TUGAS AKHIR – MO 091336
ANALISIS
KEANDALAN
SCANTLING
SUPPORT
STRUCTURE
SYSTEM
GAS
PROCESSING
MODULE
FPSO
BELANAK
TERHADAP BEBAN EKSTREM
FAHMY ARDHIANSYAH NRP. 4306 100 037
Dosen Pembimbing
Ir. Handayanu, M.Sc., Ph.D.
Prof. Ir. Eko Budi Djatmiko, M.Sc., Ph.D.
JURUSAN TEKNIK KELAUTAN Fakultas Teknologi Kelautan
Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya 2010
iii
FINAL PROJECT – MO 091336
RELIABILITY ANALYSIS OF SCANTLING
SUPPORT
STRUCTURE
SYSTEM
GAS
PROCESSING MODULE BELANAK FPSO DUE
TO EXTREM LOAD
FAHMY ARDHIANSYAH NRP. 4306 100 037
Supervisors
Ir. Handayanu, M.Sc., Ph.D.
Prof. Ir. Eko Budi Djatmiko, M.Sc., Ph.D.
OCEAN ENGINEERING DEPARTMENT Faculty of Marine Technology
Sepuluh Nopember Institute of Technology Surabaya 2010
v
ANALISIS KEANDALAN SCANTLING SUPPORT
STRUCTURE SYSTEM GAS PROCESSING MODULE FPSO
BELANAK TERHADAP BEBAN EKSTREM
TUGAS AKHIR
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik
pada
Progran Studi S-1 Jurusan Teknik Kelautan Fakultas Teknologi Kelautan
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Oleh :
FAHMY ARDHIANSYAH
NRP. 4306 100 037
Disetujui oleh Pembimbing Tugas Akhir :
1. Ir. Handayanu, M.Sc., Ph.D. (Pembimbing 1)
2. Prof. Ir. Eko Budi Djatmiko, M.Sc., Ph.D. (Pembimbing 2)
vii
ANALISIS KEANDALAN SCANTLING SUPPORT
STRUCTURE SYSTEM GAS PROCESSING MODULE FPSO
BELANAK TERHADAP BEBAN EKSTREM
Nama Mahasiswa : Fahmy Ardhiansyah
NRP : 4306 100 037
Jurusan : Teknik Kelautan FTK – ITS
Dosen Pembimbing : Ir. Handayanu, M.Sc., Ph.D.
Prof. Ir. Eko Budi Djatmiko, M.Sc., Ph.D.
ABSTRAK
FPSO (Floating Production Storage and Offloading) dalam operasinya mendapatkan pengaruh signifikan dari beban lingkungan dan operasionalnya. Hal demikian juga akan mempengaruhi komponen-komponen struktur yang ada di atasnya, termasuk struktur module dan supportnya yang berfungsi sebagai pemrosesan minyak dan gas. Konstruksi support module beserta scantlingnya yang tersambung ke geladak FPSO haruslah kuat menahan beban-beban yang terjadi sampai dengan pada kondisi ekstrem. Sehubungan dengan ini kita harus dapat menentukan kekuatan puncak atau ultimate strength dari scantling support module sehingga dapat memprediksi kegagalan akhirnya atau ultimate failure. Dalam penelitian ini kekuatan puncak scantling support module telah dikaji dengan metode deterministik dan metode probabilistik atau keandalan. Pada pengkajian dengan metode deterministik digunakan perangkat lunak ANSYS, sedangkan pengkajian keandalan menggunakan simulasi Monte Carlo. Pemodelan beban dinamis FPSO akibat gelombang diselesaikan dengan perangkat lunak MOSES. Penelitian dilakukan pada scantling support structure system gas processing module pada FPSO Belanak yang mempunyai massa 2361 ton, dan terbuat dari baja berkekuatan puncak UTS=400 MPa. Beban ekstrem yang dikenakan adalah merupakan efek dari gelombang Hs=5.3 m, angin Vavg=2.51 m/s, dan beban operasional 2361 ton. Dari hasil analisa deterministik didapat nilai tegangan maksimum yang timbul akibat kombinasi ketiga beban ekstrem tersebut adalah 96 MPa. Dengan simulasi Monte Carlo pada kondisi ini ternyata diperoleh keandalan struktur sebesar K=1.0. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa struktur akan tetap aman dalam kondisi ekstrem di lokasi operasinya. Untuk memperoleh indikasi kegagalan akhir beban ekstrem dinaikkan secara gradual sampai dengan batas kriteria basic utilization factor dari ABS sebesar 0.8UTS (=320 MPa) serta sampai dengan 1.0UTS (=400 MPa). Hasil masing-masing menunjukkan keandalan scantling pada daerah kritis K=0.3057 dengan peluang kegagalan Pf=0.6943, dan K=0.0064 dengan Pf=0.9936. Khusus pada daerah global, mengacu pada kriteria ABS, keandalan sebesar K=1.0.
ix
RELIABILITY ANALYSIS OF SCANTLING SUPPORT
STRUCTURE SYSTEM GAS PROCESSING MODULE
BELANAK FPSO DUE TO EXTREM LOAD
Nama Mahasiswa : Fahmy ArdhiansyahNRP : 4306 100 037
Jurusan : Teknik Kelautan FTK – ITS
Dosen Pembimbing : Ir. Handayanu, M.Sc., Ph.D.
Prof. Ir. Eko Budi Djatmiko, M.Sc., Ph.D.
ABSTRACT
FPSO (Floating Production Storage and Offloading) in its operation is signi¬fi-cantly affected by the environmental as well as operational loads. Similarly this would also affect the structural components onboard of the FPSO, including the module and its aupoorts structures which are preserved as oil and gas processing. The support structure module together with the scantlings that extend to the FPSO hulls should be sufficiently strong to endure the loads up onto the extreme conditions. In this regards one should be able to determine the ultimate strength of the scantling support module and in turn to predict the level of its ulti-mate failure. In this investigation the ultimate strength of scantling support module has been evaluated through the implementation of deterministic and probablistic or reliability methods. The deterministic evaluation is performed by utilizing ANSYS software, whereas the reliability evaluation is accomplished by means of Monte Carlo simulation. The modelling of dynamic loads due to waves on the FPSO was accomplished by using the MOSES software. Investigation has been carried out on the scantling support structure system gas processing module attached to the Belanak FPSO having a total mass of 2361 tons, and fabricated out of a high strength steel of UTS=400 MPa. The extreme loads are considered due to the wave of Hs=5.3 m, wind of Vavg=2.51 m/s, and operational load 2361 tons. From the deterministic analysis it is found that the combination of those extreme loads yield a peculiar maximum stress of 96 MPa on the structure. By way of Monte Carlo simulation this condition eventually exhibits the reliability level of K=1.0. Therefore it could be concluded that the structure would be safe under any predicted extreme condition in its operational site. In order to obtain a specific indication of the ultimate failure the load has been gradually increased up to the ABS criteria of basic utilization factor in the order of 0.8UTS (=320 MPa) and further as high as 1.0UTS (=400 MPa). Respectively, the simulation shows the critical structure reliability decreases to K=0.3057 or the corresponding probability of failure Pf=0.6943, and K=0.0064 or Pf=0.9936. In particular to the global area, referring to the ABS criteria, the reliability can only be attained as much as K=1.0.
xi
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, hidayah dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini dengan dengan baik dan lancar. Tugas Akhir ini berjudul “Analisis Keandalan Scantling Support Structure System Gas Processing Module FPSO Belanak Terhadap Beban Ekstrem”.
Tugas Akhir ini disusun guna memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan Studi Kesarjanaan (S-1) di Jurusan Teknik Kelautan, Fakultas Teknologi Kelautan (FTK), Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS). Tugas Akhir ini menitikberatkan pada keandalan scantling support structure module terhadap beban ekstrem.
Kami menyadari dalam penulisan laporan ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu saran dan kritik sangat penulis harapkan sebagai bahan penyempurnaan laporan selanjutnya. Penulis berharap semoga laporan ini bermanfaat bagi perkembangan teknologi di bidang rekayasa kelautan, bagi pembaca umumnya dan penulis pada khususnya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Surabaya, Juli 2010
xiii
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdullilah, dalam pengerjaan Tugas Akhir ini kami tidak terlepas dari bantuan serta dorongan moral maupun material dari banyak pihak baik yang secara langsung maupun tidak langsung. Kami sangat bersyukur dan berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu. Perbuatan baik pasti akan menuai kebaikan pula, semoga Allah membalas segala kebaikan setiap hamba-Nya. Sehingga pada kesempatan kali ini kami ingin mengucapkan terima kasih serta penghormatan kepada :
1. Keluarga terindah; bapak, ibuk, serta adik yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan. Terima kasih atas segala kasih dan sayang yang engkau curahkan. Terima kasih untuk segalanya.
2. Ir. Handayanu, M.Sc., Ph.D. dan Prof. Ir. Eko Budi Djatmiko, M.Sc., Ph.D. selaku dosen pembimbing Tugas Akhir. Terima kasih atas ilmu dan bimbingan yang Bapak berikan.
3. Bpk. Murdjito dan Bpk Mustain selaku kajur dan sekjur T. Kelautan serta keluarga besar dosen dan karyawan T.Kelautan. Terima kasih atas bimbingan selama masa perkuliahan.
4. Bpk. Sujantoko selaku dosen wali. Terima kasih atas bimbingan serta nasehat-nasehat yang telah diberikan.
5. Rekan-rekan seperjuangan TA di flum, opres, dinstruk, hidro, labkom. Terima kasih telah berbagi cerita, pengalaman, dan keceriaan.
6. Teman-teman sak topik TA, yang membuat TA tersasa lebih dimudahkan karena kalian; andri, adit, similikiti.
7. Keluarga besar D’Admiral 2006, kakak senior yang telah rela berbagi ilmu, pengalaman, dan banyak hal lainnya.
8. Pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebut satu per satu.
Semoga seluruh bimbingan, arahan, bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang lebih baik dari Allah SWT. Amiin.
xv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i COVER ... iii LEMBAR PENGESAHAN ... v ABSTRAK ... vii ABSTRACT ... ix KATA PENGANTAR ... xiUCAPAN TERIMA KASIH ... xiii
DAFTAR ISI ... xv
DAFTAR TABEL ... xvii
DAFTAR GAMBAR ... xix
BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1. LATAR BELAKANG ... 1 1.2. PERUMUSAN MASALAH ... 7 1.3. TUJUAN ... 7 1.4. MANFAAT ... 7 1.5. BATASAN MASALAH ... 8 1.6. SISTEMATIKA PENULISAN ... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI ... 11
2.1. UMUM ... 11
2.2. FPSO ... 12
2.3. SCANTLING SUPPORT STRUCTURE SYSTEM ... 13
2.4. PEMBEBANAN ... 15
2.4.1. Beban Gelombang ... 17
2.4.2. Beban Angin... 21
2.4.3. Beban Operasional ... 24
2.5. RESPONS STRUKTUR (FPSO) ... 25
2.6. ULTIMATE STRENGTH ... 26
2.6.1. Local Plastic Deformation... 30
2.6.2. Bifurcation Buckling ... 30
xvi
2.6.4. Analisa Ultimate Strength (ABS, 2004) ... 30
2.7. KEANDALAN STRUKTUR ... 32
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 37
BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN ... 43
4.1. DATA ... 43
4.1.1. Data Struktur... 43
4.1.2. Data Mooring ... 45
4.1.3. Data Lingkungan ... 46
4.1.4. Data Gerakan FPSO... 47
4.1.5. Data Material ... 48
4.2. PEMODELAN... 48
4.2.1. Pemodelan Menggunakan CAD ... 48
4.2.2. Pemodelan Menggunakan Maxsurf ... 49
4.2.3. Pemodelan Menggunakan MOSES ... 49
4.2.4. Pemodelan Menggunakan ANSYS ... 50
4.3. PERHITUNGAN ... 53
4.3.1. Perhitungan Beban Gelombang (LTWA) ... 53
4.3.2. Perhitungan Motion FPSO... 57
4.3.3. Perhitungan Gaya Inersia... 62
4.3.4. Perhitungan Beban Angin ... 68
Untuk mengetahui beban angin yang bekerja pada struktur penyangga module, maka dilakukan perhitungan kecepatan angin, gaya angin, dan momen angin. ... 68
4.3.5. Perhitungan Beban Operasional ... 80
4.3.6. Perhitungan Ultimate Strength ... 81
4.3.7. Perhitungan Keandalan ... 86
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 89
5.1. KESIMPULAN ... 89
5.2. SARAN ... 89
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Ukuran Utama FPSO Belanak ... 13
Tabel 2.2 Periode Ulang Gelombang Perairan Natuna (Conoco Phlips, 2002) .... 17
Tabel 2.3 Nilai Koefisien Bentuk Efektif (DnV,2007) ... 23
Tabel 2.4 Shielding Factor (DnV,2007) ... 23
Tabel 2.5 Height Coefficient (ABS, 2001) ... 24
Tabel 2.6 Shape Coefficient (ABS,2001) ... 24
Tabel 4.1 Data Module FPSO Belanak (PT. McDermott, 2002) ... 44
Tabel 4.2 Data Gelombang Return Period (Conoco, 2002)... 46
Tabel 4.3 Intensitas Kejadian Angin Tahun 2006 & 2007 (Wahyudi, 2009) ... 46
Tabel 4.4 Data Gelombang Metocean (Wahyudi, 2009) ... 47
Tabel 4.5 Data Percepatan Gerakan FPSO pada Kondisi Badai (Conoco, 2002) . 47 Tabel 4.6 Data Material Properties (Conoco, 2002) ... 48
Tabel 4.7 MSA ... 52
Tabel 4.8 Distribusi Gelombang ... 54
Tabel 4.9 Perhitungan Periode Ulang ... 55
Tabel 4.10 Periode Ulang (Conoco, 2002)... 56
Tabel 4.11 Periode Ulang (Wahyudi, 2009) ... 56
Tabel 4.12 Validasi ... 57
Tabel 4.13 Output Maximum Single Amplitude Accelerations w/ mooring ... 58
Tabel 4.14 Perbandingan Percepatan FPSO... 58
Tabel 4.15 Gaya Inersia Akibat Gerakan Translasi ... 63
Tabel 4.16 Gaya Inersia Akibat Gerakan Rotasional ... 65
Tabel 4.17 Perbandingan Perhitungan COG FPSO dan COG module ... 65
Tabel 4.18 Beban Pada Sturktur Penyangga ... 66
Tabel 4.19 Intensitas Kejadian Angin 2 Tahun ... 68
Tabel 4.20 Kecepatan Angin pada Tiap Elevasi ... 70
Tabel 4.21 Nilai q Pada Tiap Elevasi ... 72
Tabel 4.22 Nilai Re pada Tiap Elevasi... 72
Tabel 4.23 Nilai Koefisien Bentuk Untuk Efektif Tiap Elevasi ... 73
xviii
Tabel 4.25 Besarnya Gaya Angin Untuk Tiap Elevasi ... 74
Tabel 4.26 Nilai Ch pada Tiap Elevasi ... 77
Tabel 4.27 Nilai Cs pada Tiap Elevasi ... 77
Tabel 4.28 Luasan pada Tiap Elevasi ... 78
Tabel 4.29 Beban Angin pada Tiap Elevasi ... 78
Tabel 4.30 Basic Utilization Factors (ABS, 2005) ... 81
Tabel 4.31 Load Factor ... 82
Tabel 4.32 Parameter Ketidakpastian Pemodelan FEM ... 87
xix
DAFTAR GAMBAR
Gambar I.1 FPSO ... 1
Gambar I.2 Topside Module ... 2
Gambar I.3. Module Support ... 3
Gambar I.4 Collapse Akibat Badai pada Topside Bangunan Lepas Pantai ... 4
Gambar I.5. Lokasi Operasi FPSO Belanak... 5
Gambar I.6. FPSO Belanak dan Penempatan Topside Module ... 6
Gambar 2.1 FPSO Belanak ... 12
Gambar 2.2 Topside Hull Interface FPSO Belanak ... 14
Gambar 2.3 Kecepatan dan Koordinat Sistem ... 19
Gambar 2.4 Ilustrasi Beban Module Pada FPSO ... 20
Gambar 2.5 Six Degree Of Freedom (SDOF) pada FPSO ... 21
Gambar 2.6 Beban Operasional ... 25
Gambar 2.7 Struktur Dikenai Beban Aksial ... 27
Gambar 2.8 Struktur Terkena Torsi ... 28
Gambar 2.9 Beban Merata Pada Balok Tumpuan Sederhana ... 28
Gambar 2.10 Kurva Strees-Strain Untuk Spesimen Tarik dari Structural Steel ... 28
Gambar 2.11 Necking Pada Spesimen Uji Tarik ... 29
Gambar 2.12 Moda Kegagalan Stiffened Pada Geladak ... 32
Gambar 2.13 Fungsi Kerapatan Peluang (fkp) dari Kapasitas X dan Tuntutan Y 35 Gambar 3.1 Diagram Alir Metodologi Penelitian ... 38
Gambar 3.2 Pemodelan ACAD ... 39
Gambar 3.3 Pemodelan Maxurf ... 40
Gambar 3.4 Pemodelan Moses ... 40
Gambar 3.5 Pemodelan ANSYS ... 41
Gambar 4.1 Drawing FPSO Belanak ... 43
Gambar 4.2 Detail Drawing Scantling Module Support ... 45
Gambar 4.3 Pemodelan Lines Plan FPSO Belanak dengan AutoCAD ... 48
Gambar 4.4 Pemodelan FPSO Belanak dengan Maxsurf ... 49
Gambar 4.5 Pemodelan FPSO dengan MOSES Tampak Depan, Samping, dan Atas ... 50
xx
Gambar 4.6 Pemodelan FPSO dengan MOSES dengan Mooring... 50
Gambar 4.7 Model Module Support dengan Geladak FPSO ... 51
Gambar 4.8 Grafik MSA ... 52
Gambar 4.9 Penentuan Syarat Batas... 53
Gambar 4.10 Weibull Distribution ... 54
Gambar 4.11 Perbandingan Peridoe Ulang ... 56
Gambar 4.12 Grafik RAO Motion FPSO Belanak Surge ... 59
Gambar 4.13 Grafik RAO Motion FPSO Belanak Sway ... 60
Gambar 4.14 Grafik RAO Motion FPSO Belanak Heave ... 60
Gambar 4.15 Grafik RAO Motion FPSO Belanak Roll ... 61
Gambar 4.16 Grafik RAO Motion FPSO Belanak Pitch ... 61
Gambar 4.17 Grafik RAO Motion FPSO Belanak Yaw ... 62
Gambar 4.18 Posisi Module dari COG FPSO ... 64
Gambar 4.19 Konfigurasi Struktur Penyangga... 66
Gambar 4.20 Beban Pada Sturktur Penyangga ... 67
Gambar 4.21 Wind Rose Perairan Natuna... 69
Gambar 4.22 Posisi FPSO Belanak Terhadap Mata Angin ... 69
Gambar 4.23 Beban Operasional ... 80
Gambar 4.24 Grafik Pushover ... 82
Gambar 4.25 Hasil Running ANSYS11 ... 83
Gambar 4.26 Lokasi Tegangan Maksimum Saat Beban Ultimate ... 84
Gambar 4.27 Lokasi Tegangan Maksimum Saat Beban Ekstrem ... 84
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Floating Production Storage and Offloading (FPSO) pada dasarnya adalah kapal dengan lambung tunggal yang difungsikan sebagai wahana untuk mengakomodasi fasilitas di atas geladak guna memproses produk migas dan sekaligus menyimpannya di dalam tangki-tangki pada lambungnya sebelum produk tersebut ditransfer ke kapal-kapal tangki pengangkut untuk didistribusikan ke pasaran.
Gambar 1.1 FPSO (Murdjito, 2009)
Pada Gambar 1.1 ditunjukkan beberapa jenis FPSO yang sudah beroperasi di lepas pantai maupun FPSO dalam masa docking di tempat fabrikasi. FPSO dipilih karena memiliki kapasitas penyimpanan dengan jumlah besar dan juga mempunyai area bangunan atas yang cukup luas.
Di atas geladak FPSO terdapat berbagai jenis bangunan atas sesuai dengan fungsinya masing-masing. Seperti ditunjukkan pada Gambar 1.2, terdapat topside module berada di yard untuk difabrikasi dan selanjutnya akan dipasang di atas
2
FPSO. Beberapa contoh bagunan atas untuk mendukung proses produksi misalnya gas processing module dan flare boom digunakan untuk pembungan gas-gas yang berbahaya. Berat dari topside module tersebut sangat mempengaruhi dari kekuatan geladak yang menyangga pada FPSO. Sehingga topside module tersebut harus disangga dengan support yang kuat sehingga dapat mencegah terjadinya failure pada geladak FPSO.
Gambar 1.2 Topside Module (McDermott, 2004)
Dalam suatu module bisa terdapat peralatan yang meletak pada module tersebut. Ketika FPSO beroperasi dan proses produksi minyak dan gas juga berlangsung, maka beban yang diterima module sangatlah besar. Pada fasilitas produksi biasanya terletak pada production deck dan pada umumnya diposisikan 2,5 m di atas main deck. (UKOOA, 2002). Hal ini bertujuan untuk meminimalisir efek dari green water dan meminimalisir terjadi ledakan atau api yang mengenai module tidak banyak mempengaruhi lambung.
FPSO sebagai salah satu bangunan apung yang memiliki ukuran besar, mendapatkan pengaruh signifikan dari beban gelombang dan beban angin. Seperti penelitian Barltrop dan Okan (2000) yang menggunakan struktur FPSO Schiehallion sebagai objek, pada haluan FPSO rentan kerusakan akibat oleh gelombang curam.
3
Gambar 1.3. Module Support (McDermott, 2004)
Struktur penyangga topside module, seperti ditunjukkan pada Gambar 1.3. Pada struktur penyangga terdapat komponen-komponen yang disebut scantling. Scantling antara lain meliputi plat, gading-gading, penegar, bracket, dan lain-lain. Scantling harus mampu menahan beban akibat module dan beban lingkunagan selama FPSO beroperasi.
Pada bangunan lepas pantai baik yang terpancang maupun terapung analisa ultimate strength penting untuk dipertimbangkan. Ha et al (1991) menyebutkan desain tubular joint pada bangunan lepas pantai, fatigue strength dan ultimate strength capacity telah lama dikenal. Sementara itu, Ueda (1995) menyatakan pengembangan hugungan interaksi dari buckling dan ultimate strength dalam bentuk persamaan atau grafik untuk plat dan penguat plat sangat menarik perhatian internasional dalam waktu lama.
Struktur akan mengalami platis collapse jika mendapatkan beban ekstrem, seperti ditunjukkan pada Gambar 1.4. Salah satu penyebab terjadinya ultimate strength failure pada suatu struktur kapal umumnya adalah disebabkan oleh beban ekstrem dan/atau kurangnya daya tahan struktur terhadap degradasi material. misalnya, korosi yang terjadi secara menerus akan mengurangi dimensi scantling, sehingga girder penopang pada lambung kapal akan rawan mengalami buckling ataupun retak ketika ditimpa beban ekstrem. Untuk itu, perlu suatu pertimbangan jangka
4
panjang untuk mengantisipasi adanya degradasi material ketika mendesain sebuah struktur. (Ayyub, 2001). Untuk menghindari terjadinya ultimate strength failure maka desain stiffener haruslah mampu menahan ultimate load yang bekerja pada sturktur. Bonello (1993) menyebutkan bahwa dibutuhkan syarat yang lebih pada stiffener agar tegangan yang terjadi tidak melebihi tegangan yield, mungkin mengakibatkan failure akibat ultimate load pada stiffener.
Gambar 1.4 Collapse Akibat Badai pada Topside Bangunan Lepas Pantai
(http://noladishu.blogspot.com/2007/06/mars-oil-and-engineering.html) FPSO sebagai salah satu bangunan apung yang memiliki ukuran besar, mendapatkan pengaruh yang sangat signifikan dari beban gelombang dan angin (Djatmiko, 2003). Beban signifikan dari angin dan gelombang yang bekerja pada struktur dapat menyebabkan kegagalan pada struktur tersebut. Pada analisis beban ekstrem, beban lingkungan yang ditinjau adalah beban kondisi ekstrem 100 tahunan. Berat topside module itu sendiri juga harus diperhitungkan dalam melakukan analisis tersebut.
Keandalan dari struktur scantling penyangga bangunan atas dapat dipengaruhi beberapa variabel ketidakpastian, di antaranya beban dari bangunan atas itu sendiri dan beban lingkungan selama struktur tersebut beroperasi. Rosyid (2007) menyatakan bahwa dalam suatu sistem rekayasa, sesungguhnya tidak ada parameter perancangan dan kinerja operasi yang dapat diketahui secara pasti. Hal
5 ini karena tidak seorangpun mampu memprediksi kepastian atau ketidakpastian atas suatu kejadian tertentu. Secara garis besar, ketidakpastian dapat dikelompokkan menjadi tiga: a) variabilitas fisik, yaitu fenomena alami yang sifatnya acak atau bervariasi, b) ketidakpastian statistik dalam perkiraan nilai suatu parameter atau pemilihan distribusi, dan c) ketidakpastian dalam pemodelan didasarkan pada idealisasi atau pengambilan asumsi (Ang dan Tang, 1975). Oleh karena itu, perancangan atau analisis atas suatu sistem rekayasa selalu mengandung ketidakpastian, yang pada gilirannya, menyebabkan ketidakandalan dalam tingkat tertentu.
Ketidakpastian – ketidakpastian tersebut menyebabkan adanya peluang kegagalan (disamping itu, tentu saja, peluang keberhasilan). Persoalan ketidakpastian telah diakomodasi melalui konsep Angka Keamanan (Safety Factor) yang secara prinsip biasanya hanya memperhatikan harga rata-rata besaran desain. Pendekatan Angka Keamanan, walaupun sejauh ini cukup memadai, tidak secara eksplisit memperhitungkan faktor ketidakpastian atau variabilitas pada besaran-besaran desain. Pertimbangan-pertimbangan dalam kerangka rekayasa keandalan memberikan basis yang lebih rasional untuk mengakomodasi ketidakpastian ini (Rosyid, 2007)
Gambar 1.5. Lokasi Operasi FPSO Belanak (McDermott, 2004)
Tugas akhir ini mengambil studi kasus FPSO Belanak yang beroperasi di perairan Natuna Indonesia tepatnya berada di Eastern Area of Conoco Blok B seperti
106°E 108°E 104°E 110°E Natuna Sea 4°N 6°N 50 Miles 0 LOCATION MAP M AL AYSIA S I N G A P O R E GULF KAKAP BLOCK Anambas Natuna Selatan Natuna D Alpha Bintan KAL IM ANT AN 28 INCH PIPELINE TO SINGAPORE IH-13/OCT/98/IHZ-1 CONOCO BLOCK B (EAST) CONOCO SOUTH SOKANG Sembilang Belida Buntal Tembang B awal Belanak Kerisi Hiu Belut Kakap Field Anoa Field CONOCO BLOCK B (WEST) UNASSIGNED ANAMBAS BLOCK UNASSIGNED TAREMPA BLOCK CONOCO TOBONG BLOCK PREMIER BLOCK A TO TAL WEST NATUNA BLOCK LASMO CUMI CUMI BLOCK CONOCO NW NATUNA II BLOCK PREMIER NW NATUNA I BLOCK
6
ditunjukkan pada Gambar 1.5. Floating Production Storage and Offloading (FPSO) Belanak merupakan FPSO milik Conoco Philips. FPSO Belanak dibangun di Dalian, Republik Rakyat China (RRC), sedangkan topside-nya dibangun di galangan PT. McDermott Indonesia di Batam. Berat dari FPSO tersebut yaitu 255.000 ton dengan panjang 285 m. memilki kapasitas penyimpanan minyak sebesar 1,0 juta barrel. Badan FPSO Belanak dibangun dengan bentuk double side. Konfigurasi single bottom tanpa self propulsion. FPSO Belanak didesain 30 tahun tanpa dry docking.
Gambar 1.6. FPSO Belanak dan Penempatan Topside Module (McDermott, 2004)
Pada Gambar 1.6 ditunjukkan gambaran umum dari FPSO Belanak berserta perletakan dari tiap topside module-nya. McDermott (2004) menyatakan total jumlah topside module FPSO Belanak adalah 23 dengan berat total 26801 MT. Dari 23 topside module tersebut Gas Processing Train “A” memiliki berat paling besar yaitu 2361. Oleh karena itu dalam tugas akhir ini sistem struktur penyangga yang dianalisa keandalannya adalah sistem struktur penyangga pada topside module Gas Processing Train “A”. Analisa keandalan berdasarkan beban ekstrem yang bekerja pada sistem penyangga topside module di Gas Processing Train “A”. Keandalan struktur secara umum dapat dihitung dengan metode Monte Carlo. Pada metode tersebut, keandalan struktur dinilai berdasarkan indeks keandalan yang didapatkan dari peluang terjadinya kegagalan. Peluang kegagalan dianggap
7 sebagai ukuran yang rasional untuk menentukan keamanan struktur. Berdasarkan analisis keandalan, perhitungan ultimate strength dapat dianalisis untuk hasil penelitian yang lebih akurat.
Berdasarkan uraian di atas, tugas akhir ini akan dilakukan analisis ultimate strength dengan metode pushover dengan memperhatikan acuan pada ABS 2005 Buckling and Ultimste Strength Assessemnt for Offshore Structure. Sedangkan analisis keandalan struktur menggunakan metode Monte Carlo.
1.2. PERUMUSAN MASALAH
Permasalahan yang akan dibahas dalam tugas akhir ini adalah :
1. Bagaimana respon dan keandalan pada scantling support structure system gas processing module FPSO Belanak akibat kondisi ekstrem?
2. Berapakah keandalan scantling support structure system gas processing module FPSO Belanak terhadap ultimate load?
3. Bagaimana mekanisme dan moda keruntuhan scantling support structure system gas processing module FPSO Belanak?
4. Berapakah ultimate failure akibat respon ekstrem pada scantling support structure system gas processing module FPSO Belanak?
1.3. TUJUAN
Tujuan dari tugas akhir ini adalah :
1. Mengetahui respon scantling support structure system gas processing module FPSO Belanak terhadap beban kondisi ekstrem.
2. Mengetahui keandalan scantling support structure system gas processing module FPSO Belanak terhadap ultimate load.
3. Memahami mekanisme dan moda kegagalan puncak/keruntuhan scantling support structure system gas processing module FPSO Belanak.
4. Mengetahui ultimate failure akibat respon ekstrem pada pada scantling support structure system gas processing module FPSO Belanak.
1.4. MANFAAT
8
1. Memahami mekanisme dan mode keruntuhan, khususnya pada scantling support structure system gas processing module.
2. Memberikan pemahaman tentang prosedur perhitungan beban ultimate strength untuk bisa dijadikan kegiatan preinspection.
3. Memberikan pemahaman prosedur dan analisis perhitungan untuk dijadikan dasar dalam merancang support structure system gas processing module dengan pertimbangan beban-beban ekstrem yang berpengaruh.
4. Memberikan pemahaman tentang pengkajian keandalan struktur berdasarkan ultimate strength.
1.5. BATASAN MASALAH
1. Scantling support structure system gas processing module yang ditinjau dalam tugas akhir ini adalah scantling support structure system gas processing module Train ”A” pada FPSO Belanak yang dioperasikan di perairan Natuna.
2. Pemodelan lokal dilakukan sebatas scantling support structure system gas processing module serta geladak yang menyangga.
3. Analisis struktur global menggunakan software MOSES untuk mendapatkan beban lingkungan, sedangkan analisis struktur lokal menggunakan software ANSYS 11 untuk mendapatkan respon struktur.
4. Riser dan bangunan atas pada FPSO Belanak tidak ikut dimodelkan pada MOSES.
5. Pada pemodelan FEM, jenis pengelasan sambungan diabaikan dan diasumsikan tidak terjadi cacat las.
6. Beban lingkungan yang ditinjau adalah beban ekstrem 100 tahunan yang meliputi beban angin dan beban gelombang.
7. Tidak dilakukan analisa pada beban akibat kecelakaan.
8. Perhitungan ultimate strength dilakukan dengan metode pushover dengan memperimbangkan rules Buckling and Ultimste Strength Assessemnt for Offshore Structure pada ABS tahun 2005.
9
1.6. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan tugas akhir ini adalah sebagai berikut:
Pada bab pendahuluan, diterangkan berbagai hal mengenai penelitian yang dilakukan dalam tugas akhir. Antara lain; latar belakang sehingga penelitian ini penting untuk dilakukan, masalah dan perlu diselesaikan, tujuan yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang diangkat, manfaat yang didapat dari dilakukannya penelitian tugas akhir, batasan dari penelitian tugas akhir, dan penjelasan dari sistematika laporan yang digunakan dalam tugas akhir.
Bab tinjauan pustaka berisi tinjauan pustaka apa saja yang menjadi acuan dari penelitian tugas akhir ini. Sehingga dasar-dasar teori, rumus-rumus, codes yang digunakan dalam penelitian tugas akhir ini dicantumkan dalam bab ini.
Bab metodologi penelitian menerangkan tentang metodologi yang digunakan untuk mengerjakan tugas akhir.
Analisis dan pembahasan berisi data yang digunakan dalam tugas akhir, penjelasan pemodelan yang dilakukan dalam penelitian tugas akhir, analisis, pengolahan, dan pembahasan data hasil dari output pemodelan harus dilakukan pada bab ini.
Bab kesimpulan dan saran berisi kesimpulan dari tugas akhir, hasil dari analisis, pembahasan yang dilakukan serta saran-saran yang perlu diberikan untuk penelitian lebih lanjut.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI
2.1. UMUM
Konsep FPSO (Floating Production Storage and Offloading) pada dasarnya diperkenalkan untuk menggantikan sistem kombinasi anjungan produksi dengan fasilitas penyimpanan terapung atau Floating Storage Offloading (FSO). Perlu dicatat, untuk perairan dangkal anjungan produksi dapat berupa jacket atau jackup, sedangkan di perairan dalam dapat berupa Semisubmersible atau TLP. FSO sendiri adalah wahana yang berfungsi sebagai terminal, didekasikan untuk melayani penyimpanan migas hasil olahan dari anjungan produksi di ladang operasinya, dan mentransfernya ke kapal-kapal tanki pengangkut yang secara periodik mendatanginya.
Berikut adalah sejumlah persyaratan fungsional yang harus dipenuhi FPSO dalam melakukan operasinya, yaitu :
1. Sistem harus tetap mampu berproduksi dan beroperasi normal pada kondisi operasional 1tahunan.
2. Mampu menahan efek beban maksimum akibat badai 100tahunan.
3. Harus mempunyai fleksibilitas untuk operasi pemuatan dan pengeluaran produk migas, inpeksi dan perawatan dari tanki-tanki tanpa mengganggu proses produksi.
4. Setiap saat harus mampu menjaga kondisi mengapung rata (even keel) baik untuk mode trim ataupun oleng, dengan toleransi tidak lebih dari ±0,25°. 5. Gerakan roll dan pitch maksimum tidak lebih dari 1,75° untuk selama 99%
periode operasi.
6. Sistem penambatan harus mampu menjaga FPSO tetap di posisinya pada saat badai 100tahunan dengan satu tali penambat putus dan perubahan posisi maksimum tidak melebihi 20% kedalaman perairan.
12
Dalam ISOSC 2006, disebutkan bahwa Yanagihara et al (2002) mengembangkan sebuah metode sederhana untuk menghitung ultimate strength dari stiffened plates berdasarkan perilaku kolaps struktur dengan menggunakan finite element method.
2.2. FPSO
Dalam tugas akhir ini, obyek yang digunakan adalah Floating Production Storage and Offloading (FPSO) milik Conoco Philips yang bernama Belanak seperti ditunjukkan Gambar 2.1. FPSO Belanak dibangun di Dalian, Republik Rakyat China (RRC), sedangkan topside-nya dibangun di galangan PT. McDermott Indonesia di Batam. FPSO Belanak ditempatkan di blok Natuna. Berat dari FPSO tersebut yaitu 255.000ton dengan panjang 285m. memilki kapasitas penyimpanan minyak sebesar 1,0juta barrel.
Gambar 2.1 FPSO Belanak (
http://www.jrayMcDermott.com/projects/Belanak-FPSO__90.asp)
Badan FPSO Belanak dibangun dengan bentuk double side. Konfigurasi single bottom tanpa self propulsion. FPSO Belanak didesain 30tahun tanpa dry docking. Ukuran utama FPSO terdapat pada Tabel 2.1.
13
Tabel 2.1 Ukuran Utama FPSO Belanak
1. LOA 285 m
2. Depth 26 m
3. Beam 58 m
4. Vessel Draft Full 16.2 m 5. Vessel Draft Medium 14.6 m
6. Vessel Draft Light 13.9 m
7. Displacement 255,000 ton
8. Service Life 30 years
2.3. SCANTLING SUPPORT STRUCTURE SYSTEM
Di atas geladak FPSO terdapat topside facilities yang disangga oleh support. Bunce (1977) menyatakan satu atau dua perusahaan akan mempertimbangkan desain deck, perusahaan lain mungkin mendesain struktur bawah laut dan mungkin juga perusahaan ke empat menghadapi dengan fasilitas topside dan module. Pada umumnya topside tidak hanya terpadat di atas FPSO, namun juga pada bangunan lepas pantai lainnya seperti jacket maupun jack up. O'Brein (1993) menyebutkan topside pada drilling rig, tidak banyak menghabiskan area. Dikarenakan layout dari struktur dan peralatan pengeboran, penempatan pada deck sedikit membingungkan meskipun di bawah kondisi terbaik.
Keberadaan module di atas geladak FPSO akan menimbulkan resiko kecelakaan yang diakibatkan oleh kemungkinan – kemungkinan yang bias terjadi. Resiko kecelakaan terbesar bergantung pada jumlah dari keutamaan platform seperti tipe proses, volume dari inventaris, layout topside, jumlah personel, dll. Dan ini sangat sulit untuk memberikan standar sistem keselamatan dan prosedur dari setiap instalasi. (Shetty, 1998).
Untuk mengurangi resiko kecelakaan yang mungkin terjadi, penempatan module harus diperhatikan sebisa mungkin. Palmer (1997) menyebutkan topside pada platform antara level 87 ft dan 107 mempunyai empat module. Penelitian yang dilakuakan oleh Windergen (1994) pada offshore module dengan peralatan proses,
14
lidah api yang timbul akibat ledakan mungkin memiliki kecepatan hingga ratusan meter per detik.
Al Obaid (1994) juga menjelaskan beban kejut akibat objek jatuh dapat mengakibatkan pengaruh buruk pada integritas dari offshore platforms. Beberapa bagian struktur seperti striger, girder, dan kolom utama dapat terjadi kerusakan. Pemilihan desain beban kejut didasarkan pada hasil survei dari peralatan pengeboran yang disangga pada platform dan seperti peralatan yang kemungkinan terjatuh di pada topside platform. Dalam suatu module bisa terdapat peralatan yang meletak pada module tersebut. Ketika FPSO beroperasi dan proses produksi minyak dan gas juga berlangsung, maka beban yang diterima module sangatlah besar. Pada fasilitas produksi biasanya terletak pada production deck dan pada umumnya terletak 2,5m di atas main deck. (UKOOA, 2002). Hal ini bertujuan untuk meminimalisir efek dari green water dan meminimalisir terjadi ledakan atau api yang mengenai module.
Scantling pada kapal merupakan masalah utama bagi pendesain. Bangunan apung sungguh komplek, umumnya terdiri dari plat penguat, plat dek, plat dasar, dan kadang-kadang dek intermediate, frame, bulkhead, dan lain-lain. (Nguyen, 2009). Beban-beban yang bekerja di atas geladak FPSO berupa peralatan dan berat struktur meliputi module supports, perpipaan, elektrik, kontrol, dan instrumentasi.. Sedangkan posisi setiap module ditunjukkan pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Topside Hull Interface FPSO Belanak (McDermott, 2004)
Stiffeners memanjang memperkuat plat, menjaga agar tetap stabil sehingga dapat menerima beban in-plane. Pada stiffeners memanjang juga terdapat supports sesuai keperluan sehingga mampu menerima beban lateral. (Cameron et all, 1997)
15 ABS (2004) menyatakan perencanaan suatu kapal haruslah menunjukkan scantling, rencana awal dan detail daripada geladak suatu kapal sebelum perencanaan tersebut disetujui untuk dikerjakan. Perencanaan tersebut harus menunjukkan scantlings, sambungan, dan las-lasan dengan jelas, atau metode penyambungan lainnya.
2.4. PEMBEBANAN
Dalam proses perancangan struktur lepas pantai (offshore structure), penentuan kemampuan kerja struktur dipengaruhi oleh beban yang bekerja pada struktur tersebut. Perancang harus menentukan akurasi beban yang akan dipakai dalam perancangan offshore structure terlebih dahulu. Beban-beban yang harus dipertimbangkan oleh perancang dalam perancangan offshore structure adalah sebagai berikut:
a. Beban mati (dead load).
Beban mati adalah beban dari semua komponen kering serta peralatan, perlengkapan dan permesinan yang tidak berubah dari mode operasi pada suatu struktur, meliputi : berat struktur, berat peralatan dan berat permesinan yang digunakan dalam proses pengeboran ketika sedang tidak dioperasikan. Pada gas processing module, yang termasuk beban mati adalah beban struktur topside itu sendiri, beban-beban equipment pada topside.
b. Beban hidup (live load).
Beban hidup adalah beban yang terjadi pada struktur selama dipakai/berfungsi dan berubah dari mode operasi satu ke mode operasi yang lain. Contoh beban yang termasuk kedalam beban hidup ini adalah beban yang diakibatkan oleh pengoperasian mesin atau peralatan lainnya pada suatu struktur. Contoh beban hidup pada gas processing module adalah beban perpipaan yang berubah setiap mode operasi.
c. Beban akibat kecelakaan (accidental load).
Beban kecelakaan merupakan beban yang tidak dapat diduga sebelumnya yang terjadi pada struktur, misalnya tabrakan dengan kapal pemandu operasi, putusnya tali tambat (mooring) dan kebakaran. Pada gas processing module, yang termasuk
16
beban kecelakaan yang mungkin terjadi adalah kebakaran pada module, module tertimpa benda dari atas (misalnya dari crane atau struktur lain yang menimpa modul). Namun pada kajian tugas akhir ini, tidak dilakukan analisa terhadap beban kecelakaan.
d. Beban lingkungan (environmental load).
Beban lingkungan adalah beban yang terjadi karena dipengaruhi oleh lingkungan dimana suatu struktur lepas pantai dioperasikan atau bekerja. Beban lingkungan yang digunakan dalam perancangan adalah beban angin, arus dan gelombang. Gregersen (1989) menyebutkan bangunan lepas pantai dipengaruhi oleh beban lingkungan berkelanjutan yang diakibatkan oleh angin, gelombang dan arus. Pada Zachharya (1998) juga menyebutkan pembebanan pada struktur diperkirakan fungsi dari beberapa variabel, misalnya tinggi gelombang, periode gelombang, kecepatan angin, arah angin dan arus. Akibat dari beban yang bekerja pada struktur, maka struktur menghasilkan respon terhadap beban tersebut. Apabila beban yang bekerja bersifat ekstrem, struktur juga mengalami respon ekstrem. Hegenmeijer (1990) menyatakan respon ekstrem pada bangunan lepas pantai didominasi oleh ketidaklinearan proses gaya fluida.
Beban lingkungan yang bekerja pada FPSO akan mempengaruhi pola gerakan yang terjadi. Dalam hal ini beban gelombang merupakan beban yang paling mempengaruhi pola gerakan FPSO. Model gelombang laut, ditetapkan pertama pada tahun 1950-an, di mana permukaan air laut dideskripsikan dengan superposisi dari jumlah yang sangat banyak dari gelombang sinusoidal, setiap komponen mempunyai frekuensi, ampitudo, arah, dan phase tertentu. Model ini telah digunakan oleh ahli bangunan kapal dalam menghadapi respon kapal dan beban pada gelombang irregular. (Ewing, 1990). Selanjutnya pada Brynjoifsson (1987) dikarenakan beban gelombang bersifat acak, lebih tepat untuk menggunakan analisa frekuensi-domain untuk menentukan respon dari struktur lepas pantai.
17
2.4.1. Beban Gelombang
Battacharyya (1978) menyatakan gelombang laut terbentuk karena permukaan laut terkena hembusan angin terus menerus. Besarnya gelombang tergantung dari intensitas, jangka waktu, dan jarak angin berhembus (fetch length). Gelombang menyerap energi dari angin, dan sebaliknya mengeluarkan energi untuk penyebaran. Nilai tinggi gelombang signifikan Hs dan periode gelombang signifikan Ts ditunjukkan pada Tabel 2.2
Tabel 2.2 Periode Ulang Gelombang Perairan Natuna (Conoco Phlips, 2002)
Deskripsi Gelombang Hs ( m) Tp (s) 1tahunan 2.9 9.1 10tahunan 4.1 10.3 100tahunan 5.3 11.1
Dalam perhitungan beban gelombang, gelombang yang digunakan adalah gelombang return period untuk 1tahunan, 10tahunan, dan 100tahunan. Periode ulang gelombang atau gelombang return period dapat dicari dengan analisis gelombang kurun waktu panjang [LTWA (long-term wave analysis)]. LTWA adalah analisis yang dilakukan terhadap kumpulan data-data gelombang yang telah diperoleh dalam kurun waktu tahunan (minimal 1tahun).
Distribusi gelombang dalam kurun waktu panjang dapat didekati dengan distribusi kontinyu dari Weibull. Persamaan linier dari fungsi kepadatan peluang [PDF (probability density function)] diberikan dalam bentuk sebagai berikut:
(2.1)
dengan:
P(H) = peluang terjadinya gelombang
= parameter bentuk dengan harga umum antara 0,75 s.d. 2,0;
sedangkan untuk gelombang laut umumnya berkisar antara 0,9 s.d. 1,1 (Naess: 0,7 s.d. 1,3)
18
= parameter skala yang harganya tergantung dari harga ekstrim variabel x;
atau untuk gelombang laut adalah harga tinggi ekstremnya, yakni yang terjadi sekali dalam kurun waktu panjang (m)
x = intensitas obyek/parameter yang ditinjau; misalnya tinggi gelombang, sehingga x = H
Distribusi Weibull dapat diaproksimasi dengan kurva berbentuk garis lurus bila variabel x pada ruas kanan persamaan di atas diganti dengan (H – a). Variabel a disini adalah ukuran ambang tinggi gelombang (threshold wave height), yaitu tinggi gelombang terkecil yang terjadi di suatu perairan. Untuk perairan tertutup a dapat mempunyai harga sangat kecil (0), sedangkan untuk perairan terbuka dapat mempunyai harga antara 0,5 s.d. 2,0m. Kurva distribusi Weibull akan mempunyai bentuk garis lurus jika digambarkan pada grafik yang mengkorelasikan ln{ln[1/1-P(H)]} sebagai ordinat dan ln(H –a) sebagai sebagai absisnya.
Tinggi gelombang yang digunakan adalah tinggi gelombang signifikan (HS), jika
gelombang yang diketahui adalah tinggi gelombang maksimum (Hmax), maka HS
dapat dicari dengan:
(2.2) Faktor lain yang berpengaruh terhadap kekuatan scantling module support system pada FPSO adalah gerakan dari FPSO. Gerakan FPSO mempengaruhi scantling dalam bentuk beban inersia. Gerakan FPSO perlu ditransformasikan terhadap gerakan dari scantling module. Dari transformasi gerakan maka akan didapatkan percepatan yang terjadi, mengingat beban inersia diakibatkan oleh benda yang mengalami percepatan.
Dikarenakan bangunan FPSO mengalami gerak kopel, maka peralatan-peralatan di atas FPSO juga mengalami hal yang sama. Struktur module di atas FPSO juga mengalami gaya inersia yang diakibatkan beban gelombang. Martins (2007) menyatakan bahwa dengan menggunakan hukum Newton kedua, gaya luar yang bekerja pada pusat gravitasi didapatkan persamaan:
19 Seperti tampak pada ilustrasi Gambar 2.4, jika FPSO bergerak translasi searah “a” maka terjadi gaya inersia pada sambungan geladak dengan kaki modul akibat beban gelombang. Bhattacharyya (1978) menyebutkan pada gerakan heaving, gerakan dari kapal adalah linear oleh karena itu beban inersia dapat diberikan pada persamaan berikut:
(2.4)
Gambar 2.3 Kecepatan dan Koordinat Sistem (Martins, 2007)
Beban inersia dipengaruhi oleh arah percepatan, bekerja pada arah vertikal ke atas dan kebawah. Gambar 2.3 menunjukkan arah gerakan kecepatan yang bekerja pada kapal. Pada gerakan rotasional, percepatan linear atau tangensial didapatkan dengan persamaan:
(2.5)
(2.6)
Dengan r adalah jarak antara komponen ditinjau dengan COG bangunan apung. Jari-jari girasi r ini digunakan sebagai tranformasi percepatan bangunan atas terhadap percepatan bangunan apung.
Pada Gambar 2.4 dapat diketahui module yang berada di atas FPSO. Saat terjadi gerakan translasi, baik surge, sway, maupun heave pada FPSO, module juga ikut
20
bergerak searah gerakan FPSO. Hal ini tentunya sangat mempengaruhi kekuatan dari struktur penyangga module tersebut.
Mengingat pentingnya faktor pengaruh gerak FPSO terhadap timbulnya beban inersia pada scantling, maka perlu dipahami terlebih dahulu karakteristik gerakan FPSO.
Pada dasarnya benda yang mengapung mempunyai enam mode gerakan bebas [SDOF (Six Degree Of Freedom)] yang terbagi menjadi dua jenis, yaitu tiga mode gerakan translasional dan tiga mode gerakan rotasional (Battacharyya, 1978). Seperti ditunjukkan pada Gambar 2.5. Berikut adalah keenam mode gerakan tersebut:
i. Mode gerak translasional
- Surge, gerakan transversal arah sumbu x. - Sway, gerakan transversal arah sumbu y. - Heave, gerakan transversal arah sumbu z. ii. Mode gerak rotasional.
- Roll, gerakan rotasional arah sumbu x. - Pitch, gerakan rotasional arah sumbu y. - Yaw, gerakan rotasional arah sumbu z.
Wmodule
a translasi
a translasi
Deck
CL
21
Gambar II.5 Six Degree Of Freedom (SDOF) pada FPSO (Wahyudi, 2009)
2.4.2. Beban Angin
Untuk mendapatkan nilai ekstrem dilakukan perhitungan beban angin mengacu pada DnV-RP-C205 dan ABS MODU. Kemudian dibandingkan hasil perhitungan dari kedua acuan tersebut.
Pada DNV RP-C-205 (2007) gaya angin pada yang mengenai struktur dapat dihitung dengan persamaan:
(2.7)
dengan:
Fw = gaya angin (N) C = koefisien bentuk q = tekanan angin
S = area yang terkena gaya angin
α = sudut antara arah angin dengan sumbu aksial dari member.
Jika beberapa bagian struktur terletak searah normal arah angin, seagai contoh plane truss atau beberapa rangkaian kolom, maka solidification effect harus dipertimbangkan. Maka beban angin dapat dihitung dengan persamaan:
(2.8)
dengan:
Ce = Koefisien bentuk efektif q = tekanan angin
22
S = area yang terkena gaya angin Φ = solidity ratio
α = sudut antara arah angin dengan sumbu aksial dari member.
Solidity ratio Φ adalah perbandingan antara luasan area solid yang terkena beban angin dengan luasan frame searah dengan arah datangnya angin.
Dimana untuk tekanan angin q didapatkan dengan persamaan:
(2.9)
dengan:
ρa = massa jenis udara (1.226 kg/m3)
UT,Z = kecepatan angin pada ketinggian Z meter dari MWL (m/s) Kecepatan angin tiap elevasi dapat dihitung dengan persamaan berikut:
(2.10) dengan:
Vh = kecepatan angin pada elevasi (m/s) V10 = kecepatan angin pada elevasi 10m (m/s) h10 = ketinggian referensi (10 m)
Nilai Reynolds Number Re didapatkan dengan persamaan:
(2.11)
dengan:
D = diameter (m)
UT,z = kecepatan angin pada elevasi z (m/s) va = viskositas kinematis udara
23 Nilai koefisien bentuk efektif didapatkan dengan mengacu pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Nilai Koefisien Bentuk Efektif (DnV,2007)
Solidity Ratio
Φ
Efficient shape coefficient Ce Flat-side members Circular sections Re < 4.2 x 105 Re ≥ 4.2 x 105 0.10 1.9 1.2 0.7 0.20 1.8 1.2 0.8 0.30 1.7 1.2 0.8 0.40 1.7 1.1 0.8 0.50 1.6 1.1 0.8 0.75 1.6 1.5 1.4 1.00 2.0 2.0 2.0
Jika dua atau lebih frame paralel satu sama lain berada dibelakang arah angin, maka perlu diperhatikan nilai shielding effect. Beban angin pada shield frame dapat dihitung dengan persamaan:
(2.12) Nilai shielding factor η didapatkan dari Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Shielding Factor (DnV,2007)
Β α 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 < 1.0 1.0 0.96 0.90 0.80 0.68 0.54 0.44 0.37 2.0 1.0 0.97 0.91 0.82 0.71 0.58 0.49 0.43 3.0 1.0 0.97 0.92 0.84 0.74 0.63 0.54 0.48 4.0 1.0 0.98 0.93 0.86 0.77 0.67 0.59 0.54 5.0 1.0 0.98 0.94 0.88 0.80 0.71 0.64 0.60 > 6.0 1.0 0.99 0.95 0.90 0.83 0.75 0.69 0.66 dengan,
α = spacing ratio, perbandingan antara jarak frame ke frame dengan dimensi keseluruhan dari frame terakhir searah dengan arah angin. β = aerodynamic solidity ratio, β = Φ x a
a = konstanta (1.6 untuk flat-sided member , 1.2 untuk circular subcritical range, 0.6 untuk circular supercritical range)
Pada ABS MODU (2001) gaya angin pada yang mengenai struktur dapat dihitung dengan persamaan:
24
F = 0.5 ρ Vk2
Ch Cs A (2.13)
dengan,
ρ = berat jenis udara (1.22 kg/m3) Vk = kecepatan angin (m/s)
Ch = height coefficient Cs = shape coefficient
A = Luas permukaan yang terkena beban angin
Nilai Ch untuk tiap cerobong didapatkan dengan menggunakan Tabel 2.5
Tabel 2.5 Height Coefficient (ABS, 2001)
Height (m) Height (ft) Ch 0-15.3 0-50 1.0 15.3-30.5 50-100 1.1 30.5-46.0 100-150 1.2 46.0-61.0 150-200 1.3 61.0-76.0 200-250 1.37 76.0-91.5 250-300 1.43 91.5-106.5 300-350 1.48
Nilai Cs untuk tiap cerobong didapatkan dengan menggunakan Tabel 2.6
Tabel 2.6 Shape Coefficient (ABS,2001)
Shape of Structure Cs
Spherical 0.4
Cylindrical Shapes (all sizes) used for crane pedestals, booms, helidecks, etc 0.5
Hull, based on block projected area 1.0
Deck houses 1.0
Clusters of deck houses and other structures, based on block projected area 1.1 Isolated structural shapes (e.g. cranes, angle chanel beams, etc) 1.5
Under deck areas (smooth) 1.0
Under deck surface (exposed beams and girders) 1.3
Rig derrick, each face, assuming fabricated from angle 1.25
2.4.3. Beban Operasional
Pada module terdapat equipment yang memiliki berat sendiri. Selain berat sendiri dari tiap equipment serta berat konstruksi module, pada equipment terdapat berat dari fluida-fluida yang mengalir di dalamnya. Pada Gambar 2.6 ditunjukkan massa module beserta equipment di atasnya yang dipengaruhi oleh gravitasi sehingga menyebabkan struktur penyangga module menerima beban dari atas.
25
Gambar 2.6 Beban Operasional
Dari data yang ada diketahui bahwa massa total dari gas processing module adalah 2361MT. Untuk mendapatkan berat operasional digunakan persamaan berikut:
W = m x g (2.14)
dengan,
m = massa module (MT) g = gravitasi (m/s2)
2.5. RESPONS STRUKTUR (FPSO)
Respon pada struktur akibat gelombang reguler dalam setiap frekuensi, dapat diketahui dengan menggunakan metode spectra. Nilai amplitudo pada suatu response secara umum hampir sama dengan amplitudo gelombang. Bentuk normal suatu response dari sistem linier tidak berbeda dengan bentuk amplitudo gelombang dalam fungsi frekuensi.
Response amplitude operator (RAO) atau sering disebut sebagai transfer function adalah fungsi response yang terjadi akibat gelombang dalam rentang frekuensi yang mengenai struktur offshore. RAO disebut sebagai transfer function karena RAO merupakan alat untuk mentransfer beban luar (gelombang) dalam bentuk response pada suatu struktur. Bentuk umum dari persamaan RAO dalam fungsi frekuensi (Chakrabarti, 2005) adalah sebagai berikut:
Response (w) = (RAO) h(w) (2.15)
dengan:
h = amplitudo gelombang (m)
26
RAO merupakan fungsi respon gerakan dinamis struktur yang disebabkan akibat gelombang dengan rentang frekuensi tertentu. RAO merupakan alat untuk mentransfer gaya gelombang menjadi respon gerakan dinamis struktur. Menurut Chakrabarti (2005), persamaan RAO dapat dicari dengan rumus sebagai berikut:
ω η ω X ω RAO p (2.16) dengan:
p X = amplitudo struktur
= amplitudo gelombang2.6. ULTIMATE STRENGTH
Hughes(1983) menyatakan kondisi limit state adalah di mana struktur atau bagian dari struktur mengalami ketidaktepatan dalam menjalankan fungsinya akibat beban atau efek beban. Ada dua jenis limit state, yaitu ultimate limit states dan serviceability limit states. Ultimate limit states sering dijadikan acuan sebagai eltimate strength dari struktur. Pada dasarnya ada tiga tipe kegagalan struktur; plastic deformation, instability, dan fracture. Untuk struktur baja tiga tipe dasar kegagalan struktur adalah:
1. Large local plasticity 2. Instability a. Bifurcation b. Nonbifurfaction 3. Fracture a. Direct b. Fatigue c. Brittle
Pada prakteknya kegagalan struktur individu, dipengaruhi oleh kombinasi kegagalan pertama dan kedua yaitu large local plasticity dan instability. Salah satu penyebab terjadinya ultimate strength failure pada suatu struktur kapal umumnya adalah disebabkan oleh beban ekstrem dan/atau kurangnya daya tahan struktur terhadap degradasi material. misalnya, korosi yang terjadi secara menerus akan mengurangi dimensi scantling, sehingga girder penopang pada lambung
27 kapal akan rawan mengalami buckling ataupun retak ketika ditimpa beban ekstrem. Untuk itu, perlu suatu pertimbangan jangka panjang untuk mengantisipasi adanya degradasi material ketika mendesain sebuah struktur. (Ayyub, 2001)
Pada beberapa dekade terakhir desain ultimate strength merupakan pendekatan yang dapat diandalkan untuk analisa struktur baru maupun dugaan untuk struktur yang telah ada. (Rosati et all, 2007). Faktor keamanan merupakan hal yang sangat penting pada suatu bangunan apung dalam melakukan operasi. Chakrabarti (2005) menyatakan bahwa keamanan merupakan ketidakanaan dari kegagalan dan kerusakan serta menjamin dalam memenuhi ketentuan untuk stabilitas keseluruhan dan ultimate strength serta kegagalan fatigue akibat beban yang berulang untuk menghindari kegagalan puncak seperti fatalitas, kerusakan lingkungan atau kerusakan properti.
Pada dasar mekanika bahan, dipelajari struktur yang dikenai pembebanan aksial, momen bending, dan gaya torsi. Formula sederhana untuk tegangan dan defleksi dari struktur telah dikembangkan (Gere, 2001).
Gambar 2.7 Struktur Dikenai Beban Aksial (Boresi&Schmidt, 2003)
Pada pembebanan aksial seperti ditunjukkan pada Gambar 2.7 memiliki batasan – batasan sebagai berikut:
1. Struktur harus bersifat prismatik. 2. Material struktur harus homogen.
3. Beban P harus searah arah aksial pada pusat aksis dari struktur. 4. Tegangan dan regangan pada daerah elastis.
28
Gambar 2.8 Struktur Terkena Torsi (Boresi&Schmidt, 2003)
Pada pembebanan torsi seperti Gambar 2.8 juga memiliki beberapa batasan: 1. Struktur harus bersifat prismatik.
2. Material struktur harus homogen.
3. Torsi terjadi pada ujung batang dan tidak ada torsi tambahan pada titik A dan B.
4. Sudut puntir pada penampang melintang adalah kecil.
Brockenbrough&Merritt (1999) menyatakan bahwa balok yang diberi beban lateral (Gambar 2.9 )akan meneyebabkan bending. Balok yang terbebani tersebut menghasilkan gaya internal dan momen serta menyebabkan deformasi.
Gambar 2.9 Beban Merata Pada Balok Tumpuan Sederhana (Brockenbrough&Merritt,1999)
Gambar 2.10 Kurva Strees-Strain Untuk Spesimen Tarik dari Structural Steel (Boresi&Schmidt, 2003)
Seperti ditunjukkan pada Gambar 2.10, hubungan antara tegangan dan regangan dari sebuah spesimen tarik. Jika material diberi beban sampai batas plastis maka material baja tersebut akan kembali ke bentuk semula. Akan tetapi jika material
29 baja diberi beban melebihi batas elastis maka tidak bisa kembali ke bentuknya semula, dengan kata lain material baja mengalami deformasi plastis.
Gambar 2.11 Necking Pada Spesimen Uji Tarik (Boresi&Schmidt, 2003)
Secara fisik, setelah mencapai tegangan ultimate, muncul necking pada spesimen Gambar 2.11. Hal ini mengakibatkan pengurangan luas penampang melintang dari specimen secara drastis di mana timbul kegagalan puncak.
Saat sebuah struktur dikenai beban, struktur tersebut memiliki respon yang tidak hanya bergantung pada tipe material akan tetapi juga kondisi lingkungan dan pembebanan pada struktur. (Boresi&Schmidt, 2003).
Secara terperinci moda kegagalan dari sebuah struktur adalah: 1. Kegagalan akibat defleksi berlebih
a. Defleksi elastis
b. Defleksi akibat rayapan
2. Kegagalan akibat tegangan yield (deformasi plastis) 3. Kegagalan akibat kepecahan
a. Kepecahan tiba-tiba dari material bersifat getas b. Kepecahan dari crack atau cacat
c. Kepecahan progresip (fatigue)
30
2.6.1. Local Plastic Deformation
Pertama kita memperhatikan struktur yang mudah terkena ketidakstabilan, salah satunya semua beban kompresi aksial dianggap kecil serta struktur sangat kokoh lengkap dengan brace dan penyangga. Deformasi plastis muncul secara progresif pada daerah kurva elasto-plastis, kemudian menurun secara perlahan pada kurva plastis. Beban kegagalan (atau beban collapse atau ultimate strength) diambil pada beban saat permulaan dari kurva plastis.
2.6.2. Bifurcation Buckling
Ketidakstabilan atau buckling, dapat muncul pada member atau bagian dari member yang dikenai beban aksial atau beban in-plane compressive. Ada dua jenis buckling; bifurcation dan nonbifurcation. Contoh bifurcation buckling adalah buckling pada kolom sederhana. Sebuah kolom diberi beban aksial secara menerus maka akan mengakibatkan kolom mengalami defleksi lateral. Pada pembebanan low level, efek beban diabaikan. Akan tetapi saat beban dinaikkan, defleksi lateral meningkat dengan signifikan mengakibatkan terjadinya bending. Hasilnya kekakuan kolom hilang secara cepat. Jika beban tidak turun, kekakuan kolom menjadi nol. Defleksi meningkat ke nilai yang sangat besar, mengakibatkan kolom mengalami collapse.
2.6.3. Fracture Statis
Istilah brile fracture mengacu pada fakta bahwa dibawah kondisi temperature tertentu nilai ultimate tensile strength dari baja menurun drastis. Nilai transisi dari temperature ini dipengaruhi oleh kandungan komposisi kimia baja dan proses metalurgi saat baja dibuat. Untuk bangunan kapal baja kualitas terbaik sangat dibutuhkan untuk menghindari brittle fracture. Pada kajian tugas akhir ini tidak dilakukan analisa kegagalan struktur pada akibat fracture.
2.6.4. Analisa Ultimate Strength (ABS, 2004)
ABS Buckling and Ultimate Strength Assesment for Offshore Structure (2004) menyediakan beberapa kriteria yang bisa digunakan untuk menghitung ultimate strength, kriteria tersebut adalah:
31 a. Individual structural member.
b. Plates, stiffened panels and corrugated panels. c. Stiffened cylindrical shells.
d. Tubular joints
Pada ABS juga terdapat tambahan pertimbangan untuk meninjau ulang analisa menggunakan metode elemen hingga untuk menetapkan kapasitas buckling. Pada tugas akhir ini digunakan kriteria individual structural member untuk menganalisa ultimate strength pada module support. Sedangkan analisa ultimate strength pada geladak yang menyangga serta penguat di bawah geladak digunakan kriteria plates, stiffened panels and corrugated panels.
Moda kegagalan pada kriteria structural member menurut ABS (2004) adalah: 1. Flexural buckling. Bending pada daerah aksis pada resistan akhir.
2. Torsional buckling. Puntir pada lugitudinal aksis
3. Lateral-torsional buckling. Bersamaan bending dan puntir (twisting)
4. Local buckling. Buckling pada plat atau elemen shell pada daerah lokal struktur.
Kriteria kekuatan buckling untuk plat dan stiffened berdasarkan pada asumsi dan batas yang diijinkan dari desain stiffened, dimana ABS (2004) memberikan ketetapan:
1. Kekuatan buckling setiap stiffeners umumnya lebih besar dari plat pada supports.
2. Stiffeners dengan plat yang efektif harus mempunyai momen inersia tidak kurang dari io
3. Plat dan flange dari girders dan stiffeners yang berpotongan sebaiknya dihindari.
4. Webs dari girders dan stiffeners yang berpotongan sebaiknya didindari. Gambar 2.12 menunjukkan moda kegagalan pada kriteria plates, stiffened panels and corrugated panels yaitu:
32
1. Plate level.
2. Stiffened panel level.
3. Deep supporting member level.
Gambar 2.12 Moda Kegagalan Stiffened Pada Geladak (ABS, 2004)
Das dan Parmentier (2006) menyatakan bahwa pada papan stiffened plat, stiffeners memanjang mempunyai fungsi utama untuk mendukung plat geladak agar mampu menahan sesuai kekuatannya. Untuk mencapai tujuan ini, stiffeners harus cukup kuat dan jarak antar stiffeners harus dipilih sesuai dengan karakteristik dari plat geladak, ketebalan dan tegangan yield-nya. Kerampingan dari plat harus di desain sesuai tegangan ultimate mendekati tegangan yield sebisa mungkin.
2.7. KEANDALAN STRUKTUR
Menurut Karamchandan (1991) secara tradisional, fokus analisa keandalan telah ditaksirkan pada keandalan akibat beban kelelahan maupun beban lingkungan ekstrem. Hal itu diperkuat dengan pernyataan Olufsen (1989) yang menyatakan keandalan struktur dari sebagian besar bangunan lepas pantai dikontrol dengan ketidakpastian yang berhubungan dengan beban lingkungan. Pada kondisi ekstrem Harland (1998) menyatakan dengan tujuan untuk melakukan analisa keandalan, perkiraan dari ketidakpastian fisik pada beban gelombang ekstrem juga diperlukan. Oleh karena itu dalam mendesain sebuah struktur perlu juga dipertimbangkan keandalannya, menurut Sigbjornsson(1980) masalah utama pada
33 perhatian desain struktur yang pertama adalah kegagalan penyimpangan dan syarat tradisional yaitu informasi yang memperhatikan karakteristik respon ekstrem dan dalam pendekatan modern nilai distribusi ekstrem.
Keandalan sebuah komponen atau sistem adalah peluang komponen atau sistem tersebut untuk memenuhi tugas yang telah ditetapkan tanpa mengalami kegagalan selama kurun waktu tertentu apabila dioperasikan dengan benar dalam lingkungan tertentu. Rosyid, D.M, (2007). Dalam konsep keandalan, suatu masalah akan didefinisikan dalam hubungan permintaan dan penyediaan, yang keduanya merupakan variabel-variabel acak. Peluang terjadinya kegagalan suatu rancangan, dimana penyediaan (ketahanan atau kekuatan sistem) tidak dapat memenuhi permintaan (beban yang bekerja pada sistem). Ang, H.S dan Tang, W.H (1985).
Pemakaian konsep analisis keandalan yang didasarkan pada metode probabilistik telah berkembang dan semakin penting peranannya terutama untuk memecahkan masalah- masalah dalam perancangan praktis Baker dan Wyatt (1979). Kecenderungan ini salah satunya dikarenakan adanya kerusakan yang terjadi pada sistem rekayasa yang disebabkan oleh intraksi panas, beban statis maupun beban dinamis dapat dijelaskan secara lebih baik dengan konsep ini.
Dalam konsep ini perancang dapat menggambarkan suatu sistem dengan segala hal yang mempengaruhi atau mengakibatkan kerusakan pada sistem tersebut misalnya kondisi pembebanan, ketahanan struktur, kondisi lingkungan yang lebih mendekati keadaan yang sebenarnya karena melibatkan aspek ketidakpastian dalam analisisnya. Dalam analisis keandalan sistem struktural maka perlu untuk mendefinisikan ketidakpastian yang diterima oleh struktur. Ketidakpastian dalam 3 kelompok yaitu :
1. Ketidakpastian fisik, adalah ketidakpastian yang berhubungan dengan keragaman (variability) fisik seperti : beban, sifat material, dan ukuran material. Keragaman fisik ini hanya bisa dinyatakan dalam data sampel, dengan pertimbangan praktis dan ekonomis.