• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. baik yang bersifat sosial maupun ekonomi yang diberikan kepada seseorang atau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. baik yang bersifat sosial maupun ekonomi yang diberikan kepada seseorang atau"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI)1 adalah hak khusus (exclusive right) baik yang bersifat sosial maupun ekonomi yang diberikan kepada seseorang atau badan hukum berupa pengakuan dan penghargaan atas penemuan atau penciptaan karya intelektual mereka.2 Pemilik hak mendapatkan hak khusus untuk mengeksploitasi karya atau temuan tersebut, dan orang lain dilarang untuk memanfaatkannya tanpa izin.3

HaKI (intellectual property rights), yang berkaitan dengan hak kepemilikan atas karya-karya intelektual, pada dasarnya adalah hak-hak yang tidak berwujud (intangible rights).4 Dalam sistem hukum, HaKI merupakan bagian dari hak kekayaan atau hak kepemilikan (property) yang memiliki nilai ekonomi atau

1

Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Kehakiman dan HAM RI, Buku

Panduan Hak Kekayaan Intelektual 2003, (Jakarta: 2003), hal. 3. Hak atas Kekayaan Intelektual,

disingkat “HKI” atau akronim “HaKI”, adalah padanan kata yang biasa digunakan untuk Intellectual

Property Right (IPR) yakni hak yang timbul bagi hasil olah piker otak yang menghasilkan suatu

produk atau proses yang berguna untuk manusia. HKI secara garis besar terbagi dalam 2 (dua) bagian: 1) Hak Kekayaan Industri (Industrial Property Rights), yang mencakup: Paten (Patent); Desain Industri (Industrial Design); Merek (Trademark); Penanggulangan Praktik Persaingan Curang (Repression of Unfair Competition); Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (Layout Design of Integrated

Circuit); dan Rahasia Dagang (Trade Secret). 2) Hak Cipta (Copyright) yang mencakup pula Related Rights atau yang juga disebut Neighboring Rights.

2

Cita Citrawinda Priapantja, Budaya Hukum Indonesia Menghadapi Globalisasi

Perlindungan Rahasia Dagang di Bidang Farmasi, Cet. 1, (Jakarta: Chandra Pratama, 1999), hal. 27.

3

Agus Sardjono, Pengetahuan Tradisional Studi Mengenai Perlindungan Hak Kekayaan

Intelektual Atas Obat-Obatan, Cet. 1, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas

Indonesia, 2004), hal. 19. 4

Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum, diterjemahkan oleh Mohamad Radjab, Cet. 3, (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1982), hal. 139.

(2)

“economic rights”, karena adanya hak eksklusif untuk mengeksploitasi tersebut.5 Sebagai asset yang bernilai ekonomi, maka HaKI memberikan keuntungan ekonomis bagi pemilik hak atau pemegang hak (right owner/right holder). Namun sebagaimana hak milik atau kekayaan lainnya, maka hak tersebut juga rawan terhadap pencurian serta penggunaan oleh orang lain secara tidak sah, sehingga menimbulkan dampak kerugian ekonomis (di samping kerugian moral) yang luas, baik ada pemilik hak maupun bagi perekonomian nasional.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, upaya-upaya untuk melaksanakan perlindungan HaKI yang memadai (adequate intellectual property right protection) dirasakan semakin meningkat, baik di kalangan industri, masyarakat luas, maupun pemerintah. Hal ini terjadi, seiring dengan semakin berkembangnya peranan HaKI dalam beberapa bidang kegiatan ekonomi, dan semakin meningkatnya pelanggaran HaKI. Peningkatan perlindungan HaKI dianggap sebagai suatu hal yang sangat penting dalam kerangka perdagangan internasional. Pentingnya peningkatan perlindungan HaKI ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:6

1. Peranan dari produk-produk yang berbasiskan HaKI dalam perdagangan (terutama dalam perdagangan internasional) meningkat secara tajam;

2. Kemajuan komunikasi dan hubungan internasional telah menciptakan suatu Pasar Global;

5

Lihat Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang

Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, (Bandung: Citra Aditya

Bakti, 1996), hal. 43. Harold F. Lusk memberikan batasan tentang hak milik atau ownership sebagai, “the exclusive right to possess, enjoy and dispose or rights having economic value”. Bahwa hak milik merupakan hak eksklusif untuk menguasai, menikmati dan mengatur suatu objek atau hak-hak yang memiliki nilai ekonomi.

6

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, “Peranan Bea dan Cukai Dalam Perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual,” (Makalah disampaikan pada Training Course on Intellectual Property Rights, Jakarta, 24-28 Mei 2004), hal. 2-3.

(3)

3. Berkembangnya teknologi yang relatif murah dan tidak terlalu yang relatif murah dan tidak terlalu rumit, untuk melakukan reproduksi jenis-jenis barang tertentu;

4. Meningkatnya penelitian dan pengembangan dalam menciptakan produk-produk baru;

5. Beberapa aspek teknologi yang baru belum dapat masuk secara tepat dalam salah satu jenis perlindungan HaKI.

Perlindungan terhadap HaKI merupakan sebuah komitmen yang harus dipenuhi sebagai konsekuensi Indonesia menjadi anggota World Trade Organization (WTO) dengan menandatangani perjanjian Marakesh, Maroko pada tahun 1994 yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Establishing World Trade Organization yang didalamnya juga mencakup perjanjian Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs).7

Persetujuan TRIPs ini memuat norma-norma dan standar perlindungan HaKI secara ketat yang bertujuan untuk:8

1. Meningkatkan perlindungan terhadap HaKI dari produk-produk yang diperdagangkan;

2. Menjamin prosedur pelaksanaan HaKI yang tidak menghambat kegiatan perdagangan;

3. Merumuskan aturan serta disiplin mengenai pelaksanaan perlindungan terhadap HaKI;

4. Mengembangkan prinsip, aturan dan mekanisme kerjasama

internasional untuk menangani perdagangan barang-barang hasil pemalsuan atau pembajakan atas HaKI.

7

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the

World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), disahkan dan

diundangkan pada tanggal 2 November 1994 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3564. Lihat ketentuan pasal 65 TRIPs Agreement (1994). Ditandatangani pada tanggal 15 April 1994, dan berlaku Januari 1995. Lihat Pasal 11 ayat (2) Persetujuan WTO, persetujuan TRIPs mengikat seluruh anggota Persetujuan WTO.

8 Ibid.

(4)

Sebelum berlakunya perjanjian TRIPs, institusi kepabeanan (customs) di berbagai negara umumnya tidak banyak terlibat dalam perlindungan HaKI. Dengan meningkatnya perdagangan internasional dan semakin meluasnya pelanggaran HaKI yang melintasi batas-batas negara, maka disadari pentingnya peran yang dapat dilakukan oleh pihak pabean dalam melaksanakan perlindungan HaKI. Oleh karena itu, dalam TRIPs diatur secara khusus ketentuan tentang ”border measure control / border enforcement” yaitu pengawasan oleh pihak pabean (Customs Administration) terhadap barang hasil pelanggaran HaKI. Dengan adanya ketentuan tersebut, maka di tiap negara, aparat border cross control dalam hal ini institusi kepabeanan (di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai), harus ikut terlibat dalam pelaksanaan perlindungan HaKI.9

Dalam posisinya sebagai aparat pengawas lalu lintas barang baik yang masuk maupun yang keluar dari wilayah Indonesia, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) diwajibkan mengendalikan impor-ekspor barang-barang hasil pelanggaran di bidang HaKI sebagai kelanjutan dari ratifikasi Indonesia tersebut di atas mengenai ketentuan border measure control / border enforcement yang termuat dalam Article 51 sampai Article 60 the TRIPs Agreement, tepatnya diimplementasikan dalam Pasal 54 sampai dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan

9

Lihat Article 51 the TRIPs Agreement, Section 4 mengenai Special Requirement Related to

Border Measures yang menyatakan bahwa para anggota harus menyesuaikan dan mengadopsi

ketentuan-ketentuan dan prosedur untuk memungkinkan pemilik HaKI, yang memiliki dasar yang kuat untuk menduga adanya impor barang-barang yang merupakan hasil pelanggaran merek atau hak cipta yang dimilikinya, untuk meminta secara tertulis kepada pejabat yang berwewenang (baik pemerintah atau badan peradilan) untuk melakukan penangguhan barang-barang impor tersebut dari pelabuhan oleh pejabat Bea Cukai.

(5)

atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan10 (Bab X): ”Larangan dan Pembatasan Impor atau Ekspor, Penangguhan Impor atau Ekspor Barang hasil Pelanggaran Hak atas Kekayaan Intelektual, dan Penindakan atas Barang yang terkait dengan Terorisme dan/ atau Kejahatan Lintas Negara”. Dalam fungsi tersebut DJBC diharapkan dapat bertindak efektif menangkal pelanggaran HaKI yang melintasi daerah pabean (Border Cross Control).

DJBC melaksanakan fungsi pengendalian tersebut dengan cara menangguhkan pengeluaran barang impor/ekspor dari kawasan pabean untuk memberikan kesempatan kepada yang berhak atas HaKI untuk mengambil tindakan hukum. Penangguhan pengeluaran barang dilakukan dengan dua cara: Pertama, penangguhan pengeluaran barang impor (atau ekspor) berdasarkan perintah tertulis Ketua Pengadilan Negeri atas permintaan pemilik / pemegang HaKI dengan mengajukan bukti yang cukup mengenai adanya pelanggaran HaKI disertai penempatan jaminan untuk dipertaruhkan (passive action procedure).11 Kedua, penangguhan pengeluaran barang impor (atau ekspor) karena jabatan (secara ex

10

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, disahkan dan diundangkan pada tanggal 30 Desember 1995 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3612, berlaku tanggal 1 April 1996. Dengan berlakunya undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku lagi: 1) Indische Tarief Wet Staatsblad Tahun 1873 Nomor 35 sebagaimana telah diubah dan ditambah; 2) Rechten Ordonnantie Staatsblad Tahun 1882 Nomor 240 sebagaimana telah diubah dan ditambah; 3) Tarief Ordonnantie Staatsblad Tahun 1910 Nomor 628 sebagaimana telah diubah dan ditambah. Dan sekarang telah diubah menjadi UU No. 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 10 tahun1995 tentang Kepabeanan.

11

Lihat Republik Indonesia, UU Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, LN No. 75 Tahun 1995, TLN No. 3612, Pasal

(6)

officio) berdasarkan bukti yang cukup mengenai adanya pelanggaran HaKI (active action procedure).12

Masalahnya adalah, karena dengan belum adanya Peraturan Pemerintah sebagai pendukung pelaksanaan ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud, dapat menimbulkan masalah dilematis terutama bagi pihak DJBC dan Ketua Pengadilan Negeri atau Pengadilan Niaga dalam memutus perkara impor-ekspor barang hasil pelanggaran HaKI tersebut.

Upaya penegakan hukum dan perlindungan terhadap HaKI ini perlu untuk mendapatkan perhatian yang serius, karena pelanggaran HaKI, pembajakan dan pemalsuan akan mengakibatkan berbagai macam kerugian, diantaranya:13

1. Kerugian Konsumen

Konsumen harus membayar mahal untuk barang palsu, berkualitas rendah, mudah rusak dan mengakibatkan kerusakan materi serta bahaya terhadap kesehatan dan keselamatan jiwa;

2. Kerugian Masyarakat Usaha, Pemegang Hak, Pencipta dan Penemu

Pelanggaran HaKI mengakibatkan turunnya nilai penjualan, kerugian financial, kerugian moral, rusaknya reputasi, dan hilangnya insentif untuk melakukan inovasi, terganggunya pengembangan teknologi;

3. Kerugian Pemerintah, Negara dan Perekonomian

12

Lihat Republik Indonesia, UU Nomor 17 tahun 2006 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, LN No. 75 Tahun 1995, TLN No. 3612, Pasal

62. 13

(7)

Kerugian lain ialah terganggunya perekonomian nasional, hilangnya pendapatan pajak, hilangnya kepercayaan internasional, terhambatnya akses pasar untuk komoditi ekspor, keengganan investor asing untuk investasi, ancaman terhadap perdagangan internasional.

Atas dasar pemikiran diatas maka penulis tertarik untuk mengkaji tulisan dalam bentuk tesis dengan judul: ”Perlindungan HaKI dikaitkan dengan Kepabeanan berdasarkan UU No. 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas, maka penulis merumuskan masalah yang diteliti adalah:

1. Bagaimana Implementasi the TRIPs Agreement dalam peraturan perundang-undangan tentang kepabeanan Indonesia dapat memberikan kontribusi terhadap perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual di Indonesia?

2. Bagaimana Peran kepabeanan (customs) dalam rangka perlindungan terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual?

3. Apa-apa saja Kendala yang dihadapi oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam menerapkan perlindungan hukum terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual di Indonesia dan bagaimana upaya untuk mengatasinya

(8)

C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan di atas, maka penelitian ini bertujuan:

1. Untuk menganalisis implementasi the TRIPs Agreement dalam peraturan perundang-undangan tentang kepabeanan di Indonesia apakah dapat memberikan kontribusi terhadap perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual di Indonesia

2. Untuk menganalisis peran kepabeanan (customs) dalam

rangka perlindungan terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual.

3. Untuk menganalisis hambatan yang dihadapi oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam menerapkan perlindungan hukum terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual di Indonesia dan bagaimana mengatasinya.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis

Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi perkembangan hukum dan pembuatan peraturan kepabeanan yang berkaitan dengan perlindungan HaKI, serta dapat melengkapi hasil penelitian yang telah dilakukan oleh pihak lain dalam bidang yang sama yaitu penelitian tentang bidang hukum HaKI dan dapat menambah bahan pustaka hukum.

(9)

2. Secara Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan manfaat bagi: Pemerintah (khususnya pihak DJBC), para importir, eksportir, serta pelaku bisnis atau praktisi di bidang HaKI dan masyarakat luas sebagai konsumen produk HaKI.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang “Perlindungan HaKI Dikaitkan dengan Kepabeanan berdasarkan UU No. 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan” belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama, walaupun ada beberapa topik penelitian tentang Perlindungan HaKI tapi jelas berbeda. Jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, obyektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah.

(10)

F. Kerangka Teori dan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Teori hukum alam atau adakalanya disebut juga sebagai hukum moral biasanya digunakan sebagai landasan moral atau tuntutan untuk melindungi kekayaan intelektual.14 Gagasan dasarnya adalah bahwa kekayaan intelektual merupakan milik sang kreator. Oleh karena itu pengambilan dengan tidak memberikan kompensasi bagi pemiliknya adalah suatu tindakan yang tidak dapat dibenarkan karena melanggar ajaran moral yang baik karena dalam ajaran moral biasanya diwujudkan dengan doktrin: jangan mencuri atau jangan mengambil apa yang bukan milikmu.15

Disamping itu, karena pencipta telah memperkaya masyarakat melalui ciptaannya, pencipta memiliki hak untuk mendapatkan imbalan yang sepadan dengan nilai sumbangannya. Jadi hak cipta, memberi hak milik eksklusif atas suatu karya pencipta. Hal ini berarti mempertahankan hukum alam dari individu untuk mengawasi karya-karyanya dan mendapat kompensasi yang adil atas sumbangannya kepada masyarakat.16 Individu yang menciptakan sebuah musik atau karya seni harus memiliki hak untuk mengawasi penggunaannya dan mendapat kompensasi atas penjualannya, tidak lebih dari seorang petani yang mendapat keuntungan dari tanamannya.17

14

Lihat Agus Sardjono, loc.cit. 15

Ibid. Glenn P. Butterton menggunakan kalimat: “you should not take the property of

another without permission”. Kalimat tersebut dikemukakan oleh Butterton dalam mengawali

pembicaraan mengenai norma hubungan antara norma sosial dengan HaKI. 16

Hendra Tanu Atmadja, Hak Cipta Musik Atau Lagu, Cet. 1, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal. 19.

17

(11)

John Locke, seorang filsuf Inggris terkemuka abad ke-18, di mulai dengan asumsi bahwa ”every Man has a Property in his own Person”, mengantarnya kepada suatu pemikiran, bahwa kerja individu juga menjadi milik individu itu sendiri.18 Dengan alasan apa orang memperoleh hak milik melalui kerja? Jawabannya terletak pada tujuan dari Tuhan. Tuhan memerintahkan orang-orang untuk bekerja agar mereka dapat menikmati kesenangan hidup: menikmati makanan, papan, sandang dan cara hidup yang nyaman. Locke tidak berasumsi bahwa semua orang tertarik akan kerja; kerja hanya ditujukan bagi mereka ”yang rajin dan yang rasional saja”, yang diberikan Tuhan kepada mereka.19 Locke mengusulkan bahwa hak milik merupakan imbalan yang adil untuk orang-orang yang rajin. Argumentasi ini menjadi titik awal dari justifikasi utilitarian.20

Untuk kebanyakan orang teori hukum alam hanya semata-mata sebagai titik awal dan merupakan justifikasi terbatas untuk HaKI. Sebagai alternatif bagi proposisi terhadap hukum alam orang harus bergantung pada justifikasi utilitarian dalam hal perlindungan hak-hak kekayaan tidak berwujud.21 Dalam teori pembangunan ekonomi, teori utilitarian dikembangkan menjadi reward theory. Teori yang berakhir ini mendalilkan bahwa apabila individu-individu yang kreatif diberi insentif berupa hak eksklusif, maka hal ini akan merangsang individu-individu lainnya untuk

18

H.D. Effendy Hasibuan, Perlindungan Merek Studi Mengenai Putusan Pengadilan

Indonesia dan Amerika Serikat, Cet. 1, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas

Indonesia, 2003), hal. 17. 19

Atmadja, op. cit., hal. 20-21. 20

Ibid. 21

(12)

berkreasi.22 Sehingga berdampak pada pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial yang akan semakin meningkat pula.

Selain teori-teori mengenai hak kekayaan intelektual yang telah disebutkan diatas, yaitu teori hukum alam dan teori utilitarian, maka ada empat teori lainnya yang juga mempengaruhi perkembangan hukum HaKI:23

1. The exchange-for-secrecy rationale, menyebutkan bahwa tanpa hak yang sah (legal right) yang dapat mencegah pihak lain melakukan peniruan terhadap penemuan atau ciptaannya, maka pencipta akan tergoda untuk berupaya merahasiakan ciptaannya. Jika hal ini dilakukannya, maka akan ada pihak-pihak tertentu secara diam-diam berupaya untuk meniru atau menjiplaknya, dan kemudian memperbanyak penemuan dan ciptaan tersebut. Di samping itu, tak satu orang pun yang dapat menggunakan idenya untuk mendorong batas pengetahuan lebih lanjut. Meskipun hak eksklusif telah mengorbankan banyak biaya, tetapi biaya yang besar itu dengan sendirinya akan terkompensasi dengan terungkapnya inovasi atau ciptaan tersebut.

2. The quality-control principle,menurut prinsip ini, hak eksklusif dianggap sebagai metode untuk melindungi inovasi dan ciptaan begitu diedarkan. Dengan memberikan kekuasaan kepada pemegang hak untuk mengontrol penggunaan inovasi atau ciptaan tersebut, hak eksklusif memungkinkan

22

Agus Sardjono. op.cit., hal. 26. Lihat juga Atmadja, ibid., hal. 24. David Bainbrige mengatakan bahwa seseorang yang mencurahkan waktu dan usaha untuk mencipta suatu karya harus diberikan kesempatan untuk mendapat imbalan secara ekonomis, dengan demikian akan mendorong orang-orang itu menjadi kreatif. Bagi seorang pencipta, keahlian mencipta bukan saja merupakan kelebihan atau anugerah dari Tuhan, melainkan keahlian itu menjadi sumber penghidupannya.

23

(13)

pemegang hak mempertahankan integritas. Pemegang hak dapat, misalnya menggunakan haknya untuk pihak-pihak lain melakukan penyimpangan atau perusakan terhadap karyanya, yang menurunkan kredibilitas dan kualitas karya tersebut.

3. The prospecting theory, memiliki beberapa elemen untuk mempromosi kualitas. Teori ini menganjurkan satu nilai dalam sistem hak eksklusif adalah yang berpusat pada penelitian. seperti seorang penambang yang mempunyai klaim atas tambangnya; hak eksklusif yang dimiliki pemegang hak memiliki insentif untuk sepenuhnya mengembangkan ide-idenya. Dan karena ada pihak lain ingin mendapatkan karya tersebut, ia harus mendapat otoritasi terlebih dahulu. Pemegang hak memperoleh pengetahuan yang komprehensif tentang bagaimana karya itu dikembangkan, dan sekaligus membantu memelihara “pasar yang teratur” dalam pertumbuhan lebih lanjut.

4. The profit-incentive theory, telah memberi pengaruh yang sangat dominan terhadap pembentukan hukum hak kekayaan intelektual, terutama di Amerika Serikat, karena telah mengambil pendekatan utilitarian. Teori ini ingin membuktikan bahwa eksklusivitas diperlukan untuk melindungi para innovator dan pencipta dari serangan penjiplak atau peniru. Perlindungan ini perlu diberikan, karena biaya peniruan atau penjiplakan jauh lebih rendah dibandingkan dengan biaya, waktu dan tenaga yang telah dikorbankan untuk mencipta. Demikian juga dengan para penjiplak atau pembonceng gelap (freerider), yang dapat menguasai pasar secara keseluruhan atas

(14)

produk-produk tersebut, dan mencegah pencipta atau innovator mendapatkan kembali biaya yang telah dikeluarkan dalam rangka menghasilkan penemuan dan penciptaan tersebut. Karena kebanyakan inventor atau pencipta tidak dapat memberikan pelayanan (servis) mereka kepada masyarakat, sehingga inovasi dan penciptaan tidak dapat mencapai hasil yang optimal tanpa adanya eksklusivitas tersebut. Tentu saja, pemerintah dapat memberikan solusi terhadap masalah pemboncengan gelap (freerider) itu dengan cara mensubsidi usaha-usaha inovatif tersebut, namun, karya-karya eksklusif biasanya lebih unggul, karena mekanisme pasar memberikan imbalan, banyak atau sedikit, yang memberi manfaat kepada masyarakat melalui penemuan tersebut.

Dalam Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia juga ditekankan bahwa setiap individu berhak untuk turut serta dengan bebas dalam kehidupan kebudayaan masyarakat serta menikmati kesenian dan kemajuan ilmu pengetahuan dan sekaligus mendapatkan manfaatnya. Seiring dengan hak tersebut diatas, tercermin adanya suatu pengakuan universal atas hak dari setiap individu terutama terhadap kepentingan-kepentingannya yang perlu diberi perlindungan baik yang bersifat moral maupun yang bersifat materi yang diperoleh dari ilmu pengetahuan dan seni, dimana ia menjadi penciptanya.24

24

Lihat Article 27 (1) 1948 Declaration of Human Rights yangberbunyi: “Everyone has the

right freely to participate in the culture life of the community, to enjoy the arts and to share in scientific, advancement and its benefits; Everyone has the right to protection of the moral and material interest resulting from any scientific, literary of artistic production of which he is the author”. Article

27 (2) 1948 Declaration of Human Rights yang berbunyi: “Everyone has the right freely to participate

in the culture life of the community, to enjoy the arts and to share in scientific advancement and its benefits”

(15)

2. Konsepsional

Untuk memudahkan dalam memahami tulisan ini maka dibuatlah definisi operasional, sebagai berikut:

Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut perundang-undangan yang berlaku.25

Untuk kepastian hukum, hak cipta dianggap lahir atau timbul sejak suatu karya cipta diumumkan, yaitu tersedia untuk dinikmati oleh umum. Pada prinsipnya Hak Cipta diperoleh bukan karena pendaftaran, tetapi dalam hal terjadi sengketa di pengadilan mengenai Ciptaan yang terdaftar serta apabila pihak-pihak yang berkepentingan dapat membuktikan kebenarannya, hakim dapat menentukan Pencipta yang sebenarnya berdasarkan pembuktian tersebut.26

Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari pencipta atau pihak lain yang menerima lebih lanjut dari pihak yang menerima hak tersebut,27 antara lain berdasarkan pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis, atau sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan

25

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, LN No. 85 Tahun 2002, TLN No. 422, Pasal 2 ayat (1).

26

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, LN No. 85 Tahun 2002, TLN No. 422, Penjelasan Pasal 5 ayat (2)

27

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, LN No. 85 Tahun 2002, TLN No. 422, Pasal 1 butir 1.

(16)

perundang-undangan.28 Hak khusus tersebut meliputi hak-hak untuk mengumumkan atau memperbanyak, termasuk kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada public, menyiarkan, merekam dan mengkomunikasikan Ciptaan kepada publik melalui sarana apa pun.29

Maka pelanggaran hak cipta muncul manakala terjadi penggunaan hak khusus tersebut oleh pihak yang tidak memiliki hak. Sanksi atas pelanggaran tersebut berupa hukuman badan dan/atau denda serta pemusnahan barang bukti, disamping ganti rugi berdasarkan gugatan perdata. Ciptaan yang dilindungi di Indonesia sebagaimana diuraikan dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, yang mencakup:

1. buku, program computer, pamphlet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;

2. ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu;

3. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;

4. lagu atau musik dengan atau tanpa teks;

5. drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan dan pentonim;

28

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, LN No. 85 Tahun 2002, TLN No. 422, Pasal 3 ayat (2).

29

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, LN No. 85 Tahun 2002, TLN No. 422, Penjelasan Pasal 2 ayat (1).

(17)

6. seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;

7. arsitektur; 8. peta; 9. seni batik; 10. fotografi; 11. sinematografi;

12. terjemahan, tafsiran, saduran, bunga rampai. Database, dan karya seni dari hasil pengalihwujudan.

Sementara itu yang dimaksudkan dengan Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.30

Hak atas merek adalah hak khusus yang diberikan Negara kepada pemilik merek yang didaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberi izin kepada seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk menggunakannya.31 Berbeda dengan hak cipta, hak atas merek lahir/timbul karena diberikan oleh Negara dan berdasarkan pendaftaran. Hak atas merek yang dilindungi di Indonesia adalah

30

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, LN No. 110 Tahun 2001, TLN No. 4131, Pasal 1 ayat (1).

31

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, LN No. 110 Tahun 2001, TLN No. 4131, Pasal 3.

(18)

yang terdaftar dan/atau yang belum terdaftar tetapi merupakan merek terkenal. Pelanggaran merek (Trademark Infringement) adalah pemakaian secara tidak sah suatu merek yang menyerupai merek dari pemilik yang sah, termasuk merek dagang, merek jasa, merek kolektif dan sertifikat merek dengan menciptakan suatu persamaan yang membingungkan bagi para konsumen.32 Sanksi atas pelanggaran tersebut adalah berupa hukuman badan dan denda, serta pemusnahan barang bukti. Disamping itu ganti rugi berdasarkan gugatan perdata.

G. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yang berarti bahwa penelitian ini mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengn permasalahan yang dibahas dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Digunakannya pendekatan yuridis normatif, dengan pertimbangan masalah yang diteliti berkisar pada keterkaitan suatu peraturan dengan peraturan lainnya dan bagaimana aplikasinya dalam masyarakat.

1. Tipe atau Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu membuat perencanaan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta.33 Penelitian ini memberikan gambaran situasi perlindungan impor-ekspor barang hasil pelanggaran HaKI di Indonesia, kemudian dilakukan analisis terhadap permasalahan tersebut berdasarkan

32

Hasibuan, op.cit., hal. 22. 33

(19)

peraturan perundang-undangan yang berkaitan, TRIPs dan pendapat-pendapat para ahli yang digunakan sebagai pisau analisis.

2. Sumber Data Penelitian

Data dan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder diperoleh dari penelitian kepustakaan (Library Research):34

1. Bahan hukum primer, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Peraturan Perundang-undangan, dan Yurisprudensi;

2. Bahan hukum sekunder, yaitu buku teks, laporan penelitian, artikel ilmiah, makalah, jurnal dan laporan penelitian;

3. Bahan hukum tersier, yaitu sebagai pedoman untuk mengkaji bahan primer dan sekunder yang diperoleh dari kamus, bibliogragi, dan ensiklopedia.

3. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data ialah teknik atau cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data. Metode atau teknik menunjuk suatu kata yang abstrak dan tidak diwujudkan dalam benda, tetapi hanya dapat dilihatkan penggunaannya melalui angket, wawancara, pengamatan, ujian, dokumen dan lainnya.35

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data

34

Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Wali Press, 1990), hal. 14-15.

35

(20)

sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur-literatur, tulisan-tulisan para pakar hukum, bahan kuliah, dan putusan-putusan pengadilan yang berkaitan dengan penelitian ini.

4. Analisis Data

Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaedah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal ke dalam kategori-kategori atas dasar pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum tersebut.36 Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan yang berupa peraturan perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan, dan studi wawancara dengan beberapa informan/narasumber di Kantor Bea dan Cukai di Medan, dan data juga diperoleh dari dokumen-dokumen atau arsip-arsip dari para narasumber di Kantor Bea dan Cukai di Medan tersebut serta hasil wawancara diolah dan dianalisis berdasarkan metode kualitatif.

36

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian tesis yang dilakukan oleh Irawan Harahap pada tahun 2009, Program Studi Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Riau, Pekanbaru, dengan judul “Perjanjian

Beberapa kendala yang ada ketika penelitian berlangsung adalah batuan- batuan yang ada di pemukaan pada daerah penelitian telah mengalami pelapukan yang cukup intensif,

Algoritma Blowfish memiliki keunikan dalam hal proses dekripsi, yaitu proses dekripsi dilakukan dengan urutan yang sama persis dengan proses enkripsi, hanya saja

Terdapat penambahan dua aplikasi, yaitu: Aplikasi MACAN (Manajemen Listrik Cadangan) yang berfungsi untuk pengelolaan listrik cadangan untuk pelanggan apabila terjadinya

Jika pada penelitian Widyaningrum (2013) mengangkat judul tentang kelengkapan ringkasan keluar pasien terkait akreditasi versi 2012 pada kelompok standar Berfokus Kepada

Selain itu, Salah satu ayat yang dapat diintrepestasikan dalam konteks akuntansi yaitu Allah SWT memerintahkan agar senantiasa dapat menjalankan amanat untuk

Sistem adalah sebuah tatanan (keterpaduan) yang terdiri atas sejmlah komponen fungsional (dengan satuan fungsi / tugas khusu) yang saling berhubungan dan secara

Yang menjadi permasalahan disini adalah bagaimana kedudukan pihak ketiga (debt collector) dalam perjanjian kredit pembiayaan konsumen, bagaimana ketentuan dan prosedural