• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEFINISI TB PARU

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.6

2.2. EPIDEMIOLOGI TB PARU

Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB diseluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB didunia, terjadi pada negara-negara berkembang. Disekitar tahun 1880an di Skotlandia dilaporkan terdapat 350/100.000 penduduk meninggal akibat TB, Denmark 220/100.000 penduduk, Swiss 250/100.000 penduduk. Di Massachusets, New York dan Boston 300/100.000 penduduk. Data tahun 1990an menunjukkan di Cekoslowakia terdapat 400/100.000 penduduk, Belanda 200/100.000 penduduk dan Norwegia 300/100.000 penduduk. Demikian juga, kematian wanita akibat TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas.4,6

Dari seluruh kematian yang dapat dicegah, 25% diantaranya disebabkan oleh TB. Saat ini di negara maju diperkirakan setiap tahunnya 10 -20 kasus baru setiap 100.000 penduduk dengan kematian 1 – 5 per 100.000 penduduk sedang di negara berkembang angkanya masih tinggi. Di Afrika setiap tahunnya muncul 165 penderita TB paru menular setiap 100.000 penduduk.2

Ditahun 1990 yang lalu di kawasan Asia Tenggara telah muncul 3,1 juta penderita baru TB dan terjadi lebih dari 1 juta kematian akibat penyakit ini. Di tahun 2000 di seluruh dunia muncul lebih dari 10,2 juta penderita baru TB serta 3,5 juta kematian. Pada tahun 2000 di kawasan Asia Tenggara ada lebih dari 3,9 juta penderita baru TB dan lebih dari 1,3 juta kematian. Kalau kita jumlahkan maka dekade 1990 – 1999 diseluruh dunia muncul 88 juta penderita TB, dan akan terjadi 30 juta kematian di dunia ini. Pada dekade yang sama di Asia Tenggara,

(2)

tempat kita tinggal, timbul lebih dari 35 juta penderita TB paru baru dan ditemui pula lebih dari 12 juta orang yang meninggal akibat penyakit ini.2

Gambar I. Insidens TB Di Dunia (WHO, 2004)6

Penyakit tuberkulosis (TB) paru di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat, survey kesehatan rumah tangga (SKRT) Departemen Kesehatan RI 2001, penyakit pada sistem pernapasan merupakan penyebab kematian kedua setelah sistem sirkulasi, pada semua kelompok umur dan menurut survey kesehatan rumah tangga (SKRT) Departemen Kesehatan RI 1992 TB paru sebagai penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit saluran pernapasan, sedang pada 2001 TB nomor satu penyebab kematian dari golongan infeksi.4

WHO memperkirakan di Indonesia setiap tahunnya terjadi 175.000 kematian akibat TB dan terdapat 550.000 kasus TB. Sedangkan data Departemen Kesehatan pada tahun 2001 di Indonesia terdapat 50.443 penderita dengan TB BTA positif yang diobati (23% dari perkiraan penderita TB BTA (+). Tigaperempat dari kasus berusia 15 – 49 tahun dan baru 20% yang tercakup dalam program pemberantasan TB yang dilaksanakan pemerintah.4

Hasil survey prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa angka prevalensi TB BTA positif secara nasional 110 per 100.000 penduduk.

(3)

Secara regional prevalensi TB BTA positif di Indonesia dikelompokkan dalam 3 wilayah, yaitu: 1. wilayah Sumatera angka prevalensi TB adalah 160 per 100.000 penduduk; 2. wilayah Jawa dan Bali angka prevalensi TB adalah 110 per 100.000 penduduk; 3. wilayah Indonesia Timur angka prevalensi TB adalah 210 per 100.000 penduduk. Khusus untuk propinsi DIY dan Bali angka prevalensi TB adalah 68 per 100.000 penduduk. Mengacu pada hasil survey prevalensi tahun 2004, diperkirakan penurunan insiden TB BTA positif secara Nasional 3-4 % setiap tahunnya.6

Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat.2,6

Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara lain adalah: 6,7

1. Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara negara yang sedang berkembang.

2. Kegagalan program TB selama ini. Hal ini diakibatkan oleh: a. Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan

b. Tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh masyarakat, penemuan kasus /diagnosis yang tidak standar, obat tidak terjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan pelaporan yang standar, dan sebagainya).

c. Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat yang tidak standar, gagal menyembuhkan kasus yang telah didiagnosis)

d. Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG.

e. Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang mengalami krisis ekonomi atau pergolakan masyarakat.

3. Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan struktur umur kependudukan.

4. Dampak pandemi HIV.

(4)

Situasi TB didunia semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat dan banyak yang tidak berhasil disembuhkan, terutama pada negara yang dikelompokkan dalam 22 negara dengan masalah TB besar (high burden countries). Menyikapi hal tersebut, pada tahun 1993, WHO mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia (global emergency).8

Munculnya pandemi HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan TB. Koinfeksi dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB secara signifikan. Pada saat yang sama, kekebalan ganda kuman TB terhadap obat anti TB (multidrug resistance = MDR) semakin menjadi masalah akibat kasus yang tidak berhasil disembuhkan. Keadaan tersebut pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya epidemi TB yang sulit ditangani. 2,9

Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TB di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB didunia. Diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang. Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 110 per 100.000 penduduk.

2.3. TUBERKULOSIS DAN KEJADIANNYA

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. 6

Cara penularan :

a. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.

b. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.

c. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.

(5)

d. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.

e. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

Gambar II. Faktor Risiko Kejadian TB6

Risiko penularan :

a. Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif.

b. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun.

c. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.

d. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif.

(6)

2.4. DIAGNOSIS TB PARU

Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan : gejala kinis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan bakteriologis, radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya. Gejala klinis TB dibagi atas 2 golongan, yaitu gejala respiratoris berupa batuk, batuk darah, sesak napas, dan nyeri dada. Gejala respiratoris ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luasnya lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up.2 Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka mungkin pasien tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi akibat adanya iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak keluar. Sedangkan gejala sistemik berupa demam, malaise, keringat malam, anoreksia dan penurunan berat badan.

Pada awal perkembangan penyakit sangat sulit menemukan kelainan pada pemeriksaan fisis. Kelainan yang dijumpai tergantung dari organ yang terlibat. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama didaerah apeks dan segmen posterior.13,16 Pada pemeriksaan fisis dapat dijumpai antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diapragma dan mediastinum.2,3,4

(7)

2.5. PEMERIKSAAN PENUNJANG 2.5.1. Pemeriksaan Bakteriologis

Pemeriksaan bakteriologis untuk menemukan kuman TB mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologis ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, bilasan bronkus, liquor cerebrospinal, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar, urin, faeces, dan jaringan biopsi. Pada pemeriksaan bakteriologis yang menggunakan sputum, cara pengambilannya terdiri dari 3 kali: sewaktu (pada saat kunjungan), pagi (keesokan harinya), dan sewaktu (pada saat mengantarkan dahak pagi).2,3,6,10,17

Ada beberapa tipe interpretasi pemeriksaan mikroskopis, WHO merekomendasikan pembacaan dengan skala IUATLD (International Union Againts Tuberculosis and Lung Disease) :

- Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapangan pandang, disebut negatif - Ditemukan 1 – 9 BTA dalam 100 lapangan pandang, ditulis jumlah kuman

yang ditemukan

- Ditemukan 10 – 99 BTA dalam 100 lapangan pandang, disebut + (+1) - Ditemukan 1 – 10 BTA dalam 1 lapangan pandang, disebut ++ (+2) - Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapangan pandang, disebut +++ (+3)4,10,11,12

2.5.2. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan standar adalah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi foto lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, TB dapat memberikan gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologis yang dicurigai sebagai lesi TB aktif : adanya bayangan berawan/ nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah; kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular; bayangan bercak milier; efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang). Gambaran radiologis yang dicurigai lesi TB inaktif berupa : fibrosis, kalsifikasi, Schwarte atau penebalan pleura. Luluh paru apabila terjadi kerusakan jaringan paru yang berat, sulit untuk menilai lesi hanya berdasarkan gambaran radiologis sehingga perlu pemeriksaan bakteriologis untuk memastikan akifitas penyakit.3,10

(8)

2.5.3. Pemeriksaan Khusus

Ada beberapa tehnik baru yang dapat mendeteksi kuman TB, seperti : BACTEC : dengan metode radiometrik, dimana CO2 yang dihasilkan dari metabolisme asam lemak Mycobacterium tuberculosis dideteksi growth indexnya. Polymerase chain reaction (PCR) : dengan cara mendeteksi DNA dari Mycobacterium tuberculosis. pemeriksaan serologis : ELISA, ICT, Mycodot, dan PAP.3

2.5.4. Pemeriksaan Penunjang Lain :

Seperti analisa cairan pleura dan histopatologi jaringan, pemeriksaan darah dimana LED biasanya meningkat, tetapi tidak dapat sebagai indikator yang spesifik pada TB. Uji tuberkulin, di Indonesia dengan prevalensi yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnosis penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula atau kepositifan yang didapat besar sekali. 3

2.6. PENGOBATAN TB PARU

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Pengobatan TB telah bermula bahkan sejak sebelum Robert Koch menemukan basil tuberkulosis di tahun 1882. Mula-mula hanya dilakukan berbagai upaya untuk mengatasi keluhan yang ada, antara lain dengan mendirikan sanatorium-sanatorium di berbagai tempat. Masa ini dikenal dengan ”battle againts symptom”. Setelah itu, berkembang pula upaya pembedahan, yang pada dasarnya adalah menangani kaviti sehingga disebut era ”battle againts cavity”. Di tahun 1940an barulah ditemukan obat streptomisin, yang kemudian INH, Pyrazinamid, Etambutol dan Rifampisin yang memulai era paling baru dalam penanganan TB, yaitu ”battle againts TB bacilly”.2

Penanggulangan Tuberkulosis (TB) di Indonesia sudah berlangsung sejak zaman penjajahan Belanda namun terbatas pada kelompok tertentu. Setelah perang kemerdekaan, TB ditanggulangi melalui Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru (BP-4). Sejak tahun 1969 penanggulangan dilakukan secara nasional melalui

(9)

Puskesmas. Obat anti tuberkulosis (OAT) yang digunakan adalah paduan standar INH, PAS dan Streptomisin selama satu sampai dua tahun. Para Amino Acid (PAS) kemudian diganti dengan Pirazinamid. Sejak 1977 mulai digunakan paduan OAT jangka pendek yang terdiri dari INH, Rifampisin dan Etambutol selama 6 bulan.6,13,14,15

Berbagai variasi regimen telah diperkenalkan selama ini. Pada dasarnya semuanya mengandung dua fase, yaitu fase awal intensif dan fase lanjutan. Fase awal intensif biasanya diberikan sedikitnya 3 atau 4 obat, sedangkan fase lanjutan dapat diberikan 2 obat saja baik setiap hari maupun intermitten. Pada tahun 1997 WHO telah membuat klasifikasi regimen pengobatan pada berbagai keadaan penyakit TB.2

Tabel 1. Jenis dan Dosis OAT 3,6

JENIS OAT SIFAT DOSIS YANG DIREKOMENDASIKAN (mg/kg) HARIAN 3X SEMINGGU Isoniazid (H) Bakterisid 5 (4-5) 10 (8-12) Rifampicin (R) Bakterisid 25 (20-30) 15 (12-18) Pyrazinamide (Z) Bakterisid 15 (15-20) 10 (8-12) Streptomycin (S) Bakterisid 10 (8-12) 35 (30-40) Ethambutol (E) Bakteriostatik 15 (12-18) 30 (20-35)

Tabel 2. Dosis Untuk Paduan OAT Kategori II3,5,6 Tahap intensif tiap hari RHZE (150/75/400/275)+S Tahap Lanjutan 3 kali seminggu RH (150/150)+E(400) Berat badan

Selama 56 hari Selama 28

hari Selama 20 minggu 30 – 37 Kg +500 mg streptomisin inj.2 tab 4KDT 2 tab 4KDT +2 tab Etambutol 2 tab 2KDT

38 – 54 Kg +750 mg Streptomisin 3 tab 4KDT Inj. 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT +Etambutol 55 – 7o Kg +1000mg streptomisin 4 tab 4KDT Inj. 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT +4 tab Etambutol 271 Kg 5 tab 4KDT +1000 mg Streptomisin inj.

5 tab 4KDT +5 tab Etambutol tab 2KDT

(10)

Tabel 3. Paduan OAT Kategori II6 Etambutol Tahap Pengobatan Lama Pengobatan Tablet Isoniasid @300 mgr Kaplet Rifampisin @450 mgr Tablet Pirazinamid @500 mgr Tablet @250 mgr Tablet @400 mgr Streptomisin Inj. Jumlah hari/kali meneln obat Tahap intensif (dosis harian) 2 bulan 1 bulan 1 1 1 1 3 3 3 3 - - 0,75 gr - 56 28 Tahap lanjutan (dosis 3x seminggu) 4 bulan 2 1 - 1 2 - 60 2.7. STRATEGI DOTS

Pada awal tahun 1990an WHO dan IUATLD telah mengembangkan strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) dan telah terbukti sebagai strategi penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif (cost-efective). Strategi ini dikembangkan dari berbagi studi, uji coba klinik (clinical trials), pengalaman-pengalaman terbaik (best practices), dan hasil implementasi program penanggulangan TB selama lebih dari dua dekade. Penerapan strategi DOTS secara baik, disamping secara cepat menekan penularan, juga mencegah berkembangnya MDR-TB.2,4,17

Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan demikian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB. WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam penanggulangan TB sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi kesehatan yang paling efektif. Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya. Satu studi cost benefit yang dilakukan oleh WHO di Indonesia menggambarkan bahwa dengan menggunakan strategi DOTS, setiap dolar yang digunakan untuk membiayai program penanggulangan TB, akan menghemat sebesar US$ 55 selama 20 tahun.6

(11)

Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci:2,3,6 1. Komitmen politis

2. Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.

3. Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan tatalaksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan. 4. Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu.

5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program secara keseluruhan. Angka kesembuhan pasien TB di negara-negara yang mengikuti strategi DOTS dapat mencapai 95%. WHO menargetkan bahwa di tahun 2001 sedikitnya 70% kasus TB di dunia ini dapat didiagnosis dan diobati dengan angka kesembuhan setidaknya 85%. Bila hal ini tercapai artinya kita dapat mencegah sedikitnya seperempat kasus baru dan kematian akibat TB dalam 20 tahun mendatang.

Strategi DOTS di atas telah dikembangkan oleh Kemitraan global dalam penanggulangan TB (stop TB partnership) dengan memperluas strategi dots sebagai berikut :6

1. Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS 2. Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya 3. Berkontribusi dalam penguatan sistem kesehatan

4. Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta.

5. Memberdayakan pasien dan masyarakat 6. Melaksanakan dan mengembangkan riset

2.7.1. TB PARU PUTUS BEROBAT

Secara definisi TB paru putus berobat adalah penderita TB paru yang sedang menjalani pengobatan telah menghentikan pengobatan OAT selama fase intensif atau fase lanjutan sesuai jadwal yang ditentukan dan belum dinyatakan sembuh oleh dokter yang mengobatinya.3

Penderita yang menghentikan pengobatannya < 2 minggu pengobatan OAT dapat dilanjutkan sesuai jadwal.

(12)

Penderita menghentikan pengobatannya ≥ 2 minggu :

a. Berobat ≥ 4 bulan, BTA negatif dan klinis, radiologis negatif OAT STOP b. Berobat ≥ 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal dengan

paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.

c. Berobat < 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang sama.

d. Berobat < 4 bulan, berhenti berobat > 1 bulan, BTA negatif, akan tetapi klinis dan radiologis positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang sama.

e. Berobat < 4 bulan, BTA negatif, berhenti berobat 2 – 4 minggu pengobatan dilanjutkan kembali sesuai jadwal.

Di RS Persahabatan Jakarta, keberhasilan pengobatan penderita TB Paru hanya sebesar 44,94%, keberhasilan dengan menggunakan strategi DOT 58,4% dan SAT 45,6%. Ini jauh dari dibawah target program nasional yaitu angka kesembuhan minimal 85%. Keberhasilan pengobatan rendah kemungkinan disebabkan karena :5

1. Pasien yang datang sendiri ataupun dirujuk sudah dalam keadaan lanjut dan penderita sudah berobat ditempat fasiliti kesehatan lain

2. Penderita TB paru yang menggunakan DOT hanya mendapatkan obat secara gratis tanpa ada insentif yang lain seperti pemberian uang transpor, uang makan, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan BTA sputum dan tidak ada kunjungan ke rumah.

3. Petugas poliklinik paru yang terbatas untuk memberikan obat dan pencatatan Pengawas Minum Obat (PMO) biasanya keluarga sendiri dan tidak pernah dilatih tentang TB paru selama jangka waktu tertentu.

4. Penderita TB paru kurang mendapat konseling dan edukasi yang adekuat sehingga menyebabkan ketidakpatuhan dan ketidakberhasilan pengobatan karena kurang pengetahuan tentang penyakit TB.

Pada penelitian lainnya, Syafrizal mendapatkan keberasilan DOT sebesar 81% sedangkan SAT 68,9%. Amril mendapatkan keberhasilan DOT sebesar 93,9% sedangkan pada kelompok SAT 82,3%, lebih tinggi dibanding penelitian di

(13)

RS Persahabatan dan Syafrizal. Hal ini karena PMO boleh mengambil obat, edukasi diberikan oleh dokter yang merawat dilanjutkan oleh petugas penyuluh, sosial budaya yang bersifat kekeluargaan dan biaya pemeriksaan yang murah serta pada beberapa penderita tidak mampu dibebaskan biaya pendaftaran, darah rutin dan foto toraks. Davidson25 di Amerika Serikat pada tahun 1994 mendapat pengobatan lengkap pada 8 bulan kelompok DOT sebesar 52% sedangkan kelompok SAT 35% dan 12 bulan pengobatan kelompok DOT 70% sedangkan kelompok SAT 53%. Pada penelitian tersebut hasil pengobatan lengkap lebih tinggi dibandingkan penelitian di RS Persahabatan karena diberikan insentif dan pemberian kupon makanan, uang transpor dan makanan ringan.

Di tahun 2003 di Rusia hanya 23% penderita TB paru yang terjangkau oleh DOTS, hal ini sangat jauh perbandingannya dengan 22 negara yang mempunyai penyebaran TB yang banyak yaitu sebesar 79%.18 Akkslip di Thailand tahun 1996 – 1997 mendapatkan bahwa supervisi keluarga memberikan kontribusi pada strategi DOT. Chowdhury di Bangladesh tahun 1995 – 1996 mendapatkan strategi DOT dapat mencegah gagal pengobatan dan resistensi sekunder. Diel26 melakukan penelitian di Hamburg tahun 1997 – 2001 memperlihatkan faktor-faktor seperti ketergantungan alkohol, penyalahguna obat, tunawisma dan tidak bekerja, secara bermakna berhubungan dengan putus berobat. Gagal pengobatan disebabkan pengobatan yang tidak adekuat karena penggunaan paduan obat tidak sesuai, penghentian jadwal paduan obat yang terlalu cepat, lalai atau putus obat, resistensi kuman terutama resistensi awal dan faktor anatomi berupa kerusakan jaringan paru luas (destroyed lung) serta kaviti berdinding tebal.

2.7.2 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN PENGOBATAN 2.7.2.1. Ketidakpatuhan Minum Obat

Ketidakpatuhan atau ketidakteraturan dalam pengobatan adalah seseorang yang melalaikan kewajibannya berobat sehingga dapat mengakibatkan terhalangnya kesembuhan. Keteraturan minum obat diukur dari kesesuaian dengan aturan yang ditetapkan, dengan pengobatan lengkap sampai selesai dalam jangka waktu enam bulan. Keteraturan pengobatan kurang dari 90% akan mempengaruhi

(14)

penyembuhan. OAT harus ditelan sesuai jadwal dan teratur terutama pada dua fase pengobatan untuk menghindari terjadinya kegagalan pengobatan dan kekambuhan.

Mandel dan Sande mengatakan bahwa penyebab dari kegagalan pengobatan adalah ketidakteraturan minum obat, penggunaan satu macam obat, dosis awal yang kurang dan resistensi kuman. Jumlah penderita TB yang berobat tidak lengkap di USA sebesar 20% sedangkan disalah satu rumah sakit besar di New York terdapat 83% penderita yang berobat tidak lengkap setelah 3 bulan pengobatan. Anderson dan Benergi di India menyimpulkan ketidakpatuhan penderita berkaitan dengan diagnosis penyakit TB paru. Dalam penelitian selama 2 tahun ditemukan bahwa 20% ketidahpatuhan terjadi pada penderita menular dengan BTA positif, 37% ketidakpatuhan pada kelainan paru, 56% ketidakpatuhan pada penderita dengan kelainan sedang, dan 100% ketidakpatuhan penderita dengan kelainan minimal pada paru-parunya.19

Semua kegagalan pengobatan TB adanya obat yang tidak adekuat karena ketidakteraturan minum obat yaitu penggunaan obat yang tidak sesuai, penghentian jadwal yang terlalu cepat, lalai atau putus berobat dan adanya kuman resistensi. Alasan lain adalah rasa bosan berobat dikarenakan terlalu lama, kurangnya pengetahuan penderita tentang TB paru, jauhnya jarak rumah penderita dengan pelayanan kesehatan umum, petugas kesehatan yang tidak mengingatkan penderita bila lalai pengobatan dan adanya anggapan bahwa pengobatan di Puskesmas kurang baik.19

2.7.2.2. Gejala Samping

Adanya gejala samping obat merupakan salah satu penyebab kegagalan pengobatan. Gejala samping dari pemberian OAT sangat jarang ditemukan, walaupun ada biasanya ringan dan tidak perlu menghentikan pengobatan.

Pengawasan terhadap efek samping obat dan bagaimana penanganannya sangat perlu diketahui sehingga lebih terjamin keteraturan berobat. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya resistensi obat.

Efek samping OAT dibagi atas 2 kelompok yaitu gejala samping berat dan ringan. Gejala samping berat yaitu gejala tersebut dapat menimbulkan bahaya

(15)

bagi kesehatan dan biasanya pemakaian obat dihentikan. Sedangkan yang ringan hanya menyebabkan sedikit rasa tidak enak, sering dapat disembuhkan dengan pengobatan simptomatik, tetapi kadang-kadang tetap ada selama pemakaian obat.19

Gejala samping yang perlu diwaspadai adalah gejala hepatotoksik. Hampir semua OAT mempunyai gejala hepatotoksik kecuali streptomisin.2 Arsyad Dikutip

dari 41 melaporkan di RSUP Dr. M. Jamil Padang dari 58 penderita yang mendapat

pengobatan kombinasi rifampisin, INH dan etambutol terjadi peningkatan fungsi hati paling tinggi pada kelompok pengobatan 5 dan 6 bulan, walaupun peningkatan ini tidak melebihi dua kali nilai normal, dan peningkatan faal hati juga terjadi pada usia tua.

Sebaliknya AminDikutip dari 41 pada penelitiannya dengan kombinasi rifampisin dan INH tidak menemukan pengaruh usia terhadap fungsi hati. Bernida42 melaporkan di RS Persahabatan kenaikan fungsi hati pada penderita TB paru yang mendapat pengobatan rifamfisin, INH dan pirazinamid terjadi pada 8% penderita dalam 4 minggu pertama pengobatan.

Pada penelitian Nurhayati29 dkk. Didapati 6.3% dengan keluhan gastro intestinal, nyeri sendi 3.2% dan gatal di kulit 1.1%. Begitu juga penelitian Dicky27 dkk gejala samping yang timbul pada pasien seperti mual 3 orang (5.8%) pada KDT dan 3 orang (5.2%) pada kombipak, muntah 1 orang (1.9%) KDT dan 1 orang (1.7%) kombipak, kulit kuning 2 orang (3.8%) KDT dan 2 orang (3.4%) kombipak, kulit gatal 1 (1.9%) KDT dan 4 orang (6.9%) kombipak, nyeri sendi 3 orang (5.2%) pada kelompok kombipak.

2.7.2.3. Komunikasi Informasi dan Edukasi serta Pengawasan Pengobatan Agar penderita mau minum obat dengan teratur dan patuh perlu adanya komunikasi, informasi dan edukasi yang berkesinambungan oleh petugas kesehatan, sehingga termotivasi minum obat secara teratur. Komunikasi yang cukup efektif dalam bentuk edukasi lisan pada pasien maupun PMO akan membuat pasien lebih mengerti, memahami, dan menyadari tentang penyakitnya sehingga patuh mengikuti anjuran dokter untuk berobat teratur sampai selesai. Edukasi dapat dilakukan oleh dokter ketika memeriksa pasien dilanjutkan oleh

(16)

petugas kesehatan yang sekaligus memberikan obat sesuai dengan ketentuan ti tempat khusus (pojok DOT). Komunikasi yang efektif antara dokter – pasien dan petugas kesehatan – pasien akan membentuk persepsi tentang penyakitnya sehingga timbul keyakinan dan harapan bahwa penyakitnya dapat disembuhkan. Sikap petugas kesehatan mempengaruhi tingkat pengetahuan dari penderita, dapat dijelaskan bahwa sikap petugas kesehatan yang kurang baik akan berisiko enam kali terhadap rendahnya tingkat pengetahuan penderita. Keadaan ini dapat dimengerti kerena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan dari petugas kesehatan sendiri.19

Pendidikan rendah berpengaruh kepada pemahaman pasien TB terhadap penyakitnya sehingga apabila subjek merasa lebih baik, berat badan naik, daya kerja pulih kembali dan merasa sudah sembuh, pasien dapat menghentikan sendiri pengobatannya. Kim dkk.dikutip dari 29 melaporkan rendahnya kepatuhan berobat pasien TB berhubungan dengan tingkat pendidikan. Pasien TB paru dengan pendidikan menengah – tinggi mengetahui pengetahuan tentang TB paru lebih baik daripada pasien berpendidikan rendah, namun Wilkinson dkk dikutip dari 29 membuktikan pendidikan rendah tidak selalu berhubungan dengan rendahnya kepatuhan. Hubungan tingkat pendidikan dengan pengetahuan TB dan dampaknya terhadap kepatuhan berobat bervariasi diberbagai negara.

Menurut Becker, ketidakpatuhan berobat mempunyai hubungan dengan gagalnya informasi yang disampaikan petugas kesehatan. Faktor lain yang mempengaruhi kepatuhan penderita adalah hubungan antara petugan kesehatan dengan penderita TB paru.19 Fahruda menjelaskan bahwa tingkat pengetahuan penderita yang dikategorikan rendah akan berisiko lebih dari dua kali untuk terjadinya kegagalan pengobatan dibandingkan dengan penderita dengan tingkat pengetahuan tinggi.19

Dalam pengawasan pengobatan, dokter sebaiknya mengikutsertakan keluarga dalam pengawasan pengobatan, agar penderita dapat berobat secara kontinu. Tujuan diadakan pengawasan pengobatan adalah untuk menjamin ketekunan dan keteraturan pengobatan sesuai dengan jadwal, menghindari penderita putus berobat sebelum waktunya, serta mengurangi kemungkinan kegagalan pengobatan dan resisten terhadap OAT. Dukungan keluarga dan

(17)

masyarakat dalam pengawasan dan pemberian semangat mempunyai andil yang besar dalam peningkatan kepatuhan.19

2.7.2.4. Umur Penderita

Di negara berkembang mayoritas individu yang terinfeksi TB adalah golongan usia di bawah 50 tahun, sedangkan di negara maju prevalensi TB sangat rendah pada mereka yang berusia di bawah 50 tahun namun masih tinggi pada golongan yang lebih tua.dikutip dari 37 Syafrizal 38 melaporkan bahwa di RS Persahabatan penderita TB paru yang paling banyak adalah usia produktif kerja yaitu kelompok usia 15 – 40 tahun.

Pada usia tua, TB mempunyai tanda dan gejala yang tidak spesifik sehingga sulit terdiagnosis. Patogenesis TB paru pada usia tua agaknya berasal dari reaktivasi fokus dorman yang telah terjadi berpuluh tahun lamanya. Reaktivasi berkaitan dengan perkembangan faktor komorbid yang dihubungkan dengan penurunan cell mediated immunity seperti pada keganasan, penggunaan obat imunosupresif dan faktor ketuaan.39 Taufik40 melaporkan di RS Persahabatan TB pada usia tua paling banyak pada kelompok umur di atas 55 tahun.

Umur penderita dapat mempengaruhi kerja dan efek obat karena metabolisme obat dan fungsi ginjal kurang efisien pada orang tua dan bayi yang sangat muda, sehingga menimbulkan efek lebih kuat dan lebih panjang pada kedua kelompok umur tersebut. Fungsi ginjal akan menurun sejak umur 20 tahun, dan pada umur 50 tahun menurun 25% dan pada umur 75 tahun menurun 50%.

Menurut Wattimena dkk, perjalanan penyakit pada orang tua lebih parah, sering terjadi komplikasi. Makin tua usia akan terjadi perubahan secara fisiologis, patologis dan penurunan sistem imun, ini mempengaruhi kemampuan tubuh menangani OAT yang diberikan. Penelitian yang dilakukan Trihadi dan Rahardja menunjukkan bahwa kelompok usia diatas 55 tahun (61,71%) memberikan respon yang kurang baik terhadap pengobatan. Seringkali penderita usia tua membutuhkan banyak obat karena mepunyai beberapa penyakit menahun, sehingga mungkin dapat terjadi interaksi obat atau efek sumasi. Pemberian OAT pada usia tua lebih berisiko terjadinya gejala samping, sehingga dapat terjadi penghentian pengobatan.5,19

(18)

2.7.2.5. Riwayat Penyakit Yang Menyertai

Menurut Bahar yang dapat menyebabkan kegagalan pengobatan adalah lesi paru yang terlalu luas/ sakit berat, penyakit lain yang menyertai seperti diabetes melitus, infeksi HIV serta adanya gangguan imunologis. Diabetes mellitus dan TB paru sering berhubungan dan telah banyak dibicarakan pada beberapa tahun yang lalu. TB paru sering didapati terutama pada penderita DM yang tidak terkontrol, yang lebih rentan terhadap TB paru dibandingkan dengan penderita non DM. Infeksi TB paru pada DM biasanya lebih sering disebabkan oleh reaktivasi fokus yang lama daripada melalui kontak langsung.44,45 Risiko

relatif reaktivasi kuman tuberkulosis ini akan berkembang menjadi TB paru dengan bakteriologis positif dua sampai lima kali lebih tinggi.46,47 Penelitian secara autopsi pada tahun 1800-an mendapatkan bukti adanya tuberkulosis pada 38% sampai 50% pasien dengan diabetes mellitus . Pada tahun tahun 1932, Root telah mencatat bahwa tuberkulosis paru berkembang 10 kali lebih sering pada pasien dengan diabetes.21 Proporsi penderita TB paru aktif jauh lebih tinggi diantara penderita DM dibandingkan dengan non DM.44

Terjadinya gangguan imunologis disebabkan adanya kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol.19 Diel melakukan penelitian di Hamburg tahun 1997 – 2001 memperlihatkan faktor-faktor seperti ketergantungan alkohol, penyalahguna obat, tunawisma dan tidak bekerja, secara bermakna berhubungan dengan putus berobat. Selain itu pada penderita dengan penyakit tertentu yang harus mendapat obat-obatan sejenis imunosupresan dan kortikosteroid juga dapat mengganggu imunolgis.5,26

2.7.2.6. Pekerjaan dan Pendidikan

. Pada umumnya yang terserang TB adalah golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Kemiskinan dan jauhnya jangkauan pelayanan kesehatan dapat menyebabkan penderita tidak mampu membiayai pengangkutan ke Puskesmas. Pada umumnya kebutuhan primer sehari-hari masih lebih penting dari pemeliharaan kesehatan. Status pendidikan pasien berpengaruh terhadap pemahaman tentang penyakit sehingga akan mempengaruhi kepatuhan berobat, angka kesembuhan dan keberhasilan pasien. Semakin rendahnya tingkat

(19)

pendidikan penderita menyebabkan kurangnya pengertian penderita terhadap penyakit dan bahayanya.19,29

Kim dkk.dikutip dari 29 melaporkan rendahnya kepatuhan berobat pasien TB berhubungan dengan tingkat pendidikan. Pasien TB paru dengan pendidikan menengah – tinggi mengetahui pengetahuan tentang TB paru lebih baik daripada pasien berpendidikan rendah, namun Wilkinson dkk dikutip dari 29 membuktikan pendidikan rendah tidak selalu berhubungan dengan rendahnya kepatuhan. Hubungan tingkat pendidikan dengan pengetahuan TB dan dampaknya terhadap kepatuhan berobat bervariasi diberbagai negara.

2.7.2.7. Pola Konsumsi Makanan

Suplai protein dan kalori konsumsi makanan mempengaruhi kepada mortalitas dan morbiditas TB. Adanya tambahan protein terutama protein hewani akan meningkatkan gizi penderita TB.19 Kebutuhan kalori protein perkilogram berat badan adalah 1.2 – 1.5 gr/kgbb atau 15% energi total asupan harian atau 75 – 100 gr/hari. Kalori yang dibutuhkan pada penderita TB meningkat, kebutuhan kalori yang direkomendasikan 35 – 40 kkal/kgbb ideal. Pada penderita TB dengan HIV/AIDS kalori yang dibutuhkan meningkat 20 – 30% dari nilai kalori yang direkomendasikan.43

Kebutuhan mikronutrien seperti vitamin dan mineral juga sangat diperlukan seperti vitamin E yang kebutuhannya 140mg dan selenium 200ug yang fungsinya menekan oksidasi stress dan meningkatkan antioksidan pada pasien TB bersamaan dengan pemberian OAT. Pemberian vitamin D pada penderita TB juga sangat baik, dosis yang diberikan 2.5mg/oral dengan dosis tunggal. Ini dapat meningkatkan imunitas antibakteri pada manusia.43

2.7.2.8. Resistensi OAT

Salah satu ketidakberhasilan pengobatan adalah resistensi kuman terhadap OAT. Penderita yang pernah minum selama satu bulan atau lebih dan tidak teratur akan semakin meningkatkan kemungkinan resistensi OAT terhadap Mycobacterium tuberculosis.3,5,7,19

(20)

Secara klinis resistensi TB dibagi atas 2 jenis yaitu resistensi primer dan resistensi sekunder. Resistensi primer adalah dijumpai kuman M. Tuberculosis yang resisten pada pasien yang belum pernah mendapat OAT ataupun sudah pernah mendapat pengobatan OAT tapi kurang dari satu bulan. Resistensi sekunder adalah resistensi yang terjadi pada penderita yang pernah mendapat pengobatan OAT selama satu bulan atau lebih.34,36

Bersamaan dengan meningkatnya kasus TB, terjadi pula peningkatan kasus TB yang resisten terhadap beberapa obat antituberkulosis (OAT) termasuk resistensi terhadap obat isoniazid (INH) dan rifampisin dengan atau tanpa resistensi obat lain.33 Di India resistensi terhadap INH dan streptomisin adalah 13,9 % dan 7,4 %, sementara terhadap dua obat atau lebih adalah 41%. Di Indonesia pola MDR-TB di Rumah Sakit Persahabatan tahun 1996 dan 1997 sebesar 5,8% menjadi 4,85% (resistensi primer) serta 24,45% menjadi 41,60% (resistensi sekunder).33

Laporan dari berbagai rumah sakit dan penjara, bermula dari daerah New York dan kemudian dari berbagai negara, dari Hongkong menyebutkan bahwa setidaknya sekitar 20 % infeksi tuberkulosis terjadi dari kuman yang telah resisten. Laporan dari Turki menyebutkan bahwa dari 785 kasus tuberkulosis paru

yang diteliti ditemukan 35 % adalah resistensi terhadap setidaknya satu jenis obat, yang resistensi terhadap sedikitnya dua macam obat adalah 11,6 %, tiga macam obat 3,9 % dan empat macam obat adalah 2,8 %. Di Pakistan resistensi terhadap rifampisin, INH dan etambutol dilaporkan masing-masing adalah 17,7 %, 14,7 % dan 8,7 %.

Penderita tuberkulosis cenderung terjadi reaktivasi dan salah satu kondisi yang dapat menyebabkan reaktivasi ini adalah diabetes melitus. Dari penelitian secara retrospektif (1987-1997) yang dilakukan oleh Bashar dkk. didapatkan angka MDR-TB pada penderita tuberkulosis dengan diabetes sebesar 36 %. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Suradi dkk. di Surakarta tahun 2002 didapat angka MDR-TB pada penderita tuberkulosis dengan diabetes sebesar 33,3 %.33,35

Multi Drug Resistant (MDR) TB menjadi masalah besar di dalam pengobatan tuberkulosis sekarang ini. WHO memperkirakan bahwa terdapat 50

(21)

juta orang di dunia telah terinfeksi oleh kuman yang resisten terhadap OAT dan dijumpai 273.000 (3,1 %) dari 8,7 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2000 disebabkan oleh MDR-TB.34

Gambar

Gambar I. Insidens TB Di Dunia (WHO, 2004) 6
Gambar II. Faktor Risiko Kejadian TB 6
Gambar III. Alur Diagnosis TB Paru Pada Dewasa 6
Tabel 1. Jenis dan Dosis OAT  3,6
+2

Referensi

Dokumen terkait

Selain neuron ini reseptor lain yang peka terhadap suhu adalah reseptor suhu kulit termasuk reseptor dalam lainnya yang juga menghantarkan isyarat terutama isyarat dingin ke

Tujuan penelitian ini yaitu untuk menganalisis literasi informasi Dinas Kominfo Kabupaten Pasuruan pada Kelompok Informasi Masyarakat (KIM) sebagai agen informasi (Studi

Perubahan Rencana Strategis (RENSTRA) Bagian Administrasi Sumber Daya AlamSekretariat Daerah Kabupaten Malang yang disusun dengan memperhatikan Rencana Pembangunan Jangka

Bab ini berisikan mengenai berbagai bentuk aktivitas bermusik yang mendukung peribadatan atau Kebaktian di Gereja Kristen Indonesia Jemaat Gejayan Yogyakarta

Faktor-faktor sosial ekonomi yang berpengaruh nyata terhadap adopsi teknologi padi sawah adalah pendidikan formal, pengalaman berusahatani, luas lahan garapan, jumlah tenaga

masyarakat Rembang sangat sulit untuk ditebak, meskipun sebagian mengatakan bahwa karakter memilih mereka cenderung pragmatis namun tidak semua begitu karena masih ada

Menu Utama (Contoh Versi BIOS: E7c) CMOS Setup Utility- Copyright (C) 1984-2010 Award Software MB Intelligent Tweaker(M.I.T.) Standard CMOS Features Advanced BIOS Features

Mampu mengintegrasikan prinsip biologi dalam pengembangan minat (botani, ekologi, mikrobiologi, dan zoologi) sesuai dengan kaidah ilmiah dengan benar 1.2.1..