• Tidak ada hasil yang ditemukan

Angkatan 66 KELOMPOK 7. ANGGOTA KELOMPOK: -Septia Anandita ( ) -Elya Primariz( ) 1. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Angkatan 66 KELOMPOK 7. ANGGOTA KELOMPOK: -Septia Anandita ( ) -Elya Primariz( ) 1. Latar Belakang"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Angkatan ‘66

KELOMPOK 7

ANGGOTA KELOMPOK: -Septia Anandita (2001045047) -Elya Primariz(2001045011)

1. Latar Belakang

Munculnya sastra angkatan ‘66 ini didahului dengan adanya kemelut di segala bidang kehidupan di Indonesia yang disebabkan oleh aksi teror politik G30S/PKI dan ormas-ormas yang bernaung dibawahnya. Angkatan ‘66 mempunyai cita-cita ingin adanya pemurnian pelaksanaan Pancasila dan melaksanakan ide-ide yang terkandung di dalam Manifest Kebudayaan. Tumbuhnya sastra angkatan ‘66 sejalan dengan tumbuhnya aksi-aksi sosial politik di awal angkatan ‘66 yang dipelopori oleh KAMMI/KAPPI untuk memperjuangkan Tritura.

Sebelum nama angkatan ‘66 diresmikan, ada yang memberi nama angkatan Manifest Kebudayaan (MANIKEBU). Alasan penamaan ini karena Manifest

Kebudayaan yang telah dicetuskan pada tahun 1963 itu pernyataan tegas perumusan perlawanan terhadap penyelewengan Pancasila dan perusakan kebudayaan oleh Lekra/PKI. Beberapa sastrawan merasa keberatan dengan nama angkatan MANIKEBU. Mereka berpandangan bahwa sastrawan yang tidak ikut

menandatangani atau mendukung Manifest Kebudayaan akan merasa tidak tercakup di dalamnya, meskipun hasil ciptaannya menunjukkan ketegasan dalam menolak ideologi yang dibawa oleh PKI dalam lapangan politik dan kebudayaan.

Istilah angkatan 66 pertama kali diperkenalkan oleh H.B. Jassin dalam sebuah karangannya dalam majalah Horison (Agustus 1966), yang bertajuk “Angkatan 66: Bangkitnya Satu Generasi”.

Yang termasuk angkatan 66, menurut H.B. Jassin ialah “mereka yang tak kala tahun 1966 masih berumur kira-kira 6 tahun dan baru masuk sekolah rakyat, jadi mereka yang tahun ’66 kira-kira berumur 25 tahun. Mereka inilh yang telah giat menulis dalam majalah-majalah sastra dan kebudayaan sekitar tahun 55-an, seperti Kisah, Siasat, Mimbar Indonesia, Budaya Indonesia, Konfrontasi, Cerita Prosa, Sastra, Basis, dan lain-lain.

2. Karakteristik Angkatan 66 • bercorak politis;

• beraliran surealistik; dan

(2)

3. Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada Angkatan 66

A. Angkatan 66 dalam perangkap Politik

Pada awal tahun lima puluhan terjadi polemik yang seru juga antara orang-orang yang membela hak hidup Angkatan 45 dengan orang-orang-orang-orang yang mengatakan “Angkatan 45 sudah mampus” yang berpangkal pada suatu sikap politik. Pihak yang berpaham realisme-sosialis, paham yang menjadi filsafat-seni kaum komunis aktif mengadakan polemik. Penganut paham realisme-sosialis yang paling keras

teriakannya ialah As Dharta yang menjadi pokok soal bahan polemik-polemik ialah paham “seni untuk seni” dan “seni untuk rakyat”. Orang-orang yang menganut paham realisme sosialis berpaham “seni untuk rakyat” sambil mengutuk orang-orang yang berpaham “seni untuk seni” sebagai penganut “humanisme universal” yang dicapnya sebagai filsafat kaum borjuis kapitalis yang bobrok.

Di antara polemik-polemik itu, karena kedua belah pihak menulis dengan kepala dingin dan pandangan yang luas serta hati terbuka, maka yang terjadi sekitar tahun 1954 antara Boejoeng Saleh Poeradisastro dengan Soedjatmoko berkenaan dengan pandangan-pandangan Soedjatmoko dalam karangannya “Mengapa Konfrontasi”. Pada tahun 1950 berdirilah di Jakarta Lembaga Kebudayaan Rakyat yang kemudian lebih terkenal dengan sebutan Lekra. Sebagai sekretaris jenderalnya yang pertama bertindak As. Dharta. Pada mulanya Lekra ini belum merupakan organ kebudayaan dari PKI. Di antara yang hadir pada ketika pembentukan Lekra itu terdapat orang-orang yang kemudian menjadi musuh, antara lain: H.B. Jassin dan Achdiat K. Mihardja.

Setelah PKI kuat kedudukannya, Lekra secara resmi menjadi organ

kebudayaannya. Lekra dengan tegas menganut “seni untuk rakyat” dan menghantam golongan yang menganut paham “seni untuk seni”. Dalam gelanggang percaturan politik, PKI makin kuat kedudukannya. Tahun 1959 Soekarno mendekritkan UUD 1945 berlaku lagi dan mengajukan “Manifesto Politik” (Manipol) sebagai dasar haluan negara. Manipol memberikan ruang gerak kepada PKI untuk merebut tempat-tempat dan posisi-posisi penting untuk merebut kekuasaan. Dalam usaha

mempersiapkan diri untuk merebut kekuasaan, PKI mengerahkan segala kekuatan di segala bidang. Dalam bidang kebudayaan dilakukan oleh Lekra. Lekra melakukan teror terhadap orang-orang dan golongan yang dianggapnya tidak sepaham. Maka, disusunlah konsep ”Manifes Kebudayaan” oleh Wiratmo Soekito pada tanggal 17 Agustus 1963 yang akhirnya didiskusikan dengan beberapa penulis, pelukis, pengarang dan seniman, di antaranya: H.B. Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Bokor Hutasuhut, Goenawan Moehammad, Bur Rasuanto, A. Bastari Asnin, Soe Hok Djin (Arif Budiman), Ras Siregar, D.S. Moeljanto, Sjahwil, dan

(3)

Djufri Tanissan, dalam sebuah pertemuan di Jl. Raden Saleh 19, pada tanggal 23-24 Agustus pada tahun yang sama.

Dari hasil pertemuan itu, lahirlah manifes kebudayaan yang isinya kurang lebih berupa pernyataan bahwa kesenian (kesusastraan) Islam ialah manifestasi dari rasa, karsa cipta, dan karya manusia muslim dalam mengabdi kepada Allah untuk kehidupan ummat manusia, atau melihat setahun sebelumnya, ketika Majelis Seniman dan Budayawan Islam pernah mengatakan bahwa tujuan kebudayaan pada umumnya dan kesenian pada khususnya tidaklah semata bertujuan “seni untuk seni” atau “seni untuk rakyat” tetapi harus diluhurkan menjadi, “seni untuk kebaktian ke hadirat Allah”; sebaiknya tidak dimaknai dengan menggunakan kerangka berpikir yang dogmatis. Ada satu hal yang perlu digaris bawahi dalam kedua pernyataan di atas, yaitu bahwa kesusastraan Islam, kalaupun berawal dari manusia muslim, pada

akhirnya adalah umat manusia secara universal. Di sini ada usaha untuk merobek tirai dogmatisme baik dalam kesastraan ataupun keislaman itu sendiri.

Manifes kebudayaan ini segera mendapatkan sambutan dari pelosok tanah air. Di pihak lain, manifes mempermudah Lekra beserta kampanyenya untuk

menghancurkan orang-orang yang mereka anggap sebagai musuh. Namun, pihak manifes pun tidak tinggal diam mereka mempersiapkan konferensi pengarang yang mereka namakan Konferensi Karyawan Pengarang Se-Indonesia (KKPI). Konferensi ini berlangsung di Jakarta bulan Maret 1964, yang menghasilkan Persatuan Karyawan Pengarang Indonesia (PKPI). Tapi, sebelum PKPI berjalan, Soekarno (presiden saat itu) menyatakan manifes kebudayaan terlarang. Para budayawan, seniman, dan pengarang penandatanganan manifes kebudayaan diusir dari tiap kegiatan, ditutup kemungkinan mengumumkan karya-karyanya, bahkan yang menjadi pegawai pemerintah dipecat dari pekerjaannya.5 Istilah ‘Manikebuis’ menjadi populer digunakan untuk menuduh seseorang kontra revolusi, manipol, lisdek, anti-nasakom dan sebagainya. Majalah sastra dituntut dilarang terbit. Demikian juga majalah Indonesia, dan lain-lain.

Situasi ini memberi ciri kepada karya-karya sastra yang dihasilkan pada periode ini. Yang ingin membela kemerdekaan manusia yang diinjak-injak tirani mental dan fisik. Sajak-sajak, cerpen-cerpen, terutama esai-esai yang ditulis merupakan protes sosial dan protes terhadap penginjakan martabat manusia. Puncaknya adalah sajak-sajak Taufiq Ismail, Mansur Samin, Slamet Kirnanto, Bur Rasuanto, dan lain-lain yang ditulis ditengah demonstrasi mahasiswa dan pelajar awal tahun 1966.

Sajak-sajak demonstrasi yang dikumpulkan Taufik Ismail dalam Tirani dan Benteng (tahun 1966) merupakan dari suatu period sejak tahun 1966, terbit Majalah Horison yang dipimpin Mochtar Lubis, H.B Jassin, Taufiq Ismail, Goenawan

Mohamad, Arief Budiman, dan lain-lain. Akhir tahun 1967, majalah sastra dihidupkan kembali dengan pimpinan redaksi H.B jassin. Terbit pula Majalah Cerpen dipimpin Kassim Achmad dan D.S Moeljanto. Sejak Juni 1968 terbit Majalah Budaya Djaja yang dipimpin Ilen Surianegara dengan redaksi Ajip Rosidi dan Hariyadi S. Hartowardjojo. Majalah-majalah itu isinya menunjukkan hasil-hasil masa transisi.

(4)

B. Tentang Para Pengarang Lekra

Karangan-karangan yang ditulis oleh pengarang bukan anggota Lekra, asalkan menguntungkan bagi pihak Lekra, maka karangan tersebut diterbitkan juga. Misalnya kumpulan sajak Sitor Situmorang yang berjudul “Zaman Baru” tahun 1962 diterbitkan oleh organ penerbitan Lekra.

Selain ruangan kebudayaan dalam surat kabar partai Harian Rakyat yang dipimpin oleh NR. Bandaharo, Lekra mempunyai majalah Zaman Baru yang dipimpin oleh Rivai Apin, S. Anantaguna dan lain-lain. Beberapa bulan menjelang Gestapu, mereka menerbitkan harian Kebudayaan Baru yang dipimpin oleh S. Antaguna, yang dalam penerbitannya selalu dimuat sajak-sajak, cerpen-cerpen, esai-esai dan karangan-karangan lain baik asli maupun terjemahan karya para anggota Lekra atau bukan. Paramoedya Ananta Toer yang merupakan salah seorang ketua lembaga seni sastra (Lekra) dan salah seorang anggota pleno Pengurus Pusat Lekra, memimpin ruangan kebudayaan lentera dalam surat kabar Bintang Timur minggu, yang resminya ialah koran Partindo.

Di antara golongan nama-nama baru yang untuk pertama kali menulis, ada juga nama-nama yang sudah dikenal sebagai pengarang yang kemudian masuk Lekra. Nama-nama yang sudah dikenal itu antara lain Rivai Apin, S. Rukiah, Kuslan

Budiman, S. Wisnu Kontjahjo, Sobron Aidit, Utuy T. Sontanz Dadang Djiwapradja, paramoedya Ananta Toer dan lain-lain. Di antara para penulis yang namanya sejak mulai muncul selaku dalam lingkungan Lekra ialah A.S, Dharta Bachtiar Siagin, Bakri Siregar, Hr. Bandaharo, F.L. Risakorta, Zubir A.A, A. Kohor Ibrahim, Amarzam Ismail Hamid, S. Anantaguna. Again Wispi, Kusni Sulang, B.A Simanjuntak, Sugiarti Siswandi, Hadi S dan lain-lain. AS Dharta alias Kelana Asmara, alias Klara Akustia alias Yogaswara alias Garmaraputra dan sejumlah alias lagi nama sebenarnya ialah Rodji, lahir di Cibeber, Cianjur tanggal 7 Maret 1923. Ia seorang pendiri Lekra dan menjadi sekretaris jenderalnya yang pertama, ia pernah menjadi anggota konstitutuante sebagai wakil PKI dan dipecat oleh Lekra.

Bachtiar Siangin banyak menulis Sandiwara. Ia menerbitkan beberapa buku sandiwara, diantaranya Lorong Belakang (1950). Agam Wispi lahir di Idi, Aceh tahun 1934. Mula-mula menulis cerpen dan sajak, kemudian esai dan bentuk-bentuk sastra lain. Sejumlah sajaknya dimuat juga dalam berbagai penerbitan bersama yang dikumpulkan dalam “sahabat” (1959). S. Anantaguna (lahir di Klaten tanggal 9 Agustus 1930) mula-mula menulis sajak-sajak tetapi kemudian menulis juga cerpen dan karangan-karangan lain. Sajak-sajak yang diterbitkan dalam kumpulan “yang Bertanah Air Tapi Tidak Bertanah” (1964). Sobron Aidit lahir di Belitung 2 Juni 1934 juga mula-mula hanya menulis sajak kemudian juga menulis cerpen dan roman.

Sajak-sajak awal (sebelum ia aktif menjadi anggota Lekra) sebagian dimuat dalam kumpulan bersama Asip Rosidi dan S.M. Ardan berjudul “Ketemu di Jalan” (1956). Sejumlah sajaknya dibukukan dalam palang bertempur (1959) sedangkan cerpen dan novel revolusinya diterbitkan dengan judul Derap Revolusi (1962). Hadi S. yang nama panjangnya ialah Hadi Sosrodanukusumo terutama menulis sajak yang sebagian telah diterbitkan dengan judul “Yang Jatuh dan Yang Tumbuh” (1954).

(5)

Penyair Lekra diantara yang muda ialah Amarzan Ismail Hamid (lahir ?) yang kadang-kadang juga menulis cerpen dan esai.

C. Para Pengarang Keagamaan

Pesaing Lekra dalam bidang penerbitan buku-buku sastra barangkali hanya Lembaga Kebudayaan Kristen (Lekrindo) saja. Beberapa buku kumpulan sajak dan cerita-cerita karangan para pengarang Kristen yang pernah diterbitkan antara lain “Kidung Keramahan” (1963) kumpulan sajak Soeparwata Wiratmadja ‘Hari-hari Pertama oleh Gerson Poyk, dan kumpulan sejak malam sunyi (1961) dan basah dan peluh (1962) kedua-duanya buah tangan Fridolin Ukur. Buku-buku karya sastra yang bernafaskan agama Islam tidaklah diterbitkan oleh lembaga-lembaga atau badan-badan yang ada sangkut pautnya dengan lembaga-lembaga kebudayaan itu kumpulan-kumpulan cerpen dan roman. Kumpulan cerpen dan roman Djamil Suherman yang berdujul “Umi Kalsum” dan “Perjalanan Ke Akhirat” diterbitkan oleh penerbit Nusantara. Kumpulan sajak M. Saribi Afn “Gema Lembah Cahaya” (1964) diterbitkan oleh Pembangunan.

Dan kumpulan sajak delapan orang penyair Islam yang berjudul “Manifes” (1963) diterbitkan oleh penerbit Tintamas, Bandung.

Di antara para pengarang keagamaan lain yang telah menulis sajak-sajak dan cerpen-cerpen yang dimuat dalam majalah-majalah. Tetapi belum menerbitkan buku, antara lain patut disebut di sini M. Abnar Romli, Abdul Hadi W.M, B. Jass, M. Josa Biran, Moh. Diponegoro dari agama Islam dan M. Poppy Hutagalung, Andre Hardjana, Satyagraha Hoerip Soeprobo, Bakti Soemanto, J. Sijaranamual dan lain-lain dari agama Kristen dan Katolik.

D. Sajak-Sajak Perlawanan Terhadap Tirani

Para mahasiswa dan pelajar di Indonesia berdemonstrasi menuntut untuk membubarkan PKI, ritual kabinet Dwikora dan turunkan harga, yang biasa disebut Tritura. Para pengarang dan penyair pun turut serta secara aktif dengan cara menulis sajak-sajak perlawanan terhadap tirani. Diantaranya adalah ”Tirani dan Benteng” oleh Taufiq Ismail, ”Perlawanan” oleh Mansur Samin, ”Mereka Telah Bangkit” oleh Bur Rasuanto, ”Pembebasan” oleh Abdul Wahid Sitomorang, ”Kebangkitan” oleh lima penyair mahasiswa Fakultas Sastra Ribeli yang ditulis oleh Aldiah Arifin, Djohan A. Nasution dan dua pengaduan Lubis, dan sajak-sajak yang lain. Yang paling menonjol adalah kumpulan sajak Tirani yang tercetak pada tahun 1966 dan Benteng tahun 1968.

Adanya protes sosial dan politik dalam sajak itu menyebabkan H.B. Jassin memperoklamasikan lahirnya ‘Angkatan 66” dalam majalah Horison (1966), yang mengatakan bahwa khas pada hasil-hasil kesusastraan 66 ialah protes sosial dan protes politik. H.B. Jassin mengatakan bahwa pengarang yang masuk “Angkatan 66” adalah mereka yang pada tahun 1945 berumur kira-kira 6 tahun dan pada tahun 1966 berumur 25 tahun, mereka adalah Ajip, Rendra, Yusach Ananda, Bastari Asnin, Hartoyo Andangdjaja, Mansur Samin, Sarbini Afn, Goenawan Mohammad. Indonesia O’Galelano, Taufiq Ismail, Navis, Soewardi Idris, Djamil Suherman, Bokar

(6)

Terhadap ‘Angkatan 66’ ini timbul berbagai reaksi Rachmat Djoko Pradopo di Horison (1967) menyambut ‘Angkatan 66” sastra Indonesia dengan baik, sedangkan Satyagraha Hoerip Soeprobo dan Arief Budiman lebih menyukai nama ‘Angkatan Manifes Kebudayaan’.

4. Tokoh dan karya sastra yang berpengaruh

• Taufik Ismail. Lahir di Bukit Tinggi tahun 1937. Profesinya adalah seorang dokter hewan, juga dikenal sebagai seorang penyair yang handal. Sajak-sajaknya penuh dengan protes-protes terhadap ketidakadilan dan

penyelewengan.Karyanya: Sajak “Sebuah Jaket Berlumuran Darah”, buku kumpulan sajak “Tirani” dan “Banteng”

• Gunawan Muhammad, lahir 29 Juli 1941 di Batang, Pekalongan. Tulisannya, baik puisi maupun esai-esainya banyak dimuat dalam harian “abadi”, majalah “Sastra” seperti Horison dan Basis.Karyanya: Almanak, Pertemuan, Riwayat, dll.

• Saini K. M. Lahir di Sumedang tahun 1938. Beliau menulis beberapa prosa, seperti novel, cerpen, puisi termasuk drama. Disamping itu ada juga karyanya seperti kritik danesai. Sajak-sajaknya yang terkenal diterbitkan dalam kumpulan sajak yang diberi judul “Nyanyian Tanah Air”4.

• Sapardi Djoko Damono, lahir 23 Maret 1940 di Solo, beliau adalah lulusan Universitas Gajah Mada.Karyanya: sajak “Siapakah Engkau”, “Doa Ditengah-tengah Masa”, “Doa Para Pelaut yang Tabah”, dll.

• Gerson Poyk, lahir 16 Juni 1931 di Pulau Roti. Karyanya yang terkenal adalah “Hari-hari Pertama” bersifat religious, Mutiara di Tengah

Sawah.Karyanya: “Hari-hari Pertama” bersifat religious, Mutiara di TengahSawah.

• Toety Heraty, lahir 27 November 1933 di Bandung. Beliau adalah lulusan Fakultas Psikologi di UI dan sebagai dosen di Almamaternya.Karyanya: Sajak 33, Aku dan Budaya, dan Bersama-sama A. Teeuw menyunting

Referensi

Dokumen terkait

Teori Health Promotion Model (HPM) menurut Pender a. Pender berkomitmen pertama kali pada profesi keperawatan ketika berusia 7 tahun. Keinginannya untuk memberikan

Homo habilis merupakan suatu spesies dari genus Homo yang hidup sekitar 2,5 juta sampai 1,8 juta tahun yang lalu pada masa awal Pleistosen.. Definisi untuk spesies ini pertama

Peralatan operasi ini baru di luncurkan pada tahun 2009 dan Rumah Sakit Khusus Mata Sumatera Medan yang menggunakannya pertama kali di Indonesia, namun kunjungan ulang pasien

Keterampilan menulis adalah merupakan (a) pemindahan pikiran dan perasaan ke dalam bentuk lambang bahasa (b) kemampuan menggunakan tata bahasa secara tertulis

Indikator kinerja Indeks ketersediaan SNI berkekuatan hukum untuk produk Indonesia sesuai kepentingan nasional merupakan indikator kinerja baru di BSN sebagai