• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISTIK BERPIKIR PSEUDO DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KARAKTERISTIK BERPIKIR PSEUDO DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1 |k a r a k t e r i s t i k b e r p i k i r p s e u d o d a l a m p e m b e l a j a r a n m a t e m a t i k a KARAKTERISTIK BERPIKIR PSEUDO

DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Kadek Adi Wibawa

Program Studi Pendidikan Matematika Pascasarjana Universitas Negeri Malang Email: adi_math@yahoo.co.id

Abstrak

Guru memiliki tugas dalam memberikan pengalaman belajar yang bermakna dan menyenangkan bagi siswa, agar mereka memiliki kemauan untuk berpikir dalam menghadapi permasalahan yang ada. Penelitian tentang menyelidiki proses berpikir matematis siswa dalam pembelajaran matematika telah banyak dikaji oleh peneliti yang menemukan berbagai macam kesalahan. Salah satu kesalahan dalam berpikir adalah berpikir pseudo. Berpikir

pseudo menurut arti katanya adalah berpikir semu. Hasil kajian ini menunjukkan terjadinya

berpikir pseudo dalam pembelajaran matematika di berbagai topik, mulai dari aritmatika, aljabar, geometri, maupun kalkulus.

Kata kunci: kesalahan berpikir, berpikir pseudo, dan pembelajaran matematika.

Matematika merupakan mata pelajaran yang sangat penting dalam pembelajaran di sekolah. Pemerintah dalam pengimplementasiannya melalui kurikulum telah mewajibkan siswa untuk belajar matematika mulai dari tingkat kanak-kanak (TK), SD, SMP, maupun SMA. Menurut Walle (2007) matematika merupakan ilmu yang mempelajari tentang pola dan aturan. Untuk memahami adanya pola dan mematuhi segala aturan yang ada mengharuskan siswa untuk aktif dalam berpikir dan mengkonstruk pengetahuannya melalui pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya. Dan guru memiliki tugas dalam memberikan pengalaman belajar yang bermakna dan menyenangkan bagi siswa agar mereka memiliki kemauan untuk berpikir dalam menghadapi permasalahan yang ada. Hal ini dipertegas dalam kurikulum 2013 (2014) yang menginstruksikan guru, agar bisa mendorong dan menginspirasi siswa berpikir secara kritis, analitis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan materi matematika dalam pembelajaran.

Kemampuan untuk berpikir secara matematis dan menggunakan pemikiran matematis untuk memecahkan masalah merupakan tujuan penting dalam pendidikan. Pemikiran matematis akan mendukung sains, teknologi, kehidupan ekonomi, dan pengembangan di bidang ekonomi (Stacey, 2012). Lebih Jauh Stacey menjelaskan bahwa berpikir matematis merupakan hal penting untuk belajar matematika dan cara yang sangat bagus bagi guru untuk membelajarkan matematika. Empat proses mendasar yang menunjukkan bagaimana berpikir

(2)

2 |k a r a k t e r i s t i k b e r p i k i r p s e u d o d a l a m p e m b e l a j a r a n m a t e m a t i k a secara matematis dalam memecahkan suatu masalah, 1) specializing, mencoba kasus yang special atau melihat contoh-contoh 2) generalizing, melihat pola dan hubungan 3) conjecturing, memprediksi hubungan dan hasil, 4) convincing, menemukan dan mengkomunikasikan alasan mengapa itu benar. Hal ini menguatkan bahwa berpikir dalam matematika merupakan hal yang sangat penting untuk mengetahui seberapa jauh pemahaman yang dimiliki oleh seseorang (siswa) dan mengembangkan potensi yang dimiliki untuk bisa berargumen. Siswa yang benar-benar berpikir secara matematis dapat di selidiki proses yang terjadi di dalam otaknya melalui wawancara yang dilakukan dan jawaban yang tampak dari hasil kerja yang dilakukan.

Penelitian tentang menyelidiki proses berpikir matematis seseorang (siswa) dalam pembelajaran matematika telah banyak dikaji oleh peneliti, Vinner (1997) dalam hasil penelitiannya menjelaskan tentang proses berpikir pseudo analitik dan pseudo konseptual sebagai kesalahan siswa dalam menyelesaikan soal matematika. Yackel (dalam Mason, 2004: 15) menemukan proses terjadinya kesalahan analitik siswa ketika menyelesaikan soal penambahan secara vertikal. Subanji (2007) dalam penelitiannya mengemukakan tentang proses terjadinya penalaran kovariasional pseudo dalam mengkonstruksi grafik fungsi kejadian dinamik berkebalikan. Subanji dan Toto (2013) melalui penelitiannya memaparkan karakteristik kesalahan berpikir siswa dalam mengkonstruksi konsep matematika melalui teknik probing atau penyelidikan, diantaranya kesalahan berpikir pseudo, kesalahan berpikir analogi, dan kesalahan berpikir logis. Dan Wibawa (2014) menemukan cara mendefragmentasi struktur berpikir siswa yang pseudo-salah melalui pemetaan kognitif dalam memecahkan masalah limit fungsi. Mendefragmentasi atau merestrukturisasi yang dilakukan bertujuan untuk memperbaiki kesalahan berpikir siswa dalam memecahkan masalah.

Subanji dan Toto (2013: 209) mengungkapkan bahwa kesalahan siswa dalam bekerja matematika perlu mendapat perhatian, karena kalau tidak segera diatasi, kesalahan tersebut akan berdampak terhadap pemahaman siswa pada konsep matematika berikutnya. Lebih jauh disampaikan bahwa untuk dapat memperbaiki kesalahan yang dilakukan siswa diperlukan pengetahuan tentang sumber kesalahan yang dilakukan oleh siswa. Oleh karena itu, perlu untuk mengetahui bagaimana proses terjadinya kesalahan dalam berpikir matematis siswa.

Dalam proses belajar mengajar guru cenderung kurang memberikan penekanan pada mengapa suatu prosedur dilakukan dan apa arti dari jawaban yang diberikan. Akibatnya siswa mengalami sebuah keraguan dalam hal pemahaman dimana ketika diberikan soal atau masalah dengan tipe yang sama siswa akan kembali berpikir, prosedur mana yang harus

(3)

3 |k a r a k t e r i s t i k b e r p i k i r p s e u d o d a l a m p e m b e l a j a r a n m a t e m a t i k a digunakan dan apakah prosedur yang digunakan benar atau tidak. Tentunya ini akan menjadi perdebatan dalam proses berpikir siswa. Apabila tidak segera diperbaiki maka proses berpikir seperti itu akan secara terus menerus terjadi. Keadaan seperti ini di ungkapkan oleh Vinner (1997) sebagai pemecahan masalah-pseudo, suatu keadaan dimana siswa tidak benar-benar menggunakan pikirannya untuk menyelesaikan suatu masalah.

Pseudo diartikan oleh Peter & Yeni (2002) sebagai sesuatu yang tidak sebenarnya atau sesuatu yang semu. Berpikir pseudo adalah berpikir semu. Dalam hal ini hasil yang tampak dari suatu proses penyelesaian masalah bukan merupakan keluaran dari aktivitas mental yang sesungguhnya. Melainkan ada kemungkinan bahwa siswa tidak berpikir dengan benar untuk memperoleh suatu jawaban dari masalah yang diberikan. Dalam menyelesaikan masalah matematika ada dua kemungkinan jawaban yang bisa diperoleh, yaitu jawaban benar dan jawaban salah.

Artikel ini membahas tentang kesalahan berpikir siswa yang mengalami berpikir pseudo. Istilah berpikir pseudo dimunculkan oleh Vinner (1997) dan Subanji (2007). Vinner (1997) membagi berpikir pseudo menjadi dua, yaitu berpikir pseudo konseptual dan pseudo analitik, sedangkan Subanji (2007) membaginya menjadi berpikir benar dan pseudo-salah. Kajian ini dilakukan untuk melihat lebih rinci dan memahami kesalahan berpikir pseudo siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya dalam memahami konsep maupun memecahkan masalah matematika serta melihat keterkaitan antara berpikir pseudo yang dimunculkan oleh dua tokoh ini.

1. SISWA DALAM BELAJAR MATEMATIKA

Menurut Vinner (1997: 99) untuk berada dalam situasi belajar yang benar, seseorang harus terlibat secara intelektual pada topik yang dihadapi, bukan menggunakan keterlibatan emosional. Vinner mencoba menjelaskan bahwa belajar merupakan suatu kewajiban yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan. Untuk memperoleh pengetahuan tersebut harus benar-benar terlibat secara aktif, baik itu dalam berpikir (bernalar), berkomunikasi (berargumen), dan berperilaku (menerapkan). Bukan karena adanya rasa takut pada seseorang sehingga harus belajar, atau ada keinginan untuk menyenangkan hati seseorang sehingga keinginan untuk belajar itu muncul. Maksud dari keterlibatan secara intelektual juga diperjelas oleh Ausubel (1968) dengan istilahnya meaningful learning atau belajar bermakna yang merupakan suatu kondisi dimana pebelajar melihat hubungan antara pengetahuan baru dengan pengetahuan relevan yang sudah ada. Dengan melihat hubungan atau keterkaitan

(4)

4 |k a r a k t e r i s t i k b e r p i k i r p s e u d o d a l a m p e m b e l a j a r a n m a t e m a t i k a antara apa yang pernah dipelajari dan apa yang sedang atau akan dipelajari berarti bahwa siswa memiliki kemampuan secara intelektual untuk mau terlibat dalam pembelajaran.

Lebih jauh Vinner (1997: 98) menemukan beberapa fakta terkait dengan siswa dan guru yang berada pada situasi memecahkan masalah 1) sering kali siswa tidak melakukan kontrol ketika memecahkan suatu masalah, 2) siswa hanya berpikir untuk memberikan jawaban yang benar, dan 3) siswa mengetahui apa yang bisa diberikan kepada guru dan bagaimana untuk memperolehnya hanya untuk kepuasan guru, dan 4) guru hanya mengharapkan belajar untuk memperoleh jawaban yang benar. Hal ini lah yang mengakibatkan siswa mengalami berpikir pseudo atau berpikir semu. Siswa tidak benar-benar melakukan kontrol terhadap apa yang sudah dikerjakannya. Motivasi terbesarnya hanya pada memberikan jawaban yang benar untuk guru, bukan menjadi hal yang dianggap penting untuk dirinya sendiri sebagai suatu proses pengonstruksian pengetahuan melalui penalaran yang benar.

2. BERPIKIR PSEUDO KONSEPTUAL DAN PSEUDO ANALITIK

Perilaku konseptual merupakan dasar dari belajar bermakna dan pemahaman konseptual merupakan hasil dari proses berpikir yang mempertimbangkan konsep-konsep, seperti hubungan antar konsep, ide-ide yang dimana konsep-konsep termuat, hubungan logis dan lain-lain. Proses berpikir seperti ini menurut Vinner (1997) menyebutnya “berpikir konseptual”. Oleh karena itu perilaku konseptual merupakan hasil dari berpikir konseptual.

Aktivitas umum yang terjadi antara siswa dan guru matematika adalah siswa berdiskusi dengan guru dalam menulis makna dari pengertian matematika (Vinner 1997). Siswa diharapkan mampu untuk memikirkan tentang makna suatu konsep dan hubungannya. Jika siswa benar-benar melakukannya, mereka berada pada mode berpikir konseptual. Dan Jika mereka tidak melakukannya, tetapi berhasil dalam menghasilkan jawaban yang tampaknya konseptual, maka ini disebut mode berpikir pseudo konseptual.

Pada observasi yang dilakukan di salah satu SD Swasta di Malang, ada salah satu fakta menarik yang berkaitan dengan berpikir pseudo konseptual. Pada awal pembelajaran siswa tampak sangat antusias mengikuti dan menjawab setiap pertanyaan dari guru. Setelah memberikan penjelasan tentang pecahan dan memperagakan alat peraga yang dibuat, guru memberikan Lembar Evaluasi pada siswa.

(5)

5 |k a r a k t e r i s t i k b e r p i k i r p s e u d o d a l a m p e m b e l a j a r a n m a t e m a t i k a Gambar 1. Jawaban siswa dalam menyelesaikan soal pecahan yang diberikan oleh guru

Jawaban dari siswa tersebut perlu didalami apakah siswa benar-benar memahami konsep pecahan dengan baik. Kemudian dibuat soal berupa gambar, dan siswa diminta untuk membuat lambang bilangannya, jawaban siswa tampak seperti gambar di bawah:

Gambar 2. Jawaban siswa dalam menyelesaikan soal pecahan yang diberikan oleh peneliti Setelah melihat bagian yang diarsir dan menghitung banyaknya bagian yang ada, siswa dengan cepat menuliskan jawaban seperti tampak pada gambar di atas. Siswa tidak melakukan kontrol terhadap apa yang dikerjakan, dia hanya mengerjakan sesuai dengan apa yang dikerjakan sebelumnya tanpa memiliki pemahaman yang lengkap. Secara konseptual dalam menentukan pecahan (berupa lambang bilangan) dari benda yang utuh, syaratnya bagian per bagian harus berukuran sama (kongruen). Apabila tidak, seperti apa yang dibuat, itu tidak bisa dibuatkan lambang bilangan. Hal ini akan terkait ke pemahaman berikutnya

(6)

6 |k a r a k t e r i s t i k b e r p i k i r p s e u d o d a l a m p e m b e l a j a r a n m a t e m a t i k a mengenai perbedaan antara pembagian, konsep pecahan dan perbandingan. Pemahaman konsep yang dangkal seperti ini diakibatkan dari proses berpikir siswa yang tidak terkontrol atau disebut berpikir pseudo konseptual.

Apabila di runut penyebabnya, guru memperagakan apel sebagai simbol pecahan satuan, kemudian dipotong menjadi 2 bagian (tidak diberikan penjelasan bahwa: asumsikan bagian-bagian ini adalah sama), dengan menunjukkan salah satu potongan apel, guru langsung menanyakan “ini pecahannya berapa?” siswa menjawab “setengah”, kemudian guru memotong apel lagi menjadi empat bagian dan bertanya pada siswa. Hal ini yang mendasari bahwa siswa mengalami berpikir pseudo konseptual. Guru tidak memberikan penekanan terhadap konsep yang dipelajari secara matang, sehingga secara konseptual (dilihat dari jawaban dan reaksi siswa) seoalah-olah siswa paham, akan tetapi sebenarnya tidak.

Berpikir konseptual sangat erat kaitannya dengan memahami suatu konsep, dimana konsep merupakan ide abstrak yang dapat digunakan untuk mengklasifikasikan atau menggolongkan objek tertentu. Dalam menerapkan suatu konsep-konsep diperlukan analisa yang bagus terkait dengan pemilihan konsep yang tepat untuk digunakan. Dalam menganalisa suatu permahasalahan yang dihadapi diperlukan cara berpikir analitik yang bagus. Dan berpikir analitik erat kaitannya dengan penentuan prosedur dan penggunaan prosedur yang telah dipilih.

Menurut Vinner (1997) proses berpikir analitik dapat digambarkan sebagai berikut. Ketika seseorang diberi masalah matematika, maka seseorang tersebut akan 1) membangkitkan skema mental berkaitan dengan tipe dan struktur masalah, 2) kumpulan tipe dan struktur masalah yang dihasilkan akan membangkitkan skema mental (proses analisis) yang berkaitan dengan menentukan prosedur penyelesaian yang sesuai. 3) prosedur yang terpilih kemudian diterapkan ke masalah dan menghasilkan solusi atau penyelesaian.

Vinner (1997) melakukan penelusuran untuk melihat proses terjadinya berpikir pseudo analitik. Terdapat dua soal yang berkitan yang digunakannya, yaitu:

Tentukan luas daerah persegi panjang yang memiliki panjang 7 cm dan lebar 5 cm. Proses berpikir yang mungkin adalah

1) Masalah ini merupakan masalah luas daerah. Luas daerah yang diminta adalah persegi panjang. Pada masalah ini yang diberikan diketahui dua panjang sisi persegi panjang.

2) Luas daerah persegi panjang adalah hasil kali panjang dua sisinya.

3) Pada kasus ini, panjang sisi-sisinya adalah 7 dan 5. Oleh karena itu, luas daerahnya adalah .

(7)

7 |k a r a k t e r i s t i k b e r p i k i r p s e u d o d a l a m p e m b e l a j a r a n m a t e m a t i k a Menyelesaikan masalah di atas dengan proses berpikir seperti itu merupakan proses berpikir analitik, karena mampu memahami masalah dengan baik dan mampu menghubungkan konsep-konsep yang mendasari masalah yang diberikan.

Ada kemungkinan juga bahwa siswa berpikir seperti ini:

1) Pertanyaan yang diberikan sama dengan kasus yang sudah dikerjakan sebelumnya ketika belajar tentang luas daerah persegi panjang.

2) Pertanyaan ini dapat diselesaikan dengan mengalikan dua bilangan yang diberikan pada pertanyaan ini.

3) Dua bilangan pada kasus ini adalah 7 dan 5 sehingga hasilnya adalah 35. Yang berarti jawaban yang memenuhi adalah .

Proses berpikir seperti di atas mengindikasikan bahwa siswa mengalami berpikir pseudo-analitik, karena siswa hanya melihat bahwa masalah yang diberikan adalah masalah yang sama dengan masalah yang pernah dipecahkan sebelumnya. Dalam menentukan prosedur, siswa hanya melihat bahwa untuk memperoleh luas suatu persegi panjang, diperlukan dua buah bilangan, dan mencari hasil kali kedua bilangan tersebut.

Untuk memastikan bahwa proses berpikir siswa adalah pseudo analitik siswa dapat diidentifikasi dengan memberikan pertanyaan yang kedua, yaitu:

Tentukan luas daerah persegi panjang yang salah satu sisinya 7 cm dan kelilingnya 24 cm.

Siswa yang berpikir pseudo analitik memberikan jawaban . Siswa hanya berpikir bahwa untuk menentukan luas daerah persegi panjang, ia harus mencari hasil kali dari dua bilangan yang diketahui. Hal ini tentu proses berpikir yang salah secara analitik. Berpikir pseudo analitik juga di temukan oleh Yatkel (dalam Mason 2004: 15) Satu pertanyaan yang diajukan dalam sejumlah wawancara adalah sebagai berikut:

Apakah Anda memiliki cara untuk mencari tahu berapa hasil dari 16 + 9?

Masalah disajikan dalam format horisontal menggunakan angka plastik. Siswa menggunakan berbagai metode, termasuk metode penghitungan. Tidak peduli metode yang digunakan siswa, hampir semua dari mereka menjawab dengan 25. Kemudian dalam wawancara pada siswa yang sama, disajikan dengan apa yang tampak pada buku. Salah satu siswa diminta untuk menjawab 16 + 9, kali ini ditulis dalam format vertikal.

Menariknya, untuk sekian siswa, masalah ditulis dalam format tugas yang sama sekali berbeda dari tugas mereka yang sudah selesai sebelumnya. Kali ini sejumlah siswa berusaha untuk menggunakan algoritma prosedur yang telah mereka pelajari di sekolah. Sementara

(8)

8 |k a r a k t e r i s t i k b e r p i k i r p s e u d o d a l a m p e m b e l a j a r a n m a t e m a t i k a beberapa anak memperoleh jawaban yang benar yaitu 25, anak-anak lain menjawab dengan 15, yang lain ada dengan jawaban 115. Apa yang paling mengganggu adalah tanggapan anak dalam memberi jawaban ketika ditanya tentang perbedaan antara jawaban ini dan jawaban sebelumnya yaitu 25. Cobb (1991) menjelaskan kejadian dengan siswa perempuan yang menjawab 15. Dia menunjukkan bahwa dia memperoleh 25 ketika memecahkan masalah yang diajukan dalam format horisontal. Dia bertanya apakah kedua jawaban mungkin benar? Dia menjawab bahwa, jika Anda menghitung cookies, 25 akan benar tetapi untuk di sekolah 15 adalah benar.

Penemuan sederhana yang sangat menarik, bahwa siswa mengalami kesalahan dalam mengerjakan secara analitik, soal yang diberikan dan menjelaskan bahwa kesalahan itu adalah hal yang benar untuk di sekolah. Kesalahan secara analitik inilah yang dinamakan pseudo-analitik, dimana siswa berpikir secara spontan dan cepat tanpa melakukan kontrol terhadap apa yang dipikirkan terkait dengan pemilihan prosedur dan menerapkan prosedur. Penelitian lanjutan yang menarik adalah mencari tahu apa penyebab dari kesalahan berpikir seperti ini dan bagaimana cara memperbaikinya.

3. BERPIKIR PSEUDO BENAR DAN PSEUDO SALAH

Menurut Subanji (2007) ketika menyelesaikan masalah, terdapat beberapa kemungkinan jawaban yang terjadi pada siswa. Untuk siswa yang memberikan jawaban benar dan mampu memberikan justifikasi, berarti jawabannya “benar sungguhan”, hal ini sudah wajar. Sebaliknya, siswa yang menunjukkan jawaban benar, tetapi tidak mampu memberikan justifikasi terhadap jawabannya, maka kebenaran jawabannya hanya “kebenaran semu”. Sedangkan siswa yang menunjukkan jawaban salah dan setelah refleksi tetap menghasilkan jawaban salah, berarti proses berpikir siswa tersebut memang “salah sungguhan”. Perilaku lain yang mungkin adalah siswa memberikan jawaban salah, tetapi setelah melakukan refleksi mampu memperbaikinya sehingga menjadi jawaban benar. Subanji menyebutnya sebagai berpikir pseudo salah, dan kebenaran yang semu sebagai berpikir pseudo benar.

Subanji (2011:3) menyatakan bahwa siswa yang proses berpikirnya “pseudo” akan cenderung mengaitkan dengan masalah yang dianggapnya sama. Berpikir pseudo merupakan berpikir semu sehingga jawaban benar belum tentu dihasilkan dari suatu proses berpikir yang benar dan jawaban salah juga belum tentu dihasilkan dari suatu proses berpikir yang salah. Selanjutnya Vinner (1997) menjelaskan bahwa siswa terpaksa mempelajari topik-topik dan memecahkan masalah-masalah tertentu tapi tidak melakukan kontrol akan apa yang ia

(9)

9 |k a r a k t e r i s t i k b e r p i k i r p s e u d o d a l a m p e m b e l a j a r a n m a t e m a t i k a pikirkan. Oleh karena itu, berpikir pseudo bukanlah hasil dari proses berpikir siswa yang sebenarnya, melainkan berasal dari proses berpikir semu atau samar.

Dalam penelitiannya, Subanji dan Toto (2013) mananyakan benar atau salah, ?

Umumnya (87% dari 391 siswa SMP kelas IX dari empat Kabupaten/Kota Malang) menjawabnya dengan benar. Artinya pada dua pernyataan yang diberikan, siswa memberikan jawaban benar. Namun, setelah diidentifikasi dari alasan yang diberikan siswa, kebanyakan siswa memberi alasan “punya hutang 3 hutang lagi 4, hutangnya menajdi 7”.

Lebih jauh Subanji dan Toto (2013) memaparkan bahwa siswa memaknai lambang “ “ pada posisi yang sama, “lambang negatif 4” dan operasi kurang, yaitu dikurang 3 . Keduanya dianalogikan dengan hutang. Siswa yang menganalogikan “hutang” akan mengalami kesulitan ketika menghadapi soal . Mereka dihadapkan pada kesulitan menginterpretasikan “dikurangi dengan negatif 3”, yaitu Ketika ditelusuri lebih jauh, siswa yang berhadapan dengan soal ini memberikan alasan “negatif ketemu negatif hasilnya positif”. Tentu saja alasan itu tersebut “kurang tepat”, karena dalam kasus , tanda “ “ pertama menyatakan operasi “minus”, sedangkan lambang “ “ kedua menyatakan lambang negatif. Siswa yang lain menginterpretasikan sebagai “negatif dikali negatif hasilnya positif”. Alasan ini juga “kurang tepat”, karena lambang “ “ pada bagian di luar tanda kurung adalah operasi, sedang pada bagian kedua lambang “ “ menyatakan lambang bilangan negatif. Dua hal berbeda disamakan dan dikalikan, hal ini termasuk kriteria “salah dalam konsep”

Kekacauan cara berpikir siswa seperti di atas terjadi karena menyamakan antara lambang bilangan dan operasi bilangan. Meskipun siswa memberikan jawaban benar, namun alasan yang digunakan tidak tepat. Karena itu dalam berpikir siswa terjadi berpikir pseudo benar.

Wibawa (2014) dalam penelitiannya menemukan proses berpikir pseudo benar siswa dalam menyelesaikan soal limit fungsi.

Pertanyaan: Tentukan

(10)

10 |k a r a k t e r i s t i k b e r p i k i r p s e u d o d a l a m p e m b e l a j a r a n m a t e m a t i k a Gambar 3. Jawaban Daiva yang Mengalami Berpikir Pseudo-Benar

Jawaban yang dihasilkan Daiva adalah benar, namun jawaban tersebut belum tentu diperoleh dari proses berpikir yang benar. Pada gambar tampak bahwa Daiva memberikan alasan “karena angka yang sama (yang dimaksud ) antara pembilang dan pembagi sehingga bisa dicoret/disederhanakan”. Alasan berikutnya “karena telah ditentukan batas nya adalah 3 sehingga nya diganti dengan 3”. Kedua alasan yang diberikan Daiva tentu saja kurang tepat, karena 1) Daiva menggunakan pengalaman sebelumnya untuk menjawab bahwa dua bilangan yang sama pada pembilang dan penyebut dapat disederhanakan dengan membagi kedua bilangan tersebut dengan bilangan yang sama, Daiva tidak mencermati untuk kasus pembilang dan penyebut sama dengan 0, dalam hal ini untuk tidak berlaku. 2) strategi substitusi digunakan untuk mendekati 3 bukan batas nya adalah 3.

Pemikiran bahwa

karena

sehingga pada pembilang dan pada penyebut dapat disederhanakan atau sama-sama dibagi dengan merupakan proses berpikir siswa yang benar “sungguhan” dan karena ,

berdasarkan teorema limit fungsi. Sebaliknya, siswa yang memperoleh jawaban seperti Daiva dengan pemikiran bahwa “pokoknya”, dua bentuk aljabar yang sama dapat dicoret atau disederhanakan dengan membagi kedua bentuk aljabar tersebut dengan bentuk aljabar yang sama dan menggunakan langkah substitusi tanpa mengetahui teorema yang mendukung adalah siswa yang berpikir semu. Siswa yang menjawab benar tetapi semu tersebut disebut sedang mengalami berpikir pseudo-benar.

Dalam penelitiannya Subanji dan Toto (2013) menemukan proses berpikir pseudo salah. Pertanyaan yang diberikan adalah

Apakah kamu setuju, bahwa ada segitiga dengan panjang sisi-sisinya 6 cm, 7 cm, dan 14 cm?

(11)

11 |k a r a k t e r i s t i k b e r p i k i r p s e u d o d a l a m p e m b e l a j a r a n m a t e m a t i k a Jawaban setuju dari siswa dengan alasan karena ada tiga sisi. Segitiga kan memiliki tiga sisi. Karena ada tiga sisi, berarti bisa dibuat segitiga. Jawaban ini merupakan jawaban yang salah. Untuk mengetahui apakah siswa ini mengalami berpikir pseudo salah atau tidak. Subanji dan Toto menyelediki pikiran siswa lagi dengan beberapa pertanyaan.

P: kalau kamu gambar, bagaimana bentuk segitiganya?

(mencoba menggambar sisi-sisi segitiga 6 cm dan 7 cm. Ketika akan menggambar sisi ketiga siswa mencoba-cobanya, tetapi tidak bisa menemukan jawaban)

S: kayaknya gak bisa dibuat pak. P: kenapa?

S: sisinya ini kurang pendek. Kalau 14 cm gak bisa tapi kalau diperpendek bisa digambar.

Dari wawancara tersebut, terlihat bahwa sebenarnya siswa bisa menyelesaikan masalah yang dihadapi tetapi jawaban yang diberikan salah dan setelah refleksi siswa mampu memperbaiki menjadi jawaban benar.

4. BERPIKIRR PSEUDO PADA MASALAH YANG KOMPLEKS

Proses berpikir pseudo pada masalah yang kompleks dipaparkan oleh Wibawa, Subanji, & Chandra (2013) dalam memecahkan masalah limit fungsi. Pertanyaan yang diberikan kepada siswa adalah

1. adalah segiempat yang titik sudut-titik sudutnya ( dan . adalah segiempat yang diperoleh dengan cara menghubungkan titik tengah dari

sisi-sisi segiempat .

a. Gambarkan kedua segiempat tersebut dalam satu koordinat kartesius! b. Tentukan

dan berikan deskripsi serta alasan terhadap jawaban

Anda!

jawaban dari siswa (subjek) dan hasil wawancara antara peneliti dan siswa adalah sebagai berikut:

(12)

12 |k a r a k t e r i s t i k b e r p i k i r p s e u d o d a l a m p e m b e l a j a r a n m a t e m a t i k a Gambar 4. Jawaban S3 yang terindikasi mengalami berpikir pseudo-salah

P: apa yang kamu pahami dari masalah yang diberikan? maksudnya apa yang diketahui, apa yang ditanyakan?

S3: yang diketahui segiempat N yang titik sudut-titik sudutnya (x,0), (-x,0), (0,1), dan (0,-1), segiempat M diperoleh dengan menghubungkan titik tengah segiempat N. yang ditanyakan adalah gambar giempat N dan M, limit tak hingga keliling M per keliling N dan deskripsinya.

P: Bagaimana rencanamu untuk menyelesaikan masalah ini?

S3: dari yang diketahui dilihat dulu yang ditanya terus itu bisa dicari kelilingnya. Ini kan yang dicari keliling, berarti sisi tambah sisi tambah sisi tambah sisi, untuk mencari sisi menggunakan Pythagoras.

P: oya, terus bagaimana proses penyelesaian soal yang dilakukan?

S3: Saya mencari keliling N dulu. Keliling N kan di luar. Terus sisi-sisinya kan

AB+BC+CD+DA. Ini kan segiempat tapi kayaknya sisinya sama berarti cari salah satu saja. Ini panjangnya 1 (menunjuk setengah diagonal N), ini 1 (menunjuk setengah diagonal N). Mencari sisi miring menggunakan Pythagoras dapat √ . Terus dapat keliling N √ √ √ √ √ .

P: setelah itu mencari apa?

S3: Sekarang mencari keliling M. ditengah-tengahnya 1 kan 0,5. Saya pikir ini

(Segiempat M) persegi berarti bisa menggunakan Phytagoras. Sehingga diperoleh EF = FG = GH = HE = diubah kebentuk pangkat menjadi

kemudian dijumlahkan hasilnya dan ini sama dengan √ . Terus kelilingnya √ √ √ √ √

P: terus?

S3: masukkan keliling M = √ dan keliling N = √ ke limit x mendekati takhingga keliling M per keliling N. Di pembilang kan ada 4, dipenyebut juga ada 4, berarti bisa dicoret. Tinggal

(13)

13 |k a r a k t e r i s t i k b e r p i k i r p s e u d o d a l a m p e m b e l a j a r a n m a t e m a t i k a akar yang dipembilang harus dikuadratkan maka dipenyebut juga dikuadratkan sehingga hasilnya akibatnya .

P: apa deskripsi atau arti dari jawaban yang kamu temukan? S3: artinya limit dengan batasan tak hingga

Siswa tidak benar-benar melakukan kontrol terhadap makna dari setiap konsep yang diperlukan untuk memecahkan masalah limit fungsi ini. Keterkaitan antar konsep geometri dan limit fungsi aljabar menjadi satu kesulitan bagi siswa karena tidak mampu menemukan keterkaitannya.

Dalam menyelesaikan masalah tersebut diperlukan pemahaman mengenai konsep Diagram Kartesius, sifat-sifat bangun datar (segiempat) keliling bangun datar (segiempat), panjang dua titik, teorema Phytagoras, aturan pangkat, aljabar, dan limit fungsi. Tampak bahwa subjek tidak dapat melihat keterkaitan itu dengan baik.

Kesalahan yang terjadi pada siswa tersebut dapat diidentifikasi menggunakan teorinya Vinner (1997) maupun Subanji (2007) yang berarti data yang sama dapat dilihat dari berbagai teori yang ada. Teori yang digagas Vinner (1997) lebih pada proses yang terjadi pada saat memahami suatu konsep dan memecahkan suatu masalah. Sedangkan Subanji (2007) melihat dari sudut pandang jawaban sebagai fokus pertama.

Jika berangkat dari teori Vinner (1997) banyak kesalahan analitik yang terjadi pada proses pengerjaan yang dilakukan oleh siswa tersebut. Kesalahan yang pertama adalah menganggap bahwa segiempat M merupakan persegi karena telah memilih pada koordinat segiempat N. Kedua, mengkuadratkan bentuk pecahan dengan alasan untuk menghilangkan bentuk akar. Dan Ketiga, kesalahan jawaban dan kesalahan dalam memberikan arti dari jawaban yang ditemukan (terkait konsep limit fungsi). Secara analitik, skema mental yang dibangkitkan oleh S3 ketika pertama kali menghadapi soal ini sangat dangkal, karena memisalkan dengan 1 atau ( . Setelah skema ini dimunculkan kesalahan berikutnya adalah menentukan bahwa segiempat M yang terbentuk adalah persegi, karena panjang sisinya sama, padahal segiempat M merupakan persegi panjang. Kesalahan berikutnya adalah pada penerapan hasil memahami masalah dan prosedur yang sudah dipilih. Beberapa kesalahan yang terjadi dapat dikatakan bahwa S3 mengalami berpikir pseudo analitik yang di dasari pada kesalahan pada konsep-konsep yang telah dipelajari sebelumnya atau mengalami berpikir pseudo konseptual.

(14)

14 |k a r a k t e r i s t i k b e r p i k i r p s e u d o d a l a m p e m b e l a j a r a n m a t e m a t i k a Dalam artikelnya Vinner (1997) menyatakan bahwa

“if the main process is a problem-solving process, I will speak about analytical or pseudo-analytical thought processes and behavior. On other hand, if the main process focuses on concepts, their interrelations, and their application, I will speak about conceptual or pseudo-conceptual thought processes ang behavior.

Yang maksudnya adalah jika fokus utamanya adalah pemecahan masalah, maka Vinner akan mengatakan bahwa itu terkait dengan analitik atau perilaku analitik dan proses berpikir pseudo-analitik. Sedangkan, jika fokusnya pada konsep, hubungan antar konsep, dan penerapannya, maka Vinner mengatakan bahwa itu terkait dengan konsep atau perilaku konseptual dan proses berpikir pseudo-konseptual. Kedua istilah tersebut saling berhubungan, ketika seseorang berpikir secara analitik maka seseorang tersebut juga akan berpikir secara konseptual. Di lain pihak ketika seseorang berpikir secara konseptual, itu akan ada tiga kemungkinan yaitu seseorang akan berpikir analitik yang tidak kompleks (seperti pada kasus pecahan), berpikir analitik yang kompleks, dan tidak memerlukan proses analitik (tahapan yang terjadi hanya mengingat suatu konsep bukan berdasarkan analisa). Ketiga kemungkinan tersebut tentu harus dilakukan penelitian lanjutan, agar bisa menunjukkan bahwa pernyataan ini benar.

Jawaban yang diberikan oleh S3 juga bisa di pandang melalui teorinya Subanji (2007) yang dalam disertasinya mengembangkan istilah yang digagas Vinner (1997) sebelumnya. S3 memberikan jawaban salah, dan itu artinya ada indikasi bahwa S3 mengalami berpikir pseudo salah, dan sudah dipastikan bahwa S3 tidak terindikasi mengalami berpikir pseudo benar. Dalam menentukan berpikir pseudo salah, perlu dilihat bagaimana proses analitik dan konseptual yang terjadi pada S3. Dengan melihat proses-proses tersebut akan memudahkan seseorang (dalam hal ini peneliti) melakukan perbaikan atau memperbaiki struktur-struktur berpikir yang salah. Wibawa (2014) setelah mengecek atau melakukan scaning melalui pemetaan kognitif, diketahui beberapa kesalahan yang terjadi pada siswa dan dengan itu dilakukan perbaikan yang disebut oleh Wibawa (2014) defragmenting. Defragmenting merupakan proses me-restrukturisasi struktur berpikir siswa menjadi struktur berpikir yang lebih luas/lengkap sehingga mencapai pemahaman yang mendalam dan dapat memecahkan masalah yang diberikan. Setelah dilakukan defragmenting, S3 mampu melakukan refleksi sehingga menemukan jawaban yang benar. Dalam kondisi seperti ini, S3 dikatakan telah mengalami berpikir pseudo salah.

(15)

15 |k a r a k t e r i s t i k b e r p i k i r p s e u d o d a l a m p e m b e l a j a r a n m a t e m a t i k a

5. DISKUSI DAN KESIMPULAN

Salah satu karakteristik kesalahan siswa dalam berpikir secara matematis adalah berpikir pseudo. Berdasarkan pemahaman prosedur yang digunakan siswa dalam menjawab soal dan keterkaitan dengan konsep-konsep yang lain, berpikir pseudo dibagi menjadi dua, yaitu: berpikir pseudo analitik dan berpikir pseudo konseptual. Berpikir pseudo analitik adalah aktivitas mental yang terjadi di dalam otak yang tidak di dasarkan terhadap kontrol pada prosedur yang diplih dan prosedur yang digunakan. Dan berpikir pseudo konseptual adalah aktivitas mental yang terjadi di dalam otak yang tidak memikirkan makna suatu konsep yang digunakan dan hubungannya dengan konsep lain. Berdasarkan jawaban yang diberikan siswa dan proses klarifikasi yang digunakan, berpikir pseudo dibagi menjadi dua, yaitu berpikir pseudo salah dan berpikir pseudo benar. Berpikir pseudo salah adalah aktivitas mental yang terjadi di dalam otak dalam memberikan jawaban salah namun dapat memperbaiki kesalahan setelah melakukan refleksi diri. Pseudo benar adalah aktivitas mental yang terjadi didalam otak dalam memberikan jawaban yang benar namun tidak dapat memberikan atau terjadi kesalahan dalam memberikan justifikasi pada jawaban yang diberikan.

Berpikir pseudo perlu mendapat perhatian lebih sebagai salah satu pengetahuan mengenai terjadinya kesalahan dalam berpikir matematis seseorang. Berpikir pseudo pada siswa terjadi hampir disemua materi, mulai dari Aritmatika (konsep yang paling dasar), aljabar, geometri, hingga kalkulus. Dengan memahami proses terjadinya berpikir pseudo ini, diharapkan para pendidik (orangtua, guru, dosen, dan para pemerhati pendidikan) lebih bijaksana dalam melihat perilaku yang terjadi pada siswa atau seseorang. Dengan mempertimbangkan apakah ada indikasi perilaku pseudo yang terjadi, maka diharapkan pula dapat membuat desain pembelajaran, bahan ajar, dan model pendekatan kepada siswa yang dapat meminimalisir terjadinya berpikir pseudo.

(16)

16 |k a r a k t e r i s t i k b e r p i k i r p s e u d o d a l a m p e m b e l a j a r a n m a t e m a t i k a DAFTAR PUSTAKA

Ausubel, D. P. 1968. Educational Psychology: A Cognitive View. New York: Holt, Rinehart and Winston.

Mason, dkk. 2004. Fundamental Constructs in Mathematics Education. New York.:RoutledgeFalmer Taylor & Fancis Group.

Peter & Yeni. 2002. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta: Balai Pustaka.

Stacey, K. 2012. What is Mathematical Thinking and Why is it Important?. Australia. University of Melbourne.

Subanji. 2007. Proses Berpikir Penalaran Kovariasional Pseudo dalam Mengkonstruksi Grafik Fungsi Kejadian Dinamik Berkebalikan. Disertasi tidak diterbitkan. Universitas Negeri Surabaya.

Subanji. 2011. Teori Berpikir Pseudo Penalaran Kovariasional. Malang: Universitas Negeri Malang.

Subanji dan Toto. 2013. Karakteristik Kesalahan Berpikir Siswa dalam Mengkonstruksi Konsep Matematika. Malang. Jurnal Ilmu Pendidikan Jilid 19 Nomor 2 ISSN 0215-9643, hal 208-217

Tim Penyusun Kurikulum 2013. 2014. Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pembelajaran pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah. Jakarta

Vinner, S.1997. The Pseudo-Conceptual and the Pseudo-Analytical Thought Processes in Mathematics Learning. Educational Studies in Mathematics 34, pp. 97-129.

Walle. 2007. Matematika Sekolah Dasar dan Menengah, Pengembangan Pengajaran; Edisi keenam. Virginia: Erlangga.

Wibawa, K. A. 2014. Defragmenting Proses Berpikir Melalui Pemetaan Kognitif Untuk Memperbaiki Berpikir Pseudo Siswa Dalam Memecahkan Masalah Limit Fungsi. Tesis. Program Studi Pendidikan Matematika, Pascasarjana Universitas Negeri Malang. Wibawa, Subanji, & Chandra. 2013. Defragmenting Berpikir Pseudo dalam Memecahkan

Masalah Limit Fungsi. Malang: Prosiding 2 TEQIP 2013 pp 721-729, ISBN:978-602-17187-2-8

Gambar

Gambar 2. Jawaban siswa dalam menyelesaikan soal pecahan yang diberikan oleh peneliti

Referensi

Dokumen terkait

Kepuasan kerja dan kompetensi guru merupakan factor strategis dalam pengembangan pendidikan. Guru yang menjadi agen perubahan di sekolah, sangat diharapkan menjadi

Pada parameter substrat, 3 titik kepadatan bivalvia terbanyak pada T6 mempunyai tipe substrat pasir berbatu dengan kandungan organik sebesar 5%, pada T17 mempunyai tipe

Berdasarkan penjelasan di atas, hasil yang diharapkan pada penelitian ini adalah bahwa scope secara negatif terkait dengan probabilitas pemerintah daerah mengalami

Pencemaran udara adalah kondisi udara yang tercemar dengan adanya bahan, zat- zat asing atau komponen lain di udara yang menyebabkan berubahnya tatanan udara oleh kegiatan manusia

Matriks korelasi merupakan matriks yang memuat semua koefisien korelasi dari semua pasangan variabel dalam penelitian ini.Matriks ini digunakan untuk mendapatkan nilai

Dari hasil analisis tersebut didapatkan bahwa regangan total dari balok induk, balok anak 1, balok anak 2, dan pelat yang ditinjau pada kondisi 1 maupun kondisi 2 bernilai

Materi pembelajaran matematika nalaria realistik juga dievaluasi oleh guru pengajar kelas reguler dan kelas khusus, apakah telah sesuai dengan tujuan pembelajaran atau

Tingkat pengolahan tanah berpengaruh sangat nya terhadap tinggi tanaman kedelai umur 60 Hari Setelah Tanam, berat biji per plot, dan berat 100 butir biji serta