• Tidak ada hasil yang ditemukan

Motivasi Fitrah ( al-Hafiz al-Fithri )

TEMA MAKRIFATULLAH DAN TAUHID

A. Tema Makrifatullah

3. Motivasi Fitrah ( al-Hafiz al-Fithri )

Fitrah atau al-Fithrat ialah perasaan mendasar dan mendalam yang tidak memerlukan bukti atau dalil akal apapun. Ketika manusia melihat pemandangan yang indah, atau bunga berwarna-warni yang mengeluarkan aroma dan semerbak wangi maka timbul perasaan mendalam untuk tertarik kepadanya, dan hal inilah yang dimaksud tanpa memerlukan bukti atau dalil akal di sini. Apalagi perasaan keindahan merupakan sebagian kecenderungan yang tinggi bagi etos manusia dan penggerak kepada agama khususnya bermakrifat kepada Allah swt. yang juga sebagian dari perasaan-perasaan substantif dan esensial, bahkan hal ini lebih kuat daripada motivasi-motivasi tabiat yang mendalam dan semua semangat manusia.139

Oleh sebab itu, penelusuran Makârem al-Syîrâzî terhadap persoalan tersebut menyebutkan bahwa umat manusia baik sejak dahulu hingga kini tidak akan memiliki sebagian akidah-akidah agama yang dapat mengatur pemikiran dan ruh mereka, dan inilah yang disebut tanda atau ciri perasaan yang mendalam.140

Terlepas dari hal tersebut, Makârem al-Syîrâzî juga berpendapat, sebagian dari fitrah tauhid ialah menghindari bukti-bukti makrifat kepada Allah swt. seperti bukti yang disertai dengan ciri-ciri tauhid yang dianggap kurang memperhatikan seputar masalah tersebut, dan hal ini dapat dicapai dengan menyebutkan satu titik dan menyegerakan sebagian penjelasan tambahan hingga ke pembahasan yang dimaksud. Karena itu, ketika al-Quran menyebutkan tentang kisah-kisah kebangkitan para Nabi yang agung maka sebenarnya telah menguatkan beberapa tempat dari titik ini,

139

Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 39.

140

yaitu risalah asli kenabian terwujud dengan hilangnya pengaruh-pengaruh syirik dan penyembahan kepada berhala (tidak ada penetapan keberadaan Allah karena objek ini tersembunyi di balik ke dalaman tabiat semua manusia).141

Dengan ungkapan lain, Makârem al-Syîrâzî ingin mengatakan, mereka belum dipaksa menanam "bibit penghambaan kepada Allah swt." di hati mereka, akan tetapi hanya diperintah untuk menjaga, memelihara dan menyirami "bibit" yang sudah ada dengan membuang dan membersihkan dari 'duri-duri' yang membahayakan dan dalam kondisi tertentu terkadang dapat membunuh bahkan menyuburkan dengan pertumbuhan sempurna. Misalnya saja, kalimat allâ ta'budû illâ Allah dan allâ ta'budû illâ iyyâh di sebagian besar perkataan para nabi dalam al-Quran merupakan ungkapan-ungkapan yang menunjukkan pada peniadaan atau penegasian berhala-berhala dan bukan penetapan keberadaan Allah swt. seperti yang didakwahkan oleh Nabi Muhammad bin 'Abdillah saw. (Q.s. Hud/11 : 2), Nuh as. (Q.s. Hud/11 : 26), Yusuf as. (Q.s. Yusuf/12 : 40), dan Hud as. (Q.s. al-Ahqaf/46 : 21).142

Bahkan dengan melihat salah satu keistimewaan manusia, Makârem al-Syîrâzî menganggapnya sebagai mahluk yang dalam semangatnya memiliki perasaan-perasaan fitrah lain yang mendasar, dan di antara sebagian dari fitrah-fitrah lain ini ialah rasa fitrah yang ada dalam jiwanya senantiasa sangat tertarik kepada ketinggian ilmu, pengetahuan dan pandangan-pandangan (views), dan lebih jauh, ia juga mempertanyakan apakah mungkin rasa fitrah ini dapat menyaksikan keteraturan alam yang menakjubkan dan luas ini sementara dirinya tidak ada rasa ingin tahu (ma'rifat) terhadap Sumber Keteraturan tersebut?143

Selain itu, Makârem al-Syîrâzî juga seolah-seolah menyangsikan hasil penelitian yang diberikan para ilmuan peneliti. Hal ini tercermin dari pernyataan yang ditujukan kepada mereka dengan ucapan apakah mungkin

141

Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 39.

142

Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 39-40.

143

seorang ilmuan dapat meneliti kehidupan semut dengan baik selama 20 tahun, atau ilmuan lain, yang juga ingin mengetahui sebagian kehidupan burung, pepohonan, atau ikan-ikan laut dengan tanpa motivasi rasa cinta yang masuk kepada ilmu? Apakah mereka mungkin tidak mengharapkan pengetahuan yang menjadi sumber keluasan tanpa henti mencakup berbagai hal sejak azali hingga selamanya?144

Dengan demikian, motivasi-motivasi atau dorongan-dorongan demikian inilah yang oleh Makârem al-Syîrâzî dianggap akan mengajak manusia untuk makrifat kepada Allah swt., atau akal akan mengajak kepada-Nya, atau juga motivasi-motivasi yang beroreintasi kepada-Nya, atau juga fitrah yang dapat menerima orientasi tersebut, dan inilah kesimpulan sementara tentang motivasi-motivasi yang terjadi dan semua ini pada hakikatnya bertujuan menjelaskan agama dan ma'rifatullah.

Tak kalah penting dari uraian-uraian yang telah disebutkan, Makârem al-Syîrâzî juga memberikan catatan-catatan penting yang sifatnya kritik terhadap teori-teori yang dianggap tidak berdasar bahkan menyimpang, bahkan ia juga heran dengan pendapat-pendapat yang dikemukakan tersebut.

Misalanya saja, dalam penelusuran Makârem al-Syîrâzî menyebutkan, ada sebagian pendapat dari kalangan sosiolog dan kaum Materialis Barat maupun Timur yang menganggap sumber kemunculan agama dan keyakinan pada tauhid disebabkan oleh kebodohan, atau rasa takut, atau faktor-faktor lain yang serupa dengannya. Penjelasan tentang hal ini dianggap tidak aneh bagi kelompok tertentu, karena merekalah yang memulai atau pertamakali berpendapat dan seolah-olah mereka juga yang membuat prosedur-prosedurnya sendiri dengan berbagai kesepakatan yang lebih maju, bahkan segala sesuatu yang berada di sekelilingnya tidak lain hanyalah alam materi, dan karenanya pula mereka berhak menafsirkan

144

semua yang zahir (tampak / kongkrit) melalui bantuan unsur-unsur materi tersebut.145

Di sisi lain, Makârem al-Syîrâzî mengetahui kalau adanya keyakinan-keyakinan agama akan mengancam pilar-pilar (paham) materialis, dan jika hal ini memberikan makna pada peristiwa pertikaian sengit antara gereja dengan para ilmuan (saintis) di abad pertengahan,146 maka boleh jadi dapat disimpulkan bahwa penafsiran-penafsiran materi terhadap agama dan keyakinan kepada Allah swt. itu adalah satu bagian dari kekalahan-kekalahan diskursus materi melawan agama.147

Belum lagi, pembahasan tiap-tiap teori dengan formulasi terpisah akan memerlukan cerita panjang yang memposisikan kita untuk masuk di dalamnya hingga jauh dari pola (warna) pembahasan tafsir, akan tetapi secara pasti di sana akan tampak sebuah isyarat dengan bentuk yang ringkas, bahkan akan berkali-kali terulang bahwa setiap tafsir-tafsir atau penjelasan-penjelasan ini berlandaskan atas dasar-dasar aturan yang maju (progresif), yakni menyerahkan pandangan dengan tanpa adanya alam di belakang tabiat dan adanya alam akan teringkas dalam alam tabiat jiwa tersebut. Karena itu, secara umum Makârem al-Syîrâzî mencoba memprediksi kemungkinan teori-teori atau ungkapan yang lebih mendalam tentang konteks permasalahan yang terbatas dalam lima dugaan-dugaan atau perkiraan-perkiraan, yaitu:148

1. Dugaan kebodohan (al-Fardhiyat al-Jahl)

Dalam dugaan ini, Makârem al-Syîrâzî mengkritik pendapat Samuel Knick seorang sosiolog yang menganggap ilmu dan kesenian dapat membuka sebab-sebab rahasia, hanya saja

145

Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 41.

146

Untuk lebih jelas mengenai pertikaian atau pergulatan antara gereja dengan para ilmuan dalam masalah ilmu dan moral ini dapat lihat, Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Cet. 13. (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2000), h. 233-236. Dalam keterangan yang sama juga dapat di lihat pada, Haniah, Agama Pragmatis; Telaah atas Konsepsi Agama John Dewey. Cet. 1. (Magelang : Indonesia Tera, 2001), h. 121.

147

Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 41.

148

sebagian besar dari sebab-sebab ini keluar dari kondisi keilmuan hingga ia tetap menjadi kumpulan rahasia, dan kebutuhan yang pasti terhadap sebab-sebab itu akan dapat mewujudkan kepada kemenangan agama.149

Demikian juga kritik Makârem al-Syîrâzî terhadap dugaaan atau asumsi salah seorang filosof materialis yang berpendapat bahwa jika manusia melihat dari sudut pandang sejarah maka akan terlihat anggapan bahwa ilmu pengetahuan dan agama adalah musuh yang tidak akan pernah berdamai, dan demikian ini sebabnya jelas sekali, bahkan orang-orang yang meyakini gerakan alam ini dengan sudut pandang hukum alam maka mereka tidak akan memberikan toleransi sedikitpun, karena dalam akalnya terdapat gambaran atau konsep tentang adanya kemungkinan sebab penciptaan terhadap hal-hal yang melarang atau mencegah (al-Mawani') dan hal-hal yang membuka (al-'Atsarât) dalam berbagai kejadian alam.150 Atau dengan ungkapan yang luas, mereka mengaku kalau ketidaktahuan manusia terhadap ilmu pengetahuan alam disebabkan oleh tabiat yang dapat menimbulkan gambaran (konsep) terhadap adanya kekuatan dibalik tabiat, atau yang menjadikan alam ini dan yang mengaturnya. Karena itu, ketika sebab-sebab telah menjadi jelas termasuk sebab tabiat maka ia juga akan mengembalikan agama dan keyakinan yang penuh kehambaan kepada Allah swt.

Pendapat itu oleh Makârem al-Syîrâzî dianggap sebagai kesalahan yang mendasar, dan kesalahan-kesalahan mendasar mereka dalam dugaan atau perkiraan bodoh itu bersumber dari dua hal; pertama,mereka mengira kalau beriman kepada adanya Allah

149

Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 42.

150

Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 42. Filosof materialis yang dimaksud di sini adalah Augus Comte yang dianggap oleh kalangan ilmuan Barat sebagai bapak sosiolog, dan untuk lebih jelas mengenai pendapatnya dapat lihat pada, Tom Campbell, Seven Theories of Human Society yang telah diterjemahkan oleh F. Budi Hardiman, Tujuh Teori Sosial; Sketsa, Penilaian, Perbandingan. Cet. 6. (Yogyakarta : Kanisius, 1994), h. 165-166.

dianggap sebagai penolakan terhadap hukum-hukum alam, dan mereka juga seolah-olah membedakan hal itu kepada sebab-sebab tabiat atau adanya Allah swt., dan demikian pula Filsafat Ketuhanan yang menganggap bahwa jika seseorang telah meyakini adanya hukum alam dan terbukanya sebab-sebab tabiat maka dapat dianggap sebagai salah satu keistimewaan dari cara makrifatullah,151 dan kedua, kelalaian mereka terhadap hal ini, bukankah manusia sejak dahulu hingga kini selalu berpandangan atau mengacu kepada aturan-aturan khusus yang mengatur alam? Aturan-aturan yang tidak akan mungkin lepas dari sebab-sebab atau asal-muasal yang tidak dirasakan oleh mereka, dan selamanya hal ini dapat diungkapkan sebagai tanda keberadaan Allah swt., bahkan setiap masalah yang timbul akan menunjukkan bahwa pengetahuan manusia tentang aturan-aturan ini dikenal sangat minim dimasa lampau dan ketika ilmu manusia berkembang maka hal-hal yang detail akan lebih tampak, yang kecil terlihat baru dan besar, dan demikian pula ilmu pengetahuan dan kemampuan kearah sana akan terlihat jelas dan mampu menjadikan adanya alam yang lebih banyak lagi.152

Dari sini dapat diyakini bahwa keimanan terhadap adanya Allah dan agama akan berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, dan setiap penemuan baru terhadap rahasia-rahasia alam ini sebenarnya merupakan terobosan baru untuk mengenal Allah dengan wajah yang lebih istimewa, dan demikian pula pengetahuan tentang Allah menurut orang-orang terdahulu

151

Anggapan kesalahan-kesalahan mendasar yang pertama disebutkan di atas bukan dalam konteks membahas tentang Allah ditengah perdebatan dan kejadian-kejadian misteri, tetapi hanya sekedar memberi masukan ditengah cahaya makrifat dan keteraturan alam yang ada, karena adanya keteraturan yang tersususun rapih merupakan tanda yang jelas bagi keberadaan sumber ilmu dan kemampuan atau kekuasaan terhadap alam yang ada ini. Lihat, Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 43.

152

dengan tingkatan keilmuannya berbeda dengan apa yang dikenal oleh orang-orang sekarang dalam perkembangan keilmuanya.

2. Dugaan Ketakutan (al-Fardhiyat al-Khouf)

Will Durant seorang sejarawan Barat terkenal berpendapat, rasa takut adalah induk pertamakali bagi adanya Tuhan, dan takut dari kematian menempati tempat terpenting dari sekian banyak rasa takut dan karenanya orang-orang dahulu tidak dapat membenarkan bahwa kematian itu sebagai gejala alam sehingga selamanya kematian dapat digambarkan sebagai penyebab dibalik kejadian alam.153

Hal serupa juga dikatakan Bertrand Russsell yang oleh Makârem al-Syîrâzî dianggap sebagai pengulangan saja dari Will Durant. Menurutnya, sumber agama itu berawal dari rasa takut dan hal-hal yang menyeramkan sebelum segala sesuatu seperti takut akan bencana alam, peperangan dan sebagainya, dan di antara sebagian rasa takut itu ialah perbuatan-perbuatan yang tidak layak dilakukan seseorang pada saat ia dikuasai oleh hawa nafsu.154

Dua pendapat di atas oleh Makârem al-Syîrâzî dianggap sebagai dugaan atau perkiraan yang tidak absah, sehingga seolah-olah mereka telah sepakat bahwa tidak ada sesuatu dibalik agama dan keyakinan yang penuh kehambaan kepada Allah swt., dan sudah sepantasnya jika penyebab semua ini adalah tabiat, yang berarti sebab yang kembali kepada jenis praduga dan khayalan belaka, dan karena inilah mereka selamanya menganggap

153

Pemikiran ini muncul ketika sosiolog Barat ini mencoba membahas tentang sumber-sumber kematian dari filosof Romawi yang bernama Lukrotius. Lihat, Will Durant, The Story of Philosophy. Jldd. 1., (New York : The Free Press, 1965), h. 89.

154

Apa yang digambarkan atau diartikulasikan Nasher Makarem al-Syirazi terhadap pendapat Bertrand Russell dalam konteks hubungan ilmu dan moral sebenarnya tidak sesederhana itu, dan karena itu lebih jelasnya dapat lihat, Bertrand Russell, The Scientific Outlook. (New York : W.W. Norton, 1962), h. 261.

urusan itu sebagai hal kecil yang juga menyebabkan lupa terhadap masalah yang pokok.155

Karena itu, Makârem al-Syîrâzî membenarkan kalau keimanan kepada Allah itu akan memberi ketenangan bagi jiwa, menumbuhkan rasa berani menghadapi kematian, bencana dan musibah, hingga mendorong jiwa seseorang untuk berani berkorban, akan tetapi ia lupa oleh apa yang ada didepan matanya seperti aturan-aturan yang mengatur bumi, langit, tumbuh-tumbuhan, sesuatu yang hidup, dan keberadaannya itu sendiri (sebagai manusia).156

Dengan kata lain, Makârem al-Syîrâzî ingin mengatakan, meski manusia menguasai ilmu pengetahuan, fisiologi dan sebagainya akan tetapi jika ia melihat susunan kedua mata, telinga, hati, tangan atau kaki maka niscaya ia akan terkagum dan tak terbayangkan untuk menguraikannya, yang dilihat hanya struktur yang unik dan menakjubkan, dan demikian juga jika melihat fenomena lain seperti terbitnya matahari bulan, tumbuhnya ranting dan bunga.

Bahkan Makârem al-Syîrâzî menganggap kalau semuanya itu adalah hal yang selalu dihadapi oleh manusia dan ini merupakan sebab utama timbulnya iman kepada Allah swt., akan tetapi mereka tetap saja masa bodoh dan bertahan pada pendapatnya, yakni pada dugaan ketakutan dan kebodohan? Apakah karena mereka takut akan tumbuhnya akidah atau keyakinan agama? Jika tidak, mengapa mereka meninggalkan jalan baik yang mendasar dan melangkah kepada jalan-jalan yang menyimpang? Kecuali aturan-aturan sebelumnya yang menyebabkan beralihnya pandangan mereka.157

155

Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 44.

156

Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 44.

157

3. Dugaan Faktor Ekonomi (Fardhiyyat 'Awâmil al-Iqtishâdiyyah)

Pengikut-pengikut dari dugaan ini oleh Makârem al-Syîrâzî adalah mereka yang meyakini kalau kekuatan yang menggerakkan atau merubah sejarah itu adalah bentuk dari media-media produksi, dan mereka juga mengungkapkan seluruh fenomena sosial sama dengan kebudayaan seperti pengetahuan, filsafat, politik hingga agama timbul disebabkan hal ekonomi. Mereka juga memiliki pemikiran bebas yang aneh dalam urusan agama dan problem-problem ekonomi, dan di antara sebagian kebebasan yang dikatakannya ialah tingkat penjajah pada komunitas manusia telah mewujudkan timbulnya agama yang berguna untuk mengatur dan memutuskan usaha sebagai perlawanan terhadap kemakmuran dan memberinya kekhawatiran-kekhawatiran (racun) memabukkan.158

Anggapan ini menurut penelusuran Makârem al-Syîrâzî, mengacu pada pendapat yang dicetuskan oleh Wladmir Ilyic Ulyanow alias Lenin dalam bukunya Sosialis Dan Agama (terj.) yang menyebutkan :

"Agama bagi masyarakat adalah ibarat benda yang memabukkan dan candu".159

158

Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 45.

159

Pandapat Lenin atau Wladmir Ilyic Ulyanow tentang agama di atas bersumber dari Karl Max. Max dalam anggapannya telah menemukan sesuatu yang penting setelah ia mengikuti paham filsafat Ludwig Feuerbach (1804-1872) dalam kritiknya terhadap agama, dan kritik agama Feuerbach ini yang kemudian menjadi titik tolak pemikiran Max kemudian. Paling tidak terdapat tiga hal yang dianggap sangat penting oleh Max sebelum sampai kepada anggapan bahwa agama adalah candu masyarakat atau rakyat yang beracun, anatara lain : 1) agama hanyalah tanda keterasingan manusia tetapi bukan dasarnya, dan keterasingan manusia dalam agama adalah ungkapan keterasingan yang lebih mendalam, 2) agama hanyalah sebuah pelarian karena realitas memaksa manusia untuk melarikan diri, dan terakhir atau 3) agama adalah realisasi hakikat manusia dalam angan-anagan karena hakikat manusia tidak mempunyai realitas yang sungguh-sungguh. Jadi menurutnya, agama adalah sekaligus ungkapan penderitaan yang sungguh-sungguh dan protes terhadap penderitaan yang sungguh-sungguh. Agama adalah keluhan mahluk yang tertekan, perasaan dunia tanpa hati, sebagaimana ia adalah roh zaman yang tanpa roh. Ia adalah candu rakyat atau masyarakat. Lihat, Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Max; Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Cet. 5., (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. 71-73.

Di antara sebagian yang mengikuti dugaan Kaum Sosialis adalah mereka menganggap diri mereka sendiri sebagai pendapat-pendapat yang bertentangan, dan mereka juga mengira pada saat menghadapi Islam, faktor ekonomi menjadi penyebab bangkitnya beberapa umat di dunia ini seperti Kaisar Romawi, raja-raja yang bertindak seperti Fir'aun di Mesir, dan raja-raja yang bertindak seperti Tubâba'ah di Yaman terpaksa mengecualikan Islam dalam kancah potongan sejarah. Bahkan ketika mereka memperhatikan gerakan-gerakan dan kebangkitan Islam sekarang melawan penjajahan Barat dan Timur juga gerakan intifadhah di palestina terhadap zionis Israel, maka mereka tidak memiliki jalan lain selain mengeluh mencari jalan keluar dengan menutup mata mereka terhadap agama.160

Karena itu, Makârem al-Syîrâzî dalam kritiknya, mengingatkan mereka (ilmuan Barat) agar memperhatikan sejarah modern dan sejarah lampau khususnya Islam, maka jelas sekali bahwa agama berbeda dengan apa yang mereka kira selama ini sebagai racun atau candu yang memabukkan, dan hal ini juga yang menjadi pendukung untuk timbulnya kekuatan masyarakat, problem ekonomi yang memiliki peran dalam kehidupan manusia dan membatasi manusia pada masalah ekonomi yang dianggap sebagai kesalahan besar dalam pengetahuan manusia.161

4. Dugaan Seksualitas (al-Fardhiyyat al-Jinsiyyah)

Dalam dugaan ini Makârem al-Syîrâzî lebih mengedepankan pendapat Sigmund Frued (1856-1939), yang dianggap orang pertama kali yang membahas hubungan insting seksual (libido) dengan agama, dan ia juga mencoba menjembatani antara timbulnya agama dan insting seksual tersebut.

160

Nasher Makarem al-Syarazi, Nafahat al-Qur'an. Juz. II., h. 45.

161

Hubungan dan jembatan antara agama dan seksualitas yang dibuat oleh Freud dan para pengikutnya didasarkan pada kisah fiktif kelompok masyarakat kuno yang menakutkan,162 yang kemudian disebut Totem dan Taboo, dan berdasarkan dua hal inilah ia juga berpendapat bahwa timbul atau munculnya keyakinan agama seseorang tidak bisa lepas atau sangat erat kaitannya dengan seksualitas yang ada pada manusia atau masyarakat itu sendiri.163

Dugaan seksualitas yang dikatakan Frued dan para pengikutnya dibantah oleh Makârem al-Syîrâzî dengan argumentasi bahwa cerita-cerita bohong atau mitos kelompok masyarakat tidak dapat diselesaikan dengan penyerupaan mitos dan tahayul, karena hal ini muncul disebabkan oleh ruh dan jasad manusia memiliki kecendrungan naluri yang bermacam-macam, ia juga memiliki insting sek tapi keberadaannya utuh atau sempurna, tidak dibatasi dengan insting sek saja, jasad cendrung kepada insting ini akan tetapi ruh akan cendrung kepada kebaikan.164

Dengan demikian, baik pandangan Frued, para ilmuwan sosialis maupun filosof materialis semuanya hanya terjebak pada satu sisi sudut pandang saja. Sudah seharusnya mereka merubah sandaran pandang mereka yang salah dalam melihat dan

162

Adapun kisah fiktif ini mengisahkan ada seorang ayah yang memiliki banyak istri, sedangkan pemuda-pemudanya menjadi musuh bagi sang ayah, mereka mengadakan unjuk rasa dan berujung pada pembunuhan sang ayah dan mayat sang ayah dimakan beramai-ramai, setelah itu mereka semua bertobat dan menyesali perbuatannya. Kejadian ini tidak membuat mereka perduli dengan kabilahnya, mereka selalu menjelek-jelekkan perbuatannya sendiri dan lambat laun dari sini timbul di antara mereka larangan dan aturan yang mereka namakan "taboo" dan "kapt", dan inti aturannya adalah larangan menikah dengan saudara perempuan (mahram). Frued menambahkan ceritanya dengan kisah kabilah lain yang juga tidak kalah buruknya dengan kisah tadi yang kemudian diberi nama "totem," dan adapun kisah yang dimaksud lebih buruk adalah ada seorang ayah pada salah satu kaum yang dianggap oleh kaum itu sebagai pelindung dan selalu memberikan nikmat. Karena masyarakat menghormati "totem" maka mereka menggambarkan