• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL dan PEMBAHASAN. Hasil pengujian efektifitas zoospora dari kapang L. giganteum setelah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL dan PEMBAHASAN. Hasil pengujian efektifitas zoospora dari kapang L. giganteum setelah"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL dan PEMBAHASAN

Hasil pengujian efektifitas zoospora dari kapang L. giganteum setelah diujikan terhadap larva instar 2 nyamuk Ae. aegypti dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Jumlah larva Ae. aegypti yang mati dan hidup pada setiap konsentrasi

zoospora No Konsentrasi

Zoospora/ml Jumlah Larva Mati Jumlah Larva Hidup

Kontrol 5 20 1. 3,0 x 105 8 17 2. 6,0 x 105 7 18 3. 9,0 x 105 18 7 4. 1,2 x 106 12 13 5. 1,5 x 106 15 10 7. 1,8 x 106 18 7 8. 2,1 x 106 13 12 9 2,4 x 106 11 14 10. 2,7 x 106 17 8 11. 3,0 x 106 15 10 12. 4,5 x 106 16 9 13. 6,0 x 106 15 10 14. 7,5 x 106 17 8 15. 9,0 x 106 17 8 16. 1,05 x 107 15 10 17. 1,2 x 107 17 8 18. 1,35 x 107 18 7 19. 1,5 x 107 19 6

(2)

Berdasarkan dari hasil penghitungan jumlah larva yang mati dan hidup pada tabel satu kemudian dihitung nilai Lethal dose limapuluh (LD5 0) dan LD95

menurut Ree d dan Muench (1938). Hasil penghitungan disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil percobaan penghitungan LD50 dan LD95

Jumlah Larva Akumulasi Larva Perbanding an Larva Persentase No Jumlah Zoospora/ml

Mati Hidup Mati Hidup Mati/total Kematian larva

1. 3,0 x 105 8 17 8 182 8/190 4,2 2. 6,0 x 105 7 18 15 165 15/170 8,33 3. 9,0 x 105 18 7 33 147 33/180 18,33 4. 1,2 x 106 12 13 45 140 45/185 24,32 5. 1,5 x 106 15 10 60 127 60/187 32,09 7. 1,8 x 106 18 7 78 117 78/195 40,0 8. 2,1 x 106 13 12 91 110 91/201 45,27 9. 2,4 x 106 11 14 102 98 102/200 51,00 10. 2,7 x 106 17 8 119 84 119/203 58,62 11. 3,0 x 106 15 10 134 76 134/210 63,81 12. 4,5 x 106 16 9 150 66 150/216 69,44 13. 6,0 x 106 15 10 165 57 165/222 74,34 14. 7,5 x 106 17 8 182 47 182/229 79,48 15. 9,0 x 106 17 8 199 39 199/238 83,61 16. 1,05 x 107 15 10 214 31 214/245 87,73 17. 1,2 x 107 17 8 231 21 231/252 91,67 18. 1,35 x 107 18 7 249 13 249/262 95,04 19. 1,5 x 107 19 6 268 6 268/274 97,81

Hasil penghitungan Lethal dose limapuluh (LD50) dan LD9 5 untuk oospora

(3)

Tabel 3. Hasil percobaan penghitungan LD50 dan LD9 5 oospora terhadap

larva instar 2 nyamuk Ae. aegypti

No Jumlah oospora/ml

Jumlah larva Akumulasi larva

Perbandingan larva

Persentase Mati Hidup Mati Hidup Mati/total Kematian

larva 1 4,2 x 102 12 13 12 30 12/42 28,6 2 8,4 x 102 19 6 31 17 31/48 64,6 3 1,26 x 103 22 3 53 11 53/64 82,8 4 1,68 x 103 19 6 72 8 72/80 90 5 2,1 x 103 25 0 97 2 97/99 98 7 2,52 x 103 25 0 122 2 122/124 98,3 8 2,94 x 103 24 1 146 2 146/148 98,6 9 3,36 x 103 24 1 170 1 170/171 99,4 10 3,78 x 103 25 0 195 0 195/195 100 11 4,2 x 103 25 0 220 0 195/195 100

Berdasarkan hasil pengamatan jumlah larva yang mati, pada kontrol ditemukan adanya kematian larva, hal ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor antara lain faktor individual dari larva seperti daya tahan tubuh, kemampuan menca ri makanan dan stadium larva juga sangat berpengaruh. Menurut Mian dan Mulla (1983) bahwa faktor ekologis, fisik dan biologis sangat berpengaruh terhadap kehidupan dari larva nyamuk. Apabila dibandingkan dengan perlakuan angka kematian pada larva kontrol diperoleh nilai yang kecil. Pada larva perlakuan ditemukan adanya kematian yang bervariasi pada masing-masing konsentrasi. Pada pemaparan dengan menggunakan konsentrasi zoospora terkecil yaitu 3,0 x 105 zoospora/ml diperoleh jumlah larva yang mati sebanyak 8

(4)

ekor (32%) sedangkan pada konsentrasi 6,0 x 105 zoos pora/ml jumlah larva yang

mati sebanyak 7 ekor (28%) dari masing-masing 25 larva perlakuan. Mulai konsentrasi 9,0 x 105 zoospora/ml sampai 1,5 x 107 zoospora/ml diperoleh angka kematian yang lebih dar i 40%. Angka yang bervariasi ini sangat dipengaruhi oleh konsentrasi zoospora, selain itu kemungkinan juga disebabkan oleh kemampuan daya tahan tubuh dari masing-masing larva, makanan, ataupun viabilitas dari zoospora sendiri dalam menyerang larva. Dalam proses penyerangan terhadap larva nyamuk, zoospora sangat dipengaruhi oleh faktor mekanis ataupun faktor enzimatis. Umur larva sangat berpengaruh sehingga pada penelitian ini digunakan larva nyamuk instar 2 karena pada instar 2 ini lapisan kulit pelindung masih sangat tipis sehingga diharapkan pada saat zoospora menyerang, penetrasi oleh zoospora L. giganteum lebih mudah dan kemampuan menginfeksi lebih cepat. Penelitian serupa telah dilakukan oleh Zattau dan McInnis (1987) bahwa kemampuan menyerang kapang Leptolegnia chapmanii terhadap larva nyamuk instar 1 dan 2 lebih mudah dibanding yang lebih tua, zoospora mudah dalam mengkista dan melakukan germinasi pada kutikula. Secara mekanis kemampuan menginfeksi secara umum sangat dipengaruhi oleh umur larva, semakin muda umur larva maka kepekaan terhadap infeksi kapang akan semakin tinggi apabila dibanding dengan stadium yang lebih tua ataupun pupa (Federici 1981; Lord dan Roberts 1987). Faktor enzimatis sangat berpengaruh terhadap kemampuan zoospora dalam melakukan penetrasi pada tubuh larva, yaitu atas keberadaan pengaruh aktifitas enzim proteolitik dan enzim lipolitik (Domnas et al. 1974). Dari Tabel 2 di atas diperoleh konsentrasi efektif zoospora yang dapat digunakan untuk mengendalikan larva nyamuk Ae. aegypti di laboratorium yakni sebesar

(5)

2,35 x 106 zoospora/ml dan semakin tinggi konsentrasi semakin tinggi prosentase

kematian dari larvanya, dan pada konsentrasi 1,35 x 107 zoospora/ml mampu membunuh larva nyamuk sampai 95%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi zoospora maka angka mortalitas larva juga semakin besar. Menurut WHO (1985) bahwa pada seekor larva yang terinfeksi dapat ditemukan sekitar 178.640 - 250.000 zoospora dan tingkat kematian larva 100% diperoleh dengan pemberian antara 715.000 zoospora/100ml air L. giganteum isolat California. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa zoospora dari kapang L. giganteum mempunyai potensi yang baik dalam menekan perkembangan larva nyamuk Ae. aegypti walaupun dalam mematikan 100% harus menggunakan konsentrasi yang tinggi.

Penentuan efektifitas oospora terhadap larva nyamuk Ae. aegypti digunakan metode penghitungan menurut Reed dan Muench (1938). Oospora yang dihasilkan dihitung terhadap kemampuannya dalam membunuh 50% larva Ae. aegypti instar 2 (LD5 0) . Dari hasil uji laboratorium ini dari 2,1 x 105

oospora/ml dibuat pengenceran mulai dari 0,1 ml sampai 1 ml oospora dan percobaan diulang 4 kali ulangan. Dari hasil pengamatan setiap hari sampai hari keempat belas diperoleh hasil bahwa kematian larva nyamuk berlangsung lebih lama apabila dibandingkan dengan kematian akibat pemaparan zoospora. Pengamatan dimulai setelah hari ketiga karena oospora diharapkan baru mulai menginfeksi setelah hari ketiga. Hal ini disebabkan karena oospora harus mengalami germinasi terlebih dahulu sebelum menginfeksi. Hasil germinasi dari oospora merupakan zoospora yang bersifat motil dan infektif. Germinasi oospora ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan ataupun nutrisi yang ada pada media

(6)

biakan. Dari hasil pengamatan pada masing – masing konsentrasi dari 0,1 ml ( 420 oospora/ml) sampai 1 ml (4200 oospora/ml ), kematian mulai terjadi pada hari kelima setelah terpapar.

Dari Tabel 3 diatas diperoleh informasi bahwa konsentrasi efektif oospora yang dapat digunakan untuk mengendalikan larva nyamuk Ae. aegypti (skala laboratorium) adalah sebesar 6,7 x 102,dan semakin tinggi konsentrasi semakin tinggi persentase kematian dari larvanya, pada konsentrasi 1,94 x 103 oospora/ml mampu membunuh larva nyamuk sampai 95%.

Berdasarkan hasil pengamatan mikroskopis dari larva yang mati dan diwarnai dengan Lactophenol cotton blue ataupun pewarna Toluidin blue 2,5% mulai dari hari pertama sampai hari keenam menunjukan bahwa pada hari pertama zoospora masih mengumpul disekitar tubuh larva. Zoospora mulai bergerombol dan mengkista pada hari pertama (Gambar 6 dan 7). Pada hari pertama ini zoospora juga sudah mulai membentuk germ tube suatu proses perkecambahan untuk mulai melakukan penetrasi. Pada hari pertama ini kematian larva kemungkinan besar bukan disebabkan oleh zoospora melainkan akibat yang lain seperti daya tahan tubuh ataupun pengaruh nutrisi. Pada hari kedua, zoospora sudah mulai menempel pada kutikula larva dan akan melakukan penetrasi. Di dalam tubuh larva , kapang mengalami percabangan hifa dan secara cepat akan meluas keseluruh tubuh dan di dalam tubuh ini kapang melakukan segmentasi dan membentuk presporangial yang potensial yang nantinya akan menembus kembali dinding larva melepaskan zoospora dan disisi lain akan menghasilkan hifa vegetatif (Gambar 8,9 dan 10). Hifa vegetatif menyebar keseluruh permukaan tubuh dan menutupi tubuh larva. Pada tahap ini biasanya larva sudah mulai

(7)

mengalami kematian (gambar 11). Lima hari setelah kematian larva, kehancuran tubuh larva sudah mulai dan dilakukan pengamatan secara mikroskopis. Dengan menggunakan pewarna lactophenol cotton blue diperoleh gambaran bahwa larva sudah terpisah-pisah sedangkan hifa vegetatif masih berkembang dan reproduksi secara seksual terjadi. Terjadinya siklus reproduksi seksual ditandai dengan adanya sejumlah oospora yang terlihat pada permukaan tubuh larva yang hancur dan berbentuk bulat dan berdinding jelas (Gambar 12). Oospora yang terbentuk siap untuk mulai melakukan perkembangan dan menjadi stadium yang infektif dan siap untuk menyerang inang kembali.

Gambar 6. Zoospora menyebar disekeliling tubuh larva pada hari pertama setelah diberi perlakuan (10x)

Gambar 7. Zoospora mulai menempel, mengkista dan membentuk germ tube (10x)

Gambar 8. Kista zoospora mulai berpenetrasi dan hifa mulai mengalami percabangan

Gambar 9. Percabangan hifa

(8)

Gambar 10. hifa menyebar di dalam tubuh larva (10x)

Gambar 11. hifa memenuhi tubuh bagian luar larva (10x)

Gambar 12. Oospora yang terbentuk enam hari setelah kematian larva (10x dan 40x)

Tahap penyerangan zoospora terhadap larva nyamuk sangat erat kaitannya dengan siklus hidupnya. Menurut Kerwin dan Washino (1983) bahwa kematian larva terjadi pa da saat pertumbuhan miselium vegetatif terhenti dan reproduksi mulai terjadi yaitu 48-72 jam setelah infeksi. Kadang-kadang larva mati selama infeksi dan bila larva mati lebih awal maka kapang juga ikut mati tanpa sempat bereproduksi. Tahapan infeksi L. giganteum pada larva Culex pipiens quinguefasciatus menurut Domnas et al. (1974) meliputi 4 tahap yaitu, (1) terlihatnya suatu lubang akibat penetrasi dari ujung hifa; (2) terjadinya percabangan hifa didalam tubuh larva; (3) terbentuknya presporulasi keseluruh

(9)

tubuh yang bersifat potensial dan setiap sel secara individual akan siap membentuk saluran keluar dan melepaskan 10-50 spora aseksual. (4) terjadinya perubahan dua sel bergabung menjadi satu. Menurut Kerwin (2000) ada 5 tahap dan tahap ke-5 membentuk oospora di luar tubuh larva serta membentuk miselium vegetatif . Oospora yang terbentuk bersifat tahan terhadap kekeringan dan pada kondisi yang cocok oospora akan berkembang menjadi fase infektif dan siap mencari inang baru.

KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam melakukan pengendalian larva nyamuk Ae. aegypti skala laboratorium dibutuhkan konsentrasi zoospora sebesar 2,35 x 106 zoospora/ml untuk menekan sampai 50% populasi larva nyamuk, sedangkan kematian terjadi sebanyak 95% apabila menggunakan konsentrasi 1,35 x 107 zoospora/ml, sedangkan nilai LD50 oospora

sebesar 6,7 x 102 oospora/ml dan (LD95) sebesar 1,94 x 103 oospora/ml.

Dengan pewarnaan lacto phenol cotton blue (lpcb) dan toluidin blue 2,5% dapat diamati adanya mekanisme infeksi kapang L. giganteum terhadap larva Ae. aegypti mulai dari proses penempelan, pembentukan germ tube, penetrasi, percabangan didalam tubuh larva sampai perkembangan miselium vegetatif diluar tubuh inang.

(10)

PERCOBAAN 4

Kuning telur dan minyak jagung sebagai alternatif pengganti

media pertumbuhan

Lagenidium giganteum

serta media alternatif

untuk produksi oospora.

METODE PENELITIAN

A. Membandingkan 3 media dalam memproduksi koloni L. giganteum dengan mengukur jumlah berat kering

1. Media PYG

Dalam pembuatan media PYG bahan yang digunakan berupa 1,2 gr pepton, 1,2 gr yeast ekstrak dan 3 gram glukosa . Ketiga bahan ini kemudian dicampur menjadi satu dalam tabung erlenmeyer dan ditambah aquades steril 1000 ml dan dimasak sampai mendidih. Setelah mendidih kemudian disterilkan dengan menggunakan autoklaf

2. Pembuatan media kuning telur

Media kuning telur ini dibuat menurut Misman dkk (1990). Kuning telur diambil dari telur ayam segar. Kuning telur diambil secara aseptis dan dimasukkan ke dalam tabung Erlenmeyer ukuran 1000 ml. Setelah kuning telur dimasukkan kemudian ditambah 500 ml aquades steril dan diaduk menggunakan stirer. Setelah tercampur rata, media ini kemudian disimpan disuhu kamar selama 24 jam dan setelah diinkubasikan kemudian dipisahkan dan diambil bagian supernatannya

3. Media Kuning telur plus (ditambah minyak jagung)

Dalam pembuatan media kuning telur, dibuat seperti yang dilakukan oleh Misman dkk (1990). Dalam penelitian ini media kuning telur ditambah dengan minyak jagung 1% steril.

(11)

Masing – masing media diambil 250 cc dan dimasukkan kedalam erlenmeyer berukuran 500 cc. Dalam penelitian ini dibuat 5 kali ulangan. Koloni kapang L. giganteum dimasukkan dalam masing – masing media yaitu media PYG, media kuning telur dan media kuning telur plus. Untuk memperoleh jumlah koloni yang sama dalam penelitian ini dipergunakan pangkal pipet yang berdiameter empat milimeter (Misman dkk, 1990). Jumlah koloni kapang yang dimasukkan dari masing – masing media adalah satu mata pipet, kemudian di inkubasi pada suhu 25oC dalam shaker waterbath (110 rpm) selama 7 hari. Setelah hari ketujuh diamati pertumbuhannya dan kemudian masing – masing di saring dengan menggunakan kertas saring. Hasil panenan koloni dicuci dengan menggunakan aquades steril dan dikeringkan dalam suhu 40oC. Setiap hari masing – masing koloni dari ketiga media biakan di timbang sampai menemukan jumlah timbangan berat kering yang stabil .

B. Membandingkan 3 media biakan cair dalam memproduksi oospora

Dalam memproduksi oospora media yang digunakan adalah media biakan yang menga ndung yeast ekstrak 2,8g/lt, glukosa 2,4 g/lt, wheat germ 3,2g/lt, 100 ml cotton seed oil dan cotton seed flour 300mg/lt. Selain itu juga ditambahkan 0,15 gr CaCl2.2H2O dan 0,15 gr Mg.Cl2.6H2O (Brey, 1985). Media lain yang

digunakan adalah media kuning telur (Misman dkk, 1990) dan media kuning telur plus sebagai alternatif media pengganti.

Zoospora hasil produksi dimasukkan ke dalam aquades steril selama 12 – 18 jam sebelum diinokulasikan ke dalam 3 media diatas. Selanjutnya sebanyak 5 ml zoospora ditambahkan kemasing– masing media . Dari masing– masing perlakuan

(12)

kemudian diinkubasikan dalam suhu kamar selama 10 hari. Setiap hari diamati kapan oospora terbentuk dan seberapa banyak jumlah oospora yang dihasilkan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan terhadap pertumbuhan koloni dengan perhitungan jumlah berat kering koloni, diperoleh hasil rataanya sebagai berikut (Tabel 4)

Tabel 4. Rataan berat kering koloni kapang L. giganteum pada 3 macam media dalam ukuran gram

Media Biakan Rata-rata ± SEM

Media A 0,00582 ± 0,00139a

Media B 0,01474 ± 0,00241a

Media C 0,01898 ± 0,0173a

Ket : Media A : Media PYG (Domnas, 1982)

Media B : Media telur air (EWM) (Misman dkk, 1990) Media C : Media Kuning telur Plus

Berdasarkan hasil penghitungan rataan dari lima kali ulangan dengan menggunakan 3 macam media biakan tertera pada Tabel 4. Pada media PYG rataan berat kering koloni 0,00582 gram, pada media kuning telur 0,01474 gram dan pada media kuning telur plus 0,01890 gram. Dari hasil penghitungan rataan diperoleh bahwa pada media kuning telur plus cenderung menunjukkan hasil angka yang lebih besar dibanding kedua media yang lain. Setelah dilakukan penghitungan statistik dari ketiga media biakan tersebut menunjukkan hasil yang perbedaannya tidak signifikan (P<0,05). Karena dari ketiga media biakan tersebut tidak berbeda nyata antara satu dengan lainnya, maka dari ketiga media biakan tersebut dapat digunakan untuk menumbuhkan koloni kapang entomopatogen L. giganteum.

(13)

Sterol merupakan zat utama yang dibutuhkan pada siklus pertumbuhan kapang entomopatogen L. giganteum (Elliot et al. 1964). Untuk pertumbuhannya L .giganteum tidak dapat mensintesa sterol sendiri, untuk itu dibutuhkan sumber dari luar. Dalam pertumbuhannya sel vegetatif sterol tidak dibutuhkan akan tetapi sterol dapat mengubah siklus pertumbuhan yakni bentuk vegetatif menjadi pertumbuhan reproduktif meliputi siklus aseksual dan seksual yaitu proses zoosporogenesis dan oosporogenesis (Elliot et al. 1964; Domnas et al. 1976; Kerwin dan Washino 1983; Kerwin et al. 1996). Menurut Kerwin dan Washino (1983) sterol yang paling baik untuk pertumbuhan zoospora adalah sitosterol, kompestergosterol dan kolesterol.

Dalam penelitian ini ketiga media tidak berpengaruh didalam pembentukan sel vegetatif baik media biakan yang mengandung PYG, kuning telur ataupun kuning telur plus. Hal ini kemungkinan disebabkan sterol tidak terlalu dibutuhkan dalam pertumbuhan sel vegetatif. Seperti kapang – kapang lain, kapang ent omopatogen juga menggunakan trehalosa, gliserol, glukosa ataupun protein dan lemak sebagai sumber karbonnya. Dalam penelitian ini unsur- unsur tersebut terkandung di dalam ketiga macam media tersebut dan pertumbuhan vegetatifnya berlangsung. Unsur sterol baru akan dibutuhkan dalam merangsang proses zoosporogenesis dan oosporogenesis.

Menurut Misman dkk (1990) media kuning telur (EWM) merupakan media yang kandungan nutrisinya lebih banyak dan dapat mencukupi untuk menumbuhkan koloni kapang L. giganteum dibandingkan apabila dibiakkan pada media yang berisi ekstrak biji bunga matahari atau ekstrak kacang kedelai.

(14)

Domnas et al. (1982) menggunakan ekstrak biji ganja untuk memacu proses zoosporogenesis.

Media EWM merupakan media cair yang hanya mengandung kuning telur. Dalam media ini kuning telur yang digunakan berasal dari kuning telur ayam ras yang menurut Stadelman dan Cotteril (1977) mengandung 230,0 mg kolesterol. Kandungan sterol dalam kuning telur ini cukup untuk terjadinya proses zoosporogenesis. Menurut WHO (1985) kapang L. giganteum dalam proses zoosporogenesis membutuhkan komponen sterol dari luar (exogenous sterol). Media EWM pertama kali ditemukan oleh Misman (1989) untuk menumbuhkan kapang L. giganteum Couch. Menurut Misman dkk (1990), media EWM merupakan media terbaik dalam menumbuhkan kapang L. giganteum Couch dibanding media yang mengandung biji kedelai dan media yang mengandung minyak biji matahari.

Dalam penelitian ini selain digunakan media EWM ( Misman, 1989) dan media PYG ( Kerwin, 1989) digunakan juga media kuning telur plus yaitu kuning telur yang ditambah minyak jagung 1%. Seperti kapang – kapang lain, L. giganteum untuk hidupnya membutuhkan sumber energi seperti unsur protein, karbohidrat ataupun unsur lemak. Khusus untuk kapang Lagenidium dibutuhkan unsur sterol untuk pembentukkan siklus reproduksinya dengan merubah pertumbuhan vegetatif menjadi pertumbuhan reproduktif baik bentuk aseksual ataupun seksual. Untuk mendapatkan hasil yang optimal dibutuhkan sterol exogenous. Ketiga media biakan yang digunakan, semua sumber nutrisi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan kapang dijumpai didalamnya.Antara lain sumber sterol ataupun nutrisi yang lain (unsur karbon, nitrogen , vitamin -vitamin ataupun

(15)

mineral). Pada media kuning telur plus pertumbuhan vegetatif tidak berbeda nyata dengan media EWM ataupun media PYG dalam proses pembentukkan sel vegetatif . Walaupun dari hasil penelitian ini diperoleh gambaran penggunaan ketiga media biakan cair tidak berpengaruh nyata dalam menghasilkan sel vegetatif L. giganteum, akan tetapi perlu dipertimbangkan kemudahan mendapatkan bahan penyusun media serta nilai ekonomisnya.

Menurut Kerwin et al. (1986) bahwa asam lemak yang digabung dengan media yang biasa digunakan untuk pertumbuhan dan morfogenesis L. giganteum akan memacu hasil dan viabilitas terjadinya oosporogenesis, salah satunya dengan menambahkan vegetables oil. Dalam penelitian ini vegetables oil yang digunakan adalah minyak jagung 1%. Menurut Misman dkk (1990) kuning telur merupakan salah satu media yang lengkap kandungan nutrisinya untuk pertumbuhan L. giganteum. Kandungan nutrisi pada kuning telur selain lemak, karbohidrat, dan protein, kuning telur juga banyak mengandung komponen organik yang dibutuhkan untuk pertumbuhan kapang .

Hasil yang diperoleh pada percobaan kedua yang membandingkan tiga media biakan cair dalam menghasilkan oospora diperoleh hasil rataan dari empat percobaan terlihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Rataan jumlah oospora dari 3 macam media biakan cair No Media Biakan Jumla h rata -rata oospora

1 Media A 4,20 x 103 ± 182,5a

2 Media B 2,03x 103 ± 250a

3 Media C 16,6 x 104 ± 229,67b

Ket : Media A : Media PYG,cotton seed powder, cotton seed oil ( Brey, 1985) Media B : Media telur air ( EWM) (Misman dkk, 1990)

(16)

Dalam penelitian ini digunakan 3 macam media biakan cair yaitu media biakan yang mengandung media PYG plus cotton seed powder dan cotton seed oil (media A), Media kuning telur (EWM) (Media B) dan media kuning telur plus (media C). Hasil penghitungan rataan jumlah oospora dari 5 ml zoospora pada media A setelah 10 hari dihasilkan 4,20 x 103 oospora per ml, sedangkan dari media B dihasilkan 2,03 x 103 dan pada media C dihasilkan 16,6 x 104 oospora per ml. Hasil analisis statistik diperoleh bahwa media berpengaruh nyata dalam memproduksi oospora. Dari hasil penelitian ini, ketiga macam media yang digunakan dalam memproduksi oospora, dibuktikan bahwa media kuning telur plus (media C) memberikan hasil yang terbaik di dalam menghasilkan oospora dibandingkan dengan media biakan A dan media B (Gambar 13). Antara Media biakan A dan media biakan B menurut hasil penghitungan statistik menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata diantara kedua media biakan dalam memproduksi oospora.

Gambar 13. Oospora pada media kuning telur plus (10x)

Dalam menginduksi proses oosporogenesis selain dibutuhkan unsur -unsur yang mempunyai kemampuan dalam menghasilkan sumber karbon dan nitrogen dibutuhkan juga unsur sterol, asam lemak tak jenuh dan garam – garam mineral non toksik seperti unsur kalsium dan magnesium . Unsur sterol selain digunakan

(17)

untuk memicu terjadinya proses zoosporogenesis, unsur sterol digunakan juga dalam maturasi dari oospora. Sterol yang digunakan dapat berasal dari kolesterol, 7 dihidrokolesterol, sitosterol, desmosterol, fukosterol, stigmasterol, kolesterol asetat dan kolesterol palmitat. Menurut Brey (1985) bahwa kolesterol merupakan sumber sterol yang paling efektif untuk oospora disamping kolesterol lainnya. Dalam memacu oosporogenesis selain unsur sterol, media pertumbuhan harus mengandung asam lemak tak jenuh dan zoospora harus berkontak langsung dengan medium tersebut. . Media biakan yang digunakan dapat berupa media padat atau media cair. Menurut Nakane et al. (2001) media kuning telur merupakan media yang sangat kaya akan nutrisi baik sterol (kolesterol dan allyl sterol) ataupun kandungan lemak yang lebih baik dalam indikator proses oosporogenesis. Lemak yang terkandungan dalam kuning telur terdiri dari unsur trigliserid ataupun fosfolipid berupa unsur lesitin dan kolesterol. Dalam penelitian ini media kuning telur (EWM) dimodifikasi dengan me nambahkan minyak jagung 1% untuk memacu oosporogenesis. Brey (1985) menggunakan media PYG yang ditambah dengan cotton seed powder dan cotton seed oil untuk menginduksi oosporogenesis kapang Lagendium giganteum dan oospora yang dihasilkan 5,0 x 103 oospora/ml setelah 10 hari.

Minyak jagung yang ditambahkan dalam media biakan kuning telur mempunyai kandungan sterol yang lebih mencukupi dibanding media yang ditambah dengan coton seed, sehingga dalam memicu terjadinya proses oosporogenesis lebih mudah dan cepat. Minyak jagung mengandung bermacam – macam komponen nutrisi yang sangat dibutuhkan dalam perkembangan siklus reproduksi seksual. Di dalam minyak jagung terkandung campuran sterol

(18)

termasuk stigmasterol, beta sitosterol, gamma sitosterol (kompesterol) asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh C16 dan C1 8. Kandungan sterol dari

minyak jagung (200 - 400 mg/100gr) lebih tinggi dibandingkan dengan cotton seed (100 mg/100g). Kandungan ester sterol dari minyak jagung berkisar 50-70% sedangkan cotton seed mengandung 30 – 50% dan biji bunga matahari mengandung 50 % ( Phillip et al. 2002). Menurut Hyong et al. (2002) bahwa dalam memproduksi oospora Phythopthora membutuhkan medium basal yang mengandung minyak jagung ataupun lesitin dari biji kedelai. Unsur Phytol dari kedua bahan tersebut digunakan sebagai pemicu terjadinya oosporogenesis.

Menurut Brey (1985) media PYG yang ditambah dengan cotton seed, cotton oil, ekstrak gandum serta unsur Mg dan Ca mampu menginduksi terjadinya oosporogenesis. Selain itu sterol dan triacylgliserol yang ditambahkan pada media biakan juga akan berpengaruh terhadap viabilitas oospora. Kerwin dan Washino(1983) mendapatkan oospora dalam jumlah maksimum dengan membiakkan zoospora pada media agar PYG yang ditambah dengan kolesterol, lesitin dan triolein. Sterol , asam lemak tak jenuh, calsium yang berikatan dengan protein calmodium sangat berperan dalam proses regulasi siklus metabolisme nukleotida selama terjadinya oosporogenesis dalam media cair ataupun padat (Kerwin dan Washino 1984).

Dalam proses induksi dan maturasi stadium seksual dari kapang L. giganteum dipengaruhi juga oleh proses regulasi komplek dari kalsium. Pengaruhnya meliputi gangguan: metabolisme, induksi anteridia, fusi gametangia, meiosis, pembentukan dinding oospora dan maturasi oospora. Untuk

(19)

itu unsur kalsium ekstrasel dibutuhkan selama proses oosporogenesis yang secara sinergis bekerja sama dengan unsur magnesium dalam memproduksi oospora.

Pada kondisi yang menguntungkan oospora secara invitro akan terus terbentuk jika sterol tergabung dengan media dasar pertumbuhan. Oospora yang dihasilkan mempengaruhi rantai sisi sterol, khususnya pada C24. Oospora tetap

dihasilkan dan bertahan hidup bila dalam media pertumbuhan diperkaya adanya unsur asam lemak berupa trigliserida ( asam lemak netral) dan fosfolipid.

Media kuning telur plus merupakan modifikasi media kuning telur yang ditambah dengan minyak jagung. Dalam penelitian ini minyak jagung yang digunakan adalah 1%. Selain kandungan nutrisi yang ada pada kuning telur diharapkan sumber sterol diperoleh juga dari vegetables oil lain seperti minyak jagung, sehingga proses oosporogenesis terinduksi dengan baik.

Pada kondisi lingkungan yang tepat, oospora akan berkecambah dan menghasilkan zoospora biflagella yang infektif yang nantinya akan menginfeksi nyamuk. Sedang dalam kondisi kurang air/ kekeringan tahap seksual ini tetap dapat berlangsung dan dapat bertahan lama dalam bentuk oospora.

(20)

KESIMPULAN

1. Berdasarkan hasil penghitungan secara statistik menunjukkan bahwa dari ketiga media biakan yang digunakan yaitu media PYG, media kuning telur (EWM) dan media kuning telur plus tidak berbeda nyata dalam menghasilkan koloni kapang Lagenidium giganteum

2. Media Kuning telur plus dapat digunakan sebagai media alternatif dalam memproduksi oospora

3. Nilai LD50 oospora terhadap larva instar 2 nyamuk Ae. Aegypti sebesar 6,7 x

102 oospora/ml sedangkan untuk membunuh 95% (LD95) sebesar 1,94 x 103

Gambar

Tabel 1.   Jumlah larva  Ae. aegypti yang mati dan hidup pada setiap konsentrasi  zoospora
Tabel 2. Hasil percobaan penghitungan LD 50  dan LD 95
Tabel  3. Hasil percobaan penghitungan LD 50  dan LD 9 5  oospora terhadap   larva instar 2 nyamuk Ae
Gambar  6.  Zoospora menyebar  disekeliling tubuh larva  pada hari pertama setelah  diberi perlakuan (10x)
+4

Referensi

Dokumen terkait

Namum sejauh ini, dalam penegakan hukum di dalam masyarakat adat Aceh, masih terdapat kendala-kedala yang dihadapi, sehingga proses pembangunan hukum adat di Indonesia, khususnya di

Perilaku mendekat atau menghindar dari konsumen dapat diartikan bahwa mereka akan memilih perusahaan jasa transportasi yang memang memiliki layanan servicescape

Penilaian kinerja merupakan proses di mana organisasi berupaya memperoleh informasi yang akurat tentang kinerja para anggotanya.Penilaian kinerja karyawan yang

Atas dasar tersebut, penulis menyarankan kepada tenaga kesehatan terutama bidan dan perawat untuk menganjurkan kepada ibu hamil mengkonsumsi madu sebanyak 2-3

Sumber data terdiri dari data primer dan data sekunder, data primer adalah hasil pengukuran usap alat medis di ruang perawatan, data sekunder meliputi data umum dan

KCJ, pada sistem kerja kereta rel listrik memiliki bagian-bagian yang sangat penting diantaranya, saluran penyulang (feeder) yang menerima pasokan sebesar 20kV

Jadi dalam penelitian ini fenomena yang akan diteliti adalah mengenai keadaan penduduk yang ada di Kabupaten Lampung Barat berupa dekripsi, jumlah pasangan usia

Sedangkan elemen kunci pada tolok ukur adalah meningkatnya diversifikasi produk talas, elemen kendala adalah lemahnya sistem kelembagaan, kurang adanya dukungan pemerintah