• Tidak ada hasil yang ditemukan

Motivasi Kecenderungan [Naluri] ( al-Hafiz al-'Athifi )

TEMA MAKRIFATULLAH DAN TAUHID

A. Tema Makrifatullah

2. Motivasi Kecenderungan [Naluri] ( al-Hafiz al-'Athifi )

Berbicara motivasi kecenderungan atau naluri seseorang untuk melakukan sesuatu yang dianggap baik seolah-olah tak lepas dari peribahasa yang mengatakan manusia sebagai hamba kebaikan. Makna ini dalam konteks motivasi kecenderungan atau naluri dianggap sama persis

116

dengan perkataan sahabat 'Ali bin Abi Thalib yang menyebutkan; "al-Insan 'Abd al-Ihsan,"117 atau "kebaikan hanya bisa muncul dari hati nurani,"118 atau juga "muliakan (utamakan) siapa saja yang kamu inginkan maka niscaya kamu akan menjadi rajanya."119

Sumber pemahaman ini memiliki kesamaan makna dengan hadis Rasul ketika ia bersabda; "sesungguhnya Allah swt. menjadikan hati hamba-Nya senantiasa mencintai orang-orang yang berbuat baik kepadanya dan membenci orang-orang yang berbuat jahat kepadanya."120

Baik perkataan 'Ali bin Abi Thalib maupun hadis Rasul menurut anggapan Nasher Makârem al-Syirazi seolah-seolah mereka ingin berpesan bahwa orang yang berbuat baik (berkhidmat) kepada seseorang atau memberikan kenikmatan kepada seseorang itu lalu akan menjadi tempat tambatan belas kasihannya, dan bahkan seseorang ini akan menyukai orang yang berkhidmat dan memberi nikmat tadi, maka ia akan mengenal dengan sepenuhnya serta bersyukur padanya, serta ketika kenikmatan ini dirasa penting dan bertambah maka gerak kecenderungan-kecenderungan untuk mengenal atau mencari Maha Pemberi Nikmat (al-Mun'im) dan bermakrifat kepada-Nya akan lebih sering (senantiasa muncul). Bahkan penelusuran Nasher Makarem al-Syirazi menyebutkan, dalam sejarah Islam para ulama ilmu kalam (al-'Ulama al-'Aqâ`id) sejak dahulu telah menjadikan masalah bersyukur kepada pemberi nikmat sebagai salah satu motivasi-motivasi untuk lebih teliti dan mendalam tentang seputar agama dan makrifat pada Allah swt., akan tetapi ia juga menekankan bersyukur kepada yang Maha memberi nikmat itu sebagai aturan yang sifatnya naluri sebelum ia diputuskan oleh akal.121

117

Abd. al-Wahid ibn Muhammad al-Tamimî al-Amûdî, Ghurar Hikam wa Dhurar al-Kalim (Qom : Dâr al-Kutub al-Islamî, t.th.), h. 50.

118

Abd. al-Wahid ibn Muhammad al-Tamimî al-Amûdî, Ghurar al-Hikam. h. 50.

119

Muhammad Baqir al-Majlisi, Bihar Anwar; Jami'ah li Durar Akhbar al-Aimmat al-Athhar. Cet. 1., Jld. 77., h. 421.

120

Abu Muhammad ibn al-Hasan ibn Ali ibn al-Husain ibn Syu'bah al-Harrânî, Tuhaf al-'Uqul 'an Ali al-Rasûl, telah ditashhîh wa tahqiq oleh 'Ali Akbar Ghifârî, (Qom : Muassasat al-Nasyr al-Islami, 1421H), bab Al-Mawâizh al-Nabi saw. wa Hikamuh., h.37.

121

Jadi, baik perkataan 'Ali bin Abi Thalib, hadis Nabi maupun penekanan para ulama kalam terhadap masalah bersyukur kepada Maha Pemberi Nikmat sebenarnya menggambarkan atau menunjukkan hal itu bersumber dari al-Qur'an.

Hal ini tercermin dari beberapa ayat yang menjelaskan tentang motivasi naluri seseorang untuk mencari, mengenal, dan membahas tentang Tuhan. Berikut ini ayat-ayat yang menerangkan hal tersebut, yaitu Q.s. al-Nahl/16 ayat 78 122.

Ayat ini oleh Nasher Makarem al-Syirazi, dianggap menegaskan tentang pentingnya kenikmatan Tuhan karena kenikmatan inilah yang akan menggerakkan rasa (naluri) sukur manusia dan mengajaknya kepada al-Mun'im (Maha Pemberi Nikmat / Rezeki), dan demikian pula bercerita atau menceritakan kenikmatan ialah satu perantara makrifat yang menerangkan al-Qur'an tentang al-'Ain (mata), Udzun (telinga) dan al-'Aql (akal).123

Bahkan menurutnya, melalui pendengaran (al-Sam'u) manusia akan dapat mengetahui berbagai ilmu-ilmu agama dan pengetahuan-pengetahuan yang lain, melalui penglihatan mata hati (al-Abshâr), penyaksian rahasia-rahasia tabiat dan keajaiban-keajaiban penciptaan alam akan mengenalkan manusia kepada ilmu-ilmu empiris, sedangkan melalui akal (al-'Af`idah) manusia juga akan mengenal ilmu-ilmu logika dan analisis-analisis filsafat.124

Pendapat Nasher Makarem al-Syirazi ini diamini juga oleh analisis-analisis bahasa yang menyebutkan bahwa meskipun penyebutan kata al-Sam'u, al-Abshâr dan al-Af`idahdihubungkan dengan huruf 'athaf

122 Q.s. al-Nahl/16 ayat 78 , sebagai berikut :

                       

Artinya : "Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur."

123

Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 32.

124

(waw) yang menunjukkan pentingnya urutan dalam ayat tersebut, akan tetapi urutan tabiat dan dasar penciptaan pada manusia dalam menerima pengetahuan lebih dahulu menggunakan pendengaran, penglihatan dan barulah penyebutan hati (akal), karena manusia tidak akan memiliki kemampuan melihat (al-Nazhar) dan menyaksikan (al-Musyâhadat) kepada batas-batas keletihan setelah ia dilahirkan, kedua matanya pun tidak dapat menembus kegelapan yang menutupi hingga batas tertentu, bahkan ketika itu juga telinga untuk pertama kalinya mendengar berbagai suara. Singkatnya, kemampuan akal dengan berbagai tugas dan fungsinya seperti membedakan dan merasakan dapat menghidupkan manusia setelah adanya penglihatan dan pendengaran, sedangkan yang dimaksud al-Fu`âd adalah akal yang telah matang dan mendalam, dan ia tidak akan berguna apa pun tanpa malalui proses inderawi,125 seperti yang dijelaskan di sub sebelumnya yang masih di bab ini.

Semua yang dijelaskan pada ayat di atas tentang kecenderungan naluri atau motivasi naluri memberikan isyarat bahwa tercapainya kesempurnaan akal secara utuh itu setelah kesempurnaan bagian-bagian inderawi melaluinya, bahkan hal ini yang menunjukkan suatu tujuan dari sebagian dinding kenikmatan, yakni menggerakkan indera manusia untuk senantiasa bersyukur, mengajak yang lain untuk mencintai Maha Pencipta, makrifat terhadap-Nya, dan ta'at kepada peritah-perintah-Nya.

Karena itu, anggapan ini oleh Nasher Makarem al-Syirazi, tidak bertentangan dengan sebagian ilmu-ilmu manusia baik dari segi ilmu maupun fitrahnya itu sendiri, karena pengetahuan-pengetahuan yang bersifat fitrah pada saat seseorang dilahirkan ke dunia ini sebenarnya ia sudah pasti ada dalam tabiat kemanusiaan yang siap-siaga dan menerima, dan tabiat ini bukanlah kebiasaan yang sifatnya perilaku atau perbuatan-perbuatan yang kemudian muncul dan datang setelahnya.126

125

Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 33.

126

Dengan demikian, ayat di atas menegaskan tentang gambaran motivasi kecenderungan atau dorongan naluri seseorang untuk melakukan sesuatu hal, termasuk mensyukuri kenikmatan kepada Sang Pemberi Nikmat dan proses kearah sana bisa dilalui setalah adanya inderawi yang kemudian memfungsikan inderawi tersebut dengan semaksimalkan mungkin.

Bahkan dorongan naluri juga tidak sebatas itu tapi juga mengenalkan manusia kepada ilmu-ilmu empiris, sedangkan melalui akal manusia juga akan mengenal ilmu-ilmu logika dan analisis-analisis filsafat. Jadi, motivasi seseorang untuk mengenal atau mencari Tuhan dapat dibuktikan dengan kecenderungan atau naluri manusia itu sendiri.

Motivasi kecenderungan atau naluri seseorang untuk mencari, mengenal, dan membahas tentang Tuhan-Nya dijelaskan juga dalam Q.s. al-Nahl/16 ayat 14.127

Ayat ini ditafsirkan Makârem al-Syîrâzî dengan mensyukuri nikmat Allah swt. atau manusia sudah seharusnya bersyukur kepada-Nya. Hal ini karena dalam ayat tersebut menyebutkan indikasi tiga kenikmatan yang berhubungan dengan dipilihnya lautan sebagai pendukung kelancaran rezeki Allah swt. dan wajib untuk disyukuri oleh manusia sebagai hamba sekaligus yang memanfaatkannya, di antaranya:128

127

Q.s. al-Nahl/16 ayat 14, sebagai berikut :

                                 

Artinya : "Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur."

128

Dalam konteks kenikmatan yang ketiga tentang keberkahan laut ini, penelusuran Nasher Makarem al-Syirazi menyebutkan, jika diperhatikan bahwa permukaan bumi 70 % tertutup oleh lautan yang menghubungi setiap kota, dan sebagian besar harta perdagangan diangkut dengan jalur ini bahkan transportasi juga menggunakan jalur ini. Lihat, Nasher Makarem al-Syarazi,

Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 33-34. Kemudian, mengenai kata "mawakhira" dalam kalimat "wa Tara al-Fulka mawakhira fihi" menurut sebagain penafsir lain (al-Fakhruddin Muhammad al-Razi, al-Lusi dan al-Qurthubi) menyebutkan, kata "mawakhira" ialah kata plural dari kata makhirah dan terderivasi dari asal kata fakhara yang mengikuti pola kalimat fakhara yang berarti "al-Syaqqu dan

1. Kenikmatan berupa daging-daging yang didapat dari laut seperti ditegaskan dalam kalimat lahman thariyya (daging segar), yakni daging yang selamanya tidak diupayakan oleh budidaya manusia akan tetapi kuasa Tuhanlah yang membudidayakannya, kemudian manusia diberikan izin untuk mengambil atau memilikinya sebagai nikmat yang besar, khususnya di masa sekarang banyak daging yang rusak (membusuk) sehingga ia berupaya mengawetkannya di waktu tertentu dan ada pula yang mengeringkannya dengan sengatan matahari, dan pada saat yang sama daging ini juga menimbulkan penyakit dan beracun bagi para pemburunya, meskipun daging-daging itu dengan mudah didapatkan baik dalam perjalanan laut maupun perjalanan pantai.

2. Kenikmatan berupa bahan-bahan kecantikan yang dikeluarkan dari tengah lautan dan senantiasa diupayakan oleh manusia seperti ditegaskan dalam kalimat wa tastakhriju minhu hilyatan talbasûnaha, dan hal ini menunjukkan bahwa Allah swt. juga tidak saja menganugerahkan bahan-bahan makanan seperti telah disebutkan tapi juga bahan-bahan kecantikan dan perhiasan untuk manusia.

3. Kenikmatan berupa keberkahan laut yang juga mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia saat ini, yaitu memanfaatkan laut sebagai jalan transportasi untuk pengangkutan barang, jasa dan keperluan manusia seperti ditegaskan dalam kalimatwa Tara l-Fulka mawâkhira fîhi.

Kemudian, penjelasan tentang tiga kenikmatan yang telah disebutkan oleh Nasher Makarem al-Syirazi dianggap sebagai jalan untuk menumbuhkan rasa syukur yang dapat mendorong untuk mengenal al-Kharaqa" (membelah dan menghancurkan) seperti ungkapan amwaj al-Ma (gelombang air) atau amwaj al-Riyah (gelombang angina), karena itu jika secara umum gelombang itu dibarengi dengan suara maka kata ini secara mutlak disebut sebagai hembusan angin kencang. Lihat, al-Fakhruddin Muhammad al-Razi, Tafsir al-Kabir. Jld. 7., h. 6-7; lihat juga, Mahmud Alusi al-Baghdadi, Tafsir Ruh al-Ma'ani. Jld. 5., h. 356; dan lihat juga, Al-Qurthubi, Al-Jami li Ahkam al-Qur'an. Jld. 5., h. 59-60.

(makrifat) Allah, sifat-Nya dan gerakan menuju kepada kesempurnaan yang mutlak, dan karena itu ayat ini menurutnya diakhiri dengan kalimatli tabtaghû min fadhlihî wa la'alakum tasykurûn.129

Dengan demikian, ayat di atas selain menjelaskan tentang tiga kenikmatan Allah swt. yang berpusat pada laut yang keberadaannya dapat menunjang dan bisa dimanfaatkan oleh manusia tapi juga dengan tiga kenikmatan ini akan mendorong kecenderungan atau naluri seseorang untuk senantiasa bersyukur kepada-Nya. Jika ia telah bersyukur maka berarti ia telah mengenal Maha Pemberi nikmat.

Selain dua ayat yang telah disebutkan sebelumnya, motivasi kecenderungan atau naluri seseorang untuk mencari, mengenal, dan membahas tentang Tuhan-Nya dijelaskan juga dalam Q.s. al-Nahl/16 ayat 114.130

Jika dilihat dari penafsiran yang diberikan oleh al-Zamakhsyari (w. 538 H.) terhadap ayat 114 dari surah al-Nahl ini maka pembicaraan yang ada dalam ayat ini hanya tertuju kepada para penyembah berhala di zaman Jahiliyah, sehingga seolah-seolah ayat itu berbunyi; "Jika kalian hendak menyembah maka sembahlah Dzat yang mengatur (memberi) nikmat kalian, lalu mengapa kalian menyembah berhala yang tidak memiliki peran apa-apa?".131 Demikian juga al-Alûsi yang melihat ayat itu secara zahirnya, sehingga pembicaraan yang terkandung dalam ayat hanya tertuju kepada orang-orang yang beriman.132

Sementara al-Thabathabai menganggap pembicaraan atau penunjukkan ayat tersebut tidak saja tertuju kepada orang-orang yang

129

Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 34-35.

130 Q.s. al-Nahl/16 ayat 114 :                      

Artinya : "Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah."

131

Abu al-Qasim Jarullah Mahmud bin 'Umar bin Muhammad al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyâf 'an Ghawamidh al-Tanzil wa 'Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta'wil, telah ditashhih dan

tartib oleh Muhammad 'Abd. Al-Salam Syahin. Cet. 1. Juz. 2. (Beirut : Dar al-Kutub al-'Ilmiyat, 1415 H./1995 M.), h. 615.

132

beriman tapi juga yang lainnya, yakni Kaum Musyrikin yang menyembah berhala-berhala dan tuhan-tuhan selain Allah swt.133

Karena itu, Makârem al-Syîrâzî mencoba menyempurnakan pendapat mereka dengan melihat pembicaraan ayat di atas tidak saja tertuju kepada orang-orang yang beriman saja tapi juga orang-orang kafir, karena secara zahir ayat memang tertuju kepada mereka semua, dan demikian pula karena ayat sebelum dan sesudahnya menunjukan pada pembicaraan orang-orang mukmin lebih sering disebut ketimbang kepada orang-orang kafir.134

Dari sini, jika dicermati tentang penafsiran Nasher Makarem Syirazi maka tentu terdapat perbedaan baik antara Nasher Makarem al-Syirazi dengan al-Zamakhsyari dan al-Alusi yang boleh dibilang kontras, maupun dengan al-Thabathabai yang sangat tipis atau tidak begitu kontras perbedaannya.

Bahkan Makârem al-Syîrâzî juga melihat sebagian kemulian atau keagungan ayat ini terletak pada korelasi antara pembicaraan nikmat, syukur, ibadah, yang kemudian dilanjutkan dengan makrifat kepada Tuhan dan Maha Pengatur atau Pemberi nikmat.135

Dengan demikian, baik penafsiran yang diberikan para mufassir maupun Makârem al-Syîrâzî terhadap ayat tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa perintah menyembah atau beribadah terhadap Dzat yang memberi kenikmatan tidak saja ditujukan kepada orang-orang kafir tapi juga orang-orang beriman yang dikhawatirkan lalai atau lupa. Kemudian, terlepas dari pembicaraan tentang ayat tertuju kepada siapa, yang jelas bahwa penjelasan semua ini akan menghubungkan kepada kecenderungan atau naluri seseorang untuk senantiasa makrifatullah, yakni bersyukur terhadap Maha Pemberi Nikmat.

Selain beberapa ayat yang telah diungkapan, terdapat pula beberapa hadis yang oleh Makârem al-Syîrâzî dianggap mendukung

133

Muhammad Husain al-Thabathabai, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an. Jld. 12., h. 364.

134

Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 35.

135

masalah motivasi kecenderungan atau naluri seseorang untuk mencari, mengenal, dan membahas tentang Allah swt. yang ditimbulkan dari rasa bersyukur kepada-Nya. Misalnya saja, hadis yang berbunyi:

"Dari Amir al-Mukminin' Ali bin Abi Thalib as. berkata: "Jikalau Allah tidak menjanjikan hukuman terhadap orang yang melakukan maksiat maka perbuatan yang diwajibkan adalah tidak berbuat maksiat sebagai rasa syukur terhadap nikmat-Nya."136

Ungkapan "wajib" dalam kalimat diwajibkan pada hadis ini oleh Makârem al-Syîrâzî dianggap sebagai kawajiban yang timbul dari kecenderungan atau naluri kasih-sayang manusia.137

Demikian juga hadis lain yang menyebutkan:

"Dari Imam Baqir berkata: Pada suatu malam Nabi berada di rumah Aisyah, dan ia bertanya kepada Nabi; mengapa dirimu senantiasa memaksakan beribadah padahal Allah swt. telah menghapus dosa-dosa yang telah lampau dan yang akan datang? Beliau menjawab: apakah aku tidak boleh menjadi hamba yang selalu bersyukur?!"138

Dengan demikian, dua riwayat yang telah disebutkan ini memiliki hubungan secara erat antara tema mensyukuri nikmat, mengenal Allah dan mematuhi segala perintah-Nya.

Selain motivasi akal dan motivasi kecenderungan atau naluri, urusan mencari, mengenal, dan membahas tentang Tuhan juga dapat dicapai melalui motivasi fitrah. Akan tetapi pembahasan tentang motivasi fitrah ini tidak seperti kedua motivasi sebelumnya yang membahas ayat-ayat al-Qur'an maupun hadis-hadis yang mendukungnya.

Karena, pembahasan terhadap motivasi yang ketiga ini hanya sebatas kelanjutan penjelasan dari kedua motivasi tersebut, sehingga ungkapan penjelasan yang disebutkan nanti akan bersifat kritik terhadap

136

Abu Hasan Muhammad bin Husain Musawi atau lebih dikenal Al-Syarif al-Ridha, Nahj al-Balaghat, telah disyarh oleh Syekh Muhammad 'Abduh. Jld. IV. (Cairo : Markaz al-Nasyr Maktab al-I'lam al-Islamî , 1411 H.), bab Mukhtar al-Hikam Amir al-Mu'minin., no. hds. 291., h. 727.

137

Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 36.

138

Abu Ja'far Muhammad bin Ya'qub bin Ishaq al-Kulaini al-Razi (w. 329 H.), Al-Ushul min al-Kafi. Juz. 2. Cet. 6. (Teheran : Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1375 H.), bab Syukur, no. hds. 6., h. 95.

pendapat-pendapat yang oleh Makârem al-Syîrâzî dianggap menyimpang karena didasarkan atas asumsi-asumsi atau dugaan-dugaan yang kurang tepat, dan di bawah ini adalah penjelasan tentang hal tersebut.