• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Molekul HLA Dalam Proses Transplantasi Sel Punca

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Peran Molekul HLA Dalam Proses Transplantasi Sel Punca"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Peran Molekul HLA dalam Proses Transplantasi Sel Punca

Melina Setiawan1, Caroline Tan Sardjono1,2

1Stem Cell Division, Stem Cell and Cancer Institute, PT. Kalbe Farma Tbk.,

Jl. Jend. A. Yani No. 2 Pulomas Jakarta 13210 Indonesia

2Bagian Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Maranatha,

Jl. Prof. Drg. Suria Sumantri MPH No 65 Bandung 40164 Indonesia

Abstract

Human Leukocyte Antigen (HLA) is the most important factor in determining the histocompatibility between the donor and the recipient in transplantation. HLA is a membrane-bound glycoprotein molecule encoded by several genes within chromosome 6. HLA can be differentiated into Class I (HLA-A, HLA-B, and HLA-C) and Class II (HLA-DP, HLA-DQ, and HLA-DR). The identification of these HLA molecules can be carried out by a serology method and a DNA amplification-based method. Lately, therapies in regenerative medicine using stem cells have attracted much attention. Among various sources of stem cells, umbilical cord blood has shown a unique property through its low immunogenicity profile. This feature facilitates umbilical cord blood stem cell to become a potential candidate to be used in a wider range of recipients even with partial match HLA. A good understanding in the mechanisms of antigen recognition through HLA is clearly required to choose the best strategy in transplantation.

Keywords: Human Leukocyte Antigen (HLA), antigen recognition, transplantation, stem cell

Pendahuluan

Telah diketahui sejak lama bahwa dalam proses transplantasi diperlukan suatu kecocokan antara donor dan resipien, dan juga dipengaruhi beberapa faktor lainnya seperti riwayat kesehatan donor, golongan darah, studi serologi

terhadap CMV dan herpes.1 Molekul

yang bertanggung jawab terhadap

proses pengenalan antigen adalah

Human Leukocyte Antigen (HLA). HLA

memegang peran penting dalam

transplantasi, terutama transplantasi

yang dilakukan secara allogeneic.

Transplantasi secara allogeneic dilakukan

dengan menggunakan sel atau jaringan yang berasal dari donor yang berbeda dengan resipiennya. Pada transplantasi

secara autologous, pasien menggunakan

sel yang berasal dari dirinya sendiri

sehingga tidak perlu dikhawatirkan terjadinya reaksi penolakan atau rejeksi. Adanya terapi sel punca memberikan harapan baru bagi pasien penderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan dengan pengobatan konvensional. Sel punca dapat diperoleh dari beberapa sumber yaitu dari sumsum tulang, darah tepi, maupun darah tali pusat. Terapi sel punca telah banyak dilakukan dalam mengatasi berbagai macam penyakit

baik yang disebabkan kelainan

hematologi maupun proses degeneratif (infark jantung, iskemia tungkai kritis,

dll). Sejalan dengan semakin

berkembangnya penggunaan sel punca dalam transplantasi, maka pengetahuan

dalam proses pengenalan antigen

melalui sistem HLA merupakan hal yang sangat penting untuk dikuasai

(2)

(Melina Setiawan, Caroline Tan Sardjono) terutama agar pemilihan terapi dapat

berjalan dengan baik dan aman.

Human Leukocyte Antigen

Molekul Human Leukocyte Antigen

(HLA) merupakan Major

Histocompatibility Complex (MHC) yang terdapat pada manusia. Molekul ini pada awalnya ditemukan sebagai suatu faktor yang menyebabkan terjadinya

rejeksi pada transplantasi allogeneic.

Sistem HLA dikode oleh sekumpulan

gen yang terletak dekat dengan

sentromer pada lengan pendek

kromosom nomor 6 dan terdiri dari

kelas I dan kelas II.2 Molekul HLA kelas

I memiliki lokus A, B, dan C, sementara molekul HLA kelas II memiliki lokus

DP, DQ, dan DR (Gambar 1).3

Masing-masing kelas mempresentasikan antigen kepada tipe sel T yang berbeda.

Gambar 1. Skema Gen HLA yang Terdapat pada Manusia3

Ket: sekumpulan gen ini menyandikan penanda permukaan sel, molekul penyandi antigen, dan beberapa protein lainnya yang terlibat di dalam sistem imun

Struktur HLA Kelas I dan HLA Kelas II Molekul HLA kelas I dan kelas II

merupakan molekul glikoprotein

ekstrasel yang tersusun membentuk

struktur heterodimer.4 Molekul HLA

kelas I pada permukaan membran sel tersusun atas molekul glikoprotein rantai berat berukuran sekitar 45 kDa yang membentuk ikatan non-kovalen

dengan struktur E2-microglobulin

berukuran 12 kDa (Gambar 2).5 Molekul

rantai berat HLA kelas I terdiri atas 3 buah domain, yaitu D1, D2, dan D3. Bagian

D1 dan D2 merupakan bagian polimorfik

yang berikatan dengan peptida antigen

untuk kemudian dipresentasikan

kepada sel T (CD8+). Struktur E2

-microglobulin yang dikode oleh gen

dalam kromosom 12, merupakan

struktur yang non-polymorphic dan dapat

berinteraksi dengan molekul lain antara lain dengan produk dari gen CD1 dan

dengan molekul FcRn.6

Molekul HLA kelas II terdiri atas UDQWDL Â GDQ Ã \DQJ PDVLQJ-masing terdiri atas struktur D1, D2, dan E1, E2.

5DQWDL Â EHUXNXUDQ VHNLWDU -35 kDa GDQ UDQWDLÃEHUXNXUDQ DQWDUD -28 kDa (Gambar 2).5 Pada molekul ini, bagian

polimorfik yang berikatan dengan

peptida terdapat pada domain D1 danE1.

Karakteristik utama dari molekul

HLA terdapat pada tingkat

polimorfismenya yang tinggi.6,7 Sesuai

dengan fungsi molekul HLA dalam proses presentasi antigen kepada sel T, sifat polimorfisme ini sangat berguna

(3)

mempresentasikan antigen. Perbedaan

sekuen asam amino HLA akan

PHPSHQJDUXKL EHQWXN GDUL ·FHODK· \DQJ akan berikatan dengan peptida antigen dan akan menentukan kemampuan molekul HLA dalam mempresentasikan antigen tertentu. Hal ini pula yang menentukan kemampuan pengenalan antigen antara self dan non-self. Oleh

karena itu, beberapa tipe HLA telah dilaporkan memiliki hubungan yang erat dengan predisposisi terkenanya penyakit autoimun tertentu (HLA-DR2

dengan penyakit lupus dan multiple

sclerosis, HLA-DR4 dengan penyakit diabetes melitus tipe 1 dan rheumatoid arthritis).5

Gambar 2. Struktur HLA Kelas I dan HLA Kelas II2

Proses Pengenalan Antigen melalui Molekul HLA

Molekul HLA kelas I dimiliki oleh semua sel yang memiliki inti dan

platelet2, sedangkan molekul HLA kelas

II terdapat pada antigen-presenting cell

(APC), seperti sel dendritik, limfosit B,

dan makrofag.2 Kedua jenis molekul ini

bertanggung jawab dalam sistem imun terutama berperan penting dalam reaksi imun adaptif yang diperantarai oleh sel

limfosit T (Gambar 3).3

(4)

(Melina Setiawan, Caroline Tan Sardjono)

(5)

Peran molekul HLA kelas I dan HLA kelas II dalam mempresentasikan antigen adalah melalui ikatan antara

peptida yang merupakan fragmen

antigen dengan reseptor sel T.9 Peptida

yang dipresentasikan akan dikenali oleh reseptor sel T, bila peptida ini dianggap sebagai antigen asing, maka sel T akan mengalami aktivasi. Aktivasi sel T ditandai dengan terjadinya proliferasi dan dilepaskannya beberapa mediator

inflamasi antara lain interferon-J.

Molekul HLA kelas I berpasangan

dengan reseptor sel T cytotoxic/TC

(CD8+) menyebabkan terjadinya aktivasi

TC yang dapat langsung membunuh

sel-sel yang terinfeksi virus dan patogen intraselular. Molekul HLA kelas II berpasangan dengan reseptor yang

terdapat pada sel TH (CD4+). Sel T helper

(TH) akan menstimulasi respons sel-sel,

terutama sel B sehingga mengalami maturasi menjadi sel plasma yang akan menghasilkan antibodi spesifik. Sel lain

yang ikut terstimulasi dengan

dilepaskannya mediator inflamasi,

antara lain adalah monosit, makrofag, neutrofil, dan juga sel T cytotoxic.6

Peranan HLA dalam Transplantasi Sel Punca

Molekul HLA kelas I dan kelas II mempunyai peranan penting pada proses transplantasi sel punca. Sel punca yang digunakan dalam transplantasi dapat diisolasi dari beberapa sumber, antara lain sumsum tulang, darah perifer, darah tali pusat, dan lipoaspirate

hasil liposucction. Masing-masing sumber

sel punca memiliki karakteristik

tersendiri, termasuk pula dalam ekspresi

HLA-nya.1 Sel punca yang bersumber

dari sumsum tulang memiliki kemiripan ekspresi HLA dengan sel punca darah tepi.10 Sedangkan sel punca tali pusat

dilaporkan memiliki ekspresi HLA kelas I lebih sedikit daripada sel punca darah tepi maupun sumsum tulang. Lebih lanjut, sel punca yang berasal dari lipoaspirate dilaporkan tidak memiliki ekpresi HLA kelas I dan hanya sedikit sel dengan HLA kelas II. Perbedaan

karakteristik tersebut telah

dipublikasikan dalam beberapa studi pustaka yang turut mendasari strategi pemilihan sel punca dalam pengobatan

berbagai penyakit.10

Perbedaan struktur pada molekul HLA kelas I dan kelas II yang diekspresikan oleh donor dan resipien pada saat transplantasi merupakan

faktor utama penyebab terjadinya

penolakan dan respons imun yang aloreaktif. Adanya polimorfisme genetik

yang sangat luas dan kompleks

membuat manusia mengekspresikan kombinasi alel kelas I dan kelas II yang berbeda. Sampai dengan bulan Juni 2008, telah diketahui jumlah alel HLA kelas I dan II mencapai di atas 2.000 allel

(Gambar 4).9

Ketika transplantasi dilakukan

antar individu yang memiliki tipe HLA yang berbeda, akan menyebabkan sel efektor resipien (sel T, sel B, dan sel NK) mengenali sel atau jaringan yang

ditransplantasikan sebagai non-self

antigen (antigen asing) sehingga

menyebabkan terjadinya rejeksi

sel/jaringan.11,12 Penolakan sistem imun

dapat berupa kerusakan sel atau jaringan transplan dan kerusakan dapat berlangsung cepat dan sangat kuat (penolakan akut) ataupun kerusakan berada dalam taraf lebih ringan, namun berlangsung dalam waktu lebih lama

(penolakan kronik).5,13 Penolakan

hiperakut pada transplantasi solid organ terjadi karena keberadaan antibodi dalam sirkulasi darah resipien yang menyerang antigen HLA kelas I atau

(6)

(Melina Setiawan, Caroline Tan Sardjono)

antigen ABO pada organ yang

ditransplan.5 Penolakan hiperakut dapat

menyebabkan terhambatnya suplai

darah dan terjadinya iskemi dan nekrosis pada organ transplan sehingga organ yang ditransplantasikan tidak

akan berfungsi.5 Pencegahan terhadap

terjadinya penolakan hiperakut dapat

dilakukan dengan mendeteksi adanya anti-HLA dari sel/jaringan yang akan ditransplantasikan.5 Hal ini dapat diatasi

dengan dilakukannya uji cross match

untuk melihat kemampuan reaktivitas dari serum resipien terhadap sel darah donor.11

Gambar 4. Jumlah Antigen dan Alel pada HLA Kelas I dan II

dari Tahun 1968-20089

Penolakan akut terjadi akibat

timbulnya respons imun primer oleh resipien terhadap molekul HLA yang

diekspresikan oleh organ transplan.5

Penolakan ini akan mulai tampak dalam kurun waktu beberapa hari hingga beberapa minggu setelah organ mulai berfungsi. Timbulnya penolakan akut akan menyebabkan terjadinya inflamasi dan kematian sel atau jaringan, ditandai dengan adanya kerusakan pada lapisan

endotel dari pembuluh darah.

Kerusakan jaringan akibat adanya

penolakan akut terutama terjadi pada jaringan ginjal dan liver yang kaya akan

pembuluh darah.12

Selain upaya dalam pemilihan donor dengan tipe HLA semirip mungkin dengan resipien, pencegahan

terjadinya penolakan akut juga

dilakukan dengan pemberian obat

imunosupresan. Akan tetapi, efek

samping imunosupresan perlu menjadi pertimbangan dalam prosedur ini, terutama karena meningkatnya risiko

infeksi, osteoporosis, serta

meningkatnya risiko terjadinya penyakit

kardiovaskular.12 Obat imunosupresan

dilaporkan juga meningkatkan risiko terjadinya keganasan, terutama karena obat imunosupresan turut menekan sistem imun yang sedianya berfungsi untuk melindungi tubuh dari timbulnya kanker.5

Penolakan kronik terjadi beberapa bulan sampai beberapa tahun setelah dilakukan transplantasi. Hal ini dapat dideteksi pada biopsi jaringan, dengan

ditemukannya gambaran patologis

(7)

pembuluh darah pada daerah yang

mendapat transplan.12 Belum banyak

penjelasan mengenai mekanisme

terjadinya penolakan kronik. Namun,

diperkirakan mekanisme ini lebih

diperantarai oleh antibodi daripada sel T

secara langsung.5

Pemeriksaan HLA Secara Serologi dan Molekuler

Sebelum transplantasi dilakukan, penentuan tipe HLA perlu dilakukan untuk menentukan donor yang tepat dengan tingkat kecocokan tipe HLA yang semirip mungkin antara pasien dan donor. Pemeriksaan HLA dapat dilakukan baik dengan cara serologi ataupun molekular (dengan amplifikasi DNA). Dewasa ini pemeriksaan HLA berbasis amplifikasi materi genetik (Deoxyribo Nucleic Acid/DNA) telah menggantikan pemeriksaan dengan cara

serologi.15-17 Pemeriksaan tipe HLA

berbasis amplifikasi DNA memberikan tingkat akurasi dan spesifisitas yang tinggi sehingga memungkinkan untuk didapatkannya penentuan tipe HLA

donor dan pasien yang lebih akurat.18

Hal ini akan meningkatkan angka

keberhasilan transplantasi melalui

meningkatnya survival transplan18, dan

menurunkan risiko ancaman terjadinya akut serta kronik graft versus host disease

(GvHD).20 Pemeriksaan HLA secara

konvensional dilakukan dengan

menggunakan teknik serologi.

Pemeriksaan HLA dengan metode ini dikembangkan oleh Terasaki melalui suatu teknik yang dikenal dengan

sebutan microlymphotoxicity assay.2,21

Teknik ini membutuhkan preparasi sel limfosit sebagai target pemeriksaan dan antisera spesifik. Reaksi dianggap positif bila terjadi pengikatan antara antigen pada limfosit dengan antibodi spesifik.

Pengaktifan protein komplemen akan menghancurkan membran sel sehingga terbentuk lubang-lubang kecil yang membuat sitoplasma keluar dari sel dan

menyebabkan terjadinya perubahan

pada morfologi sel dan kematian sel.22

Selanjutnya, perubahan morfologi dan kematian sel ini diamati dengan bantuan

mikroskop.22 Kekurangan dari teknik

serologi adalah pada saat preparasi sel membutuhkan tingkat viabilitas sel yang

tinggi atau mencapai 80%, dan

pengamatan dengan mikroskop

dilakukan secara subjektif. Rendahnya tingkat ekspresi antigen pada sel darah

tali pusat, akan mempersulit

terbentuknya kompleks antigen dan

antibodi sehingga menghasilkan

pembacaan yang kurang akurat. Hal ini mempersulit penentuan tipe HLA pada sampel darah tali pusat. Apabila

pemeriksaan HLA dengan teknik

serologi menekankan pada perbedaan struktur antigen, pemeriksaan HLA secara molekuler lebih menekankan pada gen yang mengatur ekspresi

antigen tersebut. Dengan teknik Sequence

Specific Primer (SSP) PCR, keberadaaan

antigen HLA ditentukan dari

teramplifikasinya gen tersebut

menggunakan primer spesifik.

Pemeriksaan berbasis DNA dapat

medeteksi perbedaan nukleotida spesifik sehingga mampu membedakan alel-alel

pada satu lokus gen.23 Kemampuan

membedakan suatu alel sampai tingkat lokus bergantung baik pada metodenya

maupun primer yang digunakan.23

Transplantasi Sel Punca Darah Tali Pusat

Beberapa waktu yang lalu, darah tali pusat seringkali merupakan limbah

setelah proses kelahiran. Namun,

sekarang ini mulai banyak upaya yang dilakukan untuk menyimpan darah tali

(8)

(Melina Setiawan, Caroline Tan Sardjono) pusat untuk dapat dipergunakan oleh

anak maupun kerabatnya. Dalam

trasplantasi, sel punca darah tali pusat memiliki keistimewaan karena tingkat imunogenisitasnya yang rendah. Sel punca darah tali pusat tergolong immature dan memiliki karakteristik antigen yang belum berkembang secara

matang.24-26 Keistimewaan penggunaan

darah tali pusat adalah risiko terjadi rejeksi yang rendah sekalipun tanpa adanya kecocokan HLA secara lengkap (complete matched).27-31 Keberhasilan

terapi dengan menggunakan darah tali pusat banyak dilaporkan pada pasien

anak-anak maupun dewasa.

Keberhasilan transplantasi darah tali

pusat dengan HLA matched ditunjukkan

pada penyakit Fanconi anemia32,

Thalassemia dan Sickle Cell Anemia.33

Keberhasilan transplantasi darah tali pusat dengan 1-2 kecocokkan HLA

ditunjukkan pada, pengobatan beberapa

penyakit antara lain pada Acute

Lymphoblastic Leukemia34,35, Acute

Myelogenous Leukemia34,35, Chronic

Myelogenous Leukemia36, Refractory

Anemia with Myelodysplastic Syndrome, Juvenile Myelomonocytic Leukemia37,38,

+XUOHU·V 6\QGURPH39.

Penutup

Semakin berkembangnya

pengetahuan medis telah membawa terapi sel punca menjadi suatu pilihan dalam mengatasi berbagai penyakit. Terapi sel dapat dilakukan dengan menggunakan sel yang berasal dari

tubuh penderita sendiri (autologous) atau

dengan donor yang berbeda (allogeneic). Strategi pemilihan donor dalam terapi

sel secara allogeneic membutuhkan

pengetahuan yang mendalam mengenai

proses terjadinya pengenalan antigen self

dan non-self melalui sistem HLA. Sistem

HLA yang terdiri dari kelas I (A, B, dan C) dan kelas II (DP, DQ, dan DR) merupakan sistem dengan kompleksitas yang tinggi dengan bagian polimorfik yang berperan penting dalam presentasi antigen. Penentuan tipe HLA dapat dilakukan dengan beberapa metode yaitu metode serologi dan metode amplifikasi DNA. Saat ini metode penentuan tipe HLA dengan amplifikasi DNA lebih disukai karena memberikan

hasil yang lebih akurat. Adanya

perbedaan ekspresi HLA kelas I maupun kelas II pada sel punca dari berbagai sumber, seyogyanya turut menjadi bahan pertimbangan dalam penyusunan strategi transplantasi sel punca secara allogeneic sehingga risiko rejeksi dapat dihindari.

Daftar Pustaka

1. Kollman C, Howe CW, Anasetti C,

Antin JH, Davies SM, Filipovich AH, et al. Donor characteristics as risk

factors in recipients after

transplantation of bone marrow from unrelated donors: the effect of donor age. Blood. 2001; 98:2043.

2. Williams TM. Human leucocyte

antigen gene polymorphism and the histocompatibility laboratory. JMD 2001; 3(3):98-104.

3. Alberts B, Johnson A, Lewis J, dkk.

Molecular biology of the cell. 4th ed.

New York: Garland Science; 2002.

4. McCluskey J, Peth CA. The human

leukocyte antigens and clinical

medicine: an overview. Rev

Immunogenet. 1999; 1:3-20.

5. Marsh SGE, Parham P, Barber LD. The

HLA Facts Book. London: Academic Press; 2002.

6. Roth DB. T cell receptors and MHC

molecules. In: Male D, Brostoff J, Roth DB, Roitt I, editors. Immunology.

International Edition. Toronto. 2006;

(9)

7. Polge E, Rocha V, Sumyien MH. HLA Manual. A guide to completion EBMT Form, Histocompatibility. EBMT; 2004.

8. Janeway CA, Travers P. Antigen

recognition by T lymphocytes. 3rd ed.

New York & London: Garland Publishing, 1997; p.41-6.

9. Marsh SGE, Robinson J. Anthony

Nolan Research Institute. IMGT/HLA Database. 2008 [cited 2008 Des 2].

Available from :

http://www.ebi.ac.uk/imgt/hla/intr o.html.

10. Kern S, Eichler H, Stoeve J, Kluter H,

Bieback K. Comparative analysis of mesenchymal stem cells from bone marrow, umbilical cord blood, or adipose tissue. Stem Cells 2006; 24:1294-301.

11. Smith SL. Rejection: the allogeneic

immune response. 2002. [cited 2008

Des 2]. Available from :

http://www.medscape.com/viewarti cle/436533_12 .

12. Lombardi G, Lechler R. In: Browning

M and McMichael, editors. A HLA and MHC: genes, molecules and function. Oxford: Bios Scientific, 1996; p.407-31.

13. Marsh SG, Albert ED, Bodmer WF,

Bontrop RE, Dupont B, Erlich HA,et

al. Nomenclature for factors of the HLA system. Tissue Antigens 2005; 65:301-69.

14. Noreen HJ, Yu N, Setterholm M,

Ohashi M, Baisch J, Endres R, et al.

Validation of DNA-based HLA-A and HLA-B testing of volunteers for a bone marrow registry through parallel testing with serology. Tissue Antigens 2001; 57:221-9.

15. Setterholm M, Maiers M, Coleman L.

HLA typing of volunteers for a

hematopoietic stem cell donor

registry: ensuring and maintaining quality of the NMDP registry. ASHI Q 2005; 29:50-2.

16. Mishra MLN, Mani H, Narula AS,

Saxena VK. HLA typing ² a

comparison of serology and DNA techniques. Int. J. Hum. Genet. 2004; 4(2):151-3.

17. Hurley CK, Baxter Lowe LA, Logan B,

Karanes C, Anasetti C, Weisdorf D,et

al. National marrow donor program

HLA-matching guidelines for

unrelated marrow transplants. Biol. Blood Marrow Transplant. 2003; 9(10):610-5.

18. Morishima Y, Sasazuki T, Inoko H.

The clinical significance of human

leukocyte antigen (HLA) allele

compatibility in patients receiving a marrow transplant from serologically

HLA-A, HLA-B, and HLA-DR

matched unrelated donors. Blood 2002; 99(11):4200-6.

19. Petersdorf EW, Hansen JA, Martin PJ.

Major-histocompatibility-complex kelas I alleles and antigens in hematopoietic-cell transplantation. N Engl J Med. 2001; 345(25):1794-800.

20. Terasaki PI, McClelland JD.

Microdroplet assay of human serum cytotoxins. Nature 1964; 204:998-1000.

21. Karnen GB. Imunologi Dasar ed ke7.

Jakarta: FKUI, 2006; h.86-99.

22. Hurley CK, Wagner JE, Setterholm

MI, Confer DL. Advances in HLA: practical implications for selecting adult donors and cord blood units. Biol. Blood Marrow Transplant 2006; 12:28-33.

23. Moise KJ Jr. Umbilical cord stem cells.

Obstet. Gynecol. 2005; 106:1397-407.

24. Cohen Y, Nagler A. Cord blood

biology and transplantation. Isr. Med. Assoc J. 2004; 6(1):39-46.

25. Whitelegg A, Barber LD. The

structural basis of T-cell

allorecognition. Tissue Antigens 2004; 63:101-8.

26. Riordan NH, Chan K, Marleau AM,

Ichim TE. Cord blood in regenerative medicine: do we need immune suppression. J Transl. Med. 2007; 5:8.

27. Bhattacharya N. A preliminary study

of placental umbilical cord whole blood transfusion in under resourced

patients with malaria in the

background of anaemia. Malaria J. 2006; 5:20.

28. English M, Ahmed M, Ngando C,

(10)

(Melina Setiawan, Caroline Tan Sardjono)

for severe anaemia in children in a Kenyan hospital. Lancet 2002; 359: 494-5.

29. Setiawan M, Sardjono CT, Suyatna F,

dkk. 2008. Immunogenicity

characterization of mononucleated cells originated from cord blood. Med

Science Expo 2008. Fakultas

Kedokteran Universitas Katolik

Indonesia Atma Jaya, Jakarta,

Indonesia.

30. Moenadjat Y, Anggraenie D, Sardjono

CT, Sandra F. 2008. The use of mononucleated cells in the treatment of deep second degree burn as compared to ambiphilic and silver sulfadiazine cream. Congress IBC Asia 4th Annual Stem Cell Asia; Stem Cell Research and Application. Singapore.

31. Grewal SS, Kahn JP, MacMillan ML,

Ramsay NK, Wagner JE. Successful

hematopoietic stem cell

transplantation for Fanconi anemia from an unaffected

HLA-genotype-identical sibling selected using

preimplantation genetic diagnosis. Blood 2004; 103(3):1147-51.

32. Locatelli F, Rocha V, Reed W,

Bernaudin F, Ertem M, Grafakos S,et

al. Related umbilical cord blood

transplantation in patients with

thalassemia and sickle cell disease. Blood 2003; 101(6):2137-43.

33. Ohnuma K, Isoyama K, Ikuta K,

Toyoda Y, Nakamura J, Nakajima F, et

al. Cord blood transplantation

from HLA-mismatched unrelated

donors as a treatment for children with hematological malignancies. Br J Haematol 2001:112:981-987.

34. Michel G, Rocha V, Chevret S, dkk.

Unrelated cord blood transplantation for childhood acute myeloid leukimia: a Eurocord Group analysis. Blood 2003; 102(13):4290-7.

35. Sanz GF, Saavedra S, Jimenez C,

Senent L, Cervera J, Planelles D,et al.

Unrelated cord blood transplantation in adults with chronic myelogenous leukimia: results in nine patients from

a single institution. Bone Marrow Transplant. 2001; 27(7):693-701.

36. Ooi J, Iseki T, Takahashi S, Tomonari

A, Ishii K, Takasugi K,et al. Unrelated

cord blood transplantation for adult

patients with advanced

myelodysplastic syndrome. Blood

2003; 101(12):4711-3.

37. Staba SL, Escolar ML, Poe M, Kim Y,

Martin PL, Szabolcs P, et al. Cord

blood transplants from unrelated

GRQRUV LQ SDWLHQWV ZLWK +XUOHU·V

syndrome. N Eng J Med. 2004; 350(19):1960-9.

38. Bhattacharya A, Slatter M, Curtis A,

Chapman CE, Barge D, Jackson Aet al.

Successful umbilical cord blood stem

cell transplantation for chronic

granulomatous disease. Bone Marrow Transplant. 2003; 31(5):403-5.

39. Ziegner UH, Ochs HD, Schanen C,

Feig SA, Seyama K, Futatani T, et al.

Unrelated umbilical cord stem cell

transplantation for X-linked

immunodeficiencies. J. Pediatr. 2001; 138(4):570-3.

Gambar

Gambar 1. Skema Gen HLA yang Terdapat pada Manusia 3
Gambar 2. Struktur HLA Kelas I dan HLA Kelas II 2
Gambar 4. Jumlah Antigen dan Alel pada HLA Kelas I dan II  dari Tahun 1968-2008 9

Referensi

Dokumen terkait

Pada sel punca yang disuntikkan intravitreal dapat mensekresi berbagai faktor neurotropik yang diharapkan dapat meregenerasi akson SGR yang rusak akibat penekanan TIO tinggi

iPS didefinisikan sebagai upaya reprogramming sel punca multipoten dari jaringan dewasa menjadi sel punca pluripoten sehingga dihasilkan sel yang secara genetik

Pasien-pasien dengan kondisi tersebut tidak memungkinkan untuk dilakukan koleksi sel punca, sehingga sumber sel punca diharapkan dapat diperoleh dari orang lain, yang dikenal

Leukemia merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal dari sumsum tulang, ditandai oleh proliferasi sel-sel darah putih, dengan manifestasi adanya

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan penyembuhan luka sayat secara makroskopis antara pemberian topikal ekstrak sel punca mesenkimal tali pusat manusia

Simpulan yang dapat ditarik bahwa ekstrak batang Sipatah-patah dapat meningkatkan proliferasi dan diferensiasi sel punca mesenkimal sumsum tulang tikus menjadi osteoblas dan

Jika diambil dari darah perifer maka pasien diberi CGSF (Colony Growth Stimulating Factor) yang akan merangsang sumsum tulang untuk memproduksi danmelepaskan banyak sel

4.3.1 Bank sel punca darah tali pusat harus menetapkan dan menjaga kebijakan, proses dan prosedur untuk menjamin bahwa bahan/alat yang dipakai sesuai dengan