• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. karena sastra diproduksi dan distrukturisasi dari berbagai perubahan realitas tersebut.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. karena sastra diproduksi dan distrukturisasi dari berbagai perubahan realitas tersebut."

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

Sastra dan realitas sosial masyarakat menjadi dua hal yang tidak dapat dipisahkan karena sastra diproduksi dan distrukturisasi dari berbagai perubahan realitas tersebut. Realitas pada sastra merupakan suatu cara pandang penciptanya dalam melakukan pengingkaran atau penelusuran atas realitas sosial yang melingkupi kehidupannya. Dengan demikian, sastra merupakan potret sosial yang menyajikan kembali realitas masyarakat yang pernah terjadi dengan cara yang khas sesuai dengan penafsiran dan ideologi pengarangnya.

Menurut Sumarjo (1982: 15) pengarang adalah anggota salah satu masyarakat manusia. Ia hidup dan berelasi dengan orang-orang lain di sekitarnya. Maka tak mengherankan kalau terjadi interaksi dan interelasi antara pengarang dan masyarakatnya. Selalu dapat ditarik sifat relasi antara karya sastra dengan masyarakat di mana pengarang hidup.

Struktur karya sastra dibentuk dari proses strukturasi nilai-nilai yang terjadi pada realitas masyarakat. Struktur karya sastra lahir dan dibentuk oleh struktur ideologi masyarakat, sedangkan struktur masyarakat juga dipengaruhi oleh struktur karya sastra. Oleh karena hubungan dialektik inilah, maka sosiologi sastra hadir sebagai disiplin ilmu yang berusaha memahami dan menjelaskan fenomena dua struktur tersebut. Dengan tampilnya sosiologi sastra sebagai metode yang mengalienasikan karya terhadap struktur sosial yang menghasilkannya, lahirlah teori-teori yang secara konseptual paradigmatis ditujukan dalam analisis sosiologi sastra. Teori-teori sosiologi sastra pada umumnya

(2)

diadopsi melalui teori-teori Barat yang kemudian disesuaikan dengan kondisi sastra Indonesia. Teori tersebut salah satunya adalah teori hegemoni oleh Antonio Gramsci.

A. Sastra Sebagai Cermin Masyarakat

Menurut Soekanto (1993: 104-105) masyarakat adalah suatu totalitas dari orang-orang yang saling tergantung dan yang mengembangkan suatu kebudayaan tersendiri. Walaupun penggunaan istilah masyarakat sangat samar-samar dan umum, akan tetapi hal itu dapat dianggap sebagai indikasi dari hakikat manusia yang senantiasa ingin hidup bersama dengan orang lain. Penggunaan istilah masyarakat tidak akan mungkin dilepaskan dari nilai-nilai, norma-norma, tradisi, kepentingan-kepentingan, dan sebagainya. Oleh karena itu, maka pengertian masyarakat tidak mungkin dipisahkan dari kebudayaan dan kepribadian.

Disadari atau tidak, sebuah karya sastra diciptakan oleh pengarang untuk dinikmati oleh orang lain. Orang lain itu adalah pembaca atau penikmat sastra, yaitu masyarakat yang berada di dalam maupun di luar budaya yang melingkupinya. Hal itu disebabkan oleh eratnya hubungan antara pengarang sebagai pencipta dan pembaca sebagai penikmat sastra. Pengarang adalah anggota masyarakat, keberhasilannya ditentukan oleh keberadaan masyarakat sebagai pihak yang menikmati karya sastra. Dalam Sumarjo (1982: 53) juga menyatakan bahwa besar kecilnya peranan sastra dalam masyarakat bangsanya dengan sendirinya banyak ditentukan oleh peranan konsumen sastra dalam masyarakat bangsa itu. Kesusastraan yang berkembang di kalangan golongan budak, misalnya, mustahil akan punya peranan penting dalam kehidupan golongan masyarakat lain. Sebaliknya karya-karya sastra yang dibaca oleh golongan

(3)

pejabat-pejabat tinggi pemerintahan akan cukup besar peranannya terhadap golongan-golongan masyarakat lainnya.

Menurut Damono (1979: 1) sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antar masyarakat, masyarakat dengan orang-seorang, antar manusia, antar peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang yang sering menjadi bahan sastra adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau masyarakat.

Oleh karena itu, karya sastra bukan semata-mata gejala individual, tetapi juga gejala sosial karena tujuan sosiologi sastra adalah untuk mendapatkan gambaran yang lengkap, utuh, dan menyeluruh tentang hubungan timbal balik antara sastrawan, karya sastra, dan masyarakat (Jabrohim, 2001: 169).

Persoalan yang terjadi dalam masyarakat merupakan bahan bagi pengarang. Semakin tinggi kepekaan pengarang, semakin tercermin persoalan yang muncul atau terjadi dalam masyarakatnya. Apabila ada pengarang yang kurang memperhatikan aspek-aspek sosial dalam sastranya bukan berarti ia tidak mengangkat persoalan masyarakat, melainkan keberangkatan pengarang menciptakan yangberbeda. Ini terjadi karena pengarang mementingkan konsumen yang sifatnya menghibur. Lain halnya dengan pengarang literer “pengarang yang mementingkan hakikat sastra atau kehidupan” akan lebih menampilkan permasalahan hakikat kehidupan manusia, seperti kegelisahan masyarakat menjadi kegelisahan para pengarangnya. Begitu pula harapan-harapan, penderitaan-penderitaan, aspirasi mereka menjadi bagian pula dari pribadi pengarangnya. Hal ini berarti apa yang dilihat oleh pengarang akan diendapkan, diseleksi, dan akhirnya dituangkan dalam sebuah karya sastra.

(4)

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap karya sastra akan menampilkan persoalan-persoalan yang berkembang dalam masyarakat. Apabila seorang pengarang peka terhadap lingkungannya, semakin besar kemungkinan karya sastra mencerminkan masyarakatnya.

Novel sebagai gender sastra mempunyai peran sebagai salah satu wadah mengungkapkan masalah sosial, karena mempunyai sifat imajinatif, lengkap, bulat, dan singkat. Sastra sebagai cermin masyarakat, sebenarnya erat kaitannya dengan kedudukan pengarang sebagai anggota masyarakat, sehingga secara langsung atau tidak langsung, daya khayalnya dipengaruhi oleh pengalaman manusiawinya dalam lingkungan hidupnya. Pengarang hidup dan berelasi dengan orang lain di dalam komunitas masyarakatnya, maka tidaklah heran apabila terjadi interaksi dan interelasi antara pengarang dan masyarakat.

Gambaran kehidupan yang terpancar dalam novel akan memberikan pengalaman baru bagi masyarakat atau pembaca, karena apa yang ada dalam masyarakat tidak sama persis dengan apa yang ada dalam karya sastra. Melalui penafsirannya, pembaca memperoleh hal-hal baru yang mungkin tidak diperolehnya dalam kehidupan. Penafsiran tersebut melalui suatu pendekatan. Pendekatan yang umum dilakukan terhadap hubungan sastra dan masyarakat adalah mempelajari sastra sebagai dokumen sosial, sebagai potret kenyataan sosial. Memang ada semacam potret sosial yang bisa ditarik dari karya sastra (Wellek dan Austin Warren, 1995: 122).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa masyarakat merupakan suatu gambaran atau cerminan dari sekian kisah kehidupan sosial yang diendapkan melalui pengalaman batin

(5)

dan diolah oleh pengarang melalui daya imajinasi hingga menghasilkan sebuah karya sastra yang menarik.

B. Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari akar kata sosio (Yunani) (socius berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman) dan logi (logos berarti sabda, perkataan, perumpamaan). Perkembangan berikutnya mengalami perubahan makna, sosio atau socius berarti masyarakat, logi atau logos berarti ilmu. Jadi, sosiologi berarti ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antarmanusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional, dan empiris. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, dan instruksi. Akhiran tra berarti alat atau sarana. Jadi, sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pelajaran yang baik. Dengan demikian, sosiologi sastra berarti pemahaman totalitas karya yang disertai dengan aspek-aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya (Ratna, 2003: 1-2).

Menurut pendapat Damono (1979: 2) sosiologi sastra yakni pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Pendapat lain diutarakan oleh Semi (1989: 52) sosiologi sastra adalah suatu telaah sosiologis terhadap suatu karya sastra. Telaah sosiologis ini mempunyai tiga klasifikasi seperti yang diungkapkan Wellek dan Warren dalam Semi (1989: 53) yaitu:

a. Sosiologi pengarang: yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial, idiologi politik, dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang,

(6)

b. Sosiologi karya sastra: yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra, yang menjadi pokok telaahan adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikan,

c. Sosiologi sastra: yang memasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya

terhadap masyarakat.

Dari klasifikasi di atas, dapat diperoleh gambaran bahwa sosiologi sastra yang merupakan pendekatan terhadap sastra dengan mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan, beragam dan rumit, yang menyangkut tentang pengarang, karyanya, serta pembacanya.

Studi sosiologis didasarkan atas pengertian bahwa setiap fakta kultural lahir dan berkembang dalam kondisi sosiohistoris tertentu. Sistem produksi karya seni, karya sastra khususnya, dihasilkan melalui antarhubungan bermakna, dalam hal ini subjek kreator dengan masyarakat. Analisis sosiologi sastra tidak bermaksud untuk melegitimasikan hakikat fakta ke dalam dunia imajinasi. Tujuan sosiologi sastra adalah meningkatkan pemahaman terhadap sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, menjelaskan bahwa rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan. Karya sastra bukan semata-mata gejala individual, tetapi juga gejala sosial (Ratna, 2003: 11).

Menurut Ratna (2008: 332) ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sebagai berikut:

a. karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota masyarakat,

(7)

b. karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat,

c. medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah kemasyarakatan,

d. berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat-istiadat, dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga logika,

e. masyarakat jelas berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut, sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.

Hubungan karya sastra dengan masyarakat baik sebagai negasi dan inovasi maupun afirmasi, jelas merupakan hubungan yang hakiki. Karya sastra mempunyai tugas penting, baik dalam usahanya untuk menjadi pelopor pembaharuan maupun memberikan pengakuan terhadap suatu gejala kemasyarakatan. Sesuai dengan hakikatnya, sebagai sumber estetika dan etika, karya sastra tidak bisa digunakan secara langsung. Sebagai sumber estetika dan etika, karya sastra hanya bisa menyarankan. Oleh karena itulah, model pendekatannya adalah pemahaman dengan harapan akan terjadi perubahan perilaku masyarakat. Apabila manusia sudah tidak mungkin untuk mencari kebenaran melalui logika, ilmu pengetahuan, bahkan agama, maka hal ini diharapkan dapat terjadi dalam karya sastra.

(8)

Sosiologi sastra dalam perspektif Gramsci mangakui kompleksitas hubungan antara sastra sebagai superstruktur dengan struktur kelas ekonomi sebagai infrastrukturnya. Di dalam teori ini, hubungan antara sastra dan masyarakat dipahami tidak secara langsung, melainkan oleh berbagai mediasi. Meskipun demikian, pengakuan atas kompleksitas hubungan tersebut tidak dengan sendirinya meniadakan sastra sebagai variabel tergantung gejala kedua yang eksistensinya ditentukan masyarakat. Sastra tetap diperlukan sebagai lembaga sosial yang mempunyai otonomi dan mempunyai kemungkinan untuk mengandung sifat formatif terhadap masyarakat.

Masyarakat terdiri dari kelas-kelas sosial yang membedakan diri satu sama lain berdasarkan posisi dan fungsinya masing-masing dalam proses produksi. Secara garis besar, pada pola masyarakat yang kapitalis, kelas-kelas sosial termasuk dalam salah satu dari dua kelompok sosial yaitu kelas pemilik (borjuis) dan kelas buruh (proletar). Kelas pertama hidup dari hasil penghisapan terhadap kelas yang kedua. Kelas buruh yang hanya memiliki tenaga kerjanya, sangat tergantung pada kelas pemilik yang mengendalikan kerja mereka. Jadi, ciri masyarakat kapitalis adalah bahwa mereka dibagi ke dalam kelas-kelas atas dan bawah, dan struktur ekonominya tersusun sedemikian rupa sehingga yang pertama dapat hidup dari penghisapan tenaga kerja yang kedua.

Gramsci mengakui bahwa dalam masyarakat memang selalu ada yang memerintah dan yang diperintah. Bertolak dari kondisi ini, Gramsci melihat jika atasan akan memerintah dengan efektif, maka jalan yang dipilih adalah meminimalisir resistensi rakyat dan bersamaan dengan itu atasan harus menciptakan ketaatan yang spontan dari yang memerintah. Sebagai sebuah keharusan maka dalam sebuah formasi

(9)

sosial, atasan akan dihadapkan pada tarik-menarik antara dua kelompok sosial yaitu bangsawan dan rakyat (Patria & Andi Arief, 2003: 120).

Dalam kerangka teori hegemoni Gramsci setidaknya terdapat beberapa konsep kunci, yaitu hegemoni, kebudayaan, ideologi, kepercayaan popular, common sense, dan kaum intelektual.

1. Hegemoni

Menurut Simon (2001: 19) titik awal konsep Gramsci tentang hegemoni adalah bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan cara kekerasan dan persuasi. Cara kekerasan yang dilakukan kelas atas terhadap kelas bawah disebut dengan tindakan dominasi, sedangkan cara persuasinya disebut dengan hegemoni. Menurut Alwi, dkk., (2007: 241) dominasi adalah penguasaan oleh pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah.

Antara hegemoni dan dominasi mempunyai titik tengah yang disebut negosiasi. Menurut Alwi, dkk., (2007: 686) negosiasi diartikan sebagai proses tawar-menawar dengan jalan berunding untuk memberi atau menerima guna mencapai kesepakatan bersama antara satu pihak (kelompok atau organisasi) dan pihak (kelompok atau organisasi) yang lain.

Hegemoni merupakan hubungan antara kelas dengan kekuatan sosial lain. Kelompok kelas hegemonik adalah kelas yang mendapatkan persetujuan dari kekuatan dan kelas sosial lain dengan cara menciptakan dan mempertahankan sistem aliansi melalui perjuangan politik dan ideologis. Hegemoni itu harus diraih melalui

(10)

upaya-upaya politis, kultural, dan intelektual guna menciptakan pandangan dunia bersama bagi seluruh masyarakat (Sugiono, 2006: 41).

Kelas pekerja hanya bisa menjadi kelas hegemonik dengan memperhatikan berbagai kepentingan dari kelas dan kekuatan sosial yang lain serta menemukan cara untuk mempertemukannya dengan kepentingan mereka sendiri. Kepentingan ini tidak boleh sebatas pada perjuangan lokal dan mereka harus siap membuat berbagai konsensus, agar bisa mewakili semua kelompok kekuatan sosial yang besar. Masing-masing pihak berusaha keras memperkuat aliansinya sendiri, memecah-belah aliansi kelompok lain, dan mengubah perimbangan kekuatan demi kepentingan kelompoknya.

Bagi Gramsci, konsep hegemoni berarti sesuatu yang lebih kompleks. Gramsci menggunakan konsep ini untuk meneliti bentuk-bentuk politis, kultural, dan ideologis. Adapun hubungan dua jenis kepemimpinan menurut Gramsci yaitu kepemimpinan dan dominasi menyiratkan tiga hal. Pertama, dominasi dijalankan atas seluruh musuh, dan kepemimpinan dilakukan kepada segenap sekutu-sekutu. Kedua, kepemimpinan adalah suatu prakondisi untuk menaklukkan aparatus negara atau dalam pengertian sempit kekuasaan pemerintahan. Ketiga, sekali kekuasaan negara dapat dicapai, dua aspek supremasi kelas ini, baik pengarahan ataupun domi-nasi, terus berlanjut (Patria dan Andi Arief, 2003: 118).

Hal serupa diutarakan Sugiono (2006: 41) bahwa hegemoni Gramscian sebagai “organisasi persetujuan”, yaitu suatu relasi, bukan terdiri dari dominasi dengan jalan kekuatan, melainkan persetujuan melalui kepemimpinan politis dan ideologis.

(11)

Dengan demikian, konsep hegemoni yang dikembangkan Gramsci berpijak mengenai kepemimpinan yang sifatnya intelektual dan moral. Kepemimpinan ini terjadi karena adanya kesepakatan yang bersifat sukarela dari kelas bawah atau masyarakat terhadap kelas atas yang memimpin. Kesepakatan kelas bawah ini terjadi karena berhasilnya kelas atas dalam menanamkan ideologi kelompoknya. Internalisasi ideologis ini dilakukan dengan membangun sistem dan lembaga-lembaga, seperti negara, kebudayaan, common sense, organisasi, ideologi, dan lain-lain, yang memperkokoh hegemoni tersebut.

Bagi Gramsci, sejarah adalah suatu proses konflik-konflik dan kompromi-kompromi yang di dalamnya suatu kelas fundamental akan muncul sekaligus sebagai dominan dan direktif, tidak hanya dalam batas-batas ekonomik saja tetapi juga dalam batas-batas moral dan intelektual. Inti aktivitas ekonomik tersebut merupakan prinsip pertama yang harus diperhitungkan, tetapi bukan merupakan satu-satunya determinan.

Pada momen pertama mungkin terbentuk kesadaran kolektif yang bersifat ekonomis dalam lingkup satuan sosial tertentu, misalnya hubungan antar pedagang. Momen kedua adalah momen yang di dalamnya kesadaran solidaritas dicapai di antara seluruh anggota dari suatu kelas, tetapi masih dalam lapangan yang murni ekonomik. Momen ketiga adalah momen yang di dalamnya seseorang menjadi sadar bahwa interes korporasinya, dalam perkembangan yang sekarang dan akan datang, mengatasi batas-batas korporasi dari kelas yang secara murni ekonomik, melainkan menjangkau ke dalam kelompok-kelompok lain yang subordinat. Pada momen inilah

(12)

apa yang disebut hegemoni itu terjadi, kepemimpinan suatu kelompok fundamental atas kelompok-kelompok subordinat.

Di sini hegemoni mendefinisikan sifat kompleks dari hubungan antara massa rakyat dengan kelompok-kelompok pemimpin masyarakat, suatu hubungan yang tidak hanya politis dalam pengertian yang sempit, tetapi juga persoalan mengenai gagasan-gagasan atau kesadaran. Tekanan inilah yang menandakan orisinalitas konsep hegemoni. Apabila marxisme ortodoks memberikan tekanan secara berlebihan pada pentingnya dasar ekonomik masyarakat dan filsafat liberal pada peranan gagasan-gagasan, Gramsci berpegang teguh pada penyatuan kedua aspek itu secara bersama-sama. Salah satu cara yang di dalamnya pemimpin dan yang dipimpin disatukan adalah lewat kepercayaan-kepercayaan popular (Faruk, 2005: 70).

Konsep hegemoni Gramsci, dengan demikian, mengimplikasikan bahwa aplikasinya melibatkan konstelasi kekuatan sosial politik yang luas yang ia sebut sebagai “blok historis”. Yang dimaksud Gramsci dengan blok historis adalah hubungan resiprok antara wilayah aktivitas politik, etik maupun ideologis dengan wilayah ekonomik (Sugiono, 2006: 42).

Dari penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa hegemoni adalah sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang kenyataan disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan, mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral. Yang dalam artian adalah praktik dominasi kekuatan

(13)

pemerintah terhadap publik dengan cara halus. Dalam praktik dominasi ini, kelas dominasi tidak secara terang-terangan menyusun aturan permainan, memaksa, mengajak atau mengontrol kelas terdominasi. Demikian pula kelas terdominasi yang tanpa sadar dan tanpa paksa mengikuti permainan tadi.

2. Kebudayaan

Bagi Gramsci dalam Faruk (2005: 139) konsep kebudayaan yang lebih tepat, lebih adil, dan lebih demokratis, adalah kebudayaan sebagai organisasi, disiplin diri batiniah seseorang yang merupakan suatu pencapaian kesadaran yang lebih tinggi, yang dengan sokongannya, seseorang berhasil dalam memahami nilai historis dirinya, fungsinya di dalam kehidupan, hak-hak, dan kewajibannya.

Pendapat lainnya diutarakan Pozzolini (2006: 139) bahwa pengertian kebudayaan yaitu proses penempaan pemikiran, penguasaan ide-ide yang bersifat umum, kebiasaan mengkaitkan sebab dan akibat. Jadi, kebudayan dapat diartikan sebagai suatu keseluruhan gagasan dan karya manusia yang dibiasakan dengan belajar beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu. Nilai-nilai budaya dapat difungsikan sebagai pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada masyarakat.

Kebudayaan merupakan bagian dari lingkungan yang diciptakan oleh manusia. Secara implisit hal itu berarti adanya pengakuan bahwa manusia hidup dalam suatu lingkungan alam dan lingkungan sosial. Kebudayaan mencakup semua unsur yang didapatkan oleh manusia dari kelompoknya dengan jalan mempelajarinya secara sadar atau dengan suatu proses penciptaan keadaan-keadaan tertentu. Hal itu mencakup berbagai macam teknik, lembaga-lembaga sosial,

(14)

kepercayaan, maupun pola-pola perilaku. Kebudayaan merupakan sebuah konsep fundamental dari sosialisme karena konsep tersebut mengintegrasikan dan menjadikan konsep kebebasan berpikir yang kabur menjadi kongkret (Pozzolini, 2006: 139).

Setiap kebudayaan tidak mungkin ada tanpa manusia. Oleh karena itu, untuk menetralisasikan suatu gejala yang hanya terwujud di dalam pikiran dan aksi manusia, berarti mengusahakan eksistensi terpisah untuk sesuatu yang secara aktual ada di dalam jiwa peneliti atau pengamat kebudayaan (Soekanto, 1993: 171).

Agaknya sulit benar untuk menganalisis kebudayaan secara terpisah dari manusia. Lagipula, apabila suatu kebudayaan dianalisa secara cermat, maka akan dapat diidentifikasikan pola reaksi tertentu yang menjadi karakteristik dari perilaku anggota suatu kelompok. Artinya, akan ditemukan orang-orang yang bereaksi, berperilaku, berpikir, dan seterusnya. Dalam situasi demikian, nyatalah bahwa apa yang dilakukan manusia adalah untuk mengkongkritkan pengalaman dari para individu dalam suatu kelompok.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari teori Herskovits tersebut di muka adalah, bahwa:

(1) Kebudayaan merupakan sesuatu yang berada di atas manusia dan benda atau badan (“superorganik”). Oleh karena kebudayaan senantiasa terpelihara dari satu generasi ke generasi berikutnya, walaupun anggota-anggota generasi tersebut silih berganti (karena kelahiran dan kematian).

(2) Kebudayaaan menentukan segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat yang memiliki kebudayaan tersebut.

(15)

(3) Unsur-unsur pokok dari kebudayaan adalah peralatan teknologi, sistem ekonomi, keluarga, dan kekuasaan atau pengendalian politik (Soekanto, 1993: 174).

Meskipun demikian, konsep serupa itu tidak dapat muncul secara spontan, melalui serangkaian aksi dan reaksi yang lepas dari kehendak seseorang. Yang utama adalah bahwa manusia adalah pikiran, yaitu produk sejarah bukan alam. Jika tidak, orang tidak dapat menjelaskan fakta, bukti, bahwa selalu ada yang melakukan eksploitasi dan yang dieksploitasi, penciptaan kekayaan dan konsumen sadar diri, bahwa sosialisme belum juga terwujud.

Jadi, kebudayaaan merupakan sistem pola perencanaan kehidupan yang eksplisit maupun implisit, yang terbentuk secara historis dan dianut oleh semua atau anggota-anggota tertentu dari suatu kelompok pada masa tertentu. Bagian kebudayaan yang eksplisit terdiri dari keteraturan-keteraturan yang dapat disimpulkan langsung dari kenyataan dengan penglihatan atau pendengaran. Seseorang cukup mengamati untuk dapat menemukan konsistensi-konsistensi dalam kenyataan. Bagian kebudayaan yang implisit terdiri dari unsur-unsur yang menjadi dasar dari isi kebudayaan, yang pada umumnya terdiri dari bentuk-bentuk yang murni. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa ruang lingkup kebudayaan yang dapat dan harus dianalisa mencakup bagian-bagiannya yang eksplisit maupun yang implisit.

(16)

Istilah ideologi seringkali hanya diartikan sebagai sebuah sistem ide, seperti misalnya ketika orang berbicara tentang ideologi liberal atau sosialis. Bagi Gramsci dalam Simon (2001: 83) ideologi lebih dari sekedar sistem ide. Ia membedakan antara sistem yang berubah-ubah yang dikemukakan oleh intelektual dan filosof tertentu, dan ideologi organik yang bersifat historis yaitu ideologi yang diperlukan dalam kondisi sosial tertentu.

Ideologi bukanlah fantasi perorangan, namun terjelma dalam cara hidup kolektif masyarakat. Oleh karena itu, ideologi bukanlah sesuatu yang berada di awang-awang dan berada di luar aktifitas politik atau aktifitas praktis manusia lainnya. Sebaliknya, ideologi mempunyai eksistensi materialnya dalam berbagai aktifitas praktis tersebut. Ia memberikan berbagai aturan bagi tindakan praktis serta perilaku moral manusia dan ekuivalen dengan agama dalam makna sekulernya yaitu satunya pemahaman tentang konsep dunia dan norma tingkah laku.

Teori ideologi Gramsci menganggap dunia gagasan, kebudayaan, superstruktur, bukan hanya refleksi atau ekspresi dari struktur kelas ekonomi atau infrastruktur yang bersifat material, melainkan sebagai salah satu kekuatan material itu sendiri. Sebagai kekuatan material itu, dunia gagasan atau ideologi berfungsi mengorganisasikan massa, kekuatan material merupakan isi, sedangkan ideologi-ideologi merupakan bentuknya. Kekuatan material tidak akan dapat dipahami secara historis tanpa bentuk dan ideologi-ideologi akan menjadi khayalan individu belaka tanpa kekuatan material. Dengan demikian, ideologi bukanlah dunia khayalan atau fantasi milik perorangan, bukan pula sesuatu yang bersifat di awang-awang dan berada di luar aktifitas manusia.

(17)

Ideologi adalah suatu material yang terjelma dalam aturan dan cara-cara hidup yang dilakukan oleh individu secara kolektif. Ideologi mempunyai eksistensi materialnya dalam artian bahwa ia menjelma dalam praktik-praktik sosial setiap orang dalam lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi di mana praktik-praktik tersebut berlangsung. Organisasi ini mencakup partai politik maupun organisasi-organisasi ekonomi seperti industri dan perusahaan komersial serta lembaga keuangan.

Menurut Gramsci dalam Simon (2001: 87) ideologi tidak bisa dinilai dari kebenaran atau kesalahan tetapi harus dinilai dari kemanjurannya dalam mengikat berbagai kelompok sosial yang berbeda-beda ke dalam satu wadah, dan dalam peranannya sebagai pondasi atau agen proses penyatuan sosial.

Oleh karena itu, persoalan kultural dan formasi ideologis menjadi penting bagi Gramsci karena di dalamnya pun berlangsung proses yang rumit. Gagasan-gagasan dan opini-opini tidak lahir begitu saja dari otak individual, melainkan mempunyai pusat formasi, penyebaran, dan persuasi. Kemampuan gagasan atau opini menguasai seluruh lapisan masyarakat merupakan puncaknya. Puncak tersebutlah yang oleh Gramsci disebut sebagai hegemoni.

4. Kepercayaan Popular dan Common Sense

Mengkritik pengingkaran dimensi kesadaran oleh beberapa rekan, Gramsci mengatakan bahwa kepercayaan populer dan gagasan-gagasan yang serupa adalah juga kekuatan material. Dalam hal ini yang terpenting adalah bahwa gagasan-gagasan atau kepercayaan itu tersebar sedemikian rupa sehingga mempengaruhi cara

(18)

pandang seseorang tentang dunia. Ada tiga cara penyebaran gagasan-gagasan atau filsafat tertentu itu, yaitu melalui bahasa, common sense, dan folklor. Folklor meliputi sistem-sistem kepercayaan menyeluruh, tahayul, opini-opini, cara-cara melihat tindakan dan segala sesuatu (Faruk, 2005: 70).

Common Sense bagi Gramsci merupakan konsepsi tentang dunia yang paling pervasif tetapi tidak sistematik. Common sense itu mempunyai dasar dalam pengalaman popular tetapi tidak mempresentasikan suatu konsepsi yang terpadu mengenai dunia seperti halnya filsafat. Filsafat merupakan tatanan intelektual yang tidak dapat dicapai oleh agama dan common sense. Lebih jauh lagi, common sense seperti halnya agama bersifat kolektif. Dalam filsafat ciri-ciri elaborasi pikiran individual merupakan hal yang paling menonjol, dalam common sense yang menonjol adalah ciri-ciri tersebar, tidak berkordinasi, dari bentuk pikiran bersama pada periode yang khusus dan dalam lingkungan populer yang khusus pula. Akan tetapi, setiap filsafat mempunyai kecenderungan untuk menjadi common sense dalam suatu lingkungan yang terbatas (yaitu kaum intelektual).

Menurut Faruk (2005: 72) dengan pandangan seperti itu, Gramsci telah memasukkan konsep filsafat dan common sense ke dalam konsep generalnya, yaitu hegemoni yang menuntut adanya kontrak kultural antara yang memimpin dan yang dipimpin. Suatu kebudayaan atau filsafat hanya hegemonik apabila ia dapat membangun berbagai macam bentuk kontak seperti pada di atas. Hanya dengan kontak itu suatu filsafat menjadi historis, memurnikan dirinya dari elemen intelektualitas dari karakter individual dan menjadi kehidupan. Hubungan antara common sense dengan level filsafat yang lebih tinggi itu dijamin oleh politik.

(19)

5. Kaum Intelektual

Agar dapat mencapai hegemoni, ideologi harus disebarkan. Penyebaran itu tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan melalui lembaga-lembaga tertentu yang menjadi pusatnya, misalnya bentuk-bentuk sekolahan dan pengajaran, kematangan dan ketidakmatangan relatif bahasa nasional, sifat-sifat kelompok sosial yang dominan, dan sebagainya. Pusat-pusat itu mempunyai fungsionaris yang mempunyai peranan penting, yaitu kaum intelektual.

Kata intelektual di sini harus dipahami tidak dalam pengertian yang biasa, melainkan suatu strata sosial yang menyeluruh yang menjalankan suatu fungsi organisasional dalam pengertian yang luas, baik dalam lapangan produksi, kebudayaan, ataupun dalam administrasi politik.

Strata itu harus ditempatkan dalam hubungan dengan struktur fundamental masyarakat. Setiap kelompok sosial dalam lapangan ekonomi menciptakan satu atau lebih strata intelektual yang memberinya hegemonitas dan suatu kesadaran mengenai fungsinya sendiri tidak hanya dalam lapangan ekonomi itu saja, melainkan juga dalam lapangan sosial dan politik. Konsep intelektual dalam tafsir Gramsci adalah semua orang yang mempunyai fungsi sebagai organisator dalam semua lapisan masyarakat dalam wilayah produksi sebagaimana dalam wilayah politik dan kebudayaan. Wilayah kebudayaan itu menyangkut proses penempaan pemikiran, penguasaan ide-ide yang bersifat umum dengan mengaitkan sebab dan akibatnya. Kelompok intelektul menurut Gramsci terdiri dari kelompok intelektual

(20)

organik dan kelompok intelektual tradisional. Kedua kelompok itu bersifat terpisah, tetapi secara historis dapat bertumpang tindih.

Kelompok intelektual adalah kaum intelektual yang terbatas pada lingkungan kaum tani dan borjuis kota kecil, belum meluas dan bergerak oleh sistem kapitalis. Kelompok intelektual tradisional selalu menempatkan dirinya sebagai kelompok sosial yang dominan, otonom, dan independen. Yang dimaksud dengan intelektual organik adalah setiap intelektual yang kehadirannya terkait dengan struktur produktif dan politik masyarakat, yakni dengan kelompok atau kelas yang mereka wakili (Sugiono, 2006: 43).

Jadi, yang termasuk kaum intelektual organik adalah intelektual dan para organisator politik dan pada saat yang sama juga bos-bos perusahaan, petani-petani kaya atau manajer pabrik, pengusaha komersial atau industri, dan lain sebagainya. Kaum intelektual menyadari bahwa identitasnya dari yang diwakili dan yang mewakili, dan merupakan barisan terdepan yang riil dari organik dari lapisan kelas atas yang di situ mereka masuk di dalamnya. Dengan adanya pemusatan itu, mereka mempunyai daya tarik kuat dalam semua kalangan intelektual.

D. Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian atau analisis mengenai tinjauan sosiologi sastra dalam karya sastra telah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Penelitian-penelitian tersebut diantaranya pernah dilakukan oleh:

1. Daisah (2003) mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah; Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan; Universitas Muhammadiyah Purwokerto

(21)

dengan judul “Nilai-Nilai Sosial dalam Novel Tikungan Karya Achmad Munif: Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra”. Penelitian ini bertujuan untuk mengupas nilai-nilai sosial dan mengetahui masalah-masalah sosial dalam novel Tikungan karya Achmad Munif. Kemudian menjelaskan aspek kepengarangan yang dikaitkan dengan masalah-masalah dan nilai-nilai sosial tersebut.

2. Meyfani Tri Hapsari (2006) mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah; Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan; Universitas Muhammadiyah Purwokerto dengan judul “Kehidupan Kaum Urban dan Permasalahannya pada Novel Jala Karya Titis Basino P. I.: Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kehidupan dan masalah-masalah yang dihadapi kaum urban dalam novel Jala karya Titis Basino P. I.; mengaitkan masalah-masalah tersebut dengan kehidupan di masyarakat; dan mengetahui aspek kepengarangan yang ada pada novel Jala.

3. Kuntoro (2006) mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah; Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan; Universitas Muhammadiyah Purwokerto dengan judul “Tinjauan Sosiologi Sastra Novel Virgin Karya Agung Bawantara”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan mengenai bentuk-bentuk kenakalan remaja yang ada pada novel Virgin; dan mendeskripsikan mengenai hubungan antara kenakalan tokoh remaja yang ada pada novel Virgin dengan kenakalan remaja Indonesia masa kini.

4. Endah Sawitri (2007) mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah; Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan; Universitas Muhammadiyah Purwokerto dengan judul “Dimensi Sosial Politik dalam Buku Puisi Renungan

(22)

Kloset Karya Rieke Diah Pitaloka (Kajian Sosiologi Sastra)”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia, khususnya di Jakarta dan Bali yang terdapat di dalam buku puisi Renungan Kloset karya Rieke Diah Pitaloka.

Dari keempat analisis tersebut berorientasi seputar suatu tinjauan sosiologi sastra terhadap karya sastra yang dikaji. Secara umum keseluruhannya membahas mengenai nilai-nilai sosial dalam karya sastra yang dihubungkan dengan kehidupan dalam masyarakat menggunakan pendekatan sosiologi sastra.

Oleh karena itu, keempat penelitian tersebut berbeda dengan penelitian ini. Penelitian ini mempunyai perbedaan dan sisi baru bila dibandingkan dengan penelitian sejenis sebelumnya. Jika pada penelitian sebelumnya peneliti mengkaji karya sastra dengan pendekatan sosiologi sastra secara umum, maka penelitian ini berusaha mengkaji secara lebih spesifik lagi yaitu dengan aspek formatif hegemoni Gramsci. Di mana penelitian difokuskan pada bentuk kepemimpinan kelas atas (kelas fundamental) yang mampu membangun kepemimpinannya sebagai sesuatu yang berbeda dari bentuk-bentuk dominasi yang bersifat memaksa. Hegemoni merupakan sebuah proses penguasaan kelas dominan kepada kelas bawah, dan kelas bawah juga aktif mendukung ide-ide kelas dominan. Di sini penguasaan dilakukan tidak dengan kekerasan, melainkan melalui bentuk-bentuk persetujuan masyarakat yang dikuasai.

Referensi

Dokumen terkait

Selain dikembangkan di klub-klub Wushu, dikembangkan juga senam Taiji di klub-klub khusus Taiji yang tidak menekankan pada kompetisi Wushu, misalnya di klub PORPI

3.3.3 Bagi setiap kapal yang mempunyai satu atau lebih tingkap samping yang diletakkan sedemikian rupa sehingga persyaratan paragraf 3.3.1 akan berlaku

[r]

Tahun 2003 menjadi awal titik balik dari perkembangan BMT Ki Ageng Pandanaran, dibawah pengurus baru ini BMT dapat berkembang dengan baik, karena pengurus dan anggota koperasi

Application Design melibatkan proses perancangan User Interface dan program aplikasi yang akan digunakan untuk memproses database. Desain suatu user interface harus

Berdasarkan diagram di atas, negara Filipina memiliki penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan nasional tertinggi di ASEAN sebesar 25.2%, sedangkan negara dengan populasi di

Botol yang keluar dari  filler   filler   dan  dan crowner  crowner   selanjutnya akan dibasuh dengan  selanjutnya akan dibasuh dengan air yang bertujuan untuk membersihkan

(2012), dengan sedikit modifikasi yakni menambah variabel kepemilikan terkonsentrasi, serta sampel yang digunakan lebih dikhususkan pada perusahaan yang ada di negara