• Tidak ada hasil yang ditemukan

MATERI KULIAH FOLKLOR JAWA HAKIKAT FOLKLOR JAWA OLEH SUWARDI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MATERI KULIAH FOLKLOR JAWA HAKIKAT FOLKLOR JAWA OLEH SUWARDI"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

MATERI KULIAH FOLKLOR JAWA

HAKIKAT FOLKLOR JAWA

OLEH SUWARDI

A. Folklor Jawa sebagai Fosil

Istilah folklor Jawa, tampaknya masih asing di telinga orang Jawa. Padahal orang Jawa jelas kaya folklor. Sebaliknya, kalau mendengar kata budaya, orang Jawa langsung bisa paham. Antara folklor dan budaya memang sulit dipisahkan. Jika budaya merupakan hasil karya manusia, baik yang konkrit maupun abstrak – folklor tak jauh dari asumsi ini. Hal ini sekaligus meneguhkan, bahwa orang Jawa kadang-kadang tak sadar terhadap miliknya yang luhur. Sebagian orang Jawa seringkali juga tak begitu peduli terhadap miliknya. Sebagian yang lain justru amat peduli dengan istilah budaya maupun folklor. Para ahli folklor, tampak kurang bangga dengan miliknya. Umumnya, para ahli lebih suka disebut ahli budaya, karena budaya dan folklor amat mirip.

Orang Jawa hanya mendapat kabar angin (sriwing-sriwing) tentang folklor Jawa. Sebagian malah tak mengenal sama sekali terhadap seluk beluk folklor. Mungkin hanya akademisi tertentu yang mengenal folklor. Jadi orang Jawa lebih apatis terhadap folklor. Hal ini patut direnungkan karena perkembangan folklor di Jawa memang belum begitu pesat dibanding negara lain, Amerika misalnya. Hampir pasti bahwa orang Jawa hanya mengenal folklor di bagian kulit-kulit saja, kendati hampir tiap hari menggunakan. Itulah sebabnya tak mustahil jika sebagian orang Jawa masih menganggap minir terhadap folklor. Bahkan ada juga yang berasumsi bahwa folklor itu sekedar kabar burung (hearsay), rumor, celoteh, yang sulit dipertanggungjawabkan.

Meskipun belum banyak yang mengenal lebih jauh tentang folklor Jawa, asalkan orang Jawa masih memelihara dan mendukungnya – folklor itu tetap survive. Folklor tergolong ilmu atau sebuah disiplin budaya. Folklor Jawa merupakan ilmu yang luas. Apa saja masuk di dalamnya. Boleh dinyatakan folklor Jawa merupakan ilmu keranjang sampah. Semua hal yang berbau tradisi, hampir dapat masuk ke keranjang itu. Meskipun begitu, tak berarti folklor Jawa

(2)

merupakan ilmu murahan. Ilmu tersebut tetap bergengsi, meskipun amat jarang orang yang menceburkan ke dalamnya. Keistimewaan folklor Jawa justru ibarat sebuah mutiara yang kaya makna. Sayangnya, seakan-akan folklor itu berada pada sebuah “museum kuna” yang penuh fosil-fosil. Folklor sering dianggap sebagai fosil budaya Jawa yang terlupakan. Akibatnya pemahaman orang awam terhadap folklor Jawa masih belum memadai.

Dalam kaitan itu Potter (Leach, 1949:401) menyatakan bahwa folklor merupakan “a lively fossil which refuses to die”. Dari pendapat ini tampak bahwa folklor memang banyak menampilkan hal-hal kuna. Begitu pula kehidupan folklor Jawa, hampir selalu memaparkan persoalan-persoalan kuna. Seluk beluk kehidupan “masa lalu”, sering terkategorikan sebagai folklor. Namun persoalan kuna itu akan tetap lestari, enggan mati karena masih didukung oleh pengikutnya. Hal-hal yang arkais itu tetap menunjukkan daya juangnya dan bermakna bagi kehidupan pemiliknya. Jadi, di samping rentang waktu amat menentukan apakah sebuah fenomena termasuk folklor atau bukan, aspek kegunaan pun merupakan faktor penting. Folklor yang masih memiliki urgensi, akan selalu survive. Sedangkan folklor yang kurang berguna, lama-kelamaan akan ditinggalkan dan akhirnya musnah. Ini tantangan berat bagi pemerhati folklor Jawa.

Sadar atau tidak, kehadiran folklor Jawa memang akan memperkaya khasanah budaya orang Jawa. Folklor Jawa akan menjadi ciri atau identitas mereka, yang membedakan dengan etnik lain. Jati diri orang Jawa itu akan memupuk jiwa kolektif. Kebanggaan kolektif atas folklor, kemungkinan akan mencitakan kerukunan. Paling tidak di antara mermeka akan tercipta kebersamaan yang luar biasa, sehingga jiwa individualis orang Jawa terminimalisir.

B. Kisah Dari Mulut Ke Mulut

Dalam pandangan Archer Taylor (Danandjaja, 2003:31) folklor adalah bahan-bahan yang diwariskan oleh tradisi, baik melalui kata-kata dari mulut atau adat istiadat dari praktek. Tegasnya, folklor merupakan bagian dari kebudayaan yang bersifat tradisional, tidak resmi (unofficial), dan non-institusional. Kendati terlekat sifat tradisional, tidak berarti bahwa folklor modern tidak ada. Jadi ketradisionalan hanyalah ciri khas folklor. Tradisional tidak selalu sama dengan kuna. Hal ihwal kehidupan modern pun jika telah mentradisi, kemungkinan tercakup dalam folklor.

(3)

secara turun-temurun secara lisan (oral). Dalam pandangan Sweeney (1987:278) folklor memang kadang-kadang berasal dari ungkapan orang bodoh. Apalagi folklor yang merupakan bentuk tradisi lisan, jelas sering berasal dari ucapan yang kadang-kadang disalahartikan. Ucapan yang keliru, tak terduga, terpeleset, dan terkesan ngawur bisa menjadi folklor. Jadi folklor termasuk cerita-cerita mulut (tale by word of mouth). Ucapan mulut yang tersilap, mungkin sekali menjadi folklor yang menarik.

Namun, pada perkembangan selanjutnya pewarisan folklor telah meluas, tidak hanya secara lisan saja, tetapi juga secara tertulis. Munculnya tradisi cetak-mencetak, telah mengubah budaya lisan ke budaya tulis. Akibatnya penyebaran folklor ke daerah lain, dapat berlangsung cepat. Melalui tulisan yang hanya diperoleh dari lisan, sepotong-sepotong, justru memperkaya varisi folklor itu sendiri. Itulah sebabnya pembauran lisan-tulis dalam folklor akhir-akhir ini amat mungkin terjadi.

Folklor Jawa akan meliputi berbagai hal, seperti pengetahuan, asumsi, tingkah laku, etika, perasaan, kepercayaan, dan segala praktek-praktek kehidupan tradisional. Yang penting folklor memiliki fungsi tertentu bagi pemiliknya. Pemilik folklor kadang-kadang sadar akan miliknya dan kadang-kadang tidak disadarinya. Oleh karena, folklor bukan milik seorang individu, melainkan sebuah kolektif. Kolektif tersebut tidak terbatas ruang dan waktu, maka kadang-kadang berkurang dan sebaliknya juga berkembang.

Sebagai sebuah karya, folklor diciptakan oleh orang yang tidak jelas. Justru ketidakjelasan inilah yang membuat folklor semakin unik dan menarik bagi pendukungnya. Semakin tidak jelas siapa penciptanya, folklor tersebut dipandang semakin bergengsi. Dengan kata lain, folklor pun akan memiliki tingkatan-tingkatan tertentu. Setiap folklor memiliki pengaruh yang berbeda-beda satu dengan yang lain terhadap pemiliknya.

Disadari atau tidak, memang ada folklor Indonesia. Folklor tersebut mungkin berasal dari lokal tertentu. Karena tadi memiliki makna luas dan penyebarannya merata di Indonesia, bisa jadi dimiliki oleh bangsa Indonesia. Kolektif Indonesia jauh lebih besar dan kompleks jika dibandingkan dengan folklor lokal, Jawa misalnya. Folklor Indonesia ada juga ada yang menyebut folklor nusantara. Artinya, folklor yang menjadi bagian dari kebudayaan nusantara. Batasan semacam ini didasarkan pada kondisi geografis, sedangkan penamaan folklor Indonesia lebih ke aspek politis.

(4)

dapat memiliki folklor tersendiri yang berbeda satu sama lain. Perbedaan memang kadang-kadang amat tipis antar folklor di sebuah wilayah. Bahkan di sana sini sering ada persamaan antar folklor pada sebuah wilayah. Persamaan dan perbedaan folklor di suatu wilayah justru akan memperkaya budaya bangsa itu sendiri.

Folklor Jawa pada dasarnya merupakan bagian dari kebudayaan Jawa yang tersebar secara turun-temurun. Di antara pemilik folklor Jawa ada yang sadar dan tidak sadar jika memiliki folklor. Sejalan dengan eksistensi budaya Jawa ada yang dinamakan budaya adiluhung, folklor pun demikian adanya. Ada folklor Jawa yang adiluhung dan sebaliknya ada yang profan. Keduanya saling dukung-mendukung, membentuk komunitas folklor. Oleh karena budaya Jawa juga ada yang bernama budaya priyayi (wong gedhe) dan budaya wong cilik, folklor pun secara tidak langsung menggambarkan segmen masyarakat tersebut.

Dengan kata lain, folklor Jawa memang amat kaya. Folklor Jawa berkembang luas sejalan dengan perkembangan orang Jawa. Untuk itu, Danandjaja (1971:29) pernah menyarankan agar folklor Jawa digali lebih jauh, terutama yang telah dikumpulkan dalam buku rakyat (chapbook), seperti primbon. Dalam kaitan ini boleh dinyatakan bahwa primbon merupakan dokumentasi folklor Jawa yang memuat aneka ragam permasalahan.

Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa folklor Jawa adalah segala karya tradisi yang telah diwariskan dan berguna bagi pendukungnya. Folklor Jawa pun memiliki variasi antar daerah satu dengan yang lain. Sebagai karya, folklor Jawa menjadi milik kolektif besar orang Jawa. Orang Jawa mengakui secara sadar dan atau tidak bahwa dirinya memiliki folklor. Hal ini ditunjukkan oleh sikap memiliki (handarbeni) dan ingin memelihara folklor tersebut. Orang Jawa yang sadar diri atas folklornya, akan berupaya mati-matian untuk menjaga kelestarian folklor itu.

C. Ciri Pengenal Folklor Jawa

Sampai saat ini, masih perlu dilacak sebenarnya apa saja yang menjadi ciri khas folklor Jawa. Paling tidak agar memudahkan pengkaji folklor, untuk mendalami sebuah fenomena dapat dimasukkan folklor atau tidak. Dalam kaitan ini, kita dapat berkiblat pada pendapat Brunvand (Hutomo, 1991:7) yang memberikan ciri folklor sebagai berikut: (1) bersifat lisan (oral), (2) bersifat tradisional, (3) keberadaannya sering memiliki varian atau versi, (4) selalu anonim, (5) cenderung memiliki formula atau rumus yang jelas.

(5)

Ciri-ciri tersebuti menandakan bahwa folklor memang sebuah budaya asli. Naluri klise selalu melekat pada folklor. Begitu pula folklor Jawa, tentu keaslian dan nada klise merupakan ciri kehadirannya. Sikap dan tindakan orang Jawa yang berlandaskan naluri-naluri kuna, akan melahirkan folklor yang unik. Pewarisan folklor Jawa tersebut sebagian besar juga dilisankan. Yang dimaksud lisan di sini adalah penyebarannya, dan belum tentu bentuknya. Penyebaran folklor Jawa umumnya mengandalkan budaya lisan yang kemungkinan besar kurang terstruktur. Folklor tadi juga sering anonim, tidak jelas pencipta dan perancangnya. Penerima warisan folklor tinggal menyatakan ujare (katanya) orang dahulu. Ada lagi yang menyatakan jarene mbah buyut, kata nenek moyang terdahulu.

Sebenarnya, masih ada ciri folklor Jawa lain yang lebih melengkapi lima ciri di atas, antara lain: (1) mempunyai kegunaan bagi pendukungnya atau kolektifa, (2) bersifat pralogis, (3) menjadi milik bersama dan tanggung jawab bersama, (4) mempunyai sifat polos dan spontan. Ciri (1) menekankan aspek pragmatis folklor. Sekecil apa pun, folklor itu akan ada manfaatnya bagi yang percaya. Ciri (2) memuat logika folklor kadang-kadang masih pada taraf prapemikiran. Hal ini tak berarti folklor tadi kurang beralasan, melainkan tetap ada alibi yang jelas di balik karya tersebut. Ciri (3) merujuk pada aspek pelestarian dan upaya perlindungan folkor itu. Karena menjadi milik kolektif, kalau ada apa-apa yang menyangkut folklor itu, pemiliknya rela berkorban. Ciri (4) menggambarkan proses pemunculan folklor itu sendiri. Folklor dapat hadir serta merta, tak disengaja, dan kurang disadari.

Atas dasar ciri tersebut, tak mengherankan jika penampilan folklor Jawa amat khas. Ada di antara folklor yang ditampilkan dalam bentuk humor. Bahkan tidak jarang yang berbau erotis. Kombinasi antara erotik dan humor pun sering terjadi dalam folklor. Yang penting di dalamnya memuat makna yang berkesan bagi pendukungnya. Dengan demikian, secara sederhana kita dapat memilahkan mana karya folklor dan mana yang bukan. Jika karya budaya memenuhi sebagian ciri di atas tentu apa salahnya itu masuk kategori folklor.

Berdasarkan ciri di atas, folklor Jawa dapat diberi ciri khas sebagai berikut:

(1) disebarkan secara lisan, artinya dari mulut ke mulut, dari orang satu ke orang lain, dan secara alamiah tanpa paksaan;

(2) nilai-nilai tradisi Jawa amat menonjol dalam folklor. Tradisi ditandai dengan keberulangan atau yang telah menjadi kebiasaan;

(6)

Variaisi disebabkan oleh keragaman bahasa, bentuk, dan keinginan masing-masing wilayah; (4) pencipta dan perancang folklor tidak jelas siapa dan asalnya dari mana. Namun, ada folklor Jawa yang telah dibukukan, sehingga bagi yang kurang paham seolah-olah yang mengumpulkan adalah penciptanya;

(5) cenderung memiliki formula atau rumus yang tetap dan ada yang lentur. Maksudnya, ada rumus yang tak berubah-ubah sebagai patokan dan ada yang berubah-ubah tergantung kepentingan;

(6) mempunyai kegunaan bagi pendukungnya atau kolektifa Jawa. Sekecil apa pun, folklor Jawa tetap ada manfaat bagi pendukungnya. Pendukung folklor Jawa dapat hanya beberapa individu yang merupakan kolektif. Pendukung juga dapat berkurang dan bertambah dari waktu ke waktu. Begitu pula aspek kegunaan, dapat berubah-ubah, seiring dengan perkembangan jaman;

(7) kadang-kadang folklor Jawa mencerminkan hal-hal yang bersifat pralogis. Hal-hal yang kurang rasional akan muncul dalam folklor. Rasionalitas ini amat tergantung pola pikir masing-masing pemilik. Karena itu yang berkembang dalam benak orang Jawa lebih banyak pada unsur keyakinan;

(8) menjadi milik bersama dan tanggung jawab bersama. Masyarakat Jawa secara tak langsung merasa memiliki, sehingga mau berkorban demi pelestarian dan perkembangan folklor;

(9) mempunyai sifat polos dan spontan. Maksudnya, kadang-kadang folklor Jawa hanya berasal dari orang main-main bahasa, silap dengar, dan wacana tak sadar. Ada kalanya pula merupakan ekspresi orang tolol;

(10) ada yang memiliki unsur humor dan wejangan.

Ciri-ciri demikian bukanlah harga mati, melainkan masih bisa berkembang. Sebaliknya, juga belum tentu seluruh folklor Jawa memuat 10 ciri tersebut. Setiap folklor boleh hanya memuat beberapa ciri khas saja. Jika di luar 10 ciri itu tak ada, tentu sebuah fenomena di Jawa ini masih perlu dipertanyakan apakah karya folklor atau bukan. Untuk mengenal ciri-ciri tersebut, pemerhati folklor harus masuk dalam wilayah folklor Jawa secara intennsif.

D. Genre Folklor Jawa

Genre folklor adalah keragaman folklor. Genre akan memuat aneka macam bentuk folklor. Setiap genre akan memiliki sub genre lagi yang lebih kecil. Jadi genre merupakan wadah yang memuat bermacam-macam isi folklor. Genre folklor Jawa amat beragam. Dari sekian

(7)

genre, dapat digolong-golongkan ke dalam lingkup yang lebih besar yang disebut bentuk folklor. Untuk mempermudah pengelompokan folklor Jawa, kiranya cukup relevan jika berkiblat pada pendapat Brunvand (Hutomo, 1991:8) bahwa secara garis besar, folklor dapat dikelompokkan menjadi tiga: (1) foklor lisan (verbal folklore), (2) folklor sebagian lisan (partly verbal folklore), (3) folklor bukan lisan (non verbal folklore). Ketiga kelompok folklor ini dapat menampakkan dirinya ke dalam tiga wujud: (1) dalam bentuk oral dan verbal (mentifacts), (2) kinesiologik (berupa kebiasaan dan sosiofacts), dan (3) material (artefacts).

Pada bagian lain, Brunvand menggolongkan folklor ke dalam tiga golongan, yaitu: (1) folklor lisan, yaitu folklor yang banyak diteliti orang. Bentuk folklor lisan dari yang sederhana, yaitu ujaran rakyat (folk speech), yang bisa dirinci dalam bentuk julukan, dialek, ungkapan, dan kalimat tradisional, pertanyan rakyat, mite, legende, nyanyian rakyat, dan sebagainya; (2) folklor adat kebiasaan, yang mencakup jenis folklor lisan dan non lisan. Misalkan kepercayaan rakyat, adat-istiadat, pesta, permainan rakyat; (3) folklor material, seni kriya, arsitektur, busana, makanan, dan lain-lain.

Dundes (1984:28) menyajikan daftar hal-hal yang termasuk folklor, yakni: mite (myths), legenda (legends), dongeng (folktales), lelucon (jokes), peribahasa (provebs), teka-teki (riddles), nyanyian doa (chants), jimat atau guna-guna (charms), doa seperti doa sebelum makan (blessings), hinaan (insults), jawaban dengan kata-kata (retorts), celaan atau ejekan (taunts), godaan (teases), minum untuk keselamatan (toasts), serangkaian kata atau kalimat yang sulit diucapkan (tongue-twisters), salam (greeting), ungkapan berpisah (leave-teaking formulas).

Di samping hal-hal di atas, dia juga memasukkan unsur folklor yang lain, yaitu: (1) pakaian rakyat (folk costume), tarian rakyat (folk dance), drama rakyat (folks drama), kesenian rakyat (folk art), kepercayaan rakyat (folk belief), obat-obatan rakyat (folk medicine), musik instrumen rakyat (folk instrumental music), nyanyian rakyat (folk songs), seperti nyanyian nina bobok, kelonan (lullabies) atau balada (ballads), ungkapan rakyat (folk speech seperti slang, tamsilan rakyat (folk simile), folk metaphot, dan nama (names) seperti julukan atau pun gelar.

Lebih lanjut, juga diterakan yang tergolong folklor yaitu: puisi rakyat yang berupa epik oral sampai autograph-book verse, epitaphs (tulisan dalam nisan), corat-coret dalam kamar mandi (latrinalia), pantun jenaka (limericks), sajak dalam permaian anak (dling rhymes counting-out rhysmes, dan sajak anak-anak (mursery rhymes).

(8)

888888888888888888888888888

atau sebaliknya, karena adanya beberapa faktor: (1) seringkali pencerita hanya menerima dari mulut kemulut, sehingga suara kurang jelas. Peristiwa kesalahan dengar ini, justru akan memperkaya teks yang disampaikan, sehingga terjadi kemiripan; (2) pencerita juga sering menggunakan bahasa lokal atau dialek dan bahkan idiolek khas, sehingga perubahan dari teks asli amat mungkin terjadi; (3) pencerita kadang-kadang memunculkan kata serapan dan juga kondisi jaman, sehingga teks lisannya menjadi kaya, (4) folklor yang dipentaskan, seringkali ada penyesuaian dengan dunia panggung dan iringan, sehingga perubahan di sana sini harus dilakukan.

4. Folklor Jawa dan Antropologi

Bagi sebagian antropolog akan menyebut dirinya sebagai ahli budaya Jawa, bukan sebagai ahli folklor Jawa. Para peneliti budaya di bidang antropologi sebenarnya banyak mengkaji sumber-sumber folklor. Sadar atau tidak mereka telah terjebak pada konsep folklor dan antropologi yang sulit terpisahkan. Ahli antropolog dan ahli folklor sebenarnya satu, artinya saling terkait.

Kehadiran De Jong yang mencoba menggali aliran kepercayaan di Jawa, adalah bukti ada keterkaitan antara folklor dan antropologi. Tokoh ini berupaya menangkap sikap hidup orang Jawa, khususnya yang bergerak di aliran kebatinan Pangestu. Pelacakan aktivitas ini sebenarnya juga merupakan studi folklor sebagian lisan. Begitu pula munculnya pengkaji budaya Jawa asing seperti Niels Mulder, Anton Bekker, Cliffod Geertz, Mark R Woodward, Paul Sting, Robert Hefner, Franz Magnis Suseno, dan lain-lain merupakan wujud kaitan folklor dan antropologi. Terlebih lagi dengan hadirnya para antropolog seperti Koentjaraningrat, Parsudi Suparlan, Danandjaja, Heddy Shri Ahimsa Putra, Suripan Sadi Hutomo, Ayu Sutarto, Setya Yuwana Sudikan, dan sebagainya jelas bahwa mereka selalu memanfaatkan studi folklor.

Metode kajian antropologi juga banyak dimanfaatkan oleh dunia folklor Jawa, begitu sebaliknya. Disiplin teoritik seperti evolusi, difusi, fungsionalkisme, strukturalisme Levi-Strauss, dan lain-lain sering dipakai dalam studi folklor dan antropologi. Namun demikian, di Jawa memang belum ada program khusus yang membidangi folklor Jawa di Perguruan Tinggi. Karena itu boleh dinyatakan bahwa folklor Jawa masih tergolong disiplin yang menjadi “bola pimpong”, yang sampai saat ini belum tegas eksistensinya. Disiplin folklor masih sering “sembunyi” di

(9)

balik bidang antropologi.

Seperti halnya antropologi, folklor Jawa juga memperhatikan aset budaya lisan. Kajian-kajian antropologi yang ke arah budaya primitif Jawa, sebenarnya juga merupakan studi folklor. Interpretasi-interpretasi antropologi yang banyak melakukan interdisiplin dengan sastra dan psikologi, juga sering dilakukan oleh pemerhati folklor. Kajian antropologi mitos, antropologi politik, antropologi hukum, antropologi kesehatan, dan lain-lain juga sering menjajdi wilayah folklor. Pendek kata, antropologi adalah studi tentang manusia secara komprehensif dan folklor pun demikian. Folklor merupakan representasi nilai-nilai kehidupan yang meyakinkan, kepercayaan yang survival, yang dapat dipegang oleh kolektif.

Pandangan hidup Jawa yang ke arah manunggaling-kawula Gusti misalnya sering menarik minat abtropologi dan folklor. Kedua cabang ini sering berbenturan dan sekaligus melengkapi satu sama lain. Watak-watak orang Jawa yang gemar angka ganjil dan petungan, sering menjadi fokus studi kedua disiplin tersebut. Hanya saja, antropologi dan folklor sering memiliki tekanan yang berbeda. Folklor mengandalkan studi lisan, sedangkan antropologi bisa lisan dan tulis. Jika antropologi cenderung memanfafatkan studi etnografi, folklor pun tampak tak mau ketinggalan.

Referensi

Dokumen terkait

spektroskopi fotoakustik yang digunakan pada penelitian ini adalah laser CO 2.. Benih kedelai yang digunakan dalam penelitian ini adalah kedelai

Parikan berasal dari kata “ pari ” yang dalam bahasa Jawa bersinonim dengan kata pantun..  Satu bait terdiri dari

Sanggahan difujukan kepada Paritia Pengadaan Barang4asa Dinas Kehutanan dan perkebunan Kabupaten Merauke, dengar fembusan kepada PPK/Pergguna Anggaran Diras Kehutanan

Muna Tahun Anggaran 2015, maka perusahaan tersebut di atas diundang untuk mengikuti tahap Klarifikasi teknik dan pembuktian kualifikasi yang akan dilaksanakan pada

Kelompok Kerja (Pokja) Pengadaan Barang dan Jasa Kabupaten Cianjur Tahun Anggaran 2017, akan melaksanakan Seleksi Sederhana dengan Pascakualifikasi untuk paket pekerjaan

untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Magister Matematika pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas

Hasil pada penelitian ini adalah (1) terdapat perbedaan prestasi kognitif, afektif, dan psikomotor pada siswa yang belajar dengan pendekatan starter eksperimen melalui

longissima mulai lemas perubahan warna menjadi coklat kehitaman, mengkerut, dan akhirnya mati ditumbuhi hifa jamur berwarna