• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. (smokeless industry) ini sebagai paspor menuju pembangunan (De Kadt, 1979).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. (smokeless industry) ini sebagai paspor menuju pembangunan (De Kadt, 1979)."

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

1

Sektor pariwisata bagi banyak negara berkembang dijadikan sebagai lokomotif pembangunan ekonomi, dan para ahli menobatkan industri tanpa asap (smokeless industry) ini sebagai paspor menuju pembangunan (De Kadt, 1979). Sektor ini dikategorikan sebagai industri terbesar di dunia dan dianggap sebagai sarana untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dengan manfaat yang sangat signifikan di bidang ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya serta memberi kesempatan seluas luasnya bagi masyarakat lokal untuk meningkatkan kesejahteraannya (Sharpley, 2002).

Indonesia mengatur pembangunan kepariwisataan melalui Undang-undang Nomor 10 tahun 2009, yang didalamnya mengandung ketegasan bahwa sektor pariwisata menjadi bagian tidak terpisahkan dari pembangunan nasional yang mesti dilakukan secara terstruktur, sistematis, terpadu, bertanggung jawab, serta menekankan pada prinsip-prinsip sustainability dengan tidak mengabaikan nilai-nilai agama, kondisi sosial budaya, kelestarian lingkungan hidup, serta kepentingan nasional. Penegasan tersebut menunjukkan pentingnya perencanaan dan pengelolaan sumberdaya wisata (tourism resources) yang ada agar kepariwisataan di Indonesia dapat berkelanjutan dan memberikan manfaat optimal kepada masyarakat.

United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang

(2)

bertujuan untuk memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa menghilangkan kesempatan dan peluang generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan mereka (WCED, 1987). Ide tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang digagas World Commission on Environment and Development (WCED) tersebut berakar dari konsep yang berusaha mengintegrasikan kepentingan ekonomi dengan ekologi.

“...bahwa pembangunan berkelanjutan memerlukan proses integrasi ekonomi dan ekologi melalui upaya perumusan paradigma dan arah kebijakan yang bertumpu pada kemitraan dan partisipasi para pelaku pembangunan dalam mengelola sumber daya seoptimal mungkin (Baiquni, M dan Susilawardani, 2002).

Konsepsi pembangunan berkelanjutan diadopsi oleh bidang pariwisata dan selanjutnya didefinisikan sebagai “pembangunan pariwisata yang dilaksanakan guna memenuhi kebutuhan wisatawan dan masyarakat setempat pada saat ini dengan memelihara dan mengembangkan peluang-peluang untuk pembangunan di masa mendatang”. Hal tersebut dilakukan dengan mengelola semua sumberdaya yang ada dengan berbagai cara, sehingga kebutuhan ekonomi, sosial dan estetika dapat terpenuhi, dengan tetap terpeliharanya integritas budaya, proses-proses ekologi esential, keragaman biologi dan sistem pendukung kehidupan (UN-WTO, 2004). Upaya untuk menemukan keterkaitan antara pariwisata dengan pembangunan berkelanjutan dikemukakan Sharpley (2009) yang menyatakan bahwa pembangunan pariwisata berkelanjutan sebagai pembangunan yang terfokus pada dua hal, di satu sisi keberlanjutan sebagai aktivitas ekonomi, dan sisi lainnya merupakan sebuah kebijakan yang berorientasi pada tujuan-tujuan jangka panjang dan antar generasi.

(3)

Pembangunan pariwisata membawa dampak yang sangat luas terhadap berbagai aspek kehidupan, baik di bidang ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan hidup. Di bidang ekonomi peranan pariwisata dapat diindikasikan diantaranya oleh besarnya penerimaan devisa negara dan penyerapan tenaga kerja. Secara nasional dalam beberapa kurun waktu terakhir, kontribusi pariwisata terhadap penerimaan devisa negara (Indonesia) menunjukkan tren yang meningkat. Tahun 2006 jumlah devisa yang disumbangkan industri pariwisata terhadap perekonomian nasional US$ 4.447,97 juta. Kemudian meningkat terus (kecuali tahun 2009) menjadi US$ 7.603,45 juta pada tahun 2010. Apabila data penerimaan devisa tahun 2006 dibandingkan dengan tahun 2010, maka terjadi peningkatan penerimaan devisa negara dari industri pariwisata sebesar 70,94 persen. Dilihat dari rangking penerimaan devisa, industri pariwisata menempati posisi ke lima setelah minyak & gas bumi, batu bara, minyak kelapa sawit dan karet olahan dengan nilai ekspor sebesar US$ 8.554,40 juta pada tahun 2011 (budpar.go.id, tahun 2011). Penerimaan devisa pariwisata pada tahun 2012 diperkirakan mencapai US$ 9,1 miliar, atau naik 5,81 persen dibanding penerimaan devisa tahun 2011, (http://bps.go.id/brs_file/pariwisata_01feb13.pdf). Badan Pusat Statistik juga melaporkan selama periode Januari hingga Desember 2013, jumlah devisa yang dihasilkan sektor pariwisata US$ 10,1 miliar dan meningkat menjadi US$ 10,69 miliar selama tahun 2014 (http://www.neraca.co.id/article/37961/Devisa-Pariwisata-Capai-US101Miliar).

Jumlah tenaga kerja yang mampu diserap sektor pariwisata secara nasional juga menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Pada tahun 2006 sebesar 4,65

(4)

persen dari 95,46 juta orang tenaga kerja yang terserap di seluruh Indonesia bekerja di sektor pariwisata. Jumlah tersebut terus mengalami peningkatan, sampai dengan tahun 2011 sebanyak 8,53 juta orang (7,75 persen) dari 109,95 juta tenaga kerja telah mampu terserap di sektor pariwisata, dengan rata-rata pertumbuhan 11,32 persen per tahun selama kurun waktu 2006 – 2011 (budpar.co.id).

Kunjungan wisatawan international ke Bali juga menunjukkan tren yang meningkat dengan sumbangan devisa sebesar US$ 4 miliar tahun 2012 atau 44 persen dari jumlah devisa yang disumbangkan sektor pariwisata secara nasional dalam tahun yang sama. Selain dari sisi penerimaan devisa, peranan pariwisata Bali dalam perekonomian dapat dilihat dari sumbangannya terhadap PDRB. Walaupun dalam statistik dan PDRB Bali tidak secara eksplisit tercatat sumbangan sektor pariwisata, namun meningkatnya kontribusi sektor perdagangan, hotel dan restoran terhadap PDRB Bali secara gamblang menggambarkan peranan sektor (yang terkait dengan) pariwisata. Sejak tahun 1969 sampai dengan tahun 2000, peranan ke tiga sektor tersebut terus meningkat dalam kontribusinya terhadap PDRB Bali, yakni 9.25 persen (1969), meningkat menjadi 13.90 persen (1983) dan menjadi 33.19 persen pada tahun 2000 (Pitana, 2003), bahkan tahun 2010 sumbangan sektor yang terkait dengan pariwisata tersebut sudah mencapai angka 46,16 persen (budpar.co.id, 2011).

Pembangunan pariwisata membutuhkan beragam sumberdaya wisata untuk keberhasilannya, salah satu komponen utama sumberdaya tersebut adalah destinasi, yakni panggung pertunjukan seluruh sumberdaya wisata yang akan

(5)

memberikan nilai akhir bagi kepuasan berwisata. Profesionalisme pengelolaan destinasi pariwisata akan menentukan tiga hal pokok berikut, yakni: a) keunggul-an dkeunggul-an daya tarik destinasi tersebut bagi wisatawkeunggul-an; b) mkeunggul-anfaatnya secara ekologi, ekonomi, sosial dan budaya bagi masyarakat dan daerah; serta c) daya saingnya di antara pasar destinasi pariwisata international (Damanik & Teguh, 2012). Sejumlah alasan penting diungkapkan oleh Damanik & Teguh kenapa prinsip-prinsip keberlanjutan (sustainability) perlu diterapkan dalam pengelolaan destinasi pariwisata khususnya di Indonesia: pertama tajamnya kompetisi destinasi di tingkat global maupun nasional; kedua tingginya variasi dan ketimpangan perkembangan destinasi pariwisata di tanah air; dan ketiga rendahnya daya saing pariwisata Indonesia dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Apabila destinasi pariwisata tidak dikelola secara professional dalam kerangka keberlanjutan, maka akan sulit diharapkan destinasi tersebut memiliki daya saing tinggi dalam jangka panjang (Osmanovic, Kenjic, & Zrnic, 2010).

Mengelola destinasi pariwisata agar dapat berkelanjutan sangat ditentukan oleh pandangan ke depan dari kebijakan (forward-looking policies) dan philosopi manajemen yang dianut, yang mampu membangun hubungan harmonis antara masyarakat lokal, sektor usaha swasta, dan pemerintah. Keharmonisan hubungan tersebut berkaitan erat dengan praktik-praktik pembangunan guna meningkatkan manfaat ekonomi yang selaras dengan perlindungan terhadap alam, sosial budaya, dan lingkungan, sehingga kehidupan masyarakat lokal maupun destinasi dapat meningkat kualitasnya (Edgell, Allen, Smith, & Swanson, 2008). Pertanyaannya adalah apakah mungkin destinasi pariwisata tersebut berkelanjutan secara

(6)

ekonomi bagi pelaku usaha pariwisata dan masyarakat lokal, sementara dalam waktu yang bersamaan pembangunan tersebut sangat peka terhadap isu-isu lingkungan, budaya dan sosial? Jawaban singkatnya adalah sangat mungkin, karena kebijakan pariwisata berkelanjutan harus ditentukan oleh kondisi alam dan lingkungan terbangun, disertai dengan perlindungan terhadap keberlanjutan masyarakat lokal. Lebih dari sekedar kepentingan ekonomi, kebijakan pembangunan destinasi pariwisata harus fokus pada prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan (Edgell S. L., 2006), yakni: (1) memanfaatkan secara optimum sumberdaya lingkungan, memelihara proses-proses ekologi essential, dan melakukan konservasi terhadap natural heritage dan keragaman biologi; (2) menghargai keaslian nilai-nilai sosial budaya dari komunitas lokal, melakukan konservasi terhadap bangunan dan living cultural heritage serta nilai-nilai tradisional, berkontribusi pada pemahaman antar budaya dan adanya sikap saling menghargai; dan (3) memastikan dalam jangka panjang akan memberikan manfaat sosial ekonomi kepada semua pemangku kepentingan dengan distribusi yang adil, termasuk kesempatan kerja yang stabil dan kesempatan memperoleh penghasilan, serta berkontribusi kepada upaya pengentasan kemiskinan. Pembangunan pariwisata berkelanjutan membutuhkan partisipasi dari seluruh stakeholders serta kepemimpinan politik yang kuat untuk memastikan adanya partisipasi yang luas dalam membangun konsensus bersama. Pembangunan ber-kelanjutan merupakan proses yang terus menerus dan membutuhkan monitoring yang tidak pernah berhenti terhadap dampak-dampak yang ditimbulkannya.

(7)

Berdasarkan perspektif manajemen destinasi pariwisata, karakteristik produk wisata yang berbeda dengan produk jasa lainnya, membutuhkan implementasi pengelolaan yang ketat dan berbeda, karena pada dasarnya manajemen destinasi pariwisata bertujuan untuk menjamin kualitas destinasi itu sendiri dan kepuasan berwisata. Secara singkat, tujuan pengelolaan destinasi dapat dibagi menjadi dua: pertama untuk melindungi asset, dan sumberdaya wisata dari penurunan mutu dan manfaatnya bagi pengelola, masyarakat lokal, maupun wisatawan; kedua meningkatkan daya saing destinasi pariwisata melalui tawaran pengalaman berwisata yang berkualitas kepada wisatawan. Semakin tinggi kualitas pengalaman yang dapat ditawarkan, maka semakin tinggi pula potensi daya saing destinasi tersebut. Daya saing yang tinggi inilah menjadi faktor kunci yang menjamin keberlanjutan perkembangan destinasi tersebut, karena jumlah wisatawan dan pengeluarannya akan terus meningkat, sehingga memberikan dampak positif kepada pelaku usaha, komunitas lokal, pemerintah, dan lingkungan setempat (RAMBOLL Water & Environment, 2003).

Sejumlah manfaat yang dapat diperoleh dari pengelolaan destinasi pariwisata yang dilakukan secara professional, (European Communities, 2003; Kim & Lee, 2004; Anonim, 2007; Damanik & Teguh, 2012) antara lain: (1) me-ningkatnya kepuasan wisatawan sebagai akibat dari semakin baiknya kualitas pelayanan berwisata di destinasi; (2) meningkatnya daya saing destinasi, sehingga dapat menarik investor lebih banyak untuk menanamkan modalnya; (3) jaminan atas keberlanjutan ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan semakin kuat; (4) ter-ciptanya kemitraan yang semakin kuat dari para pemangku kepentingan; dan

(8)

(5) perbaikan serta inovasi secara terus menerus atas seluruh atribut destinasi pariwisata.

Masyarakat lokal sebagai salah satu stakeholder, menjadi aktor utama dan kunci sukses pengelolaan maupun pembangunan destinasi pariwisata melalui partisipasi mereka yang merupakan ciri penting dari model pembangunan pariwisata berbasis masyarakat (CBT = Community Based Tourism). Garrod (2003) yang melihat CBT sebagai bentuk perencanaan partisipatif, keberhasilan-nya akan ditentukan oleh beberapa hal, antara lain: (1) adakeberhasilan-nya kepemimpinan yang efektif; (2) adanya pemberdayaan masyarakat lokal; (3) terjadi keterkaitan antara keuntungan ekonomi dengan konservasi; (4) keterlibatan stakeholder lokal dalam setiap tahapan proyek; dan (5) adanya partisipasi masyarakat lokal dalam monitoring dan evaluasi proyek. Yaman & Mohd (2004) menambahkan beberapa aspek kunci pada pembangunan pariwisata dengan pendekatan CBT yaitu: pertama, adanya dukungan pemerintah; kedua, partisipasi dari stakeholder; ketiga, pembagian keuntungan yang adil; keempat, penggunaan sumber daya lokal secara berkesinambungan; kelima, penguatan institusi lokal; dan keenam, keterkaitan antara level regional dan nasional.

Partisipasi masyarakat lokal dalam pembangunan kepariwisataan dapat dilihat dari dua perspektif yaitu partisipasi dalam proses pengambilan keputusan (decesion making prosess) dan partisipasi yang berkaitan dengan manfaat yang diterima masyarakat (perceived benefit) dari adanya pembangunan kepariwisataan di wilayahnya (Timothy, 1999). Partisipasi tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk kesanggupan untuk mengikuti kegiatan; memberikan sumbangan

(9)

pemikiran, tenaga, waktu, keahlian, maupun berbagai bentuk materi; serta ikut menikmati hasil pembangunan tersebut. Partisipasi masyarakat dapat dilakukan secara perorangan, kelompok, atau dalam kesatuan masyarakat dalam suatu proses pembangunan dimana masyarakat terlibat mulai dari tahap perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, penerapan keputusan, penyusunan program, perencanaan dan pembangunan, dan evaluasi kegiatan. Selain terlibat dalam proses pengambilan keputusan tersebut, masyarakat yang berpartisipasi mesti ikut dalam kepemilikan (sharing benefit) dan sebagai penikmat hasil pembangunan (Cohen & Uphoff, 1980).

Partisipasi masyarakat memiliki peranan yang begitu penting dalam pem-bangunan destinasi pariwisata karena berbagai alasan, antara lain: (1) masyarakat memiliki pemahaman sejarah tentang bagaimana wilayah mereka beradaptasi dengan perubahan; (2) masyarakat akan menjadi salah satu kelompok paling dekat yang mendapat pengaruh dari kegiatan pariwisata; (3) masyarakat diharapkan menjadi bagian integral dari produk wisata yang akan ditawarkan oleh destinasi tersebut. Masyarakat lokal yang ada di destinasi pariwisata akan menjadi bagian tidak terpisahkan dari produk wisata yang terbentuk, asalkan mereka dari awal terlibat dalam diskusi dan proses perencanaan. Hal tersebut disebabkan oleh karena partisipasi masyarakat dalam industri pariwisata dapat memproteksi produk wisata melalui kolaborasi manajemen yang mengarah pada pendekatan perencanaan yang lebih berbasis masyarakat untuk menjamin adanya dukungan yang kuat dari masyarakat agar pembangunan destinasi pariwisata dapat berhasil (Murphy, 1985). Selain itu, partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan

(10)

destinasi pariwisata dapat mendukung dan menjunjung tinggi budaya lokal, tradisi, pengetahuan dan keterampilan, dan mampu menciptakan kebanggaan terhadap warisan budaya (De Lacy et al., 2002).

Tujuan dari partisipasi masyarakat adalah untuk meningkatkan komunikasi antara para pemangku kepentingan dalam memfasilitasi pengambilan keputusan yang lebih baik dan pencapaian pembangunan berkelanjutan (Nampila, 2005). Tanpa partisipasi, jelas tidak ada kemitraan, tidak ada pembangunan dan tidak ada program. Rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan untuk melaksanakan pembangunan kepariwisataan dapat menyebabkan kegagalan dalam pengembangan masyarakat yang berdampak pada rendahnya manfaat pembangunan kepariwisataan yang dirasakannya (Sharpley, 2009).

Partisipasi dalam pembangunan kepariwisataan tidak saja dimaksudkan untuk memperoleh dukungan masyarakat, tetapi disebabkan juga oleh peranan partisipasi sebagai komponen utama untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Keberpartisipasian (participativeness) masyarakat sangat ditentukan oleh berbagai faktor. Partisipasi masyarakat dengan demikian dapat ditingkatkan dengan mengatasi hambatan partisipasi, sementara pada saat yang sama mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mempromosikan prinsip-prinsip partisipasi berkelanjutan (Theron, 2005).

Banyak studi yang telah mendokumentasikan bahwa kesuksesan pem-bangunan kepariwisataan dapat tergambarkan dari partisipasi masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan pada berbagai tahapan, yakni tahap identifikasi masalah, perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi (Zhao & Ritchie,

(11)

2007). Studi yang dilakukan oleh Kibicho (2004) di Kenya tentang pengambilan keputusan pembangunan pariwisata pantai, menyimpulkan bahwa ada keterkaitan yang sangat erat antara partisipasi masyarakat dengan dukungan yang diberikan terhadap keberlanjutan pembangunan kepariwisataan sebagai akibat dari dilibat-kannya masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan di wilayah tersebut. Pembangunan kepariwisataan tidak akan berhasil tanpa pemimpin komunitas dan masyarakat terlibat di dalamnya, sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Aref & Ma’rof (2008) yang dilakukan di Shiraz, Iran yang menyimpulkan bahwa tanpa partisipasi masyarakat, industri pariwisata di Shiraz tidak akan berkembang, walaupun studi Li (2006) yang mempelajari partisipasi komunitas dalam pengambilan keputusan di bidang pembangunan kepariwisataan di Jiuzhaigou Biosphere Reserve, Provinsi Sichuan China menyimpulkan lain, bahwa partisipasi masyarakat lokal yang lemah dalam proses pengambilan keputusan, masih memberi manfaat yang cukup bagi masyarakat lokal.

Keterkaitan partisipasi masyarakat lokal dengan pembangunan kepariwisataan, dapat diamati melalui penciptaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan, dan pendidikan masyarakat lokal tentang pariwisata dan kewira- usahaan, serta meningkatnya kesadaran publik pariwisata. Masyarakat dapat berpartisipasi dalam kegiatan yang terkait dengan bidang ekonomi sebagai pekerja yang dibayar atau bekerja sendiri. Partisipasi melalui kerja memiliki dampak yang lebih bersifat langsung pada kehidupan rumah tangga miskin, sehingga menjadi cara yang efektif untuk mengurangi kemiskinan di tingkat rumah tangga karena manfaat ekonomi pariwisata langsung sampai ke tingkat

(12)

keluarga (Zhao & Ritchie, 2007). Pariwisata juga dapat menjadi salah satu sumber terbaik dalam kesempatan kerja bagi masyarakat setempat, termasuk perempuan dan sektor informal. Partisipasi masyarakat melalui kesempatan kerja, baik sebagai pekerja ataupun sebagai owner dan operator bisnis kecil, dapat menjadi katalis untuk pengembangan produk wisata, seni, kerajinan dan nilai-nilai budaya, khususnya melalui pengambilan keuntungan dari aset alam dan budaya yang berlimpah di wilayah mereka (Scheyvens, 2002). Hubungan antara partisipasi masyarakat dengan tingkat pendapatan diteliti di Peru oleh Mitchell & Reid (2001) dalam Tosun (2006). Hasil penelitian mereka menunjukkan 90 persen responden dari masyarakat lokal berpendapat bahwa penghasilan mereka akan meningkat jika partisipasinya lebih intensif dalam aktivitas kepariwisataan. Penelitian Tosun (2006) di Turki menyimpulkan bahwa partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan sangat diperlukan untuk memaksimalkan manfaat sosio-ekonomi dari pembangunan kepariwisataan bagi masyarakat.

Terdapat tiga faktor pendukung agar partisipasi masyarakat dapat terwujud secara nyata sebagai suatu kegiatan, yakni: adanya kemauan, kemampuan dan kesempatan untuk berpartisipasi (Slamet, 1992). Kunci utama tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat adalah kemauan untuk berpartisipasi. Hal ini disebabkan karena belum adanya jaminan bahwa partisipasi masyarakat akan tumbuh dan berkembang walaupun masyarakat telah memiliki kesempatan dan kemampuan yang cukup, tanpa adanya kemauan mereka untuk turut membangun. Adanya kemauan berpartisipasi akan menjadi faktor pendorong bagi individu untuk meningkatkan kompetensinya dan aktif mencari serta memanfaatkan setiap

(13)

peluang yang ada (Mardikanto, 2003). Kemauan dan kemampuan untuk berpartisipasi bersumber dari dalam diri individu atau kelompok masyarakat, sementara itu kesempatan berpartisipasi akan datang dari pihak lain yang memberikan kesempatan. Jika warga atau kelompok masyarakat ada kemauan berpartisipasi namun tidak memiliki kemampuan, maka partisipasi tidak akan terjadi walaupun diberikan peluang oleh pihak luar. Partisipasi juga tidak akan terwujud apabila tidak ada kesempatan dari pihak luar, walaupun kemauan dan kemampuan masyarakat ada. Kesempatan berpartisipasi yang datang dari pihak luar berhubungan dengan sistem politik negara, karena adanya perubahan paradigma tata pemerintahan suatu negara yang berdampak pada berubahnya pemaknaan dan mekanisme pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam penyelengaraan pembangunan. Mardikanto (2003) selanjutnya menjelaskan bahwa kesempatan yang dimaksud berhubungan dengan kemauan politik penguasa dari tingkat pusat sampai pada jajaran birokrasi terendah di daerah untuk melibatkan masyarakat dalam pembangunan, sejak dari pengambilan keputusan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, pemeliharaan, sampai kepada pemanfaatan pembangunan bagi masyarakat.

Studi tentang partisipasi masyarakat dan kaitannya dengan destinasi pariwisata dapat dilakukan di berbagai lokasi di Bali, salah satunya di Kintamani, sebuah destinasi pariwisata yang sudah dikenal oleh wisatawan mancanegara sejak jaman kolonial Belanda dan pernah menjadi destinasi yang sangat popular pada periode tahun 1970an sampai 1990an. Wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Bali pada masa itu menjadikan Kintamani sebagai daya tarik

(14)

wisata utama yang mesti dimasukkan ke dalam paket program perjalanan mereka. Destinasi pariwisata Kintamani terus berkembang dengan segala dinamikanya, dan sejak tanggal 20 September 2012 Kaldera Batur yang menjadi daya tarik utama wilayah ini telah diakui sebagai anggota Global Geopark Network (GGN) satu-satunya di Indonesia, serta Pura dan Danau Batur beserta sistem subaknya juga diakui sebagai world cultural heritage oleh UNESCO. Tidak banyak destinasi pariwisata di dunia yang secara bersamaan pada wilayah yang sama mendapatkan dua pengakuan international seperti yang telah diperoleh Batur – Kintamani.

Masyarakat Kintamani sendiri belum memahami secara utuh keberadaan geopark, apa manfaatnya buat mereka, dan bagaimana pengaruh keberadaannya terhadap perbaikan kehidupan mereka. Sudah berjalan dua tahun keberadaan Batur Global Geopark, namun belum terlihat adanya tanda-tanda perubahan ke arah yang lebih baik dari perilaku masyarakat Kintamani dalam memberikan pelayanan kepada wisatawan. Bahkan praktik-praktik pembangunan pariwisata di Kintamani saat ini dapat dikatakan masih jauh dari prinsip-prinsip sustainability, yang apabila dibiarkan akan sangat mengancam keberadaan geopark. Fakta di lapangan menunjukkan adanya perilaku yang cenderung merusak dari masyarakat lokal maupun pengusaha terhadap kepariwisataan di destinasi tersebut, yang dapat diamati dari beberapa indikator, yaitu:

a) Eksploitasi berlebihan terhadap alam dan lingkungan terutama adanya usaha galian C (pasir dan batu) beserta aktivitas ikutannya di Kintamani. Penggalian terhadap batu sisa letusan Gunungapi Batur yang dilakukan

(15)

secara masif dan tidak terkendali, dapat menghilangkan bukti-bukti sejarah letusan (geosite), sehingga mengancam eksisitensi Batur Global Geopark; b) Pembangunan sarana wisata (restoran) di tepi jurang yang tidak terencana

dan kurang mengindahkan estetika lingkungan, sehingga sangat berbahaya bagi keselamatan pengunjung terutama apabila terjadi tanah longsor. Bangunan-bangunan tersebut juga menutupi keindahan Kaldera Batur, yang merupakan selling point dari kawasan. Selain itu praktik berbisnis para pengusaha restoran yang memberikan komisi berlebihan kepada sopir dan guide berdampak buruk terhadap kualitas produk dan pelayanan. c) Banyaknya sarana wisata berupa bangunan restoran yang terbengkalai

karena tidak mampu bertahan dalam persaingan usaha di wilayah Kintamani, terlihat kumuh dan kotor. Restoran yang mampu bertahan bahkan berkembang dengan pesat adalah restoran yang sebagian besar tidak memiliki ijin, yang lokasinya berada di sebelah timur jalan raya Panelokan, menutupi keindahan panorama Gunung dan Danau Batur. d) Perilaku masyarakat dalam memberikan pelayanan kepada wisatawan

yang cenderung tidak ramah dan mengganggu kenyamanan mereka. Wisatawan maupun biro perjalanan wisata seringkali mengeluh terhadap gangguan pedagang acung, guide liar, serta masih dijumpainya anggota masyarakat yang meminta-minta kepada wisatawan.

e) Pembuangan sampah sembarangan dan limbah pertanian yang mengalir ke Danau Batur, mengakibatkan danau tercemar berat oleh bahan organik dan pestisida. Belum lagi pencemaran sisa-sisa pakan ikan yang bersumber

(16)

dari perikanan danau (keramba) yang dikembangkan oleh masyarakat, menambah beratnya beban pencemaran Danau Batur.

Perilaku masyarakat Kintamani dalam pembangunan kepariwisataan tersebut saat ini banyak menimbulkan persoalan, khususnya dalam pemanfaatan sumberdaya wisata yang ada maupun dalam pemberian pelayanan kepada wisatawan. Pemerintah Kabupaten Bangli, telah berupaya untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut, diantaranya dengan mengatur jadual waktu pengangkutan dan mengalihkan jalur kendaraan pengangkut galian C agar tidak masuk ke jalur wisata. Namun segala upaya yang telah dilakukan tersebut sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Dampak dari berbagai persoalan yang belum terpecahkan tersebut adalah terjadinya penurunan kinerja kepariwisataan Kintamani yang ditunjukkan oleh menurunnya proporsi kunjungan wisatawan ke kawasan ini serta retribusi dan kontribusinya pada penyusunan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Bangli, seperti digambarkan pada Tabel 1.1.

Data Tabel 1.1 menunjukkan proporsi kunjungan wisatawan ke Kintamani dibandingkan kunjungan ke Bali yang fluktuatif, bahkan cenderung menurun. Data tersebut menggambarkan semakin menurunnya popularitas Kintamani sebagai destinasi pariwisata dibandingkan dengan destinasi lain, seperti Tanah Lot misalnya yang kecenderungan kunjungannya semakin meningkat. Untuk mengembalikan popularitas Kintamani sebagai destinasi pariwisata yang popular di Bali dan dalam kerangka upaya perwujudan kebijakan pengembangan destinasi pariwisata berkualitas, maka strategi pengembangannya dilakukan melalui penataan dan diversifikasi produk serta promosi pariwisata. Inisiatif pemerintah

(17)

pusat yang didukung sepenuhnya oleh pemerintah daerah dalam upaya menata kembali destinasi pariwisata Kintamani berdampak pada diterimanya Batur Global Geopark sebagai anggota GGN UNESCO serta Pura dan Danau Batur beserta subaknya sebagai warisan budaya dunia (world cultural heritage). Hal tersebut merupakan promosi ampuh untuk mengembalikan citra Kintamani sebagai ikon pariwisata Bali.

Tabel 1. 1

Kunjungan Wisatawan ke Kintamani, Retribusi dan Kontribusinya terhadap PAD Kabupaten Bangli Tahun 2003 – 2014

Tahun

Jumlah Wisatawan (orang) Persentase ke Kintamani Retribusi (rupiah) Kontribusi pada PAD Bangli (%) Langsung Ke Bali Ke Kintamani 2003 993.009 201.180 20,16 670.681.000 8,42 2004 1.458.309 267.139 18,32 887.192.000 12,00 2005 1.386.449 320.596 23,12 1.070.790.000 13,92 2006 1.250.317 259.344 18,89 794.910.500 8,18 2007 1.664.854 352.775 19,46 1.079.618.000 11,77 2008 1.968.892 437.207 22,21 1.352.466.500 10,68 2009 2.384.819 526.706 22,09 1.624.045.500 10,69 2010 2.546.023 418.143 16,42 1.813.462.500 11,66 2011 2.756.579 425,909 15,45 5,268,661,500 23,91 2012 2.892.019 548.152 18,95 5.204.775.000 12,77 2013 3.278.598 564.451 17,22 5.335.238.000 9,55 2014 3.766.638 584.127 16,12 6.335.238.000 11,73 Keterangan:

1. Titik puncak kunjungan wisatawan ke Kintamani terjadi tahun 1993 sebesar 64,79% dari total kunjungan wisatawan ke Bali. Tren pada tahun-tahun berikutnya menurun secara drastis sejak tahun 2002 hingga sekarang;

2. Kenaikan drastis retribusi pada tahun 2011 disebabkan adanya perubahan tarif masuk objek wisata dari Rp.2.500,- menjadi Rp.10.000,- per orang, efektif berlaku sejak Bulan Nopember 2010.

Sumber: BPS, DISPARDA Propinsi Bali, dan DISBUDPAR Kabupaten Bangli, 2014. Selain Batur Global Geopark telah diakui oleh dunia sebagai satu-satunya geopark anggota GGN dari Indonesia, sejak tahun 2011 pemerintah pusat melalui

(18)

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menjadikan Kintamani sebagai satu dari 15 model DMO (Destination Managemen Organization) di Indonesia. Definisi DMO yang dikemukakan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (2010) adalah:

‘... tata kelola destinasi pariwisata yang terstruktur dan sinergis yang mencakup fungsi koordinasi, perencanaan, implementasi, dan pengendalian organisasi destinasi secara inovatif dan sistemik melalui pemahaman jejaring, informasi dan teknologi, yang terpimpin secara terpadu dengan peranserta dari masyarakat lokal, pelaku/asosiasi, industri, akademisi dan pemerintah, yang memiliki tujuan, proses dan kepentingan bersama dalam rangka meningkatkan kualitas pengelolaan, volume kunjungan wisata, lama tinggal dan pengeluaran wisatawan serta manfaat bagi masyarakat lokal.

Pengembangan dan pengelolaan Batur Global Geopark Kintamani sebagai salah satu dari 15 DMO di Indonesia akan melibatkan berbagai pihak, diantaranya masyarakat lokal, pemerintah pusat maupun daerah serta pelaku usaha dengan kebutuhan yang berbeda, sehingga menjadi tidak sederhana dan penuh tantangan. Salah satu tantangannya adalah membangun kesadaran masyarakat akan perlunya peranan dan kontribusi dari setiap komponen untuk menciptakan sinergitas pengelolaan kepariwisataan. Keberhasilan pengelolaan Batur Global Geopark Kintamani terkait dengan tujuan pengembangannya, antara lain: peningkatan kesejahteraan masyarakat, kelestarian lingkungan alam maupun budaya dan tentu saja manfaatnya bagi wisatawan. Secara singkat tujuan pembangunan destinasi pariwisata seperti Batur Global Geopark Kintamani adalah untuk meningkatkan kualitas destinasi tersebut yang dapat diukur dari tingkat kepuasan wisatawan, tingkat kepuasan pelaku usaha pariwisata lokal, tingkat kepuasan masyarakat lokal dan kualitas lingkungan hidup (European Communities, 2003). Hal tersebut

(19)

hanya akan mungkin tercapai apabila ada integrasi antara masyarakat lokal, pemerintah dan pelaku usaha (industri pariwisata) dalam pembangunan destinasi pariwisata. Pemerintah sebagai salah satu agen pembangunan memiliki peranan strategis di dalam pembuatan kebijakan dan memberikan pelayanan bagi pembangunan suatu wilayah, seperti yang diungkapkan oleh Cavaye, J. (2002), yakni: pertama, pemerintah menyediakan pelayanan publik seperti pendidikan, hukum dan keadilan, kesehatan, dukungan sosial, kesejahteraan dan pemeliharaan infrastruktur; kedua, pemerintah berinvestasi untuk membangun infrastruktur fisik dengan menyediakan atau memberikan subsidi bagi pengembangan sarana publik seperti dam, infrastruktur transportasi dan komunikasi untuk meningkatkan akses terhadap sumberdaya dan pencapaian pertumbuhan ekonomi; ketiga, pemerintah menyediakan modal keuangan melalui pemanfaatan grant, pinjaman lunak, investasi publik dalam perusahaan swasta, dan pengaturan keuangan untuk mendorong bisnis dan kesempatan kerja; keempat, kebijakan pemerintah untuk peningkatan efisiensi ekonomi, mengendalikan perilaku sektor swasta untuk memperkuat manfaatnya bagi publik dan untuk mencapai equity yang lebih baik; dan kelima, pemerintah mendukung pengembangan berbagai sektor untuk memfasilitasi pembangunan ekonomi di wilayah perdesaan dan untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi nasional. Tujuan penting dari kebijakan pariwisata adalah untuk menjaga keberlanjutan nilai-nilai lokal, budaya dan kualitas kehidupan. Agar kebijakan pariwisata dapat berhasil, harus berurusan dengan perubahan yang akan terjadi pada kehidupan masyarakat dan lingkungan sekitarnya, singkatnya keberhasilan pembangunan pariwisata sangat tergantung

(20)

pada kerjasama dan partisipasi masyarakat lokal (Williams, D.R., et al, 1995). Pemerintah melalui kebijakannya di bidang regulasi maupun fasilitasi (Birkland, 2001) dan komunitas lokal dengan partisipasinya dibutuhkan dalam upaya mencapai tujuan pembangunan pariwisata, karena tanpa peran pemerintah, pemimpin komunitas dan masyarakat lokal maka industri pariwisata tidak akan berkembang (Aref & Ma’rof, 2008).

Destinasi pariwisata sebagai sebuah produk, kualitasnya secara terus menerus harus ditingkatkan sebagai konsekuensi logis dari wisatawan yang semakin cerdas dan menuntut untuk bisa mendapatkan lebih banyak (more demanding) serta dapat memperoleh value for money, selain juga disebabkan karena tingkat persaingan destinasi di tingkat lokal maupun regional bahkan di tingkat international yang semakin tajam. Wisatawan akan menuntut kualitas destinasi yang semakin tinggi, mereka menuntut pelayanan yang lebih baik, ingin mendapatkan pengalaman berwisata yang lebih variatif, dan berharap penduduk lokal dapat menerima serta menyambut kedatangan mereka dengan keramahan dan ketulusan mereka.

Kualitas destinasi juga dapat diindikasikan oleh terpenuhinya kebutuhan serta tercapainya tingkat kepuasan masyarakat lokal sebagai anggota komunitas yang ada di destinasi tersebut karena perkembangan pariwisata. Masyarakat lokal merasakan kondisi perekonomian keluarga mereka lebih baik, kesempatan kerja maupun peluang usaha dan investasi di desa meraka semakin tinggi, demikian juga yang terjadi pada aspek sosial budaya.

(21)

Pelaku usaha pariwisata yang merupakan stakeholder lainnya yang ada di destinasi, juga menjadi komponen yang sangat vital dalam menentukan kualitas destinasi. Tingkat persaingan usaha, kemudahan mendapatkan ijin usaha, tingkat profitabilitas dan perkembangan usaha, serta kesejahteraan karyawan, merupakan sebagian dari komponen penting yang menjadi indikator tingkat kepuasan para pelaku usaha tersebut yang dapat menunjukkan kualitas destinasi.

Kualitas destinasi selain dapat diteropong dari ke tiga aktor tersebut di atas (wisatawan, masyarakat lokal, dan para pelaku usaha), juga dicirikan oleh kualitas lingkungan yang ada di destinasi. Keberadaan sampah kawasan, pencemaran air dan udara, estetika lingkungan, merupakan indikator-indikator kualitas lingkungan yang sangat menentukan kualitas destinasi.

Batur Global Geopark Kintamani sebagai destinasi yang pernah menjadi icon pariwisata Bali, agar tetap eksis dalam persaingan destinasi yang semakin tajam, harus terus menerus berbenah dan berusaha untuk meningkatkan kualitasnya. Hal tersebut menjadi keniscayaan dalam upaya mewujudkan pembangunan pariwisata yang tidak saja mampu memberikan kesejahteraan kepada masyarakat lokal, namun juga kepada para pelaku usaha, dan terutama dapat memberikan kepuasan kepada wisatawan yang menjadi konsumen dari destinasi tersebut, tanpa mengabaikan kualitas lingkungan. Hal ini menjadi tugas berat bagi seluruh stakeholder, misalnya pemerintah dengan kebijakan dan fasilitasinya dalam pembangunan harus mampu menyediakan berbagai sarana prasarana maupun fasilitas wisata, serta mampu menciptakan kondisi agar masyarakat terdorong untuk berpartisipasi dalam pembangunan, dan pengusaha dapat dengan tenang menjalankan usahanya. Masyarakat lokal yang menjadi

(22)

subyek pembangunan, juga harus mampu menjadi tuan rumah baik yang dengan ramah menyambut kedatangan wisatawan dan memberikan informasi serta pelayanan yang memadai. Para pelaku usaha juga diharapkan mampu menyajikan produk-produk berkualitas serta pelayanan yang profesional kepada wisatawan, sehingga mereka terkesan atas pengalaman tak terlupakan yang mereka rasakan selama berada di destinasi.

Dari uraian sebelumnya, terdapat benang merah yang mengaitkan antara partisipasi masyarakat dengan peran pemerintah dalam mewujudkan destinasi pariwisata berkualitas sebagai isu utama penelitian ini. Kualitas destinasi menjadi suatu keniscayaan, karena paling tidak ada tiga alasan penting kenapa destinasi pariwisata tersebut harus berkualitas, yakni pertama dari perspektif wisatawan, bahwa mereka ingin mendapatkan value for money atas pengeluran yang mereka lakukan selama menikmati destinasi yang dikunjunginya, artinya wisatawan ingin memperoleh pelayanan yang lebih baik, pengalaman berwisata yang variatif, sambutan dan keramahan penduduk lokal (hospitality), serta harga yang reasonable; kedua dari sudut pandang produk dan manajemen, yakni tingginya persaingan antar destinasi pada tingkat lokal, regional, nasional bahkan global. Untuk memenangkan persaingan tersebut dibutuhkan kualitas destinasi yang tinggi yang hanya dapat dicapai melalui manajemen dan tata kelola destinasi yang profesional; ketiga dari perspektif kepentingan masyarakat lokal sebagai subjek pembangunan kepariwisataan. Tingginya kualitas destinasi akan memberikan jaminan terhadap keberlanjutan kepariwisataan di wilayah mereka, karena wisatawan akan semakin banyak yang berkunjung, masa tinggal mereka lebih lama, dan pengeluaran mereka lebih tinggi, sehingga masyarakat lokal akan

(23)

memperoleh manfaat ekonomi, dan sosial budaya yang pada akhirnya akan berujung pada tingkat kesejahteraan mereka yang lebih baik.

Peningkatan kualitas destinasi tidak terlepas dari partisipasi masyarakat lokal dan peran pemerintah. Sebagai regulator pemerintah dapat menyusun kebijakan untuk mengatur kegiatan pembangunan kepariwisataan di suatu wilayah, demikian pula fungsinya sebagai fasilitator, pemerintah dapat memfasilitasi pembangunan tersebut dengan menyediakan infrastruktur yang dibutuhkan, membangun sarana prasarana maupun fasilitas umum, serta membuat berbagai pelatihan dan pemberian bantuan pendanaan dalam rangka pengembangan sumberdaya manusia. Pada akhirnya, semua itu akan sia-sia tanpa dukungan masyarakat lokal dalam bentuk partisipasi yang mereka lakukan dalam pembangunan kepariwisataan di wilayahnya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, selanjutnya dapat diidentifikasi masa-lah utama penelitian ini yaitu “apa sesungguhnya yang terjadi pada pembangunan kepariwisataan di Batur Global Geopark Kintamani (BG2K), terutama yang berkaitan dengan kualitas destinasi, partisipasi masyarakat lokal dan peran pemerintah?”. Selanjutnya permasalahan penelitian ini dielaborasi lebih dalam dengan merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengaruh partisipasi masyarakat lokal terhadap kualitas Batur Global Geopark Kintamani?

2. Bagaimanakah pengaruh peran pemerintah terhadap kualitas Batur Global Geopark Kintamani?

(24)

3. Bagaimanakah pengaruh interaksi peran pemerintah dengan partisipasi masyarakat lokal terhadap kualitas Batur Global Geopark Kintamani?

4. Bagaimanakah pengaruh kualitas Batur Global Geopark Kintamani terhadap tingkat kepuasan masyarakat lokal sebagai refleksi dari kualitas destinasi tersebut?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:

1. Menganalisis pengaruh partisipasi masyarakat lokal terhadap kualitas Batur Global Geopark Kintamani.

2. Menganalisis pengaruh peran pemerintah terhadap kualitas Batur Global Geopark Kintamani.

3. Menganalisis pengaruh interaksi peran pemerintah dengan partisipasi masyarakat lokal terhadap kualitas Batur Global Geopark Kintamani. 4. Menganalisis pengaruh kualitas Batur Global Geopark Kintamani terhadap

tingkat kepuasan masyarakat lokal sebagai refleksi dari kualitas destinasi tersebut.

1.4 Manfaat Penelitian

Secara teoritis penelitian ini bermanfaat untuk pengembangan ilmu pe-ngetahuan di bidang ekonomi kepariwisataan khususnya yang berhubungan dengan partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan pengelolaan Batur Global Geopark di Bali. Sedangkan dari sisi praktisnya, penelitian ini bermanfaat sebagai bahan masukan bagi para pemangku kepentingan dalam upaya membangun partisipasi masyarakat di suatu kawasan pariwisata. Pengelolaan destinasi

(25)

pariwisata melalui partisipasi masyarakat diharapkan dapat menjadikan destinasi tersebut berkualitas dan berkelanjutan (sustainable) serta manfaatnya dapat dinikmati oleh masyarakat lokal, sehingga kesejahteraannya meningkat. Selain itu, destinasi pariwisata yang telah terbangun dapat dikelola dengan baik dan lebih berkualitas yang ditandai oleh meningkatnya kepuasan masyarakat lokal.

Lebih rinci hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat:

1. Bagi perguruan tinggi, sebagai bahan kajian tentang ekonomi kepari-wisataan khususnya mengenai peranan partisipasi masyarakat lokal dalam pembangunan dan upaya untuk meningkatkan kualitas destinasi;

2. Bagi pemerintah, sebagai bahan masukan dalam penyusunan kebijakan dan regulasi di bidang pembangunan serta pengelolaan destinasi pariwisata berkualitas;

3. Bagi masyarakat dan pelaku usaha pariwisata, sebagai pengetahuan tentang peranan mereka dalam meningkatkan kualitas destinasi pariwisata, khususnya Batur Global Geopark Kintamani.

Referensi

Dokumen terkait

PCNU Kota Semarang juga sependapat dengan bapak K.H Ubaidilah Shodaqoh bahwa barang antik itu wajib dizakati jika barang antik itu dijual dan nilainya mencapai satu

menyenangkan merupakan tempat yang tidak akan membosankan dan dapat menambah gairah kerja terhadap pegawai dalam rangka mendukung peningkatan mutu kegiatan

Karena teman Intan yang akan dibagi 15 orang maka setiap orang memperoleh donat sebanyak (60 : 15) donat = 4 donat. 1) Semakin bertambah banyak teman Intan yang akan dibagi

Hasil Persepsi Nasabah Mengenai Tingkat Suku Bunga, Promosi dan Kualitas Pelayanan Berpengaruh Positif dan Signifikan terhadap minat menabung Secara simultan

Kelompok representatif yang bersentuhan langsung dengan kepentingan pelestarian kawasan seperti petani, hunian dan pengusaha perlu mengambil inisiatif lokal untuk

Solusi untuk menghasilkan bangunan yang mampu memberikan citra kesenian Budaya yang tradisional namun lebih modern dalam fasadenya dan aplikasi terhadap pandangan

5.252.900 perbulannya.Terdapat kompensasi lain yang diberikan manajemen Direktorat JendralPemasyarakatan, Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk memotivasi pegawainya

Kriteria inklusi dalam penelitian ini yaitu lima aspek bauran pemasaran meliputi product, price, place, promotion, dan process, serta penggunaan body lotion merek