• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV TEKNOLOGI PENGOLAHAN LIMBAH B3

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV TEKNOLOGI PENGOLAHAN LIMBAH B3"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

TEKNOLOGI PENGOLAHAN LIMBAH B3

4.1. Sistem Pengolahan Limbah B3

Pengolahan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), adalah proses untuk mengubah jenis, jumlah dan karakteristik limbah B3 menjadi tidak berbahaya dan/atau tidak beracun dan/atau immobilisasi limbah B3 sebelum ditimbun dan/atau memungkinkan agar limbah B3 dimanfaatkan kembali (daur ulang).

Ada berbagai cara/sistem yang dapat dipilih untuk mengolah limbah B3, baik secara fisika, kimia, biologi atau kombinasi dari itu. Pemilihan sistem yang akan digunakan untuk mengolah suatu limbah B3 disesuaikan dengan karakteristik dan sifat-sifat limbah tersebut, yang mana prosesnya harus aman dan tidak menimbulkan bahaya bagi pekerjanya, diusahakan dengan biaya yang seefisien mungkin dan dapat memberikan hasil olahan yang aman bagi manusia di sekitarnya maupun lingkungan, tidak hanya memindahkan limbah dari satu tempat/bentuk ke tempat/bentuk yang lain saja tetapi dapat mencapai kesestabilan materi.

Proses pengolahan secara fisika dan kimia bertujuan untuk mengurangi daya racun limbah B3 dan/atau menghilangkan sifat/karakteristik limbah B3 dari berbahaya menjadi tidak berbahaya. Cara ini biasanya menghasilkan produk olahan berupa cairan, gas, debu atau padatan. Produk-produk hasil olahan tersebut harus memenuhi baku mutu yang berlaku tentang pengendalian pencemaran sesuai dengan kelasnya.

Jenis-jenis proses pengolahan secara fisika dan kimia antara lain : 1. Proses pengolahan secara kimia:

(2)

(b) Elektrolisa, (c) Netralisasi, (d) Presipitasi/Pengendapan, (e) Solididifikasi/Stabilisasi, (f) Absorpsi, (g) Penukar lon, (h) Pirolisa.

2. Proses pengolahan secara fisika: (a) Pembersihan gas :

(i) Elektrostatik presipitator, (ii) Penyaringan partikel, (iii) Wet scrubbing,

(iv) Adsorpsi dengan karbon aktif. (b) Pemisahan cairan dan padatan :

(i) Sentrifugasi, (ii) Klarifikasi, (iii) Koagulasi, (iv) Filtrasi, (v) Flokulasi, (vi) Flotasi, (vii) Sedimentasi, (viii) Thickening.

(c) Penyisihan komponen-komponen yang spesifik : (i) Adsorpsi, (ii) Kristalisasi, (iii) Dialisa, (iv) Electrodialisa, (v) Evaporasi, (vi) Leaching,

(vii) Reverse osmosis, (viii) Solvent extraction, (ix) Stripping.

(3)

4.2. Teknik Pengolahan Limbah B3 4.2.1. Netralisasi

Netralisasi limbah diperlukan jika kondisi limbah masih di luar range pH baku mutu limbah (BML) yang diperlukan (pH 6-8), sebab limbah di luar kondisi tersebut dapat bersifat racun atau korosif. Dalam beberapa hal netralisasi dapat dilakukan dengan cara mencampur limbah yang bersifat asam dengan limbah yang bersifat basa. Pencampuran dilakukan di dalam suatu bak equalisasi (bak penstabil) pada level ketinggian tetap. Bak ini juga sering disebut sebagai tangki netralisasi. Tangki reaksi netralisasi dilengkapi dengan alat sensor pH untuk mengontrol kondisi hasil reaksi. Secara umum reaksi netralisasi tersebut sebagai berikut:

Netralisasi menggunakan bahan kimia dilakukan dengan menambahkan bahan yang bersifat asam kuat atau basa kuat. Air limbah yang bersifat asam pada umumnya dinetralkan dengan larutan kapur (Ca(OH)2), soda kostik (NaOH) atau natrium karbonat (Na2CO3). Karena larutan kapur harganya lebih murah dari pada bahan kimia lainnya, maka larutan ini lebih sering dipakai di berbagai industri.

Air limbah yang bersifat basa dinetralkan dengan asam kuat seperti H2SO4, HCl atau dengan gas CO2. Netralisasi dengan CO2 dapat dilakukan dengan memasukkan gas CO2 melalui bagian bawah tangki netralisasi. Gas akan akan membentuk gelembung-gelembung gas yang akan bereaksi dengan basa yang ada sehingga dihasilkan asam karbonat (H2CO3).

(4)

4.2.2. Pengendapan

Jika konsentrasi logam berat di dalam air limbah cukup tinggi, maka logam tersebut dapat dipisahkan dari limbah dengan jalan pengendapan. Pengendapan dapat dilakukan dengan mengubah bentuk logam yang ada ke dalam bentuk hidroksidanya. Hal ini dilakukan dengan penambahan larutan kapur (Ca (OH)2) atau soda kostik (NaOH) dengan memperhatikan kondisi pH akhir dari larutan. Pengendapan optimal akan terjadi pada kondisi pH dimana hidroksida logam tersebut mempunyai nilai kelarutan minimum. Untuk lebih jelasnya hubungan antara konsentrasi logam dengan kondisi pH dapat dilihat pada Gambar 4.2.

Dari Gambar 4.2 terlihat bahwa kelarutan minimum krom dan seng terjadi pada pH 7,5 dan 10,2. Gambar tersebut juga menunjukkan bahwa konsentrasi krom maupun seng akan meningkat dengan tajam jika kondisi pH berubah dari nilai 7,5 atau 10,2. Jadi untuk mengendapkan logam yang ada secara optimal kondisi pH memegang peran yang sangat penting.

4.2.3. Koagulasi dan Flokulasi

Koagulasi dan flokulasi digunakan untuk memisahkan padatan tersuspensi dari cairan jika kecepatan pengendapan secara alami padatan tersebut lambat atau tidak efisien. Koagulasi dilakukan

(5)

dengan menambahkan bahan kimia koagulan ke dalam air limbah. Koagulan yang sering digunakan di lingkungan industri antara lain larutan kapur Ca (OH)2, tawas (Al2(SO4)3. 18 H2O; FeCl3; FeCl2; FeSO4. 7 H2O dan lain-lain.

4.2.4. Oksidasi – Reduksi (Redoks)

Oksidasi adalah reaksi kimia yang akan meningkatkan bilangan valensi materi yang bereaksi dengan melepaskan elektron. Reaksi

K o n s e n tr a s i L o g a m ( m g /l )

(6)

oksidasi selalu diikuti dengan reaksi reduksi. Reduksi adalah reaksi kimia yang akan menurunkan bilangan valensi materi yang bereaksi dengan menerima elektron dari luar. Reaksi kimia yang melibatkan kedua reaksi oksidasi dan reduksi ini dikenal dengan reaksi redok.

Reaksi kimia Oksidasi-Reduksi dapat merubah bahan pencemar yang bersifat racun menjadi tidak berbahaya atau menurunkan tingkat/daya racunnya.

Contoh pengolahan limbah B3 dengan reaksi redok:

(1) Krom valensi enam (krom heksavalen) merupakan bahan kimia yang sangat beracun, sehingga keberadaannya di dalam limbah harus ditangani dengan sangat hati-hati. Untuk menurunkan tingkat racun dari krom heksavalen ini dapat dilakukan dengan mengadakan reaksi redok. Krom heksavalen dapat direduksi menggunakan sulfur dioksida (SO2) menjadi krom trivalen yang mempunyai tingkat/daya racun jauh lebih rendah dari pada krom heksavalen. Reaksi dasar dari krom ini adalah sebagai berikut:

Krom trivalen lebih aman dari pada krom heksavalen sehingga lebih dapat diterima di lingkungan.

(2) Limbah yang mengandung sianida juga mempunyai sifat racun yang sangat kuat, sehingga diperlukan pengolahan terlebih dahulu sebelum limbah tersebut di-landfill. Sianida yang sangat beracun tersebut dapat dioksidasi ke dalam bentuk sianat yang daya racunnya jauh lebih rendah.

SO2 + H2O H2SO3

2 CrO3 + 3 H2SO3 Cr2(SO4)3 + 3 H2O Cr2(SO4)3 + 3 Ca(OH)2 2 Cr(OH)3 + CaSO4

(7)

Reaksi oksidasinya sebagai berikut:

Kedua reaksi tersebut sangat sensitive terhadap perubahan kondisi pH. Reaksi pertama membutuhkan pH lebih besar dari pada 10 untuk memproduksi natrium sianida, sedangkan reaksi kedua akan terjadi lebih cepat pada kondisi pH sekitar 8. Proses klorinasi alkalin akan lebih baik dilakukan dengan pemutih hipoklorid seperti menggunakan peroksida dan ozon untuk lebih menyempurnakan hasil reaksi penghancuran sianida.

4.2.5. Insenerasi

Insenerator adalah alat untuk membakar sampah padat. Insenerator sering digunakan untuk mengolah limbah B3 yang memerlukan persyaratan teknis pengolahan dan hasil olahan yang sangat ketat. Supaya dapat menghilangkan sifat bahaya dan sifat racun bahan yang dibakar, insenerator harus dioperasikan pada kondisi di atas temperatur destruksi dari bahan yang dibakar.

Pengolahan secara insinerasi bertujuan untuk menghancurkan senyawa B3 yang terkandung di dalamnya menjadi senyawa yang tidak mengandung B3. Ukuran, disaint dan spesifikasi insenerator yang digunakan disesuaikan dengan karakteristik dan jumlah limbah yang akan diolah. Insenerator dilengkapi dengan alat pencegah pencemar udara untuk memenuhi standar emisi.

Insenerator sudah banyak dipakai oleh industri, usaha pengolahan limbah B3, rumah sakit, pengelola sampah kota serta sampah pasar. Abu dan asap dari insenerator harus aman untuk dibuang ke lingkungan. Kualitas hasil buangan (asap dan abu) banyak dipengaruhi oleh jenis dan karakteristik bahan yang dibakar serta kinerja dari insenerator yang digunakan. Untuk mencapai kondisi

NaCN + Cl2 + 2 NaOH NaCNO + 2 NaCl + H2O

(8)

yang diinginkan, diperlukan suatu insenerator yang dapat bekerja dengan baik yang dilengkapi dengan suatu sistem kontrol pengendalian proses pembakaran agar dapat dipastikan bahwa semua bahan dapat terbakar pada titik optimum pembakarannya dan hasilnya sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian teknologi insenerator yang akan digunakan harus dapat mengatasi semua permasalahan dalam pembuangan dan pemusnahan limbah B3 (sampah padat).

Gambar 4.3 sampai 4.7 menunjukkan foto insenerator yang sudah diproduksi di dalam negeri.

Gambar 4.3: Insenerator dan Bagian-bagiannya

(9)

Gambar 4.5: Insenerator Yang Telah Diisi Sampah Siap Untuk Dibakar.

Gambar 4.6: Insenerator Pada Saat Dioperasikan

Gambar 4.7: Asap Yang Timbul Pada Saat Pembakaran (Jika Pembakaran Sempurna, Asap Hampir Tak Terlihat)

(10)

4.2.6. Pengolahan dengan cara stabilisasi/solidifikasi

Pengolahan secara stabilisasi/solidifikasi bertujuan untuk mengubah sifat fisik dan kimiawi limbah B3 dengan cara penambahan senyawa pengikat (aditif) B3 agar pergerakan senyawa B3 ini terhambat atau terbatasi dan membentuk massa monolit dengan struktur yang kekar (massive). Pada proses ini limbah B3 harus dapat diikat dan distabilkan sehingga sifat racun dan sifat bahayanya dapat diturunkan sampai ambang batas yang ditentukan.

Proses stabilisasi/solidifikasi adalah suatu tahapan proses pengolahan limbah B3 untuk mengurangi potensi racun dan kandungan limbah B3 melalui upaya memperkecil/membatasi daya larut, pergerakan/ penyebaran dan daya racunnya (immobilisasi unsur yang bersifat racun) sebelum limbah B3 tersebut dibuang ke tempat penimbunan akhir (landfill).

Bahan-bahan yang umum digunakan untuk proses stabilisasi/solidifikasi (bahan aditif) antara lain:

1. Bahan pencampur: gipsum, pasir, lempung, abu terbang; &

2. Bahan perekat/pengikat: semen, kapur, tanah liat, dll.

4.2.7. Pengolahan dengan cara penimbunan

Pengolahan dengan cara ini memerlukan lokasi yang luas, jauh dari pemukinan penduduk dan aktivitasnya. Lokasi penimbunan juga tidak boleh berhubungan dengan faktor-faktor pendukung kehidupan seperti, tempat sumber air atau lokasi serapan air tanah.

Lokasi penimbunan yang sudah penuh harus ditutup dan tidak dapat digunakan sebagai lokasi pemukiman.

Kualitas limbah B3 yang akan ditimbun harus dianalisis di laboratorium terlebih dahulu dan lolos dari persyatan yang diperlukan, antara lain :

(11)

a. Memenuhi baku mutu uji Toxity Characteristic Leaching Procedure (TCLP) sesuai Tabel 3 Keputusan Kepala Bapedal No. Kep-04/BAPEDAL/09/1995; lolos uji Plain Filter Test dan uji kuat tekan (compressive strength);

b. Sudah melalui proses stabilitas/solidifikasi, insinerasi atau pengolahan secara fisika atau kimia;

c. Tidak bersifat :

(i) Mudah meledak.

(ii) Mudah terbakar.

(iii) Reaktif.

(iv) Menyebabkan infeksi.

d. Tidak mengandung zat organik lebih besar dari 10 persen;

e. Tidak mengandung PCB;

f. Tidak mengandung dioxin;

g. Tidak mengandung radioaktif;

h. Tidak berbentuk cair atau lumpur.

Pada saat penimbunan limbah B3 harus dilakukan pencatatan yang memuat informasi dokumentasi (dokumen limbah B3 / waste tracking form) mengenai asal penghasil limbah B3, karakteristik awal limbah B3, volume, tanggal, dan lokasi (koordinat) penimbunan.

4.3. Pemilihan Proses Pengolahan Limbah B3

Setiap orang atau badan usaha yang kegiatannya menghasilkan limbah/sampah, baik cair, padat maupun gas diwajibkan untuk mengolah limbahnya sampai pada ambang batas yang diberlakukan sebelum dibuang ke lingkungan. Penerapan sistem

(12)

pengolahan limbah harus disesuaikan dengan jenis dan karakteristik dari limbah yang akan diolah dengan mempertimbangkan 5 hal sebagai berikut :

1. Biaya pengolahan murah,

2. Pengoperasian dan perawatan alat mudah, 3. Harga alat murah dan tersedia suku cadang, 4. Keperluan lahan relatif kecil,

5. Bisa mengatasi permasalahan limbah/sampah yang dihadapi tanpa menimbulkan efek samping terhadap lingkungan.

Pemilihan proses pengolahan limbah B3, teknologi dan penerapannya juga didasarkan atas evaluasi kriteria yang menyangkut kinerja, keluwesan, kehandalan, keamanan, operasi dari teknologi yang digunakan, dan pertimbangan lingkungan. Timbulan limbah B3 yang sudah tidak dapat diolah atau dimanfaatkan lagi harus ditimbun pada lokasi penimbunan (landfill) yang memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.

Sebelum melakukan pengolahan, terhadap limbah B3 harus dilakukan uji analisa kandungan/parameter fisika dan/atau kimia dan/atau biologi guna menetapkan prosedur yang tepat dalam proses pegolahan limbah B3 tersebut. Setelah kandungan/parameter fisika dan/atau kimia dan/atau biologi yang terkandung dalam limbah B3 tersebut diketahui, maka tahapan selanjutnya adalah menentukan pilihan proses pengolahan limbah B3 yang dapat memenuhi kualitas dan baku mutu pembuangan dan/atau lingkungan yang ditetapkan.

Pemilihan teknologi alternatif proses pengolahan limbah B3 dapat dilihat pada Gambar 4.8.

(13)

Keterangan:

1. Baku mutu limbah cair wajib memenuhi persyaratan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Kep-men 03/1991 atau yang ditetapkan oleh Bapedal.

2. Baku mutu emisi udara wajib memenuhi persyaratan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Kep-men 13/1995 atau yang ditetapkan oleh Bapedal.

3. Penimbunan wajib memenuhi semua persyaratan yang tercantum dalam PP 19/1994 dan ketentuan lain yang ditetapkan.

Gambar 4.8: Diagram Alir Alternatif Pemilihan Proses Pengolahan Limbah B3

Gambar 4.9: Proses Pengolahan Limbah Industri B3

Flamable Toxic (TCLP and LD 50 test Gas Liquid Solid Waste Discharge Solid Waste Landfill Explosive Reactive Infectious Corrosive Toxic Organic Toxic Inorganic Physical- Chemical Solidification/ Stabilitation Incineration or Thermal Destruction Recovery Air Emission

Gambar

Gambar 4.1: Tangki netralisasi
Gambar 4.2: Hubungan Konsentrasi Logam Dengan PH
Gambar 4.3 sampai 4.7 menunjukkan foto insenerator  yang sudah  diproduksi di dalam negeri
Gambar 4.5: Insenerator Yang Telah Diisi Sampah Siap Untuk Dibakar.
+2

Referensi

Dokumen terkait

PENGELOLAAN DAN KARAKTERISASI LIMBAH B3 DI PAIR BERDASARKAN POTENSI BAHAYA Telah dilakukan pengelompokan dan penyimpanan limbah B3 berdasarkan sifat fisik, kimia

9) Kemasan yang telah dikosongkan apabila akan digunakan kembali untuk mengemas limbah B3 lain dengan karakteristik yang sama, harus disimpan ditempat penyimpanan limbah B3. Jika

Substansi laporan pengelolaan limbah B3 untuk kegiatan Pengolahan limbah B3 (Pasal 143 PP 101 Tahun 2014) paling sedikit memuat:. sumber, nama, jumlah, dan karakteristik

yang bertujuan untuk mengubah limbah B3 menjadi suatu produk yang dapat digunakan dan harus juga aman bagi lingkungan dan kesehatan manusia..

Limbah bahan berbahaya dan beracun, disingkat limbah B3, adalah sisa suatu usaha atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya atau beracun karena sifat konsentrasi atau

Rencana pengelolaan sebagai limbah non B3 Tahap 1 Evaluasi Tim Ahli Limbah B3 Persetujuan KA Validasi Kelengkapan dokumen PROSEDUR 2 Pemohon melakukan uji karakteristik (berdasarkan

1) Setiap Orang yang menghasilkan Limbah B3 yang akan melakukan Penimbunan Limbah B3 pada fasilitas penimbusan akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 ayat (3) wajib melakukan

adalah kegiatan Penghasil Limbah B3 untuk mengurangi jumlah dan/atau mengurangi sifat bahaya dan/atau racun dari Limbah B3 sebelum dihasilkan dari suatau usaha dan/atau