• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah dan Perkembangan Tafsir Tematik

Jika secara umum tafsir atau aktivitas tafsir memiliki kronologi sejak masa Rasulullah saw. dan berkembang hingga sekarang maka secara spesifik tafsir

tematik yang berkembang sebagai kelanjutannya juga memiliki kronologi yang sama. Baik tafsir tematik yang ada di Sunni maupun tafsir tematik yang ada di Syiah keduanya memiliki sejarah dan perkembangannya. Akan tetapi metode tematik muncul dan berkembang setelah menemukan formulasi atau bentuknya.

Di Sunni, tafsir tematik dianggap menemukan bentuknya setelah adanya ide-ide dari para ulama tafsir,19 lalu dikembangkan oleh Abu Ishaq al-Syathibi (w. 790 H./1388 M.).20 Hal ini tercermin dari penelusuran Sonia Wafiq,21 yang mengkategorikan al-Syatibi sebagai ulama yang paling awal dalam merumuskan gagasan tentang surah dalam al-Qur`an sebagai sebuah unit tematis, dan hal ini jauh dilakukan sebelum al-Biqa‘i (w. 885 H.).22Gagasan al-Syatibi ini kemudian

19

Para ulama tafsir yang dimaksud tentunya telah disebutkan dan dapat dilihat di bab I. Untuk lebih jelasnya tentang para ulama yang memberikan gambaran perkembangan tafsir

maudhu'i masa awal pembukuan dapat lihat pada, Ziyad Khalîl Muhammad al-Daghâmin,

Manhajiyat al-Bahts fî al-Tafsîr al-Maudhû'î li al-Qur'ân al-Karîm. Cet. I. ('Amman-Jordan : Dar

al-Basyir, 1416 H./1995 M.), h. 17-18. Bandingkan dengan kumpulan tulisan-tulisan yang berjudul

"Dirasat fî Tafsîr al-Nash al-Qur'ani; Abhâts fi Manâhij al-Tafsîr" yang ditulis oleh al-Sayyid

Ibrahim Sujjadi, Afâq al-Tafsir al-Maudhû'i fî al-Qarn al-Hijri al-Akhîr. Cet. I. Juz. 1. (Beirut : Markaz al-Hadhârat li Tanmiyat al-Fikr al-Islami, 2007), h.171-173.

20

Setidaknya ada tiga gagasan al-Syatibi yang sering dikutip dalam kajian-kajian tafsir.

Pertama, tentang kesatuan tematis ayat-ayat al-Qur`an (al-Wihdah al-Maudhû‘iyyah li al-Qur`an

al-Karim). Kedua, gagasan al-Syatibi tentang turunnya al-Qur`an kepada bangsa Arab yang ummi

sehingga tafsir yang benar terhadapnya tidak boleh melampaui kondisi nyata bangsa Arab saat itu. Gagasan ini biasa dikutip untuk membantah tafsir saintifik (al-Tafsir al-‘Ilmi) terhadap al-Qur`an, atau untuk menegaskan bahwa pemahaman yang benar terhadap al-Qur`an adalah pemahaman yang sesuai dengan fitrah dasar manusia. Di sisi lain, tidak semua ulama tafsir menerima pendapat al-Syatibi tersebut. Ketiga, pandangan al-Syatibi tentang penerjemahan al-Qur`an. Pada paruh pertama abad 20, berlangsung beberapa perdebatan di Mesir dan Turki tentang absah atau tidaknya upaya menerjemahkan al-Qur`an. Sebagian pemikir yang terlibat dalam perdebatan tersebut menggunakan konsep makna primer dan makna sekunder al-Syatibi untuk menyatakan bahwa penerjemahan al-Qur`an absah untuk dilakukan. Tetapi, pada sisi yang berlawanan, terdapat pemikir lain, seperti al-Zarqani, yang menggunakan konsep yang sama dari al-Syatibi untuk melarang upaya penerjemahan tersebut. Untuk lebih jelasnya lihat, Ghozi Mubarok, “

Prinsip-Prinsip Tafsir al-Syatibi dan Ortodoksi Sunni” (Tesis pada Program Pascasarjana IAIN Syarif

Hidayatullah, Jakarta, 2008), h. 42-44. 21

Sonia Wafiq, “Manhaj al-Tafsîr al-Maudhû‘î wa al-Hâjah ilaih”, dalam Buhuts Mu`tamar Manâhij Tafsîr al-Qur`an al-Karîm wa Syarh al-Hadîts al-Syarîf (Kuala Lumpur : Dept. of Qur`an and Sunnah Studies, Kulliyyah of IRKHS, IIUM, 2006), h. 651. Kemudian, perlu dijelaskan di sini bahwa penelusuran Sonia Wafiq mengkategorikan al-Syathibi ke dalam persoalan tersebut ketika ia menafsirkan surah al-Mu'minun. Untuk lebih jelas mengenai ini lihat, Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muwâfaqât fi Ushul al-Syarî‘ah. Vol. III. (Beirut: Dâr Kutub al-‘Ilmiyyah, tt.) hlm. 311-314.

22

Al-Biqa‘i dianggap sebagai salah satu pelopor metode tafsir maudhu‘i di Sunni, terutama dalam hal yang menyangkut kesatuan tematis setiap surah dalam al-Qur`an. Lihat Shalah ‘Abd. al-Fattah al-Khalidi, Al-Tafsîr al-Maudhû‘i bayna al-Nazhariyyah wa al-Tathbîq: Dirâsah

Nazhariyyah wa Tathbîqiyyah Muraffaqah bi Namâdzij wa Latha`if al-Tafsir al-Maudhu‘i.

mengilhami Muhammad ‘Abdullah Darraz23untuk melakukan kajian metodologis terhadap gagasan kesatuan tematik al-Qur`an -- sesuatu yang menjadi cikal bakal munculnya metode tafsirmaudhû‘î.24

Berdasarkan penelusuran terhadap karya-karya metodologis di bidang tafsir maudhû‘î, Mohamed El-Tahir El-Misawi menekankan adanya konvergensi antara tujuan serta pendekatan yang digunakan oleh para pendukung tafsir

maudhû‘î dengan apa yang digagas oleh al-Syathibi dalam karyanya, al-Muwâfaqât.25Hal ini pula yang membuat al-Syatibi dipandang sebagai salah satu pemberi inspirasi terpenting bagi kemunculan metode tafsir maudhu‘i pada beberapa dekade terakhir.26

Selain mengilhami Muhammad 'Abdullah Darraz, menurut penelusuran M. Quraish Shihab, ide al-Syathibi yang telah dikemukakan dianggap juga mengilhami Mahmud Syaltut, dan bahkan perwujudan ide itu terlihat dalam satu kitab tafsir maudhu'iyang merupakan karyanya sendiri.27

terhadap penerapan metode tematik yang digunakan oleh Biqa'i. Baca M. Quraish Shihab,

Membumikan al-Qur'an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Cet. ke-XIX.

(Bandung : Mizan, 1999), h. 113. 23

Muhammad ‘Abdullah Darraz adalah putera dari ‘Abdullah Darraz. Ia salah seorang

muhaqqiq kitab Al-Muwâfaqât, karya al-Syatibi.

24

Mohamed El-Tahir El-Misawi, “The Meaning and Scope of al-Tafsir al-Maudhu‘i: A

Comparative Historical Analysis” dalam Papers of the International Conference on the Qur`an and

Sunnah: Methodologies of Interpretation (Kuala Lumpur : Dept. of Qur`an and Sunnah Studies, Kulliyyah of IRKHS, IIUM, 2006), h. 134. Berdasarkan inspirasi dari para ulama terdahulu --terutama Syatibi -- Muhammad ‘Abdullah Darraz kemudian mencoba menafsirkan surah al-Baqarah, surah terpanjang dalam al-Qur`an, dengan menekankan kesatuan tematis antar unsur-unsurnya. Lihat Muhammad ‘Abdullah Darraz, Al-Naba` ‘Azhim; Nazharat Jadîdah fi

al-Qur`ân. Cet. 4. (Kuwait : Dar al-Qalam, 1977), h. 163-210. Di karyanya ini, ia mengatakan;

“Seberagam apa pun persoalan-persoalan yang dikandung oleh satu surah, ia tetap merupakan sebuah pernyataan tunggal (kalam wahid) di mana bagian awalnya mengkonfirmasikan bagian akhirnya, dan demikian pula sebaliknya. Dalam totalitasnya itu, seluruh bagian dari sebuah surah mengandung satu tujuan (garadh) yang sama, sebagaimana beberapa kalimat saling terjalin satu sama lain untuk mengekspresikan sebuah gagasan yang sama pula. Lihat, Muhammad ‘Abdullah Darraz, Al-Naba` al-‘Azhim, h. 159. Bandingkan pernyataan ini dengan Abu Ishaq al-Syatibi,

Al-Muwâfaqât, vol. 3, h. 309-310.

25

Mohamed El-Tahir El-Misawi, “The Meaning and Scope of al-Tafsir al-Mawdu‘i: A

Comparative Historical Analysis”, h. 132.

26

Fahd ibn ‘Abd al-Rahman ibn Sulaiman al-Rumi, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah

al-Haditsah fi al-Tafsir. (Beirut : Mu`assasah al-Risalah, 1407 H.), h. 232-233.

27

M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an; Fungsi dan Perang Wahyu dalam

Kehidupan Masyarakat. h. 133. Untuk penerapan atau aplikasi metode tematik yang diberikan

Menurut penelusuran al-Farmawi,28 pencetus dari metode tafsir tematik itu adalah Muhammad Abduh, kemudian ide-ide pokoknya diberikan oleh Mahmud Syaltut, lalu diintroduksikan secara konkrit oleh Al-Qumi ke dalam bukunya yang berjudul "al-Tafsir al-Maudhu'i,29 bahkan dengan dukungannya beberapa dosen jurusan tafsir di fakultas Ushuluddin al-Azhar ketika itu berhasil menyusun banyak karya ilmiah dengan menggunakan metode tersebut.30

Dari keterangan di atas terlihat bahwa para ahli mengarahkan pandangan mereka pada problem-problem baru dan berusaha memberikan jawaban-jawaban melalui petunjuk al-Qur'an sambil memperhatikan hasil-hasil pemikiran dan penemuan manusia, baik yang positif maupun negatif.

Sehingga dalam perkembangan berikutnya – di Sunni sekarang ini – banyak bermunculan karya ilmiah yang berbicara tentang satu topik tertentu menurut pandangan al-Qur'an. Seperti al-Insân fî al-Qur'ân al-Karîm dan al-Muqawwamat al-Insâniyah fî al-Qur'ân al-Karîm karya Ibrahim Muhnan atau al-Ribâ fî al-Qur'ân al-Karîm karya Abu al-A'la al-Maududi dan lain sebagainya, sebagaimana yang telah disebutkan di bab I.

Perkembangan metode tematik dalam kajian tafsir tidak saja berkembang di belahan Timur Tengah, tapi berkembang pula di Indonesia sekarang ini. Apalagi tafsir dengan menggunakan metode tersebut dirasa sangat dibutuhkan dewasa ini. Karya-karya tafsir maudhu'i di Indonesia ini dipelopori oleh M. Quraish Shihab, yang menulis banyak buku juga membahas metode tersebut. Di

28

'Abd. Al-Hayy al-Farmawi, Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu'i; Dirasat Manhajiyat

Maudhu'iyat., h. 74.

29

Al-Qumi adalah Ahmad al-Sayyid al-Qumi. Beliau ketika itu adalah Ketua Jurusan Tafsir pada Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, Cairo sampai tahun 1982. Adapun al-Tafsir

al-Maudhu'i merupakan salah satu karyanya tentang metode tematik. Lihat, 'Abd. Al-Hayy

al-Farmawi, Al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudhû'î; Dirâsat Manhajiyat Maudhû'iyah, h. 61. Bandingkan dengan sumber yang diberikan dari Majalah "Pesantren" No. 1/Vol. VIII. 1991. h. 13.

30

'Abd. Al-Hayy al-Farmawi, Al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudhû'i; Dirâsat Manhajiyat

Maudhû'iyat., h. 61. Adapun di antara karya ilmiah dalam hal tersebut ialah Al-Husaini Abu

Farhah menulis al-Futûhât al-Rabbâniyah fî al-Tafsîr al-Muadhû'iyyah li al-Âyat al-Qur`âniyyah

dalam dua jilid dengan memilih banyak topik yang dibicarakan al-Qur'an. Selain buku ini, yang juga termasuk baru adalah karya Muhammad al-Ghazali yang berjudul Nahw Tafsîr

al-Maudhû'î li al-Suwar al-Qur'ân al-Karîm. Lihat, M. Quraish Shihab, Membumikan Alqur'an.

antaranya yang terkenal adalah Wawasan al-Qur'an, yang di dalamnya terdapat banyak tema, khususnya persoalan-persoalan kontemporer yang dialami umat.31

Dengan munculnya tafsir metode maudhu'i32 dipelopori M. Quraish Shihab, muncul pula berbagai karya di negeri ini yang juga menggunakan metode tematik, seperti Ensiklopedi Al-Qur'an karya Dawam Raharjo yang dianggap sangat kaya akan pembahasan, Argumen Kesetaraan Jender karya Nasaruddin Umar, Jiwa Dalam Al-Qur'an karya Achmad Mubarok dan Ahli Kitab dalam Al-Qur'an karya Muhammad Ghalib dan sebagainya.

Walaupun karya-karya tersebut kurang dianggap sebagai karya tafsir, akan tetapi dari sini mereka mendapatkan inspirasi baru, sehingga bermunculan karya-karya tafsir yang mengungkapkan satu topik tertentu dengan jalan menghimpun seluruh atau sebagian ayat-ayat, atau beberapa surat, yang berbicara tentang topik tersebut, kemudian dikaitkan satu dengan lainnya, sehingga pada akhirnya diambil kesimpulan menyeluruh tentang pandangan tersebut menurut pandangan al-Qur'an.

Terlepas dari karya-karya yang telah disebutkan, yang jelas bahwa semua yang diungkapkan di atas tentu masih dalam konteks perkembangan tafsir tematik beraliran Sunni.

Sedangkan di Syiah, istilah tafsir maudhu'i ternyata dikenal pula di Najef, Irak yang diperkenalkan oleh Ayatullah Muhammad Bâqir al-Shadr dalam

31

M. Yudhie R. Haryono, Bahasa Politik Al-Qur'an; Mencurigai Makna Tersembunyi di

Balik Teks. Cet. I. (Bekasi : Gugus Press, 2002), h. 151. Bandingkan komentar yang diberikan M.

Yudhie R. Haryono dengan buku aslinya yang ditulis M. Quraish Shihab, Wawasan Alqur'an;

Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat. Cet. VIII. (Bandung : Mizan, 1998). Menurut

penuturan M. Yudhie R. Haryono dalam buku yang telah disebutkan menyatakan bahwa buku tersebut hasil dokumentasi dari materi-materi yang beliau ajarkan dalam pengajian rutin khusus untuk para pejabat pemerintah eselon I dan II di Masjid Istiqlal Jakarta, sejak tahun 1993. M. Yudhie R. Haryono, Bahasa Politik Al-Qur'an; Mencurigai Makna Tersembunyi di Balik Teks. Cet. I. h. 152.

32

Munculnya karya-karya tafsir dengan metode maudhu'i menurut pandangan M. Yudhie R. Haryono, turut berperan menaikkan gengsi – atau setidaknya mengejar ketertinggalan umat Islam di mata dunia Islam pada umumnya. Sebab metode ini termasuk baru dan di Timur Tengah sendiri masih dalam tahap pengembangan. Belum banyak karya-karya dalam metode ini yng dihasilkan oleh ilmuan-ilmuan di sana. Hal ini juga mengingat kondisi dunia tafsir di Indonesia sebelumnya termasuk tertinggal jauh. Tafsir dan terjemah al-Qur'an yang diterbitkan pemerintah Indonesia baru keluar tahun 1970-an, sementara saat ini tafsir metode maudhu'i telah mulai popular di dunia Arab. Beruntunglah bangsa kita memiliki putra-putri terbaik yang saat itu sedang menimba di sana. M. Yudhie R. Haryono, Bahasa Politik Al-Qur'an; Mencurigai Makna

bukunya yang berjudul "al-Madrasat al-Qur'âniyah".33 Buku tersebut dianggap sebagai buku pedoman tafsir modern yang ditulis oleh tokoh Syiah modern. Namun demikian, jika dilihat secara kronologi maka perkembangan tafsir Syiah sama seperti di Sunni, yakni muncul dan dimulai sejak masa Rasulullah saw. sebagai sumber inspirasi atau penafsir awal.

Misalnya saja, penelusuran yang dilakukan oleh al-Majlisi dalam Bihar al-Anwar menyebutkan bahwa ketika Nabi menafsirkan tentang mengecam kehinaan dunia ia menyebutkan beberapa ayat al-Qur'an seperti Q.s. al-Hadid/57 ayat 20, Q.s. Al-Zukhruf/43 ayat 33-34, dan Q.s. Al-Isra’/17 ayat 18. Bahkan menurutnya, Nabi tidak hanya mengungkapkan beberapa ayat tersebut tapi juga menyebutkan beberapa riwayat popular dan riwayat-riwayat panjang yang relevan dan berkaitan dengan masalah kehinaan dunia tersebut.34

Demikian pula di tempat lain, al-Majlisi menuturkan bahwa ketika Rasulullah saw. juga menafsirkan masalah ketiadaan ilmu atau pengetahuan ia juga menyebutkan beberapa ayat seperti Q.s. Al-Isra’/17 ayat 36, Q.s. Al-Zukhruf /43 ayat 19, Q.s. Qaf/50 ayat 18, dan Q.s. Qaf/50 ayat 16.35 Hanya saja menurut sumber yang diberikan oleh Ahmad Ridha,36 menyebutkan bahwa orang pertama

33

Harifuddin Cawidu, "Metode dan Aliran dalam Tafsir dalam Majalah" Pesantren No. 1/Vol. VIII/1991. h. 13.

34

Penafsiran ini diucapkan oleh Rasulullah saw. pada saat ia memberi teguran dan nasihat kepada Abdullah ibn Mas’ud (w. 33 H.) tentang pengecamannya terhadap kehinaan dunia. Di antara salah satu teguran atau nasihat Nabi kepada Abdullah ibn Mas’ud ialah perkataan;

“Wahai Ibnu Mas'ud! sesungguhnya orang-orang bodohlah yang mencari dunia yang hina ini."

Untuk lebih jelas tentang keterangan dan riwayat-riwayat yang disebutkan Rasul dapat lihat, Muhammad Baqir al-Majlisi, Bihar Anwar; Jâmi'ah li Durar Akhbar Aimmat

al-Athhar. Cet. II. Juz. 74. Kitab al-Riadhat, bab 5. (Beirut : Muassasat al-Wafa, 1403 H./1983 M.),

h. 93-94. 35

Perlu diinformasikan di sini, bahwa nasihat Nabi kepada Ibnu Mas'ud bukan saja dalam urusan ilmu atau pengetahuan tapi juga berbagai hal yang yang menyangkut kehidupan dunia khususnya. Di antara salah satu teguran atau nasihat Nabi kepada Abdullah ibn Mas’ud ialah perkataan; “Wahai Ibn Mas’ud! janganlah engkau mengatakan sesuatu hal tanpa ilmu / pengetahuan dan janganlah engkau bersegera dengan sesuatu yang belum kamu dengar dan

belum kamu lihat. Untuk lebih jelas mengenai keterangan ini lihat, Muhammad Baqîr al-Majlisi,

Bihar al-Anwar; al-Jâmi'ah li Durar al-Akhbar al-Aimmat al-Athhar. Cet. II. Juz. 74. Kitab

al-Raidhat, bab 5. h. 105-106.

36

Ahmad Ridha ialah seorang ulama yang memberikan kata pengantar / prolog tentang seputar tafsir dan ruang lingkupnya dalam kitab "Majma' al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an" yang ditulis oleh Abu 'Ali al-Fadhl bin Hasan al-Thabarsi. Di antara tafsir dan ruang lingkup yang dimaksud ialah term tafsir dilihat secara bahasa, kesamaan antara term tafsir dan takwil, materi tafsir, obyek tafsir dan tujuannya, kegunaan dan orientasi yang dibutuhkan tafsir,

tingkatan-dari generasi sahabat sepeninggal Rasulullah saw. adalah 'Ali bin Abi Thalib (w. 40 H), yang paling alim dan tidak diragukan kapabilitasnya dalam urusan

kitabullah (al-Qur'an), hingga ia juga disinyalir sebagai pintunya kota ilmu.37 Hal ini tercermin dari pujian sahabat 'Abdullah bin Mas'ud terhadap 'Ali bin Abi Thalib seperti dikatakan oleh al-Thabarsi :

"Al-Qur'an diturunkan atas tujuh huruf, tak ada satu huruf pun di al-Qur'an baik yang zahir maupun yang batin kecuali ia mengetahuinya, dan hanya di sisinyalah kedua urusan tersebut."38

Salah satu dedikasi Ali ibn Abi Thalib as. dalam hal tersebut adalah ketika menjelaskan masalah al-Kufr dengan membagi term tersebut ke dalam 5 orientasi makna yang didukung oleh beberapa ayat sebagai dalilnya, yakni :

1) Term al-Kufr berarti tidak percaya dan menentang seperti orang inkar terhadap adanya wujud Allah swt., surga, neraka, dan kiamat, sebagaimana diceritakan Quran dalam ungkapan orang-orang kafir, yakni Q.s. al-Jatsiyah/45 ayat 24,

2) Term al-Kufr berarti tidak percaya yang dibarengi karena mengetahui dan yakin, sebagaimana digambarkan dalam Q.s. al-Naml/27 ayat 14, 3) Term al-Kufr berarti maksiat / membangkang dan meninggalkan ketaatan seperti yang diceritakan Allah swt. tentang Bani Israil yang sebagian dari mereka beriman terhadap al-Kitab dan sebagian yang lain membohonginya, pada saat Allah swt. berfirman dalam Q.s. al-Baqarah/2 ayat 85,

4) Term al-Kufr berarti bebas dan lepas dari tanggung jawab, seperti firman Allah swt. tentang perkataan Nabi Ibrahim as. kepada penyembah berhala; Kafarna Bikum (Q.s. al-Mumtahanah/60 ayat 4), dan demikian pula firman Allah swt. dalam Q.s. al-'Ankabut/29 ayat 25,

5) Term al-Kufr berarti tidak bersyukur terhadap nikmat, seperti firman Allah swt. dalam Q.s. Ibrahim/14 ayat 7.39

tingkatan para penafsir, dan bagian-bagian tafsir. Lihat, Abu 'Ali al-Fadhl bin Hasan al-Thabarsi,

Majma' al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an. Juz. I. (Qum : Dar al-Ma'rifah, 1376 H./1418 M.), h. 68.

37

Al-Thabarsi, Majma' al-Bayan, h. 68. 38

Hal yang sama juga disebutkan al-Majlisi tentang 'Ali bin Abi Thalib as. ketika mengumpulkan ayat-ayat lain yang berkenaan dengan syirk, kufr dan macam-macamnya dalam al-Quran, kemudian ia membagi keduanya menjadi; syirik akidah, syirik perbuatan, syirk ketaatan, syirk riya’, sedangkan kufr

menjadi; kufr menentang kepada Allah swt, kufr meninggalkan perintah-perintah-Nya, kufr terhadap apa yang diceritakan Allah dalam kisah Ibrahim as. tentang perkataannya (Q.s. Ibrahim / 14 : 22), kufr nikmat seperti yang digambarkan dalam ucapan nabi Sulaiman as. (Q.s. al-Naml / 27 : 40), dan semuanya ini dijelaskan oleh 'Ali bin Abi Thalib dengan menyebutkan ayat-ayat al-Quran.40

Keterangan di atas, menggambarkan bahwa 'Ali bin Abi Thalib as. dengan pembagian ayat-ayat tentang al-Kufr dan al-Syirk menunjukkan ia telah meletakkan pandangan umum terhadap sebuah tema, dan menerangkan kedua istilah itu dengan pengertian yang luas dan holistik. Ini berarti setiap termal-Kufr

mencakup semua penolakan terhadap kebenaran baik pada masalah akidah, perbuatan, atau pun pemberian-pemberian Tuhan, sedangkan term al-Syirk

mencakup setiap hal yang menjadikan sekutu bagi Allah swt. baik berkenaan masalah akidah, perbuatan, ketaatan terhadap hukum. Maka jelaslah dengan pemaparan tafsir maudhu’i pada kedua contoh yang diberikan oleh 'Ali bin Abi Thalib as. menjadi peran yang sangat penting bagi tafsir ini untuk memperluas wawasan manusia dan pemahaman yang dalam terhadap ayat-ayat al-Qurân.

Semua yang disebutkan tersebut tentu merupakan beberapa contoh yang pernah dilakukan oleh 'Ali bin Abi Thalib untuk mengajarkan kepada kita tentang metode atau cara mengumpulkan ayat-ayat yang bertalian dengan tema tertentu dan sistematika ayat-ayat yang ada dengan menampilkan suatu tujuan.

Model penafsiran tematik yang dilakukan oleh 'Ali bin Abi Thalib as. berkembang hingga ke murid-muridnya. Salah satu dari murid-murid 'Ali bin Abi Thalib ialah 'Abdullah bin 'Abbas atau Ibnu 'Abbas (w. 68 H./687 M.), yang seringkali disebut-sebut sebagai "turjuman al-Qur'an" (juru bicara) dan "hibr al-Qur'an" (pena al-Qur'an), bahkan al-Thabarsi menganggapnya sebagai orang yang

39

Al-Majlisi, Bihar al-Anwar. Juz. 69. Kitab al-Iman wa al-Kufr, bab 98. h. 115-120. 40

mewarisi ilmu-ilmu dari Rasulullah saw., dan karenanya tidak sedikit riwayat hadis yang mendukung sebuah penafsiran yang datang darinya.41 Dari jalur inilah tafsir atau persoalan tafsir berkembang hingga kepada murid-murid atau sahabat-sahabat yang lain, khususnya di kalangan Syiah.

Dalam perkembangan selanjutnya atau memasuki abad ke-2, praktik penafsiran dengan menggunakan metode tematik juga dilakukan oleh Imam Musa ibn Ja’far (w. 183 H.) pada saat memberikan gambaran tentang kedudukan akal yang ada pada kalimat ulil albab di al-Qur'an kepada Hisyam ibn Hakam (w. 199 H.),42 ia terlebih dahulu mengumpulkan ayat-ayat yang berkaitan seperti Q.s. al-Baqarah/2 ayat 269, Q.s. Ali Imran/3 ayat 7 dan 9, Q.s. Shad/28 ayat 29, dan Q.s. al-Mu’minun/ 23 ayat 54 sembari mengucapkan; "Perhatikanlah bagaimana Allah swt. memberikan sifat terhadap “ulil albab” dengan gambaran yang baik!".43

Kegiatan mengumpulkan ayat-ayat dan memperhatikannya satu sama lain akan memberikan wawasan yang dalam, dan karenanya dapat memahami makna "ulil albâb" dengan baik. Pencarian melalui tematik ini dianggap sempurna apabila upaya itu dilakukan hanya menggunakan metode tafsir maudhu’i dalam