• Tidak ada hasil yang ditemukan

amniosintesis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "amniosintesis"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I BAB I

TINJAUAN PUSTAKA TINJAUAN PUSTAKA

2.1 FISIOLOGI CAIRAN AMNION 2.1 FISIOLOGI CAIRAN AMNION

Amnion manusia pertama kali dapat diidentifikasi pada sekitar hari ke-7 atau Amnion manusia pertama kali dapat diidentifikasi pada sekitar hari ke-7 atau ke-8 perkembangan mudigah. Pada awalnya sebuah vesikel kecil yaitu amnion, ke-8 perkembangan mudigah. Pada awalnya sebuah vesikel kecil yaitu amnion,  berkembang

 berkembang menjadi menjadi sebuah sebuah kantung kantung kecil kecil yang yang menutupi menutupi permukaan permukaan dorsaldorsal mudigah. Karena semakin membesar, amnion secara bertahap menekan mudigah mudigah. Karena semakin membesar, amnion secara bertahap menekan mudigah yang sedang tumbuh, yang mengalami prolaps ke dalam

yang sedang tumbuh, yang mengalami prolaps ke dalam rongga amnion.rongga amnion.

Gambar 1.

Gambar 1. Kantung amnion pada hari ke-10 ditampakkan pada gambar sebelah kiriKantung amnion pada hari ke-10 ditampakkan pada gambar sebelah kiri dan di sebelah kanan merupakan kantung amnion pada hari ke-12 yang dan di sebelah kanan merupakan kantung amnion pada hari ke-12 yang selanjutnya akan tumbuh menekan mudigah dikutip dari Cunningham selanjutnya akan tumbuh menekan mudigah dikutip dari Cunningham

Cairan amnion pada keadaan normal berwarna putih agak keruh karena Cairan amnion pada keadaan normal berwarna putih agak keruh karena adanya campuran partikel solid yang terkandung di dalamnya yang berasal dari adanya campuran partikel solid yang terkandung di dalamnya yang berasal dari lanugo, sel epitel, dan material sebasea. Volume cairan amnion pada keadaan aterm lanugo, sel epitel, dan material sebasea. Volume cairan amnion pada keadaan aterm adalah sekitar 800 ml, atau antara 400 ml -1500 ml dalam keadaan normal. Pada adalah sekitar 800 ml, atau antara 400 ml -1500 ml dalam keadaan normal. Pada kehamilan 10 minggu rata-rata volume adalah 30 ml, dan kehamilan 20 minggu 300 kehamilan 10 minggu rata-rata volume adalah 30 ml, dan kehamilan 20 minggu 300

(2)

ml, 30 minggu 600 ml. Pada kehamilan 30 minggu, cairan amnion lebih ml, 30 minggu 600 ml. Pada kehamilan 30 minggu, cairan amnion lebih mendominasi dibandingkan dengan janin sendiri.

mendominasi dibandingkan dengan janin sendiri.

Cairan amnion diproduksi oleh janin maupun ibu, dan keduanya memiliki Cairan amnion diproduksi oleh janin maupun ibu, dan keduanya memiliki  peran

 peran tersendiri tersendiri pada pada setiap setiap usia usia kehamilan. kehamilan. Pada Pada kehamilan kehamilan awal, awal, cairan cairan amnionamnion sebagian besar diproduksi oleh sekresi epitel selaput amnion. Dengan bertambahnya sebagian besar diproduksi oleh sekresi epitel selaput amnion. Dengan bertambahnya usia kehamilan, produksi cairan amnion didominasi oleh kulit janin dengan cara usia kehamilan, produksi cairan amnion didominasi oleh kulit janin dengan cara difusi membran. Pada kehamilan 20 minggu, saat kulit janin mulai kehilangan difusi membran. Pada kehamilan 20 minggu, saat kulit janin mulai kehilangan  permeabilitas, ginjal janin

 permeabilitas, ginjal janin mengambil alih peran tersmengambil alih peran tersebut dalam memproduksi cairanebut dalam memproduksi cairan amnion. Pada kehamilan aterm, sekitar 500 ml per hari cairan amnion di sekresikan amnion. Pada kehamilan aterm, sekitar 500 ml per hari cairan amnion di sekresikan dari urin janin dan 200 ml berasal dari cairan trakea. Pada penelitian dengan dari urin janin dan 200 ml berasal dari cairan trakea. Pada penelitian dengan menggunakan radioisotop, terjadi pertukaran sekitar 500 ml per jam antara plasma menggunakan radioisotop, terjadi pertukaran sekitar 500 ml per jam antara plasma ibu dan cairan amnion.

ibu dan cairan amnion.

Pada kondisi dimana terdapat gangguan pada ginjal janin, seperti agenesis Pada kondisi dimana terdapat gangguan pada ginjal janin, seperti agenesis ginjal, akan menyebabkan oligohidramnion dan jika terdapat gangguan menelan ginjal, akan menyebabkan oligohidramnion dan jika terdapat gangguan menelan  pada

 pada janin, janin, seperti seperti atresia atresia esophagus, esophagus, atau atau anensefali, anensefali, akan akan menyebabkanmenyebabkan  polihidramnion.

 polihidramnion.

Fungsi Cairan Amnion Fungsi Cairan Amnion

Cairan amnion merupakan komponen penting bagi pertumbuhan dan Cairan amnion merupakan komponen penting bagi pertumbuhan dan  perkembangan

 perkembangan janin janin selama selama kehamilan. kehamilan. Pada Pada awal awal embryogenesis, embryogenesis, amnionamnion merupakan perpanjangan dari matriks ekstraseluler dan di sana terjadi difusi dua merupakan perpanjangan dari matriks ekstraseluler dan di sana terjadi difusi dua arah antara janin dan cairan amnion. Pada usia kehamilan 8 minggu, terbentuk uretra arah antara janin dan cairan amnion. Pada usia kehamilan 8 minggu, terbentuk uretra dan ginjal janin mulai memproduksi urin. Selanjutnya janin mulai bisa menelan. dan ginjal janin mulai memproduksi urin. Selanjutnya janin mulai bisa menelan. Eksresi dari urin, sistem pernafasan, sistem digestivus, tali pusat dan permukaan Eksresi dari urin, sistem pernafasan, sistem digestivus, tali pusat dan permukaan  plasenta

 plasenta menjadi menjadi sumber sumber dari dari cairan cairan amnion. amnion. Telah Telah diketahui diketahui bahwa bahwa cairan cairan amnionamnion  berfungsi

(3)

 janin untuk bergerak, tumbuh meratakan tekanan uterus pada partus, dan mencegah trauma mekanik dan trauma termal.

Cairan amnion juga berperan dalam sistem imun bawaan karena memiliki  peptid antimikrobial terhadap beberapa jenis bakteri dan fungi patogen tertentu. Cairan amnion adalah 98% air dan elektrolit, protein , peptide, hormon, karbohidrat, dan lipid. Pada beberapa penelitian, komponen-komponen cairan amnion ditemukan memiliki fungsi sebagai biomarker  potensial bagi abnormalitas-abnormalitas dalam kehamilan. Beberapa tahun belakangan, sejumlah protein dan peptide pada cairan amnion diketahui sebagai faktor pertumbuhan atau sitokin, dimana kadarnya akan  berubah-ubah sesuai dengan usia kehamilan. Cairan amnion juga diduga memiliki  potensi dalam pengembangan medikasi stem cell .

Volume Cairan Amnion

Volume cairan amnion pada setiap minggu usia kehamilan bervariasi, secara umum volume bertambah 10 ml per minggu pada minggu ke-8 usia kehamilan dan meningkat menjadi 60 ml per minggu pada usia kehamilan 21 minggu, yang kemudian akan menurun secara bertahap sampai volume yang tetap setelah usia kehamilan 33 minggu. Normal volume cairan amnion bertambah dari 50 ml pada saat usia kehamilan 12 minggu sampai 400 ml pada pertengahan gestasi dan 1000

 – 

1500 ml pada saat aterm. Pada kehamilan postterm jumlah cairan amnion hanya 100 sampai 200 ml atau kurang.

Brace dan Wolf menganalisa semua pengukuran yang dipublikasikan pada 12  penelitian dengan 705 pengukuran cairan amnion secara individual. Variasi terbesar terdapat pada usia kehamilan 32-33 minggu. Pada saat ini, batas normalnya adalah 400  2100 ml1,2,3,4.

(4)

Gambar 2. Grafik yang menunjukkan perubahan volume cairan amnion sesuai dengan penambahan usia gestasi

dikutip dari Gilbert

Pengukuran Cairan Amnion

Terdapat 3 cara yang sering dipakai untuk mengetahui jumlah cairan amnion, dengan teknik  single pocket   ,dengan memakai Indeks Cairan Amnion (ICA), dan secara subjektif pemeriksa.

Pemeriksaan dengan metode  single pocket  pertama kali diperkenalkan oleh Manning dan Platt pada tahun 1981 sebagai bagian dari pemeriksaan biofisik, dimana 2 cm dianggap sebagai batas minimal dan 8 cm dianggap sebagai  polihidramnion.

Metode  single pocket   telah dibandingkan dengan AFI menggunakan amniosintesis sebagai  gold standar . Tiga penelitian telah menunjukkan bahwa metode pengukuran cairan ketuban dengan teknik Indeks Cairan Amnion (ICA) memiliki korelasi yang lemah dengan volume amnion sebenarnya ( R2 dari 0.55, 0.30 dan 0.24) dan dua dari tiga penelitian ini menunjukkan bahwa teknik  single pocket  memiliki kemampuan yang lebih baik.

(5)

Kelebihan cairan amnion seperti polihidramnion, tidak mempengaruhi fetus secara langsung, namun dapat mengakibatkan kelahiran prematur. Secara garis besar, kekurangan cairan amnion dapat berefek negatif terhadap perkembangan paru-paru dan tungkai janin, dimana keduanya memerlukan cairan amnion untuk berkembang.

Gambar 3. Pengukuran cairan amnion berdasarkan empat kuadran Distribusi Cairan Amnion

 Urin Janin

Sumber utama cairan amnion adalah urin janin. Ginjal janin mulai memproduksi urin sebelum akhir trimester pertama, dan terus berproduksi sampai kehamilan aterm. Wladimirof dan Campbell mengukur volume produksi urin janin secara 3 dimensi setiap 15 menit sekali, dan melaporkan bahwa produksi urin janin adalah sekitar 230 ml / hari sampai usia kehamilan 36 minggu, yang akan meningkat sampai 655 ml/hari pada kehamilan aterm.

Rabinowitz dan kawan-kawan, dengan menggunakan teknik yang sama dengan yang dilakukan Wladimirof dan Campbell, namun dengan cara setiap 2 sampai 5 menit, dan menemukan volume produksi urin janin sebesar 1224 ml/hari. Pada tabel

(6)

menunjukkan rata-rata volume produksi urin per hari yang didapatkan dari beberapa  penelitian. Jadi, produksi urin janin rata-rata adalah sekitar 1000-1200 ml/ hari pada

kehamilan aterm.

 Cairan Paru

Cairan paru janin memiliki peran yang penting dalam pembentukan cairan amnion. Pada penelitian dengan menggunakan domba, didapatkan bahwa paru-paru janin memproduksi cairan sampai sekitar 400 ml/hari, dimana 50% dari produksi tersebut ditelan kembali dan 50% lagi dikeluarkan melalui mulut. Meskipun pengukuran secara langsung ke manusia tidak pernah dilakukan, namun data ini memiliki nilai yang representratif bagi manusia. Pada kehamilan normal, janin bernafas dengan gerakan inspirasi dan ekspirasi, atau gerakan masuk dan keluar melalui trakea, paru- paru dan mulut. Jadi jelas bahwa paru-paru janin juga berperan dalam pembentukan

cairan amnion.

 Gerakan menelan

Pada manusia, janin menelan pada awal usia kehamilan. Pada janin domba,  proses menelan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya usia kehamilan.

Sherman dan teman-teman melaporkan bahwa janin domba menelan secara bertahap dengan volume sekitar 100-300 ml/kg/hari.

Banyak teknik berbeda yang dicoba untuk mengukur rata-rata volume cairan amnion yang ditelan dengan menggunakan hewan, namun pada manusia,  pengukuran yang tepat sangat sulit untuk dilakukan. Pritchard meneliti proses

menelan pada janin dengan menginjeksi kromium aktif pada kompartemen amniotik, dan menemukan rata-rata menelan janin adalah 72 sampai 262 ml/kg/hari.

Abramovich menginjeksi emas koloidal pada kompartemen amniotik dan menemukan bahwa volume menelan janin meningkat seiring dengan bertambahnya

(7)

usia kehamilan. Penelitian seperti ini tidak dapat lagi dilakukan pada masa sekarang ini karena faktor etik, namun dari penelitian di atas jelas bahwa kemampuan janin menelan tidak menghilangkan seluruh volume cairan amnion dari produksi urin dan  paru-paru janin, karena itu, harus ada mekanisme serupa dalam mengurangi volume

cairan amnion.

Gambar 4. Distribusi cairan amnion pada kehamilan Dikutip dari Gilbert

 Absorpsi Intramembran

Satu penghalang utama dalam memahami regulasi cairan amnion adalah ketidaksesuaian antara produksi cairan amnion oleh ginjal dan paru janin, dengan konsumsinya oleh proses menelan. Jika dihitung selisih antara produksi dan konsumsi cairan amnion, didapatkan selisih sekitar 500-750 ml/hari, yang tentu saja ini akan menyebabkan polihidramnion. Namun setelah dilakukan beberapa  penelitian, akhirnya terjawab, bahwa sekitar 200-500 ml cairan amnion diabsorpsi melalui intramembran. Gambar menunjukkan distribusi cairan amnion pada fetus. Dengan ditemukan adanya absorbsi intramembran ini, tampak jelas bahwa terdapat

(8)

keseimbangan yang nyata antara produksi dan konsumsi cairan amnion pada kehamilan normal.

2.2 AMNIOSINTESIS

2.2.1 Pengertian Amniosintesis

Amniosintesis adalah pemeriksaan yang biasa digunakan untuk uji abnormalitas kromosom, penyakit genetik dan infeksi pada fetus. Waktu pelaksanaan amniosintesis ini adalah usia kehamilan 15-18 minggu. Di US biasa dilakukan amniosintesis dini, yaitu pada usia kehamilan 10-14 minggu. Namun, karena  potensial tinggi untuk menjadi PROM (Prematur Ruptur Of Membran), infeksi dan  pendarahan, sehingga amniosintesis jarang dilakukan pada usia ini. Amniosintesis yang dilakukan pada trimester II tidak menunjukkan resiko yang signifikan terhadap terjadinya ELBW (Extremely Low Birth Weight, Less Than 1000 gr) maupun VLBW ( Very Low Birth Weight, Less Than 1500 gr).

Secara teknis, pelaksanaan amniosintesis ini adalah dengan cara memasukkan  jarum menembus perut ibu, kemudian diambil 20 ml amnion. Selanjutnya dari amnion tersebut dilakukan pemeriksaan sesuai dengan tujuannya. (Bayu Irianti, 2014: 231-232)

Amniosintesis Dini ( Trimester Pertama)

Amniosintesis disebut dini jika dilakukan antara 11 dan 14 minggu. Tekniknya sama dengan teknik amniosentesis tradisional, meskipun tidak adanya fusi membran ke dinding uterus menyebabkan fungsi kantong amnion menjadi lebih sulit, lebih sedikit cairan yang didapat dikeluarkan (biasanya 1ml untuk setiap minggu gestasi). Karena sebab-sebab yang belum sepenuhnya dipahami,

(9)

amniosintesis dini menimbulkan angka kematian janin dalam angka penyulit yang secara bermakna lebih tinggi dari amniosintesis biasa. Pada sebuah uji coba acak multisentra baru-baru ini, angka abortus spontan setelah amniosintesis dini adalah 2,5 persen dibandingkan dengan 0,7 persen pada amniosintesis trimester kedua. Komplikasi lainnya adalah clubfoot (tapiles) janin, yang terjadi pada 1 hingga 1,4  persen setelah amniosintesis tradisional. Oleh karena itu, banyak sentra tidak lagi

menawarkan amniosintesis sebelum 15 minggu. (Kenneth J Leven 2013 Hal: 96) Amniosintesis Trimester Kedua

Amnionsintesis adalah metode yang aman dan akurat untuk diagnosis  pranatal dan biasanya dilakukan antara 15 hingga 20 minggu gestasi. Ultrasound digunakan sebagai penuntun untuk memasukan jarum spinal ukuran 20 atau 22 kedalam kantong amnion, sembari menghindari plasenta, tal pusat dan janin. Aspirat awal 1 sampai 2 ml cairan dibuang untuk mengurangi kemungkinan pencemaran oleh sel-sel ibu, kemudian diambil sekitar 20 ml cairan untuk analisis, dan jarum dikeluarkan. Tempat pungsi diamati apakah ada perdarahan, dan pasien diperlihakan denyut jantung janinnya. Angka kematian janin setelah amniosintesis adalah 0,5  persen atau kurang (1 dari 200). Komplikasi minor jarang terjadi dan mecakup kebocoran air ketuban dan bercak perdarahan pervaginam yang sifatnya sementara  pada 1 hingga 2 prsen dan korioaminionitis pada kurang dari per 1000 wanita diperiksa. Cedera akibat jarum pada janin jarang terjadi. (Kenneth J Leven, 2013 Hal: 96)

2.2.2 Tujuan Dilakukannya Amniosentesis Tujuan dilakukannya amniosentesis yaitu:

(10)

1. Menetukan maturitas janin yaitu dengan memeriksa bilirubin, kreatinin, sel yang tercat lipid dan analisis surfaktan.

a. Pada kehamilan lebih dari 37 minggu, bilirubin dalam air ketuban sudah lenyap kecuali terdapat penyakit hemolitik.

 b. Konsentrasi kreatinin lebih dari atau sama dengan 1,8 mg/dl.

c. Jumlah sel-sel yang tercat lipid (berwarna orange pada pengecatan nile blue sulfate) lebih dari atau sama dengan 15%.

2. Monitoring penyakit hemolitik. 3. Determinasi seks.

4. Diagnosis kelainan genetik. (Yeni kusmiyati, 2009:43)

2.2.3 Pemeriksaan Amniosintesis

Adapun pemeriksaan tersebut menurut Henderson (2004) adalah sebagai  berikut:

d. Dilakukan kultur sel yang ada di dalam amnion, kemudian diobservasi  pertumbuhannya (biasanya selama 2-3 minggu), selanjutnya dilakukan penilaian terhadap sel tersebut. Jika sel tidak dapat tumbuh, maka amniosintesis ini gagal. Tingkat keberhasilan dari kultur sel ini adalah 1:500. Tingginya resiko kegagalan ini, maka sebelum dilakukan amniosintesis sangat perlu dilakukan Informed Consent yang telah didahului dengan penjelasan yang jelas.

e. Diagnosis neural tube deffect, namun penggunaan amniosintesis untuk diagnosis ini sudah banyak ditinggalkan, karena ada metode deteksi lain yang minim intervensi, yaitu melalui USG.

(11)

g. Tindakan amniosintesis untuk pemeriksaan DNA dapat memberikan hasil yang cepat.

h. Dalam Fanzylbera (2010), amniosintesis dikombinasikan dengan Chorionic Villus Sampling (CVS) dapat digunakan sebagai metode diagnosis Down Syndrome dan kelainan genetik lainnya. CVS adalah pengamblan sampel sel janin yang berasal dari vili korionik. Keakuratan kombinasi kedua pemeriksaan ini untuk mendiagnosa Down Syndrome lebih dari 99%. Mekanisme pemeriksaannya adalah sel yang diperoleh dari kedua metode tersebut dilakukan pemeriksaan mikroskopis terhadap ukuran kromosom dan model ikatannya. Terdapatnya extra copy dari kromosom 21  pada kariotip dapat digunakan sebagai penanda terjadinya Down Syndrome

(kelainan genetik yang paling sering terjadi) (Bayu Irianti, 2014, Hal; 232-233)

2.2.4 Hasil Tes Amniosentesis

Setelah proses amniosentesis sudah selesai dilakukan, sampel cairan ketuban yang diambil selama prosedur amniosentesis akan diuji di laboratorium. Kebanyakan hasil tes amniosentesis akan negatife dan dapat disimpulkan bahwa janin atau bayi dalam kandungan tersebut tidak memiliki kelainan dan gangguan kesehatan. Sebaliknya, apabila ditemukan bahwa tes amniosentesis menghasilkan nilai positif, itu berarti janin atau bayi mungkin memiliki kelainan dan gangguan ksehatan sehingga harus mendapat penanganan lebih serius. (Summase, 2014)

2.2.5 Resiko Amniosentesis 1. Keguguran

Ada kemungkinan kecil risiko keguguran di setiap kehamilan, baik dengan menjalani amniosentesis/CVS atau tidak. Amniosentesis meningkatkan sedikit risiko

(12)

keguguran, terutama jika dilakukan sebelum usia kehamilan 15 minggu. Untuk menurunkan risiko ini, amniosentesis dilakukan oleh dokter yang berkompetensi dan  berpengalaman.

Tidak bisa dipastikan mengapa bisa terdapat sedikit kemungkinan amniosentesis mengarahkan kepada keguguran. Bisa jadi disebabkan oleh infeksi, perdarahan, atau kerusakan membrana amniotik yang disebabkan oleh prosedur.

Jika keguguran memang terjadi, biasanya terjadi dalam 72 jam pasca amniosentesis. Namun, keguguran masih bisa terjadi hingga dua minggu sesudahnya. Keguguran yang terkait prosedur jarang terjadi setelah 3 minggu pasca amniosentesis.

2. Infeksi

Infeksi bisa, jarang, terjadi setelah amniosentesis. Sekitar 1 dari 1.000 ibu hamil yang menjalani amniosentesis mengalami infeksi serius di dalam cairan amniotik. Infeksi bisa disebabkan oleh beberapa hal, semisal:

a. Perlukaan pada usus dengan jarum yang digunakan pada prosedur, sehingga kuman yang biasanya ada di usus masuk ke cairan amniotik.

 b. Kuman yang ada di kulit (perut) ikut masuk bersama jarum ke dalam rongga perut atau rahim.

c. Kuman yang ada di alat USG atau jeli USG, ikut masuk ke dalam rongga perut.

Gejala bisa termasuk demam, nyeri pada perut, konstraksi rahim. Namun, infeksi  biasanya tidak terjadi jika prosedur untuk mencegah infeksi dilakukan dengan benar. 3. Cedera pada janin

Terdapat juga risiko cedera pada janin dengan jarum yang digunakan melakukan amniosentesis. Namun, dengan panduan USG tak terputus selama amniosentesis telah menurunkan kemungkinan komplikasi ini dan saat ini sangat jarang. Cedera

(13)

 pada plasenta juga dimungkinkan, namun ini umumnya tidak menyebabkan masalah apapun dan sembuh dengan sendirinya.

4. Berkembangnya penyakit rhesus pada bayi

Jika golongan darah ibu adalah rhesus negatif, dan golongan darah bayi rhesus  positif, maka ada risiko kemungkinan ibu akan membentu antibodi terhadap sel-sel darah bayi setelah prosedur amniosentesis. Ini berarti ada kemungkinan bayi akan mengalami penyakit rhesus. Sehingga, jika Anda memiliki rhesus negatif, maka Anda akan disarankan disuntik dengan immunoglobulin anti-D setelah amniosentesis guna mencegah hal ini. (I Putu Cahya Legawa 2015)

2.3 AMNIOINFUSI

2.3.1 Definisi Amnioinfusi

Amnioinfusi merupakan suatu prosedur melakukan infusi larutan NaCl fisiologis atau Ringer laktat ke dalam kavum uteri untuk menambah volume cairan amnion. Tindakan ini dilakukan untuk mengatasi masalah yang timbul akibat  berkurangnya volume cairan amnion, seperti deselearasi variabel berat dan sindroma

aspirasi mekonium dalam persalinan. Tindakan amnioinfusi cukup efektif, aman, mudah dikerjakan, dan biayanya murah.

Ruptur membran dini menempatkan bayi pada resiko kompresi tali pusat dan amnionitis. Amnioinfusi bertujuan untuk mencegah atau mengurangi kompresi tali  pusat dengan menambahkan cairan ke dalam kavum uteri. Terlalu sedikit penelitian yang menunjukkan bahwa amnioinfusi bermanfaat untuk bayi, yang kehamilannya mengalami ruptur membran dini. Membran yang mengelilingi bayi dan cairan dalam uterus biasanya ruptur selama persalinan. Jika terjadi ruptur membran dini (sebelum usia kehamilan 37 minggu) bayi mempunyai resiko tinggi untuk mengalami infeksi. Kemungkinan terjadinya kompresi tali pusat juga lebih tinggi, yang dapat

(14)

mengurangi aliran nutrisi dan oksigen dari ibu ke bayi. Cairan tambahan dapat dimasukkan melalui serviks ibu atau perut ibu ke dalam uterus, inilah yang disebut amnioinfusi, yang menyebabkan cairan yang mengelilingi bayi bertambah.

Indeks cairan ketuban perlu diketahui untuk memprediksi keberhasilan tindakan amnioinfusi dalam mengatasi fetal distress selama persalinan. Rata-rata Indeks Cairan Ketuban sebelum amnioinfusi adalah 6,2 ± 3,3 cm. Angka keberhasilannya dapat mencapai 76%.

2.3.2 Indikasi Amnioinfusi

1. Deselerasi variabel

Deselerasi variabel merupakan perubahan periodik denyut jantung janin yang  paling sering dijumpai selama persalinan. Perubahan denyut jantung janin tersebut terjadi sebagai respons terhadap berkurangnya aliran darah di dalam tali pusat. Deselerasi variabel merupakan refleks vagal yang disebabkam oleh kompresi tali  pusat yang terjadi akibat lilitan tali pusat di leher janin, terjepitnya tali pusat oleh  bagian ekstremitas janin, atau tali pusat yang terjepit di antara badan janin dan dinding uterus. Gambaran spesifik dari deselerasi variabel berupa penurunan denyut  jantung janin, akibat kontraksi, yang gambarannya bervariasi dalam hal bentuk

maupun hubungan saat terjadinya deselerasi dengan kontraksi uterus.

Berdasarkan besar dan lamanya penurunan denyut jantung janin, yang terjadi, maka deselerasi variabel dibedakan atas 3 jenis, yaitu :

1. Deselerasi variabel derajat ringan, bila penurunan denyut jantung janin, mencapai 80 dpm., dan lamanya kurang dari 30 detik.

(15)

3. Deselerasi variabel derajat berat, bila penurunan denyut jantung janin, sampai di  bawah 70 dpm., dan lamanya lebih dari 60 detik.

Gambaran frekuensi denyut jantung janin, basal dan ada-tidaknya akselerasi harus diperhatikan dalam penanganan deselerasi variabel. Bila frekuensi dan variabilitas denyut jantung janin tetap baik dan stabil, atau hanya berubah sedikit, maka penanganan dilakukan secara konservartip, misalnya dengan merubah posisi ibu dan pemberian oksigen untuk menghilangkan kompresi pada tali pusat dan memperbaiki oksigenasi janin. Bila tindakan tersebut ti dak menghilangkan deselerasi variabel, maka perlu dilakukan amnioinfusi untuk mengurangi tindakan operatif.

Pada keadaan deselerasi variabel yang berat dan menetap, keadaan janin akan semakin memburuk. Bila keadaan ini tidak dapat dikoreksi, maka tindakan  pengakhiran persalinan harus segera dilakukan.

2. Mekonium yang kental dalam cairan amnion

Sindrom aspirasi mekonium (juga disebut sebagai aspirasi mekonium) terjadi ketika bayi yang baru lahir menghirup campuran cairan mekonium dan ketuban selama persalinan. Mekonium adalah bahan yang mengisi saluran usus janin selama kehamilan dan terbentuk dari cairan ketuban tertelan dan sel usus mati. Meskipun steril, terhirup mekonium sangat mengiritasi paru-paru bila bayi bernapas pertama kali. Hal ini dapat menyebabkan penyumbatan parsial atau lengkap dari saluran napas bayi saat menghembuskan napas, sehingga sulit untuk bernapas.

Aspirasi mekonium umumnya terjadi intrauterin, meskipuin mungkin juga terjadi pada waktu bayi dilahirkan dan bernafas pertama kali. Pada keadaan oligohidramnion dan kompresi tali pusat, aspirasi mekonium terjadi akibat hipoksia

(16)

dan hiperkapnia pada janin. Keadaan ini akan merangsang janin melakukan gerakan nafas (gasping).

Resiko aspirasi mekonium cukup tinggi pada janin dengan mekonium yang kental, terutama bila janin mengalami hipoksia. Mekonium yang encer tidak menyebabkan terjadinya sindroma aspirasi mekonium dan tidak menambah mortalitas perinatal. Upaya untuk mengencerkan mekonium yang kental akan mengurangi kejadian sindroma aspirasi mekonium

Mekonium yang kental biasanya terjadi pada keadaan oligohidramnion, oleh karena mekonium tidak diencerkan oleh cairan amnion. Secara teoritis, amnioinfusi akan menambah volume cairan amnion yang sedikit, melindungi tali pusay dari kompresi, dan mengencerkan serta mengeluarkan mekonium yang terhisap oleh janin mengalami hipoksia atau asfiksia.

2.3.3 Tehnik Amnioinfusi

Amnioinfusi dapat dilakukan dengan cara transbdominal atau transervikal (transvaginal). Pada cara transabdominal, amnioinfusi dilakukan dengan bimbingan ultrasonografi (USG). Amnioinfusi transervikal lebih dipilih untuk wanita yang sedang dalam persalinan karena tidak memerlukan panduan ultrasound dan kateter yang digunakan bisa dipakai ulang.

Cairan NaCl fisiologis atau Ringer laktat dimasukkan melalui jarum spinal yang ditusukkan ke dalam kantung amnion yang terlihat dengan ultrasonografi. Pada cara transservikal, cairan dimasukkan melalui kateter yang dipasang ke dalam kavum uteri melalui serviks uteri. Lebih dipilih ringer laktat daripada NaCl 0,9 % karena  NaCl 0,9 % kemungkinan bisa menyebabkan perubahan komsentrasi elektrolit fetus.

(17)

Walau bagaimanapun, untuk mendapatkan konsentrasi elektrolit dalam batas normal dapat dipilih NaCl 0,9 % sebagai alternatif.

Selama tindakan amnioinfusi, denyut jantung janin dimonitor terus dengan alat kardiotokografi (KTG) untuk melihat perubahan pada denyut jantung janin.

Mula-mula dimasukkan 250 ml bolus cairan NaCI atau Ringer laktat selama 20-30 menit. Kemudian dilanjutkan dengan infus 10-20 ml/jam sebanyak 600 ml. Jumlah tetesan infusi disesuaikan dengan perubahan pada gambaran KTG. Apabila deselerasi variabel menghilang, infusi dilanjutkan sampai 250 ml, kemudian tindakan dihentikan, kecuali bila deselerasi variabel timbul kembali. Jumlah maksimal cairan yang dimasukkan adalah 800-1000 ml. Apabila setelah 800-1000 ml cairan yang dimasukkan tidak menghilangkan deselerasi variabel, maka tindakan dianggap gagal.

Banyak protokol yang berbeda-beda dari berbagai institusi dan tidak ada  protokol yang telah terbukti menjadi protokol terbaik. Suatu survei dari bagian Obstetri mengungkapkan bahwa mereka menggunakan metoda berikut : (1) bolus cairan ( 50 - 1000 mL) yang diikuti oleh pemasukan cairan secara konstan, (2) bolus serial ( 200 - 1000 mL diatur tiap 20 menit sampai empat jam), dan (3) pemasukan cairan secara konstan ( 15 - 2250 mL/hour). Suatu percobaan menemukan bahwa  pemasukan cairan secara terus menerus dan bertahap sama efektifnya.

Selama amnioinfusi dilakukan monitoring denyut jantung janin, dan tonus uterus. Bila tonus meningkat, infusi dihentikan sementara sampai tonus kembali normal dalam waktu 5 menit. Bila tonus uterus terus meningkat sampai 15-30 mm/Hg di atas tonus basal, maka tindakan harus dihentikan.

(18)

2.3.4 Kontraindikasi

Terdapat beberapa kontraindikasi untuk tindakan amnioinfusi, antara lain : 1. Amnionitis

2. Polihidramnion 3. Uterus hipertonik 4. Kehamilan kembar

5. Kelainan kongenital janin 6. Kelainan uterus

7. Gawat janin yang berat 8. Malpresentasi janin 9.  pH darah janin <7.20

(19)

BAB II KESIMPULAN

1. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa amniosentesis dan amnioinfusi merupakan prosedur kandungan dimana sejumlah cairan ketuban diaspirasi dari dalam kantong amnion untuk keperluan analisa dan pemberian infus NaCl/ RL untuk menambah caran amnion .

2. Tujuan dilakukannya amniosentesis yaitu Menetukan maturitas janin yaitu dengan memeriksa bilirubin, kreatinin, sel yang tercat lipid dan analisis surfaktan., Monitoring penyakit hemolitik, Determinasi seks dan Diagnosis kelainan genetik. Sedangkan tujuan dilakukan amnioinfusi adalah mengatasi masalah yang timbul akibat berkurangnya volume cairan amnion, seperti deselearasi variabel berat dan sindroma aspirasi mekonium dalam persalinan. 3. Resiko amniosentesis termasuk trauma terhadap janin, plasenta,

infeksi,keguguran atau kelahiran premature. Meskipun resikonya relative kecil, masih terdapat resiko yang berkaitan dengan prosedur tindakan. Kematian janin akibat komplikasi diperkirakan sekitar 0,3 sampai 3%.

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Irianti, Bayu, Dkk. 2014.  Asuhan Kehamilan Berbasis Bukti. Jakarta: CV Sagung Seto.

Kusmiyanti, Yuni, dkk. 2009. Perawatan Ibu Hamil . Yogyakarta: Fitra Maya.

Leven, Kenneth J, dkk. 2013. Obstetri William. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

http://dokter.legawa.com/?p=290 (dr. I Putu Cahya Legawa) (diakses pada tgl 16 Februari 2016 pukul 16:25 WIB)

http://www.infosehatkeluarga.com/amniosentesis-diagnosa-kelainan-dan-gangguan-kesehatan-janin-dalam-kandungan/ ((Summase, S.pd) (Diakses pada tanggal 16 Februari 2016 pukul 16:40 WIB)

Gambar

Gambar  2. Grafik  yang  menunjukkan  perubahan  volume  cairan  amnion  sesuai dengan penambahan usia gestasi
Gambar 3. Pengukuran cairan amnion berdasarkan empat kuadran Distribusi Cairan Amnion
Gambar 4. Distribusi cairan amnion pada kehamilan Dikutip dari Gilbert

Referensi

Dokumen terkait

Cairan :Bila terjadi oliguri (dehidrasi) infus N.Salin untuk rehidrasi sesuai dengan perhitungan kebutuhan cairan , kalau produksi urin kurang dari 400 ml/24 jam, diberikan furosemid

Waktu kestabilan kompleks amilum-iodium yang optimum adalah pada menit ke-5 sampai menit ke- 9, volume optimum oksidator iodat adalah 0,5 mL dan nilai absorbansi meningkat

Dari Gambar 1 terlihat bahwa kompleks antara aluminium dengan eriokrom sianin dengan volume pengompleks 2,0 mL, diperoleh waktu kestabilan dari menit ke 5 hingga 15 menit,

Waktu kestabilan kompleks amilum-iodium yang optimum adalah pada menit ke-5 sampai menit ke- 9, volume optimum oksidator iodat adalah 0,5 mL dan nilai absorbansi meningkat

Dapat dilihat dari hasil pengamatan sebelumnya bahwa dengan pemberian urin manusia volume 100 ± 200 ml/ polybag memberikan hasil yang baik juga seperti tinggi

Dari lima metode preparasi yang dipelajari diperoleh tiga metode preparasi yang dapat digunakan untuk mengukur kandungan tritium sebesar 1 Bq/mL atau lebih dalam sampel urin

Mendapatkan jawaban tentang pengaruh dari produk Gold Standard minuman isotonik dan Plain Water terhadap status hidrasi lansia dengan mengukur volume urin tampung 24

1 menunjukkan bahwa rata-rata produksi volume ASI responden sebelum diberikan pijat oksitosin sebesar 20,14 cc/ml dengan volume ASI terendah sebesar 8 cc/ml dan volume ASI tertinggi