• Tidak ada hasil yang ditemukan

KUALITAS DAN AKURASI PENCATATAN PELAPORAN IMUNISASI DASAR LENGKAP DENGAN DQS DI BLITAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KUALITAS DAN AKURASI PENCATATAN PELAPORAN IMUNISASI DASAR LENGKAP DENGAN DQS DI BLITAR"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

©2018 FKM_UNAIR All right reserved. Open access under CC BY – SA license doi: 10.20473/jbe.v6i1.2018. 102-113

Received 16 January 2018, received in revised form 05 February 2018, Accepted 05 February 2018, Published online: 18 March 2018 The Quality and Accuracy of Basic Complete Immunization Record and Reporting with DQS in Blitar

Meida Sucsesa1, Arief Hargono2

1Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar, meidasucsesa29@gmail.com 2Departemen Epidemiologi FKM UA, arief.hargono@gmail.com

Alamat Korespondensi: Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar, Jalan Semeru Nomor 50, Blitar, Jawa Timur, Indonesia

ABSTRAK

Kualitas dan akurasi data imunisasi merupakan masalah yang sering ditemukan di puskesmas dan dinas kesehatan. Cakupan imunisasi yang tinggi, belum tentu menunjukkan kualitas data juga baik. Pencapaian cakupan imunisasi yang tinggi diharapkan dapat menekan angka kejadian penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) terutama penyakit difteri. Evaluasi imunisasi dasar lengkap dapat menggunakan metode Data Quality Self Assessment (DQS). Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis permasalahan imunisasi dari segi kualitas dan akurasi data imunisasi khususnya pencatatan dan pelaporan imunisasi dasar lengkap. Penelitian ini dilakukan dengan studi deskriptif dengan rancangan cross sectional. Sampel penelitian ini yaitu 18 petugas imunisasi puskesmas dengan status desa UCI dan 6 petugas imunisasi puskesmas dengan status desa non UCI di wilayah Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar. Variabel bebas meliputi akurasi data kohort bayi dengan laporan puskesmas, pencatatan dan pelaporan hasil imunisasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pencatatan data imunisasi di sebagian puskesmas ber kualitas baik, kelemahan sistem pemantauan pada kualitas sistem pelaporan yaitu hasil imunisasi desa belum dilaporkan tepat waktu ke puskesmas dan terdapat perbedaan pelaporan antara kohort bayi dengan laporan puskesmas. Kesimpulan penelitian, sebagian besar sistem pencatatan imunisasi dasar lengkap di puskesmas dalam kategori baik sehingga dapat dijadikan kekuatan untuk meningkatkan kualitas program imunisasi sedangkan akurasi data dan sistem pelaporan di sebagian besar puskesmas kurang baik yang merupakan kelemahan dalam program imunisasi, sehingga perlu dilakukan perbaikan program imunisasi dengan melakukan on the job training bagi bidan desa dan petugas imunisasi puskesmas.

Kata Kunci: akurasi, imunisasi, kualitas, pelaporan, pencatatan ABSTRACT

Quality and accuration of immunization data are problem that often found in primary health center and Health offices. High immunization coverage doesnt indicate good data quality. Achieving high immunization coverage is to reduce the incidence of diseases that prevented by immunization (PD3I), especially diphtheria disease. Evaluation of complete basic immunization using Data Quality Self Assessment (DQS). The purpose of this research is to analyze immunization problem from quality and accuration side of immunization services especially the report and recording of basic complete immunization. This is descriptive study research, with cross sectional design. The sample sizes are 18 immunization officer of puskesmas with status of UCI village and 6 officer with status immunization non UCI village in Public Health Office of Blitar District. The independent variable are accuracy of infant cohort data with Puskesmas report, recording and reporting of immunization result. The result showed that recording immunization data in some health centers good quality, the weakness of monitoring system on quality of reporting system is village immunization result not ontime when reporting to Puskesmas and there was a difference in reporting between the infant cohort and the Puskesmas report. The conclusion is the system of recording and reporting basic complete immunization data in major is good category soit can be the strength of increase immunization program quality while accuration data system, while the accuration data system, reporting system, in half of Puskesmas not so good this is the weakness on immunization programme monitoring system, so it is necessary to improve the immunization program by doing on the job training for village midwives and immunization duties of public health center.

(2)

PENDAHULUAN

Menurut Permenkes RI No.12 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan imunisasi, menyebutkan bahwa untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan mempertahankan status kesehatan seluruh rakyat diperlukan tindakan imunisasi sebagai tindakan preventif. Salah satu upaya pencegahan penyakit menular adalah upaya pengebalan (imunisasi). Menurut Ranuh (2013), imunisasi merupakan suatu proses memasukkan vaksin untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit sehingga apabila suatu saat terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan mengalami sakit atau hanya mengalami sakit ringan. Imunisasi merupakan upaya kesehatan yang terbukti cost effective.

Tujuan utama kegiatan imunisasi adalah menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Upaya imunisasi perlu ditingkatkan untuk mencapai tingkat kekebalan masyarakat yang tinggi sehingga dapat memutuskan mata rantai penularan PD3I. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, upaya imunisasi dapat semakin efektif dan efisien dengan harapan dapat memberikan sumbangan yang nyata bagi kesejahteraan anak, serta masyarakat lainnya. Keberhasilan program imunisasi adalah tercapainya imunisasi dasar lengkap yang dioperasionalkan dalam Universal Child Immunization (UCI) desa/kelurahan (Depkes RI, 2005).

Menurut Purwitasari (2012), faktor yang berperan penting dalam pencapaian UCI Desa diantaranya petugas pelaksana imunisasi (bidan desa) yang mempunyai tanggungjawab terhadap pemberian imunisasi dan sistem pencatatan dan pelaporannya. Seorang petugas imunisasi yang mempunyai tingkat pengetahuan yang kurang tentang program imunisasi akan mempengaruhi dalam pencapaian cakupan UCI Desa dan ketersediaan logistik yang tidak memadahi tidak akan dapat menunjang keberhasilan program imunisasi.

Upaya pemerintah untuk mencapai Millenium Development Goals (MDGs) berdasarkan Kementerian Kesehatan adalah menetapkan imunisasi untuk menurunkan angka kematian anak. Indikator keberhasilan program imunisasi adalah tercapainya Universal Child Immunization (UCI) desa/kelurahan yang ditetapkan secara nasional pada tahun 1990 dengan tercapainya imunisasi dasar lengkap minimal 90% yaitu BCG, DPT 3 (Difteri Pertusis, Tetanus ketiga), polio ketiga,

hepatitis B dan campak sebelum anak berusia 1 tahun (Depkes RI, 2017).

Pencapaian UCI Desa secara nasional pada tahun 2013 sebesar 80,23%, pada tahun 2014 sebesar 81,82%, pada tahun 2015 sebesar 82,30%. Pencapaian UCI Desa di Jawa Timur pada tahun 2015 sebesar 82,30%, pada tahun 2014 sebesar 85,84%, pada tahun 2015 sebesar 76,47%. Pencapaian UCI Desa pada tingkat nasional maupun tingkat provinsi Jawa Timur belum memenuhi target yang diharapkan yaitu 90% (Sutarjo, 2016).

Peningkatan cakupan UCI Desa di suatu daerah diharapkan dapat menurunkan angka kejadian penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) terutama penyakit difteri.

Difteri ditemukan pada era Hipoccrates saat wabah kali pertama terjadi yaitu pada abad ke V Sebelum Masehi (Saifudin, 2016). Difteri merupakan masalah kesehatan sejak ribuan tahun yang lalu yang menyerang kesehatan manusia yang dapat mengakibatkan komplikasi dan kematian yang disebabkan oleh bakteri

Corynebacterium diphtheria (Chin, 2009). Difteri masih menjadi masalah kesehatan karena masih sering menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) dan menyebabkan kematian. Semua kelompok umur dapat terkena difteri tetapi kebanyakan menyerang anak-anak yang tidak dimunisasi.

Kasus difteri di Jawa Timur hampir tersebar di seluruh kabupaten atau kota, dan kasus difteri tertinggi ada di wilayah Kabupaten Blitar. Laporan tahunan Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar tahun 2017 terdapat 57 kasus difteri pada tahun 2016 dengan kematian 1 kasus. Menurut Kementerian Kesehatan RI (2003), jika ditemukan 1 kasus difteri di rumah sakit, puskesmas maupun masyarakat yang sebelumnya (minimal 2 kali masa inkubasi terpanjang) tidak ada, maka wilayah tersebut dinyatakan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri. Pernyataan KLB ditetapkan sesuai dengan Permenkes 1501 tahun 2010.

Kabupaten Blitar merupakan salah satu kabupaten yang masih endemis difteri di Provinsi Jawa Timur. Jumlah penderita difteri di Kabupaten Blitar dari tahun ke tahun terus meningkat.

Penyakit difteri merupakan salah satu penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Perjalanan penyakit tersebut sangat cepat dan dapat menyebabkan kematian dalam waktu yang relatif singkat.

(3)

Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar Tahun 2017

Gambar 1. Tren Kasus Difteri Kabupaten Blitar Tahun 2012 - 2016

Kasus difteri di Kabupaten Blitar cenderung meningkat jumlah penderitanya dan tempat penyebarannya, meskipun cakupan UCI Desa di Kabupaten Blitar mulai tahun 2014 sampai tahun 2016 sudah memenuhi target diatas 90%. Cakupan UCI pada tahun 2014 sebesar 92,6 %, sebesar 92,74% pada tahun 2015 dan cakupan UCI 96,77% tahun 2016. Jumlah kecamatan yang terdapat kasus difteri adalah 63,6% dari seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Blitar (Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar, 2016)

Pencapaian UCI Desa yang tinggi diikuti juga peningkatan jumlah kasus PD3I yaitu penyakit difteri yang tinggi juga. Hal in terbukti dengan kejadian difteri yang terus meningkat di setiap tahunnya. Peristiwa tersebut sebagai anomali pencapaian UCI, yang berarti ada masalah didalam pencapaian UCI Desa, antara lain masalah tersebut dapat dideteksi dengan melakukan Data Quality Self Assessment (DQS) dan Rapid Convenience Assessment (RCA).

Upaya untuk meningkatkan mutu sistem pencatatan dan pelaporan pelaksanaan program imunisasi Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar menggunakan metode Data Quality Self Assessment (DQS) yang telah dikembangkan oleh WHO sejak tahun 2004 yang bertujuan untuk mengevaluasi sistem monitoring imunisasi rutin yang dipakai untuk menilai kualitas sistem pencatatan dan pelaporan imunisasi dan juga keakuratan data cakupan imunisasi yang dapat mempengaruhi pencapaian UCI Desa dan kejadian penyakit difteri.

Data di tingkat puskesmas adalah data penting karena data tersebut akan menjadi bagian dari data tingkat kabupaten/kota bahkan hingga ke tingkat

provinsi dan pusat. Oleh karena itu, melalui Data Quality Self Assesment diharapkan data di tingkat puskesmas akan meningkatkan kualitas data di tingkat kabupaten/kota hingga tingkat provinsi dan pusat.

Pertemuan nasional tahun 2010 tentang evaluasi kegiatan akselerasi imunisasi dibahas beberapa permasalahan yang dapat menghambat keberhasilan program imunisasi yaitu pencapaian program imunisasi, salah satunya berkaitan dengan pencatatan dan pelaporan imunisasi. Hasil pembahasan pada pertemuan tersebut dijelaskan bahwa di tahun 2009 data cakupan imunisasi pada 107 desa di 41 puskesmas di 22 kab/kota di 10 provinsi dari tingkat desa ke puskesmas akan membaik ke tingkat yang lebih tinggi yang diketahui dengan Data Quality Self Assessment

(Usmays, 2010).

Data di tingkat puskesmas adalah data penting karena data tersebut akan menjadi bagian dari data tingkat kabupaten/kota bahkan hingga ke tingkat provinsi dan pusat. Oleh karena itu, melalui Data Quality Self Assesment diharapkan data di tingkat puskesmas akan meningkatkan kualitas data di tingkat kabupaten/kota hingga tingkat provinsi dan pusat dengan standar akurasi DQS ≥ 80%.

Menurut Tarigan (2009), kualitas data secara keseluruhan di beberapa puskesmas lebih rendah daripada di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi.

Evaluasi imunisasi dapat dilakukan pada faktor pencatatan dan pelaporan pada buku register kohort bayi dan anak balita. Hal ini dikarenakan angka cakupan imunisasi yang tinggi belum tentu menggambarkan kondisi di lapangan. Data imunisasi di dalam buku kohort maupun di pada buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) / Kartu Menuju Sehat (KMS) dengan kenyataan di lapangan bisa berbeda. Oleh karena itu, diperlukan

cross check data pada buku kohort maupun di dalam buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) / Kartu Menuju Sehat (KMS) (Depkes RI, 2010).

Data yang masuk pada sistem pencatatan dan pelaporan pemberian imunisasi masih berupa agregat untuk menghitung persentase (%) cakupan UCI Desa mulai dari desa kemudian ke puskesmas lalu ke dinas kesehatan sampai ke provinsi. Penelitian survei cepat tahun 2010 menyebutkan permasalahan pelaksanaan program imunisasi di Jawa Timur disebabkan antara lain karena ada yang belum diimunisasi atau kualitas pencatatan dan pelaporan program imunisasi yang masih rendah. Pada penelitian tersebut diketahui hasil coverage survey cakupan imunisasi di Kab/Kota prioritas di Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Blitar memiliki

23 17 21 44 57 0 10 20 30 40 50 60 Tahun Jum lah K as us

(4)

62,9% cakupan lengkap dan valid dose sebesar 61,4% (Hargono dkk, 2010).

Penelitian survei cepat tahun 2010 menyebutkan bahwa cakupan imunisasi berdasarkan kartu lebih rendah jika dibandingkan berdasarkan riwayat sehingga dapat digambarkan masih rendahnya sistem pencatatan dan pelaporan hasil imunisasi (Hargono dkk, 2012).

Hasil penilaian kinerja puskesmas tahun 2016 di Kabupaten Blitar menyebutkan bahwa masih adanya kesenjangan antara pelaporan hasil imunisasi ke dinas kesehatan dan hasil verifikasi di puskesmas sebanyak 38,6%, ini berarti masih ada pencatatan dan pelaporan hasil imunisasi yang

overreporting yang akan mempengaruhi pencapaian UCI Desa, overreporting karena petugas imunisasi kurang teliti dalam pencatatan dan pelaporan sehingga akan mempengaruhi cakupan UCI Desa dengan akurasi data imunisasi masih rendah.

Pencapaian UCI Desa yang tinggi belum tentu menggambarkan kondisi dilapangan. Proses pencatatan dan pelaporan ini mempunyai risiko terjadi ketidakakuratan data hasil imunisasi yang dilaporkan. Sehingga untuk menjaga data tetap berkualitas dan akurat, kegiatan pencatatan dan pelaporan perlu dipantau secara rutin.

Penelitian survei cepat yang dilakukan oleh Hargono dkk (2010), menyebutkan permasalahan pelaksanaan program imunisasi di Jawa Timur disebabkan antara lain karena ada yang belum diimunisasi atau kualitas pencatatan dan pelaporan program imunisasi yang masih rendah. Pada penelitian tersebut diketahui hasil coverage survey

cakupan imunisasi di Kab/Kota prioritas di Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Blitar memiliki 62,9% cakupan lengkap dan valid dose sebesar 61,4%.

Tujuan penelitian ini untuk menganalisis permasalahan imunisasi dari segi kualitas dan akurasi pelayanan imunisasi khususnya pencatatan dan pelaporan imunisasi.

METODE

Penelitian ini merupakan suatu penelitian studi deskriptif yang dilakukan untuk menggambarkan kondisi di lapangan yang berkaitan dengan penilaian terhadap sesuatu dan mendeskripsikan karakteristik masing-masing variabel yang diteliti.

Peneliti menggunakan kuesioner untuk mengukur kualitas pelayanan imunisasi dasar lengkap dengan metode Data Quality Self Assessment (DQS) yang telah dimodifikasi dan disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan peneliti. Wawancara dilakukan kepada petugas

imunisasi puskesmas, sehingga peneliti hanya melihat hasil dari pencatatan dan pelaporan dari bidan desa ke petugas imunisasi puskesmas. Desain atau rancang bangun penelitian ini adalah cross sectional.

Populasi dalam penelitian ini adalah 18 petugas imunisasi puskesmas dengan desa UCI dan 6 petugas imunisasi puskesmas dengan desa Non UCI. Besar sampel dalam penelitian adalah total populasi. Penelitian ini dilakukan di 24 puskesmas wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar . Waktu pengambilan data dalam penelitian ini yaitu pada bulan Juli 2017.

Data yang dikumpulkan berupa data primer yaitu variabel independen yang terdiri dari akurasi data imunissasi pada buku kohort bayi dengan laporan puskesmas, pencatatan dan pelaporan hasil imunisasi bayi. Data sekunder juga dikumpulkan untuk mendukung penelitian. Data sekunder diperoleh peneliti dari hasil pencatatan imunisasi dasar lengkap pada buku kohort bayi selama satu tahun di setiap desa dan formulir pelaporan di wilayah kerja puskesmas di Kabupaten Blitar.

Data yang sudah terkumpul kemudian dianalisis secara deskriptif menggunakan petunjuk pelaksanaan DQS menurut WHO yang sudah dimodifikasi. Berdasarakan petunjuk pelaksanaan DQS tersebut dijelaskan bahwa kualitas dan akurasi data hasil pelayanan imunisasi yang tercatat di tingkat yang lebih rendah dengan data yang dilaporkan ke tingkat yang lebih tinggi. Hasil analisis akan ditampilkan dalam bentuk grafik batang yang menunjukkan persentase dan tabel kategori hasil keakuratan data imunisasi dasar lengkap serta mengidentifikasi segala permasalahan dan hambatan terkait pencatatan dan pelaporan hasil imunisasi kemudian mencari alternatif pemecahan masalah untuk perbaikan program imunisasi baik di desa maupun di puskesmas.

HASIL

Gambaran distribusi frekuensi responden berdasarkan umur, tingkat pendidikan dan lama kerja. Ditinjau dari umur, dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu kelompok umur 26-35 tahun, 36-45 tahun dan lebih dari 36-45 tahun. Ditinjau dari tingkat pendidikan dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu SMA dan perguruan tinggi (D3 atau D4) jurusan kebidanan. Ditinjau dari lama kerja dibagi menjadi empat kelompok diantaranya kurang dari 1 tahun, 1-10 tahun, 11-20 tahun dan lebih dari 20 tahun.

(5)

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur, Tingkat Pendidikan dan Lama Kerja

Karakteristik Frekuensi (n) Persentase (%) Umur 26-35 tahun 2 8,3 36-45 tahun 15 62,5 >45 tahun 7 29,2 Tingkat Pendidikan SMA 1 4,2 PT Kebidanan 23 95,8 Lama Kerja <1 tahun 5 20,8 1-10 tahun 14 58,3 11-20 tahun 4 16,7 >20 tahun 1 4,2 Total 24 100

Hasil penelitian pada Tabel 1 mengenai distribusi frekuensi responden berdasarkan umur, menunjukkan bahwa sebagian besar responden berumur antara 36-45 tahun sebesar 62,5%, kemudian kelompok umur >45 tahun sebesar 29,2%, sedangkan kelompok umur paling sedikit adalah kelompok umur 26-35 tahun sebesar 8,3%.

Distribusi frekuensi responden berdasarkan tingkat pendidikan, menunjukkan bahwa sebagian besar responden berpendidikan Perguruan Tinggi (D3 / DIV Kebidanan) sebesar 23 orang (95,8%), sedangkan sisanya SLTA sebesar 1 orang (4,2%).

Distribusi frekuensi responden berdasarkan lama kerja, menunjukkan bahwa petugas imunisasi puskesmas yang mempunyai masa kerja paling banyak adalah petugas imunisasi puskesmas dengan masa kerja antara 1 -10 tahun yaitu 58,3% dan yang paling sedikit adalah petugas imunisasi puskesmas dengan masa kerja > 20 tahun sebesar 4,2%.

Kualitas pelayanan imunisasi dasar lengkap dalam upaya peningkatan cakupan UCI Desa dapat dilihat dari akurasi data imunisasi dasar lengkap yang tercatat di kohort bayi. Akurasi data hasil imunisasi dapat diketahui dengan melakukan verifikasi pada kohort bayi dan pelaporan puskesmas. Verifikasi merupakan kegiatan untuk mengetahui keakuratan data cakupan imunisasi dengan mencocokkan data hasil pelayanan imunisasi pada pencatatan di tingkat yang lebih rendah dengan data yang dilaporkan ke tingkat yang lebih tinggi.

Rasio akurasi jumlah imunisai dasar lengkap terhadap laporan imunisasi dasar lengkap di

puskesmas pada 24 puskesmas yang ada di Kabupaten Blitar dari bulan Januari hingga Desember 2016, dikatakan akurat jika jumlah data imunisasi dasar lengkap yang tercatat di buku kohort bayi sama dengan data imunisasi dasar lengkap yang tercatat di laporan puskesmas. Data rasio akurasi data kohort bayi dengan laporan puskesmas sebagimana pada Tabel 2 sebagai berikut:

Tabel 2. Akurasi Puskesmas Berdasarkan Kohort Bayi dan Laporan Puskesams

Puskesmas Akurasi (%) Kategori Bakung 81,1 Baik Sutojayan 100 Baik Margomulyo 80 Baik

Wates 25 Kurang Baik

Binangun 100 Baik Kesamben 100 Baik Doko 100 Baik Wlingi 100 Baik Talun 100 Baik Kanigoro 100 Baik

Kademangan 0 Kurang Baik

Sanakulon 100 Baik Srengat 100 Baik Udanawu 100 Baik Ponggok 100 Baik Bacem 100 Baik Nglegok 100 Baik

Garum 66,7 Kurang Baik

Gandusari 55,6 Kurang Baik Slumbung 20 Kurang Baik

Wonodadi 100 Baik

Boro 10 Kurang Baik

Wonotirto 62,5 Kurang Baik

Selopuro 100 Baik

Hasil penelitian pada Tabel 2 tentang akurasi puskesmas berdasarkan kohort bayi dan pelaporan puskesmas, dapat diketahui bahwa puskesmas dengan kategori akurasi baik adalah Puskesmas Bakung, Sutojayan, Margomulyo, Binangun, Kesamben, Doko, Wlingi, Talun, Kanigoro, Sanankulon, Srengat, Udanawu, Ponggok, Bacem, Nglegok, Wonodadi dan Selopuro. Puskesmas dengan kategori akurasi kurang baik adalah Puskesmas Wates, Kademangan, Garum, Gandusari, Slumbung, Boro dan Wonotirto.

(6)

58,3 33,3 8,3 0 20 40 60 80

Akurat Over reporting Under reporting

P

erse

ntase

Tabel 3. Akurasi Data Imunisasi Dasar Lengkap Berdasarkan Kohort Bayi dengan Pelaporan Puskesmas

Akurasi

Puskesmas dengan Desa UCI Puskesmas dengan desa Non UCI DQS Baik Persentase (%) DQS Kurang Baik Persentase (%) DQS Baik Persentase (%) DQS Kurang Baik Persentase (%) Akurat 14 77,8 0 0 0 0 0 0 Over reporting 0 0 3 16,7 0 0 5 83,3 Under reporting 0 0 1 5,6 0 0 1 83,3 Total 14 77,8 4 22,2 0 0 6 100

Hasil penelitian pada Tabel 3 menunjukkan tingkat akurasi laporan cakupan imunisasi dasar lengkap di puskesmas dengan desa UCI berdasarkan verifikasi menggunakan metode DQS dengan hasil DQS yang baik, sehingga pelaporan data hasil imunisasi dasar lengkap yang akurat sebesar 77,8% dengan tidak ada data yang

overreporting maupun under reporting. Puskesmas dengan desa UCI, berdasarkan hasil DQS kurang baik menunjukkan data pelaporan imunisasi dasar lengkap yang akurat sebesar 0%, sehingga hasil DQS yang baik yaitu data imunisasi dasar lengkapnya akurat antara di kohort bayi desa dengan data di puskesmas.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa di puskesmas dengan desa UCI yang hasil DQS kurang baik, masih ada pelaporan yang

overreporting (16,7%) dan under reporting (5,6%), ini berarti di puskesmas dengan desa UCI yang hasil DQS kurang baik menunjukkan bahwa tingkat akurasinya juga kurang baik karena masih ada

under reporting dan overreporting.

Hasil verifikasi menggunakan metode DQS, secara keseluruhan di puskesmas dengan desa UCI, dengan hasil DQS menunjukkan hasil baik, tingkat akurasi datanya juga baik (77,8%), karena semua data yang ada di puskesmas tersebut akurat antara kohort bayi dengan data hasil imunisasi di puskesmas. Puskesmas dengan desa UCI yang hasil DQS kurang baik, menunjukkan tingkat akurasinya rendah (0%) karena tidak ada data hasil imunisasi dasar lengkap yang akurat antara kohort bayi dengan laporan puskesmas dan masih ada data yang

overreporting serta under reporting.

Hasil verifikasi di puskesmas dengan desa non UCI menggunakan metode DQS dengan hasil baik, menunjukkan bahwa data hasil imunisasi dasar lengkap akurat sebesar (0%), sehingga tidak ada data yang overreporting dan under reporting.

Hasil verifikasi di puskesmas dengan desa non UCI, dengan hasil DQS kurang baik, menunjukkan tingkat keakuratan datanya juga rendah sebesar 0%,

hal ini berarti bahwa di puskesmas dengan desa non UCI, hasil DQS kurang baik dan data hasil imunisasi dasar lengkapnya tidak akurat, karena di puskesmas dengan desa non UCI dengan hasil DQS kurang baik ada data yang overreporting sebesar 83,3% dan under reporting sebesar 16,7%.

Secara keseluruhan tingkat akurasi di puskesmas wilayah Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar rendah, hal ini dapat mempengaruhi kualitas pencapaian UCI Desa dan kejadian PD3I terutama penyakit difteri.

Gambar 2. Rasio Akurasi Data Kohort Bayi dengan Laporan Puskesmas

Hasil penelitian pada Gambar 2 menunjukkan bahwa akurasi data kohort dan laporan imunisasi di puskesmas sebesar 58,3%. Hal ini berarti bahwa dari 24 puskesmas di wilayah Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar, hanya 14 puskesmas yang data hasil imunisasi dasar lengkap pada buku kohort bayi sesuai dengan data hasil pelaporan puskesmas.

Overrreporting pada puskesmas sebesar 33,3% (8 puskesmas), berarti bahwa data hasil imunisasi dasar lengkap pada buku kohort bayi lebih kecil dari data hasil imunisasi dasar lengkap di laporan puskesmas (< 100%) dan under reporting sebesar 8,3% (2 puskesmas) artinya puskesmas dengan data hasil imunisasi dasar lengkap di buku kohort lebih besar dari data hasil imunisasi dasar lengkap di pelaporan puskesmas (>100%)

(7)

Tabel 4. Analisis Kekuatan dan Kelemahan Sistem Pemantauan Program Imunisasi Dasar Lengkap Menggunakan Metode DQS

Variabel DQS

Puskesmas dengan Desa UCI Puskesmas dengan desa Non UCI DQS Baik Persentase (%) DQS Kurang Baik Persentase (%) DQS Baik Persentase (%) DQS Kurang Baik Persentase (%) Pencatatan 14 77,8 4 22,2 4 66,7 2 33,3 Pelaporan 14 77,8 4 22,2 0 0 6 100

Kelemahan pada kualitas sistem pelaporan di puskesmas dengan desa non UCI yaitu karena masih ada bidan desa yang melaporkan hasil imunisasi tidak tepat waktu ke puskesmas serta data UCI Desa dan data pemantauan wilayah setempat di puskesmas tidak diarsipkan dengan baik selama 3 tahun terakhir.

Kekuatan dalam sistem pemantauan data pada program imunisasi dalam meningkatkan kualitas data imunisasi dasar lengkap dengan metode Data Quality Self Assessment di puskesmas dengan desa UCI adalah pada sistem pencatatan dan pelaporan yang sudah dilaksanakan yaitu sebesar 77,8%.

Kelemahan yang menjadi masalah pada sistem pencatatan di puskesmas dengan desa UCI yaitu kohort bayi tidak diisi dengan lengkap (sebagian besar alamat tidak dituliskan) dan laporan imunisasi dasar lengkap bulanan belum mencakup semua sektor pelayanan seperti dari rumah sakit atau dari bidan praktik swasta dan belum dipisahkan hasil imunisasi dasar lengkap dari dalam / luar wilayah. PEMBAHASAN

Analisis Akurasi Data Imunisasi Dasar Lengkap antara Kohort Bayi dengan Laporan Puskesmas Rasio akurasi data antara kohort bayi dengan laporan puskesmas di Kabupaten Blitar, pada sebagian puskesmas, persentase akurasi data imunisasi dasar lengkap antara kohort bayi dengan laporan puskesmas yang datanya akurat lebih banyak dibandingkan dengan yang overreporting

atau under reporting, hal ini menunjukkan bahwa masih ada petugas imunisasi yang kurang teliti dalam melakukan pencatatan dan pelaporan hasil imunisasi dasar lengkap yang dapat menyebabkan kualitas imunisasi tidak optimal dan akan berdampak pada indikator keberhasilan program imunisasi seperti UCI Desa. Menurut Usmays (2010), salah satu yang perlu diperhatikan dalam cakupan pencapaian adalah pencatatan dan pelaporan kegiatan.

Sesuai dengan penelitian Purwitasari (2012), menyebutkan bahwa faktor dari dalam petugas (internal) yang dapat dihubungkan dengan pencapaian UCI Desa adalah motivasi, beban kerja, sikap, masa kerja, pencatatan dan pelaporan, serta pelatihan program imunisasi yang didapat baik bidan desa maupun petugas puskesmas. Pada penelitian ini dibuktikan bahwa masih ada bidan desa yang tidak teliti dalam melakukan pencatatan dan pelaporan hasil imunisasi dasar lengkap yang bisa mempengaruhi pencapain UCI Desa dan menyebabkan kualitas pelayanan imunisasi tidak optimal.

Data hasil imunisasi dasar lengkap yang masuk dalam kohort bayi harus sama, tidak dilihat dari banyak atau sedikitnya data tetapi sama atau berbeda data yang dicatat. Apabila data imunisasi hanya lengkap pada salah satu media pencatatan, maka akan berdampak dengan akurasi pelayanan imunisasi. Permasalahan ini telah di ungkapkan di dalam pertemuan nasional evaluasi kegiatan akselerasi imunisasi yang menyebutkan bahwa akurasi data adalah hal yang perlu mendapatkan perhatian karena terdapat perbedaan angka dengan rentang yang cukup. Perbedaan angka ini akan berpengaruh pada kualitas pelayanan imunisasi dasar lengkap terutama pada capain UCI Desa (Usmays, 2010)

Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa sebenarnya akurasi data capaian imunisasi dasar lengkap di wilayah Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar yang dijadikan sebagai tolok ukur pencapaian UCI Desa yang sudah memenuhi target di Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar bisa dikatakan masih rendah. Akurasi data di tingkat puskesmas menjadi hal yang penting, mengingat data tersebut akan menjadi data di tingkat kabupaten/kota dan tingkat provinsi sampai tingkat pusat.

(8)

Kualitas Data Imunisasi Dasar Lengkap Berdasarkan Pencatatan Imunisasi Dasar Lengkap di Puskesmas dengan desa UCI dan Puskesmas dengan desa Non UCI

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No 12 Tahun 2107 tentang Penyelenggaraan Imunisasi dijelaskan bahwa penyelenggaraan imunisasi wajib dicatat dan dilaporkan secara berkala dan berjenjang mulai dari tingkat pelayanan sampai tingkat pusat (Depkes RI, 2017). Hal ini berarti, semua hasil imunisasi dasar lengkap yang di dokumentasikan di tingkat posyandu / tingkat desa harus dicatat dan dilaporkan ke tingkat puskesmas. Pencatatan dan pelaporan adalah indikator keberhasilan suatu kegiatan. Tanpa adanya pencatatan dan pelaporan yang baik, kegiatan atau program yang dilaksanakan tidak akan terlihat wujudnya. Output dari pencatatan dan pelaporan yaitu sebuah data dan informasi yang berharga jika dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang benar. Jadi data dan informasi merupakan unsur yang penting dalam sebuah organisasi, karena data dan informasi yang berbicara tentang keberhasilan program. Pencatatan dan pelaporan program imunisasi meliputi hasil cakupan imunisasi, data logistik imunisasi dan data inventarisasi peralatan imunisasi (Depkes RI, 2009).

Berdasarkan hasil penelitian pada 24 puskesmas dengan desa UCI dan desa Non UCI mayoritas puskesmas dalam melakukan pencatatan hasil pelayanan imunisasi mempunyai kualitas pencatatan yang baik. Sebagian besar puskesmas tersebut telah mencatat hasil pelayanan imunisasi di kohort bayi dan laporan bulanan yang dikirimkan ke puskesmas juga memiliki kesamaan antara pencatatan di kohort bayi dan pencatatan laporan puskesmas serta laporan imunisasi dasar lengkap sudah mencakup semua sektor pelayanan imunisasi, seperti hasil pelayanan imunisasi dasar lengkap dari rumah sakit , posyandu, rumah sakit swasta maupun dari praktik swasta sudah dibedakan berdasarkan tempat pelayanan imunisasi dasar lengkap baik di dalam wilayah maupun di luar wilayah.

Hasil penelitian ini tidak sama dengan hasil survey cepat oleh Hargono dkk (2012), di Lumajang yang menyatakan bahwa cakupan imunisasi berdasarkan kartu lebih rendah dibandingkan berdasarkan riwayat sehingga dapat digambarkan masih lemahnya sistem pencatatan hasil imunisasi. Ketidaksamaan ini dikarenakan pada penelitian sekarang, pencatatan yang digunakan adalah berdasarkan kohort bayi dan laporan puskesmas yang terbukti sama.

Pencatatan imunisasi dasar lengkap pada bayi yang dilakukan di fasilitas pelayanan swasta seperti rumah sakit swasta, praktik dokter, praktik bidan klinik swasta tentunya memiliki media pencatatan yang berbeda-beda tergantung dimana tempat pelayanan imunisasi diberikan. Namun meskipun pelayanan imunisasi diberikan diluar posyandu atau diluar wilayah bahkan di pelayanan swasta, hal terpenting adalah bayi sudah mendapatkan imunisasi dasar lengkap bukan dilihat dari tempat imunisasinya, karena pemerintah telah mengatur standar pelayanan imunisasi.

Adanya data hasil imunisasi dasar lengkap yang dicatat di pelayanan imunisasi di tingkat posyandu merupakan pencatatan dasar yang menjadi data dasar di tingkat desa dan tingkat puskesmas serta tingkat kabupaten / kota maupun tingkat provinsi. Hal ini sesuai dengan penelitian Koepke R(2015), yang menyatakan penggunaan ful dan inisiatif lainnya yang meningkatkan pertukaran data dari catatan kesehatan elektronik ke IIS akan memperbaiki kualitas data IIS dalam penilaian cakupan vaksinasi yang serupa Survei Imunisasi Nasional.

Masalah pencatatan hasil imunisasi harus dilakukan oleh bidan wilayah dan dicatat di kohort bayi dengan menyalin hasil dari pencatatan buku imunisasi dari masing-masing tempat pelayanan imunisasi. Pencatatanl ini harus dilakukan oleh bidan desa terkait dengan pencapaian imunisasi dasar lengkap untuk memenuhi target UCI Desa. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 12 Tahun 2017, hasil pelayanan imunisasi dasar lengkap yang sudah dilaksanakan dicatat dalam buku Kesehatan Ibu Anak (KIA), kohort bayi dan rekam medis setelah pemberian imunisasi pada hari itu.

Saat dilakukan verifikasi dilapangan, kohort bayi merupakan buku yang dijadikan media untuk melakukan pencatatan hasil imunisasi dasar lengkap dan digunakan untuk menghitung pencapaian imunisasi dasar lengkap yang di bandingkan dengan buku laporan puskesmas. Pencatatan pada kohort bayi sudah diisi lengkap yaitu nama bayi / orang tua, alamat, tanggal lahir, jenis antigen dan tanggal pemberian imunisasi serta sudah di update dengan bayi-bayi yang baru lahir maupun pindah wilayah.

Hasil penelitian ini tidak sama dengan hasil penelitian terdahulu oleh Tarigan (2009), menyatakan bahwa penyebab kurang baiknya sistem pencatatan imunisasi di Puskesmas Gang Kelor Kota Bogor adalah tidak lengkapnya pencatatan imunisasi sesuai dengan jenis antigen yang diberikan.

(9)

Meskipun sistem pencatatan imunisasi dasar lengkap sudah baik, namun masih ada kelemahan pada sistem pencatatan di sebagian puskesmas dengan desa UCI dan desa Non UCI, diantaranya masih ada beberapa puskesmas yang laporan bulanan belum mencakup semua sektor pelayanan imunisasi dasar lengkap, karena petugas belum memisahkan hasil pelaksanaan imunisasi sesuai dengan tempat pelayanan imunisasi yang diberikan. Hasil imunisasi yang dipisahkan berdasarkan wilayahnya masing-masing akan membantu bidan desa di wilayah untuk mencapai target UCI Desa, sistem pencatatan imunisasi dasar lengkap yang kurang baik akan mengakibatkan cakupan imunisasi dasar lengkap menjadi rendah, sesuai dengan penelitian imunisasi di Kabupaten Tegal yang menujukkan bahwa Puskesmas yang tidak ada sistem pencatatan dan pelaporan mempunyai risiko memiliki cakupan imunisasi campak dalam kategori rendah (Arfiyanti, 2009).

Menurut petugas imunisasi puskesmas, beberapa bidan desa masih menggunakan buku bantu dalam pencatatan imunisasi karena untuk memudahkan pencatatan hasil imunisasi yang nantinya akan dipindah ke buku kohort bayi. Proses dari memindah hasil pencatatan dari buku bantu ke kohort ini yang kemungkinan besar terjadi kesalahan yang menyebabkan pencatatan hasil imunisasi di buku kohort tidak sama dengan buku laporan puskesmas. Alasan bidan desa menggunakan buku bantu dan tidak menggunakan buku kohort bayi untuk mencatat langsung hasil imunisasi di tempat pelayanan imunisasi karena buku kohort bayi terlalu besar sehingga kesulitan jika harus dibawa ke tempat pelayanan imunisasi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Purwitasari (2012), yang menyebutkan bahwa ketidaktersedianya buku kohort di posyandu adalah karena buku kohort terlalu besar sehingga kerepotan jika harus dibawa ke posyandu.

Berdasarkan hasil penelitian tentang analisis kekuatan dan kelemahan sistem pemantauan program imunisasi dasar lengkap menggunakan metode DQS, menunjukkan bahwa sebagian besar puskesmas dengan desa UCI dan puskesmas dengan desa non UCI, kualitas sistem pencatatan sudah baik dan merupakan kekuatan yang dapat dijadikan untuk memperbaiki kualitas pencatatan yang akan meningkatkan kualitas pelayanan imunisasi dasar lengkap sehingga akan dapat meningkatkan juga kualitas pencapaian UCI Desa.

Adanya data hasil imunisasi dasar lengkap yang dicatat di pelayanan imunisasi di tingkat posyandu merupakan pencatatan dasar yang menjadi data

dasar di tingkat desa dan tingkat puskesmas serta tingkat kabupaten / kota maupun tingkat provinsi. Kualitas Data Imunisasi Dasar Lengkap Berdasarkan Pelaporan Imunisasi Dasar Lengkap di Puskesmas dengan Desa UCI dan Puskesmas dengan Desa Non UCI

Pelaporan dalam pelaksanaan imunisasi dasar lengkap merupakan kegiatan yang sangat penting dilakukan di semua tingkat administrasi guna mendukung pengambilan keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan kegiatan maupun evaluasi hasil pelaksanaan imunisasi dasar lengkap. Berdasarkan hasil penelitian tentang analisis kekuatan dan kelemahan sistem pemantauan program imunisasi dasar lengkap dengan menggunakan metode DQS, puskesmas dengan desa UCI dan puskesmas dengan desa non UCI, kualitas sistem pelaporan imunisasi dasar lengkap masih belum baik, ini artinya sistem pelaporan imunisasi dasar lengkap dalam kategori lemah, baik di puskesmas dengan desa UCI maupun di puskesmas dengan desa non UCI.

Kelemahan dalam sistem pelaporan hasil pelayanan imunisasi dasar lengkap yang menjadi kendala penyebab sistem kualitas pelaporan belum baik di puskesmas dengan desa non UCI, diantaranya adalah kohort bayi tidak disimpan dengan baik dalam 3 tahun terakhir, ada yang hilang dengan alasan bidan desa yang sekarang menggantikan bidan desa yang mutasi dan bidan sebelumnya tidak tinggal di desa tersebut.

Kendala lain yang menjadi hambatan pada sistem pemantauan program imunisasi dasar lengkap pada kualitas pelaporan adalah arsip pencapaian desa UCI dan arsip pemantauan wilayah setempat yang tidak diarsipkan dengan baik, sehingga mengakibatkan kualitas pelayanan imunisasi dasar lengkap juga rendah, bagaimana kualitas pencapaian UCI Desa dikatakan baik jika arsipnya tidak disimpan dengan baik dan bahkan masih ada yang tidak mempunyai arsip pencatatan dan pelaporan imunisasi (Tarigan, 2009).

Selain dari masalah yang sudah disebutkan, berdasarkan wawancara yang dilakukan pada responden kurang baiknya kualitas pelaporan karena laporan hasil pelayanan imunisasi dasar lengkap dari desa tidak dikirim tepat waktu ke puskesmas dengan alasan ada beberapa bidan desa yang kurang perhatian terhadap waktu pelaporan hasil imunisasi dasar lengkap meskipun sudah di ingatkan berkali-kali oleh petugas imunisasi puskesmas. Ketepatan waktu pengiriman laporan dari unit-unit dibawah puskesmas inilah yang masih

(10)

menjadi kendala di lapangan. Ketepatan waktu dalam pengumpulan laporan data sangat penting. Laporan data yang tepat waktu mempercepat pengambilan keputusan, sehingga masalah dapat secara cepat diselesaikan.

Hasil penelitian ini tidak sama dengan hasil penelitian terdahulu oleh Dharmawan, dkk (2015), menyatakan bahwa seluruh bidan desa setuju bahwa pelaporan PWS KIA harus dilakukan secara lengkap dan tepat waktu, harus dikerjakan dengan penuh kesadaran tanpa harus disuruh, bidan selalu melaksanakan pelaporan walaupun tanpa adanya pengawasan dari pimpinan serta setuju jika diberlakukan sanksi agar bidan melaporkan data PWS KIA dengan lengkap dan tepat waktu.

Hal ini menunjukkan bahwa masih ada bidan desa yang belum mengerti ketepatan waktu dalam mengumpulkan laporan data. Menurut Depkes (2005), program imunisasi dapat berhasil jika ada usaha sungguh-sungguh dan berkesinambungan pada orang-orang yang memiliki pengetahuan dan komitmen yang tinggi terhadap imunisasi. Jika suatu program intervensi preventif seperti program imunisasi ingin dijalankan secara serius, maka perbaikan dan mengevaluasi perilaku petugas kesehatan serta peningkatan pengetahuan sangat diperlukan.

Berdasarkan hasil penelitian tentang akurasi data imunisasi dasar lengkap berdasarkan kohort bayi dengan yang dilaporkan ke puskesmas menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan. Perbedaan ini dapat disebabkan karena hasil pelaporan yang overreporting (Hargono dkk, 2010).

Adanya overreporting dan under reporting

membuktikan bahwa kualitas pelaporan di sebagian puskesmas diwilayah Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar adalah lemah, kenyataan ini membuka mata kita bahwa masalah dalam program imunisasi tidak hanya pada kualitas vaksin tetapi yang sering dianggap kecil seperti pelaporan imunisasi dasar lengkap yang juga dapat mengakibatkan masalah yang besar. Sistem pencatatan dan pelaporan imunisasi dapat berdampak pada keberhasilan program imunisasi seperti kualitas data pelayanan imunisasi dasar lengkap sehingga mempengaruhi kualitas pencapaian UCI Desa/kelurahan.

Program imunisasi berkaitan erat dengan program surveilans, dimana petugas surveilans akan bekerjasama dengan petugas imunisasi dalam menangani masalah penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) yang berpotensi menjadi wabah atau yang tergolong kejadian luar biasa seperti penyakit difteri. Surveilans merupakan komponen alat kesehatan masyarakat yang

berhubungan dengan manajemen yang mempunyai sasaran data tertentu yang dikumpulkan, dianalisis, diintrepretasikan dan dilakukan diseminasi informasi untuk pengambilan keputusan secara terus menerus dan sistematik. Oleh karena itu, diperlukan tindakan yang terintegrasi antara petugas surveilans dengan petugas imunisasi (Depkes RI, 2007)

Kegiatan petugas surveilans yang terintegrasi dengan petugas imunisasi adalah pada saat terjadi kejadian luar biasa difteri, petugas surveilans mencari data tentang status imunisasi, tempat pelayanan imunisasi dan kualitas cold chain

program imunisasi untuk dianalisis berkaitan dengan adanya faktor risiko kasus difteri.

Faktor risiko difteri menurut konsep penyebab dan proses terjadinya penyakit dalam epidemiologi dilihat dari faktor penjamu yaitu status imunisasi. Dimana seseorang dengan status imunisasi yang tidak lengkap mempunyai risiko lebih tinggi terkena penyakit difteri dari pada seseorang dengan status imunisasi yang lengkap (Sudoyo, 2006).

Faktor imunisasi yang menjadi faktor risiko kejadian difteri dilihat dari pelaporan yang

overreporting apakah mempunyai hubungan yang signifikan dengan peningkatan kasus difteri di Kabupaten Blitar masih perlu di lakukan penelitian lebih lanjut lagi. Pada penelitian saat ini dari segi pelaporan di dapatkan bahwa di puskesmas dengan desa UCI yang hasil DQS baik dengan akurasi laporan dalam kategori akurat menunjukkan adanya kasus difteri dan juga di puskesmas dengan desa Non UCI, dengan hasil DQS kurang baik dan pelaporannya termasuk dalam kategori

overreporting juga ditemukan kasus difteri.

Kelemahan dalam kualitas pelaporan di puskesmas bisa diperbaiki dengan meningkatkan kepedulian bidan desa dalam melakukan pelaporan hasil imunisasi dasar lengkap tepat waktu dengan memberikan kompensasi atau reward atas prestasi bidan desa dalam pencatatan dan pelaporan data imunisasi dasar lengkap sehingga diharapkan dapat meningkatkan kinerja bidan desa dalam meningkatkan kualitas data pelaporan. (Dharmawan dkk, 2015).

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Berdasarkan dari hasil pembahasan, dapat ditarik kesimpulan bahwa tingkat akurasi laporan imunisasi dasar lengkap berdasarkan kohort bayi dengan laporan puskesmas di wilayah Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar sebagian besar dalam

(11)

kategori rendah (41,7%) dengan over reporting

(33,3%) dan underreporting (8,4 %).

Sistem pencatatan imunisasi dasar lengkap di puskesmas dengan desa UCI dan puskesmas dengan desa Non UCI sebagian besar dalam kategori baik (75%) artinya sistem pencatatan dapat dijadikan kekuatan yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas pelayanan imunisasi dasar lengkap.

Kualitas sistem pelaporan imunisasi dasar lengkap di puskesmas dengan desa UCI dan puskesmas dengan desa non UCI sebagian besar dalam kategori kurang baik (41,7%) yang merupakan kelemahan dalam sistem pemantauan program imunisasi dasar lengkap.

Saran

Perlu dilakukan perbaikan dalam sistem pemantauan kualitas pelaporan dengan meningkatkan kinerja petugas pelaksana imunisasi dan petugas imunisasi puskesmas dengan membuat aturan yang dapat meningkatkan kinerja petugas yang sesuai dengan aturan yang berlaku.

Puskesmas perlu mengadakan on the job training bagi seluruh bidan desa dan semua petugas imunisasi puskesmas tentang pelaksanaan program imunisasi dalam upaya meningkatkan cakupan UCI Desa yang berkualitas.

Diperlukan software khusus imunisasi untuk mempermudah petugas imunisasi dalam menganalisis hasil pencapaian imunisasi di wilayahnya masing-masing sehingga menghasilkan informasi yang dapat digunakan untuk perencanaan program imunisasi selanjutnya.

Diperlukan penelitian yang lebih mendalam lagi terkait program imunisasi dengan kejadian penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) terutama penyakit difteri dan pembuktian catatan kohort sebagai pendukung kebenaran akurasi dengan melakukan Rapid Convenience Assessment

(RCA). REFERENSI

Arfiyanti, A. 2009. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Cakupan Imunisasi Campak Di Kabupaten Tegal. Skripsi. Semarang. Universitas Negeri Semarang. http://lib.unnes.ac.id/2122/1/4238.pdf [Sitasi

23 November 2017].

Chin, J. 2009. Manual Pemberantasan Penyakit MenularEdisi 17. Jakarta. CV Infomedika. Depkes RI. 2005. Pedoman Penyelenggaraan

Imunisasi. Jakarta. Ditjen P2PL Kemenkes RI.

Depkes RI. 2009. Buku Pedoman Imunisasi Dasar Bagi Puskesmas. Jakarta. Ditjen P2PL Kemenkes RI.

Depkes RI. 2009. Petunjuk Pelaksanaan Data Quality Self Assessment (DQS) Di Puskesmas. Jakarta. Departemen Kesehatan RI.

Depkes RI. 2006. Pedoman Supervisi Suportif Program Imunisasi. Jakarta. Departemen Kesehatan RI.

Depkes RI. 2015. Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1091/Menkes/Sk/X/2004 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Imunisasi. Jakarta. Departemen Kesehatan RI.

Depkes RI. 2017. Peraturan Menteri Kesehatan RI No.1091/Menkes/SK/X/2004 Tentang Penyelenggaraan Imunisasi. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI.

Dharmawan, Y., Wigati, P.A., Dwijayanti, F. 2015. Kinerja Petugas Dalam Pencatatan dan Pelaporan PWS KIA Di Puskesmas Duren.

Jurnal Kesehatan Masyarakat, 10(2). https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/ke

mas/article/view/3383 [Sitasi 12 November 2017].

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur. 2012.

Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat. Surabaya. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur.

Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar. 2016. Profil Kesehatan Kabupaten Blitar.

http://www.dinkes.blitarkab.go.id [12 November 2017].

Finazis, R. 2014. Akurasi Pencatatan dan Pelaporan Imunisasi Campak Bayi Pada Buku KIA dan Buku Kohort. Jurnal Berkala Epidemiologi,

2(2): pp. 184-195.

e-journal.unair.ac.id/index.php/JBE/article/ download/174/44 [Sitasi 12 November 2017].

Hargono, A., Purnomo, W., Suradi., Achsan., Efriyanto, Y. 2010. Hasil Coverage Survey Cakupan Imunisasi Di 8 Kabupaten/Kota Di Jawa Timur 2009-2010. Surabaya. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur [Sitasi 17 April 2017].

Hargono, A., Purnomo, W., Suradi., Achsan., Efriyanto, Y. 2012. Survei Cepat Cakupan Imunisasi Dasar Pada Bayi Di Kabupaten Lumajang Tahun 2010. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 15(1): p. 55-60 [Sitasi 17 April 2017].

Koepke, R. 2015. Evaluating The Completeness And Accuracy Of The Wisconsin

(12)

Immunization Registry. Jurnal Public Health ManagPract, 21(3): pp. 273-281. New Orleans. Los Angeles.

http://www.who.int/healthinfo/country_mon itoring_evaluation/KH_DataQualityReportC ard_2011.pdf [Sitasi 02 Januari 2018]. Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian

Kesehatan. Jakarta. Rineka Cipta.

Menteri Kesehatan RI. 2010. Peraturan Meneteri

Kesehatan RI Nomor

1501/Menkes/PER/X/2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu Yang Dapat Menimbulkan Wabah Dan Upaya Penanggulangan.

Purwitasari, W. 2012. Indikator Prediktif Pencapaian UCI Desa, Pencapaian Valid Dose Pemberian Imunisasi Serta Kualitas Pengelolaan Vaksin Di Kabupaten Jember Tahun 2012. Tesis. Surabaya. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga.

Ranuh, I.G.N. 2013. Pedoman Imunisasi Di Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. Saifudin, N. 2016. Analisis Dan Pemodelan Faktor

Risiko Kejadian Difteri Di Kabupaten Blitar Tahun 2015. Tesis. Surabaya. Universitas Airlangga.

Sudoyo, A.W. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 5, Jilid III. Jakarta. Interna Publishing.

Sutarjo, US., Johan, PR., Budiyanto, D. 2016. Profil Kesehatan Indonesia 2015. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI.

Tarigan, I. 2009. Kualitas Data Imunisasi Rutin Berdasarkan Metode Data Quality Self Assessment. Jurnal Media Litbang Kesehatan, XIX (I). Jakarta.

http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.ph p/MPK/article/view/883 [Sitasi 12 Mei 2017].

Usmays. 2010. Imunisasi: Kerja Keras Untuk Masa Depan Anak Bangsa Yang Lebih Baik.

http://www.pppl.depkes.go.id/_asset/_downl oad/Imunisasi,_ kerjakeras.pdf [Sitasi 10 Mei 2017].

World Health Organization. 2005. The Immunization Data Quality Self Assessment (DQS) Tool. Geneva. World Health Organization.

Gambar

Gambar 1. Tren Kasus Difteri Kabupaten Blitar  Tahun 2012 - 2016
Tabel  1.  Distribusi  Frekuensi  Responden  Berdasarkan  Umur,  Tingkat  Pendidikan dan Lama Kerja
Tabel 3. Akurasi Data Imunisasi Dasar Lengkap Berdasarkan Kohort Bayi dengan Pelaporan Puskesmas
Tabel  4.  Analisis  Kekuatan  dan  Kelemahan  Sistem  Pemantauan  Program  Imunisasi  Dasar  Lengkap  Menggunakan Metode DQS

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian kami sejalan dengan penelitian Abdul khanis yang memaparkan bahwa defisiensi besi dengan parameter sTfR merupakan faktor resiko bangkitan kejang demam lebih besar

Pengujian secara simultan menunjukkan bahwa tiga nilai organisasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja manajemen dan kinerja perawat (p &lt;0,05).Kinerja karyawan yang

IV.3.2 Program Ruang Gedung Terminal Pelabuhan Laut Tanjung Kendal

sampai 2015. Untuk menentukannya model pengaruh tersebut digunakan metode analisis jalur dengan menggunakan analisis regresi linear berganda. Data diambil dari laoran

Sleman, maka dapatlah diambil kesimpulan sebagai berikut: respon yang positif terhadap pemanfaatan feses ternak sebagai energi alternatif biogas berpengaruh terhadap

5. Pejabat lain yang dipandang perlu.. Tulislah nama pejabat yang membuat pernyataan. Tulislah NIP dari pejabat yang membuat pernyataan. Tulislah pangkat dan golongan ruang dari

Cekaman kekeringan sampai dengan kadar air tanah 75% kapasitas lapangan yang terjadi selama fase generatif pada tanaman kacang hijau Varietas Fore Belu telah

Menurut seorang ahli pendidikan Islam, Omar Mohammadal-Thoumyal-Syaibani, (1979) keselarasan itu harus menunjang, pertama, tujuan individual yaitu berkaitan dengan