• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Kelekatan (Attachment) Orangtua Dengan Kemandirian Pada Santri Remaja Di Pesantren Darussa’adah Gubugklakah Poncokusumo Malang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hubungan Kelekatan (Attachment) Orangtua Dengan Kemandirian Pada Santri Remaja Di Pesantren Darussa’adah Gubugklakah Poncokusumo Malang"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kemandirian 1. Pengertian Kemandirian Beberapa ahli berpandangan bahwa masa remaja memiliki tuntutan yang tinggi untuk lepas dari orangtua/keluarga dan menjadi mandiri secara otonomi (autonomy) yang berarti pengaturan diri, atau kebebasan individu untuk memilih, menguasai dan menentukan dirinya sendiri, hal ini sejalan dengan proses puncak perubahan dalam berbagai aspek sebagai persiapan untuk memasuki masa dewasa awal (Steinberg, 1993). Dalam kamus psikologi kata autonomy (otonomi) diartikan sebagai keadaan pengaturan diri, atau kebebasan individu manusia untuk memilih, menguasai dan menentukan dirinya sendiri (Chaplin, 2001). Hurlock (1980) mendefinisikan kemandirian sebagai suatu proses berkurangnya ketergantungan kepada orang tua. Hal ini dilakukan karena adanya dorongan dari dalam diri individu untuk dapat berdiri sendiri dan membuat keputusan sendiri. Sedangkan Mu’tadin (Yessica, 2008) menyatakan bahwa kemandirian memiliki pengertian suatu keadaan dimana individu dapat menghadapi, mengambil keputusan, inisiatif untuk menyelesaikan dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang dilakukan. Pada proses melepaskan diri, remaja harus belajar dan melatih diri untuk dapat memilih, membuat rencana, mengambil keputusan, menentukan kemauannya, cara pencapaiannya dan cara. 17.

(2) 18. mempertanggungjawabkannya sehingga remaja dapat melepas ketergantungan terhadap orang lain ataupun terhadap orangtua. Kemandirian merupakan kemampuan yang dimiliki berdasarkan latihan dan pengalaman yang diperoleh seseorang untuk tidak bergantung pada orang lain, memiliki rasa percaya diri, mampu mengambil keputusan serta mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukannya (Puryanti, 2013). Menurut Kartono (1995) kemandirian adalah kemampuan berdiri sendiri di atas kaki sendiri dengan kebenaran dan tanggung jawab sendiri, sedangkan dalam Desmita (2009) kemandirian adalah kemampuan untuk mengendalikan dan mengatur pikiran, perasaan dan tindakan sendiri secara bebas serta berusaha sendiri untuk mengatasi perasaan-perasaan malu dan keragu-raguan. Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan kemandirian merupakan kemampuan yang diperoleh melalui proses belajar dan latihan untuk tidak bergantung pada orang lain dan dapat mengambil keputusan serta dapat mempertanggungjawabkan tiap keputusan dan tindakan yang dilakukan. 2. Aspek-Aspek Kemandirian Steinberg (2002) mengemukakan bahwa kemandirian terdiri dari tiga aspek, yaitu: a. Kemandirian Emosi (Emotional Autonomy) Aspek emosional yaitu aspek yang berkaitan dengan emosi diri sendiri yang memiliki pengaruh terhadap hubungna dengan orang lain, terutama dengan orang tua. Aspek ini menitikberatkan pada kemampuan remaja untuk dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara.

(3) 19. mandiri khususnya dalam keadaan tertekan atau dalam keadaan emosi yang kurang stabil. Remaja dengan kemandirian emosi yang baik akan dapat mengatasi atau menetralkan kembali keadaan emosinya tanpa perlu. bantuan. dari. oranglain,. misalnya. dalam. menghadapi. kekhawatiran, kekecewaan atau kesedihan. b. Kemandirian Bertindak (Behavioral Autonomy) Aspek kemandirian bertindak ialah kemampuan remaja dalam membuat keputusan dan mengambil tindakan berkaitan dengan keputusan tersebut. Dengan mencapai kemandirian bertindak, remaja mampu secara mandiri untuk menentukan keputusan sendiri dan dapat menetukan kapan ia memerlukan bantuan dari oranglain serta mampu memepertimbangkan berbagai konsekuensi atas keputusannya tersebut. c. Kemandirian Nilai (Value Autonomy) Aspek nilai adalah bagaimana remaja dapat memilih dan memilah suatu nilai atau prinsip yang akan di yakini dan digunakan oleh remaja untuk. pertimbangan dalam tiap keputusan yang akan di ambil.. Kepercayaan. dan. keyakinan. tersebut. tidak. dipengaruhi. oleh. lingkungan termasuk norma masyarakat. 3. Faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Berdasarkan penelitian yang dilakukan Masrun, dkk (Yessica, 2008) diketahui. bahwa. terdapat. faktor-faktor. kemandirian seseorang sebagai berikut:. yang. berpengaruh. terhadap.

(4) 20. a. Pola asuh orang tua dalam keluarga Anak yang mempunyai kemandirian tinggi adalah mereka yang berasal dari keluarga yang orang tuanya dapat menerima anaknya dengan positif. b. Usia Individu di masa remaja akan berusaha melepaskan diri dari orang tua, cenderung tidak akan meminta bantuan kepada orang lain dalam memecahkan masalah yang sedang dihadapi. c. Pendidikan Pendidikan dapat berasal dari pendidikan formal maupun non formal. Terlihat adanya kecenderungan bahwa individu dengan tingkat pendidikan yang semakin tinggi akan memiliki kemandirian yang semakin tinggi juga. d. Jenis kelamin Ditemukan bahwa rata-rata skor kemandirian pria lebih tinggi dibandingkan dengan skor kemandirian wanita. Menurut Soetjipto, hal tersebut disebabkan orang menganggap wanita mudah dipengaruhi, sangat pasif, merasa kesulitan dalam memutuskan sesuatu, kurang percaya diri, sangat tergantung dan aspek-aspek lainnya yang merupakan ciri-ciri ketidakmandirian. Sedangkan, pria mempunyai ciri-ciri sebaliknya, yaitu tidak mudah dipengaruhi, sangat aktif, dapat memutuskan sesuatu secara mudah, sangat percaya diri, dan tidak tergantung (Yessica, 2008). e. Intelegensi. Anak yang cerdas akan memiliki metode yang praktis dan tepat dalam setiap memecahan masalah yang sedang dihadapinya, sehingga akan cepat.

(5) 21. mengambil keputusan untuk bertindak. Hal ini menunjukkan adanya kemandirian dalam setiap menghadapi masalah yang harus diselesaikan. f. Interaksi sosial Kemampuan seorang remaja dalam berinteraksi dengan lingkungan sosial, serta mampu melakukan penyesuaian diri dengan baik akan mendukung perilaku yang bertanggung jawab dan mampu menyelesaikan segala permasalahan yang dihadapi, sehingga akan mendukung pula perilaku untuk mandiri.. B. Kelekatan (Attachment) 1. Pengertian Kelekatan (Attachment) Kelekatan (attachment) menurut Bowlby (dalam Mikulincer & Shaver, 2007) adalah suatu hubungan atau interaksi antara dua individu yang merasa terikat kuat satu sama lain dan masing-masing melakukan sejumlah hal yang melanjutkan hubungan tersebut. Bowlby (dalam Mikulincer & Shaver, 2007) menambahkan perilaku kelekatan merupakan tingkah laku dimana individu berusaha untuk mencari dan memelihara kedekatan dengan individu lainnya. Mengacu pada teori kelekatan dari Bowlby tersebut, Armsden dan Greenberg (1987) mendefinisikan kelekatan sebagai ikatan afeksi yang kuat dan bertahan lama dengan figur. Sedangkan kelekatan menurut Mc Cartney dan Dearing (Ervika, 2005) merupakan ikatan emosional yang dikembangkan anak melalui interaksinya dengan orang yang penting dan khusus dalam kehidupannya, biasanya orangtua. Kelekatan Kelekatan adalah ikatan yang berkembang.

(6) 22. antara anak dan caregiver, yang dikarakteristikkan dengan ketergantungan, ikatan emosional dan perasaan yang kuat (Craig, 1992). Menurut Bowlby dan Ainsworth, kelekatan merupakan ikatan afektif abadi yang dikarakteristikkan dengan kecenderungan untuk mencari dan mempertahankan kedekatan dengan figur lekat tertentu, terutama ketika berada di bawah tekanan (Collin, 1996). Salah satu contoh bentuk kelekatan yang banyak terjadi adalah ikatan yang berkembang antara bayi dan pengasuh utamanya. Berdasarkan beberapa definisi yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa kelekatan merupakan ikatan emosional yang bersifat cenderung menetap selama rentang kehidupan seseorang dan terbentuk sejak kecil antara remaja dengan orang tua melalui sebagai figur lekat (attachment figure). Kelekatan pada remaja dapat dilihat dari interaksi remaja dengan teman sebayanya, hal ini juga berkaitan dengan bagaimana remaja mengembangkan hubungan dan mempertahankan hubungan tersebut. 2. Aspek-Aspek Kelekatan (Attachment) Berdasarkan teori kelekatan yang dikemukakan oleh Bowlby, Armsden dan Greenberg (1987) kelekatan (attachment) dibentuk dari tiga dimensi, yaitu: a. Trust (Kepercayaan) Dimensi ini menggambarkan hubungan orangtua dengan anak yang dilandasi rasa saling percaya dan saling menghargai antara anak dan orang tua. Kepercayaan merupakan suatu produk dari satu hubungan yang kuat,.

(7) 23. dimana kedua belah pihak merasa bisa saling bergantung satu sama lain (Armsden & Greenberg, 2007). b. Communication (Komunikasi) Dimensi ini menggambarkan kualitas komunikasi verbal antara anak dan orang tua. c. Alienation (Keterasingan) Dimensi ini menggambarkan perasaan anak yang merasa terasing, terpisah, atau terdapat jarak antara dirinya dengan orang tuanya. Lain halnya dengan dimensi trust dan communication yang menjukkan pengaruh positif terhadap tingkat kelekatan, pada dimensi ini justru orangtua dengan anak yang memiliki tingkat alienation (keterasingan) tinggi menandakan bahwa kelekatan antara orangtua dan anak rendah. 3. Faktor yang Mempengaruhi Kelekatan (Attachment) Faktor-faktor yang mempengaruhi kelekatan (attachment) antara seorang anak dan remaja dengan orangtua (Puryanti, 2013) adalah sebagai berikut : a. Adanya kepuasan anak dan remaja terhadap pemberian objek lekat, misalnya setiap kali seorang anak membutuhkan sesuatu maka objek lekat mampu dan siap untuk memenuhinya. b. Terjadi reaksi atau respon setiap tingkah laku yang menunjukkan perhatian. Objek lekat aktif dalam memberikan reaksi atau respon terhadap tindakan anak atau remaja. Misalnya, saat seorang anak dan remaja.

(8) 24. bertingkah laku dengan mencari perhatian pada ibu, maka ibu memberi reaksi atau meresponnya. c. Sering bertemu dengan anak, maka anak akan memberikan kelekatannya. Misalnya seorang ibu yang lebih banyak menghabiskan waktu di rumah memudahkan anak untuk berkomunikasi dengan ibu. 4. Fungsi dan Manfaat Kelekatan (Attachment) Kelekatan (attachment) memberikan banyak manfaat bagi individu, seperti menumbuhkan perasaan trust dalam interaksi sosial di masa depan dan menumbuhkan perasaan mampu (Blatt, 1999). Secara umum kelekatan (attachment) memiliki empat fungsi utama (Davies, 1999), yaitu : a. Memberikan rasa aman Dalam situasi tertekan, individu membutuhkan figur kelekatan (attachment figure) untuk memulihkan perasaan aman. b. Mengatur keadaan perasaan (regulation of affect and arousal) Arousal adalah perubahan subjektif seseorang yang disertai reaksi fisiologis tertentu. Adanya arousal ini harus diimbangi dengan penyaluran atau pengurangan sehingga individu dapat mencapai keadaan seimbang kembali, namun jika tidak diikuti dengan penyaluran atau pengurangan saat keadaan arousal tinggi maka hal ini akan menyebabkan individu rentan mengalami stres. Peran figur kelekatan disini adalah untuk membaca perubahan keadaan, membantu menyalurkan atau mengurangi dan memberi dukungan terhadap individu..

(9) 25. c. Sebagai saluran ekspresi dan komunikasi Kelekatan (attachment) dapat berfungsi sebagai media yang digunakan individu untuk menyalurkan ekspresi, pengalaman, dan berbagi perasaan terhadap figur lekatnya. d. Sebagai dasar untuk melakukan eksplorasi kepada lingkungan sekitar Kelekatan (attachment) dan perilaku eksploratif bekerja secara bersamaan. Individu yang mendapatkan secure attachment akan memiliki kepercayaan diri yang tinggi untuk mengeksplorasi lingkungan sekitarnya ataupun suasana yang baru karena individu percaya bahwa figur kelekatannya (attachment figure) sungguh-sungguh bertanggung jawab apabila terjadi sesuatu atas dirinya. Simpson (Langer, 2004) menyebutkan manfaat lain dari kelekatan (attachment), yaitu dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam menjalin hubungan di luar keluarga, seperti aspek kepuasan, kedekatan, dan kemampuan mencintai pasangan. Kelekatan (attachment) sangat membantu individu dalam menginterpretasi, memahami, dan mengatasi perasaan emosi yang negatif selama ia berada dalam situasi yang menekan. C. Santri Remaja Adolescence berasal dari kata adolescere dalam bahasa latin yang memiliki arti remaja, yang berarti tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa (Mar’at, 2006). Sedangkan dalam Hurlock (1991) remaja diartikan sebagai tumbuh atau tumbuh mencapai kematangan. Periode masa-masa remaja memiliki ciri-ciri tertentu yang membedakannya.

(10) 26. dengan periode anak dan periode dewasa. Menurut Sri & Siti (2004) masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak dan masa persiapan sebelum memasuki masa dewasa, dalam masa ini terjadi proses perkembangan dalam berbagai fungsi dan aspek untuk memasuki masa dewasa. Penelitian tentang perubahan perilaku, sikap, dan nilai-nilai pada awal masa remaja berbeda dengan pada akhir masa remaja (Hurlock, 1999), oleh sebab itu masa remaja masih dibedakan dalam fase-fase tertentu. Hurlock (1999), membagi masa remaja menjadi dua bagian, yaitu masa remaja awal dan masa remaja akhir. Awal masa remaja berlangsung kira-kira dari usia 1316 tahun, dan akhir masa remaja bermula dari usia 17 tahun sampai 18 tahun, yaitu usia yang dianggap matang secara hukum (Hurlock, 1999). Monks, dkk (2001), berbeda dari Hurlock yang membagi masa remaja menjadi dua bagian, Monk membagi fase remaja ke dalam batasan antara usia 12 tahun hingga usia 21 tahun ke dalam tiga fase, antara lain sebagai berikut, fase remaja awal dalam rentang usia 12-15 tahun, fase remaja madya dalam rentang usia 15-18 tahun, fase remaja akhir dalam rentang usia 18-21 tahun. Santri merupakan sebutan bagi murid yang belajar mengenai ilmu agama kepada guru mengaji atau disebut dengan Kiai. Sebutan ini juga berlaku bagi murid di Pesantren Darussa’adah Gubugklakah Poncokusumo Malang. Santri di Pesantren Darussa’adah merupakan remaja dengan kisaran umur 12 tahun sampai 18 tahun yang sebagian juga menjadi siswa di SMP dan SMA yang disediakan pesantren. Selain menjalani sekolah formal santri juga tinggal di asrama yang di sediakan oleh pesantren. Salah satu ciri khas.

(11) 27. kehidupan santri adalah kemandirian yang tercermin dari hidup mandiri terpisah dengan orang tua, harus mencuci pakaian dan alat makan yang digunakan sehari-hari, memasak makanan sendiri, memecahkan masalah secara mandiri dengan adanya pembatasan komunikasi dengan keluarga. Kehidupan pesantren juga erat dengan nuansa kesederhanaan baik dalam berpakaian, berperilaku, maupun dalam kehidupan sehari-harinya. Kedisiplinan juga sangat diutamakan dengan adanya kegiatan bersama santri lain yang menuntut kedisiplinan waktu dan adanya hukuman bagi yang melanggar peraturan yang berlaku di pesantren (membersihkan kamar mandi, digundul, dan lain sebagainya). Selain itu, ikatan kekeluargaan di pesantren juga merupakan ciri khas kehidupan sosial di pesantren, dengan adanya kegiatan yang banyak dilakukan bersama dalam komplek pesantren (tinggal, makan, mengaji, sholat malam, dan lain sebagainya) semakin mempererat hubungan yang dekat dengan Ustad, Kiai, santri lainnya. Dapat diambil kesimpulan bahwa santri remaja merupakan murid yang belajar mengenai ilmu agama, tinggal di asrama pesantren dan masih pada masa peralihan dari masa anak menuju masa dewasa yang diikuti dengan perkembangan baik secara fisik, maupun psikologis, dan fase remaja awal terjadi pada rentang usia 12 tahun sampai 15 tahun. D. Hubungan Kelekatan (Attachment) dengan Kemandirian Berdasarkan definisi yang dikemukakan Steinberg (dalam Patriana, 2007), menyebutkan bahwa kemandirian merupakan kemampuan individu untuk menentukan prinsip dan menyesuaikan sikap dan perilaku, mengambil.

(12) 28. keputusan dan mempertanggungjawabkannya sesuai dengan prinsip diri sendiri. Steinberg (2002) juga berpendapat, kemandirian seseorang remaja diperkuat melalui proses sosialisasi yang terjadi antara remaja dan teman sebaya. Kemandirian remaja mulai terbentuk dari kebiasaan di lingkungan keluarga, dengan adanya kelekatan aman dalam keluarga remaja dapat belajar berdasarkan figur kelekatan dalam keluarga dan mengembangkan trust, rasa percaya diri, keterbukaan, keterampilan, dan kemampuan menjalin hubungan yang dapat digunakan sebagai bahan mengembangkan hubungan sosial di luar keluarga. Masa remaja merupakan masa yang sulit, sehingga pada masa ini seseorang membutuhkan penyesuaian diri yang lebih besar untuk dapat menghadapi dan melalui perubahan-perubahan yang terjadi. Peran penting kelekatan pada remaja dalam memenuhi tugas-tugas perkembangan khususnya untuk mencapai kemandirian, kelekatan atau hubungan yang baik antara orangtua dan remaja akan mendukung remaja untuk menjadi mandiri, sehingga kemandirian remaja tidak menghasilkan penolakan atas pengaruh orangtua, justru remaja akan mencari masukan dari orangtua untuk mengambil masukan (Ws & Ws, 2013). Peran orangtua dan respon dari lingkungan ini sangat diperlukan oleh remaja sebagai penguat bagi setiap perilakunya (Rini, 2012 dalam Fadhillah & Faradina, 2016). Hal ini juga berlaku bagi santri remaja yang mengalami kerentanan dan kerapuhan pada masa perkembangannya, pada masa ini penting bagi santri adanya.

(13) 29. penguat yang diperoleh dari kelekatan dengan orangtua dalam mencapai kedewasaan dan mempengaruhi sikap dan tindakan mereka. Ikatan emosional dan dukungan dari kelekatan orangtua akan memberi pengaruh pada tiap-tiap perilaku remaja, termasuk kemampuan adaptasi remaja terhadap lingkungan baru dan pengaruh-pengaruh baru yang di peroleh dari lingkungan luar keluarga. Hal ini juga terjadi pada remaja yang tinggal di pesantren, bagaimana remaja dapat menerima dan beradaptasi dengan kondisi hidup terpisah dengan orang tua, bertemu dengan orang baru, tinggal bersama orang baru, dituntut untuk menjalin hubungan sosial dalam lingkungan sosial pesantren, menghadapi nilai dan norma lingkungan pesantren. Santri remaja yang telah hidup terpisah dengan orangtua bukan berarti tidak lagi memiliki kelekatan dengan orangtua, karena sifat dari kelekatan adalah kekal sepanjang masa, spesifik dan mengikat antara individu dengan figur lekatnya. Meskipun teman sebaya (peer) telah menjadi role model, sahabat dan orang terdekat, remaja tetap menganggap orangtua sebagai basis keamanan (Papalia, 2014). Rasa aman dibutuhkan remaja saat berupaya untuk menjadi pribadi yang lebih independen dan memiliki otonomi (Kobak, Cole, Ferenz-Gillies, Fleming, & Gamble 1993 dalam Dewi & Valentina, 2013). Kelekatan (attachment) merupakan ikatan secara emosional yang terbentuk berdasarkan interaksi individu dengan figur lekat yang biasanya berawal dari hubungan anak dengan pengasuhnya yang menciptakan perasaan nyaman dan aman yang kemudian didukung dengan tingkah laku lekat (attachment behavior) sebagai usaha untuk mempertahankannya. Menurut.

(14) 30. Bowlby (dalam Mikulincer & Shaver, 2007) attachment adalah suatu hubungan atau interaksi antara dua individu yang merasa terikat kuat satu sama lain dan masing-masing melakukan sejumlah hal yang melanjutkan hubungan tersebut. Ikatan ini dapat bertahan relatif lama dalam kehidupan manusia. Ainsworth (Hetherington dan Parke, 2001) mengatakan bahwa kelekatan adalah ikatan emosional yang dibentuk seorang individu dengan orang lain yang bersifat spesifik, mengikat mereka dalam suatu kedekatan yang bersifat kekal sepanjang waktu.. Kedekatan tersebut memungkinkan. adanya kaitan erat antara kelekatan orang tua dengan anak terhadap perilaku anak yang terbentuk dalam rentang waktu kehidupan anak. Hal ini didukung dengan pendapat Thompson (dalam Kail & Cavanaugh, 2000) yang mengatakan, kelekatan aman atau secure kelekatan memberikan trust dan percaya diri yang akan mengarahkan anak menjadi terampil dalam interaksi sosialnya nanti. E. Kerangka Pemikiran Berdasarkan tinjauan pustaka dan hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini, maka kerangka pemikiran teoritis dari penelitian ini seperti disajikan dalam model gambar berikut:.

(15) 31. KEMANDIRIAN SANTRI REMAJA. KELEKATAN. Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran. Kerangka. pemikiran. dalam. penelitian. ini. adalah. kelekatan. (attachment) orangtua-remaja dapat mempengaruhi kemandirian santri remaja di Pesantren Darussa’adah Gubugklakah Poncokusumo Malang. Kelekatan (attachment) orangtua-remaja merupakan variabel bebas (X) dan kemandirian santri remaja merupakan variabel terikat (Y). F. Hipotesis Penelitian ini menggunakan hipotesis sebagai berikut : Ho : Kelekatan (attachment) orangtua tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap kemandirian pada santri remaja di Pesantren Darussa’adah Gubugklakah Poncokusumo Malang. Ha : Kelekatan (attachment) memiliki hubungan yang signifikan terhadap kemandirian pada santri remaja di Pesantren Darussa’adah Gubugklakah Poncokusumo Malang. ..

(16)

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Prinsip win-win solution merupakan prinsip dasar yang dituju dari adanya negosiasi tersebut, dalam perjanjian baku yang telah dibuat oleh salah satu pihak, ruang untuk

KETERLIBATAN AYAH DALAM PENGASUHAN, KEMAMPUAN COPING DENGAN RESILIENSI REMAJA YANG IBUNYA.. SEBAGAI TENAGA

[r]

Saat itu nama Muhajir ada bersama nama mantan menteri pendidikan di kabinet Gotong Royong Malik Fadjar dan juga Safiq Mugni, Ketua PWM Muhammadiyah Jawa Timur saat ini dan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penilaian dari pasien yang dirawat inap di Rumah Sakit X terhadap pelayanan dari rumah sakit tersebut, untuk

Gejala eksternal penyakit yang ditimbulkan dalam uji coba postulat koch secara umum hampir sama dan sesuai dengan pustaka yang menyebutkan bahwa ikan yang terserang

Penyediaan pemanfaatan dan nilai gizi limbah pertanian sebagai makanan ternak di Sumatera Barat , Pusat Penelitian Universitas Andalas, Padang..

TT 001 TATA LINGKUNGAN Pelaksana Plambing / Pekerjaan Plambing TT 002 TATA LINGKUNGAN Pengawas Plambing / Pekerjaan Plambing TT 003 TATA LINGKUNGAN Juru gambar / Draftman -