• Tidak ada hasil yang ditemukan

UDI YULIAR 05.2.00.1.05.01.0043 PROGRAM S2 KONSENTRASI TAFSIR HADIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "UDI YULIAR 05.2.00.1.05.01.0043 PROGRAM S2 KONSENTRASI TAFSIR HADIS"

Copied!
256
0
0

Teks penuh

(1)

i

TAFSIR TEMATIK SYÎ’AH

(Studi Kritik terhadap Tafsîr Nafahât al-Qur’ân Uslûb Jadîd fî al-Tafsîr al-Maudhû’î li al-Qur’ân al-Karîm)

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dalam Ilmu Agama Islam

Disusun oleh

TO

UDI YULIAR

05.2.00.1.05.01.0043

PROGRAM S2

KONSENTRASI TAFSIR HADIS

Pembimbing :

Dr. Yusuf Rahman, MA.

SEKOLAH PASCA SARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2010

(2)

ii

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya :

N a m a : Udi Yuliarto

N I M : 05.2.00.1.05.01.0043

Konsentrasi : Tafsir Hadis

Tempat, Tgl. Lahir : Mempawah (Kal-bar), 19 Juli 1968

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis saya yang berjudul " Tafsir Tematik Syi'ah (Studi Kritik terhadap Tafsir Nafahât Qur`ân Uslûb Jadîd fî

al-Tafsîr al-Maudhû'î li al-Qur`ân al-Karîm karya Ayatullah Nasher Makârem

al-Syîrazî) " adalah benar-benar karya asli saya, kecuali beberapa kutipan yang secara akademik dapat dibenarkan. Apabila terdapat kesalahan dan kekeliruan dalam tesis ini maka sepenuhnya tanggung jawab saya pribadi.

Demikian pernyataan ini dengan sebenarnya dan untuk digunakan sebagaimana mestinya.

Jakarta, 19 Januari 2010 Yang Menyatakan,

(3)

iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis yang berjudul: "Tafsir Tematik Syi'ah (Studi Kritik terhadap Tafsir Nafahât Qur`ân Uslûb Jadîd fî Tafsîr Maudhû'î li Qur`ân

al-Karîm karya Ayatullah Nasher Makârem al-Syîrazî)" yang ditulis oleh Udi Yuliarto, NIM. 05.2.00.1.05.01.0043, konsentrasi Tafsir Hadis pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta telah diperbaiki sesuai permintaan, saran dan masukan pembimbing dan disetujui untuk diajukan ke sidang ujian tesis.

Jakarta, 19 Januari 2010 Pembimbing

(4)

iv

PENGESAHAN TIM PENGUJI

Tesis dengan judul : " Tafsir Tematik Syi'ah (Studi Kritik terhadap Tafsir Nafahât al-Qur`ân Uslûb Jadîd fî al-Tafsîr al-Maudhû'î li al-Qur`ân al-Karîm

karya Ayatullah Nasher Makârem al-Syîrazî) " yang ditulis oleh Udi Yuliarto, NIM. 05.2.00.1.05.01.0043, telah diujikan dan dinyatakan lulus dalam Sidang Munaqasyah Tesis yang dilaksanakan pada hari Kamis, tanggal 28 Januari 2010. Tesis tersebut telah diperbaiki sesuai petunjuk pembimbing dan penguji serta di terima sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Magister Agama dalam bidang Tafsir Hadis pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Mengetahui,

Tim Penguji Sidang Munaqasyah Tesis

Dr. Ujang Tholib, MA

Ketua Sidang / Penguji

---Dr. Yusuf Rahman, MA

Pembimbing / Penguji

---Prof. Dr. Suwito, MA

Penguji I

---Dr. Muchlis Hanafi, MA

(5)

---v

PEDOMAN TRANSLITERASI

A. Konsonan

ا

a

ض

dh

ب

b

ط

th

ت

t

ظ

zh

ث

ts

ع

'a

ج

j

غ

gh

ح

h

ق

q

خ

kh

ك

k

د

d

ل

l

ذ

dz

م

m

ر

r

ن

n

ز

z

و

w

س

s

ه

h

ش

sy

ء

'

ص

sh

ي

y

B. Vokal

Vokal Tunggal : ـــَـــ a ـــِـــ i ـــُـــ

u

Vokal Panjang : ﺎـــــ â ْﻲِـــ î ﻮـُـــ

û

Vokal Rangkap : ْﻲـَـــ ay ْﻮـَـــ aw

C. Lain-lain

- Transliterasi syaddah atau tasydîd ( ّ ) dilakukan dengan menggandakan huruf yang sama.

(6)

vi

diikuti dengan kata penghubung " – ", baik ketika bertemu dengan huruf qamariyyah maupun huruf syamsiyyah, kecuali dalam transliterasi ayat al-Quran.

- Transliterasi al-Quran dilakukan sesuai dengan bacaan aslinya dengan mengabaikan pemisahan antar kata.

Contoh :

ﻢﯿﻘﺘﺴﻤﻟا طاﺮﺼﻟا ﺎﻧﺪھا

=

ihdinash-shirâthal-mustaqîm, bukan ihdinâ al- shirâth al-mustaqîm. - Transliterasi kata " ﷲا " yang tersambung dengan kata lain sebelumnya

juga akan ditulis secara bersambung. Contoh :

ﷲا بﺎﺘﻛ

=

kitâbullâh, bukan kitâb Allâh

- Nama-nama dan kata-kata yang tel;ah ada versi populernya dalam tulisan latin, pada umumnya, akan ditulis berdasarkan versi popular tersebut.

D. Translasi

- Kecuali terjemahan al-Quran, dan kecuali dinyatakan sebaliknya, seluruh terjemahan dalam tesis ini adalah milik penulis.

- Untuk terjemahan al-Quran, penulis mengutip mushhaf al-Quran terjemah, Departemen Agama RI, edisi tahun 2002, dengan beberapa penyesuaian.

E. Lainnya

w. : Wafat

(7)

vii Abstrak

Judul Tesis : “ Tafsir Tematik Syî’ah (Studi Kritik terhadap Tafsîr Nafahât al-Qur'ân Uslûb Jadîd fi al-Tafsîr al-Maudhû’î li al-Qur’ân al-Karîm).” Penelitian ini berusaha membuktikan corak, pemikiran dan metode tafsir Nafahât al-Qurân Uslûb Jadîd fî al-Tafsîr al-Maudhû’î li al-Qur’ân al-Karîm karya Makârem al-Syîrâzi. Menurut subyektivitas penulisnya bahwa tafsir yang ditawarkannya menggunakan corak dan metode baru (uslûb jadîd). Jika dibandingkan dengan format metode tahlilî, menafsirkan al-Quran dengan format metode tematik masih tergolong baru, meski embrionya sudah ada sejak masa Rasulullah masih hidup. Seiring perkembangan zaman tafsir tematik berkembang hingga menemukan formulasi bentuk dan metodenya pada abad ke sembilan belas Masehi.

Pencetus metode tafsir tematik dari kalangan Sunni adalah Muhammad Abduh, kemudian ide-ide pokoknya diberikan oleh Mahmûd Syaltût (w. 1382 H. / 1963 M.), lalu diintroduksikan secara konkrit oleh Ahmad Al-Kûmî (Dosen tafsir di al-Azhar) ke dalam bukunya yang berjudul "al-Tafsîr al-Maudhû'î. Akan tetapi kajian metodologi tafsir ini menemui formatnya yang khusus baru tampak setelah diformulasikan oleh al-Farmâwî dalam karyanya al-Bidâyah fi al-Tafsîr al-Maudhû'î.

Jauh sebelumnya al-Majlisî (w. 1111 H.) dari kalangan Syiah juga melakukan penafsiran dengan format dan metode ini dalam karyanya Bihâr al-Anwâr, akan tetapi penafsirannya belum bersifat holistik masih pada bagian dan batasan masalah tertentu saja. Format yang berbeda tafsir tematik baru diintroduksikan oleh Ayatullah Muhammad Bâqir Shadr (w. 1980).

Kesimpulan dari penelitian ini membuktikan bahwa Makârem al-Syirâzî mengaplikasikan tafsir tematik dengan mengangkat tema-tema penting dalam Syiah (ushûl khamsah Syî'ah) menggunakan metode tematik riwayah, dengan langkah penafsiran sebagai berikut : Mengumpulkan ayat-ayat dari tempat yang berbeda yang memiliki kesamaan tema, dan menafsirkannya secara bersamaan dengan melihat kolerasi (munâsabah) ayat-ayat tersebut, sebagaimana yang dilakukan oleh al-Majlisî. Lalu ia memberikan penjelasan terhadap lafal-lafal ayat, diikuti dengan tanya jawab yang diurai menggunakan dalil dari Syiah atau dari Sunni yang mendukung pemikirannya, hal ini sebagaimana yang dilakukan al-Râzî dalam tafsirnya. Kemudian Makârem al-Syîrâzî memberikan kesimpulan yang diistilahkan natîjah, tsamrat al-Bahts, atau natîjat al-Bahts, sehingga penafsirannya dapat mengcover pembahasan secara holistik.

Meskipun Nafahât al-Qurân hanya membahas lima tema akan tetapi tafsir ini menggunakan beberapa corak, seperti kalam, filsafat, bahasa, kauny, dan sosial kemasyarakatan, Dengan demikian tampak tafsir tematik Syiah ini berbeda dengan tafsir tematik Sunni yang cenderung membahas tafsir dengan satu macam corak tertentu.

(8)

viii Abstract

Thesis Title : " Thematic Tafseer of Shiite (Critical Study of Nafahât al-Qur'ân uslûb jadid fî al-Tafsîr al-Maudhû'î li al-Qur'ân al-Karîm)."

This study sought to prove characteristic, thoughts and methods of Tafsîr in Nafahât al-Qurân Uslûb Jadîd fi al-Tafsîr al-Maudhû'î li al-Qur'ân al-Karîm by Makârem al-Shîrâzî. According to the subjectivity of the author that the interpretation is offered using the new character and method (uslûb Jadîd). When compared with the format tahlîlî method, interpreting the holy Qur'aan with the thematic method is still relatively new, though the embryo has existed since the time of the Prophet was still alive. As a thematic interpretation of the times to find a formulation developed forms and methods of the nineteenth century.

Originator of Sunni thematic interpretation method is Muhammad Abduh, and then the ideas just given by Mahmûd Syaltût (d. 1382 AH / 1963 AD), and then introduced in concrete by Ahmad al-Kûmi (Lecturer interpretation on al-Azhar) to in his book "al-Tafsîr al-Maudhû'î. But this method of interpretation specifically to meet the new look with al-Farmawî in his al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudhû'î.

Long before, al-Majlisî (d. 1111 AH) one of the Shiite, used also the same format and interpretation method in his Bihâr al-Anwâr, but the interpretation is not holistic and limitation on the specific problem. Different formats with new thematic interpretation introduced by Ayatollah Muhammad Bâqir Shadr (d. 1980).

The conclusions of this study to show that Makârem al-Shîrâzî applied thematic interpretation by lifting the themes in the Shi'a (five fundament of Shi'a) by riwâyah thematic method, with the following interpretation steps: Collect the verses from different places have in common themes, and interpreted in conjunction with seeing relation (munâsabah) these verses, as was done by al-Majlisî, then he gave an explanation of the pronunciation of verses, followed by a question and answer, using the argumentations of the Shia or the Sunnis who support his ideas; as done by al-Razi in his interpretation. And Makârem Al-Shîrâzî gave the conclusion, so that interpretation can cover holistic discussion.

Although Nafahât Qur'an only have five themes will be discussed but this interpretation using multiple patterns, such as theology, philosophy, language, kauny, and social, thus seem Shia thematic interpretation is different from the thematic interpretation of Sunni tend to deal with one kind of character.

(9)
(10)

x

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, kata yang pantas diucapkan sebagai rasa syukur kehadirat Allah yang mengatur perjalanan hidup ini. Shalawat dan salam bagi Nabi Muhammad, ahlu bait, anak keturunan, shahabat dan pengikutnya yang mengemban menjaga kalimat tauhid hingga akhir zaman.

Tesis ini jauh dari sempurna, masih banyak celah untuk dikritisi, ditambah dan dikurang. Ibarat berjalan di tengah kemacetan sedikit demi sedikit akhirnya tesis ini rampung ditulis. Dengan ini penulis berhutang kepada banyak pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis mengucapkan banyak-banyak terima kasih, penghargaan dan permintaan maaf dari hati yang paling dalam. Terutama kepada pembimbing bapak DR. Yusuf Rahman, MA. yang selalu mengoreksi dan memberikan masukan demi kesempurnaan tesis ini.

Tidak lupa juga dihaturkan terima kasih kepada bapak penguji proposal dan team work and progress, Prof. DR. Suwito, DR. Fuad Jabali, MA., DR. Ujang Tholib, MA, DR. Yusuf Rahman, MA. dengan kafabelitas dan gaya masing-masing yang berusaha untuk menggiring dan mengarahkan penulisan tesis ini agar lebih berkualitas dan "mendunia".

Tidak ketinggalan para dosen yang telah memberikan ceramah dan seminar dalam kelas. Dan telah membentuk kepribadian penulis dalam bertindak dan berpikir sebagai penyerapan ilmu yang telah diajarkan di SPs-UIN Jakarta ini. Oleh karenanya penulis mengapresiasikan dengan ucapan terima kasih yang mendalam kepada Prof. Dr. Nasaruddin Umar, Prof. DR. Ahmad Thib Raya, Prof. DR. Salman Harun, Prof. DR. Kautsar Azhari Noer, Prof. DR. Badri Yatim, DR. Rusmin Tumanggor, DR. Ahzami Samiun Jazuli, DR. Sahabuddin, DR. Luthfi Fathullah, DR. Mashuri Na'im, DR. Romlah Askar, DR. Abdul Choir, DR. Fuad Jabali, DR. Yusuf Rahman. Dengan harapan semoga apa yang telah diajarkan menjadi ilmu yang bermafaat.

Selanjutnya tesis ini tidak akan menjadi karya yang agak rasional tanpa teman diskusi, masukan pemikiran dan tenaga, motivasi dan materil dari berbagai kalangan. Khususnya kepada sahabat Lailial Muhtifah beserta suami, Anshor Bahari, Susilawati, Maryono, Muhammad Adib, Ichsan Iqbal, Dwi Surya Atmaja, Elfian Masri, Mustopa, Ahmad Lutfi Hidayat, Tengku Mairizal, Rasiam, Syarif Satimin, H. M. Sahar, Ben Belah Ben Ali, M. Masrur, Salim Rusydi Cahyono, Musa Syahab, Zaenuddin Abu Bakar, Muhammad Noor, M. Mabrur, dan teman-teman seangkatan 2005 juga teman-teman-teman-teman guru Pendidikan Agama Islam Sekolah Pascasarjana S2 program beasiswa angkatan 2008 yang tidak mungkin disebutkan satu persatu, saya ucapkan terima kasih dan permintaan maaf atas segala kasalahan.

(11)

xi

segala bantuan dan lowongan waktunya dalam membantu dan mencarikan literatur yang diperlukan.

Naif kiranya, jika lupa mempersembahkan rasa terima kasih ini kepada pejabat-pejabat STAIN Pontianak, Bapak Ketua STAIN Pontianak Drs. Haitami Salim, MAg., Bapak Pembantu Ketua Bidang Akademik STAIN Pontianak Bapak Drs. Fakhrurrazi Salim, M.Pd., Pembantu Ketua Bidang Administrasi dan Umum STAIN Pontianak Ibu Dra. Khaerawati, MPd, Ketua Bidang Kemahasiswaan STAIN Pontianak Bapak DR. Hamka Siregar, Kepala Bagian Tata Usaha STAIN Pontianak Bapak Drs. Hamzen Bunsu, M.Pd, dan pejabat STAIN Pontianak lainnya atas segala support dan bantuannya baik moril dan materil.

Dengan tesis yang sederhana ini penulis persembahkan kepada kedua orang tua bapak H. Abang Usman bin Abang Muhammad Noor dan Ibu Hj. Djumiati binti Muhammad Idris. Dan mertua H. Buchori bin Jalil dan Hj. Rawiyah binti Kasah. Juga kepada Istri Hj. Eva Ryanti, MT, dan anak-anak tercinta Sarah Busyra, Sufyan Ats-Tsaury Busyra, Galuh Sherin Busyra, juga adik-adik tersayang H. Iin Arianti sekeluarga dan Donny Usman sekeluarga. Penulis ucapkan terima kasih atas segala pengorbanan, kesabaran, bantuan moril dan materil selama penulis menempuh studi di UIN Jakarta. Semoga apa yang telah dilakukan menjadi amal yang bermanfaat demi keselamatan hidup dunia dan akhirat. Amien.

Jakarta, 19 Januari 2010

(12)

xii DAFTAR ISI

Hlm

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR SURAT PERNYATAAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ... v

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan ... 8

C. Penelitian Terdahulu Yang Relevan ... 11

D. Tujuan Penelitian ... 13

E. Manfaat / Signifikansi Penelitian ... 13

F. Metodologi Penelitian ... 13

G. Sistematika Pembahasan ... 15

BAB II : TAFSIR TEMATIK ANTARA SUNNI DAN SYIAH... 17

A. Pengertian Tafsir Tematik ...17

a.1. Menurut Ulama Sunni ... 17

a.2. Menurut Ulama Syi'ah ... 20

B. Sejarah dan Perkembangan Tafsir Tematik ... 25

C. Perbedaan Tafsir Tematik Syi’ah dan Sunni ... 39

BAB III : BIOGRAFI PENULIS DAN PROFIL NAFAHÂT AL-QUR’ÂN USLÛB JADÎD FÎ AL- TAFSÎR AL- MAUDHÛ’Î LI AL- QUR’ÂN AL- KARÎM ...50

A. Biografi Nâshir Makârem al-Syîrâzi ... 51

a.1. Pengalaman Pendidikan ... 51

a.2. Kondisi Sosial Politik yang Dihadapi ... 53

a.3. Karir di bidang akademik ... 56

(13)

xiii

B. Profil Nafahât Al-Qur’ân Uslûb Jadîd fî Al-Tafsîr al-Maudhû'î...62

b.1. Penyusunan Kitab ... 62

b.2. Metode dan Sistematika Kitab ... 64

BAB IV : TEMA-TEMA MAKRIFATULLAH DAN TAUHID DALAM NAFAHÂT AL-QUR’AN... 71

A. Tema Makrifatullah ... 71

a.1. Akal sebagai Sumber Makrifat ... 71

a.2. Motivasi akal, Kecenderungan (naluri), dan Fitrah sebagai Motivasi Mengenal Tuhan ... 94

1. Motivasi akal ... 95

2. Motivasi Kecendrungan [naluri] ... 110

3. Motivasi Fitrah ...119

B. Tema Tauhid ... 133

b.1. Tuhan Maha Suci dan Dzat yang Tidak Berjisim ... 133

b.2. Hidayah dalam Kehidupan Manusia ...147

BAB V : TEMA-TEMA AL-WILAYAT DAN ESKATOLOGI (AL-MA'AD) DALAM NAFAHAT AL-QUR’AN ... 152

A. Tema Al-Wilâyat (Kepemimpinan) ...152

a.1. Al-Wilayat al-Ammah ... 171

a.2. Al-Wilayat al-Khashshah ... 184

a.3. Para Imam adalah Orang yang Ma'shûm ... 197

B. Tema Eskatologi (al-Ma'ad) ... 201

b.1. Tajsid / tajassum al-A'mâl... 210

b.2. Kemustahilan Melihat Tuhan ... 223

BAB VI : PENUTUP ... 232

A. Kesimpulan ... 233

B.Implikasi penelitian ... 235

(14)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.

Aktivitas menafsirkan al-Quran berlangsung sesuai dengan perkembangan zaman, para mufassir menafsirkan al-Quran dengan kemampuan ilmu dan latar belakang yang mereka miliki dengan ijtihâd mereka, sehingga aktivitas yang didasari hal-hal itu memunculkan metode dan corak penafsiran yang bermacam-macam.1 Dalam kondisi seperti tersebut para ulama sangat antusias mengkaji metode-metode para mufassir sehingga muncul buku-buku yang berjudul Manâhij al-Mufassirîn.2

1

Metode-metode penafsiran secara umum yang dilakukan oleh para ulama adalah: a) Metode Tahlîlî, yaitu menjelaskan ayat-ayat al-Quran dengan cara meneliti segala aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya, dimulai dari uraian makna kosa kata, makna kalimat, maksud setiap ungkapan, kaitan munasabah ayat-ayat dan surah dengan bantuan asbab nuzul dan riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi saw., sahabat dan tabi’în; b) Metode Ijmâlî, yaitu menafsirkan al-Quran secara global. Dengan metode ini, mufassir berupaya menjelaskan makna-makna al-al-Quran dengan uraian singkat dengan bahasa yang mudah dipahami oleh semua orang; c) Metode Muqâran (perbandingan), yaitu menjelaskan al-Quran dengan merujuk kepada penjelasan-penjelasan beberapa orang mufassir, kemudian membandingkan pendapat mereka, dan memberi penjelasan, perbedaan dan persamaan pendapat para mufassir tersebut; d) Metode Muwdhû’î, yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Quran yang berkenaan dengan tema tertentu dengan mengumpulkan ayat-ayatnya yang terpisah pada surah-surah lain. Adapun Corak atau ragam penafsiran adalah : a) Tafsîr bi al-Ma’tsûr yaitu penjelasan al-Quran dengan ayat-ayat al-Quran sendiri atau penjelasan dari hadits Nabi saw. yang disampaikan kepada sahabatnya, atau penjelasan dari para sahabat dan tabi’in berdasarkan ijtihad mereka.; b) Tafsîr bi al-Ra’yi yaitu menafsirkan al-Quran dengan ijtihad mufassir setelah mengetahui ilmu bantu seperti ilmu asbab nuzul, ilmu bahasa Arab dan syair jahili, nasikh-mansukh, ilmu fiqh dan ushul fiqh. Para penafsir Tafsîr bi al-Ra’yi ini harus memiliki kayakinan agama yang benar dan mempunyai motifasi yang benar dalam menafsirkan; c) Tafsîr al-Shûfî yaitu tafsir yang diwarnai nuansa tasawuf; d) Tafsîr al-Fiqhî yaitu tafsir yang diwarnai nuansa fikih; e) Tafsîr al-Falsafî yaitu tafsir al-Quran yang telah terpengaruh oleh ilmu filsafat yang berkembang pada dinasti Abbasiyyah.; f) Tafsîr ‘Ilmî yaitu tafsir ayat-ayat yang dihubungkan dengan ilmu pengetahuan; g) Tafsîr Adab al-Ijtimâ’î yaitu tafsir ayat al-Quran yang berupaya memunculkan keindahan bahas, mu’jizat dan menjelaskan makna-makna dan maksud ayat-ayat serta memperlihatkan aturan-aturan al-Quran tentang kemasyarakatan; dan mengatasi. Persoalan-persoalan yang di hadapi umat Islam secara khusus dan permasalahan umat lainnya secara umum. Lihat, ‘Abd. al-Hayy al-Farmâwî, Al-Bidâyah fi al-Tafsîr al-Maudhû’î; Dirâsah Tahlîliyyah Maudhû’iyyah. Cet. II. (Kairo / Mesir : Maktabah Jumhûriyyah, 2002), h. 23-40.

2

(15)

Salah satu metode tafsir yang berkembang dan menjadi perhatian dewasa ini adalah al-Maudhû’î, atau metode penafsiran al-Qur’an yang menggunakan tema (tematik). Metode tafsir ini secara sederhana didefinisikan sebagai upaya dari para pakar tafsir dan ulama Islam untuk menggali lebih jauh, secara terinci kandungan-kandungan al-Qur’an, sehingga al-Qur’an benar-benar dapat menjadi petunjuk dan rahmat bagi manusia.3

Tafsir al-Maudhû’î secara fungsinya, berusaha untuk memahami al-Qur’an secara bulat dan utuh, karena al-Qur’an memang merupakan kitab suci yang ayat-ayatnya saling mendukung satu sama lain. Oleh karena itu, penafsiran al-Qur’an dengan metode tersebut, sejauh mungkin akan menghindari cara pemahaman al-Qur’an secara parsial. Penafsiran dengan penerapan metode itu sebetulnya telah dilakukan dan berkembang jauh sebelum metode al-Maudhû’î dikenal oleh para ulama, khususnya para ulama tafsir.

Hal tersebut tercermin ketika Rasulullah saw. menyampaikan wahyu Allah swt. dalam surat al-An’âm / 6: 82.4 Para sahabat pada masa itu merasa sulit memahami ayat di atas sehingga mereka bertanya kepada beliau: wahai Rasulullah saw., siapakah gerangan di antara kami yang tidak pernah berbuat zalim kepada dirinya sendiri ? Rasulullah saw. menjawab: “Maksud ayat ini bukan seperti yang kalian pahami, bukankah kalian pernah mendengar apa yang dikatakan oleh seorang hamba yang salih (Luqman), ketika menasehati anaknya yakni :

Harifuddin Cawidu, "Metode dan Aliran dalam Tafsir" dalam Majalah Pesantren No. 1/Vol. VIII/1991, h. 13.

(16)

Artinya: “Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar." (Q.S. Luqman/31 : 13)

Kata zhulm di atas ditafsirkan oleh Rasulullah saw. dengan syirik.5 Jadi, sesungguhnya yang dimaksud zhulm dalam ayat di atas (Q.S. Luqman/31;13), itu adalah syirik.6

Dari riwayat tersebut tampak bahwa Rasulullah saw. telah mengumpulkan dua ayat al-Qur’an yang berbicara tentang istilah zhulm. Ini merupakan contoh paling sederhana mengenai model tafsir al-Maudhû’î ketika itu.

Benih-benih al-Maudhû’î atau penerapan penggunaan metode al-Maudhû’î di masa Rasul menurut al-Farmâwî, berkembang pesat dan masih dalam bentuk yang sederhana hingga munculnya kitab tafsir seperti karya Al-Farrâ’ (w. 206 H.), Ibnu Mâjah (w. 273 H.), dan tafsir Jâmi’ Bayân karya Ibnu Jarîr al-Thabarî (w. 310).7 Demikian pula yang dilakukan oleh Fakhr al-Dîn al-Râzî (w. 602 H./1209 M.), al-Qurthubî (w. 671 H.), Ibn ‘Arabî (w. 638 H./ 1124 M.) dan lain-lain.8

Bersamaan dengan munculnya benih-benih metode maudhu’i, al-Farmawi juga mengatakan bahwa ia menemukan sebagian ulama-ulama setelah generasi mereka menggunakan metode tafsir yang lebih mendekati kepada tafsir maudhu’i.

5

Ziyâd Khalîl Muhammad al-Daghâmîn, Manhajiyat al-Bahts fi al-Tafsîr al-Maudhû’î li al-Qur’an al-Karîm. Cet. 1. (Ammân-Jordan: Dâr al-Bashîr, 1416 H./1995 M.), h. 17.

6

Hadis tersebut dari Abdullah Ibn Mas'ûd dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam Shahîhnya Bab. Mâ jâ`a fî al-muta`awwilîn, h. 260. No.Hadis 6424. Lihat juga Fath al-Qadîr tafsir QS. al- An'âm/62 ayat 82.

7

M. Quraih Shihab, Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudhui atas Pelbagai Persoalan Umat. Cet. VIII. (Bandung: Mizan, 1419 H./1998 M.), h. xii; lihat juga, M. Yudhie Haryono, Bahasa Politik Al-Qur’an; Mencurigai Makna Tersembunyi Di Balik Teks. Cet. I. (Bekasi : PT. Gugus Press, 2002), h. 148.

8

(17)

Misalnya saja, karya Ibn al-Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H./1350 M.) dengan al-Tibyân fi Aqsâm al-Qur’ân yang khusus membicarakan sumpah-sumpah di dalam al-Qur’an, Abû ‘Ubaidah dengan tafsirnya Majâz al-Qur’ân yang berbicara tentang berbagai majaz (kiasan), Abû Ja’far al-Nahhâs (w. 338 H.) dengan sebuah karyanya yang berjudul Nâsikh wa Mansûkh fi Qur’an, al-Wâhidî (w. 468 H.) dengan sebuah karyanya yang berjudul Asbâb al-Nuzûl, juga al-Jashshash (w. 370 H.) dengan sebuah karyanya yang berjudul Ahkâm al-Qur’ân dan lain-lainnya.9 Bahkan menurut Quraish Shihab, pembahasan masalah seperti itu mencapai puncaknya di bawah usaha Ibrahim bin ‘Umar al-Biqâ’î (w. 809-885 H.).10

Benih-benih atau embrio maudhû’i yang dihasilkan oleh para mufassir di atas dikembangkan pula oleh Syâthibî (w. 790 H./1388 M.) menjadi suatu dasar atau pokok-pokok hingga menjadi satu-kesatuan isi dan petunjuk dalam surat demi surat yang terdapat di al-Qur’an, dan dari dasar-dasar inilah perwujudan ide dalam satu kitab tafsir al-Maudhû’î baru dimulai sejak masa Syaikh Mahmud Syaltût (w. 1963 M.).11

Dari sini pula para ahli keislaman mengarahkan pandangan mereka kepada problem-problem baru dan berusaha untuk memberikan jawaban-jawabannya melalui petunjuk al-Qur’an, sambil memperhatikan hasil-hasil pemikiran atau penemuan manusia, baik yang positif maupun negatif, sehingga muncul banyak

9

Muhammad Husain al-Dzahabî, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn. Juz. I. (Cairo : Maktabah Wahbah, t.th.), h. 110; lihat juga, ‘Abd. al-Hayy al-Farmâwî, Al-Bidâyah fi al-Tafsîr al-Maudhû’î; Dirâsah Tahlîliyyah Maudhû’iyyah. h. 55.

10

Untuk lebih jelasnya mengenai komentar-komentar M. Quraih Shihab terhadap penerapan atau aplikasi metode al-Maudhû’î yang digunakan oleh al-Biqâî dapat dilihat pada, M. Quraih Shihab, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Cet. XIX. (Bandung: Mizan, 1999), h. 113.

11

(18)

karya ilmiah yang berbicara tentang satu topik tertentu menurut pandangan al-Qur’an.

Misalnya saja, Al-Mar'ah fi al-Qur'an karya ‘Abbâs Mahmûd al-‘Aqqâd, Al-Ribâ fi al-Qur'ân al-Karîm karya Abû al-A’la al-Maudûdi, Al-Aqîdah min Qur'ân Karîm karya Muhammad Abû Zahrah, Al-Ulûhiyah wa Risâlah fi al-Qur’ân al-Karîm karya Muhammad al-Samâhi, Al-Insân fi Qur’an dan al-Muqawwamât al-Insâniyah fi al-Qur’ân al-Karîm karya Ibrahim Muhnan, Ayât al-Aqsâm fi al-Qur’an al-Karîm karya Ahmad Kamâl al-Mahdî, Al-Washâyâ ‘Asyr karya Mahmûd Syaltût, Washâyâ Surat Isrâ’ karya Abd. Al-Hayy al-Farmâwî.

Akan tetapi karya-karya tersebut di atas pada kenyataannya belum menggunakan pendekatan kajian tafsir tematik melainkan hanya sebuah karya yang baru sebatas kepada kajian keislaman dengan tema tertentu menurut pandangan al-Quran. Berbeda dengan tafsir Nafahât Qur’ân Uslûb Jadîd fî Tafsîr Maudhû'î li Qur’ân Karîm yang ditulis Ayatullah Makârem al-Syîrâzi. Menurut penulisnya (subjektivitasnya) karya ini menyebutkan bahwa tafsir yang ditulisnya itu menggunakan metode tematik yang baru (uslûb jadîd).

Hal ini tercermin dari komentarnya ketika memberikan gambaran tentang karya tafsir yang menggunakan metode tematik, dan paling tidak karya tafsir yang menggunakan metode tematik selama ini memiliki bentuk dan corak.

Pertama, metode tematik yang digunakan oleh sebagian para ahli tafsir, yakni dengan menentukan tema terlebih dahulu yang berbeda-beda seperti tema akidah termasuk di dalamnya tauhid, ma’ad (hari akhir) dan sebagainya, atau tema-tema akhlak yang meliputi takwa, budi pekerti dan sebagainya, dan setelah menyebutkan uraian bahasan-bahasan itu barulah menyebutkan sebagian ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan tema tersebut.12

Untuk model atau pola penafsiran yang pertama menurut Makârem al-Syîrâzî banyak dijumpai dan digunakan dalam karya-karya tafsir yang telah disebutkan sebelumnya. Jadi, pola penentuan tema terlebih dahulu dan

12

(19)

menyebutkan bahasan dari sebagian ayat-ayat yang berkaitan menjadi unsur yang paling penting.

Kedua, metode tematik dengan penafsiran secara utuh setelah mengumpulkan ayat-ayat yang berkaitan dengan tema yang sama atau serupa di antara surat-surat berbeda, sebelum menguraikan lebih jauh tentang hal yang dibahas terlebih dahulu mengumpulkan ayat dan menafsirkan (satu persatu) dengan bersamaan, dengan tidak melupakan munâsabat (korelasi) kumpulan ayat-ayat tersebut sehingga penafsiran itu menjadi sempurna tanpa dibarengi ide dari si penafsir sendiri, akan tetapi jika dalam penafsiran diperlukan pendapat ulama atau hadis nabi maka hal itu termasuk dalam pembahasan kedua (berikutnya) dan dijelaskan secara terpisah.13

Model atau yang kedua inilah yang dianut Makârem al-Syirâzî dalam karyanya dan pola demikian ini menurutnya belum dilakukan ulama lain sebelumnya, sehingga ia mensinyalir bahwa apa yang dilakukannya itu sebagai metode yang baru sebagaimana tersebut di atas, yakni mengumpulkan ayat-ayat yang temanya sama dari surat-surat berbeda, setelah ayat-ayat terkumpul dilakukan penafsiran ayat-ayat secara bersama dengan mengindahkan kemunasabatan di antara ayat-ayat yang ada tanpa dibarengi ide si penulisnya.14

Berikut ini contoh model penafsiran tematik yang dilakukan oleh Nasher Makarem al-Syirazi dalam Nafahât Qur’ân Uslûb Jadîd fî Tafsîr al-Maudhû’î li al-Qur`ân al-Karîm adalah sebagai berikut :

1

Nasher Makârem al-Syirâzî, Nafahât al-Qur’an. Juz 1., h. 19. 14

(20)

3 Jadîd fi al-Tafsîr al-Maudhû’î. Dari kontek yang berbeda kedelapan ayat tersebut dikumpulkan menjadi satu tema atau topik yang disebut dengan al-Qur’an dan kewajiban ma'rifat / mengetahui (Allah swt.). Tema ini ada pada urutan yang kedua setelah tema pertama, yakni Kullu ‘amal bi Ism Allâh (setiap perbuatan harus didasari dengan nama Allah swt.).

(21)

persoalan-persoalannya kepada kita seperti cara yang mengajak kepada zuhd, taqwa, terhindar dari cinta dunia dan hal-hal yang mengarah kepada dosa.15

Berdasarkan ayat-ayat di atas kita mengetahui bahwa kalimat i’lamû dapat menjadikan spirit terhadap hal-hal yang berkaitan dengan urusan akidah, perilaku dan tata cara kehidupan, dan kata i’lamû sendiri mencakup ajakan kesadaran, pengetahuan dalam berbagai aspek.16

Dari contoh penafsiran di atas ternyata salah satu ciri metode barunya ialah terletak pada penentuan tema seperti “berilmu/pengetahuan” terlebih dahulu, lalu mengumpulkan ayat-ayat yang berkaitan dengan tema tersebut tetapi dari kontek yang berbeda dan di tafsirkan dengan bantuan munâsabat al-âyât, seperti contoh di atas.

Berdasarkan latar belakang yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa penelitian tentang Tafsir Tematik Syî’ah (Studi Kritik terhadap Tafsir Nafahât al-Qur'ân Uslûb Jadîd fi al-Tafsîr al-Maudhû’î li al-Qur’an al-Karîm” layak

untuk diteruskan atau dilakukan.

B. Permasalahan

Uraian dalam permasalahan di sini, akan dibagi ke dalam tiga hal berikut, antara lain : 1. Identifikasi masalah, 2. Pembatasan masalah, 3. Perumusan masalah. Berikut ini penjelasan ketiga di atas:

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka ada beberapa masalah yang perlu diidentifikasi yaitu :

1. Metode tematik yang berkembang sekarang ini tidak lain merupakan sebuah cara penafsir dalam menafsirkan al-Qur’an untuk menangkap pesannya. Mungkinkah muncul dalam metode tematik corak baru dalam penafsiran ?

2. Perkembangan metode tematik dimulai sejak masa Rasul akan tetapi metode ini relatif masih muda, dan metode ini baru menemukan

15

Nasher Makârem al-Syirâzî, Nafahât al-Qur’an. Juz 1., h. 53. 16

(22)

bentuknya setelah munculnya beberapa ulama yang memberikan perhatian terhadap penafsiran al-Qur’an dengan tematik atau topik karena dapat menangkap pesan al-Qur’an secara utuh dan holistik. Selain itu penafsiran dengan metode ini dapat memberikan solusi permasalahan zaman.

3. Terdapat sebuah pengakuan yang datang dari penulis tafsir Nafahât al-Qur`ân Uslûb Jadîd fî al-Tafsîr al-Maudhû’î bahwa tafsir ini menggunakan metode tematik corak baru dengan istilah uslûb jadîd. atau formula seperti inilah yang sekarang dibutuhkan, dan karenanya apakah dan bagaimanakah metode yang digunakannya ?

4. Adanya kemungkinan pengaruh pemikiran mufassir terhadap tafsir Nafahât al-Qur'ân Uslûb Jadîd fi al-Tafsîr al-Maudhû’î mengingat penulis tafsir itu secara akidah memiliki kecenderungan Syi’ah khususnya Syi’ah Itsna ‘Asyariyah (Syi'ah Imamiyah). Bagaimanakah posisi Makârem al-Syîrâzî dalam menguraikan tafsirnya terhadap sumber-sumber atau dalil-dalil yang datangnya dari Sunni atau dari Syiah ?

2. Pembatasan Masalah

Dari beberapa permasalahan di atas, penulis mengkaji secara khusus tentang metode tematik yang dilakukan Makârem al-Syîrâzî. Pembahasan mengenai metode tematik sebagai tematik baru tentunya menyangkut berbagai hal, dan karenanya penelitian tesis ini akan memfokuskan perhatiannya kepada permasalahan berikut ini, yakni mengelaborasi penafsiran ayat-ayat yang berkaitan dengantauhid, makrifatullah, wilayat, dan eskatologi (seperti hari akhir dan kehidupan setelah mati) menurut tafsir Nafahât Quran Uslûb Jadîd fi al-Tafsîr al-Maudhû’î li al-Qur’ân al-Karîm.

(23)

‘Aqâidunâ 17. Hanya saja jika dibandingkan antara buku ‘Aqâidunâ dan Tafsir Nafahât al-Qur’ân tentunya akan terlihat jelas dan sangat kontras. ‘Aqâidunâ hanya menjelaskan beberapa pemikiran keagamaan tentang akidah pokok dalam Syi’ah (al-ushûl al-khamsah) dan tidak dielaborasi dengan ayat-ayat al-Qur’an, sementara Tafsîr Nafahât Qur’ân menjelaskan secara elaboratif ayat-ayat al-Qur’an hingga menjadi satu-kesatuan yang utuh (holistik).

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah yang dikemukakan sebelumnya, maka permasalahan utama yang akan dikaji dalam penelitian tesis ini adalah corak, metode dan pengaruh pemikiran penulis dalam tafsir Nafahât al-Qur`ân Uslûb Jadîd fî al-Tafsîr al-Maudhû’î li al-Qur’ân al-Karîm hingga

17

(24)

menjadi sebuah klaim baru terhadap sebuah metode tematik yang berbeda dengan tematik-tematik lain yang berkembang dalam khazanah tafsir.

Dari permasalahan utama yang ada, dapat dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Apakah corak dan metode tafsir Nafahât Qurân Uslûb Jadîd fî al-Tafsîr al-Maudhû’î li al-Qur’an al-Karim yang ditulis oleh Ayatullah Nâsher Makârem al-Syîrâzi ?

2. Apakah bentuk atau warna klaim baru yang disebutkan dalam judul buku yang ditulisnya dapat dibuktikan secara deskriptif jika dibandingkan dengan metode tematik yang selama ini digunakan dalam kajian metode-metode tafsir dewasa ini, khususnya setelah metode itu menemukan bentuknya sebagaimana dicetuskan oleh Mahmûd Syaltût dan para ulama di masanya di satu sisi, sementara di sisi lain klaim baru merupakan subyektivitas seorang penulis, yakni penafsir itu sendiri.

3. Apakah ada pengaruh orientasi suatu pemikiran madzhab yang ditawarkan Ayatullah Nâsher Makârem al-Syîrâzî dalam karya tafsirnya, mengingat tematik yang dibangun sang penulis tafsir itu – secara formulasi – mengikuti tema dasar akidah Syiah, dan dimanakah letak perbedaan pemikiran dengan tafsir-tafsir Sunni ?

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Sepanjang pengetahuan penulis, penelitian tentang keinginan menganalisis tematik yang digunakan Nâsher Makârem al-Syîrâzî dalam tafsirnya belum pernah dilakukan oleh para penulis atau pengkaji tafsir. Karenanya, terdapat beberapa buku yang masih dianggap relevan dengan kajian penelitian tesis ini, dan di antara buku-buku yang dianggap relevan dengan kajian penelitian ini, antara lain;

(25)

perkembangan, pengertian, macam-macam, teori-teori tematik dan penerapan-penerapan penafsiran tematik.

2. Al-Tafsîr al-Maudhû’î Bayna Nazhariyyât wa al-Tathbîq; Dirasât Nazhariyat wa Tathbîqiyah Murâfaqah bi Namâdzij wa Lathâif Tafsîr al-Maudhû’îkarya Shalâh ‘Abd. Al-Fattâh al-Khâlidî. Buku ini telah diterbitkan oleh Dâr al-Nafâis pada tahun 1997 di Jordan. Buku ini hanya menjelaskan tentang teori-teori al-Maudhû’î, tinjauan dan penerapan contoh-contoh al-Maudhû’î, serta yang terpenting dari buku ini adalah informasi perbedaan tentang al-Maudhi’î dan al-Maudhû’î.

3. Nahw Tafsir Maudhui li Suwar al-Qur’an karya Muhammad al-Ghazali. Buku ini diterbitkan oleh Dâr al-Syurûq pada tahun 1995 di Kairo. Buku ini merupakan aplikasi tafsir tematik hanya saja dalam penerapannya buku ini disusun dengan tertib mushaf. Demikian pula dalam tematiknya, ia menerapkan tartib al-Suwar. Padahal, penulis buku ini mengklaim karyanya sebagai tafsir tematik yang menggunakan metode baru.

4. Isyarat-isyarat al-Qur’an tentang Makanan yang Sehat (Kajian Tafsir bi al-‘Ilm dengan Pendekatan Tematik). Buku ini merupakan karya tesis yang ditulis oleh Fairuzah dan dipublikasikan pada tahun 2005. Tesis ini hanya menjelaskan tentang indikasi-indikasi al-Qur’an tentang makanan yang sehat. Adapun tematik yang ada dalam pembahasan ini hanya digunakan sebagai pendekatan bagi pembahasan judul tesis. Bukan pengkajian metode tematik sebuah tafsir – dalam hal ini – tafsir Nafahât al-Qur’ân.

5. Sumber Sifat Buruk Dan Pengendaliannya (Kajian Tematik Ayat-Ayat Al-Qur’an). Buku ini merupakan karya disertasi yang ditulis Mahyudin dan dipublikasikan pada tahun 2007. Disertasi ini memang membahas tematik ayat-ayat akan tetapi terbatas pada ayat-ayat-ayat-ayat yang berkenaan dengan sumber sifat buruk dan pengendaliannya.

(26)

al-Ghazâlî dalam karyanya yang berjudul Nahw Tafsîr Maudhû’î li Suwar al-Qur’ân.

D. Tujuan Penelitian

Tujuan yang akan dicapai oleh peneliti melalui penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk menganalisa tafsir tematik Syi'ah, baik secara corak, metode, dan pengaruh pemikiran hingga menjadi suatu klaim baru yang dilakukan oleh Ayatullâh Nâsher Makârem al-Syîrâzî dalam bukunya, Nafahât al-Qur`ân Uslûb Jadîd fi al-Tafsîr al-Maudhû’î li al-Qur’ân al-Karîm.

2. Untuk menganalisa seberapa besar pergeseran dan perbedaan tafsir tematik syi’i yang dilakukan oleh penulis yang memiliki akidah atau keyakinan Syiah sebagai cara atau alat dalam menangkap pesan al-Qur’an secara utuh dan holistik.

E. Manfaat / Signifikansi Penelitian

Sudah menjadi kebiasaan bahwa setiap penelitian yang dilakukan memberikan kemanfaatan. Penelitian tesis ini diharapkan memberikan tambahan informasi tentang kajian tafsir tematik Syi’ah yang dilakukan oleh Ayatullah Nâsher Makârem al-Syîrâzi di atas, dan ini tentunya akan menambah informasi yang selama ini hanya disuguhi dengan tafsir-tafsir dengan bentuk atau wajah metode tematik Sunni yang sedang ramai ‘digandrungi’ para pengkaji tafsir.

Dalam kerangka yang lebih luas, manfaat penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan perhatian akademis untuk lebih mendalam lagi dalam permasalahan corak, metode dan pengaruh pemikiran tafsir tematik Syi’ah.

F. Metodologi Penelitian

1. Sumber Data

(27)

literatur.18 Selain kajian literatur yang digunakan, peneliti juga akan berusaha menanyakan kepada informannya langsung karena ia atau penulis tafsir tersebut masih hidup hingga sekarang ini khususnya Ayatullah Nâsher Makârem al-Syîrâzi.

Mengingat kajian yang dihasilkan itu adalah tinjauan literatur atau bahan-bahan yang bersifat kepustakaan, maka penelitian akan menggunakan paradigma kualitatif atau pendekatan kualitatif.19 Hal ini, agar tujuan yang akan dicapai terhadap penelitian yang dimaksud oleh peneliti senantiasa dapat mengikuti pertanyaan penelitian (research question) dan dapat pula dicapai pada penciptaan gambar yang holistik dan lengkap yang dibentuk dengan kata-kata, melaporkan pandangan informan secara terperinci dan disusun dalam sebuah latar alamiah.20

2. Analisis Data

Berdasarkan uraian sebelumnya, penelitian ini bertolak dari adanya sebuah karakteristik, klaim baru dan pengaruh pemikiran Syi’ah yang ada baik di Nafahât al-Qur`ân Uslûb Jadîd fi al-Tafsîr al-Maudhû’î li al-Qur’ân al-Karîm. Karenanya, mengingat yang diteliti dalam tesis ini merupakan hasil kerja pemikiran seorang tokoh yang hingga sekarang ini masih hidup, maka jenis metode penelitian yang digunakan adalah selain penelitian kepustakaan seperti yang telah disebut sebelumnya juga dengan responden via internet.

Oleh karena itu, penelitian kepustakaan yang dimaksud di sini akan bersifat analisis argumentatif, yakni melalui verifikasi tafsir tematik dengan melihat karakter, klaim tematik baru dan pengaruh pemikiran Syi’ah di masa sekarang ini.

18

Kajian literatur disebut juga kajian teori, studi literatur, studi pustaka atau juga studikepustakaan. Kajian atau pembahasan ini banyak menguraikan landasan-landasan berpikir yang mendukung penyelesaian masalah dari / terhadap penelitian yang bersangkutan. Lihat, M. Subana & Sudrajat, Dasar-Dasar Ilmu Penelitian Ilmiah. (Bandung : Pustaka Setia, 2001), h. 77.

19

Paradigma kualitatif atau pendekatan kualitatif secara umum didefinisikan sebagai sebuah proses investigasi dimana peneliti secara bertahap berusaha memahami fenomena sosial dengan membedakan, membandingkan, meniru, mengkatalogkan obyek studi. Lihat, John W. Creswell, Research Design; Qualitative & Quantitative (terj.). Cet. II. (Jakarta : KIK Press, 2003), h. 4-7.

20

(28)

G. Sistematika Pembahasan

Untuk memfokuskan pembahasan atau kajian maka penelitian terdiri dari enam bab. Adapun sistematika penulisan dari pembahasan tersebut sebagai berikut :

Bab pertama : Pendahuluan yang meliput tujuh sub bahasan; sub pertama, latar belakang masalah; sub kedua, permasalahan yang di dalamnya mencakup identifikasi masalah, pembatasan masalah dan perumusan masalah; sub ketiga, penelitian terdahulu yang relevan; sub keempat, tujuan penelitian; sub kelima, manfaat / signifikansi penelitian; sub keenam, metodologi penelitian; dan sub ketujuh, sistematika pembahasan.

Bab kedua : berisi tentang tafsir tematik antara Sunni dan Syi’ah yang mencakup tiga sub besar; sub pertama, tentang pengertian tafsir tematik menurut ulama Sunni dan Syi’ah; sub kedua, tentang sejarah dan perkembangan tafsir tematik; dan sub ketiga, tentang perbedaan tafsir tematik Syi’ah dan Sunni.

Bab ketiga : berisi tentang biografi penulis tafsir dan profil kitab nafahât al-Qur`ân uslûb jadîd fî tafsîr al-maudhû'î li al-Qur`ân al-karîm yang mencakup dua sub besar; sub pertama, tentang biografi Makârem al-Syîrâzî yang di dalamnya meliputi pengalaman pendidikan, kondisi sosial yang dihadapi, karir di bidang akademik dan karya-karyanya; dan sub kedua, tentang profil tafsir Nafahât al-Quran Uslûb Jadîd fi al-Tafsîr al-Maudhû’î li al-Qur’ân al-Karim yang di dalamnya penyusunan kitab, metode dan sistematika kitab.

Bab keempat : berisi tentang tema-tema makrifatullah dan tauhid dalam Nafahât al-Qur`ân Uslûb Jadîd fî al-Tafsîr al-Maudhû’î li al-Qur’ân al-Karîm yang mencakup dua sub pembahasan; sub pertama, tema makrifatullah yang di dalam menjelaskan akal sebagai sumber makrifat dan akal, kecenderungan, serta fitrah sebagai motivasi mengenal Tuhan; sub kedua, tema tauhid yang di dalamnya menjelaskan Tuhan Maha Suci dan Dzat yang tidak berjisim, serta hidayah dalam kehidupan manusia.

(29)

wilayat yang di dalamnya menjelaskan al-Wilâyat al-'Ammah, Wilâyat al-Khâshshah, dan para imam adalah orang yang maksum; sub kedua, tema eskatologi (al-Ma'ad) yang di dalamnya menjelaskan tajsîd al-A'mal dan kemustahilan melihat Tuhan.

Bab Keenam : berisi tentang penutup yang diakhiri dengan kesimpulan dan implikasi penelitian.

(30)

17 BAB II

TAFSIR TEMATIK (MAUDHǙ'I) ANTARA SUNNÎ DAN SYI'Î

Bab ini membahas tentang sebuah tinjauan terhadap tafsir tematik atau

tafsir yang menggunakan metode tematik. Terutama tafsir tematik Syiah yang

mencoba dipadukan dengan tafsir tematik Sunni. Di antara tinjuan ini ialah

bagaimana pengertian tafsir tematik menurut para ulama baik Syiah maupun

Sunni, sejarah dan perkembangan tafsir tematik di Sunni juga di Syiah, dan

perbedaan mendasar dari keduanya. Salah satu perbedaan mendasar dari

perbedaan tersebut adalah orientasi pemikiran yang dibangun mereka dalam

menulis tafsir. Termasuk orientasi Makârem al-Syîrâzî dalam menulis tafsir

Nafahât al-Qur'ân; Uslûb Jadîd fî al-Tafsîr al-Maudhû'î li al-Qur'ân al-Karîm yang sarat dengan keyakinan atau prinsip Syiahnya.

A. Pengertian Tafsir Tematik (Maudhu'i)

a.1. Tafsir Tematik Menurut Ulama Sunni

Berbagai metode penafsiran dilakukan oleh para penafsir pada saat

menafsirkan al-Qur'an dengan tujuan dapat menangkap pesannya. Dewasa ini

tafsir yang dianggap paling komprehensif dan dibutuhkan oleh masyarakat Islam

tanpa terkecuali dalam menggali pesan al-Qur'an adalah tafsir menggunakan

metode tematik. Hal ini karena metode tersebut memiliki ciri khas dan

keistimewaan jika dilihat secara definisi metode tersebut, dan karenanya para

pengkaji memberikan berbagai definisi metode tematik.

Musthafa Muslim memberikan pandangan yang bertolak dari pemahaman

terlebih dahulu pada defenisi dua kata yang terdapat di dalamnya, yakni "tafsîr"

dan "maudhû'î".1 Kata tafsîr menurutnya, adalah ilmu yang mengupas tentang makna-makna ayat al-Qur’an dan menjelaskan keinginan atau maksud Allah swt.

dalam ayat-ayat tersebut sesuai dengan kemampuan (ilmu) manusia. Sedangkan

makna kata "maudhû'î" adalah permasalahan atau semua yang berhubungan

1

(31)

dengan aspek-aspek kehidupan seperti akidah, tingkah laku, sosial, atau gejala

alam yang digambarkan oleh ayat-ayat al-Quran. Karena itu, Tafsîr

al-Maudhû'î atau tafsir tematik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang membahas berbagai masalah sesuai dengan tujuan-tujuan al-Quran, baik secara ayat perayat

atau satu surah atau lebih.2

Sedangkan Shalâh ‘Abd al-Fattâh al-Khâlidî tidak mendefenisikan tafsîr

maudhû'î secara terminologi, akan tetapi ia mendefenisikannya melalui

pembagian jenis atau corak dengan metode dan langkah-langkah dari tafsîr

maudhû'î itu sendiri. Oleh karena itu ia berpendapat bahwa tafsîr maudhû'î adalah suatu ilmu yang memiliki kaidah-kaidah, dan dasar-dasar yang mempunyai

metode dan cara-cara yang harus ditempuh oleh penafsir.3 Adapun definisi yang

dihasilkan melalui pembagian jenis atau corak tafsîr maudhû'îterbagi menjadi 1)

Tafsir maudhû'î untuk istilah-istilah al-Qurân, 2) Tafsir maudhû'î untuk

tema-tema yang terdapat di al-Quran, dan 3) Tafsir maudhû'î untuk surah al-Quran.4

Dari setiap jenis atau corak di atas, Shalâh ‘Abd. al-Fattâh al-Khâlidî

memberikan uraian dan langkah-langkah yang harus diimplementasi oleh penafsir

dan hal ini ia jelaskan dalam bukunya yang berjudul "Al-Tafsîr al-Maudhû'î baina

al-Nazhariyat wa al-Tathbîq."5

Selain dua pendapat di atas, terdapat pula Abd. al-Hayy al-Farmâwi

seorang ulama dan teoritikus metode maudhû'îyang mendefinisikan istilah tafsîr

mudhû'î melalui penggabungan pendapat-pendapat ulama kontemporer.6 Ia

2

Perlu dijelaskan di sini bahwa Musthafa Muslim tidak sekedar memberikan definisi

tafsîr maudhû'i begitu saja akan tetapi ia juga memiliki beberapa opsi pengertian dalam mendefinisikan kalimat tersebut. Tidak kurang dari lima opsi pendapat yang dikemukakan dari kalimat itu, dan pendapat di atas itulah yang menurutnya dianggap paling arjah (unggul). Karena, pendapat yang dikemukakan di atas itu dianggap menafikan pengulangan dan memberikan isyarat kepada dua jenis pengulangan yang paling pokok / utama, yakni "tafsir" dan "maudhû'i". Kemudian, untuk lebih jelas mengenai lima opsi pendapat tentang definisi yang dimaksud lihat, Musthafa Muslim, Mabâhits fi al-Tafsîr al-Maudhû'i. Cet.I., h. 15-16.

3

Shalâh Abd. Fattâh al-Khâlidi, Al-Tafsir Maudhû'i baina Nazhariyah wa al-Tathbîq Cet. I. (Jordan : Dâr al-Nafâis, 1998 M.), h. 30.

4

Al-Khâlidi, Al-Tafsir al-Maudhû'i, h. 52.

5

Untuk lebih jelasnya tentang langkah-langkah dan uraian corak tafsir dan jenis maudhu'i

di atas lihat, Al-Khâlidi, Al-Tafsir al-Maudhû'i, h. 52-59.

6

(32)

mendefinisikan hal tersebut sebagai (aktifitas) mengumpulkan ayat-ayat al-Quran

yang memiliki kesatuan tujuan dan membahas judul tertentu, menyusun ayat

sesuai dengan turunnya jika itu memungkinkan, memperhatikan sebab-sebab

turun ayat, memberikan uraian dan keterangan, komentar dan konklusi,

memisahkan (uraian ayat) dengan menggunakan metode tematik yang jelas

ditinjau dari segala aspek, dan mempertimbangkan landasan pengetahuan yang

benar untuk digunakan penafsir dalam membahas tema dengan sebenar-benarnya,

sehingga memudahkan untuk mengetahui arah penafsiran dan dapat menguasai

tema dengan baik.7

Jika dilihat dari definisi yang diberikan Abd. Hayy al-Farmâwi sebenarnya

belum memberikan defenisi yang relevan bagi tafsîr maudhû'î, akan tetapi

langkah dan syarat dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran untuk sebuah tema

secara ekplisit telah include pada definisi tafsîr maudhû'î tersebut.

Karena itu, lebih lanjut al-Farmâwi memperjelas pendapatnya dengan

membagi tafsîr maudhû'î menjadi dua jenis, yaitu 1) maudhû'î dalam arti

pembahasan tentang satu surah sacara keseluruhan dengan memberi uraian, tujuan

surah secara umum dan khusus, kemudian memperhatikan hubungan antara setiap

tema yang ada, sehingga tampaklah surah itu terurai dengan sangat terperinci dan

sempurna, 2) maudhû'î dalam arti mengumpulkan ayat-ayat al-Quran pada suatu

tema lalu meletakkan tema itu ke dalam judul tertentu untuk ditafsirkan sesuai

dengan metode tematik yang diharapkan.8

Dari beberapa pendapat di atas, hanya pendapat Musthafâ Muslim yang

hemat penulis dianggap relevan dalam mendefinisikan istilah tafsir maudhu'i,

sedangkan ulama lain hanya menggambarkan penjelasan tentang cara, corak atau

jenis dan langkah dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran sesuai dengan tema-tema

yang dibahas.

'Abd. Al-Hayy al-Farmawy, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhui; Dirasat Manhajiyat Maudhû'iyah. Cet. II. (Mesir : Maktabah Jumhuriyah, 1397 H./1977 M.), h. 52.

7

Al-Farmawi, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhui, h. 52.

8

(33)

a.2. Tafsir Tematik Menurut Ulama Syi'ah

Tafsir tematik tidak hanya dikenal dalam kelompok Sunni tapi juga di

Syiah. Hanya saja tematik yang dilakukan di Syiah berkisar pada hal-hal tertentu

dan pada tema khusus, dan hal demikian ini telah dilakukan oleh ulama-ulama

terdahulu mareka, sehingga sangat kecil kemungkinannya untuk menemukan

seorangpun dari mereka yang melakukan tafsir maudhû’î di setiap masalah.

Di antara ulama dari kalangan Syiah yang melakukan tafsir jenis ini adalah

al-Majlisi (w. 1111 H.)9 dalam karya masterpeace-nya yang berjudul Bihar

al-Anwar. Di karya ini, ia telah berusaha mengumpulkan ayat-ayat yang berkaitan dengan suatu tema dalam membahas setiap bagian dari kitab tersebut, kemudian ia

memberikan uraian yang lengkap dan terkadang mencantumkan beberapa

pendapat mufassir untuk berusaha menjelaskan apa yang disebutkan di antara

ayat-ayat yang ada. Inilah yang dimaksud dengan defenisi dan operasional tafsir

tematik yang dilakukan al-Majlisi di karyanya tersebut.

Misalnya saja, dalam jilid 27 ketika menguraikan tentang tema Qalb (hati

kecil), sama’ (pendengaran), bashar (penglihatan) dan makna keselurahan dari

al-Quran, ia mengumpulkan 10 ayat yang saling berkaitan. Setelah itu

mencamtumkan beberapa riwayat dari kitab al-Kâfi, lalu menguraikan semua

tema-tema di atas hingga tidak kurang dari 10 halaman.10 Demikian pula pada

jilid 23 dari tafsir Bihar al-Anwar pada pembahasan tema hakekat mimpi dan

ta’birnya, ia mencantumkan lebih dari sepuluh ayat al-Quran yang berkenaan

dengan tema itu, kemudian memberikan pembahasan dan tafsir hingga mencapai

beberapa lembar halaman.11

Selain di jilid 27 dan 23 yang telah disebutkan, pada jilid 9 khususnya bab

pertama yang membahas tentang apa yang seharusnya atau menjadi kebiasaan

9

Al-Majlisi ini memiliki nama lengkap Muhammad Baqir al-Majlisi. Ia lahir pada tahun pertama / awal 1037 H. dan wafat pada 1111 H. dalam usia kurang lebih 70 tahun. Ia dijuluki sebagai al-Majlisi al-Tsani, al-'Allamah al-Majlisi, Syaikhul Islam al-Majlisi, al-Fadhil al-Majlisi, al-Muhaddits al-Majlisi, dan penulis tafsir Bihar al-Anwar yang cukup besar. Untuk lebih jelasnya tentang sebutan tersebut dapat lihat, Muhammad Baqir al-Majlisi, Bihar al-Anwar; al-Jami'ah li Durar al-Akhbar al-Aimmat al-Athhar. Jld. I. Cet. 1. (Beirut : Dar al-Ta'aruf al-Mathbu'at, 1423 H./2001 M.), h. 19-21.

10

Al-Majlisi, Bihar al-Anwar. Jld. 27. Cet. 1. Juz. 2. Kitab al-Iman, bab 44. h. 185- 208.

11

(34)

orang-orang Yahudi, Nasrani dan kaum Musyrikin setelah hijrah, Al-Majlisi

menyebutkan 10 ayat dari surah-surah yang berbeda seputar tema yang ada,

kemudian menafsirkan ayat-ayat tersebut.12 Demikian pula al-Majlisi

melakukannya pada bagian-bagian lain dengan menggunakan metode yang sama.

Selain dari pada al-Majlisi adalah Muhammad Bâqir al-Sadr (w. 1980

M.)13 yang juga ulama modern Syiah. Ia menganggap tafsir tematik sebagai suatu

kajian atau diskursus tentang tema atau maudhû'î karena adanya realitas objek

luar yang dikembalikan kepada al-Qur'an sehingga seolah-olah mengajaknya

berdialog, atau dengan menarik ayat-ayat al-Quran yang membicarakan tema yang

sama dan mengumpulkannya dari surah-surah yang terpisah pada satu

pembahasan yang kemudian ditafsirkan.14

12

Al-Majlisi, Bihar al-Anwar. Jld. 9. Cet. 1. Juz. 3. Kitab Tarikh Nabiyyina Muhammad / Rasul, bab 37. h. 530- 649.

13

Muhammad Baqir al-Sayyid Haidar Ibn Ismail al-Shadr, seorang sarjana, ulama, guru dan tokoh politik. Ia lahir di Kazamain, Bagdad, Irak pada tahun 1350 H/1931 M. dari keluarga Sayyid (turunan Rasulullah saw.) dan keturuna religius termasyhur yang telah melahirkan sejumlah tokoh kenamaan di Irak, Iran, dan Lebanon. Pada usia empat tahun, Muhammad Baqir al-Shadr kehilangan ayahnya, dan kemudian diasuh oleh ibunya yang religius dan kakak laki-lakinya, Isma'il, yang juga seorang mujtahid kenamaan di Irak (mujtahid adalah seorang yang sangat alim yang telah mencapai tingkat tertinggi di kalangan teolog Muslim). Muhammad Baqir al-Shadr menunjukan tanda-tanda kejeniusan sejak usia kanak-kanak. Ketika berusia sepuluh tahun, dia berceramah tentang sejarah Islam, dan beberapa aspek lain tentang kultur Islam. Dia mampu menangkap isu-isu teologis yang sulit dan bahkan tanpa bantuan seorang gurupun. Pada usia 11 tahun, dia mengambil studi logika, dan menulis sebuah buku yang mengkritik para filosof. Pada usia 13 tahun, kakaknya mengajarkan kepadnya ilmu usul fikih (asas-asas ilmu tentang prinsip-prinsip hukum Islam yang terdiri atas al-Qur'an dan hadis, ijma', dan qiyas). Pada usia sekitar 16 tahun, dia pergi ke Najaf untuk menuntut pendidikan yang lebih baik dalam berbagai cabang ilmu-ilmu Islam. Sekitar empat tahun kemudian, dia menulis sebuah ensiklopedi tentang

Ushul, Ghayat al-Fikr fi al-Ushul (pemikiran puncak dalam Ushul), sembari mengajar fikih bahkan pada usia 30 tahun dia telah menjadi mujtahid. Karena ajaran-ajaran dan keyakinan-keyakinan politiknya, ia mengutuk rezim Ba'ats (Partai Saddam Husein) di Irak sebagai pemerintahan yang melanggar hak-hak asasi manusia dan Islam, dan karenanya ia ditahan dan dipindahkan dari Najaf ke Bagdad yang tidak lama dibebaskan lalu ditahan lagi di Najaf pada tahun 1979. Saudara perempuannya, Bint al-Huda, yang juga seorang sarjana dalam teologi Islam, mengorganisasikan protes menentang penahanan atas seorang marja'. Sejumlah protes lain seperti organisasi dari dalam dan luar Irak, menentang pemenjaraan tersebut, hingga ia pun dibebaskan dari penjara akan tetapi ia tetap dikenai tahanan rumah selama 9 bulan. Ketegangan antara dia dan Partai Ba'ats terus tumbuh. Dia mengeluarkan fatwa bahwa haram bagi seorang muslim bergabung dengan Partai Ba'ats yang dianggap komunis itu. Pada 5 April 1980 dia ditahan lagi dan dipindahkan ke Bagdad. Dia dan saudara perempuannya, Bint al-Huda, dipenjarakan dan dieksekusi 3 hari kemudian. Jasad mereka dibawa dan dimakamkan di al-Najaf. Lihat, Muhammad Baqir Sadr, Al-Madrasat al-Qurâniyyah telah diterjemahkan menjadi Pedoman Tafsir Modern. Cet. I. (Jakarta Pusat : Risalah Masa, 1992), h. cover belakang buku ini.

14

(35)

Jika dibandingkan kedua pendapat di atas terlihat jelas bahwa pendapat

Baqir Sadr boleh dibilang telah menemukan formulasi secara metode atau

langkah, sementara Al-Majlisi memberikan gambaran aplikasi atau langkah suatu

tafsir tematik dan belum memberikan defenisi yang pasti dari tafsir tersebut.

Senada dengan Baqir al-Shadr adalah definisi yang diberikan oleh

Muhammad Baqir Hakim salah seorang muridnya. Penjabaran secara luas tentang

pengertian itu diperluas oleh muridnya tersebut. Menurutnya, tafsir maudhû'î ini

dapat disebut sebagai pembahasan yang bertolak atas adanya studi tematik

tertentu yang dipaparkan oleh al-Quran pada satu masalah atau beberapa aspek,

dan hal ini untuk membatasi teori al-Quran dengan uraian dan batasan-batasannya

pada tema tertentu.15

Karena itu, menurut Muhammad Baqir Hakim, agar dapat mengetahui

tujuan tafsir maudhû'î dengan jelas seorang penafsir hendaknya memahami istilah

yang dibuat oleh gurunya (al-Shadr) yang telah mendefenisikan istilah tersebut

menjadi tiga makna : 1) Maudhû'î atau tematik pada posisi ayat-ayat dalam surat.

Tematik seperti ini memiliki konsistensi yang akurat dalam pembahasan dan tetap

berpedoman pada metode-metode keilmuan yang diakui (legal) terhadap

kebenaran realita dalam suatu masalah yang konkrit (real). Seorang peneliti tidak

terpengaruh dengan perasaannya dan tidak pula berpihak pada hukum atau hasil

yang didapatnya. Tematik seperti ini harus ada pada metode penafsiran tajzi'î dan

tematik dengan tanpa pengecualian, 2) Maudhû'î atau tematik yang dimaksud

tersebut dimulai dari pembahasan suatu obyek yang tidak lain ialah realitas luar,

kemudian obyek ini dikembalikan kepada al-Quran dengan tujuan mengetahui

posisi obyek luar tersebut. Berangkat dari obyek yang ada, penafsir dapat

memfokuskan perhatiannya melalui metode tafsir tematik kepada sebuah tema

dari tema-tema yang ada di kehidupan seperti permasalahan akidah, sosial atau

juga permasalahan alam (kosmos). Salain itu, memberikan upaya pemahaman

terhadap beberapa problem yang mempengaruhi pemikiran manusia seputar tema

dan cara pemecahannya, serta melepaskan apapun yang telah merasuk ke dalam

15

(36)

pemikirannya, kemudian penafsir menempatkan ayat al-Quran seraya

mendialogkannya seolah-olah (terlihat) penafsir bertanya dan al-Quran

menjawabnya. Semua itu bertujuan untuk mengetahui posisi al-Quran terhadap

obyek yang telah lepas tersebut. Demikian inilah yang disebut metode tauhîdî

(penyatuan), yaitu mencoba menyatukan antara pengalaman manusia dan ayat

al-Quran, dan hal itu bukanlah menarik / membawa pengalaman manusia agar

selaras terhadap al-Quran yang dianggap tidak bermakna. Akan tetapi al-Qur'an

menyatukan keduanya dalam pembahasan yang runtut sehingga mengeluarkan

hasil yang runtut tersebut, yakni pemahaman al-Qur'an akan mungkin membatasi

posisi Islam dalam pengalaman atau pemikiran yang bisa diterima, 3) Terkadang

tafsir tematik yang dimaksud adalah tafsir yang sesuai dengan tema dengan

gambaran bahwa penafsir memilih sebuah tema tertentu kemudian mengumpulkan

ayat-ayat yang berkaitan dengan tema lalu menafsirkannya hingga mendapat

kesimpulan dari pandangan al-Quran terhadap tema tersebut. Metode seperti ini

dapat pula disebut sebagai metode tauhîdî (penyatuan) karena menyatukan

ayat-ayat kedalam teori tertentu.16

Dengan demikian, jika dilihat dari tiga item di atas maka dapat di

simpulkan bahwa tafsir tematik di kalangan syiah lebih dikenal dengan nama

tafsir tauhîdî, dan poin pertama pada tiga item di atas tidak termasuk dalam pembahasan tafsir tematik, meskipun dalam pembahasan dan sifatnya sama-sama

membahas suatu tema namun perbedaannya tafsîr tajzî'î (klasifikasi) membahas

tema pada posisinya yang terletak dalam tafsir tartîbî dan membahas tema-tema

tertentu dalam tafsir tartîbî secara urut ayat-perayat. Sedangkan tafsîr maudhû'î (tematik) terlepas dari ikatan urutan ayat-ayat pada al-Quran.

Selain tiga ulama Syi'ah di atas adalah Makârem al-Syîrâzî, ia tidak

menggunakan istilah tafsir tematik dengan tauhîdi, hal ini tampak dalam

penamaan kitab tafsir tematiknya, meskipun dalam aplikasi dan langkah

penafsirannya ia memilih menyatukan ayat-ayat al-Quran dalam tema tertentu.

Makârem al-Syîrâzî memberikan defenisi bahwa tafsîr maudhû'î sebagai

pengumpulan atau mengumpulkan beberapa faktor baru dengan prasarananya

16

(37)

kemudian menyusunnya guna menyingkap orientasi pandangan sesuai dengan

persoalan tema yang ada hingga tema-tema yang jauh dan sulit sekalipun.17 Jika

dilihat dari definisi ini terkesan lebih luas jika dibandingkan dengan pendapat

ulama-ulama di atas.

Meski pendapat Makârem al-Syîrâzî terlalu luas bahkan bersifat abstrak, ia

juga menambahkan pendapatnya bahwa paling tidak tafsir tematik memiliki dua

cara yang biasa dilakukan para ulama dalam mendefinisikan tafsir yang

menggunakan metode tematik, antara lain18:

1. Menentukan berbagai tema seperti tema-tema akidah (tauhid, akhirat,

dan sebagainya), atau tema-tema akhlak (takwa, akhlak yang baik, dan

sebagainya), kemudian menyebutkan bahasan-bahasan filsafat, ilmu

kalam, atau juga bahasan-bahasan ahlak yang di dalamnya menyebutkan

beberapa ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan tema yang ada;

2. Penafsiran dimulai dengan mengumpulkan ayat-ayat yang berkaitan

dengan tema dari seluruh bagian al-Quran. Sebelum melakukan uraian

terlebih dahulu mengumpulkan ayat-ayat, melakukan penafsiran secara

bersamaan sambil mengumpulkan dan memperhatikan korelasi

(munâsabah) antar ayat agar dapat menghasilkan gambaran penafsiran yang sempurna. Sehingga dengan metode ini seorang penafsir sama sekali

tidak menambahkan pendapatnya, bahkan tafsir itu seolah-olah laksana

bayangan yang berada di belakang ayat-ayat al-Quran, setiap tafsirnya

adalah menyingkap kandungan ayat-ayat, dan jika diperlukan pendapat

para ulama lain atau hadis-hadis yang mendukung terhadap penafsirannya

maka akan diletakkan pada pembahasan tersendiri secara terpisah.

Ciri dan langkah yang kedua tersebut di atas yang dimaksud oleh

Makarem al-Syirazi dalam kitab Nafahât Qur`ân Uslûb Jadîd fî Tafsîr

al-Maudhû'î li al-Qur`ân al-Karîm sebagai metode baru dalam menyikapi al-Qur'an dengan menggunakan metode tematik. Dari metode ini pula dapat dibedakan

17

Nasher Makarem al-Syirazi, Nafahat al-Quran Uslûb Jadid fi al-Tafsîr al-Maudhû'i li al-Qurân al-Karîm. Juz. I. Cet. I. (Qom-Iran : Al-Haidari Muassasah Abi Shâlih li Nasyr wa al-Tsaqâfah), h. 9.

18

(38)

metode tematik yang digunakan oleh Makarem al-Syirazi dengan ulama lain baik

dari Syiah maupun Sunni.

Di antara perbedaan yang mencolok ialah setelah menyebutkan tema-tema

yang telah disebutkan, Makarem al-Syirazi seringkali menyebutkan bahasan

filsafat, kalam, atau juga ahlak. Sebelum melakukan uraian ia juga terlebih dahulu

mengumpulkan ayat-ayat dengan berurutan sesuai tujuan yang diinginkan dari

penafsiran tersebut, setelah itu ayat-ayat ditafsirkan secara bersamaan dengan

memperhatikan korelasi (munâsabah) yang dianggap semakna atau mendukung

makna yang dimaksudkan dengan melihat pada uraian makna-makna leksikal

ayat. Selain itu, dalam mendukung uraian tafsirnya, Makârem al-Syîrâzî juga

merujuk kepada hadis-hadis yang berjalur dari riwayat 'Ali bin Abi Thalib atau

juga para imam Syiah dan ahl Bayt, yang pembahasannya dipisahkan dari tafsir

ayat-ayat yang telah dikumpulkan dan telah ditafsirkan. Dalil-dalil dari hadis atau

riwayat ahl bayt tersebut dikelompokkan dan dielaborasi dalam pembahasan

tersendiri yang dinamakan idhâhât (uraian). Meski demikian Makârem al-Syîrâzî

terkadang juga merujuk kepada hadis-hadis Sunny yang mendukung

pemikirannya dan mengomparasikannya dengan sumber-sumber Syiah.

Meski dua metode tematik di atas sama-sama mengumpulkan ayat-ayat

yang mempunyai kesamaan tema, namun sesuatu yang berbeda yang dilakukan

Makârem al-Syîrâzî dari ulama lain yaitu terletak pada langkah penafsiran

ayat-ayat al-Quran. Ulama lain sering menyisipkan ayat-ayat-ayat-ayat al-Quran di antara uraian

dan tafsir ayat, sedangkan Makârem al-Syîrâzî terlebih dahulu mengumpulkan

ayat-ayat dan uraiannya datang setelahnya.

Berlandaskan munâsabat al-âyât (korelasi ayat) dan berlandaskan setiap

ayat-ayat al-Quran saling mendukung satu sama lainnya, maka akan tampak

Makârem al-Syîrâzî dapat mengumpulkan ayat-ayat yang konteknya berbeda-beda

tetapi mengarah kepada uraian tema yang sama.

B. Sejarah dan Perkembangan Tafsir Tematik

Jika secara umum tafsir atau aktivitas tafsir memiliki kronologi sejak masa

Referensi

Dokumen terkait