, Rahmat Mulyono, Moh. Kharis Syukron, Ana Arsiyani

PeneRbit:

Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara – Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko

PeRcetakan:

PT Prima Najah Mandiri

aLamat:

Gedung Frans Seda lantai 1, Jl. Dr. Wahidin No. 1 Jakarta Pusat 10710. Telp. 021-3505052 ext. 2112 Fax. 021-3846786

Email: buletin.irf@kemenkeu.go.id

Redaksi menerima kontribusi tulisan dan artikel yang sesuai dengan misi penerbitan. Tulisan dan artikel ditulis dalam huruf arial 11, spasi 1,5, maksimal 10 halaman A4. Redaksi berhak mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi.

Daftar Isi

2

Pandangan, gagasan, atau ide yang termuat dalam buku ini bukanlah representasi dari pikiran atau kebijakan yang keluar dari Dit. PRKN, DJPPR, Kementerian Keuangan, melainkan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.

IRF versi digital dapat diakses pada website DJPPR:

I N F O R I S I K O F I S K A L E D I S I 1 / T A H U N 2 0 1 7

EDISI 1 / TAHUN 2017

INDEKS KESENJANGAN DI INDONESIA:

TREN, TANTANGAN

(3)

Editorial

P

ertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan da-lam praktiknya sulit berjalan seiring. Angka kemiskinan yang menurun belum tentu mencerminkan pemerataan meningkat dan kesenjangan pendapatan yang menurun. Kon-disi inilah yang sedang dialami Indonesia.

Data BPS menunjukkan sejak 2011 rasio Gini Indonesia ber-tahan pada 0.41 dan per Maret 2016 turun sedikit menjadi 0.397. Rasio Gini ini masih jauh dari target pemerintahan Presiden Joko Widodo, yaitu 0.36 pada akhir tahun 2019. Dalam posisi ra-sio Gini 0.39, Indonesia berada di peringkat keempat negara pa-ling timpang di dunia. Sementara indikator pertumbuhan eko-nomi menunjukkan ekoeko-nomi Indonesia bisa tumbuh rata-rata 5 persen, artinya pertumbuhan ekonomi Indonesia masih kurang berkualitas. Bagaimana cara memperbaikinya? Tantangannya tidak sedikit. Banyak penduduk Indonesia berusaha di sektor pertanian, perikanan, dan perkebunan rakyat, yang memiliki lahan sangat terbatas (kurang dari 0,5 hektar per petani). Luas lahan ini semakin tergerus dengan meningkatnya pemukiman dan industri yang juga membutuhkan lahan yang luas.

Mari kita lihat kemiskinan absolut dan relatif dari sisi se-baran lokasi geografis. Data BPS menunjukkan bahwa dari sisi kemiskinan absolut, lebih dari setengah jumlah total pendu-duk Indonesia yang hidup miskin berada di pulau Jawa (yang berlokasi di bagian barat Indonesia dengan populasi padat). Artinya, dari sisi jumlah, wilayah Jawa menjadi prioritas untuk diperhatikan. Sementara dalam pengertian kemiskinan relatif, nilai kemiskinan lebih tinggi di wilayah Indonesia Bagian Ti-mur. Artinya, dari sisi relatif, luar Jawa perlu menjadi prioritas. Lima provinsi di Indonesia dengan angka kemiskinan relatif yang paling tinggi adalah Papua (28,5%), Papua Barat (25,4%), Nusa Tenggara Timur (22,2%), Maluku (19,2%), dan Gorontalo (17,7%). Bandingkan dengan rata-rata kemiskinan relatif sebe-sar 11 persen, jarak dengan Papua misalnya sekitar 17,5 persen, sementara jarak dengan Papua Barat sebesar 14 persen.

Sebagian besar penduduk di provinsi-provinsi Indonesia Timur adalah petani dan tinggal di wilayah pedesaan. Di daerah pinggir, proses perkembangan ekonomi jauh dari program-pro-gram pembangunan (yang diselenggarakan pemerintah atau lembaga internasional). Migrasi ke daerah perkotaan bisa men-jadi jalan keluar, akan tetapi ongkosnya juga sangat mahal. Berbeda dengan daerah-daerah di Jawa yang jaraknya sangat dekat dan didukung sarana transpotasi yang baik dan murah

Sering terjadi, anggaran memadai, tetapi penggunaanya

tidak optimal. Sering juga terjadi anggaran banyak diserap, akan tetapi kualitas proyek atau program buruk. Begitu juga tidak jarang ditemukan sasaran program yang tidak tepat, se-hingga dampak anggaran pembanguan terhadap kemajuan pembangunan tidak signifikan. Sekitar Rp600 hingga Rp700 triliun dana APBN sudah ditransfer ke daerah, akan tetapi be-lum memberikan pengaruh yang signifikan untuk membangun ekonomi daerah. Setiap tahun daerah meminta alokasi transfer daerah naik, akan tetapi tidak diikuti dengan kualitas pemba-ngunan yang dicapai. Mungkin saja ada persoalan perencanaan, mungkin juga persoalannya di tataran implementasi.

Persoalan kemiskinan dan memburuknya kesenjangan bukan saja disebabkan oleh persoalan pengelolaan anggaran pemerintah, baik pusat maupun daerah, tetapi juga persoalan-persoalan mendasar lainnya seperti kepemilikan lahan yang sangat terbatas. Begitu juga akses masyarakat terhadap pem-biayaan lembaga keuangan (financial inclusion) masih rendah. Perbankan memang diakui berkontribusi terhadap kinerja makro ekonomi, akan tetapi belum bisa menyelesaikan gap di financial inclusion. Berkembangnya teknologi komunikasi dan informati-ka serta berbagai instrumen keuangan di pasar uang dan pasar modal yang berkembang sangat pesat, juga berkontribusi ter-hadap pelebaran kesenjangan pendapatan diantara golongan masyarakat kota dan desa serta daerah Jawa dan Luar Jawa.

Untuk itu, gagasan Presiden Joko Widodo agar pemba-ngunan dimulai dari daerah pinggiran dan mempercepat konektivitas infrastruktur merupakan terobosan besar yang harus dijalankan secara konsisten. Anggarannya harus cukup memadai, program dan proyek pembangunan harus tepat sa-saran atau sesuai kebutuhan, pemerintah daerahnya harus bisa mengoptimalkan anggaran pembangunan daerah, serta mem-punyai kesinambungan program dan anggaran dalam jangka panjang. Peran serta lembaga keuangan nonbank termasuk PIP (Pusat Investasi Pemerintah), Badan Layanan Umum Kementeri-an KeuKementeri-angnKementeri-an, juga diharapkKementeri-an dapat berkontribusi terhadap penurunan kesenjangan ekonomi melalui penyediaan akses pembiayaan yang mudah bagi masyarakat yang berusaha di sektor informal, berbisnis dengan skala super (ultra) mikro yang biasanya sulit akses ke pembiayaan perbankan yang mensya-ratkan agunan aset. Bila program ini sukses dan didukung oleh reformasi agraria yang tepat, akan menjadi terobosan besar dalam mengentaskan kemiskinan dan mengurangi kesenjangan. Demikian editorial. nSyahrir Ika

STRATEGI ATASI

KESENJANGAN

(4)

U

T

A

M

A

1. ISu KETImpANGAN dI

INdoNESIA

Dalam 15 tahun terakhir ini, In-donesia mampu mempertahankan rata-rata tingkat pertumbuhan eko-nominya pada kisaran 6% dan tingkat kemiskinan mengalami penurunan se-tiap tahun hingga mencapai 11% pada 2014. Meskipun tingkat kemiskinan sudah jauh berkurang, Pemerintah Indonesia kini menghadapi stagnan-si laju penurunan kemiskinan dan juga peningkatan ketimpangan yang drastis. Ketimpangan di Indonesia me-ningkat lebih dari 30% selama 2001-2011, dimana rasio Gini1 bergerak dari

0,33 ke 0,41 yang merupakan rekor

tertinggi rasio Gini di Indonesia dan angka ini tidak berubah hingga 2014. Di 2 (dua) tahun terakhir, angka Gini bergeser sedikit ke angka 0,408 di 2015 dan 0, 397 di 2016.

Dinamika perubahan tingkat ketimpangan tersebut tidak terlepas dari berbagai kebijakan pemerintah dan kejadian politik, ekonomi, sosial dan budaya yang terjadi di Indonesia maupun di dunia. Ketimpangan yang terus meningkat tidak saja terjadi di Indonesia, tapi juga menjadi feno-mena yang tengah dihadapi negara-negara lain di dunia. Secara umum, dalam periode 2001-2015 terjadi tren peningkatan ketimpangan

pendapat-an, tetapi pada tahun-tahun tertentu rasio Gini menunjukkan penurunan atau stagnasi (Gambar 1). Rasio Gini pernah turun pada tahun 2006, 2008, dan 2015 sementara sepanjang tahun 2011-2014 nilainya cenderung tidak berubah pada titik 0.41.

Perdebatan terkait ketimpangan berkutat pada pertanyaan utama yak-ni sejauh mana sebuah perekonomi-an harus menurunkperekonomi-an ketimpperekonomi-angperekonomi-an mengingat ketimpangan tidak selalu disebabkan oleh faktor yang buruk. Ketimpangan dapat terjadi sebagai konsekuensi dari aktivitas ekonomi yang dilakukan sekumpulan orang kaya yang memperoleh peningkatan

Memahami Persoalan Ketimpangan di Indonesia:

Apa, Mengapa, dan

Bagaimana Mengatasinya

Oleh: Athia Yumna

1

, Niken Kusumawardhani

2

, dan Asep Suryahadi

3

1. Senior Researcher of SMERU The Research Institute. Email: ayumna@smeru.or.id

2. Researcher of SMERU The Research Institute. Email: nkusumawardhani@smeru.or.id

3. Director of SMERU The Research Institute. Email: suryahadi@smeru.or.id

Gambar 1. Koefisien Gini 2001-2015

(5)

U

T

A

M

A

Gambar 2. Growth Incidence Curve Periode 2009-2015

kekayaan mereka melalui kerja keras, inovasi, dan kejujuran. Pada taraf ter-tentu, ketimpangan merupakan hal positif karena merepresentasikan penghargaan bagi inovasi.

Namun demikian, untuk kasus Indonesia, studi Yumna et al. (2015)2

menunjukkan bahwa dampak ke-timpangan terhadap pertumbuhan ekonomi berbentuk kurva U terbalik. Dimana pada awalnya ketimpangan diasosiasikan dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi tetapi sete-lah melewati tingkat tertentu, me-ningkatnya ketimpangan justru akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Ketimpangan yang tidak terkendali juga berdampak terhadap stabilitas sosial yakni meningkatkan kecende-rungan terjadinya kekerasan dan

kon-flik sosial (Tadjoeddin et al., 2016)3.

Pemerintah Indonesia telah

mengidentifikasi ketimpangan seba -gai hambatan terhadap pertumbuhan dan menetapkan target penurunan ketimpangan mencapai 0.36 di 2019 pada dokumen RPJMN 2015-2019. Kebijakan penurunan ketimpangan dianggap memiliki implikasi jangka panjang yang baik untuk pertumbuh-an ekonomi maupun stabilitas sosial. Jurang pendapatan yang semakin mengecil antara kelompok miskin dan kelompok sejahtera akan mam-pu mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi suatu negara dan juga me-nguatkan kohesi sosial di masyarakat.

2. mENGApA KETImpANGAN

mENINGKAT?

Ketimpangan di Indonesia tidak terjadi akibat penduduk yang kaya bertambah semakin kaya sementara penduduk miskin bertambah semakin miskin. Kondisi ini terlihat dengan menggunakan bantuan kurva yang dikenal dengan istilah growth inci

-dence curve (GIC) yang menyajikan secara visual bagaimana kelompok penduduk termiskin hingga terkaya

dalam sebuah perekonomian men-dapatkan manfaat dari pertumbuh-an ekonomi. GIC memetakpertumbuh-an pertum-buhan pengeluaran per kapita untuk setiap kelompok penduduk yang berada pada persentil terbawah (pa-ling miskin) hingga persentil teratas (paling sejahtera).

GIC Indonesia pada periode 2009-2015 menunjukkan seluruh penduduk mengalami peningkatan kesejahtera-an ykesejahtera-ang tercermin dari pertumbuhkesejahtera-an pengeluaran per kapita pada persen-til bawah, menengah, maupun atas (Gambar 2). GIC periode 2009-2011 menunjukkan tingkat pertumbuhan konsumsi penduduk pada persentil atas meningkat lebih cepat daripada persentil bawah maupun menengah. GIC periode 2011-2014 menunjukkan tingkat pertumbuhan yang relatif setara untuk seluruh kelompok per-sentil. Sementara itu GIC periode 2014-2015 memberikan gambaran tingkat pertumbuhan pengeluaran penduduk pada persentil tengah dan atas tumbuh lebih cepat daripada per-sentil bawah. Ini berarti bahwa ketim-pangan meningkat di Indonesia lebih disebabkan karena lebih lambatnya pertumbuhan pengeluaran kelompok

miskin dibandingkan dengan kelom-pok menengah dan kaya.

Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa hal ini terjadi? Terdapat empat fenomena utama yang didu-ga berkontribusi terhadap naiknya ketimpangan di Indonesia, yakni: (i)

commodity boom, (ii) transformasi struktural dan rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM), (iii) ri-giditas pasar tenaga kerja, (iv) subsidi BBM, serta (v) korupsi dan oligarki.

a. Commodity Boom

Sepanjang periode 2000-2010 harga komoditas dunia mengalami kenaikan atau yang biasa dikenal dengan istilah commodity boom. Hal ini ditandai dengan meningkatnya harga-harga komoditas utama dunia, seperti komoditas tambang (termasuk energi) di pasar global (Gambar 3a). Pada tahun 2010, harga komoditas dunia mencapai puncaknya sebagai konsekuensi dari kenaikan perminta-an akibat pemulihperminta-an kondisi ekonomi global pasca resesi pada periode 2007-2008. Sebagai negara pengekspor ko-moditas, commodity boom yang ter-jadi memberikan dampak positif bagi nilai ekspor Indonesia. Data BPS

(6)

U

T

A

M

A

nunjukkan total nilai ekspor Indonesia tahun 2010 mencapai US$157,78 miliar atau meningkat 35% dibanding tahun 2009.

Pada periode commodity boom

pengeluaran penduduk pada persen-til atas meningkat lebih tinggi diban-dingkan penduduk pada persentil terendah atau penduduk termiskin (Gambar 3b). Setelah harga-harga komoditas mulai menurun sejak 2011, perubahan pengeluaran per kapi-ta pada penduduk yang tergolong persentil terendah maupun teratas cenderung sama, yakni rata-rata 4% per tahun. Situasi ini menggambarkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh ledakan harga komo-ditas memberikan keuntungan yang tidak merata pada seluruh lapisan penduduk, dan 40% penduduk ter-miskin menjadi kelompok yang paling tidak diuntungkan.

b. Transformasi Struktural dan Rendahnya Kualitas SDM

Transformasi struktur perekono-mian dari sektor pertanian ke sektor industri dan jasa yang terjadi sejak ta-hun 1980an di Indonesia tidak

diba-rengi dengan perbaikan kualitas SDM

yang signifikan, terutama SDM pen -duduk desil bawah dan menengah. Transformasi ini ditandai dengan me-nurunnya kontribusi sektor pertanian dan meningkatnya kontribusi sektor industri dan jasa terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Namun, di sisi lain penurunan proporsi tenaga kerja di sektor pertanian terjadi lebih lam-bat dari penurunan kontribusi sektor pertanian terhadap PDB. Dengan kata lain, kue yang semakin kecil tadi te-tap dinikmati oleh tenaga kerja yang besar dan tidak banyak berubah pro-porsinya di sektor pertanian.

Dalam konteks transformasi struktural yang terjadi sekarang, sek-tor industri dan jasa memiliki dampak multiplier yang lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi dan perbaik-an kesejahteraperbaik-an dibperbaik-andingkperbaik-an sek-tor pertanian. Akan tetapi, meskipun memiliki potensi multiplier yang be-sar, 2 (dua) sektor ini membutuhkan kualitas SDM yang tinggi dan rata-rata renumerasi yang lebih tinggi di-bandingkan renumerasi tenaga kerja di sektor pertanian. Beberapa studi (seperti DeSilva dan Sumarto (2013)5

dan Chongvilaivan dan Kim (2016)6)

juga menyimpulkan bahwa pendi-dikan menjadi faktor penting untuk menjelaskan ketimpangan di Indone-sia. Capaian pendidikan yang berbeda berimplikasi pada perbedaan kemam-puan individu dalam menghasilkan pendapatan yang akhirnya berujung pada ketimpangan pendapatan.

c. Rigiditas Pasar Tenaga Kerja

Fleksibilitas pasar tenaga kerja dipercaya mampu menciptakan iklim investasi di sebuah negara menjadi le-bih atraktif sehingga dapat mencipta-kan banyak lapangan kerja baru yang akan berujung pada pertumbuhan ekonomi bagi negara tersebut. Flek-sibilitas pasar tenaga kerja umumnya diukur menggunakan rasio perputar-an tenaga kerja, yperputar-ang dipengaruhi oleh dua indikator utama yakni (i) ke-mudahan merekrut pegawai, dan (ii) kemudahan memutuskan hubungan kerja dengan pegawai. Data Sakernas 1998-2007 menunjukkan rasio perpu-taran tenaga kerja Indonesia cende-rung konstan pada nilai 6-8% (Brusen-tsev et al., 2012)7 yang menandakan

pasar tenaga kerja Indonesia sangat

Gambar 3a. Indeks Harga Komoditas

Gambar 3b. Growth Incidence Curve

(7)

U

T

A

M

A

rigid, misalnya apabila dibandingkan dengan rasio perputaran tenaga kerja di Amerika Serikat yang sangat tinggi, yakni mencapai 24% pada tahun 2014 (The Economist, 2014)8.

d. Subsidi BBM

Dalam sejarahnya, Pemerintah Indonesia memberikan subsidi ener-gi kepada rakyatnya sebagai sebuah kewajiban layanan publik. Rakyat harus ikut menikmati produksi ener-gi dalam negeri seperti minyak, ba-tubara, dan sumber energi lainnya melalui harga yang murah. Subsidi energi, khususnya subsidi bahan ba-kar minyak (BBM), dapat dikelola re-latif lebih baik ketika Indonesia masih menjadi eksportir bersih (net expor -ter) dari produk minyak bumi. Harga BBM yang rendah di dalam negeri dipandang sebagai opportunity cost

dibanding sebagai beban

pengeluar-an fiskal. Hal ini berubah sejak 2003

ketika konsumsi BBM Indonesia lebih besar dari kapasitas produksi minyak mentah dalam negeri dan menjadi-kan Indonesia sebagai importir ber-sih (net importer). Kenaikan konsumsi BBM dianggap wajar karena ekonomi yang sedang bertumbuh pula (lihat Gambar 11).

Studi Coady et al. (2015)9 di 32

negara berkembang menunjukkan bahwa subsidi BBM bukan jenis sub-sidi yang ideal dari perspektif ekuitas karena memperparah ketimpangan pendapatan dan dinilai bukan seba-gai upaya yang efektif untuk melin-dungi masyarakat miskin. Dampak ne-gatif subsidi BBM terhadap kenaikan ketimpangan bisa melalui dua jalur, yaitu: 1) manfaat subsidi BBM didis-tribusikan ke dalam konsumsi energi RT, dan jumlah konsumsi energi RT dari masyarakat kaya biasanya lebih besar; 2) pengeluaran pemerintah untuk subsidi BBM dapat mendesak pengeluaran redistributif atau mem-butuhkan pembiayaan melalui pajak

regresif. Studi ini memperlihatkan bahwa penduduk 20% terkaya me-nerima total manfaat subsidi BBM rata-rata 6 kali lebih banyak daripada penduduk 20% termiskin. Distribusi manfaat untuk subsidi bensin dan LPG bahkan terlihat lebih jelas konsentra-sinya kepada golongan kaya dimana penduduk 20% terkaya menerima 27 kali dan 12 kali lebih banyak manfaat subdisi daripada yang diterima oleh penduduk 20% termiskin.

e. Korupsi dan Oligarki

Korupsi didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi (Transparency International, 2016)10. Bagi para

eko-nom, korupsi tidak sesuai dengan

prinsip efisiensi karena faktor

“diam-diamnya” (secretive) tersebut. Ko-rupsi adalah tindakan ilegal karena kontraknya tidak dapat ditegakkan oleh penegak hukum di pengadilan sehingga memberi kesempatan kepa-da orang yang disuap untuk meminta jumlah suap yang lebih besar kepada pembelinya (Kuncoro, 2008)11.

Ada dua dampak korupsi terha-dap ekonomi dan ketimpangan yang sering diperdebatkan dalam literatur walaupun dampak negatif yang dise-butkan lebih banyak daripada dampak positifnya. Dampak negatif korupsi di-sebut bisa menurunkan kemampuan

pemerintah untuk mengatur pasar, memperparah kemiskinan dan secara tidak langsung menurunkan investasi serta pendapatan negara dari pajak. Tingkat korupsi yang rendah di sua-tu negara juga diasosiasikan dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan investasi. Untuk kasus Indonesia, ditemukan juga bukti bahwa ada ko-relasi positif antara jumlah suap de-ngan waktu yang dibutuhkan untuk urusan prosedural dengan pejabat pemerintah (Kuncoro 2004)12.

Di samping itu, dampak negatif korupsi terhadap ketimpangan dan distribusi adalah mempengaruhi upa-ya pembangunan manusia dan distri-busi kekayaan, menciptakan sistem pajak yang bias, serta mempengaruhi penargetan, jumlah, kualitas, dan keluaran dari belanja sosial (Chene, 201413). Studi Dartanto et al. (2016)14

juga menemukan bahwa korupsi menyebabkan efektivitas program perlindungan sosial yang dilakukan pemerintah berkurang untuk mengu-rangi ketimpangan.

3. GuNcANGAN dAN

dINAmIKA KETImpANGAN

Dinamika tingkat ketimpangan dalam kurun waktu 15 tahun terakhir tidak terlepas dari berbagai kebijak-an pemerintah dkebijak-an kejadikebijak-an politik, ekonomi, sosial dan budaya yang terjadi di Indonesia maupun di dunia (Gambar 5). Bagian ini berupaya me-maparkan peristiwa atau kebijakan pemerintah yang terjadi sepanjang periode 2001-2015 untuk membantu

mengidentifikasi pola yang terjadi da -lam perubahan ketimpangan da-lam kurun waktu tersebut.

Dari berbagai kejadian dan ke-bijakan pemerintah dalam 15 tahun terakhir, kebijakan pemerintah un-tuk menaikkan harga BBM diduga berkorelasi dengan turunnya

ang-ka koefisien Gini. Sepanjang tahun

2001-2015, pemerintah menaikkan

dari berbagai

kejadian dan

kebijakan

pemerintah

dalam 15 tahun

terakhir, kebijakan

pemerintah untuk

menaikkan harga

BBm diduga

berkorelasi dengan

turunnya angka

koefisien Gini

(8)

U

T

A

M

A

harga BBM pada enam tahun dian-taranya yakni 2001, 2003, 2005, 2008, 2013, dan 2014. Kenaikan harga BBM pada enam tahun tersebut berkisar dari 17% (2003) hingga 88% (2005). Angka koefisien Gini pada tahun-tahun setelah harga BBM dinaikkan cenderung mengalami penurunan, yakni pada tahun 2002, 2006, 2014, dan 2015.

Angka koefisien Gini cenderung

stagnan pada 2004 meskipun harga BBM pada 2003 naik sebesar 17%.

Se-mentara itu, koefisien Gini pada 2009

justru meningkat setelah harga BBM pada 2008 dinaikkan sebesar 33%. Faktor eksternal yang terjadi bersa-maan pada tahun 2008 seperti krisis harga pangan dunia dan dimulainya era commodity boom diduga

menje-laskan terjadinya peningkatan koefi -sien Gini sepanjang 2008-2009.

Kebijakan pemerintah dalam me-ningkatkan harga BBM merupakan kebijakan yang memihak pada rak-yat miskin mengingat sebagian besar subsidi BBM terserap oleh penduduk yang tergolong sejahtera atau kaya. Penduduk yang lebih sejahtera cen-derung memiliki kendaraan bermo-tor dalam jumlah lebih banyak diban-dingkan penduduk miskin, sehingga subsidi BBM memberikan manfaat yang lebih besar pada kelompok kaya dibandingkan kelompok miskin.

4. KEBIJAKAN uNTuK

mENGATASI KETImpANGAN

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa pada umumnya

Gambar 5. Kejadian Ekonomi, Sosial, Politik

pada 2001-2015 dan Dinamika Koefisien Gini

Kebijakan

pemerintah dalam

meningkatkan

harga BBm

merupakan

kebijakan yang

memihak pada

rakyat miskin

mengingat

sebagian besar

subsidi BBm

terserap oleh

penduduk yang

tergolong sejahtera

atau kaya

(9)

U

T

A

M

A

angka Rasio Gini turun ketika ada ke-bijakan kenaikan harga BBM karena subsidi BBM yang terbukti tidak pro-rakyat miskin dikurangi. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa reformasi sub-sidi ini juga berdampak pada penurun-an pendapatpenurun-an rill dari rumah tpenurun-angga miskin dan pada akhirnya meningkat-kan angka kemiskinan. Oleh karena itu diperlukan instrumen kebijakan dengan memiliki disain penargetan yang jelas untuk memitigasi dampak negatif kenaikan harga energi bagi masyarakat miskin (Coady et al. 2015)15.

Pertanyaan selanjutnya, apa peran kebijakan terutama

kebijak-an fiskal lainnya untuk lebih lkebijak-anjut

mengatasi ketimpangan? Kebijakan redistribusi, seperti pajak dan bantuan transfer, selama ini dipandang oleh se-bagian besar ekonom dan pengambil keputusan sebagai obat utama yang diharuskan untuk mengatasi masalah ketimpangan. Disamping itu, kebi-jakan redistribusi tidak menghambat pertumbuhan ekonomi, kecuali dalam kasus ekstrim. Bahkan kebalikannya, tingkat ketimpangan menjadi faktor penentu yang kuat dan robust dari pertumbuhan ekonomi jangka mene-ngah dan durasi pertumbuhan (dura

-tion of growth spell). Sehingga sangat keliru jika kita hanya memfokuskan diri kepada pertumbuhan dan membi-arkan ketimpangan mengurus dirinya sendiri. Bukan hanya karena secara etis ketimpangan tidak diinginkan te-tapi juga karena pertumbuhan yang dihasilkan dari kondisi ketimpangan tersebut adalah pertumbuhan yang rendah dan tidak berkelanjutan.

Kebijakan redistribusi juga harus

diikuti dengan prinsip efisiensi. Hal

ini penting terutama untuk nega-ra dengan tata kelola dan kapasitas administrasi yang lemah. Selain itu, kebijakan predistribusi, yaitu kebi-jakan yang terjadi sebelum proses distribusi seperti akses kepada layan-an pendidiklayan-an dlayan-an kesehatlayan-an, serta

inklusi keuangan dapat menciptakan kesempatan yang sama untuk semua dan mencegah terjadinya ketimpang-an yketimpang-ang tinggi.

Bagaimana dengan kebijakan pengeluaran sosial Indonesia seka-rang? Berdasarkan data dari World Social Protection 2014/2015, pengelu-aran perlindungan sosial (% terhadap PDB)16 Indonesia termasuk yang

pa-ling kecil di dunia, yaitu kurang dari 3%, jika dibandingkan dengan ang-ka rata-rata seluruh negara di dunia yang sebesar 9,33% atau rata-rata pengeluaran sosial di negara-negara OECD yang sebesar 22% dalam kurun waktu antara 2010-2013 (angka ter-baru bervariasi antar negara). Dari angka tersebut, pengeluaran sosial Indonesia juga adalah yang terkecil di antara negara-negara berkembang lain seperti Brazil, Cina, India, dan Afrika Utara. Pengeluaran sosial di Brazil adalah yang paling mendekati negara-negara OECD yaitu sebesar le-bih dari 15% yang sebagian besarnya untuk program pensiun, Afrika Selat-an sebesar 8.7% dengSelat-an persentase terbesar untuk pengeluaran di bidang kesehatan, di China sebesar 7% baru kemudian disusul India dan Indonesia.

Sedangkan bukti empiris me-nunjukkan bahwa di Amerika Latin, ketimpangan berhasil diturunkan

de-ngan kebijakan fiskal yang efisien dan

berkualitas. Pajak langsung dan ban-tuan tunai menurunkan

ketimpang-an dketimpang-an kemiskinketimpang-an secara signifikketimpang-an

di Argentina, Brazil, dan Uruguay

te-tapi kurang signifikansinya di Bolivia,

Meksiko, dan Peru. Sedangkan untuk dampak redistributif dari pajak lang-sung relatif kecil karena proporsinya yang kecil dalam PDB walaupun sebe-narnya cukup progresif. Bantuan tunai cukup progresif jika dilihat dari ang-ka absolutnya, kecuali di Bolivia yang programnya tidak ditargetkan untuk masyarakat miskin (Lustig et al. 2013)17.

Kaitan erat antara upaya pe-ngurangan ketimpangan dengan pertumbuhan yang berkualitas dan berkelanjutan membutuhkan kondisi yang terlebih dahulu harus dipenuhi. Prasyarat tersebut adalah: a) perba-ikan kualitas sumber daya manusia, dan b) perbaikan tata kelola/institusi. Rendahnya kualitas SDM di Indonesia merupakan tantangan yang perlu di-sikapi dengan serius mengingat SDM yang berkualitas merupakan modal yang sangat berharga bagi pemba-ngunan berkelanjutan.

Sementara itu tata kelola

seca-ra umum didefinisikan “tseca-radisi dan

kelembagaan yang dilakukan oleh yang berwenang di sebuah negara” (Kaufman, Kraay, and Maastruzzi, 2010)18. Hal tersebut meliputi: (i)

Pro-ses bagaimana pemerintah dipilih, diawasi, dan diganti; (ii) Kapasitas pemerintah untuk menyusun dan melaksanakan kebijakan yang tepat; dan (iii) Rasa hormat dari warga ne-gara dan nene-gara untuk lembaga yang mengatur interaksi ekonomi dan sosi-al mereka. Tata kelola yang baik dan berkualitas tidak hanya menyangkut pemberantasan korupsi tetapi secara lebih luas bagaimana membuat

pela-yanan publik berjalan efisien disertai

Bukti empiris

menunjukkan

bahwa di

Amerika Latin,

ketimpangan

berhasil

diturunkan dengan

kebijakan fiskal

yang efisien dan

(10)

U

T

A

M

A

13. Chene, Marie (2014), “The Im-pact of Corruption on Growth and Inequality”, Transparency International Helpdesk Answer, Transparency International 14. Dartanto, Teguh, Melly

Me-liyawati and Yusuf Sofiyandi (2016),”Good Intention-Bad Outcome: Social Assistance, Cor-ruption, and Inequality in Indo-nesia”, presentation at the 5th Southeast Asia Studies Symposi-um Oxford University, April 2016. 15. Coady, David, Valentina Fl-amini, and Louis Sears (2015),

“The Unequal Benefits of Fuel

Subsidies Revisited: Evidence for Developing Countries”, IMF Working Paper, WP/15/250 16. Atau total public social

protec-tion expenditure (as % of GDP) 17. Kustig, Nora, Carola Pessino,

and John Scott (2014), “The Im-pact of Taxes and Social Spen-ding on Inequality and Poverty in Argentina, Bolivia, Brazil, Mexico, Peru, and Uruguay: Introduction to the Special Is-sue”, Public Finance Review, Vol. 42(3): 287-303.

18. Kaufman, Daniel, Aart Kraay, and Massimo Maastruzzi (2010), “The Worldwide Governance Indicators: Methodology and Analytical Issues”, Policy Rese-arch Working Paper WPS5430, World Bank. Washington DC. jadjaran, Bandung.

5. De Silva, Indunil and Sudarno Su-marto (2013), “Poverty-Growth-Inequality Triangle: the Case of Indonesia”, TNP2K Working Paper

04, TNP2K: Jakarta

6. Chongvilaivan, Aekapol and Jung-suk Kim (2016), “Individual Income Inequality and Its Drivers in Indo-nesia: A Theil Decomposition Re-assessment”, Social Indicator Re

-search, Vol 126:79-98.

7. Brusentsev, V., Newhouse, D., and Vroman, W. (2012) “Severance Pay Compliance in Indonesia”, Policy research working paper no. 5933, World Bank, Washington D.C. 8. The Economist (2014).

9. Coady, David, Valentina Flamini, and Louis Sears (2015), “The Une-qual Benefits of Fuel Subsidies Revisited: Evidence for Developing Countries”, IMF Working Paper, WP/15/250

10. Transparency International (2016),

“How Do you Define Corruption?”

see: http://www.transparency.org/

what-is-corruption/#define

11. Kuncoro, Ari (2008). “Corruption Inc”, Inside Indonesia 92: Apr-Jun 2008 (http://www.insideindonesia. org/corruption-inc)

12. Kuncoro, Ari (2004). “Bribery in Indonesia: Some Evidence from Micro-Level Data”, Bulletin of In

-donesian Economic Studies, Vol 40(3): 329-354.

cATATAN KAKI

1. Ukuran ketimpangan yang digunakan secara resmi di In-donesia adalah Rasio Gini. Se-dangkan dimensi ketimpangan yang diukur adalah ketimpang-an pengeluarketimpang-an yketimpang-ang berasal dari data pengeluaran/kon-sumsi di data SUSENAS. Ukur-an ketimpUkur-angUkur-an selain Rasio Gini dan dimensi ketimpangan non-ekonomi lain dibahas lebih mendalam dalam Yumna et al. (2015).

2. Yumna, Athia, M. Fajar Rakh-madi, M. Firman Hidayat, Sarah E. Gultom, and Asep Suryahadi (2015), “Estimating the Impact of Inequality on Growth and Unemployment in Indonesia”, Working Paper, SMERU Resear-ch Institute: Jakarta.

3. Tadjoedin, M. Zulfan, Athia Yumna, Sarah E. Gultom, M. Fajar Rakhmadi, M. Firman Hidayat, and Asep Suryahadi (2016), “Inequality and Stability in Democratized and Decentra-lized Indonesia, Working Pa-per, SMERU Research Institute: Jakarta.

4. Arief Anshory Yusuf (2016), “BAPPENAS Economic Dash-board: The “Unexpected” Re-levance and Some Other Com-ments”, Presentasi Bulanan SDG’s Center, Universitas Pad-dengan peraturan yang sehat.

Dukungan kebijakan untuk mem-pertahankan momentum penurunan ketimpangan harus dilakukan secara lebih sistematis dan komprehensif, baik untuk golongan pendapatan paling bawah, menengah, maupun atas karena masalah ketimpangan tidak hanya masalah dalam satu go-longan pendapatan saja (gogo-longan

miskin saja atau menengah saja atau kaya saja), tetapi merupakan masalah semua; serta meliputi strategi jangka pendek, menengah, dan panjang.

Instrumen fiskal adalah alat uta -ma yang dapat digunakan pemerin-tah untuk mempengaruhi distribusi pendapatan. Kebijakan yang diran-cang tidak hanya memikirkan bagai-mana menurunkan beban

pengeluar-an bagi penduduk desil terbawah tapi juga memikirkan bagaimana men-ciptakan alternatif penciptaan pen-dapatan (income generation) yang berkelanjutan bagi penduduk desil bawah dan menengah karena hal tersebut yang lebih berdampak pada penurunan ketimpangan dan selan-jutnya pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan. n

(11)

U

T

A

M

A

D

alam sejarahnya, Indonesia

telah mengalami bebera-pa kali era pemerintahan, dari era orde lama hingga era reformasi yang saat ini sedang berjalan. Telah ditanamkan dalam UUD 1945 bahwa salah satu tujuan utama berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah me-ningkatkan kesejahteraan bangsa In-donesia yang menyeluruh di wilayah Indonesia, bukan kesejahteraan untuk kelompok, suku, dan pulau tertentu. Pembangunan adalah salah satu upa-ya mutlak upa-yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan utama tersebut.

Indonesia pun telah merasakan pengalaman jatuh bangun dalam pembangunan ekonomi. Krisis eko-nomi dan keuangan tahun 1998/1999 adalah peristiwa terakhir menimpa Indonesia dan berdampak luar biasa bagi kehidupan bangsa Indonesia. Dari sisi ekonomi, Indonesia

terjerem-Menabur “Gula

Infrastruktur’’ untuk

Memangkas Kesenjangan

Oleh: Mohamad Nasir

Peneliti Badan Kebijakan Fiskal pada Pusat Kebijakan Pendapatan Negara. Email: annasiru@gmail.com

bab dalam lilitan utang yang besar,

nilai rupiah terhadap dolar Amerika

Serikat yang terjun drastis, inflasi dan

suku bunga yang tinggi, angka peng-angguran yang tinggi, serta pertum-buhan ekonomi yang minus. Bahkan tidak dapat dipungkiri bahwa dam-paknya masih dapat dirasakan hingga sampai saat ini seperti beban obligasi rekap yang harus ditanggung oleh APBN. Namun demikian, pertumbuh-an ekonomi nasional secara perlahpertumbuh-an mengalami perbaikan, dan menca-tatkan diri sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi yang konsisten meskipun terjadi pelemahan ekonomi global pada tahun 2008. PDB per kapita Indonesia pun meningkat. Pada tahun 2015, PDB per kapita ter-catat mencapai Rp44,8 juta (the Wor-ld Bank. 2017). Terjadi kenaikan 7,9% dari tahun 2014 sebesar Rp.41,5 juta. Namun, persoalan bukanlah berhenti begitu saja, permasalahan distribusi

pendapatan yang tidak merata men-jadi persoalan di Indonesia. Indonesia-Investment (2017) mencatat bahwa kekayaan 43.000 orang terkaya In-donesia (0,02% dari total penduduk Indonesia) sebanding dengan 25% PDB nasional bahkan 40 orang terka-ya Indonesia memiliki kekaterka-yaan terka-yang setara dengan 10,3% PDB. Data Bank Dunia dan BPS (2016) dalam Indonesia – Investment (2017) menunjukan pula bahwa meskipun angka kemiskinan menurun namun kesenjangan akan kesejahteraan cenderung meningkat seperti terlihat dalam tabel-1.

Berangkat dari fakta adanya ke-senjangan di atas, tentunya Pemerin-tah menyadari bahwa mereka memi-liki pekerjaan rumah (PR) yang berat. Bahkan mungkin dapat dikatakan seberat melakukan pembangunan ekonomi. Meskipun demikian, seberat apapun PR tersebut harus diselesaikan dengan segera untuk mewujudkan

Tabel-1 : Perkembangan Angka Kemiskinan dan Ketidaksetaraan Indonesia

Uraian 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Kemiskinan Relatif (% dari populasi) 16.60 15.40 14.20 13.30 12.50 11.70 11.50 11.00 11.10 10.90¹ Kemiskinan Absolut (dalam jutaan) 37 35 33 31 30 29 29 28 29 28¹ Koefisien Gini/ Rasio Gini 0.35 0.35 0.37 0.38 0.41 0.41 0.41 0.41 0.41 0.40

(12)

U

T

A

M

A

kesejahteraan masyarakat Indonesia yang merata, dan demi kesatuan bangsa dalam wadah Negara Kesatu-an Republik Indonesia (NKRI).

poTRET KESENJANGAN

EKoNomI dAN Ipm ANTAR

dAERAH

Harus disadari bahwa peme-rintahan sentralistik meninggalkan masalah kesenjangan ekonomi antar daerah. Pulau Jawa, khususnya DKI Jakarta menjadi pusat perekonomi-an nasional. Sementara itu, daerah lainnya seolah-olah terlupakan pem-bangunannya. Kebijakan yang yang mendasarkan diri pada kebutuhan semakin memperlebar kesenjangan. Era reformasi memahami permasa-lahan ini dan mengusung kebijakan otonomi daerah sebagai cara mem-percepat pembangunan daerah se-bagai upaya mengejar ketertinggal-an dketertinggal-an mempersempit kesenjketertinggal-angketertinggal-an. Namun demikian, implementasi oto-nomi daerah menghadapi tantangan yang berat dan penyelesaian masalah kesenjangan berjalan pelan. Berikut potret kinerja kesenjangan ekonomi di Indonesia.

KESENJANGAN EKoNomI

Dari sudut pendapatan perka-pita sebagaimana terlihat dalam

grafik-1, pendapatan per kapita pen -duduk berdasarkan provinsi terlihat “jomplang”. Untuk tahun 2015, DKI Jakarta merupakan provinsi dengan pendapatan per kapita tertinggi di Indonesia dengan nilai Rp194,8 juta, disusul Kalimantan Timur dengan ni-lai Rp146,6 juta, Riau sebesar Rp102,8 juta, Kepulauan Riau sebesar Rp103,0 juta, Kalimantan Utara Rp97,8 juta, Papua Barat sebesar Rp72,1 juta dan Papua sebesar Rp48,3 juta. Provinsi-provinsi ini adalah Provinsi-provinsi dengan PDRB per kapita di atas PDB per ka-pita nasional sebesar Rp44,8 juta de-ngan tahun yang sama.

Rasio Gini nasional Indonesia mencapai 0,39 pada semester ke-2 2016 (BPS, 2017). Hampir keseluruhan dae-rah provinsi memiliki rasio Gini dalam rentang 0,3 s.d 4, kecuali Kepulauan Bangka Belitung yang mencapai 0,29. Terdapat beberapa daerah yang di atas rasio Gini nasional, seperti Papua, Papua Barat, Sulawesi Selatan, Goron-talo, Jawa Timur, Jawa Barat, DKI Ja-karta dan DI YogyaJa-karta. Dari deretan provinsi ini, agak mengejutkan ketika DKI Jakarta dan DI Yogyakarta masuk di dalamnya sebagai daerah provinsi

yang memiliki gap kesenjangan yang di atas rata-rata atau tinggi.

Berdasarkan data BPS (2017), Pen-duduk miskin di Indonesia mencapai 27,7 juta jiwa atau 10,7% dari total penduduk yang tersebar di seluruh da-erah provinsi per semester ke-2 tahun 2016. Jawa timur adalah yang terting-gi, disusul Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Utara, NTT, dan lampung. Namun bila dilihat dari sisi persenta-se terhadap total penduduk, Papua adalah provinsi dengan persentase tertinggi dengan nilai 28,4%, disusul

Sumber : BPS. 2017.

Grafik-1 : PDRB Per Kapita Harga Berlaku 2015-2016

dan Rasio Gini 2016

Grafik-2 : Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin

Semester 2 Tahun 2016

(13)

U

T

A

M

A

Papua Barat 24,88, NTT 22,0%, Malu-ku 19,26%, Gorontalo 17,63%, Beng-kulu 17,03% dan Aceh sebesar 16,43%.

INdEKS pEmBANGuNAN

mANuSIA

Adanya kesenjangan juga dapat terlihat dalam dimensi Indeks Pem-bangunan Manusia (IPM). BPS (2017) menjelaskan bahwa IPM merupakan indikator yang menunjukan bagaima-na penduduk dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. IPM sendiri dibentuk dari tiga dimensi, yaitu 1) dimensi umur panjang dan hidup sehat, 2) pengeta-huan, dan 3) standar hidup layak.

IPM per provinsi mengalami perbaikan dari tahun 2011 ke tahun 2016. Pada tahun 2011, IPM tertinggi dicapai oleh DKI Jakarta dengan nilai 77,0 dan terendah dicapai oleh Papua dengan nilai 55,0 sehingga terjadi gap tertinggi sebesar 22. Sementara itu, pada tahun 2016, IPM tertinggi juga diraih DKI Jakarta dengan IPM 79,6, dan terendah juga tetap diraih Papua

dengan nilai 58,1. Gap tertinggi antar daerah yang terjadi di 2016 mencapai 21,5. Bila dibandingkan dengan gap

2011, angka ini menunjukan adanya

kenaikan, tetapi tidak signifikan se -hingga dapat dimaknai bahwa proses pendistribusian atau pemerataan ber-jalan di tempat mengingat masa telah berjalan 5 tahun.

Banyak faktor penyebab terjadi-nya kesenjangan ekonomi dan sosial antar daerah di Indonesia. Beberapa penyebab tersebut diantaranya ada-lah keberadaan sumber daya alam yang berbeda, tingkat pendidikan sumber daya manusia, ketersediaan modal/pembiayaan, dan lainnya yang dimiliki atau tersedia di daerah yang bersangkutan. Ketimpangan semakin meningkat atau bertahan, ketika pe-laksanaan pembangunan itu sendiri tidak dilaksanakan dengan merata. Pembangunan yang terfokus pada da-erah tertentu yang sebelumnya sudah sejahtera membuat daerah lainnya se-makin tertinggal dan akhirnya akan semakin meningkatkan kesenjangan kesejahteraan daerah tersebut

de-ngan daerah lainnya. Untuk menga-tasinya, pembangunan ekonomi pada daerah tertinggal harus digenjot se-hingga ketertinggalan dan kesenjang-an terkikis hingga merata.

Ketimpangan yang terjadi juga telah menjadi perhatian dan target penyelesaiaan Pemerintahan sekarang ini. Beberapa kebijakan akan dilaku-kan, antara lain : 1) memperbanyak pendidikan vokasi, 2) memperbesar alokasi anggaran untuk kesejahtera-an kaum miskin, 3) penyalurkesejahtera-an dkesejahtera-ana desa, 4) membuka akses perbankan, diantaranya melalui program KUR, 5) pembangunan proyek infrastruk-tur secara besar-besaran (presidenri. go.id, 2016). Arah kebijakan Peme-rintah, nampaknya seirama dengan pandangan World Bank. World Bank (2016) dalam press releasenya, menge-mukakan enam strategi dalam meng-atasi ketimpangan dan pengentasan kemiskinan, yaitu : 1) pengembangan anak usia dini dan gizi, 2) perlindung-an kesehatperlindung-an untuk semua, 3) akses pendidikan bermutu untuk semua, 4) bantuan tunai kepada keluarga mis-kin, 5) infrastruktur pedesaan – teru-tama jalan dan penyediaan listrik, dan 6) sistem perpajakan yang progresif. Keenam strategi ini diperoleh dari pengalaman yang terjadi dibeberapa negara yang dianggap berhasil me-ngurangi ketimpangan secara

signi-fikan seperti: Brasil, Kamboja, Mali,

Peru dan Tanzania.

mEmANGKAS KESENJANGAN

mELALuI INFRASTRuKTuR

Telah disebutkan di atas, pem-bangunan infrastruktur adalah salah satu solusi untuk mempersempit ke-senjangan antar daerah karena pe-ranannya yang sangat penting dalam menstimulus pertumbuhan sektor-sek-tor lainnya dan pada akhirnya mendo-rong peningkatan taraf kesejahteraan masyarakat daerah. Beberapa pihak menyebut infrastruktur sebagai

peng-Grafik-3 : Indeks Pembangunan Manusia 2011 dan 2016

(14)

U

T

A

M

A

gerak roda perekonomian, dan dapat dimaknai bahwa perekonomian tidak bergerak tanpa adanya infrastruktur. Beberapa poin peran penting meng-apa keberadaan infrastruktur dmeng-apat memangkas kesenjangan terurai da-lam paragraf di bawah ini

Pertama, infrastruktur dapat menarik tumbuhnya penempatan in-vestasi usaha industri. Hal ini terjadi karena infrastruktur dapat berperan sebagai faktor input dan fasilitator atau intermediasi dalam pengem-bangan usaha bisnis atau industri. Salah satu contoh infrastruktur yang berperan sebagai faktor input ada-lah infrastruktur pembangkit listrik. Listrik merupakan input usaha dan merupakan kebutuhan dasar bagi in-dustri. Tanpanya, mesin-mesin indus-tri tidak bisa bergerak dan akhirnya tidak dapat memproduksi atau meng-hasilkan produk konsumsi atau out-put. Selain itu, listrik sebagai faktor input sangat mempengaruhi besarnya biaya pokok produksi (BPP) dan harga jual produk, karenanya pembangun-an pembpembangun-angkit listrik seharusnya ber-skala besar agar dapat menurunkan BPP industri dan dapat meningkatkan

daya saing industri. Contoh nyata pe-ran listrik dalam mendukung program hilirisasi produk pertambangan ada-lah kebutuhan listrik dalam operasio-nalisasi smelter. Smelter membutuh-kan tenaga listrik dalam jumlah yang besar dengan karakter tertentu. Oleh karena itu, Smelter sulit dibangun di Papua, Papua Barat, Kalimantan, Su-lawesi dan daerah lainnya bila tenaga listrik yang ada tidak cukup. Gambar-an kondisi ketenagalistrikGambar-an di Indo-nesia terlihat di bawah.

Sementara itu, contoh infra-struktur lainnya yang berperan seba-gai fasilitator dalam pengembangan industri adalah infrastruktur logistik seperti jalan untuk angkutan darat, bandar udara untuk angkutan udara, dan pelabuhan untuk angkutan laut. Infrastruktur sejenis ini sangat pen-ting dalam mempertemukan pasar baik untuk produk input dan output yang dihasilkan. Tanpanya, industri tidak dapat beroperasi dengan baik seperti tidak dapat menjual barang produksinya ke pasar yang berada di daerah lain, atau berdaya saing ren-dah ketika infrastruktur yang ada ti-dak memadai dan membebani biaya

logistik bagi industri.

Peran penting infrastruktur logis-tik dapat terlihat pada pengembangan ekonomi wisata di Raja Ampat, Papua Barat. Keindahan Raja Ampat sebagai tujuan wisata tidak diragukan lagi ke-indahan alamnya, dengan karakter-karakter khusus tertentu yang tidak dapat dibandingkan dengan karakter wisata laut lainnya. Namun, akses ke Raja Ampat cukup sulit karena keter-sediaan jalan penghubung, bandara udara, listrik, dan akomodasi yang ku-rang memadai. Hal ini membuat wisa-tawan kurang tertarik untuk berkun-jung ke sana. Di samping itu, dampak samping ketiadaan infrastruktur yang memadai tersebut membuat biaya berkunjung ke sana cukup mahal. Per-timbangan biaya membuat wisatawan dalam negeri lebih suka berkunjung ke luar negeri seperti ke Singapura diban-dingkan Raja Ampat.

Kedua, infrastruktur menciptakan dan mendorong penyediaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan.

Dalam penyediaan lapangan pekerja-an, infrastruktur dapat melakukannya secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung terjadi karena dalam

Sumber : satuenergi.com. 2017.

(15)

U

T

A

M

A

proses pembangunan infrastruktur dan pemeliharaannya membutuhkan atau menyerap tenaga kerja. Sebagai contoh, dalam pembangunan jalan dibutuhkan berbagai jenis kapasitas tenaga kerja, dari pekerja kasar sam-pai dengan pekerja profesional. Seca-ra tidak langsung dapat menyediakan tenaga kerja ketika infrastruktur yang dibangun mampu menarik investasi melalui pendirian industri. Ketika ber-operasi, industri membutuhkan dan menyerap tenaga kerja dengan ber-bagai karakter kapasitas tenaga kerja pula. Manakala lapangan pekerjaan tersedia, maka pendapatan penduduk meningkat, dan pada akhirnya dapat mendorong peningkatan daya beli dan taraf kehidupan.

Ketiga, infrastruktur mendorong peningkatan kapasitas dan kesehat-an sumber daya mkesehat-anusia. Di daerah tertentu, seperti Pulau Papua dan Kali-mantan, dihuni oleh penduduk dalam jumlah yang sedikit, tidak sebanding dengan wilayah yang sangat luas, dan penduduknya tinggal tersebar di daerah-daerah tertentu. Di sisi lain, penyediaan fasilitas pendidikan dan kesehatan pada umumnya didasarkan pada cakupan jumlah penduduk. Ka-renanya, ketersediaan infrastruktur se-perti jalan dan penerangan jalan atau listrik merupakan kebutuhan sebagai upaya penduduk di daerah terpencil dapat mengakses fasilitas tersebut de-ngan mudah. Sulit dibayangkan ba-gaimana penduduk yang berangkat sekolah harus melewati sungai dan jalan berlumpur dapat bersekolah dengan baik. Oleh karena itu, ketika akses mudah, penduduk terdorong untuk bersekolah dan berobat sehing-ga pendidikan dan tingkat kesehatan penduduk di daerah tersebut mening-kat. Di samping itu, keberadaan infra-struktur telekomunikasi dan informa-si seperti televiinforma-si dan internet dapat mempersempit gap antara penduduk daerah terpencil dengan daerah ramai

atau sudah maju.

Keempat, infrastruktur dapat mendorong pendistribusian pendu-duk secara merata di seluruh wilayah Indonesia. Keberadaan infrastruktur yang mampu menciptakan lapangan kerja, akses pendidikan dan kesehat-an dapat mendorong penduduk ykesehat-ang berkapasitas tinggi di daerah tersebut untuk tetap tinggal untuk memba-ngun daerah sendiri, dan tidak tergiur untuk berpindah ke daerah lain untuk mendapatkan penghidupan yang le-bih baik. Bahkan penduduk dari da-erah padat tertarik untuk pindah ke daerah tersebut. Namun demikian, dalam konteks pendistribusian pendu-duk mengalami kesulitan yang timbul karena isu kedaerahan. Penduduk dari luar pada umumnya penduduk yang memiliki kapasitas dan modal yang lebih tinggi dibandingkan penduduk asli daerah itu. Karenanya, penduduk baru diperkirakan menguasai ekono-mi daerah tersebut sehingga mencip-takan persoalan kesenjangan baru da-lam daerah tersebut. Untuk mengatasi persoalan ini, pembangunan kapasitas penduduk asli daerah perlu dilakukan sebagai bagian program paralel dari pembangunan infrastruktur. Selanjut-nya, pendistribusian pendapatan ha-rus dilakukan dengan baik di daerah tersebut.

pENuTup

Ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan, tetapi Pemerintah menghadapi tantangan akan ada-nya ketimpangan atau kesenjangan antar daerah di wilayah Indonesia. Pendapatan dan taraf kehidupan pen-duduk seperti pendidikan dan kese-hatan antar daerah begitu timpang, khususnya wilayah Indonesia Timur dengan Jawa. Pembangunan daerah tersebut perlu digenjot agar ketim-pangan dapat dikikis hingga sepadan. Tahap permulaan pembangunan ada-lah pembangunan infrastruktur dasar

seperti ketenagalistrikan, jalan, pela-buhan, bandar udara, dan infrastruk-tur berbasis teknologi informasi dan komunikasi.

Pembangunan infrastruktur dasar dipilih karena mampu menciptakan sendiri dan mendorong tumbuhnya industri, lapangan kerja, pendapatan, dan peningkatan kapasitas SDM mela-lui pendidikan serta tingkat kesehatan penduduk daerah tertinggal. Di sam-ping itu, pembangunan infrastruktur dapat mendorong pendistribusian penduduk Indonesia secara merata dan proporsional di mana penduduk asli daerah telah nyaman menentap di daerahnya sendiri, sedangkan pendu-duk dari daerah padat tertarik untuk bermigrasi ke tempat daerah terse-but. Kemampuan infrastruktur ini bagaikan gula yang mampu menarik dan mendatangkan semut-semut. n

REFERENSI:

1. Presidenri.go.id. 2016. Lang-kah Nyata Mengurangi Ketim-pangan Pendapatan. Diakses 3 Mei 2017. http://presidenri. go.id/topik-aktual/langkah- nyata-mengurangi-ketim-pangan-pendapatan.html 2. World Bank. 2016. Mengatasi

Ketimpangan Penting untuk Mengentaskan Kemiskinan Ekstrem di Tahun 2030. Press Release. Diakses 5 Mei 2017. http://www.worldbank.org/in/ news/press-release/2016/10/02/ tackling-inequality-vital-to-end-extreme-poverty-by-2030 3. BPS. 2017. Data PDRB Per Ka-pita, Rasio Gini, Jumlah Pen-duduk Miskin dan Persentase Penduduk Miskin. Diakses 28 April 2017.

4. BPS. 2017. Indeks Pembangun-an MPembangun-anusia menurut Provinsi, 2010-2016.

(16)

U

T

A

M

A

Mengatasi Kesenjangan Melalui

Pembangunan Infrastruktur

di Wilayah Pinggiran

Oleh: Hendro Ratnanto

Kepala Seksi Persetujuan Proyek Sektor I pada Direktorat Pengelolaan Dukungan Pemerintah dan Pembiayaan Infrastruktur,

Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko. Email: hendro.ratnanto@gmail.com

LATAR BELAKANG

Laju pertumbuhan ekonomi In-donesia selama hampir dua dekade terakhir mengalami perkembangan yang cukup baik. Meskipun ketidak-pastian perekonomian global masih membayangi namun Indonesia telah berhasil keluar dari turbulensi ekono-mi. Proyeksi pertumbuhan ekonomi ke depan masih positif dan lebih baik dibanding negara-negara peers mes-kipun cenderung mengalami perlam-batan sejak tahun 2011.

Pertumbuhan PDB per kapita Indo-nesia juga menunjukkan perkembang-an yperkembang-ang cukup baik sejak krisis

ekono-mi 1998. Namun deekono-mikian penggunaan PDB per kapita sebagai alat utama dalam mengukur kemajuan ekonomi Indonesia masih perlu dikaji lebih jauh mengingat penduduk Indonesia memi-liki karakteristik ketidaksetaraan yang tinggi dalam distribusi pendapatan. Salah satu ukuran yang diusulkan da-lam literatur ekonomi pembangunan yang dapat merepresentasikan kesen-jangan adalah rasio Gini. Angka rasio Gini mengindikasikan adanya potensi kesenjangan distribusi pendapatan yang cenderung meningkat di masa mendatang jika Pemerintah tidak se-gera mengambil tindakan.

Angka rasio Gini sejak tahun 2011 hingga 2015 tidak menunjukkan perbaikan yaitu terhenti di level 0,41. Sedikit menurun menjadi 0,40 pada tahun 2016. Bahkan jika dirunut lebih kebelakang, sejak tahun 1999 menun-jukkan adanya kecenderungan sema-kin meningkat.

Pertumbuhan pendapatan per ka-pita yang disertai dengan peningkat-an peningkat-angka indeks Rasio Gini mengindi-kasikan adanya konsentrasi kekayaan yang besar untuk kelompok elit yang kecil. Sekelompok kecil masyarakat teratas tumbuh jauh lebih cepat, se-dangkan sebagian besar masyarakat terbawah tidak tumbuh atau bahkan menurun. Target Pemerintah pada ta-hun 2017 adalah menurunkan indeks rasio Gini menjadi 0,39. Dalam rangka mencapai target tersebut, pemerintah harus segera merumuskan kebijakan pro pemerataan yang tepat guna mendorong distribusi pendapatan.

Nilai koefisien Gini 0 menun-jukkan distribusi pendapatan yang merata, sebaliknya angka 1 mengin-dikasikan ketimpangan sempurna. Sehingga semakin mendekati angka 1 berarti ketimpangan semakin melebar dan sebaliknya.

Berdasarkan nilai koefisien Gini

pada Tabel 1 terlihat bahwa tingkat ketimpangan di Indonesia termasuk kategori sedang, tetapi jika

Pemerin-Sumber: Badan Pusat Statistik dan Kementerian Keuangan, diolah

(17)

U

T

A

M

A

Grafik 2. Rasio Gini Indonesia dan PDB Per Kapita Indonesia

Sumber: Badan Pusat Statistik dan Bank Dunia, diolah

Tabel 1. Nilai Koefisien Gini

Nilai Koefisien Distribusi Pendapatan

< 0,4 Tingkat ketimpangan rendah

0,4 – 0,5 Tingkat ketimpangan sedang

> 0,5 Tingkat ketimpangan tinggi

tah tidak segera melakukan langkah-langkah konkret diperkirakan tingkat kesenjangan akan semakin tinggi di masa yang akan datang.

Disamping itu masih terdapat

persoalan kesenjangan ekonomi antar wilayah yang membutuhkan perhatian dan penanganan segera. Kesenjangan ekonomi antar wilayah di Indonesia masih cukup besar.

Per-ekonomian nasional masih terpusat di wilayah Jawa-Bali dan Sumatera,

sebagaimana terlihat pada Grafik 3. Pada grafik diatas terlihat ada -nya tingkat kesenjangan yang cukup tinggi dalam pemerataan pemba-ngunan. Kontribusi wilayah Jawa-Bali terhadap pembentukan PDB Nasional selama kurun waktu 2000 – 2013 rata-rata sekitar 61,91%. Sementara untuk wilayah Sumatera rata-rata sekitar 21,38%, Kalimantan sebesar 8,98%, dan Sulawesi sebesar 4,50%. Sedang-kan kontribusi rata-rata paling rendah adalah dari wilayah Nusa Tenggara dan Papua masing-masing sekitar 1,45%, dan Maluku sebesar 0,33%. Terlihat bahwa konsentrasi perekono-mian masih berada di Jawa, Bali dan Sumatera. Ini berarti bahwa pemba-ngunan di Tanah Air yang telah ber-langsung selama sekian puluh tahun dengan fakta pertumbuhan ekonomi yang selalu meningkat ternyata tidak disertai dengan pemerataan.

pEmBANGuNAN

INFRASTRuKTuR dI

WILAyAH pINGGIRAN

uNTuK mENINGKATKAN

pEmERATAAN

Untuk menekan kesenjangan maka pembangunan ekonomi di luar wilayah Jawa-Bali-Sumatera terutama di Kawasan Timur Indonesia harus men-jadi prioritas. Kebijakan yang berfokus pada investasi di pembangunan bidang infrastruktur, terutama yang terkait dengan kelancaran arus logistik atau konektivitas, merupakan salah satu strategi kunci untuk mencapai target mengurangi ketimpangan tersebut.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 pembangunan infrastruk-tur merupakan salah satu isu strategis dan sasaran utama. Target infrastruk-tur terkait konektivitas yang harus dibangun dalam tahun 2015-2019 meliputi:

Sumber: BPS, diolah

Grafik 3. Distribusi Persentase PDRB Menurut Wilayah

Tahun 2000-2015

(18)

U

T

A

M

A

 Jalan baru 2.650 km  Jalan tol 1.000 km  Pemeliharaan jalan 46.770 km

 Pembangunan jalur Kereta Api 3.258 km di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, terdiri dari :

- KA Antar Kota 2.159 km - KA Perkotaan 1.099 km

 Pembangunan 15 Bandara baru

 Pengadaan 20 pesawat perintis

 Pengembangan Bandara untuk pelayanan cargo udara di 6 Lokasi

 Pembangunan pelabuhan penyeberangan di 60 lokasi

 Pengadaan kapal penyeberangan sebanyak 50 unit (terutama perintis)

 Pembangunan 24 pelabuhan baru

 Pengadaan 26 kapal barang perintis

 Pengadaan 2 kapal ternak

 Pengadaan 500 unit kapal rakyat

 Pembangunan Bus Rapid Transit (BRT) di 29 kota

 Pembangunan angkutan massal cepat di kawasan perkotaan (6 Kota Metropolitan, 17 kota besar)

Pada tahun 2017 target infrastruk-tur yang harus dibangun meliputi pembangunan jalan sepanjang 836 km, pembangunan jembatan sepan-jang 10.198 m, pembangunan tigabelas bandara (baru/lanjutan), 61 lokasi pe-labuhan laut (pembangunan lanjutan fasilitas pelabuhan laut), jalur kereta api sepanjang 710 km (pembangunan tahap I dan lanjutan), tiga terminal penumpang (pembangunan lanjutan). Tantangannya adalah bagaimana program infrastruktur itu akan dibia-yai. Tentu saja pembangunan infra-struktur memerlukan investasi yang sangat besar. Sumber pembiayaan selama ini lebih banyak menggan-tungkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pertanya-an selPertanya-anjutnya adalah seberapa besar kemampuan APBN.

Sebagaimana terlihat pada tabel 2, dari sisi pembiayaan kebutuhan anggaran untuk pembangunan infra-struktur Indonesia dalam kurun wak-tu 2014-2015 adalah sekitar Rp4.796,2

Tabel 2. Perkiraan Kebutuhan Pendanaan Infrastruktur RPJMN

(dalam triliun Rupiah)

Infrastruktur Dasar APBN APBD BUMN Swasta Jumlah Total

Konektivitas 783 220 379,2 445 1.827,2

Kelistrikan 124,3 0 596,5 786,5 1.507,3

Komunikasi, Air dan

Perumahan 526 325,3 90,5 519,9 1.461,7

Total 1.433,3 545,3 1.066,2 1.751,4 4.796,2

Sumber: Bappenas

triliun. Kemampuan APBN dan APBD untuk mendanai pembangunan in-frastruktur hanya sebesar 29,88 % dan 11,37 %, sementara kemampu-an BUMN sebesar 22,23 %, sehingga 36,52% gap pendanaan tersebut di-harapkan dapat dibiayai oleh swasta.

KEBIJAKAN pEmBANGuNAN

INFRASTRuKTuR uNTuK

mENGATASI KETImpANGAN

mELALuI opTImALISASI ApBN

Sebagaimana diuraikan di atas, pertumbuhan ekonomi di tanah air ti-dak disertai dengan pemerataan. Da-lam setiap satu persen pertumbuhan tidak selalu secara otomatis langsung menciptakan lapangan kerja, me-ngurangi kemiskinan, meme-ngurangi kesenjangan. Bahkan suatu ekonomi yang didesain dengan pertumbuhan yang tidak inklusif bisa saja growth

-nya tinggi tetapi kemiskinan stagnan, kesenjangan makin tinggi dan peng-angguran tidak terkurangi. Melihat peningkatan pendapatan di satu sisi

dan melebarnya ketimpangan di sisi lain, pemerintah harus segera meru-muskan kebijakan fiskal yang pro-pemerataan. Salah satunya adalah membangun infrastruktur di daerah pinggiran.

Sebagaimana tertuang dalam Na-wacita, Presiden Jokowi berkomitmen untuk membangun Indonesia dari pinggiran. Salah satu tujuan dari pro-gram tersebut adalah untuk mengu-rangi kesenjangan. Upaya mengumengu-rangi kesenjangan adalah dengan memper-cepat pembangunan infrastruktur di setiap daerah. Tidak lagi berorientasi ke wilayah Jawa atau Jawa-sentris, tetapi juga meliputi Kalimantan, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Maluku, Pa-pua dan lainnya, bahkan juga di dae-rah pinggiran, perbatasan antar-nega-ra, dan pulau-pulau terpencil. Dengan demikian diharapkan pembangunan infrastruktur dapat menciptakan titik-titik pertumbuhan ekonomi baru dan dapat menjadi trigger percepatan pe-merataan pembangunan.

Kesenjangan atau ketimpangan memang selalu menjadi tantangan pembangunan sejak dulu. Bahkan ketika pertumbuhan ekonomi melaju kencang, ketimpangan pendapatan tetap tak terhindarkan. Penurunan kesenjangan menjadi target pemerin-tah, karena jika tidak segera diatasi akan semakin lebar dan berpotensi

menimbulkan konflik sosial.

Dalam satu kesempatan Mente-ri Keuangan SMente-ri Mulyani Indrawati

(19)

U

T

A

M

A

juga meminta agar pembangunan infrastruktur dapat lebih menyasar masyarakat kecil. Dengan demikian proyek infrastruktur dapat berkontri-busi terhadap penurunan ketimpang-an pendapatketimpang-an di Indonesia. Menteri Keuangan menyampaikan bahwa de-ngan growing middle class yang ma-sih meningkat dan 10% masyarakat masih hidup di bawah garis kemiskin-an merupakkemiskin-an indikator bahwa kebu-tuhan infrastruktur untuk menopang pertumbuhan ekonomi yang inklusif untuk mengurangi kesenjangan ada-lah sangat mendesak.

Pembangunan infrastruktur me-merlukan investasi yang besar. Salah satu peran pemerintah dalam mem-fasilitasi pertumbuhan infrastruktur adalah dengan mengalokasikan ang-garan belanja untuk pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur. Na-mun keterbatasan kemampuan Ang-garan Pendapatan dan Belanja Nega-ra (APBN) menjadi hambatan utama dalam pelaksanaan program ini. Di-tengah keterbatasan tersebut Peme-rintah selalu berupaya meningkatkan alokasi anggaran untuk pembangun-an infrastruktur dari tahun ke tahun

sebagaimana terlihat pada Grafik 4.

Berdasarkan grafik diatas terlihat

bahwa alokasi anggaran infrastruktur mengalami kenaikan dari tahun ke ta-hun. Pada Tahun Anggaran 2015 ter-jadi peningkatan yang cukup drastis

dibanding tahun sebelumnya, yaitu dari Rp177,9 triliun pada tahun 2014 menjadi Rp290,3 triliun. Anggaran ini diperoleh dari realokasi anggaran subsidi BBM. Tahun 2017 Pemerintah kembali meningkatkan alokasi belanja infrastruktur menjadi Rp387,7 triliun. Khusus untuk tahun anggaran 2017 peningkatan belanja infrastruktur Pemerintah dilakukan melalui pe-nambahan alokasi belanja K/L dalam APBN khususnya K/L yang menangani infrastruktur ekonomi, yaitu Kemente-rian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan Kementerian Perhubung-an, serta melalui penguatan kebijakan

desentralisasi fiskal melalui peningkat -an d-ana Tr-ansfer ke Daerah d-an D-ana Desa. Anggaran belanja infrastruktur sebagaimana terlihat pada Tabel 4.

Terkait Transfer ke Daerah dan Dana Desa kebijakan umum pada tahun 2017 diarahkan untuk

memper-kuat implementasi desentralisasi fis

-Sumber: DJA Kementerian Keuangan, diolah

Grafik 4. Perkembangan Anggaran Infrastruktur Dalam APBN

Tahun 2009 - 2017

Tabel 4. Rincian Anggaran Infrastruktur Dalam APBN

Tahun 2016 dan 2017

(20)

U

T

A

M

A

kal dan Nawacita, yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam rangka penguatan

kebijakan desentralisasi fiskal mela -lui peningkatan Dana Transfer Umum (DTU) untuk Infrastruktur tersebut maka Pemerintah mengalokasikan belanja negara sebesar Rp124 triliun. Dalam APBN tahun 2017 anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa telah ditetapkan lebih besar daripa-da anggaran belanja kementerian/ lembaga. Anggaran belanja K/L sebe-sar Rp763,6 triliun, sedangkan aloka-si anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa adalah sebesar Rp764,9 tri-liun. Rincian alokasi anggaran untuk Transfer ke Daerah dan Dana Desa

dapat dilihat di Grafik 5.

Sebagaimana Peraturan Menteri Keuangan No. 48/PMK.07/2016 tentang Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa, minimal 15% Dana Bagi Ha-sil (DBH) non-earmark dan Dana Alo-kasi Umum (DAU) dialoAlo-kasikan untuk pembangunan infrastruktur. Dalam Undang-undang APBN 2017 DTU yang terdiri dari DBH dan DAU sekurang-kurangnya 25% dialokasikan untuk belanja infrastruktur daerah yang lang-sung terkait dengan percepatan pem-bangunan fasilitas pelayanan publik dan ekonomi dalam rangka

meningkatkan kesempatan kerja, mengurangi kemiskin-an, dan mengurangi kesen-jangan penyediaan layanan publik antardaerah. Adapun untuk Dana Desa, Jawa-Bali mendapat alokasi Rp 19,2 tri-liun dan non-Jawa-Bali sebe-sar Rp 40,8 triliun yang akan disalurkan ke 74.954 desa. Sebagian besar alokasi Dana Desa (68,02%) berada di luar Jawa-Bali.

Pemerintahan Presiden Jokowi telah mengubah

arah kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Anggaran untuk subsidi energi dipangkas dan di-realokasi ke tiga program yang men-jadi fokus utama percepatan pemba-ngunan, yaitu infrastruktur, kesehatan dan pendidikan. Selain itu percepatan penyerapan anggaran didorong se-jak awal tahun anggaran dan alokasi anggaran pembangunan lebih diprio-ritaskan ke Kawasan Timur Indonesia dalam rangka mencapai pemerataan pembangunan nasional. Disamping itu Pemerintah juga memberikan ke-sempatan yang lebih luas bagi swasta (investor baik dari dalam maupun luar negeri) untuk turut andil memberikan kontribusi dalam pembangunan infra-struktur nasional dengan didukung oleh berbagai Paket Kebijakan Ekono-mi yang diberikan.

KERJASAmA pEmERINTAH

dAN BAdAN uSAHA

(KpBu) SEBAGAI SKEmA

ALTERNATIF pERcEpATAN

pEmBANGuNAN

INFRASTRuKTuR uNTuK

mENGATASI KESENJANGAN

Sebagaimana diuraikan sebelum-nya terdapat gap pembiayaan infra-struktur yang diharapkan dapat diisi oleh Badan Usaha baik milik peme-rintah maupun swasta melalui skema

KPBU. Skema ini merupakan alternatif terobosan dengan memobilisasi sum-ber daya Badan Usahadalam penye-diaan layanan publik yang berkualitas sehingga anggaran negara dapat dihe-mat. Beberapa proyek yang sebelum-nya hampir terhenti karena mengha-dapi kendala anggaran akhirnya dapat berjalan kembali setelah distruktur dengan skema KPBU, misalnya proyek SPAM Umbulan dan Palapa Ring.

Palapa Ring merupakan contoh nyata Proyek KPBU yang keberada-annya dapat mengatasi kesenjangan, khususnya kesenjangan akses infor-masi antara Kawasan Barat dan Ka-wasan Timur Indonesia. Proyek ini menjangkau daerah terpencil dan wi-layah perbatasan sehingga dapat di-katakan bahwa Proyek ini merupakan implementasi isu strategis penguatan konektivitas nasional terutama ber-kaitan dengan pengembangan infra-struktur komunikasi dan informatika yang berdaya saing dan layanan yang berkualitas.

Saat ini sebagian besar proyek KPBU memang masih berada di Jawa. Baru terdapat dua proyek KPBU ter-kait konektivitas yang berada di luar Jawa yaitu proyek Jalan Tol Balikpa-pan-Samarinda dan Manado-Bitung. Skema ini relatif belum terlalu dikenal sehingga perlu upaya agar skema ini lebih memasyarakat. Keber-hasilan Palapa Ring yang telah ground breaking di beberapa daerah pinggiran dan terpencil serta sosiali-sasi yang gencar dilakukan oleh Penanggung Jawab Proyek Kerjasama yaitu Menteri Komunikasi dan Informatika kepada bebe-rapa pemerintah daerah di Kawasan Timur Indonesia menjadi publikasi yang baik bagi skema KPBU sehingga dapat menambah wawasan pemerintah daerah tersebut

Grafik 5. Anggaran Transfer ke Daerah dan Dana

Desa Tahun Anggaran 2017 (dalam triliun Rupiah)

Gambar

Gambar 1. Koefisien Gini 2001-2015
Gambar 2. Growth Incidence Curve Periode 2009-2015kekayaan mereka melalui kerja keras,
Grafik 1. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2000 – 2017
Grafik 2. Rasio Gini Indonesia dan PDB Per Kapita Indonesia
+7

Referensi

Dokumen terkait

Alhamdulillah, syukur ke hadrat Allah S.W.T kerana dengan izin dan limpah kurnia-Nya, Pusat Pengajian Ekonomi, Fakulti Ekonomi dan Pengurusan, Universiti Kebangsaan Malaysia

Variabel rasio hutang memiliki koefisien negatip, hal ini berarti penggunaan instrumen kebijakan hutang terkait dengan struktur kepemilikan insider yang lebih rendah

Tujuan dari penelitian ini untuk menganalisis kandungan amoniak dan bakteri coliform total pada limbah cair Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Bitung pada

atas dasar permintaan guru-guru SMA yang pada saat itu menerima kedatangan tim pengabdian ketika akan mensosialisasikan undangan pelatihan media literacy

Hipopion adalah pus steril yang terdapat pada bilik mata depan yang terlihat sebagai lapisan putih yang mengendap di bagian bawah bilik mata depan. Bangunan yang berhubungan

Winkel dalam Hasty (2010) mengemukakan bahwa minat belajar pada diri seseorang terdiri dari empat aspek, yaitu: 1) perasaan senang berawal dari adanya perasaan

mendepatkan nilai akhir 89 yang bisa dikategorikan sangat baik. Aktivitas guru pada saat kegiatan pendahuluan tergolong sangat baik, karena 5 dari 6 aspek mendapatkan

Dari hasil penelitian tentang perbandingan kebugaran jasmani, dapat diketahui bahwa tingkat kebugaran jasmani antara siswa kelas X SMAN 1 Mojosari, MAN Mojosari, dan SMKN 1