• Tidak ada hasil yang ditemukan

RESPON MUHAMMADIYAH.doc 93KB Jun 13 2011 06:28:04 AM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "RESPON MUHAMMADIYAH.doc 93KB Jun 13 2011 06:28:04 AM"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

RESPON MUHAMMADIYAH

TERHADAP RADIKALISME DAN LIBERALISME

Oleh : Dr. Zainuddin Maliki, M.Si

Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya

Liberalisme adalah sebuah jargon ideologi di luar agama dan memenuhi wacana kehidupan ekonomi, sosial maupun politik. Namun, belakangan liberalisme juga

memasuki wacana keagamaan, dan bahkan juga muncul gerakan liberalisme pemikiran dalam tubuh umat Islam di Indonesia. Gerakan ini pada intinya menghendaki

pembebasan diri dari berbagai belenggu pemikiran sempit dalam pemikiran dan pemahaman atas ajaran agama.

Eksponen gerakan ini sangat memuja pentingnya "kemerdekaan" manusia. Manusia haruslah terbebas dari berbagai penjara, termasuk "penjara" pemikiran orang-orang terdahulu. Oleh karena itu, penganut perspektif liberal memandang bahwa pemahaman dan juga pengamalan atas ajaran agama haruslah dibebaskan dari semua bentuk penafsiran yang pernah ada, dan sebaliknya mengedepankan kemampuan

subyektif masing-masing individu dalam memahami ajaran di tengah kehidupan sejarah —kapan dan di mana mereka hidup. Pemahaman atas ajaran yang dilakukan oleh pemikir-pemikir terdahulu boleh diambil sebagai inspirasi, dan bukan sebagai bingkai yang mendekte serta membatasi ruang gerak.

Perspektif liberal mengakui adanya "hystrocal bloc" atau pemetaan tahapan sejarah, dan masing-masing bloc atau tahapan sejarah memiliki identitasnya (hystorical identity) masing-masing. Setiap identitas sejarah, memiliki karakter pertanyaan,

persoalan dan cara memahami, menjawab serta memecahkannya. Oleh karena itu pemahaman atas ajaran agama haruslah memiliki konteks yang kuat dengan perjalanan sejarah, sesuai dengan tingkat perkembangan kultural, sosial maupun politis yang melatar belakanginya. Dengan demikian keanekaragaman sejarah diakui, dan sebagai

(2)

Eksponen gerakan ini, dalam upaya menegakkan "kerajaan Tuhan" atau dalam menjalankan fungsi "khalifatullah fil ardl," tidak terlalu mementingkan faktor-faktor simbolik-formalistik, melainkan menekankan segi-segi substantifistik. Oleh karena itu, gerakan ini sering dikatakan sebagai penganut perspektif pemikiran substansialistik.

Salah satu prinsip Liberalisme adalah penghormatan kepada kemanusiaan, dan oleh karena itu kemudian mengedepankan pentinganya kesetaraan dan kesedarajatan (equality). Eksponen pergerakan ini memandang semua manusia sama kedudukannya. Tidak boleh ada klaim dari lapisan atas sebagai komunitas atau individu yang memiliki nilai lebih dan sembari mengklim lapisan bawah adalah masyarakat yang sarat

kelemahan. Kelebihan hanya bisa dilakukan dengan cara mengenakan standart keimanan dan ketaqwaaan. Semua manusia sama, hanya keimanan dan ketaqwaaan saja yang boleh membedakan. Keimanan dan ketaqwaan dalam hal ini bukanlah sesuatu yang bersifat askribtif (diterima begitu saja sebagaimana sebuah warisan) melainkan sebuah capaian

(achivement) yang memerlukan kerja keras (baca: ikhtiar)..

Kritik yang bisa diberikan atas liberalisme, kiranya adalah bahwa perspektif ini mengedepankan pengakuan atas kemampuan individual. Sementara dalam praktek kemampuan individual sangatlah beragam. Ada individu yang memiliki kemampuan tinggi, baik karena potensi internal maupun karena dukungan eksternal-struktural, namun tidak jarang yang tidak berdaya, baik karena faktor internal maupun faktor struktural.

Perbedaan-perbedaan kapasitas tersebut secara tak terelakkan memunculkan batas-batas hirarkis atas-bawah, dan hirarki semacam inilah yang kemudian melahirkan pola hubungan dominasi. Mereka yang di atas mendominasi dan bahkan tak jarang mengeksplotasi yang bawah. Mereka yang lebih tinggi kompetensinya memandang secara pejoratif terhadap mereka yang lemah dan tidak lebih beruntung. Prinsip atau semangat equality, dalam praktek hanya bisa mengurangi praktek dominasi yang kuat atas yang lemah, dan bukan menghapuskan. Tidak jarang dominasi itu dilakukan dengan cara-cara yang canggih, tidak dengan cara represif, melainkan persuasif sehingga yang terdominasi tidak sadar berada dalam posisi terdominasi dan bahkan tereksplotasi. Mereka yang terdominasi bukan tidak sadar melainkan mengalami false-consciousness —

(3)

"seolah-olah." Dalam politik sering dijumpai istilah government but not governing —seolah-olah ada pemerintah padahal tidak memerintah, atau dalam pendidikan memunculkan istilah "sekolah tetapi tidak sekolah," dan dalam agama "shalat tetapi sesungguhnya tidak shalat." Barangkali inilah yang dimaksudkan Alqur'an "fawailullil musholliin alladziinahum 'an shalaatihim saahuun." Dalam praktek sering agama, bukan untuk pencerahan spiritual dan pembebasan manusia, melainkan untuk kepentingan-kepentingan dominasi.

Tidak puas dengan perspektif liberal seperti itu maka muncul perspektif anti-liberal, yang antara lain melahirkan pemikiran-pemikiran radikal. Eksponen perespektif radikal ini cenderung memfokuskan kepada pentingnya pembentukan identitas diri. Oleh karena itu simbol-simbol formal dan eksternal yang mudah dipakai untuk mengkomuni-kasikan identitas diri kepada orang lain (otherness) menjadi sangat penting.

Autentisitas sangat dipentingkan, dan sumber auntentik ajaran ada pada kitab suci. Praktek keagamaan hanya autentik jika sesuai dengan pesan yang ada dalam teks ajaran dalam kitab suci. Pemahaman teks dengan demikian harus diberi jarak yang cukup dari konteks sejarah, karena konteks sejarah dapat mempengaruhi autentisitas pemahaman teks ajaran. Oleh karena itulah maka perspektif ini juga sering dikenal sebagai penganut pemikiran tekstual atau skripturalistik.

Berbeda dengan perspektif liberal, dalam pergerakannya penganut perspektif tekstual ini cenderung sensitif terhadap keunikan atau partikularitas dalam sejarah. Partikularitas sejarah harus ditundukkan kepada pesan teks ajaran atau kitab suci. Sensitifitas itulah yang kemudian lebih cenderung untuk memilih cara-cara pemecahan masalah hubungan sejarah dengan teks kitab suci secara "radikal." Dengan demikian radikal di sini memiliki dua konteks pemahaman, pertama, radikal dalam arti menjaga kemurnian teks dari campuran praktek partikularitas sejarah, dan kedua, radikal dalam arti cara-cara menghadapi persepktif atau eksponen pemikiran lain (otherness).

(4)

perspektif ini mudah terpisah dari konteks sejarah di mana pemahaman keagamaan itu dipahami dan hendak dilaksanakan. Sehingga, pemahaman dan pelaksanaan ajaran agama berpeluang besar untuk tercerabut dari akar sejarah atau sering disebut orang sebagai a-hystoric. Agama yang a-hystoric Akhirnya karena tercerabut dari akar sejarah, maka pemahaman keagamaan seperti ini tidak memiliki kepekaan sejarah, sehingga problema masyarakat sebagai produk sejarah menjadi tidak terantisipasi dengan baik. Pemahaman keagamaan yang diperoleh kemudian tidak mampu digunakan untuk menjawab problema sejarah masyarakat dalam berbagai bloc sejarah dengan berbagai karakteristik

tuntutannya masing-masing.

Tidak puas dengan kedua pemikiran tersebut di atas, maka memunculkan eksponen yang cenderung memilih perspektif konstruksionis. Eksponen perspektif ini mencoba memahami teks kitab suci maupun konteks sejarah secara interaktif. Teks kitab suci itu sendiri adalah sesuatu yang bersifat eksternal (di luar diri manusia) dan bersifat determinatif (mempengaruhi tindakan manusia), yang mau tidak mau menjadi referensi individu dalam mengkonstruk dunianya. Pesan-pesan teks yang ada dalam kitab suci itu mempengaruhi cara seseorang beragama, memahami serta mengkonstruk dunianya. Namun teks kitab suci itu tetap saja tidak bisa di"reifikasi" atau lepas dari cara individu memahaminya. Cara individu memahami dipengaruhi oleh faktor sejarah, politik, tingkat pendidikan, ekonomi, pengalaman, serta dorongan-dorongan subyektif lainnya.

(5)

"mendeprivatisasi" pesan-pesan ajaran agama ke ruang publik, kendati demikian strategi yang dikenakannya melalui pendekatan-pendekatan dakwah yang sejuk.

Sumber:

Referensi

Dokumen terkait

Diberikan untuk meningkatkan kepatuhan pasien terhadap dokter, pemberian obat dengan dosis yang tepat dapat menimbukan kadar terapi yang optimal bagi pasien sehingga dokter

Kepres 70 Tahun 2012 para penyedia barang dan jasa harap menyiapkan berkas asli dokumen. kualifikasi dan membawa ke

Hasil Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Eva 2008 “ Pengaruh Volume penjualan terhadap peningkatan laba bersih pada PT INDO

Anestesi lokal secara umum diindikasikan pada pencabutan dan preparasi kavitas gigi.Beberapa tipe anestesi lokal antara lain anestesi topical digunakan untuk mengurangi

Berdasarkan Berita Acara Hasil Pelelangan No: 06a/PAN/PSTW-BD/08/2012 tanggal 31 Agustus 2012 bahwa pemilihan Penyedia Barang dan Jasa Pekerjaan Rehabilitasi Gudang

Berikut ini adalah penjelasan masing-masing atribut yang terdapat pada tabel hasil pergabungan antara nota dan data stok barang yang telah disatukan dalam

Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis menjelaskan bahwa sistem pengendalian internal penerimaan kas pada Konveksi Pras 119 dengan tujuan untuk

Demikian pengumuman / pemberitahuan ini disampaikan untuk diketahui, dengan ketentuan apabila terdapat kekeliruan akan diperbaiki