• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENGAPA KONVERSI HUTAN ALAM HARUS DIHENTIKAN? *) Oleh: E.G. Togu Manurung, Ph.D. **)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MENGAPA KONVERSI HUTAN ALAM HARUS DIHENTIKAN? *) Oleh: E.G. Togu Manurung, Ph.D. **)"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

MENGAPA KONVERSI HUTAN ALAM HARUS DIHENTIKAN? *) Oleh: E.G. Togu Manurung, Ph.D. **)

Ringkasan

Praktek konversi hutan alam di Indonesia mendapat legitimasi sejak dilaksanakannya penatagunaan hutan kesepakatan pada tahun 1981. Berdasarkan TGHK, kawasan hutan yang dapat dikonversi luasnya 31 juta Ha. Kawasan hutan ini dicadangkan untuk dikonversi dan tidak dipertahankan sebagai hutan tetap. Sampai dengan April 1999 luas hutan konversi sekitar 8 juta Ha. Konversi hutan alam terus berlangsung walaupun saat ini sudah tersedia lahan kritis dan lahan terlantar dalam skala sangat luas akibat aktifitas pembukaan dan/atau eksploitasi hutan untuk berbagai keperluan. Dari kegiatan konversi hutan para pengusaha mendapatkan keuntungan besar berupa kayu IPK yang sangat dibutuhkan industri perkayuan, utamanya untuk industri pulp. Disamping itu, para pengusaha mendapatkan areal lahan yang luas, dengan biaya murah, untuk bisnis usaha mereka.

Praktek konversi hutan disamping telah menjadi sumber deforestasi, juga menyebabkan jutaan hektar areal berhutan yang telah diambil kayu IPK-nya berubah menjadi lahan terlantar, semak belukar dan/atau lahan kritis baru, sedangkan realisasi pemanfaatannya, misalnya pembangunan hutan tanaman industri atau perkebunan kelapa sawit, jauh dibawah target yang direncanakan. Dampak negatif lainnya terhadap lingkungan diantaranya adalah hilangnya kekayaan keanekaragaman hayati hutan hujan tropika, berkurang/hilangnya habitat satwa liar karena hutan ditebang habis, dan munculnya bencana kebakaran hutan dan lahan akibat pembukaan lahan hutan dengan cara membakar. Disamping itu, konversi hutan alam sering menimbulkan konflik lahan dan konflik sosial yang merugikan kehidupan sosial ekonomi masyarakat, serta menyebabkan resiko dan ketidakpastian berusaha bagi para pengusaha. Oleh karena itu, konversi hutan alam harus dihentikan. Sebagai penggantinya, areal semak belukar, lahan terlantar dan/atau lahan kritislah yang seharusnya ‘dikonversi’ untuk berbagai peruntukan penggunaan lahan. Dengan demikian lahan tersebut dapat direhabilitasi dan dimanfaatkan menjadi lahan produktif, untuk menghasilkan manfaat ekonomi yang tinggi. Agar masalah konflik lahan pada areal yang akan dikonversi dapat diatasi, pemerintah harus menghormati dan melibatkan masyarakat (adat) dalam penyusunan tata guna lahan dan dalam penentuan hak kepemilikan atas lahan.

1. Pendahuluan

Kegiatan konversi hutan alam di Indonesia mendapat legitimasi sejak diterbitkannya SK Menteri Pertanian No. 680/Kpts/Um/8/1981 tentang Pedoman Penatagunaan Hutan Kesepakatan. Berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) terdapat kawasan hutan konversi seluas 31 juta Ha. Hutan konversi adalah areal hutan yang dicadangkan untuk dikonversi dan tidak dipertahankan sebagai kawasan hutan tetap. Tujuan awal kegiatan konversi hutan untuk meningkatkan nilai tambah suatu kawasan hutan melalui kegiatan pemanfaatan lahan yang lebih optimal (Soerjono, 1979). Dalam pelaksanaannya, kegiatan konversi hutan alam utamanya dimanfaatkan oleh para pengusaha untuk mendapatkan keuntungan besar berupa kayu IPK. Kayu IPK ini -- khususnya dalam 10 tahun terakhir ini, setelah pasokan kayu dari hutan alam produksi semakin jauh menipis akibat eksploitasi hutan secara berlebihan oleh perusahaan HPH -- sangat dibutuhkan oleh industri pengolahan kayu di Indonesia, terutama untuk ‘memberi makan’ industri pulp dan kertas (Manurung dan Sukaria, 2000).

____________________________________

*)Makalah disampaikan pada acara Seri Lokakarya Kebijakan Kehutanan, Topik 1: “Moratorium Konversi Hutan Alam dan Penutupan Industri Pengolahan Kayu Sarat Hutang.” Diselenggarakan oleh

Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta, 8-9 Agustus 2000.

(2)

Sampai saat ini, kegiatan konversi hutan telah menyebabkan jutaan hektar areal hutan yang terlebih dahulu diambil kayu IPK-nya berubah menjadi lahan terlantar, semak belukar dan/atau lahan kritis baru, sedangkan realisasi pemanfaatannya, misalnya pembangunan HTI atau perkebunan kelapa sawit, jauh dibawah target yang direncanakan (Manurung et al., 1999; Kompas, 19 Mei 2000). Disamping itu, konversi hutan alam juga menyebabkan berbagai permasalahan lingkungan lainnya; diantaranya, hilangnya kekayaan keanekaragaman hayati hutan hujan tropika, berkurang/hilangnya habitat satwa liar karena hutan ditebang habis, dan munculnya bencana kebakaran hutan dan lahan akibat pembukaan lahan hutan dengan cara membakar. Masalah lainnya, konversi hutan alam sering menimbulkan konflik sosial, yang berawal dari permasalahan konflik lahan, yang merugikan kehidupan sosial ekonomi masyarakat di sekitar hutan, serta menyebabkan resiko dan ketidakpastian berusaha bagi para pengusaha (Casson, 2000; Manurung dan Saragih,1999; Potter dan Lee, 1998a; Wakker, 1998).

Makalah ini bertujuan untuk: 1) memberikan gambaran mengenai perkembangan kegiatan konversi hutan alam di Indonesia, 2) memaparkan peranan kegiatan konversi hutan alam terhadap degradasi dan deforestasi hutan, dan 3) menerangkan berbagai dampak negatif yang timbul akibat kegiatan konversi hutan alam. Penulisan makalah ini terutama didasarkan kepada studi literatur dan analisis data sekunder, penelitian lapangan, dan hasil wawancara dengan berbagai sumber mengenai konversi hutan alam.

Dalam makalah ini konversi hutan alam didefinisikan sebagai kegiatan merubah formasi dan/atau struktur ekosistem hutan alam, dengan cara tebang habis, menjadi berbagai bentuk penggunaan lahan lainnya. Misalnya untuk areal pertanian, perkebunan, HTI, pertambangan, lokasi transmigrasi atau perindustrian.

2. Kebijakan Alokasi Lahan hutan

Pada awalnya, kegiatan konversi hutan alam dilakukan untuk mengantisipasi meningkatnya kebutuhan lahan untuk berbagai kegiatan pembangunan non kehutanan, khususnya pertanian. Berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 682/Kpts/Um/8/1981 tentang Pengertian dan Tata Cara Penentuan Luas Hutan Optimal dan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi serta Hutan Produksi Tetap, kawasan hutan yang dilepas untuk dirubah peruntukkannya dalam memenuhi kebutuhan perluasan pengembangan wilayah di luar bidang kehutanan seperti transmigrasi, pertanian, perkebunan, industri, pemukiman dan lain-lain adalah kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK).

Pola peruntukan lahan hutan di Indonesia kemudian dibuat berdasarkan TGHK. Berdasarkan TGHK luas kawasan hutan Indonesia 144 juta Ha, menurut fungsinya terdiri dari: hutan produksi 64 juta Ha (terdiri dari hutan produksi tetap (HP) 33 juta Ha, dan hutan produksi terbatas (HPT) 31 juta Ha); hutan lindung 30 juta Ha; hutan suaka alam dan hutan wisata 19 juta Ha; dan hutan konversi 31 juta Ha. Penentuan areal hutan konversi berdasarkan kriteria kemiringan lahan, ketinggian dari permukaan laut dan kesuburan tanah. Jadi, lokasi hutan konversi terletak pada hutan dataran rendah dengan kemiringan lahan yang rendah. Dalam pelaksanaannya, kegiatan konversi hutan alam untuk tujuan pembangunan bidang non kehutanan mengalami hambatan karena belum jelasnya tata batas setiap kawasan hutan menurut fungsinya. Di berbagai daerah kawasan hutan konversi belum dapat dipisahkan dari Areal Penggunaan Lain (APL), sehingga

(3)

tidak dapat diketahui berapa luas hutan konversi yang pasti. Disamping itu, dalam pengalokasian kawasan hutan konversi sering terjadi tumpang tindih peruntukkan lahan.

Setelah adanya pemaduserasian antara TGHK dan RTRWP (rencana tata ruang wilayah propinsi) yang merupakan tindak lanjut dari UU No 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, kawasan hutan dibagi menjadi 2 bagian besar yaitu Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya. Termasuk dalam kawasan lindung adalah hutan lindung, hutan suaka alam dan hutan pelestarian alam; sedangkan Kawasan Budidaya dibagi menjadi Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK) dan kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK). Termasuk dalam KBK adalah hutan produksi tetap, hutan produksi terbatas dan hutan produksi konversi (hutan konversi), sedangkan KBNK adalah Areal Penggunaan Lain. Dengan dilaksanakannya paduserasi ini diharapkan permasalahan lahan hutan dan pengalokasiannya dapat diselesaikan.

Berdasarkan paduserasi antara TGHK dan RTRWP, luas kawasan hutan Indonesia (sampai dengan April 1999) mengalami perubahan menjadi 121.1 juta Ha, terdiri dari: hutan produksi 58,5 juta Ha (terdiri dari HPT 23,2 juta Ha, dan HP 35,3 juta Ha); hutan lindung 33,9 juta Ha; hutan suaka alam, taman buru dan kawasan pelestarian alam 20,6 juta Ha; dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas sekitar 8 juta Ha (Badan Planologi Kehutanan dan Perkebunan, 2000a). Perubahan luas kawasan hutan di Indonesia dari tahun 1981 sampai 1997 dapat dilihat pada Lampiran 1, 2 dan 3.

Permasalahan utama yang timbul dalam pengalokasian lahan hutan adalah banyaknya kawasan hutan yang telah dibebani HPH (HPHTI) dengan keputusan Menteri Kehutanan, yang dalam proses penetapannya juga memperoleh rekomendasi Gubernur, ternyata sebagian arealnya diarahkan untuk penggunaan budidaya non kehutanan, sehingga terjadi tumpang tindih peruntukkan dan legalitas hak atas areal yang sama dalam pemanfaatan ruang. Secara umum kecenderungan yang terjadi setelah adanya pemaduserasian adalah pengarahan kawasan yang sudah tidak berhutan untuk budidaya kehutanan, sedangkan kawasan hutan yang masih berhutan diarahkan untuk budidaya non kehutanan (lihat Lampiran 4 dan 5). Permasalahan ini timbul karena penjabaran kebijaksanaan pembangunan antar sektor pembangunan – utamanya pembangunan kehutanan – belum memasukkan implikasi kebijaksanaan itu sendiri dalam tingkat operasionalisasinya di lapangan. Yang terlihat adalah tumpang tindih antar kepentingan yang lebih didasari kepada perolehan insentif ekonomi yang merugikan kelestarian sumberdaya alam, utamanya insentif ekonomi yang diperoleh dari Ijin Pemanfaatan Kayu dalam kegiatan konversi hutan.

Permasalahan lain yang banyak terjadi sehubungan dengan praktek konversi hutan adalah masalah klaim lahan oleh masyarakat atau konflik lahan dengan pihak perusahaan. Permasalahan ini muncul karena penatagunaan lahan hutan dilakukan tanpa melibatkan dan/atau menghormati hak-hak masyarakat adat (hak ulayat) terhadap lahan.

3.Perkembangan Konversi Hutan Alam

Kegiatan konversi hutan selama satu dasawarsa terakhir ini semakin pesat dilakukan, utamanya karena semakin banyak lahan hutan yang kurang produktif, yang

(4)

dijumpai di dalam kawasan hutan konversi maupun di dalam kawasan hutan lainnya. Menteri Kehutanan Djamaludin (1997) menyebutkan tidak kurang dari 550.000 Ha hutan alam Indonesia dikonversi setiap tahunnya. Dalam perkembangannya, kegiatan konversi hutan, terutama untuk pembangunan HTI dan perkebunan kelapa sawit, dianggap sebagai solusi untuk lebih mengoptimalkan pemanfaatan lahan hutan dan sekaligus untuk merehabilitasi lahan hutan yang kurang produktif tersebut. Selain itu, konversi hutan juga tidak dapat dipisahkan dari industri pengolahan kayu. Kegiatan konversi hutan alam, bersama-sama dengan kegiatan eksploitasi hutan alam secara berlebihan yang dilakukan oleh perusahaan HPH telah menyebabkan tingginya tingkat deforestasi hutan di Indonesial.

Menurut Badan Planologi Kehutanan dan Perkebunan (2000a), laju deforestasi hutan di Indonesia selama periode 1985-1998 tidak kurang dari 1.6 juta ha per tahun.

Sampai saat ini konversi hutan masih diharapkan sebagai pemasok kebutuhan bahan baku kayu industri perkayuan di Indonesia, khususnya untuk ‘memberi makan’ industri pulp dan kertas (lihat Gambar 1).

Sumber: Direktorat Bina Pengusahaan Hutan, 1999.

Adapun perkembangan kegiatan konversi hutan untuk berbagai keperluan penggunaan lahan adalah sebagai berikut.

3.1. Konversi Hutan Alam untuk Perkebunan

Menurut data dari Ditjen INTAG (s/d Maret 1998), luas kawasan hutan yang dikonversi untuk tujuan pembangunan perkebunan tahap persetujuan pelepasan seluas 8.204.524 Ha, dan yang sudah mendapat SK Pelepasan seluas 4.012.946 Ha meliputi kawasan HPT seluas 166.532 Ha, HP seluas 455.009 Ha, HPK seluas 3.262.715 Ha dan APL seluas 129.449 Ha. Kawasan hutan yang telah mendapat SK pelepasan, status

Gambar 1: Produki kayu bulat dari RKT dan IPK

0 2,000,000 4,000,000 6,000,000 8,000,000 10,000,000 12,000,000 14,000,000 16,000,000 18,000,000 20,000,000 1994/95 1995/96 1996/97 1997/98 Tahun V o lu m e (m 3 ) RKT IPK

(5)

kawasannya berubah dari kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan. Luas kawasan hutan yang dikonversi untuk tujuan pembangunan perkebunan tahap persetujuan pelepasan untuk tiap propinsi dapat dilihat pada Lampiran 6.

Luas areal perkebunan di Indonesia, baik perkebunan besar maupun perkebunan rakyat, cenderung bertambah dari tahun ke tahun. Sampai bulan Juli 1998 total luas areal perkebunan di Indonesia dengan status pengusahaan perkebunan rakyat, perkebunan negara dan perkebunan swasta sebesar 14.517.753 ha (Ditjen Perkebunan, 1998). Perkebunan rakyat masih mendominasi areal perkebunan di Indonesia yaitu 80% atau 11.597.779 ha dari total luas areal perkebunan yang ada di Indonesia. Pertambahan luas paling menonjol dialami oleh perkebunan kelapa sawit. Pada tahun 1986, luas perkebunan kelapa sawit baru mencapai 606.780 Ha, kemudian pada tahun 1999 meningkat pesat menjadi hampir 3 juta Ha (Direktur Jenderal Perkebunan, 1998; Casson, 2000). Sebagian besar areal perkebunan kelapa sawit merupakan bekas areal tebangan konsesi HPH (logged-over area) yang hutannya telah terdegradasi.

Permasalahan konversi hutan untuk tujuan perkebunan

Menurut pemerintah, daerah padang alang-alang dan semak belukar dialokasikan untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit. Namun pada kenyataannya pemerintah telah melakukan pengembangan perkebunan kelapa sawit pada areal hutan konversi dan kadang-kadang pada kawasan hutan produksi (Potter and Lee, 1998b).

Sebagai akibat maraknya permintaan lahan untuk pembangunan perkebunan terutama kelapa sawit, pemerintah melalui Menhutbun telah mengeluarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan N0. 376/Kpts-II/ 1998 tertanggal 8 April 1998 tentang Kriteria Penyediaan Areal Hutan untuk Budidaya Perkebunan Kelapa Sawit. Disebutkan bahwa kawasan hutan yang dilepas diprioritaskan pada lahan kosong atau terbuka yang berdasarkan Rencana Tata Ruang Propinsi-nya berada pada Kawasan Budidaya Non-Kehutanan dan tidak dibebani hak (Berita Yudha, 1 Juni 1998). Kemudian hal ini “diralat” kembali dengan adanya SK Menhutbun No. 728/Kpts-II/1998 tertanggal 9 November 1998 tentang Luas Maksimum Pengusahaan Hutan dan Pelepasan Kawasan Hutan Untuk Budidaya Perkebunan. Pada pasal 6 disebutkan bahwa pelepasan kawasan hutan untuk budidaya perkebunan tidak dapat diberikan pada kawasan lindung berdasarkan RTRWP yang telah dipaduserasikan dengan TGHK atau Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan (RPPH)a. Hal ini berarti selain kawasan lindung dapat dikonversi untuk pengembangan perkebunan, bukan hanya kawasan budidaya non kehutanan saja. Jadi, dapat dikatakan potensi pengembangan perkebunan dengan mengkonversi areal hutan akan semakin besar oleh adanya SK tersebut. Tidak hanya dialokasikan pada hutan konversi saja tetapi dapat dialokasikan pada seluruh kawasan hutan produksi.

Selanjutnya, setelah adanya tekanan untuk menghentikan konversi hutan alam, pemerintah (Departemen Kehutanan dan Perkebunan) “menyiasatinya” dengan mengeluarkan SK Menteri Kehutanan mengenai pembentukan Hutan Tanaman Campuran. Jadi, pembangunan perkebunan atau konversi hutan untuk perkebunan tetap

(6)

dapat dialokasikan di kawasan budidaya kehutananb. Hal ini misalnya dapat dilihat dari penyediaan lahan untuk perkebunan sawit oleh PT Inhutani III, dimana sekitar 20% (60.000 Ha) dari 300.000 Ha areal HTI-nya akan dijadikan kebun sawit (Neraca, 18 Juni 1998).

Permintaan lahan untuk pembangunan perkebunan sangat tinggi untuk daerah-daerah di Sumatera dan Kalimantan, sehingga apabila semua permohonan tersebut disetujui dan beroperasi akan menyebabkan terjadinya defisit hutan konversi. Potensi surplus/defisit hutan konversi jika perusahaan perkebunan tahap persetujuan dan pelepasan beroperasi disajikan pada Tabel 1. Defisit hutan konversi yang terjadi akan menyebabkan peman-

Tabel 1. Besarnya defisit hutan konversi bila semua persetujuan dan pelepasan hutan konversi direalisasikan untuk perkebunan tahun 1995.

Daerah Hutan

Konversi (Ha)

Pelepasan Kawasan Hutan (Ha) Defisit Hutan Konversi (Ha) Sumatera Kalimantan Sulawesi Kawasan Timur Propinsi Lain 3.785.000 1.794.000 1.494.000 11.775.000 191.000 12.307.769 5.827.081 885.834 981.895 BAD -8.522.769 -4.033.081 608.166 10.793.105 BAD Total 19.039.000 20.002.579 -1.154.579

Sumber: Sumahadi (1995), Ditjen Perkebunan (1996), dan BPS (1997) dalam Potter and Lee (1998b) Keterangan: BAD = Belum ada data.

faatan kawasan hutan tetap lainnya, seperti hutan lindung dan hutan konservasi untuk dikonversi. Hal ini mengindikasikan akan terjadinya deforestasi dan degradasi hutan berkepanjangan akibat pengembangan budidaya perkebunan.

Keterlibatan pembangunan perkebunan kelapa sawit dalam konversi hutan sangat berhubungan dengan industri perkayuan. Sebagian besar dari areal perkebunan kelapa sawit merupakan bekas areal tebangan dari konsesi HPH yang telah terdegradasi, sehingga pada saat ini banyak perusahaan perkayuan dan HTI pulp yang arealnya dulunya bekas HPH beralih ke perkebunan sawit (Potter and Lee, 1998b). Hal ini dimungkinkan mengingat pengusaha perkebunan yang ada di Indonesia merupakan holding company. Artinya, perusahaan yang membangun perkebunan juga memiliki HPH dan HTI secara bersamaan.

Permasalahan yang terjadi adalah banyaknya kegiatan konversi hutan yang tidak bertanggung jawab. Perilaku para investor hanya memanfaatkan hasil kayu dan non kayu yang diperoleh dari IPK yang telah diberikan. Setelah dilakukan kegiatan pemanenan hasil kayu pada tahap land clearing, tidak diikuti oleh kegiatan penanaman. Sebagai akibatnya, jutaan hektar areal lahan perkebunan, misalnya di Kalimantan Timur dan Jambi, terlantar menjadi semak belukar (Kompas, 19 Mei 2000). Hal ini telah diidentifikasi oleh pemerintah, sehingga banyak perusahaan yang menelantarkan lahan perkebunan tersebut akan dicabut izinnya. Misalnya, di Kalimantan Timur, sebanyak 50

bSebagai ilustrasi: Perkebunan akan dibangun di dalam kawasan hutan produksi yang di dalamnya terdapat

(7)

dari 105 ijin lokasi investor perkebunan akan dicabut yang mencakup areal seluas 856.268 Ha. Ancaman yang sama juga sudah pernah diberikan pada awal tahun 1998, dengan mencabut 93 ijin lokasi (Suara Pembaharuan, 14 Agustus 1998).

Pembangunan perkebunan kelapa sawit juga telah melanggar batas hutan dan merambah ke dalam Taman Nasional dan daerah konservasi lainnya yang memiliki nilai keanekaragaman hayati yang tinggi. Suara Pembaharuan 8 Juni 1998 melaporkan bahwa di areal Taman Nasional Bukit Tigapuluh telah dikelola dua perkebunan dengan luas masing-masing 8000 Ha dan 4000 Ha. Pembangunan perkebunan ini ternyata memperoleh ijin dari Gubernur daerah setempat.

Walaupun pemerintah telah mengalokasikan areal penanaman kelapa sawit pada kawasan hutan konversi, dalam kenyataannya masih banyak ditemukan perusahaan perkebunan yang melakukan penyerobotan areal kawasan hutan lain baik hutan lindung maupun hutan produksi serta tanah adat masyarakat yang seringkali menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Hal ini terjadi karena belum efektifnya paduserasi RTRWP dan TGHK yang dibuat oleh pemerintah dalam pengklasifikasian dan pengalokasian peruntukkan hutan. Konflik dengan masyarakat seringkali terjadi karena tumpang tindih tanah masyarakat dengan areal perkebunan perusahaan. Masalah ini disebabkan karena dalam pelepasan wilayah hutan untuk perkebunan, pemerintah sering tidak memperhitungkan (“menutup mata” terhadap) keberadaan tanah adat atau hak ulayat.

3.2. Konversi Hutan Untuk Transmigrasi

Menurut data Ditjen INTAG (sampai Maret 1998), kawasan hutan yang sudah dilepas untuk pemukiman transmigrasi seluas 1.012.062 Ha, dengan perincian Hutan Lindung seluas 6.429 Ha, Hutan Suaka Alam seluas 9.071 Ha, HPT seluas 69.761 Ha, HP seluas 157.107 Ha, HPK seluas 424.366 Ha dan APL seluas 345.327 Ha. Data tersebut menunjukkan bahwa kawasan hutan yang dilepas untuk pemukiman transmigrasi tidak hanya Hutan Konversi tetapi juga kawasan hutan lindung dan hutan konservasi. Data mengenai kawasan hutan yang sudah dilepas untuk pemukiman transmigrasi per propinsi dapat dilihat pada Lampiran 7.

Whitten (1987)1 memperkirakan bahwa 30-50% dari lahan yang dibuka untuk transmigrasi asalnya berhutan. Selanjutnya, Dick (1991:29)2 mengemukakan, para transmigrasi spontan membuka lahan seluas kira-kira 4,25 Ha per keluarga. Jika dikalkulasikan dengan data Departemen Transmigrasi yang menyatakan bahwa pada periode 1974-1989 ada 664.000 KK transmigrasi umum dan 455.000 KK transmigrasi spontan, maka dapat diperkirakan jumlah areal hutan yang dibuka untuk periode tersebut sekitar 4,6 juta ha (300.000 ha/tahun).

Pada periode 1989/1990 – 1998/1999 telah ditempatkan transmigran sebanyak 615.323 KK (Ditjen Pinpat, Deptrans dan PPH). Dengan memakai angka 4,25 Ha per KK maka jumlah areal hutan yang dibuka sekitar 2,6 juta Ha (260.000 ha/tahun). Kalau kita menggunakan angka dari Departemen Transmigrasi, dimana setiap KK diberikan 2 ha lahan, maka areal hutan yang telah dibuka sekitar 1,2 juta ha dengan rata-rata 120.000 Ha/tahun.

(8)

Permasalahan konversi hutan untuk kegiatan transmigrasi

Menurut penjelasan seorang staf Ditjen INTAG, pada awalnya kawasan hutan yang akan dilepas untuk kegiatan transmigrasi diarahkan kepada kawasan hutan yang dapat dikonversi (HPK), namun yang terjadi di lapangan kawasan hutan lain seperti Hutan Lindung akhirnya harus “diputihkan” untuk perkembangan kegiatan transmigrasi tersebut. Pemutihan yang dimaksudkan adalah kawasan yang dengan terpaksa harus dilepas untuk transmigrasi walaupun tadinya tidak dicadangkan untuk dikonversi.

Kurangnya kesuburan lahan dan sarana produksi telah mengakibatkan penghasilan para transmigran tidak mencukupi, kemudian mereka mencari penghasilan diluar lokasi transmigrasi. Hal inilah yang mengakibatkan mereka cenderung mencari lokasi baru, melakukan perambahan terhadap hutan, yang akhirnya mengkonversi hutan alam yang ada di sekitar lokasi transmigrasi. Berladang berpindah kemudian menjadi pilihan bagi para transmigran dalam mempertahankan hidupnya (Secrett, 1986)3.

3.3. Konversi Hutan Untuk Pertambangan

Kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan menggunakan sistem Pinjam Pakai Kawasan Hutan (PPKH). Dengan sistem pinjam pakai kawasan hutan ini kawasan hutan yang digunakan untuk kegiatan pertambangan tidak berubah status kawasan hutannya. Perubahan yang terjadi terdapat pada penutupan tajuk akibat kegiatan penambangan tersebut, dan hampir tidak mungkin mengembalikan keadaan hutan ke keadaan semula setelah berakhirnya masa konsesi pertambangan. Menurut Data Ditjen INTAG (sampai Maret 1998), kawasan hutan yang digunakan untuk pembangunan non kehutanan melalui pinjam pakai tanpa kompensasi sekitar 307.890 Ha, dan dengan kompensasi sekitar 8.998 Hac.

Permasalahan utama dalam kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan adalah tidak adanya peraturan yang menetapkan kawasan hutan produksi mana saja yang dapat dijadikan lokasi penambangan. Akhirnya, yang sebenarnya terjadi adalah semua kawasan hutan yang memiliki potensi bahan tambang yang cukup besar (menghasilkan keuntungan yang besar), dapat dilakukan penambangan. Dan biasanya setiap kegiatan penambangan yang ada di dalam kawasan hutan selalu diikuti dengan peraturan perundangan baru yang mendukung atau melegalisasi kegiatan penambangan tersebut.

Dalam hal terjadinya degradasi dan deforestasi hutan, kegiatan ekspansi pertambangan merupakan ancaman serius terhadap keberadaan sumberdaya hutan. Banyak kawasan lindung terancam akibat kegiatan pertambangan. Kegiatan pertambangan yang telah mengeksploitasi areal hutan dapat ditemukan di dalam kawasan hutan lindung maupun hutan konservasi seperti PT Tambang Damai Mining yang memiliki areal konsesi pertambangan batubara seluas 100.000 ha di dalam Taman Nasional Kutai Kalimantan Timur yang memiliki luas total 198.000 ha (The Indonesian Observer, 1 Juni 1998). Total hak konsesi pertambangan yang terdapat di Taman Nasional Kutai sebanyak 6 buah dan 3 buah terdapat di Taman Nasional Bukit Suharto (Kompas, 1 Juni 1998). Nabire Bhakti Mining dan Montague Mimika dilaporkan

(9)

(pernah) dizinkan melaksanakan eksplorasi di Taman Nasional Lorenz (The Indonesian Observer, 4 Agustus 1998).

3.4. Konversi Hutan Untuk Hutan Tanaman Industri (HTI)

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 417/II/1986 pasal 6 ayat 2, daerah sasaran pembangunan HTI mencakup daerah alang-alang, semak belukar (hutan sekunder), lahan kosong, dan hutan rawang, yaitu areal hutan dengan potensi kayu kurang dari 20 m3

/ha). Selanjutnya, dalam Peraturan Pemerintah No. 7/1990, pasal 5 ayat 1 disebutkan bahwa daerah prioritas pembangunan HTI adalah hutan produksi tetap yang sudah tidak produktif. Pada pelaksanaannya, pembangunan HTI banyak berada di dalam kawasan HPH (logged-over area), bahkan ada yang terdapat di dalam hutan primer (virgin forest). Potensi kayu, dari semua jenis, diameter batang di atas 10 cm, pada kawasan hutan yang dikonversi untuk pembangunan HTI dalam kenyataannya ada yang mencapi 210 m3

/ha. Hal ini mengindikasikan bahwa pembangunan HTI dalam prakteknya adalah kegiatan konversi hutan alam yang memberikan keuntungan besar yaitu berupa pemanfaatan kayu dari kegiatan land clearing (pada areal IPK). Setelah kayu IPK dimanfaatkan, tidak jarang realisasi pembangunan HTI ditunda atau bahkan ‘diabaikan’. Kemajuan pembangunan HTI dapat dilihat pada Tabel 2.

Kemudian, setelah adanya Peraturan Pemerintah No. 6/1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan Pada Hutan Produksi, daerah prioritas pembangunan HTI sama sekali tidak mendapat perhatian. Hal ini mengakibatkan konversi hutan alam untuk tujuan pembangunan HTI semakin meningkat, padahal lahan-lahan kritis/kurang produktif yang tidak termanfaatkan semakin besar luasnya.

Tabel 2. Rekapitulasi Pembangunan HTI (dimonitor hingga Januari 1999)

Jenis HTI Luas Areal

Konsesi (ha) Realisasi Penanaman (ha) % - HTI Pulp - HTI Perkakas - HTI Trans 4.939.282 1.689.225 807.158 1.044.371,58 326.748,08 286.569,63 21,14 19,34 35,50 T O T A L 7.435.665 1.657.688,71 22.29

Sumber : Direktorat Bina Pengusahaan Hutan, 1999.

Permasalahan konversi hutan untuk pembangunan HTI

Pembangunan HTI dialokasikan di kawasan HP, dan jika HTI dibangun atau dialokasikan di luar kawasan HP, maka kawasan hutan tersebut akan diubah fungsinya dengan SK Menteri Kehutanan menjadi HP. Tidak jarang ditemukan kawasan hutan yang diubah fungsinya tersebut masih berhutan dan bahkan merupakan hutan primer. Hutan primer tersebut biasanya berasal dari kawasan Hutan Konversi yang telah diubah fungsinya menjadi HP dan sebagian merupakan bekas HPH yang belum sempat dieksploitasi. Berdasarkan hasil studi kelayakan pembangunan HTI pada 6 lokasi diketahui bahwa pembangunan HTI tersebut dialokasikan pada kawasan hutan yang masih berhutan, baik itu bekas HPH maupun hutan primer. Pada Tabel 3 disajikan 6 studi kasus tetang penutupan lahan yang dijadikan HTI. Pada beberapa studi kelayakan yang

(10)

lain, diketahui bahwa di dalam lokasi pembangunan HTI terdapat hutan alam yang masih produktif rata-rata sebesar 22% dari seluruh kawasan hutan yang dikelolanya (Hariadi dan Supriono, 2000).

Tabel 3. Studi Kasus Kondisi Penutupan Lahan Areal HPHTI

No. Nama Perusahaan HTI Luas (Ha) Hutan (Ha) Non hutan (Ha)

1 PT. Okaba Rimba Makmur 283.500 256.464 (90,5%) 27.036 (9,5%)

2 PT. Mentaya Kalang 10.000 6.651 (66,5%) 3.349 (33,5%)

3 PT. Eucalyptus Tanaman Lestari 298.900 253.525 (84,8%) 15.330 (15,2%)

4 PT. Jati Cakrawala 19.170 6.563 (34,2%) 12.607 (65,8%)

5 PT. Maharani Rayon Jaya 206.800 203.570,11 (98,4%) 3.229,89 (1,6%)

6 PT. Riau Abadi Lestari 12.000 7.015 (58,4%) 4.985 (41,6%)

Rata-rata 72,13% 27,87%

Sumber: Dari Studi Kelayakan masing-masing perusahaan yang sudah mendapat SK.

Keterangan: Hutan yang dimaksud terdiri dari hutan primer dan hutan bekas tebangan, Non Hutan terdiri dari semak beluar, ladang penduduk, padang alang-alang, dan pemukiman.

Permasalahan lain yang seringkali muncul sehubungan dengan pembangunan HTI di atas areal hutan konversi berkenaan dengan definisi konversi hutan. Pemerintah (dan para pengusaha kehutanan) berpendapat bahwa konversi hutan alam adalah pengalihan lahan hutan untuk keperluan non kehutanan. Jadi, pembangunan HTI di atas areal hutan produksi konversi yang terlebih dahulu ditebang habis hutannya dianggap bukan merupakan kegiatan konversi hutan alam, karena status areal HTI tersebut tetap merupakan kawasan hutan produksi.

3.5. Konversi Hutan Alam untuk Proyek Lahan Gambut (PLG) Sejuta Hektar

Proyek Lahan Gambut ini dilatarbelakangi oleh semakin sedikitnya lahan pertanian yang ada di Pulau Jawa karena telah menjadi daerah pemukiman dan industri (LATIN, 1998)4. Untuk tujuan swasembada pangan diperlukan areal pertanian yang lebih luas lagi, sehinga untuk mendukung hal tersebut presiden Suharto mengeluarkan Keppres No. 82-83 Tahun 1995 untuk pengembangan lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan Tengah tanpa melalui studi kelayakan dan/atau tanpa terlebih dahulu melakukan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan.

Lahan gambut tersebut awalnya merupakan kawasan konservasi dan hutan produksi, namun karena tahu akan dirubah menjadi areal pertanian/sawah, sejumlah HPH telah melakukan tebang habis yang turut memperburuk keadaan. Luas proyek lahan gambut yang telah mengkonversi kawasan konservasi tersebut seluas 1.457.100 Ha. Dari seluruh luas proyek tersebut yang layak dijadikan lahan pertanian hanya 30% saja, yaitu seluas 586.700 Ha (Kompas, 1 Maret 1997).

3.6. Konversi Hutan dengan Sistem Tukar Menukar Kawasan Hutan

Tukar Menukar Kawasan Hutan adalah suatu kegiatan melepaskan kawasan hutan tetap untuk kepentingan pembangunan di luar sektor kehutanan yang diimbangi dengan memasukkan tanah pengganti menjadi kawasan hutan, dimana tanah pengganti adalah tanah bukan kawasan hutan yang akan dijadikan kawasan hutan sebagai pengganti kawasan hutan tetap yang telah dilepaskan. Sistem tukar menukar kawasan hutan sebenarnya merupakan bagian dari konversi hutan, karena didalam sistem ini juga

(11)

terdapat perubahan peruntukkan dari kawasan hutan yang akan ditukarkan. Hanya dalam sistem ini ada kompensasi dengan menyediakan areal pengganti kawasan hutan yang digunakan dengan perbandingan tertentu. Tukar menukar kawasan hutan ini biasanya dilakukan karena di daerah-daerah tertentu tidak memiliki kawasan hutan yang dapat dikonversi lagi. Sehingga kawasan hutan yang ditukarkan biasanya adalah kawasan hutan produksi.

Menurut data Dephutbun (sampai Maret 1998), kawasan hutan yang sudah dilepas melalui tukar menukar kawasan hutan untuk pembangunan non kehutanan seluas 974.011 Ha dengan perincian Hutan Suaka Alam seluas 0,16 Ha, Hutan Lindung seluas 865 Ha, HPT seluas 168.332 Ha, HP seluas 511.076 Ha, HPK seluas 282.649 Ha dan APL seluas 11.087 Ha.

3.7. Konversi Hutan untuk Perladangan Berpindah

Seiring dengan jumlah penduduk yang terus meningkat, perubahan ekonomi, serta meluasnya budidaya tanaman yang lebih intensif, secara perlahan telah mengubah sistem perladangan berpindah yang ada. Hal ini tidak hanya berpengaruh terhadap lamanya masa bera dan teknik budidaya yang diterapkan, tetapi juga berpengaruh terhadap pemilihan jenis tanaman yang akan dibudidayakan. Selanjutnya, peladang menjadi sadar akan keterbatasan yang mereka miliki seperti keterbatasan luas lahan, modal dan pengetahuan, sehingga peladang berupaya memanfaatkan lahan semaksimal mungkin. Hal ini akan menyebabkan masa bera yang tadinya panjang menjadi pendek yaitu antara 1–3 tahun. Keadaan ini pada akhirnya akan mengakibatkan semakin meluasnya hutan yang dibuka atau dikonversi menjadi ladang yang kemudian berubah menjadi alang-alang, karena masa bera yang singkat tidak memungkinkan tanah untuk mengembalikan kesuburannya secara alami (Ditjen PH dan FAO, 1990)5.

Berdasarkan hasil studi tahun 1982 – 1984, jumlah peladang berpindah di Indonesia diperkirakan sebanyak 1.186.283 KK dengan luas areal perladangan seluas 6,77 juta ha. Kemudian berdasarkan hasil laporan daerah tahun 1990 – 1991, terdapat 1.502.389 KK peladang berpindah yang mencakup luas 7,90 juta ha (Ditjen RRL, Dephut, 1992). Peladang berpindah tersebut dijumpai di dalam dan luar kawasan hutan.

Praktek perambahan hutan dan pencurian kayu yang dilakukan oleh berbagai pihak, yang semakin marak terjadi pada beberapa tahun terakhir ini semakin besar peranannya dalam turut memperbesar praktek konversi hutan alam. Sebagai hasilnya, keadaan sumberdaya hutan Indonesia semakin rusak/hancur, dan luas lahan kritis dan/atau lahan terbengkalai semakin besar.

4. Analisis Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Konversi Hutan Alam 4.1.Analisa Kebijakan Alokasi Lahan

Berdasarkan TGHK, telah disediakan hutan alam (hutan produksi) yang diperuntukkan sebagai hutan konversi. Sementara TGHK itu sendiri ditentukan tanpa berdasarkan survei, hanya bersifat trial & error (Ngadiono, 1998). Dengan demikian,

(12)

TGHK dapat dipandang sebagai Rencana Umum Tata Ruang yang bersifat imajiner yang tidak mempunyai kekuatan hukum secara definitif.

Dalam beberapa tahun terakhir ini pemerintah (Departemen Kehutanan dan Perkebunan) melakukan kebijakan yang menganjurkan pembangunan hutan tanaman dipadukan dengan pembangunan perkebunan di dalam kawasan hutan produksi yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (Inhutani). Alasan utamanya adalah untuk meningkatkan kinerja (keuntungan) ekonomi perusahaan, disamping untuk melibatkan perusahaan dalam mengamankan hutan. Namun demikian, pada kenyataannya pelaksanaan kebijakan tersebut hampir selalu mengorbankan hutan alam untuk membangun perkebunan kelapa sawit.

Walaupun pada awalnya pembangunan HTI diarahkan di kawasan hutan yang sudah ataupun kurang produktif lagi, namun kenyataannya pembangunan HTI selalu mengorbankan hutan alam, bahkan hutan primer. Hal ini disebabkan oleh tidak ekonomisnya membangun HTI di daerah yang kurang produktif, karena akan membutuhkan biaya tambahan dalam mengembalikan kesuburan lahan. Soemitro dalam Nugroho (1994)6 membuat suatu analisis finansial hutan tanaman yang dibangun pada dua macam lahan hutan, yaitu lahan berhutan dan lahan kosong. Hasil analisis mengungkapkan bahwa membangun hutan tanaman industri dengan mengkonversi hutan alam akan lebih menguntungkan (IRR > 10% dan NPV bernilai positif) dibandingkan bila dibangun di lahan kosong (alang-alang, belukar) (akan memberikan IRR dibawah 10% dan NPV dengan suku bunga 10% akan bernilai negatif). Alasan inilah yang mengakibatkan mengapa pembangunan HTI selalu diarahkan pada kegiatan konversi hutan alam dengan potensi kayu yang tinggi (sangat tinggi), sehingga para pengusaha mendapatkan keuntungan besar berupa kayu IPK.

Secara umum kebijakan alokasi lahan yang paling mendukung terjadinya konversi hutan adalah adanya sistem perubahan fungsi, relokasi fungsi, sistem Tukar Menukar Kawasan Hutan, dan sistem Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Dengan adanya perubahan fungsi yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan dan Perkebunan, maka semua kawasan hutan menjadi berpotensi untuk dikonversi nantinya. Hal ini sebenarnya disebabkan oleh belum jelasnya tata batas dari tiap fungsi kawasan hutan dan inkonsistensi peruntukkan dari tiap fungsi kawasan itu sendiri.

4.2. Kebijakan Investasi

Konversi hutan untuk perkebunan kelapa sawit akan semakin meningkat sejak diijinkannya investasi asing pada perkebunan kelapa sawit. Sebelumnya pemerintah menutup investasi asing di perkebunan kelapa sawit, namun berdasarkan kesepakatan pemerintah RI – IMF, kebijakan tersebut tidak berlaku lagi sejak 1 Pebruari 1998 (Antara, 11 April 1998).

Pada akhir Februari 1998, secara resmi Menteri Kehutanan telah mengizinkan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) melakukan perluasan usaha ke sektor perkebunan dengan alasan untuk mempertahankan kinerja BUMN (pemasukan untuk menjaga arus cash flow-nya) dan untuk memberikan ruang gerak yang lebih luas kepada BUMN.

(13)

Dikatakan bahwa saat ini untuk mempertahankan dan meningkatkan kinerja BUMN tidak cukup lagi hanya mengandalkan hutan (Antara, 11 April 1998).

Selanjutnya, investasi yang telah mendorong konversi hutan untuk pembangunan HTI adalah dengan adanya skim pendanaan dari Dana Reboisasi (DR). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1990, pasal 14 ayat 2, disebutkan mengenai pendanaan pembangunan HTI. Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam pembangunan HTI, pemerintah dapat turut membiayai pembangunan HTI dalam bentuk Penyertaan Modal Pemerintah (PMP) atau dalam bentuk lain sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Dengan adanya PMP tersebut, permodalan pembangunan HTI dapat dilakukan dalam bentuk kerjasama antara BUMN dengan swasta atau koperasi (HTI swasta) dan HTI yang dibangun oleh BUMN itu sendiri (HTI BUMN).

Adanya kemudahan investasi dengan bantuan Dana Reboisasi dalam pembangunan HTI turut mendorong maraknya konversi hutan, walaupun ada juga perusahaan yang mau membangun HTI tanpa menggunakan bantuan dari Dana Reboisasi. Para pengusaha tersebut malah menganggap bantuan Dana Reboisasi akan meningkatkan biaya produksi, utamanya dalam bentuk biaya transaksi dan birokrasi tinggi (Hariadi dan Agus Supriono, 1999). Namun demikian, sesungguhnya perusahaan yang membangun HTI tanpa dana DR telah mendapatkan “subsidi terselubung”, yaitu keuntungan besar berupa kayu IPK dari areal hutan alam yang dikonversi untuk pembangunan HTI. Sesungguhnya, keuntungan perusahaan menjadi bertambah besar karena seringkali areal konsesi HTI sebelumnya merupakan areal konsesi HPH milik (grup) perusahaan yang sama. Dengan demikian, perusahaan praktis mendapatkan semua kayu yang berada di atas areal konsesi HPH (HTI) tersebut, sementara kewajiban perusahaan (HPH) untuk merehabilitasi konsesi HPH yang sudah terdegradasi menjadi hilang (seperti yang diwajibkan dalam sistem TPTI). Kejadian serupa juga terjadi pada pembangunan perkebunan kelapa sawit di atas areal konsesi HPH milik holding company yang sama.

5. Analisis Dampak Konversi Hutan Alam

Kegiatan konversi hutan alam diharapkan meningkatkan nilai lahan dan meningkatkan pendapatan dari masyarakat. Namun demikian, dalam pelaksanaannya sering dijumpai dampak lain yang merugikan terhadap lingkungan maupun kehidupan masyarakat. Berbagai dampak ini dapat dikategorikan sebagai dampak langsung dan tidak langsung.

5.1. Dampak Lingkungan

Dampak langsung dari kegiatan konversi hutan alam diantaranya adalah dampak terhadap lingkungan fisik dan biologi serta dampak terhadap lingkungan sosial ekonomi (Manto, 1997)7. Disebutkan bahwa dampak konversi hutan tropis terhadap ekosistem mengindikasikan adanya penurunan kualitas lingkungan. Dampak negatif tersebut antara lain berupa kenaikan laju erosi, kenaikan aliran permukaan serta penurunan fungsi hidrologis hutan sebagai pengendali banjir dan kekeringan. Selanjutnya disebutkan pula bahwa kegiatan konversi belum mampu meningkatkan perekonomian masyarakat yang hidup di sekitar hutan yang dikonversi.

(14)

Dampak langsung lainnya dari kegiatan konversi adalah hilangnya beberapa jenis pohon yang ditebang yang merupakan kekayaan keanekaragaman hayati yang terdapat pada suatu lokasi hutan. Penebangan hutan juga berakibat hilangnya habitat dari sebagian satwa liar yang akhirnya menimbulkan masalah baru8. Dari pengalaman, konversi hutan alam menjadi tanaman monokultur telah menyebabkan tanaman tidak tahan terhadap penyakit dan mudah terserang dalam areal yang luas apabila terjadi musibah seperti kebakaran hutan.

Dampak tidak langsung dari kegiatan konversi hutan alam adalah bahwa penurunan luas hutan konversi telah menjadi ancaman yang serius terhadap kawasan hutan lainnya seperti hutan lindung dan hutan konservasi. Pembangunan HTI dan perkebunan juga sering tumpang tindih dengan kawasan konservasi. Sebagai contoh Taman Nasional Bukit Tigapuluh seluas 127.698 Ha yang membentang antara Propinsi Jambi dan Riau, telah terancam kelestariannya oleh dua perkebunan besar PT Sumatera Makmur Lestari seluas 8.000 Ha dan PT Arvena seluas 5.450 Ha9. Demikian pula, di Kalimantan Timur terdapat 21 kasus pembangunan perkebunan menggunakan kawasan hutan lindung10. Baru-baru ini juga diberitakan terjadi konversi hutan lindung, paling sedikit 6.000 Ha, untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit di areal hutan Register 40, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara (Kompas, 31 Juli 2000).

Kebakaran hutan dan polusi asap yang terjadi pada tahun 1997/1998 menurut pemberitaan beberapa media massa dilakukan oleh para pemilik HTI dan perkebunan kelapa sawit. Api seringkali berasal dari kegiatan pembukaan dan pembersihan lahan (land clearing) perkebunan (HTI) dengan cara dibakar. Dampak lain yang timbul akibat kegiatan pembakaran yang sering dilakukan dalam kegiatan konversi hutan alam adalah terjadinya peningkatan suhu secara global. Hasil studi Pusat Studi Lingkungan IPB (1998)11, mengungkapkan bahwa pada tahun 1990 emisi CO2 dari sektor kehutanan

sekitar 68% dari total emisi CO2 di Indonesia. Kegiatan manusia yang mengakibatkan

emisi CO2 dalam sektor kehutanan adalah konversi hutan menjadi beberapa bentuk

penggunaan lain dan kegiatan pemanenan/pembalakan kayu. Juga disebutkan dalam hasil studi itu bahwa emisi yang disebabkan oleh kegiatan konversi sebesar 62% dari total emisi, sedangkan kegiatan pembalakan hanya sebesar 4%.

5.2. Konflik Sosial

Konflik sosial yang paling sering muncul dari kegiatan konversi adalah masalah tumpang tindih kepemilikan dan peruntukkan lahan, terutama untuk pembangunan perkebunan sawit, dan HTI. Tumpang tindih peruntukkan dapat terjadi antara investor dengan investor (HTI dengan Perkebunan) maupun antara investor dengan masyarakat adat yang memiliki tanah-tanah adat/hak ulayat. Beberapa contoh kasus dapat dibaca dari pemberitaan media massa seperti yang diberitakan Bisnis Indonesia (3 September 1998) : “Sedikitnya 41.155,5 ha lahan perkebunan milik 4.101 KK di delapan kabupaten di Propinsi Sumatera Selatan dicaplok secara paksa oleh 13 perusahaan perkebunan”.

Penduduk yang tinggal di sekitar hutan sering mengklaim areal hutan konversi sebagai milik mereka, atau milik masyarakat adat (hak ulayat) mereka. Kesepakatan yang terjadi dan disahkan dalam TGHK, dan selanjutnya hasil pemaduserasian dengan

(15)

RTRWP, hanya berlaku antar instansi pemerintah, khususnya antara pihak Departemen Kehutanan dengan pihak Departemen pemerintah lainnya yang berkepentingan dengan penggunaan lahan hutan. Sementara itu, masyarakat tidak pernah menyepakati (menyetujui) tata guna lahan hutan tersebut. Akibatnya, berbagai konflik lahan hutan, termasuk yang timbul akibat kegiatan konversi hutan, sering terjadi di banyak tempat. Konflik lahan yang berlarut-larut biasanya (cepat atau lambat) berubah menjadi konflik sosial yang merugikan kehidupan sosial ekonomi masyarakat, serta menyebabkan resiko dan ketidakpastian berusaha bagi para pengusaha.

Akibat konflik lahan yang berkepanjangan dengan masyarakat, pihak perusahaan PT Musi Hutani Persada di Sumatera selatan, milik grup perusahaan Barito Pacific, telah dipaksa oleh pemerintah daerah Sumsel (atas restu dari pihak Dephutbun) untuk menyerahkan kepada masyarakat lahan HTI yang telah siap dipanen, seluas 12.500 Ha.

6. Konversi Hutan Alam dan Lahan Kritis

Lahan kritis yang dimaksud adalah lahan yang tidak produktif yang berada di dalam atau di luar kawasan hutan, yang dapat berupa semak belukar, alang-alang, maupun tanah kosong/gundul. Penyebab lahan kritis di dalam kawasan hutan lebih banyak diakibatkan oleh kegiatan pengusaha konsesi HPH yang mengekspoitasi sumberdaya hutan secara berlebihan (tidak melakukan pengelolaan hutan secara lestari). Dalam pelaksanaan sistem silvikultur yang ada, kegiatan penanaman kembali tidak dilakukan oleh para pengusaha hutan. Selain itu kegiatan peladangan berpindah, perambahan hutan dan pencurian kayu (oleh berbagai pihak) menjadi salah satu penyebab lain terjadinya lahan kritis di dalam kawasan hutan.

Selanjutnya, kegiatan konversi hutan berkembang dengan semakin banyaknya lahan kritis yang ada di dalam kawasan hutan. Pembangunan areal perkebunan (utamanya perkebunan kelapa sawit) dan HTI kemudian tampil sebagai penyebab lahan-lahan kritis baru. Hal ini diindikasikan oleh kecilnya realisasi penanaman HTI pulp yang baru mencapai 23,1 % (mulai awal Pelita V sampai Juli 1997)12. Berarti, kegiatan pembangunan HTI oleh para investor/pengusaha hanya sampai pada tahap perolehan insentif dari Dana Reboisasi dan pengambilan hasil hutan (utamanya kayu IPK) dari kegiatan land clearing. Kawasan hutan konversi untuk tujuan pembangunan HTI yang telah di-land clearing tersebut, jika dibiarkan tanpa kegiatan rehabilitasi akan menjadi lahan-lahan kritis baru. Investor yang telah memperoleh ijin banyak menelantarkan lahan yang telah diberikan.

Konversi hutan alam untuk berbagai keperluan, khususnya untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit dan HTI, terus berlangsung sampai saat ini walaupun di Indonesia sesungguhnya sudah tersedia lahan kritis dan/atau lahan terlantar dalam skala yang sangat luas, terutama sebagai akibat dari kegiatan HPH dan penebangan liar (pencurian kayu). Berdasarkan data Ditjen INTAG (hingga Maret, 1998) luas lahan kritis hingga awal Pelita VI (1994/1995) yang terdapat di dalam kawasan hutan seluas  3,76 juta Ha dan di luar kawasan hutan seluas  8,7 juta Ha. Semakin tahun luas lahan kritis (dan lahan terlantar) meningkat dan jika dilihat berdasarkan satuan wilayah pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS), luas lahan kritis di dalam kawasan hutan mencapai 8,3 juta

(16)

Ha dan di luar kawasan hutan mencapai 15,4 juta Ha. Besarnya luas lahan kritis yang ada belum diimbangi dengan kegiatan rehabilitasinya, sehingga dapat menjadi alternatif untuk dikonversi dengan menggunakan teknologi yang ada. Menurut data Departemen Kehutanan dan Perkebunan, saat ini diperkirakan terdapat lebih dari 30 juta Ha lahan dan hutan yang perlu direhabilitasi (Badan Planologi Kehutanan dan Perkebunan, 2000b). Pemanfaatan lahan kritis dan lahan-lahan terlantar bertujuan untuk merehabilitasi lahan dan meningkatkan produktifitas lahan.

7. Kesimpulan dan Rekomendasi 7.1. Kesimpulan

 Kegiatan konversi hutan alam mendapat legitimasi dari pemerintah Indonesia sejak adanya Tata Guna Hutan Kesepakatan pada tahun 1981. Konversi hutan dilakukan untuk berbagai peruntukan penggunaan lahan. Misalnya, untuk pengembangan areal pertanian, transmigrasi, perkebunan, HTI, dan pertambangan. Luas kawasan hutan konversi terus mengalami penurunan, yaitu dari seluas 31 juta Ha pada awal tahun 1980-an menjadi sekitar 8 juta Ha pada tahun 1999.

 Dalam pelaksanaannya, praktek konversi hutan alam, khususnya untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit dan HTI, telah menimbulkan kesempatan untuk melakukan konversi hutan diluar kawasan hutan konversi yang telah ditetapkan, bahkan telah merambat ke kawasan hutan lindung, Taman Nasional dan kawasan konservasi lainnya.

 Konversi hutan alam terus berlangsung sampai saat ini walaupun sudah tersedia lahan kritis dan lahan terlantar dalam skala sangat luas sebagai akibat aktifitas pembukaan dan/atau eksploitasi hutan untuk berbagai keperluan. Konversi hutan alam dalam skala luas terus terjadi karena para pengusaha mendapatkan keuntungan besar berupa kayu IPK dari hutan yang dikonversi. Sebagai akibatnya, kegiatan konversi hutan menjadi salah satu sumber penghacuran (deforestasi) hutan alam Indonesia. Disamping itu, karena motivasi utamanya untuk mendapatkan kayu IPK, praktek konversi hutan alam seringkali menyebabkan areal hutan yang dikonversi berubah menjadi lahan terlantar, semak belukar dan/atau lahan kritis baru, sedangkan realisasi pembangunan HTI dan perkebunan tidak terjadi sesuai dengan yang direncanakan.

 Kegiatan konversi hutan banyak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan maupun kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Diantaranya adalah: hilangnya kekayaan keanekaragaman hayati hutan hujan tropika, berkurang/hilangnya habitat satwa liar karena hutan ditebang habis, dan munculnya bencana kebakaran hutan dan lahan akibat pembukaan lahan hutan dengan cara membakar. Disamping itu, konversi hutan alam sering menimbulkan konflik lahan dan konflik sosial yang merugikan kehidupan sosial ekonomi masyarakat, serta menyebabkan resiko dan ketidakpastian berusaha bagi para pengusaha.

(17)

7.2. Rekomendasi

Karena kegiatan konversi hutan alam merupakan salah satu sumber utama deforestasi hutan Indonesia yang menimbulkan berbagai dampak negatif terhadap lingkungan, dan mengetahui bahwa saat ini di Indonesia telah tersedia lahan kritis dan/atau lahan terlantar dalam skala sangat luas, maka kegiatan konversi hutan alam harus dihentikan.

Lahan kritis dan/atau lahan terlantar perlu segera dimanfaatkan secara optimal dan harus diprioritaskan untuk lokasi pembangunan HTI, dan perkebunan. Dengan demikian, lahan kritis dan/atau lahan terlantar tersebut dapat direhabilitasi menjadi lahan yang produktif untuk menghasilkan manfaat ekonomi yang tinggi.

 Pemerintah perlu memberikan sanksi yang tegas dan jelas terhadap pihak pelaku kegiatan konversi hutan yang tidak bertanggung jawab, termasuk yang hanya ingin mendapatkan keuntungan besar berupa kayu IPK, namun kemudian menelantarkan lahan yang telah dilakukan ‘land clearing’. Sanksi yang tegas juga harus diberikan kepada perusahaan pembuka lahan hutan dengan cara membakar.

 Pemerintah diharapkan untuk proaktif dalam menyelesaikan konflik lahan antara masyarakat dengan pihak perusahaan pemilik konsesi lahan. Mekanisme konsultasi publik, termasuk dengan melibatkan masyarakat adat, perlu dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan konflik lahan.

Daftar Pustaka

Badan Planologi Kehutanan dan Perkebunan. 2000a. Bahan paparan dan diskusi Kepala Badan Planologi Kehutanan dan Perkebunan. C-7. Rakernas 2000. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 26-29 Juni 2000.

Badan Planologi Kehutanan dan Perkebunan. 2000b. Bahan ceramah dan diskusi. Komitmen Indonesia dan isu-isu internasional tentang kehutanan dan perkebunan. D-5. Rakernas 2000. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 26-29 Juni 2000. Casson, A. 2000. The Hesistant Boom: Indonesia’s Oil Palm Sub-Sector in an Era of Economic Crisis and Political change. CIFOR Occasional Paper No. 29. CIFOR, Bogor, Indonesia.

Direktorat Bina Pengusahaan Hutan. 1999. Produksi kayu bulat areal konversi. Statistik tidak diterbitkan, Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan. Jakarta, Indonesia.

Kartodihardjo, H. dan Supriono, A. 2000. Dampak pembangunan sektoral terhadap konversi dan degradasi hutan alam: kasus pembangunan HTI dan perkebunan di Indonesia. CIFOR Occasional Paper No. 26. CIFOR, Bogor, Indonesia.

(18)

Manurung, E.G.T. dan Sukaria, H. S. 2000. Industri Pulp dan Kertas: ancaman baru terhadap hutan alam. Suara Pembaruan, Sabtu, 22 Juli 2000.

Manurung, E.G.T. dan Saragih, D.J. 1999. Potret Konversi Hutan Alam Indonesia. Yayasan WWF-Indonesia, September 1999. Jakarta.

Manurung, E.G.T., Kusumaningtyas, R. dan Mirwan. 1999. Potret Pembangunan Hutan Tanaman Industri di Indonesia. Makalah disampaikan pada acara diskusi panel tentang “Pembangunan HTI di Indonesia: Permasalahan dan Solusinya”. Diselenggarakan oleh Yayasan WWF Indonesia. Jakarta, 30 September 1999.

Potter, L and Lee, J. 1998a. Oil Palm in Indonesia: its role in forest conversion and the fires of 1997/98. A report for WWF Indonesia Programme, Jakarta, Indonesia. Potter, L and Lee, J. 1998b. Tree Planting in Indonesia: trends, impacts and directions. CIFOR Occasional Paper No. 18. CIFOR, Bogor, Indonesia.

Soerjono, R. 1979. Konversi Hutan Alam. Lembaga Penelitian Hutan. Departemen Pertanian.

Wakker, E. 1998. Lipsticks from the rainforest: Palm oil, crisis and forest loss in Indonesia: the role of Germany. WWF, A forest Campaign Project of WWF- Germany in collaboration with WWF-Indonesia.

Catatan Akhir (Endnotes)

1

Whitten, A.J. 1987. Indonesia’s transmigration program and its role in the loss of tropical rain forest. Conservation Biology 1(3): 239-240.

2

Dick, J. 1991. Forest Land Use, Forest Use Zonation, and Deforestation in Indonesia: a summary and interpretation of existing information. Background paper to UNCED for the State Ministry for Population and Environment (KLH) and the Environmental Impact Management Agency (BAPEDAL).

3

Secrett, Charles. 1986. The Environmental Impact of Transmigration. The Ecologist Vol 16. No.23.

4

LATIN, 1998. Reformasi Tanpa Perubahan. Jakarta.

5

Ditjen Pengusahaan Hutan – FAO, 1990. Situation and Outlook of the Forestry sector in Indonesia, Technical Report no. 1, Vol 4, Ministry of Forestry. Jakarta.

6

Nugroho, T. 1994. Hutan Tanaman Industri, Kajian terhadap Konsep dan Implementasinya. Walhi. Jakarta.

7

Manto, 1997. Dampak Konversi Hutan Tropis Terhadap Perekonomian Mayarakat dan Wilayah. Studi Kasus Pengembangan Transmigran di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Timur. Tesis Program Pasca Sarjana IPB. Bogor.

8

Republika, 4 Maret 1999. Harimau Sumatera Memangsa 2 Orang Penduduk Setempat.

9

Harian Suara Pembaharuan, 14 September 1998. Selamatkan Taman Nasional Bukit Tigapuluh.

10

William Sunderlin. 1998. Between Danger and Oppurtinity: Indonesia’s Forest in an Era Of Economic Crisis and Political Change. Cifor.

11

The Center For Environmental Studies IPB, 1998. Final Reports. Asian Least Cost Greenhouse Gas Abatement Strategy Project. Report Submitted to UNDP.

12

Gambar

Gambar 1: Produki kayu bulat dari RKT dan IPK
Tabel 1. Besarnya defisit hutan konversi bila semua persetujuan dan pelepasan                hutan konversi direalisasikan untuk perkebunan tahun 1995
Tabel 2.  Rekapitulasi Pembangunan HTI (dimonitor hingga Januari 1999)  Jenis HTI  Luas Areal
Tabel 3.  Studi Kasus Kondisi Penutupan Lahan Areal HPHTI

Referensi

Dokumen terkait

 Skor 0 jika pasien berjalan tanpa alat bantu/ dibantu, menggunakan kursi roda, atau tirah baring dan tidak dapat bangkit dari tempat tidur sama sekali..  Skor 15 jika

[r]

Kes- impulan dari penelitian ini adalah status dan kondisi naskah kuno di Kabupaten Ciamis masih memprihatinkan karena pemahaman masyarakat terhadap arti penting naskah kuno

Pada perkebunan kelapa sawit yang populasi kumbangnya tinggi, fruit set paling banyak dipengaruhi oleh kumbang, sebaliknya, perkebunan yang populasi kumbangnya rendah, maka peran

Penulis tertarik untuk membahas angkatan 66 sebagai tulisan ilmiah mengingat belum banyak tulisan-tulisan ilmiah menyangkut angkatan 66 dan TRITURA di Jambi bahkan

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yusuf (2002) tentang dampak usaha tambak udang terhadap pengembangan wilayah Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara,

Mengolah informasi terkait nilai-nilai Pancasila dalam penyelenggaraan pemerintahan yang sudah dikumpulkan dari hasil kegiatan mengamati dan kegiatan

EKSEKUSI.. Tindak pidana korupsi adalah segala macam perbuatan tidak baik, seperti yang dikatakan Andi Hamzah ‘’sebagai kebusukan, keburukan, kebejatan,