• Tidak ada hasil yang ditemukan

KENYAMANAN TERMAL DAN PENGHEMATAN ENERGI: TEORI DAN REALISASI DALAM DESAIN ARSITEKTUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KENYAMANAN TERMAL DAN PENGHEMATAN ENERGI: TEORI DAN REALISASI DALAM DESAIN ARSITEKTUR"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

KENYAMANAN TERMAL DAN PENGHEMATAN ENERGI: TEORI DAN

REALISASI DALAM DESAIN ARSITEKTUR

Tri Harso Karyono

Paper dalam acara Seminar dan Pelatihan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), Gedung Jakarta Desain Center, Jakarta, 20 Maret 2010

Abstrak

Tiga di antara sasaran yang perlu dipenuhi oleh suatu karya arsitektur adalah: pemenuhan tuntutan estetika, pemenuhan tuntutan kenyamanan (psikis maupun fisik) dan pemenuhan tuntutan hemat energi. Aspek estetika perlu dipenuhi karena arsitektur merupakan bagian dari ilmu seni. Apek kenyamanan perlu dipenuhi karena arsitektur juga merupakan bagian dari ilmu desain. Sedangkan aspek penghematan energi perlu dipenuhi karena arsitektur juga merupakan bagian dari ilmu teknik dan lingkungan. Dalam aspek kenyamanan tercakup di dalamnya kenyamanan psikis dan fisik. Kenyamanan psikis terkait dengan hal-hal yang tidak terukur atau cenderung subyektif di mana tuntutannya berbeda antara satu individu dengan individu lain. Di lain pihak, kenyamanan fisik lebih bersifat obyektif dan terukur. Kenyamanan fisik meliputi kenyamanan spasial (ruang), visual (penglihatan), auditorial (pendengaran), termal(suhu) dan olfaktual (penciuman-bau). Dalam kaitan dengan konsumsi energi bangunan, aspek kenyamanan visual dan termal terkait langsung dengan jumlah energi yang dikonsumsi bangunan. Bagaimana menerangi ruang dengan meminimalkan penggunaan lampu, dan bagaimana membuat ruang nyaman (tidak panas atau tidak dingin) dengan meminimalkan penggunaan mesin AC atau pemanas ruang. Secara umum, konsumsi energi terbesar di bangunan (di luar bangunan pabrik dan industri) sangat terkait dengan pemenuhan aspek kenyamanan termal. Arsitektur yang baik adalah arsitektur yang dirancang sedemikian rupa sehingga mampu memodifikasi iklim luar yang tidak nyaman menjadi nyaman dengan menggunakan bantuan peralatan listrik atau mekanik seminimal mungkin . Dengan kata lain, karya arsitektur yang baik adalah arsitektur yang dalam pencapaian kenyamanan termal minim mengkonsumsi energi. Makalah ini membahas bagaimana desain arsitektur akan menentukan tingkat keberhasilan pencapaian kenyamanan termal dalam suatu bangunan.

Kata kunci: estetika, iklim tropis lembab, kenyamanan fisik, kenyamanan termal, konsumsi energi, desain arsitektur

1. Pendahuluan: Desain Arsitektur

Secara mendasar arsitektur merupakan suatu produk desain, di mana aspek kenyamanan fisik pengguna bangunan merupakan aspek penting tidak dapat dikesampingkan. Ada kecenderungan bahwa karya arsitektur yang direpresentasikan melalui gambar atau maket pada umumnya hanya dinilai dari aspek tertentu saja, yakni aspek estetika bentuk. Cara menilai semacam ini tidak ubahnya seperti ketika seorang pematung menyaksikan gambar atau maket karya seni tiga dimensi (sculpture).

Patung atau sculpture tidak perlu nyaman untuk digunakan, karena dia merupakan benda seni yang tidak difungsikan untuk mewadahi aktifitas manusia. Patung bukan karya desain. Dia merupakan karya seni murni yang cukup diapresiasi dari sudut pandang estetika (bentuk). Karya patung akan dinilai baik ketika ia memiliki nilai estetika baik. Patung besar akan diapresiasi sebagai karya yang diperhitungkan ketika dia memiliki estetika bentuk yang baik serta kokoh (kuat dan kaku) – tidak roboh terhempas angin atau runtuh memikul beratnya sendiri - ketika diletakkan di suatu tempat tertentu. Dalam menilai sebuah karya patung (sculpture), hanya tolok ukur esetetika semata yang dijadikan kriteria (Karyono, 2006).

Barangkali kita dapat mencoba untuk mengapresiasi suatu karya yang disebut sebagai ’karya desain’ dan bukan ’karya seni murni’. Ambil contoh desain sebuah kursi kerja kantor. Sebuah kursi kantor dibuat dengan maksud untuk digunakan (diduduki) oleh seseorang yang

(2)

melakukan kerja kantor. Selain perlu memenuhi kriteria keindahan atau esetika bentuk dan esetetika detil, kursi tersebut juga harus memenuhi kriteria kokoh (kaku dan kuat) untuk menopang beban manusia yang duduk di atasnya sehingga tidak roboh atau patah. Dia harus dibuat dengan bentuk sedemikian rupa sehingga tidak bertentangan dengan ilmu statika gaya, dengan kata lain harus dibuat dengan material tertentu dan dimensi tertentu agar tidak patah.

Di luar kriteria itu, kursi tersebut juga harus memenuhi kriteria ‘nyaman’ untuk diduduki atau digunakan. Untuk maksud itu kursi perlu dibuat dengan dimensi tertentu sesuai dengan antropometri bagian tubuh manusia yang akan melekat pada kursi (punggung hingga bagian paha bawah), dan secara ergonomi sesuai dengan pergerakan bagian-bagian tubuh manusia yang melekat tersebut. Sebaik apapun bentuk kursi tersebut, dia tidak pernah dinilai sebagai karya yang baik ketika kursi tersebut ‘tidak nyaman’ untuk diduduki, ketika dimensinya tidak sesuai dengan antropometri dan ergonomi bagian tubuh manusia yang melekat di atasnya. Seliar atau se-ekstrim apapun bentuk dari desain kursi, dia tetap akan dibatasi oleh tuntutan antropometri-ergonomi manusia yang menggunakan, tuntutan kekuatan untuk menahan beban manusia yang duduk di atasnya (Karyono. 2006).

Tanpa memenuhi kriteria itu kursi tidak akan pernah difungsikan. Dengan kata lain kursi tersebut hanya akan digunakan sebagai benda hiasan hanya sekadar untuk dilihat, bukan alat untuk duduk. Jika hal terakhir ini yang terjadi, maka kursi tersebut bukan lagi merupakan produk ‘desain’, dia akan merupakan produk ‘seni murni’, di mana tidak ada lagi tuntutan fungsi – kenyamanan - yang harus dipenuhi.

Bergeser lebih lanjut, coba kita teropong karya arsitektur. Saya ingin menekankan bahwa karya arsitektur sama sekali ‘bukan’ karya seni murni. Karya arsitektur adalah karya ‘desain’. Sebagai produk desain, karya arsitektur harus indah – memenuhi kaidah estetika, demikian juga harus dapat ‘difungsikan’ secara baik sesuai dengan kebutuhan aktifitas manusia yang harus diwadahi di dalamnya. Pengertian ‘difungsikan’ secara lebih luas adalah dapat digunakan ‘secara nyaman’. Produk bangunan yang hanya memenuhi kriteria indah, tapi tidak nyaman secara spasial (ruang), tidak nyaman secara visual (terlalu gelap atau terlalu silau), tidak nyaman secara auditorial (bising, bergaung, dsb), tidak nyaman secara termal (terlalu panas atau terlalu dingin) sehingga tidak dapat difungsikan, maka dia akan dikategorikan sebagai produk ‘seni murni’, dan bukan produk ‘desain’ arsitektur.

Di luar aspek kenyamanan spasial dan auditorial (bunyi), kenyamanan visual dan termal secara teori dapat dicapai meskipun dengan desain ruang yang buruk. Dengan rancangan ruang yang buruk, ruang yang sangat gelap dapat diterangi dengan lampu, ruang yang terlalu panas dapat didinginkan dengan AC, serta ruang yang terlalu dingin dapat dipanaskan dengan heater. Semuanya tentu saja dengan konsekuensi boros energi (listrik). Tantangan bagi arsitek adalah, bagaimana dengan energi rendah dapat dihasilkan produk arsitektur yang nyaman (spasial, visual, auditorial dan termal), atau dengan kata lain, bagaimana dengan energi yang rendah dapat dihasilkan karya arsitektur yang memiliki performance tinggi.

2. Keterkaitan Teori dengan Desain Arsitektur

Untuk memenuhi formulasi tentang Arsitektur seperti yang dicanangkan Vitruvius yakni, fungsional (utility), kokoh (firmness), dan indah (beauty), serta memenuhi tuntutan formulasi Arsitektur Masa Kini, bahwa karya arsitektur harus memenuhi sasaran: produk karya seni, nyaman dan hemat energi, perlu adanya dukungan substansi dari teori dan sains arsitektur.

Tabel 1 memperlihatkan kaitan sejumlah ilmu teori dan sains (Arsitektur) dengan pemenuhan kriteria desain arsitektur (indah, fungsional, kokoh) serta tuntutan karya arsitektur masa kini (estetis, nyaman dan hemat energi)

3. Kenyamanan dan Karya Arsitektur

Selain untuk pemenuhan aspek kenyamanan psikis, kenyamanan fisik merupakan satu di antara alasan mengapa manusia perlu membuat bangunan dan mendiaminya. Kenyamanan fisik terkait dengan aspek spasial (ruang), visual (penglihatan, dapat termasuk estetika), auditorial (pendengaran) dan thermal (termis, suhu), serta olfactual (bau). Meskipun untuk

(3)

yang terakhir (kenyamanan bau) tidak pernah dibicarakan lebih lanjut mengingat tidak memiliki unit ukuran tertentu serta lebih bersifat subyektif (Karyono, 2008).

Dalam melakukan suatu aktifitasnya, misalnya duduk, mengetik, menggambar, tidur, dan sebagainya, manusia dengan ukuran tubuh tertentu memerlukan ruang gerak dengan ukuran tertentu yang disebut ruang (space). Agar aktifitasnya dapat berjalan baik, ruang yang dipergunakan bagi pergerakan tersebut harus memiliki dimensi yang cukup atau sesuai dengan ukuran tubuh dan ruang geraknya.

Tabel 1. Kaitan Teori dan Desain Arsitektur yang Kokoh, Indah, Fungsional (Nyaman Fisik) dan Hemat Energi (Karyono, 2006)

TUNTUTAN ARSITEKTUR

(VITRUVIUS)

FUNGSIONAL

KOKOH (KUAT & KAKU) INDAH TUNTUTAN ARSITEKTUR (MASA KINI) PRODUK KARYA SENI (ESTETIS) NYAMAN FISIK -Spasial (Ruang) - Visual (Pencahayaan) - Auditorial (Suara) - Termal (Suhu) HEMAT ENERGI MATA KULIAH TEORI (PENDUKUNG) - Pengantar Arsitektur (pengenalan ruang) - Materi tentang Kenyamanan Spasial ini diajarkan pada MK Studio Perancangan: penentuan dimensi ruang (studi antropometri-ergonomi), pemrograman ruang, studi aktifitas, studi perabot

- Sains (Fisika Bangunan): - pencahayaan (lighting) - tata suara (akustik) - kenyamanan termal -ventilasi/pengudaraan

dalam bangunan - iklim dalam arsitektur - arsitektur tropis

- bangunan hemat energi - Utilitas bangunan (Untuk kenyamanan Non

Fisik, dukungan materi diperoleh dari mata kuliah semacam Psikologi Arsitektur) - Teori/ Sejarah Arsitektur - Pengantar Arsitektur tentang Elemen Estetika: Skala, proporsi, ritme, keseimbangan, kesatuan, sekuen, hirarki, aksentuasi, warna, dsb - Estetika Bentuk - Nirmana Datar/ Nirmana Ruang - Dsb. - Mekanika Teknik (Statika Gaya) - Struktur Bangunan - Konstruksi Bangunan - Ilmu Bahan Bangunan Tri H. Karyono, 2006

MATA KULIAH TEORI (PENDUKUNG)

Ketika arsitek mulai merancang ruang tertentu bagi keperluan aktifitas tertentu, mula-mula ia akan memperhitungkan dimensi ruang yang terkait dengan aktifitas pengguna serta dimensi perabot - perabot yang akan mendukung aktifitasnya. Dalam hal ini arsitek melakukan tindakan untuk pemenuhan aspek kenyamanan spasial (ruang).

Agar si pemakai ruang dapat melihat secara jelas benda yang ada di dalam ruang, maka arsitek harus memikirkan besar kecilnya level penerangan yang diperlukan di dalam ruang tersebut. Untuk ruang yang terkait dengan aktifitas membaca atau melihat obyek kecil,

(4)

misalnya ruang baca, ruang perpustakaan, ruang kelas, laboratorium, maka diperlukan level penerangan yang lebih tinggi dibanding ruang lain yang digunakan untuk melihat obyek yang lebih besar dengan tingkat ketelitian yang lebih rendah, misalnya ruang makan, ruang tidur, koridor, garasi, dan sebagainya. Dalam kaitan ini, arsitek melakukan tindakan pemenuhan kenyamanan visual (penglihatan).

Dengan dimensi yang memadai, level penerangan yang cukup, manusia pengguna ruang belum tentu merasa nyaman dan dapat bekerja dengan konsentrasi baik apabila a da suara-suara gaduh yang masuk menembus ruang. Untuk itu arsitek perlu memikirkan bagaimana agar intensitas bunyi yang masuk dapat dibatasi di bawah level tertentu yang tidak mengganggu pendengaran pengguna ruang tersebut.

Seandainya seluruh aspek di atas dipenuhi: dimensi ruang cukup, cahaya cukup dan gangguan bunyi dibatasi, pengguna ruang belum tentu dapat bekerja optimal ketika suhu ruang terlalu tinggi dan menimbulkan panas. Atau, suhu terlalu rendah sehingga menimbulkan efek dingin yang berlebihan. Permasalahan ruang yang panas atau dingin tidak hanya disebabkan oleh suhu udara ruang yang tinggi atau rendah, namun juga terkait dengan suhu radiasi bidang-bidang pembentuk ruang (dinding, langit-langit dan lantai), terkait dengan laju aliran udara (angin) di dalam ruang, terkait dengan tingkat kelembaban udara ruang. Ketika arsitek melalui rancangan arsitektur mencoba membuat agar ruang tidak terlalu panas atau tidak terlalu dingin sehingga pengguna ruang akan merasa nyaman, maka dia melakukan tindakan pemenuhan kenyamanan termal.

Mata kuliah Sains (Fisika) Bangunan memberikan pengetahuan kepada calon arsitek bagaimana bangunan dapat nyaman secara visual, auditorial dan termal. Dengan penguasaan substansi tersebut ditambah dengan pemahaman tentang pengaruh iklim terhadap bangunan, diharapkan calon arsitek dapat memiliki pengetahuan tentang rancangan bangunan hemat energi. Sementara itu, aspek kenyamanan spasial pada umumnya dipelajari melalui pengalaman merancang ruang atau studi ruang, sirkulasi, organisasi ruang, dan membuat denah.

Melalui penguasaan ilmu Sains (Fisika) Bangunan diharapkan arsitek mampu merancang lingkungan binaan yang tidak saja indah (secara estetika baik) dan kokoh secara struktur, namun juga nyaman serta minim dalam penggunaan sumber daya alam (Karyono, 2006). 4. Kenyamanan Termal

Dalam konteks bangunan, kenyamanan didefinisikan sebagai suatu kondisi tertentu yang mampu memberikan sensasi menyenangkan bagi pengguna bangunan tersebut (Karyono,2009). Manusia dinyatakan nyaman secara termal ketika ia tidak dapat menyatakan apakah ia menghendaki perubahan kondisi termal yang lebih panas atau lebih dingin dalam ruangan tersebut (McIntyre, D.A., 1980). Olgyay (1963) merumuskan suatu ‘daerah nyaman’ sebagai suatu kondisi di mana manusia berhasil meminimalkan pengeluaran energi dari dalam tubuhnya dalam rangka menyesuaikan (mengadaptasi) terhadap lingkungan termal di sekitarnya.

Standard ASHRAE 55-56, 1992 mendefinisikan kenyamanan termal sebagai perasaan dalam pikiran manusia yang mengekspresikan kepuasan terhadap lingkungan termalnya. Dalam standard ini juga disyaratkan bahwa suatu kondisi dinyatakan nyaman apabila tidak kurang dari 90% responden yang diukur menyatakan nyaman secara termal. Sementara Standar Internasional Kenyamanan Termal, ISO - 7730 juga mensyaratkan kondisi yang sama, yakni tidak lebih dari 10% responden yang diukur diperkenankan berada dalam kondisi tidak nyaman.

Secara teori ada enam factor yang mempengaruhi tingkat kenyamanan manusia, yakni 4 faktor iklim: suhu udara, suhu radiasi, kelembaban udara, kecepatan angina, serta 2 faktor individual (personal): jenis aktifitas (terkait dengan laju metabolisme tubuh) dan jenis pakaian yang dikenakan (terkait dengan tahanan panas pakaian). Meskipun demikian, teori Adaptasi (Humphreys, 1992) menyatakan bahwa ada factor lain yang memmpengaruhi kenyamanan, yakni ‘adaptasi’, terkait dengan proses penyesuaian tubuh manusia terhadap kondisi termal lingkungan di sekitarnya.

(5)

4.1. Perlunya Suhu Nyaman

Untuk menyelenggarakan aktifitasnya agar terlaksana secara baik manusia memerlukan kondisi fisik tertentu di sekitarnya yang dianggap nyaman. Seorang sekretaris memerlukan ruang kerja yang secara spasial memadai, memerlukan meja, kursi, rak arsip serta perlengkapan kerja lainnya yang secara antropometri - ergonomi sesuai dengan dimensi serta kebutuhan pergerakan anggota tubuhnya. Dia juga memerlukan intensitas cahaya yang cukup agar dapat membaca, mengetik, membuat catatan dengan baik. Ada kebutuhan dan persyaratan lain yang diperlukan oleh si sekretaris agar dia dapat melakukan pekerjaannya dengan baik. Salah satu persyaratan yang tidak kalah pentingnya adalah persyaratan akan ‘suhu nyaman’, yaitu suatu kondisi termal udara di dalam ruang di mana ia berada, yang ‘tidak mengganggu’ tubuhnya.

Suhu ruang yang terlalu rendah akan mengakibatkan efek ‘dingin’ di mana sang sekretaris akan kedinginan atau menggigil, sehingga kemampuan kerjanya menurun. Sementara suhu ruang yang tinggi akan mengakibatkan efek ‘panas’, yang dapat mengakibatkan tubuh berkeringat dan tentu mengurangi produktifitas kerja. Dari berbagai penelitian disimpulkan bahwa produktifitas cenderung menurun atau tidak maksimum pada kondisi udara yang tidak nyaman. Dengan demikian jelas terlihat bahwa di luar persyaratan-persyaratan lain yang diperlukan, suhu ruang yang nyaman dalam bangunan sangat diperlukan agar penyelenggaraan aktifitasnya manusia dapat berjalan dengan baik.

Penelitian yang dilakukan Ellsworth Huntington dikutip Victor Olgyay dalam Design with Climate (Olgyay, 1963), memperlihatkan bahwa tigkat produktifitas dan kesehatan manusia sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim setempat. Apabila kondisi iklim - yang berkaitan dengan suhu udara, kelembaban, radiasi matahari, angin, hujan, salju dan sebagainya - sesuai dengan kebutuhan fisik manusia, maka tingkat produktifitas manusia mencapai titik maksimum demikian pula dengan tingkat kesehatan yang akan mencapai kondisi optimal apabila kondisi iklim juga mendukung pencapaian kondisi tersebut.

Penelitian Huntington (Olgyay, 1963) yang dilakukan di Amerika serta beberapa negara Eropa ini menunjukkan bahwa puncak produktifitas dan kesehatan manusia dicapai pada iklim yang berbeda antara tempat satu dengan lainnya di muka bumi ini. Semakin mendekati arah kutub, seperti halnya Scotlandia, Scandinavia dan Finlandia, manusia akan mencapai tingkat produktifitasnya pada musim panas, yakni antara bulan July dan September sementara musim dingin adalah kondisi terburuk di mana produktifitas manusia mencapai titik terendah. Sementara di Italy, Spanyol dan Yunani yang letaknya menjahui kutub, kondisi musim dingin tidak memberikan dampak yang terlalu buruk bagi produktifitas dan kesehatan manusia seperti halnya di Scotlandia. Sementara itu di kawasan Mediterania yang sudah mendekat katulistiwa, musim dingin merupakan kondisi yang optimal bagi produktifitas manusia dan kesehatan.

Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa manusia yang berdiam pada kawasan dekat dengan kutub - yang sedikit sekali menerima sinar matahari, musim panas merupakan kondisi yang menggairahkan untuk beraktifitas. Sebaliknya, pada kawasan di dekat katulistiwa, terlebih lagi di daerah tropis, panas matahari yang menyengat membuat manusia mudah lelah, sehingga produktifitas menurun pada saat musim panas atau kemarau.

Tingkat produktifitas dan daya tahan fisik (kesehatan) manusia berada pada suatu zona tertentu, sementara di luar zona ini produktifitas dan daya tahan fisik manusia menurun. Zona ini berkaitan dengan kenyamanan, di mana menurut laporan dari berbagai penelitian berbeda antara kelompok manusia yang bediam di lokasi iklim berbeda. Penelitian CEP Brookes dikutip oleh Olgyay (Olgyay, 1963) memperlihatkan bahwa orang Inggris memiliki zona nyaman antara 15oC hingga 20oC sementara manusia yang berdiam di Amerika Serikat mencapai tingkat nyaman pada suhu antara 19,5 oC hingga 26,7oC, sedangkan mereka yang tinggal pada kawasan tropis mencapai tingkat nyaman pada suhu udara 23,4oC hingga 29,4oC, seluruhnya pada kondisi kelembaban antara 30 hingga 70%.

4.2. Kenyamanan Termal di Daerah Tropis Asia Tenggara

Sejumlah penelitian kenyamanan termal telah dilakukan oleh berbagai peneliti di beberapa negara di wilayah Asia Tenggara, yakni di Singapura, Thailand, Papua Nugini, dan Indonesia.

(6)

Penelitian kenyamanan termal dilakukan di Singapura tahun 1952 dan 1953 oleh peneliti kenyamanan termal Inggris, Webb (Webb, 1952), dilanjutkan oleh Ellis (Ellis, 1952, 1953). Richard de Dear (de Dear, 1991) dari Australia, melakukan penelitian di negara tersebut tahun 1990. Penelitian kenyamanan termal di Bangkok, Thailand, dilakukan oleh Peneliti Amerika, John Busch tahun 1988 (Busch, 1990). Penelitian kenyamanan termal di ibu kota Port Moresby, Papua Nugini dilakukan oleh Ballantyne tahun 1967 dan 1979 (Ballantyne 1967, 1979).

Table 2.

Temperatur Nyaman di sejumlah penelitian di beberapa negara Asia Tenggara

Study by (first author)

Time Type of Study Country/ Regions Ethnic No. of Subject s Comfort (oC) Mom 1937 Thermal Chamber Bandung, Indonesia Indonesian European 20 26.0 Ta Webb 1950 Field Study Singapore Malay

European

16 26.2 ET Ellis 1952 Field study Journey between

Singapore-Hong Kong no data 5211 votes 26.1 ET (30.0 Ta) Ellis 1953 Field study Singapore Eurasian,

Chinese, Indian, Ceylonese,M alay 118 22-25.5 ET (24.5-27.8 Ta)

Ballantyne 1967 Field Study Port Moresby Caucasian 34 25.6 Ta Ballantyne 1979 Thermal

Chamber

Port Moresby Melanesian Caucasian

64 28

26.7 Ta 25.0 Ta Busch 1988 Field Study Bangkok,

Thailand Thai 1100 28.5 ET* (NV) 24.5 ET*(AC) 25.4 ET*(all) De Dear 1990 Thermal Chamber Singapore 1 Singaporean 32 25.4 Ta De Dear 1990 Thermal Chamber

Singapore 2 Singaporean 98 upper limit: 27.6Ta (70% RH)

27.9Ta (35%RH) De Dear 1990 Field study Singapore 3 Singaporean 583

235

28.5 To (NV) 24.2 To (AC) Karyono 1993 Field Study Jakarta, Indonesia Indonesian 596 26.4 Ta

26.7 To 25.3 Teq Feriady 2001 Field Study Yogyakarta,

Indonesia Indonesia 525 28.75Ta Karyono 2005 Temporary Thermal Chamber ITB, Bandung, Indonesia Indonesian 20 24.7 Ta 25.4 To 25.7 Tg

4.3. Kenyamanan Termal di Indonesia

Beberapa penelitian kenyamanan termal yang pernah dilakukan di Indonesia di antaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Mom dan Wiesebron (Mom, 1947) antara tahun 1936 hingga 1940 di Bandung, tepatnya di Technische Hoogeschool (sekarang Institut Teknologi Bandung, ITB). Penelitian tersebut melibatkan tiga kelompok etnis sebagai responden: etnis Eropa, Tionghoa, dan Indonesia asli (pribumi). Dari penelitian ini diperoleh rentang suhu nyaman untuk responden Indonesia adalah antara 24oC hingga 28oC suhu udara dengan kelembaban sekitar 70%. Beberapa penelitian lain juga dilakukan di Yogyakarta oleh Henry Feriadi (Feriadi, 2002) dari Teknik Arsitektur Universitas Duta Wacana dan Sugini (Sugini,

(7)

2007) dari Teknik Arsitektur UII terhadap sejumlah responden di kawasan permukiman di kota tersebut.

Penelitian kenyamanan termal lain dilakukan oleh penulis (Karyono, 2000) pada tahun 1993 di Jakarta melibatkan 596 responden karyawan dan karyawati yang bekerja di tujuh bangunan kantor menghasilkan suhu nyaman responden, yakni 26,4oC suhu udara dengan deviasi sekitar 2oC. Dari penelitian ini terungkap bahwa standar suhu nyaman internasional ISO-7730 dan ASHRAE 55-56, terpaut sekitar 1 hingga 3oC lebih rendah dari suhu nyaman yang dibutukan para responden. Ini berkonsekuensi terhadap penggunaan energi yang berlebih yang semestinya tidak diperlukan.

Hasil penelitian ini telah dipublikasikan secara internasional di beberapa tempat di dunia: Inggris, Australia, Eropa, Amerika dan Afrika Selatan. Data penelitian ini diambil sebagai salah satu data base penelitian kenyamanan termal yang pernah dilakukan di dunia oleh Macquarie University - Australia dan Center for Environmental Design Research, University of California, Berkeley, USA (de Dear, 1997). Data penelitian di Jakarta ini juga dijadikan salah satu dari sejumlah data penelitian lain di berbagai tempat di dunia untuk mengkoreksi Standar Internasional ISO-7730, 1994 dan Standard Amerika ASHRAE 55-56, 1992.

Penelitian kenyamanan termal di Bandung tahun 2005 (Karyono, 2008) yang dilakukan penulis memperlihatkan bahwa responden merasa nyaman pada suhu udara yang tidak jauh bebeda dengan suhu udara luar rata-rata bulanan. Temuan ini mengindikasikan bahwa dengan perancangan arsitektur yang tepat sesuai iklim setempat, secara umum bangunan di Bandung tidak memerlukan bantuan mesin pengkondisian udara mekanis (AC) untuk memberikan kenyamanan termal kepada penggunanya.

Dari berbagai penelitian yang dilakukan para peneliti kenyamanan termal, terlihat bahwa hasil penelitian umumnya hanya tepat digunakan bagi kebutuhan lokal, dan kurang sesuai untuk diaplikasikan secara universal bagi pemenuhan suhu nyaman kelompok manusia lain dari bangsa lain, dengan letak geografi, perilaku, dan jenis pakaian setempat yang berlainan.

Peneliti kenyamanan termal Inggris, Prof Michael Humphreys (Humpreys, 1992, 1996) mencetuskan teori Adaptasi yang memperlihatkan bahwa kebutuhan suhu nyaman antara satu kelompok manusia yang tinggal di satu tempat akan berbeda dengan kelompok lain yang berdiam di tempat lain. Suhu nyaman yang dipilih oleh sekelompok manusia ternyata ada kaitannya dengan suhu rata-rata bulanan di mana kelompok tersebut tinggal. Dalam batas tertentu, semakin tinggi suhu udara rata-rata bulanan di suatu tempat, maka manusia yang berdiam di tempat tersebut akan merasa nyaman pada suhu udara yang lebih tinggi pula.

Meskipun demikian, untuk tujuan praktis, dua buah standar suhu nyaman saat ini banyak digunakan di negara atau wilayah yang belum memiliki standar suhu nyaman, yakni Standar Internasional untuk kenyamanan termal, ISO 7730-1994 serta ASHRAE 55-56, 1992.

Dalam penggunaan kedua standar tersebut di Indonesia dijumpai adanya kekurangsesuaian terhadap kebutuhan suhu nyaman manusia Indonesia pada umumnya. Banyak ditemukan bahwa dengan menggunakan standar ini sering muncul keluhan terhadap rendahnya suhu ruang yang mengakibatkan ketidaknyamanan (dingin) (Karyono, 2000).

Karena adanya perbedaan antara angka suhu nyaman dalam standar dengan kebutuhan suhu nyaman manusia Indonesia, di mana angka standar terlalu rendah, hal ini mendorong terjadinya pemborosan energi di sektor bangunan di Indonesia. Arsitek dan konsultan M&E di Indonesia perlu menyadari hal ini. Standar ASHRAE 55-56, 1992 merupakan acuan kenyamanan termal yang dikembangkan di Amerika melalui penelitian laboratorium di Amerika terhadap sejumlah manusia yang berdiam di negara tersebut. Sangat sulit diterima apabila acuan ini juga akan sesuai dengan kebutuhan manusia Indonesia yang telah lama berdiam di iklim yang berbeda.

Akibat dari penerapan suhu nyaman dari standar asing yang lebih rendah dari kebutuhan nyata suhu nyaman manusia Indonesia, di satu pihak karyawan/wati yang bekerja pada gedung-gedung berpengkondisi udara merasakan suhu yang terlalu dingin dari yang diperlukan, atau dengan kata lain 'dingin-tidak nyaman'. Di lain pihak, terlalu rendahnya setting suhu di dalam bangunan berkonsekuensi terhadap semakin borosnya energi yang digunakan oleh bangunan.

(8)

Bangunan-bangunan berpengkondisi udara di Indonesia dengan setting suhu nyaman yang mengacu pada standar ASHRAE 55-56 berpotensi memboroskan energi. Secara teori, penurunan suhu ruang 1oC akan menaikkan 10% penggunaan energi untuk pendinginan bangunan. Dengan setting suhu udara sekitar 1 hingga 3 oC lebih rendah dari yang diperlukan, bangunan memboroskan energi antara 10 hingga 30% dari kebutuhan energi pendinginan dalam bangunan. Dengan kata lain, jika sumber energi bangunan berasal dari minyak bumi, maka aspek kenyamanan termal bangunan menyumbang 10 hingga 30% pelepasan CO2 lebih

banyak ke udara dan membantu terjadinya pemanasan bumi. 5. Desain Arsitektur dan Kenyamanan Termal

Arsitek bertanggung jawab terhadap bangunan dan lingkungan binaan yang dirancangnya. Salah satu kelemahan rancangan arsitektur dapat mengakibatkan ketidaknyamanan termal pengguna bangunan. Kekeliruan rancangan bangunan dapat menyebabkan bangunan menjadi panas, sehingga diperlukan mesin AC dalam kapasitas besar. Mesin pendingin ini memerlukan energi listrik yang umumnya dibangkitkan dari sumber energi minyak bumi dan melepaskan sejumlah gas CO2 sebagai pemicu pemanasan bumi.

Kelemahan arsitek dalam merancang kota atau bagian kota, akan mengakibatkan pemanasan kota, memunculkan fenomena ‘heat urban island’., menyulitkan bangunan untuk memenuhi kenyamanan termal penghuninya karena suhu ruang menjadi terlalu tinggi. Salah satu penyebab ketidaknyamanan termal bangunan adalah tingginya suhu udara luar. Rancangan ruang luar dan ruang terbuka kota (taman, jalan, dan lainnya) perlu vegetasi yang memadai baik dari segi jumlah maupun penempatan. Vegetasi menyerap CO2 dan

memberikan peneduh, turut membantu menyerap radiasi panas matahari dalam jumlah yang besar sehingga menurunkan suhu udara di sekitarnya (Akbari, 1990). Hal ini sangat membantu pencapaian kenyamanan termal manusia di dalam maupun di luar bangunan

Dengan rancangan kota yang tepat, yang mampu mengeliminir fenomena heat urban island, disertai dengan rancangan bangunan yang tepat sesuai kondisi iklim setempat, kebutuhan kenyamanan termal pengguna bangunan dapat dipenuhi tanpa, atau sedikit sekali menggantungkan kepada pengkondisian udara mekanis AC.

Penggunaan sumber-sumber enegi alternatif yang tidak mengemisi CO2 bagi pemenuhan

aspek kenyamanan termal bangunan kiranya perlu mulai dipertimbangkan. Energi surya dalam bentuk sel surya dan energi angin sudah banyak digunakan sebagai sumber energi alternatif di sejumlah bangunan di negara-negara maju. Rancangan arsitektur masa depan dituntut untuk lebih kreatif memanfaatkan sumber-sumber energi terbarukan yang tidak mengemisi CO2. Kenyamanan termal di dalam bangunan harus dapat dicapai melalui rancangan kota dan

rancangan bangunan yang tidak tergantung dari sumber-sumber energi yang mengemisi CO2

sehingga dapat membantu mencegah proses pemanasan bumi lebih lanjut. 6. Konsep Rumah Rusun Hemat Energi

Suatu proposal konsep rumah susun hijau dikembangkan oleh Balai Besar Teknologi Energi (B2TE), Serpong. Meskipun diberi nama rumah susun, namun dalam rancangan praktis, bangunan ini merupakan asrama mahasiswa. Konsep ini merupakan tindak lanjut kerja sama B2TE dengan Menpera yang pernah disepkatai bersama melalui penandatanganan MOU. Mempertimbangkan kesulitan yang dihadapi Menpera untuk penyediaan lahan bagi program seribu tower, lembaga ini menawarkan dana kepada sejumlah perguruan tinggi negeri maupun swasta di Indonesia untuk memberikan dana pembangunan asrama mahasiswa. Cukup banyak asrama mahasiswa yang telah dibangun dan digunakan melalui program Menpera ini, meskipun tetap dengan label ’rumah susun’.

Konsep yang dikembangkan B2TE bukan hanya sekadar mengarah kepada bangunan hemat energi, namun ditambah dengan konsep penggunaan energi terbarukan, yakni solar cell-photovoltaic (PV) dan pemanfaatan sumber energi terbarukan lainnya sesuai dengan potensi wilayah setempat, seperti biomassa, biogas atau air (mikrohidro).

Rumah susun hemat energi adalah suatu hunian massal (bersama) yang hemat dalam penggunaan (konsumsi) energi tanpa harus mengorbankan kenyamanan fisik penghuni rumah

(9)

susun. Secara umum, konsep rancangan bangunan ’rumah susun’ ini dapat diuraikan sebagai berikut (Karyono, 2010):

1. Pengertian Hemat Energi dalam bangunan rumah susun terkait dengan konsumsi energi untuk: pengudaraan buatan (penggunaan AC) pencahayaan artifisial (lampu)

2. Pengertian Kenyamanan fisik terkait dengan: kenyamanan termal kenyamanan visual (penglihatan/pencahayaan)

3. Bangunan terdiri atas 3-5 lantai

4. Lantai bangunan terbagi atas dua deret unit hunian dipisahkan oleh ’selasar’ di tengah. Lebar selasar sekitar 1,5 hingga 2,4m disesuaikan dengan kebutuhan

5. Semakin ke atas, lantai semakin melebar sekitar 80cm. Ini dimaksudkan untuk memberi peneduhan terhadap dinding/jendela pada lantai di bawahnya, tanpa harus membuat kanopi tersendiri

6. Sisi memanjang bangunan menghadap utara-selatan untuk mengurangi penyinaran (radiasi) langsung dari matahari, sehingga diharapkan ruang di dalam bangunan tidak terlalu panas

7. Pada setiap unit hunian (atau kamar untuk asrama), ketinggian plafon dari lantai minimal 3m, dimaksudkan untuk memberikan volume udara yang memadai bagi penghuni

8. Sepanjang dinding luar bangunan pada ketinggian 20 cm di atas lantai serta 2,20 m di atas lantai dipasang lubang-lubang ventilasi (’rooster’ atau ’kerawang’) masing-masing setinggi 20 cm dan 80 cm untuk keperluan ventilasi udara, dan memberikan efek sejuk di dalam unit hunian/kamar.

9. Untuk wilayah dataran tinggi atau pegunungan yang berhawa sejuk hingga dingin, bukaan/ lubang ventilasi (rooster atau kerawang) perlu dikurangi atau bahkan dihilangkan untuk menghindari efek yang terlalu dingin sehingga kenyamanan termal justru tidak tercapai.

10. Untuk mencegah masuknya binatang/serangga, lubang-lubang tersebut ditutup dengan kawat ayakan pasir dan kasa nyamuk.

11. Warna bangunan dibuat terang atau putih, untuk meminimalkan penyerapan panas matahari, sehingga ruang di dalam bangunan diharapkan tidak panas.

12. Dengan konsep rancangan di atas diharapkan ’tanpa menggunakan AC’, unit hunian tidak akan panas/cukup nyaman bagi penghuni, sehingga konsumsi energi bangunan dapat ditekan.

13. Untuk pencahayaan, koridor/selasar akan mendapatkan pencahayaan dari sejumlah ’glass box’ yang dipasang di tepi koridor (dua sisi) masing-masing selebar 10cm/ dekat dinding. Cahaya akan diperoleh dari lantai atap (dak beton) yang juga akan diletakkan sejumlah glass box tepat di atas koridor lantai di bawahnya.

14. Suplai energi utama tetap dari PLN.

15. Sumber energi terbarukan terdiri atas: sel surya, gas (hasil gasifikasi), biogas, serta biofuel.

16. Sejumlah sel surya akan diletakkan di atap bangunan pada sisi utara. Jumlah modul yang dipasang akan disesuaikan dengan ketersediaan dana. Bateri dan inventor diletakkan di lantai dasar bangunan.

17. Energi listrik sel surya lebih ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan penerangan lampu (terutama di luar bangunan serta koridor, atau ruang-ruang yang digunakan bersama). 18. Sumber energi gas diperoleh dari hasil gasifikasi sampah organik yang mudah diperoleh

di sekitar lokasi.

19. Peralatan gasifikasi akan diletakkan di lantai dasar bangunan Energi gas akan digunakan bagi kebutuhan dapur/memasak

20. Sejumlah pipa akan dipasang untuk menyalurkan gas dari sumber pembuatan gas (lantai dasar) ke ruang-ruang masak/dapur di unit hunian, atau ke dapur umum di setiap lantai. 21. Untuk rumah susun yang dibangun di tempat yang belum mendapat aliran listrik PLN,

perlu dipertimbangkan untuk dibangun generator.

22. Sumber bahan bakar generator diharapkan berasal dari gas hasil gasifikasi, atau dari minyak nabati yang bahan dasarnya ada di sekitar lokasi, seperti buah jarak, nyamplung, dsb.

(10)

23. Biogas juga akan menjadi pertimbangan jangka panjang, di mana bahan dasarnya akan menggunakan limbah kotoran manusia penghuni rumah susun.

7. Penutup

Untuk pencapaian kenyamanan termal ruang, mesin pengkondisian udara, pemanas atau pendingin (AC) mengkonsumsi energi sekitar 40 hingga 70% dari total konsumsi energi listrik bangunan. Sementara bangunan sendiri mengkonsumsi sekitar 35 hingga 50% energi minyak nasional suatu negara. Dengan kata lain, kebutuhan kenyamanan termal bangunan mengkonsumsi antara 15 hingga 35% konsumsi minyak nasional suatu negara dan melepaskan sejumlah gas CO2 dalam proporsi yang sama.

Kelemahan arsitek dalam merancang bangunan akan mengakibatkan ketidaknyamanan termal bagi pengguna bangunan: terlalu dingin di negara beriklim sub tropis atau terlalu panas di negara beriklim tropis. Kelemahan ini terutama disebabkan pertama, oleh ketidak perdulian arsitek dalam merancang bangunan terhadap setting (lokasi) di mana bangunan tersebut dibangun, sehingga tidak memperdulikan kondisi iklim setempat termasuk posisi matahari terhadap bangunan. Hal ini akan menghasilkan bangunan dengan suhu udara yang terlalu rendah untuk wilayah beriklim sub tropis, atau terlalu tinggi untuk wilayah beriklim tropis, berkonsekuensi terhadap penggunaan mesin pemanas atau pendingin secara berlebihan.

Kelemahan kedua, karena keterbatasan pemahaman arsitek terhadap bangunan hemat energi, yakni bangunan yang hemat dalam mengkonsumsi energi tanpa harus mengorbankan kenyamanan fisik manusia, termasuk kenyamanan termal. Sehingga cukup banyak bangunan diklaim sebagai bangunan hemat energi atau bangunan tropis, namun ternyata tidak nyaman dan sesungguhnya boros energi. Cukup banyak bangunan mengkonsumsi energi yang seharusnya tidak diperlukan jika bangunan tersebut dirancang dengan benar sesuai kaidah-kaidah perancangan bangunan hemat energi, sehingga emisi CO2 dari bangunan dapat

diminimalkan

Dengan rancangan yang tepat disesuaikan dengan kondisi iklim setempat, masih sangat dimungkinkan merancang bangunan yang nyaman secara termal tanpa harus menggunakan AC.

Daftar Pustaka

Akbari, H. et al. (1990), Summer Heat Island, Urban Trees and White Surfaces, ASHARE Transactions, pp.1381-1388.

ANSI / ASHRAE 55-1992, ASHRAE Standard Thermal Environmental Conditions for Human Occupancy, ASHRAE Inc., Atlanta, USA.

Ballantyne, ER, et al. (1967), Environment Assessment of Acclimatized Caucasian Subjects at Port Moresby, Papua New Guinea, 3rd Australian Building Research Congress, no 400, Australia.

Ballantyne, ER, et al. (1979), A Survey of Thermal Sensation in Port Moresby, Papua New Guinea, Commonwealth Scientific and Industrial Research Organization, no 32, pp. 1-28, Australia.

Busch, JF (1990), Thermal Responses to the Thai Office Environment, ASHRAE Transactions, vol. 96, part 1. pp. 859-872.

de Dear, RJ, et al. (1991), Thermal Comfort in The Humid Tropics - Part 1: Climate Chamber Experiments on Temperature Preferences in Singapore, ASHRAE Transactions, vol. 97, part 1.

de Dear, RJ, et al. (1991), Thermal Comfort in The Humid Tropics - Part 2: Climate Chamber Experiments on Thermal Acceptability in Singapore, ASHRAE Transactions, vol. 97, part 1. de Dear, RJ, Leow, K.G., and Foo, S.C. (1991), Thermal Comfort in the Humid Tropics: Field Experiments in Air Conditioned and Naturally Ventilated Buildings in Singapore, International Journal of Biometeorology, Vol. 34, pp. 259-265.

Ellis, FP (1952), Thermal Comfort in Warm Humid Atmosphere - Observations in a Warship in the Tropics, Journal of Hygiene, vol. 50, pp. 415-432, Cambridge, UK.

(11)

Ellis, EP (1953), Thermal Comfort in Warm and Humid Atmosphere, Journal of Hygiene, vol. 51, pp. 386-404.

Feriadi, H, Wong NH (2002), Thermal Comfort for Naturally Ventilated Houses in Indonesia, in Proceedings of International Conference ‘Building Research and the Sustainability of the Built Environment in the Tropics’, edited by Tri Harso Karyono, Fergus Nicol and Susan Roaf, Tarumanagara University, Jakarta, 14-16 October 2002.

Humphreys, MA,(1992), Thermal Comfort Requirements, Climate and Energy, The Second World Renewable Energy Congress, Reading, UK.

ISO (1994), International Standard 7730 - 1994, Moderate Thermal Environments - Determination of the PMV and PPD Indices and Specification of the Conditions for Thermal Comfort, Geneva, ISO.

Karyono, T.H. (1989), Solar Energy and Architecture: A Study of Solar Passive Design for Hospital Wards in Indonesia, MA dissertation, Institute of Advanced Architectural Studies, University of York, UK.

Karyono, TH (1996), Thermal Comfort in the Tropical South East Asia Region, Architectural Science Review, vol. 39, no. 3, September, pp. 135-139, Australia.

Karyono, TH (2000), Report on Thermal Comfort and Building Energy Studies in Jakarta, Journal of Building and Environment, vol. 35, pp 77-90, Elsevier Science Ltd., UK.

Karyono, TH, et al (2006): Report on thermal comfort study in Bandung, Proceedings of International Conference ‘Comfort and Energy Use in Building Getting Them Right’, Cumberland Lodge, Windsor Park, United Kingdom, 27-30 April 2006.

Karyono, TH (2006), Pengajaran Sains (Fisika) Bangunan dan Tuntutan Formulasi Arsitektur terhadap Kenyamanan dan Hemat Energi, Prosidings Seminar Nasional Pengelolaan dan Pendidikan Arsitektur, Universitas Bina Nusantara, Jakarta, 13 Desember

Karyono, TH (2008), Pembelajaran studio Perancangan Arsitektur (SPA) dan Penekanan Aspek Kenyamanan serta Energi, Prosidings Seminar Pendidikan Arsitektur, Jurusan Arsitektur, Universitas Udayana, Bali, 6 Februari

Karyono, TH (2008), Bandung Thermal Comfort Study: Assessing the Applicability of an Adaptive Model in Indonesia, Architectural Science Review, vol. 51.1, March, pp. 59-64, Australia.

Karyono, TH (2010), Applikasi PV dalam Arsitektur, Seminar ”PV Technology for Economic Scale Power Plant”, PT LEN Industry, Hotel Gran Melia, 23 Februari 2010

McIntyre, D.A., (1980), Indoor Climate, Applied Science, UK

Mom, CP, et al. (1947), The Application of the Effective Temperature Scheme to the Comfort Zone in the Netherlands Indies, Chronica Naturae, vol. 103.

Olgyay, V (1963), Design with Climate: Bioclimatic Approach to Architectural Regionalism, Princenton University Press, Princenton

Sugini (2007), Indoor Climatic Variables and the Bias of Thermal Comfort Index of PMV in Warm Humid Climate with A Specific Reference of Yogyakarta, Indonesia, proceedings of the 8th International Conference ‘Sustainable Environmental Architecture: Sustainablity in Rain, Sun and Wind’, Petra University, Surabaya, 23-14 August 2007.

de Dear, R, Brager, G, Cooper, D (1997), Developing an Adaptive Model of Thermal Comfort and Preference: Final Report on RP-884, Macquarie University and Center for the Environmental Design Research, University of California Berkeley, Macquarie Research Ltd., Australia.

Roaf, S, Crichton, D, Nicol, F (2005), Adapting Buildings and Cities for Climate Change A 21st Century Survival Guide, Architectural Press – Elsevier, UK

Webb C.G. (1952): On Some Observation of Indoor climate in Malaya, Journal of the Institution of Heating and Ventilating Engineers, August, pp. 189-195

Gambar

Tabel 1. Kaitan Teori dan Desain Arsitektur yang Kokoh, Indah, Fungsional (Nyaman Fisik)  dan Hemat Energi (Karyono, 2006)

Referensi

Dokumen terkait

Kompetensi kewirausahaan adalah ke- mampuan kepala MA dalam menciptakan pembaharuan di madrasah dengan melaku- kan suatu kegiatan yang inovatif dan kreatif untuk meningkatkan

Peningkatan kualitas dari minyak jelantah supaya bisa setara dengan kualitas dari biodiesel sudah banyak dilakukan seperti proses emulsifikasi, transesterifikasi, pirolisis

Instalasi gawat darurat merupakan suatu unit di rumah sakit yang memiliki tim kerja dengan kemampuan khusus dan peralatan yang lengkap serta memadai untuk memberikan pelayanan

 Peserta wajib mendaftar ulang 30 menit sebelum pertandingan dimulai. Jika kurang dari 3 orang dalam satu tim yang mendaftar tepat waktu, maka tim tersebut

Peningkatan konsentrasi gelatin menurunkan pH marshmallow karena gelatin yang digunakan memiliki pH antara 4,0 hingga 6,0 sedangkan pH ekstrak bit merah sebesar 6,3

Hasil tertinggi rerata bobot segar akar tanaman jagung yaitu pada perlakuan tanah Grumusol tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan tanah Regosol bukit-pasir dan

Oleh karena itu, Hadis-hadis yang ada dan sering digunakan oleh mereka yang mengharamkan musik-nyanyian dapat disimpulkan ternilai sahih tapi tidak eksplisit-detail

Mata Kuliah : Aplikasi Komputer Dosen Pembina. Hari/