• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Tafsir Tematik Menurut Syiah dan Sunni

Ahl al-Bait bagi Syiah (pengikut-pengikutnya) adalah orang-orang yang istimewa dan memiliki berbagai kekhususan tersendiri. Demikian pula terjadi di Sunni. Karena itu, sebagian dari mereka – antara Syiah dan Sunni menganggap bahwa keistimewaan yang ada telah diberikan Allah swt. baik melalui nash-nash hadis maupun al-Qur'an. Perbedaan ini juga tidak saja pada persolan teologis dan politis, akan tetapi perbedaan itu juga berujung pada orientasi pemikiran, termasuk persoalan tafsir dan metodenya.

Dalam sumber yang berjudul Aqidat al-Imâmah 'Inda al-Syî'ah al-Itsna 'Asyriyah disebutkan tentang mereka (Syiah) yang menempatkan para imam laksana kedudukan Nabi Muhammad saw. dalam kemaksuman, sifat-sifat, dan ilmunya.60 Posisi keimaman ini dikuatkan oleh pendapat yang menyebutkan

59

Murtadha Muththahari, Al-Islam wa Iran., h. 350-354. 60

Ali Ahmad al-Salus, Aqidat al-Imamah 'Inda al-Syi'ah al-Itsna 'Asyriyah, yang telah dialihbahasakan menjadi Ensiklopedi Sunnah-Syiah; Studi Perbandingan Aqidah & Tafsir (terj.). Cet. I. (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2001), h. 469; lihat juga, Nashir Makarim al-Syirazi,

"Aqaiduna" telah dialibahasakan oleh Taha al-Musawa menjadi "Inikah Keyakinan Kita?". Cet. I.

(Pekalongan : Muammal, 2007), h. 112. Bandingkan dengan pernyataan berikut ini: imam adalah pembela hukum Tuhan, dan kerja ini tidak bisa dipercayakan kepada tangan-tangan yang berdosa,

bahwa imamah dalam pandangan mereka itu sama dengan nubuwwah dalam banyak hal, kecuali dalam masalah wahyu menurut pandangan mayoritas ulama Syiah, sebab para imam tidak menerima wahyu sebagaimana para Nabi, akan tetapi ilham bagi mereka menduduki posisi laksana wahyu dan seorang imam adalah orang yang terjaga atau maksum dari kekeliruan.61

Walaupun di antara mereka ada perselisihan pendapat dalam masalah wahyu, namun mereka sepakat pada satu titik bahwa para imam itu terjaga dari perbuatan dosa (ma'shûm). Anggapan kemaksuman inilah yang kemudian dipegangi oleh mereka.

Karena itu, tidak menutup kemungkinan apabila merujuk tafsir yang ada di kalangan mereka baik bermetodekan tematik atau tidak maka akan tampak bahwa akidah atau keyakinan mereka dalam hal imâmah memberikan pengaruh yang sangat besar dalam peletakkan pokok-pokok (ushûl) dan dalam menyikapi kitab Allah swt. (al-Qur'an). Bahkan, dalam keyakinan atau prinsip Syiah, terdapat orientasi pemikiran yang menganggap ahl al-Bait itu tidak lain adalah al-Qur'an yang berbicara (qur'ân al- nâthiq).62

Selain itu, ahl al-Bait menganggap diri mereka sebagai orang-orang yang paling utama, mendasar dalam urusan tafsir dan memahami al-Qur'an, dan barang siapa mengambil ilmu ini dari mereka maka sebenarnya adalah ilmu Rasulullah saw. yang seseorang tidak akan mampu memahaminya dengan benar.63 Demikian

ataupun setiap orang bisa menjaga tugas-tugas secara tepat. Dengan demikian, kemaksuman merupakan syarat penting bagi seorang imam ataupun khalifah yang ditunjuk Tuhan yang merupakan penjaga atau penafsir terhadap hukum-hukum agama, sebagaimana didasarkan pada Q.s. an-Nisa / 4 : 59, yang berkaitan dengan penafsiran ulil amri yang harus maksum. Lihat, Rofik Suhud & dkk, Antologi Islam; Sebuah Risalah Tematis dari Keluarga Nabi. Cet. II. (Jakarta : Al-Huda, 2007), h. 129-131.

61

Sebagian dari kalangan Syiah yang ekstrim dengan tanpa sandaran riwayat yang jelas menyebutkan bahwa sebagian malaikat selalu berada bersama Rasulallah saw. untuk mengarahkannya, memberinya petunjuk, dan mengajarinya ilmu, serta tatkala Rasulullah saw. wafat menghadap Tuhan-Nya, malaikat tadi tetap tinggal di bumi dan tidak naik ke langit untuk menunaikan tugas serupa terhadap para imam. Lihat, Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi

Sunnah-Syiah, h. 469.

62

Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syiah; Studi Perbandingan Aqidah & Tafisir

(terj.). Cet. I., h. 471.

63

Hasyim al-Husaini al-Bahrani, Al-Burhan fi Tafsir al-Qur'an. Jld. I. Cet. I. (Beirut : Muassasat al-Bi'tsah, 1419 H./1999 M.), h. 26.

pula al-Syahrastani (w. 469 H.)64 dalam Al-Milal wa al-Nihal menyebutkan, al-Qur'an adalah petunjuk manusia secara umum, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman secara khusus, petunjuk dan pengingat yang lebih khusus bagi nabi dan kaumnya daripada yang pertama (utama) dan kedua berdasarkan Q.s. al-Zukhruf / 43 : 44.

Pendapat al-Syahrastani yang didasarkan atas Q.s. al-Zukhruf / 43 : 44 sebenarnya tidak spesifik berbicara tentang sebuah pembicaraan (khithab) yang ditujukan kepada Syiah atau ahl al-Bait. Apalagi redaksi bahasa yang digunakan dalam ayat tersebut adalah "li qaumika"bukan "li ahli baitika" jika dilihat redaksi tersebut secara cermat.

Di karya lain, al-Syahrastani juga menyebutkan tentang para sahabat yang menyetujui kalau ilmu al-Quran itu merupakan keistimewaan bagi ahl al-Bait, dan hal ini terlihat dari pengecualian al-Qur'an dengan menggunakan takhsis

(pengkhususan) yang menunjukkan kesepakatan mereka terhadap al-Qur'an, ilmu al-Qur`an, turun dan takwilnya dikhususkan untuk mereka.65 Bahkan Hasyim al-Husaini al-Bahrani (w. 1107 H.) menyebutkan kekhususan atau keistimewaan mereka dalam bidang ilmu dan al-Qur'an hingga melebihi orang lain tidak semata-mata sebagai satu persoalan besar dari Allah swt. tapi juga terdapat nash-nash hadis dan penjelasan dari Rasulullah saw. tentang sebagian yang disepakati oleh kaum Muslimin atas keabsahan mereka dalam hal tersebut, seperti hadis al-Tsaqalain, al-Safînat, dan madînat al-'Ilm.66

64

Al-Syahrastani adalah Muhammad bin 'Abd. Al-Karim bin Ahmad. Ia mempunyai

kunyah / panggilan Abu al-Fath. Disebut Syahrastan karena ia berasal dari negeri Syahrastani.

Menurut catatan sejarah ia lahir pada 479 H. dan wafat pada bulan Sya'ban tahun 548 H. dalam usia 70 tahun. Dari madzahab ia mengikuti Syafi'i, dari segi ushul ia mengikuti Abu Hasan al-Asy'ari. Lihat, Muhammad bin 'Abd. Al-Karim bin Ahmad, Al-Milal wa al-Nihal, tahqiq Abd. Al-'Aziz Muhammad al-Wakil. (Beirut : Dar al-Fikr, t.th.), h. 3-4.

65

Keterangan atau penjelasan ini disebutkan al-Syahrasytani pada saat para sahabat bertanya kepada 'Ali bin Abi Thalib. Adapun pertanyaan yang dimaksudkan ialah "Apakah kalian telah diistimewakan dengan sesuatu selain al-Qur'an daripada kami? Ia menjawab: "tidak, demi dzat yang menumbuhkan biji-bijian dan mahluk-mahluk yang bernyawa kecuali sesuatu yang ada

di sarung pedangku." Untuk lebih jelasnya lihat, Al-Syahrastani, Mafatih al-Asrar wa Mashâbîh

al-Abrâr. (Qum : Majmu'ah Baqir al-'Ulum al-Tsaqafiyah, 1412 H.), h. 121.

66

Hadis al-Tsaqalain ialah hadis yang berbunyi : "Inni târikun fîkum mâ in tamassaktum

bihî lan tadhillû ba'di kitâballâh wa 'itratî ahla baitî", hadis al-Safinah berbunyi : "matsalu ahla

baiti mitsla safînat Nûh ,man rakibahâ najâ, wa man takhallafa 'anhâ gharaqa". Lihat, Abu

Dengan demikian, jika dilihat dari beberapa keterangan yang sifatnya pengkhususan dan pengistimewaan terhadap 'Ali bin Abi Thalib berikut para imam yang diyakininya maka akan tampak bahwa persoalan imam menjadi pokok bagi keyakinan yang sifatnya teologis, dan inilah ciri khas mereka yang membedakan dengan kelompok lain dalam Islam.

Selain orientasi pemikiran, di kalangan Syiah juga memiliki metode penafsiran berbeda dalam tafsir dan memahami al-Qur'an. Sedikitnya terdapat beberapa orientasi pemikiran mereka yang dianggap sebagai pedoman atau dasar-dasar pokok dalam menyikapi al-Qur'an.67

Misalnya saja, dalam urusan Ketuhanan, mereka beranggapan kalau Tuhan itu tidak berjisim dan Ia adalah dzat yang Maha Suci dari hal tersebut. Anggapan ini berbeda dan bahkan berlawanan dengan kelompok seperti al-Musyabbihah

atau al-Mujassimah dan al-Mu'aththilah.68 Dalam urusan Kenabian, mereka

Juz. 4. (Beirut : Dar Fikr, t.th.), h. 306; lihat juga, Abu Bakar Ahmad bin 'Ali Khathib al-Baghdadi (w. 463 H.), Tarikh Baghdad. Juz. 12. (Beirut : Dar al-Fikr, t.th.), h. 91; lihat juga, Abu al-Fida Ismail bin Katsir (w. 774 H.), Tafsir al-Qur'an al-'Azhim. Cet. II. Jld. 3. (Riyadh : Maktabah Dar Salam, 1418 H./1998 M.), h. 641. lihat juga, Nuruddin Ali bin Abi Bakr al-Haitsami (w. 807 H), Majma' al-Zawaid wa Manba' al-Fawâid. Juz 9. (Beirut : Dar Kutub al-'Ilmiyah, 1408 H/1988 M), h. 162-163 dan 168. Kemudian, yang dimaksud hadis madinat al-'Ilm

ialah hadis yang berbunyi : "Ana madînat al-'ilm wa 'Aliy bâbuha". Lihat, Abu Bakar Ahmad bin 'Ali al-Khathib al-Baghdadi (w. 463 H.), Tarikh Baghdad. Juz. 2, h. 377, Juz. 4, h. 348, Juz. 7, h. 173, dan Juz. 11, h. 48 dan 204; lihat juga, Abi al-Fida' al-Hâfizh Ibn Katsir, Al-Bidayat wa

al-Nihayat. Jld. IV. Juz. 7. (Beirut : Dar al-Fikr, 1398 H./1978 M.), h. 358. Selain ketiga hadis di atas

terdapat pula hadis lain yang menyebutkan; Dari Murazim bin Hakim dan Musa bin Bukair, berkata : Kami mendengar Aba Abdillah as berkata : "Kami adalah ahl al-Bait, Allah swt. senantiasa akan mengutus dari keturunan kami orang-orang yang mengetahui kitab Allah dari

awal hingga akhirnya. Lihat, Sa'ad 'Abdullah al-Asy'ari (w. 301 H.), Mukhtashâr Bashâir

al-Darajat. (Qum : Majmu'ah Baqir al-'Ulum al-Tsaqafiyah, 1412 H.), h. 59.

67

Hasyim al-Husaini al-Bahrani, Al-Burhan fi Tafsir al-Qur'an. Jld. I. Cet. I., h. 28-37. 68

Al-Musyabbihah atau al-Mujassimah ialah mereka yang beranggapan kalau dzat Tuhan

itu menyerupai atau serupa (al-Tasybih) dengan manusia, apa yang ada pada Tuhan ada juga pada manusia seperti daging, darah, tulang, rambut, kepala, mata, dan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Mereka ini merupakan komunitas terbesar dari kaum Muslimin yang lain. Sedangkan Al-Mu'aththilah ialah mereka yang beranggapan bahwa seseorang tidak akan mungkin mengetahui Tuhan dengan akalnya atau makrifat kepada-Nya kecuali ada sebagian nash-nash

yang jelas dalam menjelaskan hal tersebut, seperti penafsiran Malik bin Anas al-Ashbahi (w. 179 H.) ketika ditanya tentang bagaimana penafsiran ayat yang berbunyi "tsumma istawa 'ala

al-'Arsy," di mana ia menjawab bahwa kata al-Istiwa diartikan semayam dan ini bisa diketahui tapi

bagaimana bersemayam Tuhan itu tidak dapat diketahui; seperti apa dan bagaimana, iman dengan semua itu hukumnya wajib dan menanyakan tentang hal tersebut bid'ah. Lihat, Muhammad bin 'Abd. Al-Karim bin Ahmad, Al- Milal wa al-Nihal, h. 93. Kemudian untuk lebih jelas mengenai bantahan kaum Syiah terhadap pendapat atau jawaban yang diberikan imam Malik di atas dalam menyikapi urusan "Tuhan bersemayam", mereka menampilkan beberapa riwayat atau pendapat dari jalur para imam ketika mereka manafsirkan ayat-ayat yang berkenaan dengan Tuhan secara

beranggapan bahwa para nabi itu adalah manusia suci (terhindar dari dosa), atau dalam artian lain mereka adalah orang-orang yang terjaga dari dosa besar dan kecil baik sebelum kenabian maupun sesudahnya, terhindar dari lupa dan salah dalam penyampaian. Anggapan ini berbeda dengan kelompok hadis (al-Ashhab al-Hadits) dan kelompok lain yang memiliki anggapan tentang mereka (para nabi) melakukan dosa tapi sebelum menjadi Nabi, bahkan sebagian dari mereka beranggapan mereka boleh melakukan hal tersebut kecuali berdusta, karena berdusta sebagian dari hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan syariah.69

Bahkan konsep kema'shuman ini dianggap sebagai pokok dari orientasi yang baik dalam urusan penafsiran al-Qur'an bagi ahl al-Bait. Hal ini tersitir dari ucapan 'Ali Ridha bin Musa as. ketika ditanya oleh 'Ali bin Muhammad al-Jahm yang pada saat itu hadir di Majlis al-Makmun bertanya tentang kemaksuman nabi Yusuf as. dari godaan Zulaikha dalam Q.s. Yusuf / 12 : 24.70 Dari pernyataan ini terlihat bahwa andaikata nabi Yusuf as. tidak melihat tanda kekuasaan Tuhan-Nya maka ia telah jelas-jelas tidak terjaga dari perbuatan dosa, akan tetapi karena ia melihat tanda kekuasan-Nya maka ia tetap ma'shum. Konsep ma'shum ini dalam pemahaman syi'ah tidak terbatas kepada para nabi saja akan tetapi berlanjut kepada para imam ahl-Bait yang di yakini sebagai khalifah Allah dalam melanjutkan dakwah kenabian.

Dalam urusan ru'yatullah (Melihat Tuhan) mereka beranggapan mustahil melihat Tuhan (di dunia dan hari kiamat) nanti, karena melihat Tuhan dengan mata hanya diberikan kepada nabi Muhammad saw. saja dan setelah ia meninggal maka kenikmatan itu tidak dapat diberikan kepada yang lain karena keistimewaan yang diberikan kepadanya melebihi mahluk yang lain, termasuk para malaikat dan nabi, serta taat kepada Rasul berarti taat kepada-Nya, mengikuti rasul berarti mengikuti-Nya, menziarahi Rasul di dunia berarti sama dengan menziarahi-Nya di

langsung, seperti Q.s, Thaha / 20 : 50, al-Baqarah / 2 : 255, al-Maidah / 5 : 64, al-An'am / 6 : 3, dan sebagainya. Lihat, 'Abd. Al-'Ali bin Jum'at al-'Arusi al-Khuwaizi (w. 1112 H.), Tafsir Nur

al-Tsaqalain, tahqiq Sayyid 'Ali 'Asyur. Juz. I. Cet. I. (Beirut : Muassasat al-Tarikh al-'Arabi, 1422

H./2001 M.), h. 65. Bandingkan dengan Hasyim al-Husaini al-Bahrani, Al-Burhân fî Tafsîr

al-Qur'an. Jld. I. Cet. I., h. 30-31.

69

Syarif Murtadha, Tanzih al-Anbiya. (Qum : Al-Haidari, 1412 H.), h. 3. 70

akhirat berdasarkan Q.s. al-Nisa / 4 : 80 dan Q.s. al-Fath / 48 : 10.71 Sementara kelompok ahli hadis dan pengikut Asy'ariyah yang merupakan kelompok mayoritas dalam Islam beranggapan, sangat mungkin seseorang untuk melihat Tuhan-Nya di hari kiamat nanti, karena Ia akan menampakan kepada manusia di hari kiamat seperti halnya bulan purnama tampak di malam kesempurnaanya, dan pendapat tersebut didukung oleh beberapa riwayat dan ayat-ayat al-Qur'an.72

Dalam urusan hidayat dan dhalâlah (kesesatan), Syiah beranggapan kehidupan manusia di muka bumi ini tidak lepas dari keduanya sebagaimana kelompok Muslim yang lain (lihat, Q.s. al-Nahl / 16 : 93 dan Q.s. Ibrahim / 14 : 4). Akan tetapi menurut Syiah, keduanya dapat dibedakan, karena hidayah bersumber dari Allah swt. untuk kehidupan manusia, sedang kesesatan bersumber dari manusia itu sendiri, akan tetapi pada saat yang sama petunjuk dan kesesatan berjalan dalam kehidupan manusia sesuai dengan ikhtiyar dan ketetapan yang dilakukan orang tersebut, serta mereka juga terkadang menafikan petunjuk dan kesesatan itu dan menjadikannya mutlak dari kehendak-Nya.73 Hal ini sebagaimana tersitir dari perkataan Abu Ja'far Muhammad al-Baqir bin 'Ali Zain

71

Hasyim al-Husaini al-Bahrani, Al-Burhan fi Tafsir al-Qur'an. Jld. I. Cet. I., h. 34. Selain argumentasi di atas terdapat pula riwayat-riwayat yang disandarkan kepada nabi saw. menyebutkan: "Barang siapa berkunjung kepadaku dalam kehidupanku atau setelah wafatku

maka ia telah mengunjungi Allah swt." dan "Paling tinggi derajat di surga adalah derajat nabi,

barang siapa mengunjunginya hingga ke derajatnya di surga dari sebagian tempatku maka ia

benar-benar telah mengunjungi Allah swt." Lihat, Abu Ja'far Muhammad bin 'Ali al-Husnaini bin

Babuyah al-Qumi (w. 381 H.), Al-Tauhid. Jld. 1. (Qum : Majmu'ah Baqir al-'Ulum al-Tsaqafiyah, 1412 H.), h. 120. Kitab "al-Tauhid" ialah termasuk kitab pokok di Syiah tentang dasar-dasar keilmuan yang bersumber dari argumentasi-argumentasi akal yang didukung ayat-ayat al-Qur'an, khabar-khabar mu'tabar dari para imam Syiah, analisa-analisa yang mendalam termasuk persoalan ketuhanan dan sebagainya. Selain kitab tersebut, Babuyah al-Qumi juga menulis "Ma'ani

al-Akhbar", "Man la Yahdhuruh al-Faqih", "al-Miqna' wa al-Hiyah," dan "al-Khishal".

72

Di antara riwayat yang membahas hal tersebut seperti disebutkan Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi (w. 261 H.), Shahih Muslim. Cet. I. (Beirut : Dar Ibn Hazm, 1416 H./1995 M.), h. 139-147. Di kitab ini terdapat 21 hadis; antara yang diulang dan yang tidak diulang baik dari teks sanad maupun matannya. Semua hadis-hadis yang tercantum terbagi dalam lima bab, yakni bab 77, 78/, 79, 80, dan 81 dalam "kitab al-Iman." Kemudian, adapun ayat al-Qur'an yang berbicara tentang persoalan tersebut ialah Q.s. al-Kiamat / 75 : 20-23. Menurut imam Asy'ari (w. 324 H.), ayat tersebut mengajarkan kepada kita tentang sesungguhnya Tuhan akan bisa dilihat dengan mata kita seperti terlihatnya rembulan di bulan purnama. Abu Musa al-Asy'ari,

Al-Ibânah 'an Ushûl al-Diyânat, telah ditahqiq Fauqiyah Husain Mahmud. (Al-Hindi : Haidar Abad,

1421 H./1977 M.), h. 21; lihat juga, 'Ali 'Abd. Al-Fattah al-Mighzabi, Al-Firaq Kalamiyah

al-Islamiyah; Madkhal wa Dirasat. Cet. II. (Al-Qahirah : Maktabah Wahbah, 1415 H./1995 M.), h.

268-271. 73

al-'Abidin (w.114 H ) yang menafsirkan kalimat "la haula wa quwwata illa billah" dengan "kita tidak akan bisa menghindar dari maksiat kepada Allah swt. kecuali dengan pertolongan-Nya dan kita juga tidak akan bisa malaksanakan taat kepada-Nya kecuali dengan pertolongan-Nya.74

Dalam urusan Jibr (terpaksa/paksaan) dan tafwidh (berserah/kebebasan mutlak), Syiah juga beranggapan atau berprinsip tengah-tengah di antara keduanya, dan karenanya mereka menamakan dirinya dengan Amr baina al-Amrain.75 Pengakuan prinsip ini sama persis seperti perkataan yang diberikan oleh Abu Ja'far al-Baqir dan Abu 'Abdillah al-Shadiq yang menyebutkan,

"sesungguhnya Allah swt. belas kasihan kepada hambanya daripada memaksanya bergelimang dosa-dosa, kemudian Ia menyiksa hamba itu karena dosa yang dilakukannya, Ia lebih mulia daripada Ia menghendaki lalu meniadakannya"

bahkan keduanya juga ditanya, "apakah antara al-Jibr dan al-Qadr itu ada tingkat yang ketiga ?," keduanya menjawab, "iya, dan itu lebih luas daripada isi langit dan bumi."76 Dari sini terlihat jelas bahwa kelompok Syiah lebih menghindari Jibr dan Tafwidh dari kalamullah atau al-Qur'an. Semua yang disebutkan tentu semuanya pemikiran-pemikiran Syiah yang tumbuh dan berkembang sejak lama hingga sekarang.

Selain hal-hal yang telah disebutkan, dalam urusan penafsiran atau menafsirkan al-Qur'an Syiah juga senatiasa berpegang pada metode al-Qur'an ditafsirkan dengan al-Qur'an (tafsir al-Qur'an bi al-Qur'an) sebagaimana Sunni. Dalam konteks ini, mereka berpendapat, barang siapa dalam tafsir al-Qur'an mengikuti metode ahl al-Bait maka ia telah dekat dengan mereka dan cara ini sudah dilakukan lama oleh mereka, bahkan metode yang digunakannya adalah metode yang paling utama dalam memahami al-Qur'an, karena al-Qur'an

74

Abu Ja'far Muhammad bin 'Ali al-Husnaini bin Babuyah al-Qumi (w. 381 H.),

Al-Tauhid. Jld. 3., h. 242. Selain contoh di atas, di kitab tersebut disebutkan pula contoh lain baik

melalui riwayat-riwayat maupun penafsiran terhadap ayat al-Qur'an, dan untuk lebih jelas tentang masalah itu lihat di jilid lain dalam kitab yang sama.

75

Perlu dijelaskan di sini penamaan "al-Amr bain al-Amrain" ini dapat diduga keras dimotori oleh Abu 'Abdillah al-Shadiq pada saat ditanya tentang jibr dan tafwidh, dan mereka menjawab; "… bukan jibr dan tafwidh tapi amr baina amrain ". Lihat, Hasyim Husaini al-Bahrani, Al-Burhân fi Tafsîr al-Qur'ân. Jld. I. Cet. I., h. 36.

76

Abu Ja'far Muhammad bin 'Ali al-Husnaini bin Babuyah al-Qumi (w. 381 H.),

merupakan sebaik-baik dalil mengurai al-Qur'an. Metode tersebut masih dilakukan oleh para ulama Syiah hingga sekarang, seperti yang dilakukan al-Thabathabai dalam al-Mîzân fî al-Tafsîr al-Qur'ân.

Selain semua itu, di kalangan Syiah juga menerima takwil sebagaimana para Sufi dalam menyikapi ayat-ayat al-Qur'an.77 Masing-masing dari mereka, menerima takwil sebagai sebuah metode dalam memaknai ayat al-Qur’ân, terutama pada dimensi batin yang terkandung dalam sebuah ayat. Keduanya termasuk dalam kelompok yang menerima takwil dan (mungkin) yang terbanyak menggunakan takwil daripada sekte lain. Di antara dalil penggunaan takwil yang dilakukan Syiah terhadap al-Qur'an sebagaimana disebutkan Muhammad Hadi Makrifat berikut ini:78

ﻦﻄﺑو ﺮﮭﻇ ﺎﮭﻟو ﻻإ ﺔﯾآ نآﺮﻘﻟا ﻰﻓ ﺎﻣ

Tak satu ayat pun dalam al-Qur’ân kecuali memiliki makna lahir dan batin.

Dalam tradisi takwil Syiah, Nabi Muhammad saw. dianggap sebagai orang pertama yang menggunakan takwil atau penafsiran secara esoterik. Bahkan, sekte Ismailiyah dan Bathiniyah dari kalangan Syiah hanya mengakui makna batin saja. Bagi mereka, makna batin al-Qur’ân hanya dapat disingkap oleh Nabi saw., dan dilanjutkan oleh imam ahl al-Bait yang maksum dan seolah diklaim sebagai ahli waris spiritual kenabian Nabi Muhammad saw. Bahkan, di kalangan mereka juga beranggapan bahwa semua ini yang terdapat dalam al-Qur’ân adalah

mutasyâbihât dan dengan demikian dimungkinkan untuk dilakukan takwil.79

77

Perihal penakwilan al-Qur’ân, pendapat ulama dapat diklasifikasi ke dalam tiga kelompok ulama. Pertama, kelompok yang menerima takwil, yaitu ulama Syiah, Muktazilah, dan kalangan Sufi; Kedua, kelompok yang menolak takwil; dan Ketiga, kelompok yang hanya menerima sebagian bentuk takwil. Untuk lebih jelasnya lihat, Nasaruddin Umar, "Konstruksi

Takwil dalam Tafsir Sufi dan Syiah," dalam Jurnal Studi al-Quran, Vol. II, No. 1, 2007.

78

Muhammad Hâdî Ma‘rifah, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn fi Tsawbah al-Qasyîb. Juz. I. (T.tp.: al-Jâmi‘ah al-Ridhawiyyah li al-‘Ulûm al-Islâmiyyah, t.th.), h. 23.

79

Salah satu contoh dari model takwil yang diberikan oleh kalangan Syiah adalah pada saat mereka menafsirkan kata "Firaun" yang terdapat di Q.s. al-Baqarah / 2 : 49 (“Dan [ingatlah] ketika Kami selamatkan kamu dari (Fir`aun) dan pengikut-pengikutnya; mereka menimpakan kepadamu siksaan yang seberat-beratnya, mereka menyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan