• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEMA MAKRIFATULLAH DAN TAUHID

B. Tema Tauhid

b.1. Tuhan Maha Suci dan Dzat yang Tidak Berjisim

Di al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang berbicara tentang Tuhan baik secara langsung maupun tidak langsung. Tidak sedikit ayat-ayat yang digunakan oleh para ahli tafsir sebagai argumentasi bahwa Allah swt. adalah pencipta alam semesta, sehingga tercipta kesan keagungan, ilmu dan kekuatan-Nya terhadap segenap mahluk-Nya; manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, tatasurya, segenap jagad raya ('Alam al-'Ulya) juga yang lain.

Mengenal atau mengetahui Tuhan dalam pilar rukun iman yang diyakini masyarakat Islam pada umumnya merupakan persoalan yang paling utama dan harus diketahui lebih awal sebelum seseorang meyakini adanya malaikat, kitab-kitab, Rasul, hari akhir dan qadha' dan qadar.171 Karenanya, secara hirarkis, iman atau percaya kepada Allah swt. ada pada urutan pertama, kemudian diikuti Rasul, kitab-kitab dan seterusnya.

Hirarkis tersebut menunjukkan persoalan mengenal Tuhan harus diutamakan sebelum keyakinan terhadap yang lain, termasuk perintah, larangan, dan sebagainya. Karena, Tuhan selain Maha Pencipta alam semesta juga Dzat Allah swt. yang bebas dari segala cacat dan kekurangan. Dia disifati dengan semua sifat kesempurnaan. Keyakinan ini dipercaya dan dipegang oleh umat Islam di seluruh penjuru dunia, tanpa terkecuali kelompok Syi'ah yang sangat menjauhkan dan menghindari anggapan berjisim (al-Tajsîm), atau penyerupaan (al-Tasybih) terhadap Tuhan, Ia adalah Dzat yang Maha Suci dari hal tersebut.

171

Untuk lebih jelas mengenai hal tersebut dapat dilihat misalnya, Abu al-Husain Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi, Shahih Muslim. Cet. 1. Jld. I. (Beirut : Dar al-Fikr, 1412 H./1992 M.), bab 1 [kitab al-Iman], no. 5., h. 28; lihat juga, Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Murri Hizami al-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi. Cet. III. (Beirut : Dar al-Fikr, 1398 H./1978 M.), h. 144-157 dalam "Kitab al-Iman".

Persoalan Tuhan dalam diskursus kelompok Syiah menjadi tema paling utama, dan hal ini terlihat pada saat kita membaca salah satu karya tafsir yang ditulis oleh para ulama mereka. Salah satu contoh tafsir yang memprioritaskan tema tentang Tuhan sebagai urutan yang paling utama adalah Tafsir Nafahat al-Qur'anyang ditulis Makârem al-Syîrâzî. Tafsir ini ditulis oleh penulisnya dengan menggunakan metode tematik, dan tidak sedikit ayat-ayat terkemas dalam tema-tema yang telah ditafsirkan dalam kitab tersebut, sebagaimana telah disinggung di bab III.

Dalam tema tauhid, khususnya pada tauhid dzat dan sifat terdapat tiga ayat yang menjelaskan tentang Tuhan tidak berjisim, tidak diserupakan, dan Ia Maha Suci dari hal tersebut.172 Adapun ayat-ayat yang menjelaskan hal tersebut yang dikumpulkan Makârem al-Syîrâzî adalah : 1) Q.s. al-Syûrâ/42 : 11,173 2) Q.s. al-Maidah/5 : 73,174 dan 3) Q.s. Al-Ikhlash/112 : 1-4.175

Menurut Makârem al-Syîrâzî, ayat pertama (Q.s. al-Syura/42 ayat 11) yang disebutkan di atas menjelaskan tentang kesucian Allah swt. dari segala

172

Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an, h. 253. Kemudian mengenai Tuhan tidak berjisim dan Maha Suci dari hal tesebut adalah salah satu pemikiran atau dasar-dasar yang di yakini kalangan Syiah dalam tafsir dan memahami al-Qur'an, sebagaimana telah disebutkan di bab II. 173 Q.s. al-Syûrâ/42 : 11 :  !  !   !  !  !   !   !  !!! !!

Artinya: "…Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat." 174 Q.s. al-Maidah/5 : 73 :                                              

Artinya: "Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga," padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih."

175 Q.s. Al-Ikhlash/112 : 1-4 :                              

Artinya: "Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."

apapun, Ia tidak berjisim dan Ia juga tidak serupa dengan yang lain, karena dzat Tuhan itu tidak dapat diproyeksikan baik secara khayalan, analogi, prasangka, maupun dugaan atau angan-angan, karena segala sesuatu yang mungkin diproyeksikan berarti dapat diserupakan setelah tersusun dan terbagi-bagi objeknya, dan demikian sebaliknya, yakni sesuatu (objek) yang sulit diserupakan bukanlah sesuatu yang dapat diangan-angan dan dilogikakan selamanya dan pengetahuan kita (manusia) hanya mampu menangkap bahwa Tuhan itu Ada, perbuatan-perbuatan dan pengaruh-pengaruh-Nya dapat disaksikan di alam jagat yang luas ini, lalu dari sifat-sifat demikian inilah yang mengantarkan sebagian pemahaman tentang Tuhan hanya memiliki sifat-sifat global saja, termasuk pengetahuan para nabi, rasul dan para malaikat al-Muqarrabîn yang juga tidak dapat menemukan hakikat dzat-Nya.176

Pengakuan tentang hakikat dzat Tuhan dalam ayat di atas juga diakui al-Majlisi (w. 1111 H.) yang juga sama-sama mufassir Syiah. Hal ini terlihat dari perkataannya yang menilai hakikat dzat Tuhan adalah puncak atau akhir dari kondisi seseorang dalam menaiki tangga ma'rifatnya terhadap Allah swt., dan pendapatnya ini dikuatkan dengan hadis populer yang berbunyi: "Kami tidak dapat (dianggap) makrifat terhdap-Mu dengan sebenar-benar makrifat."177 Bahkan hadis populer yang dirujuk oleh al-Majlisi dianggap Makârem al-Syîrâzî sebagai hadis yang benar-benar bersumber dari Rasulullah saw., karena menjelaskan gambaran atau apresiasi keindahan pengetahuan manusia terhadap Tuhan-Nya.178

Dengan demikian, persoalan dzat Tuhan atau hakikat dzat Tuhan sangat sulit dan paling sulit dibayangkan karena ia tidak bisa dilogikakan dengan akal dan pikiran manusia yang hanya ciptaan-Nya, dan argumentasi ini tidak saja

176

Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an Juz. III., h. 253-254.

177

Muhammad Baqir al-Majlisi, Bihar Anwar; Jami'ah li Durar Akhbar al-Aimmat al-Athhar. Cet. 1. Jld. II., h. 14.

178

Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an Juz. III., h. 254. Sayangnya, pada hadis tersebut di atas, Nasher Makarem al-Syirazi tidak menyebutkan sanad dan tidak malakukan penilaian sebagaimana pada tradisi di Sunni meskipun ia sendiri ulama moderat dari kalangan Syiah. Karenanya, hadis itu hanya disandarkan kepada Rasulullah saw. secara langsung tanpa menyebutkan para imam sebagai periwayat setelah Rasul.

diucapkan oleh Makârem al-Syîrâzî tapi juga al-Majlisi yang juga seorang ulma Syiah yang lebih dahulu muncul dalam kancah penafsiran ayat tersebut.

Karena itu, bagi Makârem al-Syîrâzî, ayat pertama (Q.s. al-Syura/42 ayat 11) ini ditafsirkan, penjelasan atau penegasan Tuhan tidak serupa atau tidak dapat diserupakan dengan yang lain ini menunjukan pembahasan tentang satu dalil tauhid yang di dalamnya mengandung arti bahwa Tuhan itu Ada, Tidak ada akhir dan batasan-Nya dari segala sisi, segala sesuatu selain-Nya ada akhir dan batasannya, dan karenanya tidak akan mungkin menganalogikan-Nya dengan yang lain, bahkan eksistensi kita, akal kita, pemikiran kita semuanya itu terbatas, kita tidak akan sampai kepada-Nya karena hakikat-Nya tidak terbatas.179

Penafsiran tersebut juga tidak saja diamini oleh penafsir Syiah seperti al-Majlisi tapi juga oleh mufassir Sunni seperti al-Alusi (w. 1270 H.). Karena menurutnya, penggunaan huruf al-Kaf pada ayat laisa ka-mitslihi syai`un selain merupakan huruf tambahan (zâ`idah) tapi juga huruf penguat (ta'kîd) yang berarti selamanya tidak akan ada sedikitpun yang serupa dengan-Nya, mungkin saja keberadaan, ilmu, dan kekuasaan-Nya ada dalam alam ini akan tetapi apa yang diciptakan-Nya itu tidak akan menyerupai-Nya, termasuk proyeksi secara fisik seperti tajsîm sekalipun.180

Meski alasan telah disebutkan oleh al-Alûsi, Makârem al-Syîrâzî tetap tidak sepakat dengan anggapan mereka yang mengatakan penggunaan huruf al-Kaf dalam redaksi ayat bukanlah huruf tambahan (zâidah), sehingga maknanya; "Tidak akan ditemukan sesuatu keserupaan dengan Allah swt.", dan demikian pula pada kata "mitsl" dalam redaksi ayat itu diartikan "dzat-dzat" sehingga seolah-olah maknanya dalam ungkapan bahasa seperti; serupa denganmu tidak ada orang yang melalui jalan yang sesat ini" atau "tidak pantas bagimu berbuat

179

Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an Juz. III., h. 254.

180

Kata atau kalimat "mitsl" dalam redaksi ayat di atas dalam penulusuran al-Alûsi menuturkan bahwa sebagian para mufassir menganggap kata itu sebagai zaidah (tambahan), akan tetapi Abu Hayyan menganggap kata tersebut sebagai isim dan semua isim tidak dapat dianggap sebagai zaidah, bahkan sangat berbeda dengan huruf "kaf" atau al-Kaf yang juga memiliki kesamaan makna (seperti), karena huruf ini merupakan kalimat huruf yang pantas sebagai zaidah, dan karenanya ia juga menganggap kalimat isim dalam bahasa Arab tidak selamanya dianggap sebagai zaidah. Untuk lebih jelas tentang keterangan ini lihat, Mahmud al-Alûsi al-Baghdadi, Ruh al-Ma'ani. Jld. 9., h. 19-21.

demikian." Demikian juga penelusurannya terhadap pendapat sebagian penafsir lain yang menganggap, penggunaan kata "mitsl" dalam redaksi ayat mengartikannya sebagai "sifat-sifat", sehingga maknanya;"segala yang ada tidak akan tersifatkan dengan sifat-sifat Allah swt."181

Jika diperhatikan tentang penafsiran Makârem al-Syîrâzî yang memiliki kesesuaian baik dengan al-Majlisi maupun al-Alusi melalui instrument bahasa maka sebenarnya ia ingin mengkritik sebagian penafsir lain yang menganggap Tuhan bisa serupa dan dapat diserupakan dengan yang lain meskipun penyerupan itu berbeda, atau dalam bahasa lain, Tuhan dapat diproyeksikan dengan apa yang ada di mahluk-Nya.

Dengan demikian, penafsiran terhadap ayat pertama bukan saja Makârem al-Syîrâzî sepakat terhadap tafsir yang dianggap seide dengannya dalam mengemukakan masalah tersebut atau juga kritik terhadap sebagian tafsir yang kurang seide dengannya. Akan tetapi yang lebih penting jika dilihat dari kronologi kemunculan tafsir ialah bagaimana ia dapat menjawab sebagian besar masyarakatnya,182 yang beranggapan Tuhan itu Tunggal dan bukan Dua (dalam proyeksi), dan pemahaman ini dianggap menyimpang bahkan tidak sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh 'Ali bin Abi Thalib dalam menafsirkan ayat tersebut, karena pemahaman tentang tunggal dalam bilangan yang ada pada ayat memaksudkan Tuhan itu Tunggal, tidak dapat diproyeksikan dua dan tidak pula ada wujud-wujud di luar bagi-Nya.

Oleh karena itu, pemahaman yang benar tentang tauhid dzat dalam pandangan Makârem al-Syîrâzî yaitu Allah itu Esa dan tidak dapat diproyeksikan dua, atau dalam ungkapan lain, tidak ada yang serupa dan tidak ada yang menyamai-Nya, juga tak ada sesuatu apapun yang sama dengan-Nya, karena Ia adalah wujud sempurna yang layak disifati dengan kesempurnaan tersebut, bahkan Makârem al-Syîrâzî juga menguatkan pendapatnya dengan mengutip hadis singkat dari imam al-Shadiq yang menjelaskan bahwa "Allah swt. lebih besar

181

Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an Juz. III., h. 254.

182

Masyarakat yang dimaksud di sini masyarakat yang ada di lingkungan dimana Nasher Makarem al-Syirazi hidup dan berinteraksi bersama mereka, yakni masyarakat hauzah ilmiyah

daripada segala sesuatu dan Ia Maha Besar daripada apa yang disifatkan kepada-Nya."183

Dari beberapa penjalasan di atas tentang penafsiran Q.s. al-Syura/42 ayat 11, Nasher Makarem al-Syirazi sangat tidak setuju kalau Tuhan dapat diproyeksikan dengan apapun, karenanya penafsiran tentang Tuhan tidak berjisim, Ia tidak serupa, dan tidak dapat diserupakan itu benar-benar berbeda dan tidak dapat dianalogi, diduga atau diangan-angan oleh akal dan pikiran mahluk-Nya.

Selain penafsiran yang telah disebutkan tersebut, Nasher Makarem al-Syirazi dalam menguatkan penafsirannya didukung dengan beberapa hadis,184 yang semuanya berasal dari jalur riwayat para imam. Misalnya saja, hadis riwayat Amir al-Mukminin, Ali bin Abi Thalib yang menyebutkan:

"Segala sesuatu itu tidak akan menyibukkan Allah swt., masa (waktu) tidak akan merubah kepada-Nya, tempat-tempat tidak akan menaungi-Nya, dan lisan-lisan tidak akan dapat menyifatinya kepada-Nya."185 Demikian hadis riwayat 'Ali bin Abi Thalib yang menyebutkan :

"Bagaimana mungkin seseorang yang lemah dari sifat mahluk semisalnya dapat menyifati Tuhannya."186

Hal serupa juga hadis riwayat 'Ali bin Abi Thalib yang menyebutkan :

183

Adapun hadis singkat yang dimaksud ialah ketika salah seorang murid imam al-Shiddiq bertanya kepadanya; "Adakah sesuatu lebih besar daripada Allah swt.?" imam al-Shadiq menjawab: "Allah swt. Maha Besar daripada segala sesuatu," lalu "apakah segala sesuatu itu kemudian lebih besar daripada-Nya?", kemudian seorang murid tersebut bertanya kembali;

"apakah maksud kalimat yang terakhir itu?" imam al-Shadiq menjawab: "Allah swt. Maha Besar daripada apa yang disifatkan kepada-Nya." Lihat, Abu Ja'far Muhammad bin 'Ali bin al-Husnain bin Babuyah al-Qumi atau lebih dikenal al-Shaduq, (w. 381 H.), Ma'ani al-Akhbar. (Qum : Majmu'ah Baqir al-'Ulum al-Tsaqafiyah, 1412 H.), h. 7., no. hds. 1.

184

Perlu dijelaskan di sini bahwa dalam masalah kesucian Tuhan dalam tauhid atau keyakinan, Nasher Makarem al-Syirazi dapat dianggap salah seorang ulama Syiah yang sangat ekstrim, karena dalam anggapannya, menyebutkan al-Tasybih atau menyerupakan Allah swt. dengan sesuatu yang lain merupakan sebagian dari dosa besar, dan pendapatnya didasarkan dari beberapa hadis riwayat imam 'Ali bin Abi Thalib dan salah satunya ialah ketiga hadis di atas ini. Lihat, Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an Juz. IV., h. 199-200.

185

Hadis di atas merupakan khutbah kedua yang disampaikan 'Ali bin Abi Thalib ketika ia masih hidup. Lihat, Abu al-Hasan Muhammad bin al-Husain al-Musawi atau lebih dikenal Al-Syarif al-Ridha, Nahj al-Balaghat. telah ditadhbith oleh Shubhi al-Shalih. Cet. 3., h. 46-47.

186

Hadis tersebut merupakan khutbah pertama yang disampaikan 'Ali bin Abi Thalib ketika ia menjelaskan suatu isyarat terhadap lemeh atau ketidakberdayaan manusia dalam memahami masala-masalah yang bertalian dengan urusan kehidupan dan kematian. Lihat, Lihat, Abu al-Hasan Muhammad bin al-Husain al-Musawi atau lebih dikenal Al-Syarif al-Ridha, Nahj al-Balaghat. telah ditadhbith oleh Shubhi al-Shalih. Cet. 3., h. 39.

"Tak ada nama, tak ada jasad, tak ada contoh, tak ada serupa, tak ada gambar, tak ada penyerupaan, tak ada batas, tak ada yang membatasi, tak ada tempat, tak ada pertanyaan; kapan, bagaimana, di mana, sedang apa, tidak berdiri dan tidak duduk, tidak ada tenang dan tidak ada gerak, tak ada kegelapan dan tak ada yang menerangi, tidak ada ruh dan tidak berjiwa, tidak ada tempat yang kosong dari-Nya, tidak ada warna kepada-Nya, tak ada gerakan hati kepada-kepada-Nya, tak ada rasa kepada-Nya."187

Demikianlah riwayat-riwayat yang dipakai atau digunakan ulama Syiah dalam urusan kesucian Tuhan atau Tuhan tidak serupa dan tidak pula dapat diserupakan dengan yang lain, dan semua riwayat yang bersumber dari para imam tentu merupakan salah satu ciri khas para ulama Syiah dalam menggunakaan sebuah hadis sebagai sumber otoritas setelah al-Qur'an.

Kemudian, jika ayat pertama di atas berkenaan dengan tauhid dzat Tuhan maka ayat kedua (Q.s. al-Maidah/5 ayat 73) dan ketiga (Q.s. al-Ikhlash/112 ayat 1-4) ini berkenaan dengan tauhid sifat dan dalilnya.

Potongan ayat dari Q.s. al-Maidah/5 ayat 73 yang berbunyi "laqad kafaral-ladzîna qâlû innallâha tsâlisun tsalâtsah"ditafsirkan Makârem al-Syîrâzî dengan suatu apresiasi yang mengibaratkan redaksi ini (seolah-seolah) menyatakan, "Allah swt. itu salah satu dari yang tiga" atau "orang-orang yang meyakini Tuhan itu tiga maka mereka telah kufur", dan jika demikian ibarat redaksinya maka menurutnya diperlukan sebuah iltifat,188 sehingga ungkapan itu menjadi "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan Allah swt. itu berasal dari tiga atau tiga dzat maka mereka telah kufur."189Di sinilah salah satu iltifat yang digunakan sebagai instrument penafsiran oleh Makârem al-Syîrâzî, karena

187

Hadis tersebut merupakan penafsiran Ali bin Abi Thalib ketika menafsirkan kata "al-Shamad" dalam surah tauhid atau ikhlash. Lihat, Muhammad Baqir al-Majlisi, Bihar al-Anwar. Jld. 3., h. 309.

188

Iltifat yang dimaksud di sini adalah iltifat menurut ahli tafsir dan ahli bahasa, karena

iltifat merupakan sebagian dari metode-metode mu'tamad dalam al-Qur'an. Menurut mereka, iltifat

ialah al-'Udul aw al-Sharf yang berarti "berpindah atau berpaling / memalingkan," dan adapun

iltifat dalam ilmu kalam bermakna mengalihkan sesuatu hal kepada sesuatu yang lainnya. Untuk lebih jelas mengenai iltifat ini baik jenis-jenisnya, sejarah maupun contoh-contohnya secara ringkas dapat lihat, Majmu'ah min al-Muallifin, Dirasat fi Tafsir al-Nash al-Qur'ani; Abhats fi Manahij al-Tafsir. Cet. 1. Juz. 1. (Beirut : Markaz al-Hadharat li Tanmiyat al-Fikr al-Islami, 2007), h. 261-267.

189

secara zahir ayat yang telah disebutkan terkesan tasybih dalam pemahamnnya, sehingga diperlukan iltifat dalam menafsirkannya.

Selain melalui instrumen iltifat dalam menafsirkan ayat di atas, Makârem al-Syîrâzî juga memberikan kritik terhadap perdebatan penafsiran para ulama tafsir. Misalnya saja, pendapat Fakhuddin al-Razi (w. 602 H./1209 M.) yang mengatakan, keyakinan terhadap Allah swt. itu adalah satu dalam tiga substansi; ab (bapak), ibn(anak), dan roh kudus, dan mereka berkata; Ia adalah Satu dalam substansi bilangan-Nya laksana matahari yang mencakup putaran, cahaya, dan panasnya, dan semua ini adalah satu dalam matahari.190 Dalam perkataan lain, sebenarnya Fakhruddin al-Râzî dalam pandangan Makârem al-Syîrâzî ingin mengatakan, yang dimaksud akidah atau tauhid dalam tatslits,191 itu pendapat yang menjelaskan tentang substansi keberadaan Tuhan itu satu, karena selamanya bilangan tiga tidak sama dengan satu kecuali salah satu dari kedua itu metafor (majazi) dan yang satu hakikat-Nya.192

Demikian pula al-Qurthubi (w. 671 H.) yang masih dianggap sepaham dengan Fakhruddin al-Razi tentang ayat tersebut, karena ia hanya memberikan isyarat pada kelompok-kelompok Kristen seperti al-Malkiyat (al-Malkaniyat), Nasthariyat dan Ya'qubiyat, karena mereka menganggap bapak, ibu dan roh kudus itu ilahun wahid (Tuhan Satu).193 Kedua pendapat di atas baik yang dikatakan Fakhruddin Razi maupun Qurthubi dianggap kurang tepat oleh Makârem al-Syîrâzî, karena mereka hanya menisbatkan akidah atau tauhid itu kepada semua

190

Fakhruddin Muhammad al-Razi, Al-Tafsir al-Kabir. Jld. 4., h. 52.

191

Tatslits atau trinitas yang terambil dari penafsiran "tsalitsu tsalatsah" di masa modern ini disebut trinitas. Trinitas ini dalam bahasa kamus memiliki tiga istilah lain yang sebenarnya maksudnya sama. Di antara tiga istilah yang sama tersebut ialah trinitas, trinitarian, dan trinitarianisme. Trinitas adalah pengakuan Imam Rasuli dalam Kristen katolik terhadap tiga tunggal, yaitu: Allah Bapak, Roh Kudus, dan Yesus Kristus. Trinitarian adalah penganut ajaran trinitas; umat katolik. Sedangkan trinitarianisme adalah pengajaran agama katolik tentang trinitas. Lihat, Pius A Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer. (Surabaya : Arkola, t.th.), h. 761.

192

Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. III., h. 255.

193

Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an. Jld. 3., h. 161. Bandingkan dengan penafsiran yang diberikan, Muhammad Rasyid Ridha (1865-1925),

Tafsir al-Qur'an al-Hakim al-Masyhur bi Tafsir al-Mannar. Juz. 6. (Beirut : Dar Kutub al-'Ilmiyah, t.th.), h. 399.

kelompok dari penganut Kristen dalam meyakini tatslits dan tauhid secara bersamaan.194

Kritik Makârem al-Syîrâzî tidak saja ditujukan kepada tafsir yang notabene Sunni sebagaimana di atas tapi ditujukan juga kepada tafsir Syiah seperti Tafsir al-Mizan karya Muhammad Husain al-Thabathabai (w. 1402 H./1981 M.), karena tafsir ini masih menafsirkan tsâlitsun tsalâtsah atau tatslits dalam ayat tersebut sebagai segala yang satu berasal dari yang tiga (bapak, ibu dan roh kudus) itu adalah Tuhan yang sama dengan segala yang satu di antara tiga tersebut, yakni tiga esensi dalam satu waktu yang bersamaan.195

Ketidaksetujuan Makârem al-Syîrâzî terhadap ketiga mufassir di atas didasarkan oleh alasan bahwa ayat yang ditafsirkan itu tidak dapat dimaknai secara zahir seperti yang dilakukan oleh mereka (ketiga penafsir), sehingga pembahasan yang ada hanya berkisar keyakinan seseorang dianggap kufur jika meyakini Allah swt. sebagai salah satu dari tiga dzat atau tak ada keyakinan yang mengharuskan kufur bagi siapapun yang beranggapan Tuhan itu tiga, dan ketidaksetujuan itu dibantah dengan apresiasi dan ucapan yang sangat kritis, yakni "bukankan Allah menjadikan segala benda-benda yang tampak termasuk bayangan atau angan-angan yang dianggap bisa menangkap-Nya sebagai salah satu dari ketiga dzat tersebut."196

Bahkan yang paling menarik ketika mengkritik ketiga mufassir, Makârem al-Syîrâzî mengutip hadis riwayat Ali bin Abi Thalib dengan tujuan dapat mendukung alasan yang diberikannya itu.197

194

Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. III., h. 255-256.

195

Muhammad Husain al-Thabathabai, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an. Jld. 6., h. 70-73.