• Tidak ada hasil yang ditemukan

Untuk memfokuskan pembahasan atau kajian maka penelitian terdiri dari enam bab. Adapun sistematika penulisan dari pembahasan tersebut sebagai berikut :

Bab pertama : Pendahuluan yang meliput tujuh sub bahasan; sub pertama, latar belakang masalah; sub kedua, permasalahan yang di dalamnya mencakup identifikasi masalah, pembatasan masalah dan perumusan masalah; sub ketiga, penelitian terdahulu yang relevan; sub keempat, tujuan penelitian; sub kelima, manfaat / signifikansi penelitian; sub keenam, metodologi penelitian; dan sub ketujuh, sistematika pembahasan.

Bab kedua : berisi tentang tafsir tematik antara Sunni dan Syi’ah yang mencakup tiga sub besar; sub pertama, tentang pengertian tafsir tematik menurut ulama Sunni dan Syi’ah; sub kedua, tentang sejarah dan perkembangan tafsir tematik; dan sub ketiga, tentang perbedaan tafsir tematik Syi’ah dan Sunni.

Bab ketiga : berisi tentang biografi penulis tafsir dan profil kitab nafahât al-Qur`ân uslûb jadîd fî tafsîr al-maudhû'î li al-Qur`ân al-karîm yang mencakup dua sub besar; sub pertama, tentang biografi Makârem al-Syîrâzî yang di dalamnya meliputi pengalaman pendidikan, kondisi sosial yang dihadapi, karir di bidang akademik dan karya-karyanya; dan sub kedua, tentang profil tafsir Nafahât al-Quran Uslûb Jadîd fi al-Tafsîr al-Maudhû’î li al-Qur’ân al-Karim yang di dalamnya penyusunan kitab, metode dan sistematika kitab.

Bab keempat : berisi tentang tema-tema makrifatullah dan tauhid dalam Nafahât al-Qur`ân Uslûb Jadîd fî al-Tafsîr al-Maudhû’î li al-Qur’ân al-Karîm yang mencakup dua sub pembahasan; sub pertama, tema makrifatullah yang di dalam menjelaskan akal sebagai sumber makrifat dan akal, kecenderungan, serta fitrah sebagai motivasi mengenal Tuhan; sub kedua, tema tauhid yang di dalamnya menjelaskan Tuhan Maha Suci dan Dzat yang tidak berjisim, serta hidayah dalam kehidupan manusia.

Bab Kelima, : berisi tema-tema wilayat (kepemimpinan) dan eskatologi (al-Ma'ad) dalam Nafahât Quran Uslûb Jadîd fi Tafsîr Maudhû’î li al-Qur’ân al-Karîm yang mencakup tiga sub pembahasan; sub pertama, tema

wilayat yang di dalamnya menjelaskan al-Wilâyat al-'Ammah, Wilâyat al-Khâshshah, dan para imam adalah orang yang maksum; sub kedua, tema eskatologi (al-Ma'ad) yang di dalamnya menjelaskan tajsîd al-A'mal dan kemustahilan melihat Tuhan.

Bab Keenam : berisi tentang penutup yang diakhiri dengan kesimpulan dan implikasi penelitian.

17

BAB II

TAFSIR TEMATIK (MAUDHǙ'I) ANTARA SUNNÎ DAN SYI'Î

Bab ini membahas tentang sebuah tinjauan terhadap tafsir tematik atau tafsir yang menggunakan metode tematik. Terutama tafsir tematik Syiah yang mencoba dipadukan dengan tafsir tematik Sunni. Di antara tinjuan ini ialah bagaimana pengertian tafsir tematik menurut para ulama baik Syiah maupun Sunni, sejarah dan perkembangan tafsir tematik di Sunni juga di Syiah, dan perbedaan mendasar dari keduanya. Salah satu perbedaan mendasar dari perbedaan tersebut adalah orientasi pemikiran yang dibangun mereka dalam menulis tafsir. Termasuk orientasi Makârem al-Syîrâzî dalam menulis tafsir

Nafahât al-Qur'ân; Uslûb Jadîd fî al-Tafsîr al-Maudhû'î li al-Qur'ân al-Karîm

yang sarat dengan keyakinan atau prinsip Syiahnya.

A. Pengertian Tafsir Tematik (Maudhu'i)

a.1. Tafsir Tematik Menurut Ulama Sunni

Berbagai metode penafsiran dilakukan oleh para penafsir pada saat menafsirkan al-Qur'an dengan tujuan dapat menangkap pesannya. Dewasa ini tafsir yang dianggap paling komprehensif dan dibutuhkan oleh masyarakat Islam tanpa terkecuali dalam menggali pesan al-Qur'an adalah tafsir menggunakan metode tematik. Hal ini karena metode tersebut memiliki ciri khas dan keistimewaan jika dilihat secara definisi metode tersebut, dan karenanya para pengkaji memberikan berbagai definisi metode tematik.

Musthafa Muslim memberikan pandangan yang bertolak dari pemahaman terlebih dahulu pada defenisi dua kata yang terdapat di dalamnya, yakni "tafsîr"

dan "maudhû'î".1 Kata tafsîr menurutnya, adalah ilmu yang mengupas tentang makna-makna ayat al-Qur’an dan menjelaskan keinginan atau maksud Allah swt. dalam ayat-ayat tersebut sesuai dengan kemampuan (ilmu) manusia. Sedangkan makna kata "maudhû'î" adalah permasalahan atau semua yang berhubungan

1

Musthafa Muslim, Mabâhits fi al-Tafsîr al-Maudhû'i. Cet. I. (Beirut : Dâr al-Qalam, 1989 M.), h. 15-16.

dengan aspek-aspek kehidupan seperti akidah, tingkah laku, sosial, atau gejala alam yang digambarkan oleh ayat-ayat al-Quran. Karena itu, Tafsîr al-Maudhû'î atau tafsir tematik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang membahas berbagai masalah sesuai dengan tujuan-tujuan al-Quran, baik secara ayat perayat atau satu surah atau lebih.2

Sedangkan Shalâh ‘Abd al-Fattâh al-Khâlidî tidak mendefenisikan tafsîr maudhû'î secara terminologi, akan tetapi ia mendefenisikannya melalui pembagian jenis atau corak dengan metode dan langkah-langkah dari tafsîr maudhû'î itu sendiri. Oleh karena itu ia berpendapat bahwa tafsîr maudhû'î adalah suatu ilmu yang memiliki kaidah-kaidah, dan dasar-dasar yang mempunyai metode dan cara-cara yang harus ditempuh oleh penafsir.3 Adapun definisi yang dihasilkan melalui pembagian jenis atau corak tafsîr maudhû'îterbagi menjadi 1) Tafsir maudhû'î untuk istilah-istilah al-Qurân, 2) Tafsir maudhû'î untuk tema-tema yang terdapat di al-Quran, dan 3) Tafsir maudhû'î untuk surah al-Quran.4

Dari setiap jenis atau corak di atas, Shalâh ‘Abd. al-Fattâh al-Khâlidî memberikan uraian dan langkah-langkah yang harus diimplementasi oleh penafsir dan hal ini ia jelaskan dalam bukunya yang berjudul "Al-Tafsîr al-Maudhû'î baina al-Nazhariyat wa al-Tathbîq."5

Selain dua pendapat di atas, terdapat pula Abd. al-Hayy al-Farmâwi seorang ulama dan teoritikus metode maudhû'îyang mendefinisikan istilah tafsîr mudhû'î melalui penggabungan pendapat-pendapat ulama kontemporer.6 Ia

2

Perlu dijelaskan di sini bahwa Musthafa Muslim tidak sekedar memberikan definisi

tafsîr maudhû'i begitu saja akan tetapi ia juga memiliki beberapa opsi pengertian dalam

mendefinisikan kalimat tersebut. Tidak kurang dari lima opsi pendapat yang dikemukakan dari kalimat itu, dan pendapat di atas itulah yang menurutnya dianggap paling arjah (unggul). Karena, pendapat yang dikemukakan di atas itu dianggap menafikan pengulangan dan memberikan isyarat kepada dua jenis pengulangan yang paling pokok / utama, yakni "tafsir" dan "maudhû'i". Kemudian, untuk lebih jelas mengenai lima opsi pendapat tentang definisi yang dimaksud lihat, Musthafa Muslim, Mabâhits fi al-Tafsîr al-Maudhû'i. Cet.I., h. 15-16.

3

Shalâh Abd. Fattâh al-Khâlidi, Al-Tafsir Maudhû'i baina Nazhariyah wa

al-Tathbîq Cet. I. (Jordan : Dâr al-Nafâis, 1998 M.), h. 30.

4

Al-Khâlidi, Al-Tafsir al-Maudhû'i, h. 52. 5

Untuk lebih jelasnya tentang langkah-langkah dan uraian corak tafsir dan jenis maudhu'i

di atas lihat, Al-Khâlidi, Al-Tafsir al-Maudhû'i, h. 52-59. 6

Pendapat-pendapat ulama kontemporer yang dimaksud di sini ialah pendapat Ali Khalîl dalam bukunya yang berjudul "Al-Mudzakkarât Al-Khaththiyyah" dan Muhammad Mahmud Al-Hijâzi dalam bukunya yang berjudul "Al-Wihdah Al-Maudhû'iyyah fi al-Qurân al-Karîm." Lihat,

mendefinisikan hal tersebut sebagai (aktifitas) mengumpulkan ayat-ayat al-Quran yang memiliki kesatuan tujuan dan membahas judul tertentu, menyusun ayat sesuai dengan turunnya jika itu memungkinkan, memperhatikan sebab-sebab turun ayat, memberikan uraian dan keterangan, komentar dan konklusi, memisahkan (uraian ayat) dengan menggunakan metode tematik yang jelas ditinjau dari segala aspek, dan mempertimbangkan landasan pengetahuan yang benar untuk digunakan penafsir dalam membahas tema dengan sebenar-benarnya, sehingga memudahkan untuk mengetahui arah penafsiran dan dapat menguasai tema dengan baik.7

Jika dilihat dari definisi yang diberikan Abd. Hayy al-Farmâwi sebenarnya belum memberikan defenisi yang relevan bagi tafsîr maudhû'î, akan tetapi langkah dan syarat dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran untuk sebuah tema secara ekplisit telah include pada definisi tafsîr maudhû'î tersebut.

Karena itu, lebih lanjut al-Farmâwi memperjelas pendapatnya dengan membagi tafsîr maudhû'î menjadi dua jenis, yaitu 1) maudhû'î dalam arti pembahasan tentang satu surah sacara keseluruhan dengan memberi uraian, tujuan surah secara umum dan khusus, kemudian memperhatikan hubungan antara setiap tema yang ada, sehingga tampaklah surah itu terurai dengan sangat terperinci dan sempurna, 2) maudhû'î dalam arti mengumpulkan ayat-ayat al-Quran pada suatu tema lalu meletakkan tema itu ke dalam judul tertentu untuk ditafsirkan sesuai dengan metode tematik yang diharapkan.8

Dari beberapa pendapat di atas, hanya pendapat Musthafâ Muslim yang hemat penulis dianggap relevan dalam mendefinisikan istilah tafsir maudhu'i, sedangkan ulama lain hanya menggambarkan penjelasan tentang cara, corak atau jenis dan langkah dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran sesuai dengan tema-tema yang dibahas.

'Abd. Al-Hayy al-Farmawy, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhui; Dirasat Manhajiyat

Maudhû'iyah. Cet. II. (Mesir : Maktabah Jumhuriyah, 1397 H./1977 M.), h. 52.

7

Al-Farmawi, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhui, h. 52. 8

a.2. Tafsir Tematik Menurut Ulama Syi'ah

Tafsir tematik tidak hanya dikenal dalam kelompok Sunni tapi juga di Syiah. Hanya saja tematik yang dilakukan di Syiah berkisar pada hal-hal tertentu dan pada tema khusus, dan hal demikian ini telah dilakukan oleh ulama-ulama terdahulu mareka, sehingga sangat kecil kemungkinannya untuk menemukan seorangpun dari mereka yang melakukan tafsir maudhû’î di setiap masalah.

Di antara ulama dari kalangan Syiah yang melakukan tafsir jenis ini adalah al-Majlisi (w. 1111 H.)9 dalam karya masterpeace-nya yang berjudul Bihar al-Anwar. Di karya ini, ia telah berusaha mengumpulkan ayat-ayat yang berkaitan dengan suatu tema dalam membahas setiap bagian dari kitab tersebut, kemudian ia memberikan uraian yang lengkap dan terkadang mencantumkan beberapa pendapat mufassir untuk berusaha menjelaskan apa yang disebutkan di antara ayat-ayat yang ada. Inilah yang dimaksud dengan defenisi dan operasional tafsir tematik yang dilakukan al-Majlisi di karyanya tersebut.

Misalnya saja, dalam jilid 27 ketika menguraikan tentang tema Qalb (hati kecil), sama’ (pendengaran), bashar (penglihatan) dan makna keselurahan dari al-Quran, ia mengumpulkan 10 ayat yang saling berkaitan. Setelah itu mencamtumkan beberapa riwayat dari kitab al-Kâfi, lalu menguraikan semua tema-tema di atas hingga tidak kurang dari 10 halaman.10 Demikian pula pada jilid 23 dari tafsir Bihar al-Anwar pada pembahasan tema hakekat mimpi dan ta’birnya, ia mencantumkan lebih dari sepuluh ayat al-Quran yang berkenaan dengan tema itu, kemudian memberikan pembahasan dan tafsir hingga mencapai beberapa lembar halaman.11

Selain di jilid 27 dan 23 yang telah disebutkan, pada jilid 9 khususnya bab pertama yang membahas tentang apa yang seharusnya atau menjadi kebiasaan

9

Al-Majlisi ini memiliki nama lengkap Muhammad Baqir al-Majlisi. Ia lahir pada tahun pertama / awal 1037 H. dan wafat pada 1111 H. dalam usia kurang lebih 70 tahun. Ia dijuluki sebagai al-Majlisi al-Tsani, al-'Allamah al-Majlisi, Syaikhul Islam al-Majlisi, al-Fadhil al-Majlisi,

al-Muhaddits al-Majlisi, dan penulis tafsir Bihar al-Anwar yang cukup besar. Untuk lebih jelasnya

tentang sebutan tersebut dapat lihat, Muhammad Baqir al-Majlisi, Bihar al-Anwar; al-Jami'ah li

Durar al-Akhbar al-Aimmat al-Athhar. Jld. I. Cet. 1. (Beirut : Dar al-Ta'aruf al-Mathbu'at, 1423

H./2001 M.), h. 19-21. 10

Al-Majlisi, Bihar al-Anwar. Jld. 27. Cet. 1. Juz. 2. Kitab al-Iman, bab 44. h. 185- 208. 11

Al-Majlisi, Bihar al-Anwar. Jld. 23. Cet. 1. Juz. 2. Kitab al-Sama' wa al-'Alam, bab 45. h. 365- 422.

orang-orang Yahudi, Nasrani dan kaum Musyrikin setelah hijrah, Al-Majlisi menyebutkan 10 ayat dari surah-surah yang berbeda seputar tema yang ada, kemudian menafsirkan ayat-ayat tersebut.12 Demikian pula al-Majlisi melakukannya pada bagian-bagian lain dengan menggunakan metode yang sama.

Selain dari pada al-Majlisi adalah Muhammad Bâqir al-Sadr (w. 1980 M.)13 yang juga ulama modern Syiah. Ia menganggap tafsir tematik sebagai suatu kajian atau diskursus tentang tema atau maudhû'î karena adanya realitas objek luar yang dikembalikan kepada al-Qur'an sehingga seolah-olah mengajaknya berdialog, atau dengan menarik ayat-ayat al-Quran yang membicarakan tema yang sama dan mengumpulkannya dari surah-surah yang terpisah pada satu pembahasan yang kemudian ditafsirkan.14

12

Al-Majlisi, Bihar al-Anwar. Jld. 9. Cet. 1. Juz. 3. Kitab Tarikh Nabiyyina Muhammad /

Rasul, bab 37. h. 530- 649.

13

Muhammad Baqir al-Sayyid Haidar Ibn Ismail al-Shadr, seorang sarjana, ulama, guru dan tokoh politik. Ia lahir di Kazamain, Bagdad, Irak pada tahun 1350 H/1931 M. dari keluarga Sayyid (turunan Rasulullah saw.) dan keturuna religius termasyhur yang telah melahirkan sejumlah tokoh kenamaan di Irak, Iran, dan Lebanon. Pada usia empat tahun, Muhammad Baqir al-Shadr kehilangan ayahnya, dan kemudian diasuh oleh ibunya yang religius dan kakak laki-lakinya, Isma'il, yang juga seorang mujtahid kenamaan di Irak (mujtahid adalah seorang yang sangat alim yang telah mencapai tingkat tertinggi di kalangan teolog Muslim). Muhammad Baqir al-Shadr menunjukan tanda-tanda kejeniusan sejak usia kanak-kanak. Ketika berusia sepuluh tahun, dia berceramah tentang sejarah Islam, dan beberapa aspek lain tentang kultur Islam. Dia mampu menangkap isu-isu teologis yang sulit dan bahkan tanpa bantuan seorang gurupun. Pada usia 11 tahun, dia mengambil studi logika, dan menulis sebuah buku yang mengkritik para filosof. Pada usia 13 tahun, kakaknya mengajarkan kepadnya ilmu usul fikih (asas-asas ilmu tentang prinsip-prinsip hukum Islam yang terdiri atas al-Qur'an dan hadis, ijma', dan qiyas). Pada usia sekitar 16 tahun, dia pergi ke Najaf untuk menuntut pendidikan yang lebih baik dalam berbagai cabang ilmu-ilmu Islam. Sekitar empat tahun kemudian, dia menulis sebuah ensiklopedi tentang

Ushul, Ghayat al-Fikr fi al-Ushul (pemikiran puncak dalam Ushul), sembari mengajar fikih

bahkan pada usia 30 tahun dia telah menjadi mujtahid. Karena ajaran-ajaran dan keyakinan-keyakinan politiknya, ia mengutuk rezim Ba'ats (Partai Saddam Husein) di Irak sebagai pemerintahan yang melanggar hak-hak asasi manusia dan Islam, dan karenanya ia ditahan dan dipindahkan dari Najaf ke Bagdad yang tidak lama dibebaskan lalu ditahan lagi di Najaf pada tahun 1979. Saudara perempuannya, Bint al-Huda, yang juga seorang sarjana dalam teologi Islam, mengorganisasikan protes menentang penahanan atas seorang marja'. Sejumlah protes lain seperti organisasi dari dalam dan luar Irak, menentang pemenjaraan tersebut, hingga ia pun dibebaskan dari penjara akan tetapi ia tetap dikenai tahanan rumah selama 9 bulan. Ketegangan antara dia dan Partai Ba'ats terus tumbuh. Dia mengeluarkan fatwa bahwa haram bagi seorang muslim bergabung dengan Partai Ba'ats yang dianggap komunis itu. Pada 5 April 1980 dia ditahan lagi dan dipindahkan ke Bagdad. Dia dan saudara perempuannya, Bint al-Huda, dipenjarakan dan dieksekusi 3 hari kemudian. Jasad mereka dibawa dan dimakamkan di al-Najaf. Lihat, Muhammad Baqir Sadr, Al-Madrasat al-Qurâniyyah telah diterjemahkan menjadi Pedoman Tafsir Modern. Cet. I. (Jakarta Pusat : Risalah Masa, 1992), h. cover belakang buku ini.

14

Jika dibandingkan kedua pendapat di atas terlihat jelas bahwa pendapat Baqir Sadr boleh dibilang telah menemukan formulasi secara metode atau langkah, sementara Al-Majlisi memberikan gambaran aplikasi atau langkah suatu tafsir tematik dan belum memberikan defenisi yang pasti dari tafsir tersebut.

Senada dengan Baqir al-Shadr adalah definisi yang diberikan oleh Muhammad Baqir Hakim salah seorang muridnya. Penjabaran secara luas tentang pengertian itu diperluas oleh muridnya tersebut. Menurutnya, tafsir maudhû'î ini dapat disebut sebagai pembahasan yang bertolak atas adanya studi tematik tertentu yang dipaparkan oleh al-Quran pada satu masalah atau beberapa aspek, dan hal ini untuk membatasi teori al-Quran dengan uraian dan batasan-batasannya pada tema tertentu.15

Karena itu, menurut Muhammad Baqir Hakim, agar dapat mengetahui tujuan tafsir maudhû'î dengan jelas seorang penafsir hendaknya memahami istilah yang dibuat oleh gurunya (al-Shadr) yang telah mendefenisikan istilah tersebut menjadi tiga makna : 1) Maudhû'î atau tematik pada posisi ayat-ayat dalam surat. Tematik seperti ini memiliki konsistensi yang akurat dalam pembahasan dan tetap berpedoman pada metode-metode keilmuan yang diakui (legal) terhadap kebenaran realita dalam suatu masalah yang konkrit (real). Seorang peneliti tidak terpengaruh dengan perasaannya dan tidak pula berpihak pada hukum atau hasil yang didapatnya. Tematik seperti ini harus ada pada metode penafsiran tajzi'î dan tematik dengan tanpa pengecualian, 2) Maudhû'î atau tematik yang dimaksud tersebut dimulai dari pembahasan suatu obyek yang tidak lain ialah realitas luar, kemudian obyek ini dikembalikan kepada al-Quran dengan tujuan mengetahui posisi obyek luar tersebut. Berangkat dari obyek yang ada, penafsir dapat memfokuskan perhatiannya melalui metode tafsir tematik kepada sebuah tema dari tema-tema yang ada di kehidupan seperti permasalahan akidah, sosial atau juga permasalahan alam (kosmos). Salain itu, memberikan upaya pemahaman terhadap beberapa problem yang mempengaruhi pemikiran manusia seputar tema dan cara pemecahannya, serta melepaskan apapun yang telah merasuk ke dalam

15

Muhammad Baqir Hakim, 'Ulum al-Qur'an. Cet IV. (Beirut : Majma' al-Fikr al-Islami, t.th.), h. 344-346.!!!

pemikirannya, kemudian penafsir menempatkan ayat al-Quran seraya mendialogkannya seolah-olah (terlihat) penafsir bertanya dan al-Quran menjawabnya. Semua itu bertujuan untuk mengetahui posisi al-Quran terhadap obyek yang telah lepas tersebut. Demikian inilah yang disebut metode tauhîdî

(penyatuan), yaitu mencoba menyatukan antara pengalaman manusia dan ayat al-Quran, dan hal itu bukanlah menarik / membawa pengalaman manusia agar selaras terhadap al-Quran yang dianggap tidak bermakna. Akan tetapi al-Qur'an menyatukan keduanya dalam pembahasan yang runtut sehingga mengeluarkan hasil yang runtut tersebut, yakni pemahaman al-Qur'an akan mungkin membatasi posisi Islam dalam pengalaman atau pemikiran yang bisa diterima, 3) Terkadang tafsir tematik yang dimaksud adalah tafsir yang sesuai dengan tema dengan gambaran bahwa penafsir memilih sebuah tema tertentu kemudian mengumpulkan ayat-ayat yang berkaitan dengan tema lalu menafsirkannya hingga mendapat kesimpulan dari pandangan al-Quran terhadap tema tersebut. Metode seperti ini dapat pula disebut sebagai metode tauhîdî (penyatuan) karena menyatukan ayat-ayat kedalam teori tertentu.16

Dengan demikian, jika dilihat dari tiga item di atas maka dapat di simpulkan bahwa tafsir tematik di kalangan syiah lebih dikenal dengan nama

tafsir tauhîdî, dan poin pertama pada tiga item di atas tidak termasuk dalam pembahasan tafsir tematik, meskipun dalam pembahasan dan sifatnya sama-sama membahas suatu tema namun perbedaannya tafsîr tajzî'î (klasifikasi) membahas tema pada posisinya yang terletak dalam tafsir tartîbî dan membahas tema-tema tertentu dalam tafsir tartîbî secara urut ayat-perayat. Sedangkan tafsîr maudhû'î

(tematik) terlepas dari ikatan urutan ayat-ayat pada al-Quran.

Selain tiga ulama Syi'ah di atas adalah Makârem al-Syîrâzî, ia tidak menggunakan istilah tafsir tematik dengan tauhîdi, hal ini tampak dalam penamaan kitab tafsir tematiknya, meskipun dalam aplikasi dan langkah penafsirannya ia memilih menyatukan ayat-ayat al-Quran dalam tema tertentu.

Makârem al-Syîrâzî memberikan defenisi bahwa tafsîr maudhû'î sebagai pengumpulan atau mengumpulkan beberapa faktor baru dengan prasarananya

16

kemudian menyusunnya guna menyingkap orientasi pandangan sesuai dengan persoalan tema yang ada hingga tema-tema yang jauh dan sulit sekalipun.17 Jika dilihat dari definisi ini terkesan lebih luas jika dibandingkan dengan pendapat ulama-ulama di atas.

Meski pendapat Makârem al-Syîrâzî terlalu luas bahkan bersifat abstrak, ia juga menambahkan pendapatnya bahwa paling tidak tafsir tematik memiliki dua cara yang biasa dilakukan para ulama dalam mendefinisikan tafsir yang menggunakan metode tematik, antara lain18:

1. Menentukan berbagai tema seperti tema-tema akidah (tauhid, akhirat, dan sebagainya), atau tema-tema akhlak (takwa, akhlak yang baik, dan sebagainya), kemudian menyebutkan bahasan-bahasan filsafat, ilmu kalam, atau juga bahasan-bahasan ahlak yang di dalamnya menyebutkan beberapa ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan tema yang ada;

2. Penafsiran dimulai dengan mengumpulkan ayat-ayat yang berkaitan dengan tema dari seluruh bagian al-Quran. Sebelum melakukan uraian terlebih dahulu mengumpulkan ayat-ayat, melakukan penafsiran secara bersamaan sambil mengumpulkan dan memperhatikan korelasi

(munâsabah) antar ayat agar dapat menghasilkan gambaran penafsiran yang sempurna. Sehingga dengan metode ini seorang penafsir sama sekali tidak menambahkan pendapatnya, bahkan tafsir itu seolah-olah laksana bayangan yang berada di belakang ayat-ayat al-Quran, setiap tafsirnya adalah menyingkap kandungan ayat-ayat, dan jika diperlukan pendapat para ulama lain atau hadis-hadis yang mendukung terhadap penafsirannya