• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH BENTUK DAN LAMA PENYIMPANAN TERHADAP KUALITAS DAN NILAI BIOLOGIS PAKAN KOMPLIT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH BENTUK DAN LAMA PENYIMPANAN TERHADAP KUALITAS DAN NILAI BIOLOGIS PAKAN KOMPLIT"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH BENTUK DAN LAMA PENYIMPANAN

TERHADAP KUALITAS DAN NILAI BIOLOGIS

PAKAN KOMPLIT

(Effect of Shape and Storage Duration on Quality and Biological Value

of Complete Feed)

I-W.MATHIUS1,A.P.SINURAT1,D.M.SITOMPUL2,B.P.MANURUNG2danAZMI3 1

Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002 2

PT Agricinal, Bengkulu 3

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Bengkulu

ABSTRACT

Simple physical processing of complete feed is all that necessary to achieve effective utilization by ruminant animals. In the case of palm oil industry by-products as feedstuffs is rarely justified. A serie of experiments on the effect of by-product of palm oil processing for ruminants was carried out. All of the feedstuffs were dried, ground pass through a 3 mm screen and mixed special composition. Then, the mixture was processed to form pellet, crumbles and beam/cube (5 x 10 x 20 cm in size) and storage for 1, 2 and 3 months. Feed quality were tested using a 3 x 3 factorial complete design with 3 type of shapes and 3 length of storage. In order to measure the feed intake and digestibility, a total of eighteen lambs, about 1.5 years old were used in a 3 x 3 factorial complete randomize design (3 shapes of feed and 3 lengths of storage). Meanwhile, performance study, using 15 heifers, allotted randomly to 3 shape of feed tratments was also done. There was not a change in colour of the diet treatments. The crude protein content was not significanly different, although it was slighty lower compared to the original diet. There was no interaction affected between form of feed and length of storage. Dry matter intake did not show any significant different (P > 0.05) between treatments. Apperent digestibility of nutrient, as expected, did not show any significant effects, averaging 53.8, 55.6, 65.3 and 71.0% for dry matter, organic matter, crude protein and gross energy respectively. Biologically study of feeds treatments fed to cattle did not effect dry matter intake (P > 0.05), with averaging 4.4 kg per head. Cosequently, average daily gain was also not different (0.6 kg/head/day. With the available information, it can be concluded tha types of shape and length of storage did not effect feed quality and biological value.

Key Words: Shape, Storage, Complete Feed, Digestibility, Biological Value

ABSTRAK

Ketersediaan pakan yang berkelanjutan merupakan salah satu permasalahan penyediaan dan pemberian pakan yang dihadapi para pelaku produksi peternakan di lapang. Sehubungan dengan hal tersebut maka suatu kegiatan penelitian telah dilakukan untuk mempelajari pengaruh bentuk dan lama penyimpanan terhadap kualitas dan nilai biologis pakan komplit yang berbasis produk samping industri kelapa sawit. Pakan komplit dalam bentuk pelet (T), pecahan (N) dan balok (K) diuji daya simpan dengan kurun waktu simpan selama 1 (B-1), 2 (B-2) dan 3 (B-3) bulan. Selanjutnya delapan belas ekor domba dipergunakan untuk menguji tingkat palatabilitas dan kecernaan bentuk pakan komplit. Sementara itu, untuk uji biologis dilakukan pada ternak sapi sejumlah 15 ekor. Parameter yang diukur adalah daya serap air, tingkat ketengikan, kandungan nutrien bahan, konsumsi, kecernaan dan penampilan ternak. Rancangan yang dipergunakan untuk (i) uji daya simpan adalah acak lengkap pola faktorial 3 x 3 (bentuk dan waktu simpan), sedangkan (ii) tingkat palatabilitas ternak terhadap bentuk pakan dan uji biologis adalah rancangan acak lengkap dengan tiga perlakuan bentuk (crumble, pellet dan balok) pakan. Data yang diperoleh di analisis dengan sidik ragam model GLM. Waktu penyimpanan cenderung menurunkan kandungan protein kasar, namun antara waktu penyimpanan 1 hingga 3 bln tidak berpengaruh terhadap kandungan nutrien pakan. Demikian pula bentuk pakan tidak berpengaruh (P > 0,05) terhadap kecernaan nutrien, dengan rataan masing-masing 53,8; 55,6; 65,3 dan 71,0% untuk bahan kering, bahan organic, protein kasar dan energi secara berurutan. Uji biologis bentuk pakan pada ternak sapi menunjukkan tidak berbedanya (P > 0,05) tingkat konsumsi bahan kering harian pakan, dengan rataan 4,4 kg

(2)

per ekor. Sebagai konsekuensinya adalah pertambahan bobot hidup harian ternak sapi tidak pula menunjukkan perbedaan dengan rataan 0,610 g. Disimpulkan bahwa kandungan nutrien pakan komplit tidak dipengaruhi oleh bentuk dan lama penyimpanan selama tiga bulan. Demikian pula bentuk pakan tidak berpengaruh terhadap nilai kecernaan dan nilai biologis pakan.

Kata kunci: Bentuk Pakan, Lama Penyimpanan, Kecernaan, Nilai Biologis.

PENDAHULUAN

Sapi potong, merupakan salah satu ternak ruminansia besar, cukup berperan dalam rantai penyediaan pangan berkualitas, karena kemampuannya mengubah bahan pakan yang tidak dapat dimanfaatkan oleh manusia, seperti hijauan dan limbah pertanian menjadi pangan berkualitas tinggi seperti daging dan susu (BYWATER dan BALDWIN, 1980). Sapi potong yang telah lama beradaptasi dengan kondisi Indonesia merupakan salah satu bangsa sapi yang memiliki keunggulan tertentu. Salah satu keunggulan dimaksud adalah mampu memanfaatkan hijauan kasar dengan baik sebagai pakan utamanya. Namun demikian dengan system pemeliharaan semi ekstensif serta mengandalkan ketersediaan pakan hijauan alam yang ada, tingkat produktivitas sapi lokal belum dapat mencapai titik optimal. Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa dengan sentuhan teknologi perbaikan pemberian pakan, penampilan sapi potong lokal dapat ditingkatkan (SETIAWAN, et al. 1997; SETIADI et al, 1997). Oleh karena itu, potensi genetik yang dimiliki ternak sapi lokal perlu ditingkatkan dengan harapan agar jurang permintaan dan penawaran daging merah dapat dipersempit. Perbaikan system pemeliharaan dengan pemberian pakan yang cukup dalam artian jumlah yang memadai dan kualitas yang baik, merupakan pendekatan yang perlu mendapat perhatian. Pendekatan tersebut tidak saja merupakan pendekatan sesaat untuk penampilan sapi potong, tetapi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kondisi lingkungan yang harus tetap dipertahankan (kondisi stabil) agar perbaikan serta peningkatan mutu genetic dapat dilaksanakan (ZARATE, 1996). JALALUDIN, (1991a,b) melaporkan bahwa untuk mencapai hasil yang diharapkan, yaitu tingkat produksi sapi potong yang optimal, maka penyediaan pakan harus diimbangi dengan pola pemberian pakan dan perbaikan kualitas pakan. Ditambahkan bahwa keberhasilan perbaikan

mutu genetik ternak lokal membutuhkan kondisi yang stabil dalam artian tatalaksana yang memadai, ketersediaan pakan yang berkelanjutan sepanjang tahun (SASAKI, 1992) dan kesehatan lingkungan. Pola dan pemberian pakan yang belum sesuai dengan kebutuhan sapi potong, dilaporkan merupakan faktor utama rendahnya tingkat produktifitas ternak di daerah tropis (CHEN, 1990). Dengan perkataan lain, problem utama upaya peningkatan produksi sapi potong didaerah, adalah sulitnya penyediaan pakan yang berkesinambungan baik dalam artian jumlah yang cukup dan kualitas yang baik. Dilain sisi pemanfaatan limbah pertanian yang tersedia, baik yang berasal dari lahan persawahan, perkebunan, pinggiran hutan ataupun tegalan/kebun belum dimanfaatkan sepenuhnya. Untuk itu perlu diupayakan langkah-langkah agar produk samping tanaman dan industri pertanian dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan baku pakan alternatif.

Salah satu produk samping dan hasil ikutan pengolahan perkebunan yang berpotensi dan dapat dipergunakan sebagai bahan pakan lengkap adalah berasal dari industri kelapa sawit, namun ketersediaan produk samping tersebut pada umumnya bermusim, tersebar jauh dari usaha peternakan dan mudah busuk. Oleh karena itu untuk lebih dapat medayagunakan produk samping dan hasil ikutan tersebut perlu dilakukan langkah-langkah yang tepat dan optimal sehingga produk tersebut dapat dimanfaatkan secara maksimal. Pengawetkan bahan pakan/pakan jadi dalam bentuk yang lebih terjamin tingkat pengadaan dan kontiniutas penyediaannya dalam artian kualitasnya dapat dipertahankan merupakan salah satu jalan keluarnya. Salah satu bentuk awetan dimaksud adalah dengan membuat pakan jadi dalam bentuk pelet. Dengan Pola penyediaan yang demikian diharapkan nilai tambah usahatani tanaman pangan/perkebunan dapat ditingkatkan sekaligus efisiensi pemanfaatan lahan dapat ditingkatkan.

(3)

MATERI DAN METODE

Kegiatan ini diawali dengan proses fermentasi solid-bungkil inti sawit sebagai bahan baku pakan yang kaya akan nutrient (ferlawit LB). Bahan baku yang dipergunakan dalam penyusunan pakan komplit terdiri dari bahan utama (i) produk fermentasi (ferlawit LB), (ii) tepung pelepah kelapa sawit dan (iii) bungkil inti sawit. Sementara itu, bahan pakan tambahannya adalah garam dan mineral mix. Bahan utama dikeringkan (kadar air ± 15%), untuk selanjutnya digiling dan dapat melewati saringan berukuran 1 – 1,5 mm. Bahan ransum tersebut selanjutnya dicampur dengan menggunakan mesin campur (mixer). sesuai dengan komposisi bahan sebagai yang dilaporkan terdahulu (MATHIUS et al., 2004), yakni tepung pelepah 33%, ferlawit LB 33%, bungkil inti sawit 32% garam 1% dan mineral mix 1%. Setelah campuran homogen, adonan campuran tersebut dicetak dalam bentuk pelet (T), pecahan (N) dan balok (K). Selanjutnya pakan komplit tersebut diuji daya simpan dengan kurun waktu simpan selama 1 (B-1), 2 (B-2) dan 3 (B-3) bulan. Atas dasar pertimbangan tingkat kesulitan dalam pelaksanaan studi kecernaan dan dengan asumsi bahwa ternak sapi dan domba memiliki kesamaan dalam hal fisiologi nutrisi, maka uji tingkat palatabilitas dan kecernaan bentuk pakan dipergunakan domba sebagai ternak model. Pengujian dilakukan dalam skala laboratorium dengan mempergunakan domba dewasa sejumlah 18 ekor dengan waktu pengamatan, fase adaptasi selama 10 hari dan fase pengumpulan data selama 21 hari. Ternak sapi yang digunakan dalam uji biologis ditingkat lapang adalah sapi Bali sedang tumbuh (131 ± 11,1 kg) dengan jumlah ternak setiap perlakuan sebanyak 15 ekor.

Parameter yang diukur adalah daya serap air, tingkat ketengikan, kandungan nutrien bahan, konsumsi dan penampilan ternak, ukuran tubuh (tinggi, panjang, lingkar dada) dan kualitas ransum. Pengukuran konsumsi diperoleh dengan cara mengetahui selisih antara pemberian dan sisa selama 24 jam dan dilakukan setiap hari. Perubahan bobot hidup dilakukan dengan menimbang ternak setiap empat minggu sekali. Sementara itu, kenaikan bobot hidup harian dilakukan dengan

mempergunakan persamaan regresi sederhana. Ukuran tubuh dilakukan dengan mempergunakan meteran/pita (Webo, Denmark) yang telah dipersiapkan. Uji kualitas contoh bahan pakan dilakukan dengan menganalisis komposisi nutrien bahan, seperti bahan kering, protein kasar, serat, abu, kalsium, phosporus dan energi, menurut petunjuk AOAC (1984) dan VAN SOESTet al. (1991).

Rancangan yang dipergunakan untuk (i) uji daya simpan adalah acak lengkap pola factorial 3 x 3 (bentuk dan waktu simpan), sedangkan (ii) tingkat palatabilitas ternak terhadap bentuk pakan dan uji biologis adalah rancangan acak lengkap dengan tiga perlakuan bentuk (crumble, pellet dan balok) pakan. Data yang diperoleh di analisis dengan sidik ragam (PETERSON, 1985), model GLM dengan menggunakan paket program SAS (1987).

HASIL DAN BAHASAN Uji daya simpan

Oleh karena bahan dasar yang dipergunakan sedalam pembentukan pakan komplit ini tersusun dari bungkil inti sawit yang berwarna coklat muda, pelepah bagian dalam (putih) dan solid terfermentasi (coklat tua), maka warna ransum jadi berwarna coklat muda/agak terang dan berbau alkohol. Bau tersebut boleh jadi disebabkan karena adanya produk fermentasi yang, yang diketahui selama proses fermentasi dan enzimatis menghasilkan bau alkohol tersebut. Pengamatan organoleptik menunjukkan bahwa bentuk dan lama penyimpanan tidak berpengaruh terhadap warna dari pakan komplit tersebut. Hasil analisa kandungan nutrien campuran pakan komplit yakni bahan kering (BK), protein kasar (PK) dan energi secara berurutan sebesar 88,50 (%); 12,90 (% BK) dan 4,643 (Mkal/kg BK). Selanjutnya selama penyimpanan tidak diperoleh perubahan terhadap kadar air maupun kandungan nutrien pakan komplit tersebut. Secara visual penyimpanan pada bulan ketiga terjadi sedikit perubahan terhadap pakan. Hal tersebut ditandai dengan tumbuhnya sedikit jamur, demikian pula dengan bau setelah mengalami penyimpanan selama tiga bulan agak tengik (Tabel 1).

(4)

Tabel 1. Penampakan visual pakan selama penyimpanan

T (pelet) N (pecahan) K (balok)

Uraian B –1 B-2 B-3 B-1 B-2 B-3 B-1 B-2 B-3 Warna Kekompakan Tingkat kontaminasi Bau/ketengikan CM K T SA CM K T SA CM K T SA CM K T SA CM K T SA CM K TT S CM K T SA CM K T SA CM K TT ST

*CM = coklat muda/terang; K = kompak; T = tidak berjamur; TT = ditumbuhi sedikit jamur; S = segar; SA = segar alkohol; ST = sedikit bau tengik

Tabel 2. Komposisi kandungan nutrien ransum perlakuan

T (pelet) N (pecahan) K (balok)

Uraian B –1 B-2 B-3 B-1 B-2 B-3 B-1 B-2 B-3 Komposisi Nutrien Bahan Kering (%) 88,51 87,55 87,37 88,54 87,70 87,18 88,67 87,41 87,10 Protein Kasar (% BK) 12,97 12,74 12,88 12,96 12,97 13,11 12,97 13,01 12,56 GE (Mkal/kg BK) 4,647 4,640 4,629 4,647 4,598 4,522 4,647 4,591 4,601 NDF (% BK) 63,52 64,01 65,93 63,52 65,94 63,27 63,52 64,18 64,40 ADF (%BK) 55,78 55,92 55,99 55,78 54,19 52,65 55,78 54,37 53,19 Abu (% BK) 10,59 10,93 10,88 10,59 10,83 10,56 10,59 10,48 10,43

GE = gross energi; NDF = neutral detergent fiber; ADF = acid detergent fiber; BK = bahan kering

Penyimpanan dalam suhu ruang dalam karung plastik menyebabkan kandungan air pakan sedikit meningkat. Boleh jadi keadaan tersebut menyebabkan kesempatan bagi jamur untuk tumbuh, dan sebagai konsenkuensinya bau tengik timbul pada bulan ketiga. Ketengikan dapat terjadi karena bahan utama penyusun ransum lengkap tersebut tersusun dari bungkil inti sawit yang diketahui mengandung cukup banyak minyak. Kandungan nutrien sebagai akibat penyimpanan tidak berpengaruh pada kualitas pakan komplit tersebut (Tabel 2). Kondisi yang demikian menunjukkan bahwa pakan komplit yang tersusun dari produk hasil ikutan industri kelapa sawit dapat disimpan selama tiga bulan tanpa mengurangi kandungan nutrien pakan.

Uji kecernaan pakan komplit

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ternak membutuhkan waktu fase adaptasi selama lebih dari 15 hari untuk dapat menerima

perlakuan bentuk pakan yang diberikan. Selanjutnya, ternak telah beradaptasi dengan baik terhadap pakan dengan bentuk yang berbeda. Respons perlakuan bentuk pakan terhadap pola konsumsi bahan kering selama pengamatan menunjukkan kisaran yang sesuai dengan saran NRC (1981), yaitu sebanyak 3,2 ± 0,11% dari bobot hidup (BH), meskipun ada kecenderungan ternak lebih menyukai pakan dalam bentuk pellet (Tabel 3). Tidak terjadi perbedaan yang nyata terhadap jumlah bahan kering yang dikonsumsi sebagai akibat bentuk pakan yang diberikan. Rataan konsumsi bahan kering harian (g/kg BH0,75) untuk semua perlakuan adalah sejumlah 86,98 g, dengan nilai kisaran 84,22 – 88,41 g. Jumlah tersebut lebih banyak dari yang pernah dilaporkan oleh YUANGKLANG et al.(2005), dengan kisaran 74 – 76 g/kg BH0,75. Hasil penelitian ini memperkuat hasil penelitian terdahulu yang melaporkan bahwa rataan konsumsi bahan kering pakan yang tersusun dari produk fermentasi lebih disukai (MATHIUS et al., 2004).

(5)

Uraian T (pelet) N (pecahan) K (balok) B-1 B-22 B-3 B-1 B-2 B-3 B-1 B-2 B-3 Konsumsi Bahan Kering Protein Kasar GE (Mkal) NDF ADF Konsumsi BK harian (% BH) Kecernaan nutrien (%) Bahan Kering Protein Kasar Energi NDF ADF Bahan organik 86,22 11,32 0,581 35,59 29,31 3,29 53,1 65,3 71,4 27,9 39,1 55,2 84,55 11,04 0,556 34,73 28,92 3,18 54,3 63,7 70,5 27,5 36,9 56,2 87,63 11,40 0,591 35,93 28,11 3,27 53,7 64,2 70,3 26,9 34,8 55,7 87,33 11,31 0,579 37,16 27,27 3,30 53,8 66,3 70,5 28,3 37,7 55,6 85,70 11,27 0,547 36,94 28,11 3,26 55,4 66,5 72,1 28,5 36,3 57,2 87,78 11,37 0,582 37,27 27,65 3,24 53,2 64,6 69,9 27,9 35,6 55,5 87,77 11,35 0,593 34,49 29,11 2,91 54,5 65,4 70,9 28,7 34,6 56,1 88,41 11,49 0,610 34,18 28,37 2,87 53,2 62,8 70,4 27,9 34,5 54,2 87,47 11,36 0,590 34,40 27,19 2,90 53,2 65,6 71,3 28,5 38,3 54,9

(6)

Tingkat konsumsi bahan kering ransum komplit yang diberikan sangat berpengaruh terhadap pasokan nutrien yang dibutuhkan, baik untuk hidup pokok maupun untuk produksi. Namun demikian, konsekuensi tidak berbedanya konsumsi bahan kering pada kegiatan ini menyebabkan tidak berbedanya tingkat konsumsi nutrien yang diperoleh. Hal ini disebabkan, baik bahan maupun kandungan nutrien pakan dengan bentuk yang berbeda tersusun dari bahan yang sama. Rataan konsumsi nutrien dari setiap pakan perlakuan tertera pada Tabel 3. Dari Tabel 3 terlihat bahwa konsumsi rataan protein kasar per hari adalah 11,32 + 0,24 g/kg BH0,75 (P > 0,05). Dihubungkan dengan kebutuhan ternak akan protein kasar sebagai yang disarankan oleh KEARL (1982), maka nilai yang diperoleh pada pengamatan berada pada kisaran yang disarankan, namun lebih tinggi dari yang dilaporkan HARYANTO dan DJAJANEGARA

(1992).

Pengaruh perlakuan bentuk pakan terhadap konsumsi rataan energi (Mkal/kg BH0,75) tidak menunjukkan perbedaan (P > 0,05), dengan rataan konsumsi energi sebanyak 0,581 + 0,0175 Mkal/kg BH0,75 meskipun ada kecenderungan bahwa bentuk pakan lebih tinggi pada ternak yang mendapat pakan pellet. Pola yang sama, terjadi pada konsumsi (g/kgBH0,75) nutrien lainnya seperti serat deterjen netral (SDN), serat deterjen asam (SDA), dan tidak dipengaruhi oleh bentuk pakan perlakuan (Tabel 3). Konsumsi nutrien tersebut lebih banyak dari yang disarankan NRC (1987) dan KEARL (1982).

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tingkat kecernaan nutrien tidak dipengaruhi (P > 0,05). VAN SOEST et al. (1991) melaporkan bahwa tingkat kecernaan BK dipengaruhi oleh komponen nutrien ransum, seperti protein kasar, energi dan serat deterjen asam (SDA). Serat deterjen asam merupakan komponen ransum yang mengandung lignin dan diketahui tidak dapat dipecah/cerna oleh mikroorganisme rumen dan sebagai konsekuensi kecernaan BK akan terpengaruh (VAN SOEST, 1965).

Uji biologis

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, rataan konsumsi bahan kering ransum adalah 3,33% (Tabel 4), dengan kisaran sejumlah 3,25

– 3,39% dari bobot hidup. Jumlah tersebut lebih tinggi juka dibandingkan dengan hasil penelitian yang pernah dilaporkan MATHIUS et al. (2004). NRC (1987) melaporkan bahwa kebutuhan bahan kering seekor sapi berkisar antara 3 – 3,5%, sementara KEARL (1982) melaporkan bahwa sapi betina dengan bobot hidup 150 kg membutuhkan bahan kering sejumlah 3,3 – 4,5 kg atau setara dengan 2,2 – 3,0% dari bobot hidup. Variasi jumlah bahan kering yang dibutuhkan tersebut sangat bergantung pada tingkat pertumbuhan ataupun tingkat pertambahan bobot hidup harian yang diharapkan dan bentuk pakan yang diberikan (YUANGKLANG et al., 2005). Dari perolehan data tersebut dan bila ditinjau dari kebutuhan bahan kering ransum seekor sapi dengan bobot hidup 150 kg, maka jumlah tersebut telah memenuhi kebutuhan seekor sapi. Dari Tabel 4 terlihat bahwa bentuk pemberian pakan, dalam bentuk yang berbeda tiidak berpengaruh terhadap kemampuan ternak untuk mengkonsumsi bahan kering yang lebih banyak lagi. Keadaan tersebut boleh jadi disebabkan pakan yang tersusun dari produk samping industri kelapa sawit telah memenuhi kebutuhan hidup ternak, khususnya untuk hidup pokok. Hasil kajian mendapatkan bahwa, ternak sapi yang mendapat pakan komplit dengan bentuk yang berbeda tidak menunjukkan penampilan yang berbeda dan hampir sama dengan yang dilaporkan terdahulu (MATHIUS, 2005), yakni dengan pertambahan bobot hidup harian sebesar 611 g. Disamping kandungan pakan yang sama, terbatasnya ketersediaan air minum yang dapat disediakan mungkin merupakan penyebab utama konsumsi pakan antara perlakuan tidak dapat lagi meningkat. Namun demikian kemampuan konsumsi sapi yang mendapat ransum produk samping industri kelapa sawit pada kajian ini lebih banyak/tinggi dari yang pernah dilaporkan tahun sebelumnya (MATHIUSet al., 2003), yakni 2,2 vs 2,6%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa dengan proses fermentasi substrat lumpur sawit dan bungkil inti sawit, kemampuan ternak sapi mengkonsumsi bahan kering ransum meningkat. Lebih tingginya kemampuan sapi mengkonsumsi bahan kering, sebagai akibat proses fermentasi tersebut disebabkan karena bau spesifik produk fermentasi mampu merangsang selera sapi untuk makan. Ternak sapi yang diberi pakan

(7)

yang sebagian bahannya tersusun dari produk fermentasi memberi respons yang positif dan meningkat terhadap konsumsi bahan kering, jika dibandingkan dengan konsumsi bahan kering oleh sapi yang tidak mendapatkan produk fermentasi (MATHIUS, 2005). Namun demikian sampai batas tertentu, ternak sapi tidak mampu mengkonsumsi lebih banyak lagi. Perolehan nilai rataan konsumsi bahan kering ransum pada penelitian ini lebih tinggi pula dari yang dilaporkan KUSUMAWARDANI dan MUSOFIE (1985); SUDANA (1993), namun sama dengan yang dilaporkan penelitian terdahulu (SOEMARNIet al., 1985). Perbedaan konsumsi bahan kering dari penelitian ini jika dibandingkan dengan penelitian terdahulu, boleh jadi disebabkan oleh perbedaan lingkungan penelitian, bangsa ternak, jenis dan bentuk pakan yang dipergunakan serta tingkat palatabilitas. Ransum ternak ruminansia didaerah temperate memiliki tingkat palatabilitas yang lebih baik dari pada bahan ransum ternak ruminansia di daerah tropis seperti di Indonesia. Bahan ransum di daerah tropis memiliki tingkat kandungan serat (SDA dan SDN) yang tinggi. Nutrien tersebut diketahui merupakan faktor utama penyebab rendahnya kemampuan ternak untuk mengkonsumsi ransum dan mempengaruhi daya cerna ternak serta laju alir partikel pakan ransum. Konsekuensinya tingkat palatabilitas pakan di daerah tropis menjadi rendah. Kemungkinan lain penyebab rendahnya tingkat konsumsi bahan kering ransum adalah tingginya serat kasar ransum, khususnya kandungan serat deterjen netral. VAN SOESTet al. (1991) melaporkan bahwa kandungan serat deterjen netral (SDN) sangat berpengaruh terhadap kemampuan ternak ruminansia untuk dapat mengkonsumsi pakan. Selanjutnya dikatakan bahwa, kandungan SDN ransum lebih besar dari 56% akan menekan tingkat konsumsi bahan kering. Tingginya tingkat kandungan komponen serat kasar akan memperlambat laju alir nutrien dalam saluran pencernaan (STENSIG et al., 1994), sekaligus mengakibatkan makin lamanya waktu tinggal nutrien pakan dalam saluran pencernaan (KETELLARS dan TOLKAMP, 1992). Boleh jadi hal tersebut merupakan faktor penyebab rendahnya tingkat konsumsi pada penelitian ini jika dibandingkan dengan yang pernah dilaporkan OSBURN et al. (1967). Kandungan

serat deterjen netral produk samping tanaman dan pengolahan kelapa sawit pada penelitian ini berkisar antara 62,5 – 69,7% dari bahan kering (BK). NEWTON dan ORR (1981) melaporkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan akan energi maka ternak berusaha untuk mengkonsumsi lebih banyak ransum. Namun demikian bahan dan bentuk ransum yang dipergunakan akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan konsumsi ransum (GREENHALGHet al., 1976).

Pola konsumsi protein kasar dan energi terlihat mengikuti pola yang terjadi pada konsumsi total bahan kering (Tabel 4). Pola konsumsi diantara ternak yang mendapat perlakuan pakan tersebut dipengaruhi oleh kemampuan ternak untuk mengkonsumsi bahan kering dari setiap bagian bahan yang tersusun dari ransum tersebut. Rataan harian konsumsi protein kasar harian oleh sapi yang pakan dengan bentuk yang berbeda adalah 575 g.

Konsekuensi dari tingkat konsumsi ransum, yang sekaligus mempengaruhi tingkat konsumsi nutrien lainnya, khususnya protein kasar dan energi adalah pertambahan bobot hidup harian. Laju pertambahan bobot hidup harian pada penelitian ini berkisar antara 598 – 629 g/ekor/hari. Nilai tersebut masih rendah dari yang diperoleh SOEMARNI et al. (1985) dan SITORUS dan ZULBARDI (1993) (dengan kisaran 690 – 820 g/ekor/hari), namun lebih tinggi dari yang dilaporkan KUSUMAWARDANI

dan MUSOFIE (1985) serta SUDANA (1992), dengan kisaran 89 – 208 g/ekor/hari. PANJAITAN et al. (2003). melakukan pengamatan terhadap penampilan sapi Bali pada kondisi lapang di daerah NTB selama tiga tahun dan mendapatkan bahwa pertambahan anak sapi Bali yang belum disapih adalah 0,41

± 0,11 kg/hari/ekor. Sementara pertambahan bobot hidup harian untuk sapi Bali muda/pasca sapih sebesar 0,23 ± 0,11 kg. Nilai yang dilaporkan tersebut, lebih rendah dari pada yang diperoleh pada penelitian ini.

Hasil penelitian ini juga mendapatkan bahwa rataan tingkat effisiensi penggunaan pakan/ransum adalah 7,26. Ukuran tubuh sapi dari setiap perlakuan tertera pada Tabel 4. Tidak adanya perbedaan (meskipun belum diuji secara statistik) boleh jadi disebabkan variasi individu yang cukup beragam.

(8)

Tabel 4. Konsumsi dan pertambahan bobot hidup harian sapi perlakuan

Parameter T (pelet) N (pecahan) T (balok)

Konsumsi bahan kering(% BH) Konsumsi (g/ekor)

Bahan kering Protein kasar NDF ADF

Gross energi (Mkal) Bahan organik PBHH (g/hari)

Efisiensi penggunaan pakan Ukuran tubuh Panjang (cm) Lingkar dada (cm) 3,39 4.509 584,2 2.864 2515 20.953 4.021 622 7,25 99,2 ± 18,41 126,3 ± 11,8 3,36 4.438 575,6 2.819 2.475 20,623 3.960 613 7,23 99,9 ± 25,2 128,4 ± 15,5 3,25 4.355 563,5 2.766 2.429 20,238 3.881 598 7,28 98,6 ± 12,6 126,4 ± 9,9 Efisiensi ekonomi

Efisiensi ekonomi pada kegiatan ini dihitung berdasarkan (i) harga pakan yang dikonsumsi untuk dapat menghasilkan pertambahan bobot hidup (PBH) ternak percobaan dan (ii) biaya pakan yang harus dikeluarkan untuk menghasilkan setiap kg bobot hidup setara dengan 70% dari total biaya produksi. Harga bahan baku ransum kajian pada saat penelitian tidak diperoleh sehingga untuk menghitung biaya pakan yang dikeluarkan diasumsikan bahwa: pelepah disetarakan dengan rumput segar, Rp. 100/kg segar atau setara dengan Rp. 385/kg bahan kering pelepah; lumpur sawit/solid disetarakan dengan rumput, Rp.100/kg atau setara dengan Rp. 416 kg/bahan kering; produk terfermentasi (ferlawit LB) setara dengan Rp. 200/kg segar atau setara dengan Rp. 435/kg bahan kering; bungkil kelapa sawit Rp. 350/kg atau setara dengan Rp. 381/kg bahan kering.

Berdasarkan komposisi bahan ransum percobaan yang dikonsumsi pada Tabel 4, maka harga ransum percobaan untuk mendapatkan pertambahan bobot hidup harian sebagai yang tertera pada Tabel 4 menjadi Rp. 1.635,25/hari. Dengan perkataan lain biaya pakan yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 kg daging, dapat dihitung secara sederhana, yakni (1 kg daging : PBHH) x harga ransum percobaan. Jadi harga daging untuk setiap kg, yang dihasilkan Rp. 2.809,00/kg bobot hidup. Bila nilai tersebut dikaitkan dengan biaya

produksi secara keseluruhan, maka biaya produksi yang harus dikeluarkan Rp. 4.013.

KESIMPULAN DAN SARAN 1. Bentuk ransun dan waktu penyimpanan

hingga tiga bulan tidak berpengaruh terhadap kandungan nutrien pakan.

2. Bentuk pakan tidak berpengaruh pada tingkat kecernaan nutrien pakan komplit. 3. Bentuk pakan yang diberikan pada ternak

sapi tidak berpengaruh pada nilai biologis dengan pertaambahan bobot hidup harian mencapai 611 g.

4. Perolehan nilai tersebut ternyata memberi keuntungan ekonomis yang paling efisien. Untuk mendapatkan penampilan yang lebih baik, khususnya dalam budidaya yang lebih intensif, perlu diupayakan agar kandungan nutrien pakan dapat ditingkatkan lagi. 5. Teknologi penyediaan pakan komplit, pellet

perlu dikembangkan dalam skala komersial.

DAFTAR PUSTAKA

ABU HASSAN, O. OSHIO, S. ISMAEL, A.R. MOHD JAAFAR,D.NAKANISHI,N.DAHLAN and S.H. ONG. 1991. Experience and challenges in processing, treatments, storage and feeding or oil palm trunks based diets for beef production. Proc. Sem. on Oil Palm Trunks and Others Palmwood Utilization, Kuala Lumpur, Malaysia. pp. 231 – 245.

(9)

AOAC. 1984. Official Method of Analysis. 14th Ed. Association of Official Analytical Chemist. Washington, D.C.

BYWATER, A. C and R.L BALDWIEN, 1980. Alternative Startegis in Food Animal production. In: Animals, Feeds, Foods and People. BALDWIN, R.L. (Ed.). West View Press Inc. Boneden, Co.

CHEN, C.P. 1990. Management of Forage for Animal Production Under Tree Crops. In Proc. Integrated Tree Croping and Small Ruminant Production System. SR-CRSP. Univ. California Davis, USA. pp. 10 – 23. GREENHALGH,J.F.D.,O.R.ORSKOV and S. FRASER.

1976. Pelleted herbage for intensive lamb production. Anim. Prod.,22: 148 – 149. HARYANTO, B. and A. DJAJANEGARA. 1992. Energy

and protein requirements for small ruminants.

In: New Technologies for Small Ruminant Production in Indonesia. LUDGATE P. and S. SCHOLZ (Eds.). Winrock Int. Ins for Agric. Development. pp. 19 – 24.

JALALUDIN, S., Y.W. HO, N. ABDULLAH and H. KUDO. 1991a. Strategies for Animal Improvement In Southeast Asia. In:

Utilization of Feed Resources in Relation to Utilization and Physiology of Ruminants in the Tropics. Trop. Agric. Res. Series. 25 pp. 67 – 76.

JALALUDIN,S.,Z.A.JELAN,N.ABDULLAH and Y.W. HO. 1991b. Recent Developments in the Oil Palm By-Product Based Ruminant Feeding System. MSAP, Penang, Malaysia. pp. 35 – 44.

KEARL, L.C. 1982. Nutrient Requirements of Ruminants in Developing Countries. Int'l feedstuff Inst. Utah Agric. Exp.Sta. USU. Logan Utah. USA.

KETELLARS,J.J. and B.J. TOLKAMP. 1992. Toward a new theory of feed intake regulation in ruminants.1. Causes of differences in voluntary feed intake: critique of current views. Livest. Prod. Sci. 30: 269 – 296. KUSUMAWARDHANI, N., Y.P. ACHMANTO,

A.MUSOFIE dan S. TEDJOWAHJONO. 1985. Komponen “tetes urea pith” sebagai pengganti dedak dalam ransum sapi potong. Pros. Seminar Pemanfaatan Limbah Tebu Untuk Pakan Ternak. Puslitbang Peternakan, Bogor.

MATHIUS,I-W.,D.SITOMPUL,B.P.MANURUNG dan AZMI. 2003. Produk samping tanaman dan pengolahan buah kelapa sawit sebagai bahan dasar pakan komplit untuk sapi: Suatu Tinjauan. Pros. Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Dep. Pertanian-Pemda Prov. Bengkulu dan PT Agricinal. hlm.120 – 128.

MATHIUS, I-W., AZMI, B.P. MANURUNG, D.M. SITOMPUL dan E.PRIYATOMO. 2004. Integrasi sapi-sawit: Imbangan pemanfaatan produk samping sebagai bahan dasar pakan. Pros. Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Denpasar, 20 – 22 Juli 2004. Puslitbang Peternakan-BPTP Bali dan CASREN. hlm. 439 – 446. MATHIUS,I-W. 2005. Inovasi teknologi pemanfaatan

produk samping industri kelapa sawit sebagai pakan ruminansia. Pros. Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Banjarbaru, 22 – 23 Agustus 2005. Puslitbang Peternakan – BPTP Kalimantan Selatan. hlm. 24 – 34. MATHIUS, I-W., A.P. SINURAT, B.P. MANURUNG,

D.M.SITOMPUL dan AZMI. 2005. Pemanfaatan produk fermentasi lumpur-bungkil sebagai bahan pakan sapi potong. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 12 – 13 September 2005. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 153 – 161.

NEWTON J.E. and R.J. ORR. 1981. The intake of silage and grazed herbage by Masham ewes with single or twin lambs and its repeatability during pregnancy, lactation and after weaning.

Anim. Prod. 33: 121 – 127.

NRC. 1985. Nutrient Requirement of sheep. National Academy of Science. Washington, DC.

OSBOURN, D.F.,D.E. BEEVER and D.J. THOMSON, 1976. The influence of physical processing on intake, digestion and utilization of dried herbage. Proc. Nutr. Society. 35: 191–200. PANJAITAN.T.,G.FARDYCE and D.POPPI. 2003. Bali

cattle performance in dry tropics of Sumbawa.

JITV 8(3): 183 – 188.

Petersen, R.G. 1985. Design and Analysis of Experiments. Marcel Dekker Inc. New York. YUANGKLANG, C., M. WANAPAT and C.

WACHIRAPAKORN. 2005. Effects of pellleted sugar cane tops on voluntary inkate, digestibility and rumen fermentation in beef cattle. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 18: 22 – 26. SAS. 1987. SAS User's Guide: Stastistics. SAS Inst.

(10)

SASAKI, M. 1992. The Advancement of Livestock Production with Special Reference to Feed Resources Development in the Tropics-Current Situation and Future Prospects. Proc. Utilization of Feed Resources in Relation to Utilization and Physiology of Ruminants in theTropics. Tropical Agric. Research Series. 25. pp. 67 – 76.

SETIAWAN, E., I-W. MATHIUS, S.B. SIREGAR, A. SUDIBYO, E. HANDIWIRAWAN dan T. KOSTAMAN. 1997. Pengkajian pemanfaatan Teknologi IB dalam Usaha Peningkatan Populasi dan Produktivitas Sapi Potong Nasional di Prop. Nusa Tenggara Barat. Puslitbang Peternakan.

SETIADI,B.SUBANDRYO,D.PRIYANTO,T.SAFRIATI, N.K. WARDHANI, SOEPENO, DARODJAT dan NUGROHO, 1997. Pengkajian Pemanfaatan teknologi IB dalam usaha peningkatan sapi potong Nasional di DI Yogyakarta. Puslitbang Peternakan, Bogor.

SOEMARNI,A.MUSOFIE dan N.K. WARDANI. 1985. Pengaruh pemberian wafer pucuk tebu terhadap pertambahan berat badan sapi Bali jantan. Pros. Seminar Pemanfaatan Limbah Tebu untuk Pakan Ternak. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 36 – 40.

SUDANA, I.B. 1992. Urea mollases block supplement for Bali cattle fed on rice straw basal diet. In:

Livestock and Feed Development in the Tropics. IBRAHIM,M.N.M.,R. DE JONG,J. VAN BRUCHEM and H. PURNOMO (Eds). Malang. pp. 184 – 187.

STEINSIG,T.,M.R.WEISBJERG, J.MADSON and T. HVLPLUND. 1994. Estimation of voluntary intake from in-sacco degradation and rate of passage of DM and NDF. Livest. Prod. Sci.

39: 49 – 52.

SITORUS, M dan M. ZULBARDI. 1993. Pengaruh level protein konsentrat berenergi tinggi terhadap pertumbuhan sapi Madura. Pros. Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian dan Pengembangan Sapi Madura. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 147 – 150.

ZARATE, A.V. 1996. Breeding strategies for marginal regions in the tropics and subtropics.

Res. Dev. 43/44: 99 – 118.

VAN SOEST, P.J. 1965. Symposium of factors influencing the voluntary intake of herbage by ruminants-voluntary intake in relation to chemical compositon and digestibility.

J. Anim. Sci. 24: 834 – 843.

VAN SOEST,P.J.,J.B.ROBERTSON and B.A. LEWIS. 1991. Methods for dietary fiber, neutral detergent fiber and non-starch polysaccharides in relation to animal nutrition. J. Dairy Sci, 74: 3583 – 3597.

WEBB, B.H, R.I. HUTAGALUNG and S.T. CHEAM 1976. Palm oil mill waste as animal feed-processing and utilization. Proc. Int. Symp. Palm Oil Processing and Marketing. Kuala Lumpur. pp. 125 – 147.

Gambar

Tabel 1. Penampakan visual pakan selama penyimpanan
Tabel 4. Konsumsi dan pertambahan bobot hidup harian sapi perlakuan

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini bahwa tidak adanya hubungan yang signifikan antara Hubungan Status Sosial Ekonomi Keluarga dengan Penerapan PHBS dalam Rumah Tangga di Desa

(Bandung: Alfabeta.. Setelah proses belajar mengajar selesai selanjutnya dilakukan post test. Post test dilakukan pada kedua kelas sampel. Observasi merupakan pengamatan keadaan

Hasil dari tabel 7 diketahui bahwa, secara kumulatif terdapat t rata-rata abnormal return saham yang berbeda negatif dan signifikan antara sebelum dan sesudah

Bahan tambahan adalah bahan yang digunakan dalam proses produksi dan berfungsi meningkatkan mutu produk serta merupakan bagian dari produk akhir.. Bahan tambahan yang digunakan PT

pendukungnya (kolom atau ringbalk) harus dilaksanakan secara pendukungnya (kolom atau ringbalk) harus dilaksanakan secara benar dan cermat, agar rangka atap baja ringan terpasang

Tujuan pemberian penghargaan dalam belajar adalah bahwa setelah seseorang menerima penghargaan karena telah melakukan kegiatan belajar dengan baik, ia akan terus melakukan

Hasil uji sitotoksik yang terdapat pada Tabel 7 tersebut menunjukkan bahwa ekstrak etanol, fraksi polar, semipolar, dan nonpolar memiliki aktivitas sitotoksik moderat pada sel

Pelatihan dilaksanakan oleh 4 (empat) pelatih dari Oinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyel~matan OKI Jakarta dengan dibantu oleh 2 (dua) tenaga pendukung dan penerjemah!dari