IMPLEMENTASI KEBIJAKAN FATWA DSN-MUI NO.
43/DSN-MUI/VIII/2004 TENTANG TA’WIDH BAGI
NASABAH WANPRESTASI
(Studi Kasus PT. Bank BNI Syariah Surabaya)
SKRIPSI
Oleh:
ABDULLAH FAQIHUDDIN NIM: C04212045
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
PRODI EKONOMI SYARIAH
SURABAYA
▸ Baca selengkapnya: cek kode wilayah bank bni
(2)(3)(4)(5)(6)
ABSTRAK
Skripsi yang berjudul Implementasi Kebijakan Fatwa DSN MUI No.43/DSN-MUI/VIII/2004 Tentang Ta’widh Bagi Nasabah Wanprestasi adalah penelitian lapangan. Penelitian ini ingin menjawab pelaksanaan ta’widh pada fatwa DSN MUI No.43/DSN-MUI/VIII/2004 di Bank BNI Syariah Surabaya dan implementasi ta’widh bagi nasabah wanprestasi pada Bank BNI Syariah Surabaya.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, subjek penelitian ini adalah pimpinan dan karyawan Bank BNI Syariah Surabaya Jl. Bukit Darmo Boulevard No. 8A – 8B Surabaya. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik analisis data deskriptif kualitatif, yaitu suatu analisis yang bersifat mendeskripsikan makna data atau fenomena yang dapat ditangkap oleh peneliti, dengan menunjukkan bukti-buktinya. Baik data hasil wawancara, observasi maupun dokumentasi, selama mengadakan penelitian di Bank BNI Syariah Surabaya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwapelaksanaanta’widh pada fatwa DSN MUI No.43/DSN-MUI/VIII/2004 di Bank BNI Syariah Surabaya sudah sesuai dengan ketentuan fatwa DSN MUI No.43/DSN-MUI/VIII/2004. Sedangkan implementasi ta’widh bagi nasabah wanprestasi pada Bank BNI Syariah Surabaya dalam kasus yang ada yaitu Bank BNI Syariah dalam menyelesaikan pembiayaan BNI Griya iB Hasanah bermasalah dengan cara kebijakan menerapkan rescheduling. Karena dengan penerapan kebijakan ini pihak nasabah dapat menyelesaikan pembiayaan BNI iB Griya bermasalah dengan baik, tanpa ada pihak yang merasa dirugikan. Di dalam kasus ini, sebenarnya ganti rugi
(ta’widh) yang seharusnya dikenakan sudah dilakukan dan dihitung kerugiannya,
tetapi melihat dari niat nasabah yang masih mempunyai itikad baik dan juga nasabah dalam keadaanforce majeurmaka atas kebijakan dari Bank BNI Syariah, ganti rugi tersebut ditiadakan.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii
PENGESAHAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI... x
DAFTAR TRANSLITERASI... xvi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 8
C. Rumusan Masalah... 10
D. Kajian Pustaka ... 10
E. Tujuan Penelitian ... 12
F. Keguanaan Hasil Penelitian ... 13
G. Definisi Operasional ... 13
H. Metode Penelitian ... 19
BAB II TINJAUAN UMUMTA’WIDH, FATWA DSN MUI
No.43/DSN-MUI/VIII/2004 DAN WANPRESTASI... 26
A.Ta’widh... 26
1. DefinisiTa’widh... 26
2. Ganti Rugi Menurut KUH Perdata ... 27
3. Dasar HukumTa’widh... 29
4. Pendapat Para Ulama MengenaiTa’widh... 31
B. Fatwa DSN MUI No.43/DSN-MUI/VIII/2004... 34
1. Profil DSN-MUI ... 34
2. Fatwa DSN MUI No.43/DSN-MUI/VIII/2004 Tentang Ta’widh... 42
C. Wanprestasi... 44
1. Wujud Wanprestasi... 46
2. Sebab dan Akibat Wanprestasi ... 47
3. Sanksi dan Ganti Rugi Wanprestasi ... 49
BAB III PEMBERLAKUAN TA’WIDH PADA MEKANISME RESCHEDULINGBAGI NASABAH WANPRESTASI 51 A. Gambaran Umum Bank BNI Syariah Surabaya ... 51
1. Sejarah Bank BNI Syariah ... 51
2. Produk dan Layanan Jasa Bank BNI Syariah Surabaya 56 B. MekanismeReschedulingBagi Nasabah Wanprestasi di Bank BNI Syariah Surabaya ... 62
2. Kebijakan Bank BNI Syariah Surabaya Sebelum Melakukan
Rescheduling... 64
3. Prosedur PelaksanaanReschedulingPada Bank BNI Syariah Surabaya... 66
C. PelaksanaanTa’widhBagi Nasabah Rescheduling Pada Bank BNI Syariah Surabaya ... 69
1. Penggunaan DanaTa’widhBagi Pada Bank BNI Syariah Surabaya... 69
2. PenetapanTa’widhPada Bank BNI Syariah Surabaya 70 D. Studi Kasus ... 72
BAB IV PEMBAHASAN... 81
A. PelaksanaanTa’widhpada Fatwa DSN MUI No. 43/DSN-MUI/VII/2004 di Bank BNI Syariah Surabaya... 81
B. Implementasi Ta’widhBagi Nasabah Wanprestasi Pada Bank BNI Syariah Surabaya... 85
BAB V PENUTUP... 93
A. Kesimpulan ... 93
B. Saran ... 94 DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kurun waktu dua dasawarsa terakhir, perkembangan perbankan syariah di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup pesat. Terbukti dengan banyaknya bank-bank konvensional yang mulai memiliki anak cabang berbasis syariah. Perbankan syariah terlihat relatif singkat telah mampu memperlihatkan kemajuan yang cukup signifikan yang berhasil mempertahankan eksistensinya dalam perekonomian Indonesia. Perkembangan perbankan syariah di Indonesia memiliki peluang pasar yang cukup luas sesuai dengan mayoritas penduduk bangsa Indonesia yang beragama Islam.
Islam membawa suatu sistem ekonomi syariah yang diperuntukkan untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan serta jauh dari tindakan-tindakan yang merugikan orang lain, baik itu untuk muslim sendiri atau pun non-muslim. Kesempurnaan ajaran Islam yang membawa rahmatan lil’alamin kepada seluruh makhluk di muka bumi ini.
2
banking di Indonesia, yaitu perbankan konvensional dengan piranti bunga dan perbankan syariah dengan piranti akad-akad yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.1 Ini menunjukkan bahwa legalitas dan dukungan pemerintah terhadap bank syariah menjadi kekuatan tersendiri akan pertumbuhanya dari masa ke masa nantinya.
Seiring dengan perkembangan sejarah kehidupan manusia, tentu akan dibarengi juga dengan perubahan aktivitas manusia yang selalu berubah-ubah. Dalam sistem ekonomi memiliki tujuan-tujuan yang hendak direalisasikan. Sistem Ekonomi Islam lebih komprehensif dan utuh didasarkan pada pandangan-pandangan yang benar terhadap hakekat manusia. Sistem-sistem yang ada memiliki filosofi yang berbeda-beda tentang manusia sekalipun berasal dari yang sama yaitumaterialisme2.
Hal tersebut bisa terjadi karena perubahan struktur dan kondisi alam atau perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan aktivitas manusia tersebut tidak terlepas dari ancaman risiko. Segala macam risiko yang berasal dari musibah dan bencana alam merupakanqadhadanqadhardari Allah Swt. Allah Swt. berfirman dalam surat Luqman (31) Ayat 34 :
1Ahmad Kamil dan M. Fuazan, “Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan EkonomiSyariah”,(Jakarta: Kencana, 2007) cet. 1, 1
2
3
Artinya: “… dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakan esok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya A llah maha mengetahui lagi maha mengenal.” (QS.Luqman[31] : 34)3
Dari ayat di atas kita dapat mengambil hikmah bahwa dalam
menghadapi kehidupan yang penuh dengan ketidakpastian, manusia tidak
dapat mengelak dari kehendak Allah Swt., tetapi manusia wajib untuk
berikhtiar untuk dapat mengatasinya.
Pada dasarnya bank syariah dan bank konvesional memiliki fungsi yang
sama yaitu, menghimpun dana (funding), menyalurkan dana (lending), dan
melayani produk jasa(service). Yang membedakannya ialah pada bank syariah
tidak mengenal yang namanya riba. Tapi yang lebih sangat membedakan
antara bank syariah dan bank konvensional adalah terletak pada tiga hal,
yaitu; akad, bunga dan bagi hasil dan juga dewan pengawas.
Dalam menjalankan pembiayaan bank sebagai media intermediasi yaitu
menghimpun dana dari nasabah yang kelebihan dana dan menyalurkannya
kepada nasabah yang kekurangan dana. Yang menjadi perhatian ialah ketika
bank menyalurkan dana atau melakukan pembiayaan kepada nasabah
pembiayaan. Dan terjadilah gagal bayar atau wanprestasi.
Gagal bayar atau wanprestasi merupakan risiko yang dialami bank
syariah dalam melakukan pembiayaan yang dimana risiko tersebut harus
diminimalisir demi mendapatkan keuntungan yang maksimal. Akibat dari
3
4
wanprestasi itu biasanya dapat dikenakan sanksi ganti, pembatalan kontrak,
peralihan resiko, maupun membayar biaya perkara. Sebagai contoh seorang
debitur dituduh melakukan perbuatan melawan hukum, lalai atau secara
sengaja tidak melaksankan sesuai bunyi yang telah disepakati dalam kontrak,
jika terbukti maka debitur harus mengganti kerugian (termasuk ganti rugi +
bunga+ biaya perkaranya).4
Risiko dalam konteks perbankan merupakan suatu kejadian potensial,
baik yang dapat diperkirakan (anticipated) maupun yang tidak dapat
diperkirakan (unanticipated) yang berdampak negative terhadap pendapatan
dan permodalan bank. Risiko-risiko tersebut tidak dapat dihindarkan, tetapi
dapat dikelola dan dikendalikan.5
Dalam bisnis pasti ada yang diuntungkan dan dirugikan, tapi dalam
Islam sendiri dalam prinsipnya berbagi keuntungan dan kerugian baik antara
pelaku bisnis (mudhorib) atau pemilik uang (shohibul mal), sehingga tidak ada
yang dizalimi satu sama lain. Bank syariah sebagai lembagaintermediary yang
seiring dengan situasi lingkungan eksternal dan internal, mengalami
perkembangan pesat yang akan selalu berhadapan dengan berbagai jenis resiko
dengan tingkat kompleksitas yang beragam dan melekat pada kegiatan
usahanya. Risiko dalam konteks perbankan merupakan suatu kejadian yang
potensial, baik yang diperkirakan maupun yang tidak dapat diperkirakan yang
4
Saefuddin Arif dan azharuddin lathif, Kontrak Bisnis syariah, (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2011),.9
5
5
berdampak negatif terhadap pendapatan dan permodalan bank. Risiko-risiko
tersebut tidak dapat dihindari, tetapi dapat dikelola dan dikendalikan5.
Dalam Islam kerugian yang harus dipertanggung jawabkan adalah
kerugian riil, hal ini bisa disebabkan oleh adanya wanprestasi atau kelalaian
nasabah dengan menunda-nunda pembayaran.6 Menurut Imam Asy-Syatibi,
sesungguhnya syariah itu bertujuan mewujudkan kemaslahatan di dunia dan di
akhirat. Kemaslahatan, dalam hal ini, diartikan sebagai sesuatu yang
menyangkut rezeki manusia, pemenuhan penghidupan manusia dan perolehan
apa-apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan intelektualnya,
dalam pengertian yang mutlak. Beliau melanjutkan, kemaslahatan ini dapat
terealisasi apabila lima unsur pokok yang harus diwujudkan dan dipelihara,
yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta,7 ini dikenal dengan nama
Maqoosidhu as Syariah.
Hal ini bisa terkait dengan proses memenuhi kebutuhan hidup dalam
berekonomi dengan cara proses transaksi atau jual beli dan akad – akad yang
telah diperjanjikan pun haruslah dipenuhi, agar tidak ada yang dirugikan oleh
masing-masing pihak. Islam menggambarkan dalam al-Quran surat al-Maidah
(5), ayat 1, :
6
Ahmad Kamil dan M. Fauzan,Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan EkonomiSyariah,
6
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu”.7
Dalam risiko yang dihadapi seperti halnya adanya wanprestasi atau
kelalaian nasabah dengan menunda-nunda pembayaran. Hal ini tentunya
sangat kontradiktif dengan syariah Islam yang sangat melindungi kepentingan
semua pihak yang bertransaksi, baik lembaga keuangan syariah maupun
nasabah, sehingga tidak boleh ada satu pun pihak yang dirugikan hak-haknya.
Salah satu bentuk perlindungan yang ada dalam Syariah Islam adalah adanya
mekanisme ta’widh (pemberian ganti rugi) kepada pihak yang hak-haknya
dilanggar8.
Pengenaan ta’widh adalah berbeda dengan riba jahiliyah. Riba Jahiliyah
tidak membedakan antara debitur yang mampu dan yang tidak mampu.
Sedangkan Islam membagi antara keduanya. Jika telah jelas bahwa debitur
tersebut tidak mampu, maka ta’widhtersebut tidak bisa dikenakan.
Ta’widh adalah berbeda dengan Riba Jahiliyah. Ini karena ta’widhtidak
disyaratkan pada awal akad, sedangkan riba jahiliyah telah ditempatkan
syaratnya pada awal akad. Ta’widh hanya dikenakan ke atas kerugian nyata
yang dialami oleh kreditur selama periode keterlambatan pembayaran
tersebut.9
7
Departemen Agama Republik Indonesia,A l-qur’andan Terjemahnya
8
Ahmad Kamil dan M. Fauzan,Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan EkonomiSyariah,
828
9
http://ketikkanfahmi.blogspot.co.id/2015/10/fikih-muamalah-kontemporer-tawidh-dan.html
7
Kata al-Ta’widh berasal dari kata ‘Iwadh (ض و ﻋ), yang artinya ganti
atau konpensasi. Sedangkan al-ta’widh sendiri secara bahasa berarti
mengganti (rugi) atau membayar konpensasi.10 Adapun menurut istilah adalah
menutup kerugian yang terjadi akibat pelanggaran atau kekeliruan.11
Secara umum pengertian ta’widh adalah menutup kerugian yang terjadi
akibat pelanggaran atau kekeliruan dengan ketentuan kerugian rill yang dapat
diperhitungkan dengan jelas dengan upaya untuk memperoleh pembayaran dan
bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi karena adanya peluang yang
hilang.12
Perlu dipahami bersama, ta’widh berbeda dengan ta’zir, walaupun
proses yang terjadi memiliki kesamaan dikarenakan kelalaian dengan
menunda-nunda pembayaran.
Hal ini dilakukan agar memberikan manfaat yang lebih luas dan
pemahaman yang baik, agar tidak terjadi kesalahpahaman antara pihak bank
syariah maupun nasabah. Bagi bank syariah membantu pengelolaan dan
kinerja perusahaan, jika hal ini tidak dilakukan akan berdampak kepada
penurunan kolektibilitas terhadap kinerja bank syariah sendiri, karena
kewajiban yang belum dilunasi. Ini juga sebagai kompetitif terhadap bank
konvensional yang menerapkan bunga dengan mengambil konsep kehilangan
10
Atabik dan Ahmad,Kamus Kontemporer A rab-Indonesia,1332
11
Wahbah al-Zuhaili,Nadzaariyah al- Dhamaan,( Damsyiq: Dar al-Fikr, 1998), 87
12
8
kesempatantime value of money. Ta’widhtentu berbeda yang diterapkan oleh
bank syariah sebagai ganti rugi terhadap segala biaya-biaya riil yang telah
dikeluarkan agar tidak kehilangan ongkos kerja dan diakui sebagai pendapatan
bank syariah.
Dengan konsep ta’widh ini memberikan pembelajaran kepada nasabah
pembiayaan yang nakal dan membantu bank syariah agar mendorong nasabah
untuk melunasi kewajibannya tepat waktu. Bagi nasabah pun akan berpikir
ulang untuk melunasi secepatnya dan sesuai dengan perjanjian.
Dari latar belakang masalah di atas, penulis ingin mengetahui lebih jauh
mengenai proses ta’widh sendiri dan aplikasinya dalam bank syariah dalam
akad-akad yang ada, Oleh karena itu dalam skripsi ini penulis memilih judul :
“IMPLEMENTASI KEBIJAKAN FATWA DSN-MUI NO.
43/DSN-MUI/VIII/2004 TENTANGTA’WIDH BAGI NASABAH WANPRESTASI” (STUDI KASUS PT. BANK BNI SYARIAH SURABAYA)
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Berdasarkan uraian singkat di atas, penulis dapat mengidentifikasi
beberapa masalah terkait nasabah wanprestasi dengan fatwa MUI No.
9
1. Identifikasi Masalah
a. Ganti rugi (ta’widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang dengan
sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari
ketentuan akad dan menimbulkan kerugian pada pihak lain.
b. Masih banyaknya nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran
dan atau tidak mempunyai kemauan dan itikad baik untuk membayar
hutangnya boleh dikenakan sanksi.
c. Bagaimana cara bank syariah khususnya BNI Syariah dalam
menentukan nasabah yang layak dikenakanta’widh?
d. Sudah sesuaikah penerapan ta’widh pada BNI Syariah dengan fatwa
DSN-MUI?
e. Sudah jelaskah perhitungan riil kerugian yang didapat oleh biaya
ta’widh?
f. Apakah BNI Syariah melakukan analisis pada nasabah sebelum
mengenakanta’widh?
g. Apakah perhitungan dana ta’widh sudah sesuai dengan jumlah kerugian
riil?
2. Batasan Masalah
Untuk mempermudah dalam penulisan, maka penulis memberikan
batasan dalam pembahasan ini hanya berfokus padata’widh atau ganti rugi
10
C. Rumusan Masalah
Agar mempermudah dalam penyusunan, maka perlu kiranya dirumuskan
beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana pelaksanaan ta’widh pada fatwa DSN MUI No.
43/DSN-MUI/VIII/2004 di bank BNI Syariah Surabaya?
2. Bagaimana implementasi ta’widh bagi nasabah wanprestasi di Bank
BNI Syariah Surabaya?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkasan tentang kajian atau penelitian
yang sudah pernah dilakukan terkait masalah yang diteliti, sehingga terlihat
jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan pengulangan atau
duplikasi dari kajian atau penelitian yang telah ada.13
Penelitian ini berjudul Implementasi kebijakan fatwa DSN-MUI No.
43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang ta’widh bagi nasabah wanprestsai. Penelitian
ini tentunya tidak lepas dari penelitian terdahulu yang dijadikan pandangan
dan referensi serta acuan dalam penyusunan skripsi ini.
Penelitian pertama yang diteliti oleh Durroh Abdur Rokhis dengan judul
“Pelaksanaan Recheduling Terhadap Nasabah Wanprestasi Pada Akad
Murabahah (Studi Di BRI Cab. Yogyakarta)”.14 Objek penelitiannya ini
13
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam UIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi(Surabaya: Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam UIN Sunan Ampel Surabaya, 2015), 8.
14
11
adalah penyelesaian resiko pada pembiayaan akad murabahah terhadap
nasabah wanprestasi yang berdasarkan data praktik resceduling dan
memberikan penelitian apakah sudah sesuai dengan prinsip-prinsip muamalah.
Perbedaannya dengan penelitian ini adalah denda ta’widh yang dikenakan
pada nasabah yang bermasalah atau wanprestsai.
Penelitian kedua yang dilakukan oleh Muis Hidayat dengan judul
“Analisis penerapan fatwa DSN-MUI NO. 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang
ta’widh pada pembiayaan murabahah di PT Bank Syariah bukopin”,15 objek
penelitian ini adalah berfokus pada pemberian sanksi ta’zirdan ta’widh pada
nasabah wanprestasi. Dan bagaimana bank syariah menentukan faktor yang
menjadi pertimbangan untuk pemberian pembiayaan. Perbedaan dengan
penelitian ini adalah berfokus pada masalah denda ganti rugi ta’widh yang
dikenakan pada nasabah wanprestasi.
Penelitian ketiga yang dilakukan oleh Isni Eka Widiati dengan judul
“Pengaruh Tingkat Resiko Pembiayaan Murabahah Terhadap Tingkat
Profitabilitas Bank Syariah (Studi Kasus Pada PT. Bank Muamalat Indonesia,
Tbk Cabang Tasikmalaya)”.16 Objek penelitiannya ini adalah menghitung
pengaruh tingkat resiko pembiayaanmurabahahterhadap tingkat profitabilitas
di Bank Muamalat Tasikmalaya. Persamaan dengan penelitian ini adalah
dengan adanya tingkat risiko pada pembiayaan murabahah maka akan ada
15
Muis Hidayat, A nalisis penerapan fatwa DSN-MUI NO. 43/DSN-MUI/V III/2004 tentang ta’widh pada pembiayaan murabahah di PT Bank Syariah bukopin, Skripsi Jurusan Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakaarta, 2010.
16
12
potensi risiko juga dalam pengembalianya . Perbedaannya dengan penelitian
ini adalah dengan adanya risiko dalam pengembalian, maka akan timbul juga
denda-denda yang ditimbulkan.
Penelitian keempat dilakukan oleh Arianto Saputra dengan judul
“Analisis pengelolaan dana ta’zirdan ta’widh bagi nasabah wanprestasi pada
PT BRI Syariah”.17 Objek penelitian ini meneliti tentang pengelolaan dana
dana yang didapat dari ta’zir dan ta’widh. Persamaan dengan penelitian ini
adalah sama-sama meneliti tentang dana denda yaitu ta’widh. Perbedaaanya
adalah penulis meneliti tentang konsep dari kebijakan dari fatwa DSN-MUI
No. 43/DSN-MUI/VIII/200
E. Tujuan Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini ada beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh
penulis.
1. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan ta’widh pada fatwa
DSN-MUI No. 43/DSN-DSN-MUI/VIII/2004 di Bank BNI Syariah Surabaya?
2. Untuk mengetahui bagaimana implementasi ta’widh bagi nasabah
wanprestasi di Bank BNI Syariah Surabaya?
17
13
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat diantaranya:
1. Aspek teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas dan
memberi sumbangsih ilmu pengetahuan terhadap lapisan masyarakat
terkait adanya denda atau ganti rugi bagi nasabah jika menunda-nunda
pembayaran angsuran dan untuk pendisiplinan bagi mereka yang lalai
maupun yang sengaja padahal mampu tapi enggan untuk membayarnya.
2. Aspek praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
bahan pertimbangan bagi Bank Bni Syariah Surabaya terhadap
meminimalisir risiko yang bisa diakibatkan dari pembiayaan yang ada.
G. Definisi Operasional
Penelitian ini berjudul Impementasi kebijakan fatwa DSN-MUI No.
43/DSN-MUI/VIII/2004 tentangta’widhbagi nasabah wanprestasi. Agar lebih
memudahkan dalam memahami skripsi ini, maka peneliti akan mendefinisikan
beberapa istilah, antara lain :
1. Implementasi
Implementasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai
pelaksanaan atau penerapan. Artinya yang dilaksanakan dan diterapkan
adalah kurikulum yang telah dirancang atau didesain untuk kemudian
dijalankan sepenuhnya.18
18
14
Pendek kata, digoyang gempa kecil saja sudah membuat arti
implementasi adalah bentuk aksi nyata dalam menjalankan rencana yang
telah dirancang dengan matang sebelumnya. Contohnya: sebuah bangunan
yang merupakan hasil implmentasi dari desain yang sudah dibuat
sebelumnya dengan perhitungan yang matang. Si desainer sudah
memperhitunkan berbagai hal seperti kekuatan bangunan, jumlah
material-material yang diperlukan, kemungkinan banjir dan gempa, dan masih
banyak lagi. Persamaan kata implementasi yaitu aplikasi, pelaksanaan,
pengalaman, pengejawantahan, penjabaran, praktik dan rekayasa.
Implementasi hendaknya dilakukan sesuai dengan rancangan yang
telah dibuat, jika tidak maka hasilnya tidak akan sesuai dengan yang
diharapkan. Seperti dalam pengerjaan bangunan, jika tukang-tukang yang
bekerja tidak mengikuti arahan dari desainer bangunan seperti tinggi
banguna, tentu saja bangunan tersebut tidak sesuai harapan. Bisa saja
karena ketebalan dinding maka bangunan dinding retak. Jika sudah begini
tentu pelanggan akan kecewa dan tidak akan memakai jasa kita lagi.19
2. Fatwa DSN-MUI No. 43/DSN-MUI/VIII/2004
Fatwa DSN 43/DSN-MUI/VIII/2004: Ganti Rugi(Ta’widh)
Pertama: Ketentuan Umum
a. Ganti rugi (ta’widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang
dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang
19
15
menyimpang dari ketentuan akad dan menimbulkan kerugian pada
pihak lain.
b. Kerugian yang dapat dikenakan ta’widh sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1 adalah kerugian riil yang dapat diperhitungkan
dengan jelas.
c. Kerugian riil sebagaimana dimaksud ayat 2 adalah biaya-biaya riil
yg dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yg seharusnya
dibayarkan.
d. Besar ganti rugi (ta’widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian riil
(real loss) yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut
dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss)
karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss atau
al-furshah al-dhaa-i’ah).
e. Ganti rugi (ta’widh) hanya boleh dikenakan pada transaksi (akad)
yang menimbulkan utang piutang (dain), seperti salam, istishna’
serta murabahah danijarah.
f. Dalam akad Mudharabahdan Musyarakah, ganti rugi hanya boleh
dikenakan oleh shaahibul maal atau salah satu pihak dalam
musyarakah apabila bagian keuntungannya sudah jelas tetapi tidak
dibayarkan.
Kedua: Ketentuan Khusus
a. Ganti rugi yang diterima dalam transaksi di LKS dapat diakui
16
b. Jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai dengan kerugian riil
dan tata cara pembayarannya tergantung kesepakatan para pihak.
c. Besarnya ganti rugi ini tidak boleh dicantumkan dalam akad.
d. Pihak yang cedera janji bertanggung jawab atas biaya perkara dan
biaya lainnya yang timbul akibat proses penyelesaian perkara.
Ketiga: Penyelesaian Perselisihan
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau terjadi
perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiaannya
dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah.
Keempat: Ketentuan Penutup
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan, jika
di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan
disempurnakan sebagaimana mestinya.20
3. Ta’widh
a. DefinisiTa’widh
Kataal-ta’widh berasal dari kata‘iwadh(ض ﻮ ﻋ), yang berarti ganti
atau konpensasi. Sedangkan ta’widh sendiri secara bahasa berarti
maengganti (rugi) atau membayar konpensasi. Adapun menurut istilah
adalah menutup kerugian yang terjadi akibat pelanggaran atau
kekeliruan.
20
17
Dalam kaidah hukum Islam, “bahaya (beban berat) dihilangkan,”
(adh-dharaaru yuzaal), artinya bahaya (beban berat) termasuk di
dalamnya kerugian harus dihilangkan dengan menutup melalui
pemberian ganti rugi. Kerugian disini adalah segala gnagguan yang
menimpa seseorang, baik menyangkut dirinya maupun menyangkut
harta kekayaannya, yang terwujud dalam bentuk berkurangnya
kuantitas, kualitas ataupun manfaatnya.
b. Dasar hukumTa’widh (Istidlal)
a) Q.S Al-Maidah : 1
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad
itu”21
b) Hadis nabi riwayat ibnu majah dari ‘Ubadah bin Shamit, riwayat
Ahmad dari Ibnu ‘Abbas, dan Malik dari Yahya22:
ر اﺮ ﺿ ﻻ و ر ﺮ ﺿ ﻻ
Artinya: “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak
boleh pula membahayakan orang lain.”
21
Departemen Agama Republik Indonesia,A l-qur’andan Terjemahnya, (Jakarta: Karya Insan Indonesia,2004),
22
18
4. Wanprestasi
Prestasi adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap
perikatan. Prestasi adalah objek perikatan, sehingga dalam hukum perdata
kewajiban memenuhi prestasi selalu disertai jaminan harta kekayaan
debitor. Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata dinyatakan bahwa harta
kekayaan debitur, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik
yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan pemenuhan
utangnya terhadap kreditur. Namun, jaminan umum tersebut dapat dibatasi
dengan jaminan khusus berupa benda tertentu yang ditetapkan dalam
perjanjian antar pihak.23
Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang berarti prestasi
buruk.24 Wanprestasi artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah
disepakati dalam perikatan.25 Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah
suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak
dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian26
dan bukan dalam keadaan memaksa adapun yang menyatakan bahwa
wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban
sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur
dengan debitur.27
23
Abdulkadir Muhammad,Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014, 239
24
Subekti,Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1991, 45.
25
Ibid, 241
26
Nindyo Pramono, Hukum Komersil, 2
27
19
H. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah suatu cara untuk mendapatkan data dalam
suatu penelitian. Dengan kata lain, dapat dikatakan suatu cara yang digunakan
untuk memecahkan suatu masalah. Dalam penulisan skripsi ini guna
memperoleh data dan informasi yang obyektif dibutuhkan data-data dan
informasi yang faktual dan relevan.
Sesuai dengan rujukan di atas, maka pendekatan penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian dengan pendekatan
kualitatif. Karena penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif maka
hasil data akan difokuskan berupa pertanyaan secara deskriptif dan tidak
mengkaji suatu hipotesa serta tidak mengkorelasi variabel.
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Bank BNI Syariah Surabaya.
2. Sumber Data
Sumber data yang dimaksud dalam penelitian ini adalah subyek dari
mana data dapat diperoleh.28 Untuk mempermudah mengidentifikasi
sumber data, penulis mengklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu:
a. Data Primer
Sumber data primer yakni subjek penelitian yang dijadikan sebagai
sumber informasi penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau
pengambilan data secara langsung29 atau yang dikenal dengan istilah
28
Suharsimi Arikunto, Prosedur Peneletian: Suatu Pendekatan Praktis(Jakarta: Rineka Cipta, 1998), 114.
29
20
interview (wawancara). Dalam hal ini subjek penelitian yang dimaksud
adalah karyawan Bank BNI Syariah Surabaya bagian pembiayaan,
pemasaran dan pimpinan Bank BNI Syariah Surabaya.
b. Data Sekunder
Sumber data sekunder adalah sumber data kedua sesudah data
primer.30Sumber sekunder merupakan data pendukung yang berasal dari
seminar, buku-buku maupun literature. Data ini digunakan untuk
mendukung informasi dari data primer yang diperoleh dari observasi
langsung ke lapangan.
Penelitian ini juga menggunakan data sekunder sebagai hasil dari
studi pustaka. Dalam studi pustaka, penulis dapat membaca
litelatur-literatur yang dapat menunjang penelitian, yaitu litelatur-literatur-litelatur-literatur yang
berhubungan dengan penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulkan data pada penelitian ini, peneliti akan
menggunakan beberapa metode yaitu :
a. Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah catatan peristiwa baik berbentuk
tulisan, gambar, atau karya-karya monumental.31 Menurut Suharsimi
Arikunto bahwa dokumentasi asal katanya adalah dokumen yang artinya
barang-barang tertulis. Oleh karena itu, dalam pelaksanannya peneliti
30
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial; Format-format Kuantitatif dan Kualitatif
(Surabaya: Airlangga University Press, 2001), 129.
31
21
harus meneliti benda-benda tertulis, dokumen-dokumen peraturan,
notulen rapat, catatan harian dan sebagainya”.32
b. Wawancara (Interview)
Menurut Esterberg dalam Sugiyono, wawancara merupakan
pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya
jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalamsuatu topik. Ia juga
mengemukakan beberapa macam wawancara, yaitu wawancara
terstruktur, semi terstruktur, dan tidak terstruktur.33
Sukandar Rumidi mengungkapkan bahwa wawancara adalah
proses tanya jawab lisan, di mana dua orang atau lebih berhadapan
secara fisik, yang satu dapat melihat muka yang lain dan mendengar
dengan telinga sendiri dari suaranya.34
Dalam wawancara ini peneliti mengadakan tanya jawab dengan
beberapa pengelola seperti bagian pembiayaan, marketing dan pimpinan
Bank BNI Syariah Surabaya.
4. Teknik Pengolahan Data
Setelah data berhasil dihimpun dari lapangan atau penulisan, maka
peneliti menggunakan teknik pengolahan data dengan tahapan sebagai
berikut :
32
Suharsimi Arikunto,Prosedur Peneletian: Suatu Pendekatan Praktis … ,131.
33
Sugiyono,Metode Penelitian Pendidikan; Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,dan R&D, 317.
34
Sukandarrumidi, Metodologi Penelitian Petunjuk Praktis untuk Peneliti Pemula (Yogyakarta:
22
a. Editing, yaitu pemeriksaan kembali dari semua data yang
diperoleh terutama dari segi kelengkapannya, kejelasan makna,
keselarasan antara data yang ada dan relevansi dengan
penelitian.35Dalam hal ini penulis akan mengambil data yang akan
dianalisis berdasarkan rumusan masalah saja.
b. Organizing, yaitu menyusun kembali data yang telah didapat
dalam penelitian yang diperlukan dalam kerangka paparan yang
sudah direncanakan dengan rumusan masalah secara sistematis.36
Penulis melakukan pengelompokan data yang dibutuhkan untuk
dianalisis dan menyusun data tersebut dengan sistematis untuk
memudahkan penulis dalam menganalisa data.
c. Coding, yaitu pemberian kode-kode tertentu pada tiap-tiap data
termasuk memberikan kategori untuk jenis data yang sama. Kode
adalah symbol tertentu dalam bentuk huruf atau angka untuk
memberikan identitas data.
d. Penemuan hasil, yaitu dengan menganalisis data yang telah
diperoleh dari penelitian untuk memperoleh kesimpulan mengenai
kebenaran fakta yang ditemukan, yang akhirnya merupakan sebuah
jawaban dari rumusan masalah.37
35
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,dan R&D … ,243. 36
Ibid., 245. 37
23
5. Teknik Analisis Data
Menurut Bogdan dalam Sugiyono, analisis data adalah proses
mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil
wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain, sehinggadapat mudah
dipahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain.38
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik analisis data
deskriptif kualitatif, yaitu suatu analisis yang bersifat mendeskripsikan
makna data atau fenomena yang dapat ditangkap oleh peneliti, dengan
menunjukkan bukti-buktinya.39 Tujuan dari metode ini adalah untuk
membuat deskripsi atau gambaran mengenai objek penelitian secara
sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta
hubungan antar fenomena yang diselidiki,40 serta teknik ini digunakan
untuk mendeskripsikan data-data yang peneliti kumpulkan baik data hasil
wawancara, observasi maupun dokumentasi, selama mengadakan penelitian
diBank BNI Syaria Surabaya.
Data yang dikumpulkan selanjutnya akan dianalisis dengan
menggunakan analisis isi (content analysis) yaitu metode ilmiah untuk
mengkaji dan menarik kesimpulan atas suatu fenomena dengan
memanfaaatkan dan menggunakan dokumen (teks) sebagai bahan
penelitian.41 Dengan analisis, peneliti akan mengungkapkan hal-hal yang
38
Ibid., 334.
39
Muhammad Ali,Strategi Penelitian Pendidikan(Bandung: Angkasa, 1993), 161.
40
Moh. Nizar,Medode Penelitian(Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), 63.
41
24
terdapat pada dokumen yang didapatkan dari Bank BNI Syariah Surabaya
terkait kebikan fatwa DSN MUI No.43/DSN-MUI/VIII/2004
I. Sistematika Pembahasan
Penulisan skripsi ini dibagi menjadi lima bab yang terbagi dalam
beberapa sub bab, adapun sistematikanya adalah sebagai berikut:
Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang memuat uraian tentang:
1). latar belakang masalah, 2). Identifikasi dan batasan masalah, 3). Rumusan
masalah, 4). Kajian pustaka, 5). Tujuan penelitian, 6).Kegunaan hasil
penelitian, 7). Definisi operasional, 8). Metode penelitian, dan 9). Sistematika
pembahasan.
Bab kedua merupakan bab kerangka teoritis atau kerangka konsepsional
yang akan mengulas tentang landasan teori konsep ta’widh pada fatwa DSN
MUI No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 dan juga mengulas tentang implementasi
ta’widh pada fatwa DSN MUI No. 43/DSN-MUI/VIII/. Hal ini dimaksudkan
untuk memberikan pengetahuan tentang adanya denda atau ganti rugi bagi
nasabah jika menunda-nunda pembayaran angsuran dan untuk pendisiplinan
bagi mereka yang lalai maupun yang sengaja padahal mampu tapi enggan
untuk membayarnya.
Bab ketiga merupakan data penelitian yang memuat tentang deskripsi
data yang berkenaan dengan variabel yang diteliti secara objektif. Meliputi
proses ta’widh dan juga tentang fatwa DSN MUI No.
25
mengetahui tentang gambaran umum objek penelitian tersebut dapat
membantu dalam proses penelitian khususnya proses analisis dapat terbantu.
Bab empat merupakan analisis data yang memuat tentang implementasi
kebijakan fatwa DSN MUI No.43/DSN-MUI/VIII/2004 bagi nasabah
wanprestasi.
Bab kelima, yaitu bab terakhir dari keseluruhan rangkaian pembahasan
BAB II
TINJAUAN UMUMTA’WIDH, FATWA DSN MUI
No.43/DSN-MUI/VIII/2004 DAN WANPRESTASI
A. TA’WIDH
1. DefinisiTa’widh
Kata al-Ta’widh berasal dari kata ‘Iwadh (ض ﻮ ﻋ), yang artinya
ganti atau konpensasi. Sedangkan al-ta’wiidh sendiri secara bahasa
berarti mengganti (rugi) atau membayar konpensasi.1 Adapun menurut
istilah adalah menutup kerugian yang terjadi akibat pelanggaran atau
kekeliruan.2
Adanya dhaman (tanggung jawab) untuk menggantikan atas
sesuatu yang merugikan dasarnya adalah kaidah hukum Islam, “Bahaya
(beban berat) dihilangkan,” (adh-dhararu yuzal), artinya bahaya (beban
berat) termasuk didalamnya kerugian harus dihilangkan dengan menutup
melalui pemberian ganti rugi. Kerugian disini adalah segala gangguan
yang menimpa seseorang, baik menyangkut dirinya maupun menyangkut
harta kekayaannya, yang terwujud dalam bentuk terjadinya pengurangan
kuantitas, kualitas ataupun manfaat.3
Dalam kaitan dengan akad, kerugian yang terjadi lebih banyak
menyangkut harta kekayaan yang memang menjadi objek dari suatu akad
1
Atabik dan Ahmad,Kamus Kontemporer A rab-Indonesia,1332
2
Wahbah al-Zuhaili,Nadzaariyah al- Dhamaan,( Damsyiq: Dar al-Fikr, 1998), 87
3
27
atau menyangkut fisik seseorang. Sedangkan yang menyangkut moril
kemungkinan sedikit sekali, yaitu kemungkinan terjadinya kerugian
moril. Misalnya seseorang dokter dengan membukakan rahasia pasiennya
yang diminta untuk disembunyikan sehingga menimbulkan rasa malu
pada pasien tersebut.4 Dalam kasus ini tentu saja yang berhubungan
dengan harta kekayaan atau sesuatu yang telah dikeluarkan.
2. Ganti Rugi menurut KUH Perdata
Ada dua sebab timbulnya ganti rugi, yaitu ganti rugi Karena
wanprestasi dan perbuatan melawan hukum.5
Ganti rugi Karena perbuatan melawan hukum adalah suatu bentuk
ganti rugi yang dibebankan kepada orang yang telah menimbulkan
kesalahan kepada pihak yang telah dirugikan. Ganti rugi itu timbul karena
adanya kesalahan, bukan karena adanya perjanjian.6
Ganti rugi karena wanprestasi adalah suatu bentuk ganti rugi yang
dibebankan kepada debitur yang tidak memenuhi isi perjanjian yang telah
dibuat antara debitur dan kreditur. Misalnya, A berjanji akan mengirimkan
barang kepada B pada tanggal 10 januari 2015. Akan tetapi, pada tanggal
yang telah ditentukan, A belum juga mengirimkan barang tersebut kepada
B. supaya B dapat menuntut ganti rugi karena keterlambatan tersebut maka
B harus memberikan peringatan (somasi) kepada A, menimal tiga kali.7
4
Syamsul Anwar,Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori A kad dalam FiqhMuamalah,( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007),. 335
5
Salim H.S, Hukum Kontrak, cet.IV, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), 100.
6
Ibid.,
7
28
Apabila peringatan atau teguran telah dilakukan, maka barulah B
dapat menuntut kepada A untuk membayar ganti kerugian,. Jadi,
momentum timbulnya ganti rugi pada saat telah dilakukan somasi.8
Ganti kerugian yang dapat dituntut oleh kreditur kepada debitur
adalah sebagai berikut:9
1. Kerugian yang telah dideritanya, yaitu berupa penggantian
biaya-biaya dan kerugian.
2. Keutungan yang sedianya akan diperoleh (pasal 1246 KUH
Perdata), ini ditunjukkan kepada bunga-bunga.
Untuk ketentuan yang nomor dua itu dilarang dalam syariat Islam
karena bunga itu merupakan riba, yang dalam praktiknya bank syariah
mengharamkan dan tidak menerapkan bunga dalam setiap transaksi
perbankan.
Dalam pasal 1249 KUH Perdata ditentukan bahwa penggantian
kerugian yang disebabkan wanprestasi hanya ditentukan dalam bentuk
uang.10
8
Ibid.,
9
Ibid.,101
10
29
3. Dasar hukumta’widh
a. QS Al-Maidah (5) 1
ð
✁
✂
✄
☎
✆
✝
✄
✞
✟
✠Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu… ”11
Dalam ayat ini menjelaskan bahwasanya kita sebagai
orang-orang yang beriman, kita diwajibkan untuk memenuhi segala apa yang
telah kita janjikan atau sepakati.
b. QS Al-Baqarah (2) 279-280
✡
✟
☛
✡
☛
☎
✟
☎
Artinya:“kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. Dan jika (orangyang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”12
11
Departemen Agama Republik Indonesia,A l-qur’andan Terjemahnya
12
30
Dalam ayat ini menjelaskan bahwasanya kita jangan sampai
menyakiti orang lain (membebani), dan jika ada orang yang masih
berhutang kepada kamu maka janganlah persulit, beri dia waktu lebih
untuk memenuhi hutangnya kepada kamu. Dan jikalau kamu
mengetahui, bahwasanya sedehkahkanlah sedikit atau semua utang
itu lebih baik bagi kamu karna kamu telah menolong sesama kamu.
Maksudnya, jangan beri dia beban kecuali kalo memang ada
kerugian riil yang diterima akibatnya.
c. Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari ‘Ubadah bin Shamit, riwayat
Ahmad dari Ibnu ‘Abbas, dan Malik dari Yahya:
ر اﺮ ﺿ ﻻ و ر ﺮ ﺿ ﻻ
Artinya: “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.” (HR. Ibn Majah)13
Dalam hadist ini menjelaskan kepada kita bahwa, kalau
misalnya ada orang yang mempunyai hutang kepada kita, tagihlah dia
dengan sopan jangan sampai dia merasa sangat bersalah dan bisa
memecahkan persaudaraan diantara kita.
13
31
d. KaidahFiqh:
ﻠﻣ ﻌ ﻣ ﻟا ﻲ ﻓ ل ﺻ ﻷ ا
Artinya: “Pada dasarnya, segala bentuk mu’amalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”14
Dalam kaidah ini dijelaskan segala sesuatu itu semuanya
sebenernya diperbolehkan kecuali ada dalil yang mengharamkanya.
Jadi dalam kaidah ini , adanya ganti rugi itu diperbolehkan selama
yang dituntut dalam kerugianya masih dalam koridor riil atas
beban-beban kreditur dalam menganani masalh ini.
4. Pendapat Para Ulama MengenaiTa’widh
Dalam hal ini ada beberapa Ulama menyampaikan pernyatan
mengenaita’widhatau ganti rugi secara Islam, sebagai berikut :
a. Pendapat Ibnu Qudamah dalam al Mughni, bahwa penundaan
pembayaran kewajiban dapat menimbulkan kerugian dan karenanya
harus dihindarkan, ia menyatakan:15
“Jika orang berhutang (debitur) bermaksud melakukan perjalanan,atau
jika pihak berpiutang (kreditur) bermaksud melarang debitur
(melakukan perjalanan), perlu kita perhatikan sebagai berikut. Apabila
14
http://muslimahpejuangislam.blogspot.co.id/2013/06/hukum-multi-akad.html diakses pada 5 Januari 2017 jam 10:31
15
32
jatuh tempo utang ternyata sebelum masa kedatangannya dari
perjalanan --misalnya, perjalanan untuk berhaji dimana debitur masih
dalam perjalanan haji sedangkan jatuh tempo utang pada bulan
Muharram atau Dzulhijjah-- maka kreditur boleh melarangnya
melakukan perjalanan. Hal ini karena ia (kreditur) akan menderita
kerugian (dharar) akibat keterlambatan (memperoleh) haknya pada
saat jatuh tempo. Akan tetapi, apabila debitur menunjuk penjamin
atau menyerahkan jaminan yang cukup untuk membayar utangnya
pada saat jatuh tempo, ia boleh melakukan perjalanan tersebut, karena
dengan demikian, kerugian kreditur dapat dihindarkan.”
b. Pendapat Wahbah al-Zuhaili :
“Ta’widh (ganti rugi) adalah menutup kerugian yang terjadi akibat
pelanggaran atau kekeliruan”.16 Ketentuan umum yang berlaku pada
ganti rugi dapat berupa:
1) menutup kerugian dalam bentuk benda (dharar, bahaya), seperti
memperbaiki dinding.
2) memperbaiki benda yang dirusak menjadi utuh kembali seperti
semula selama dimungkinkan, seperti mengembalikan benda yang
dipecahkan menjadi utuh kembali. Apabila hal tersebut sulit
dilakukan, maka wajib menggantinya denganbenda yang sama
(sejenis) atau dengan uang”17
16
Wahbah Zuhaily,Nazariyah al- Dhaman,(Damsyiq:Daar al fikr, 1998), 87
17
33
Sementara itu, hilangnya keuntungan dan terjadinya kerugian
yang belum pasti di masa akan datang atau kerugian immateriil, maka
menurut ketentuan hukum fiqh hal tersebut tidak dapat diganti (dimintakan ganti rugi). Hal itu karena obyek ganti rugi adalah harta
yang ada dan konkret serta berharga (diijinkan syariat untuk
memanfaat-kannya”.18
c. Pendapat Abd al-Hamid Mahmud al-Ba’li :
“Ganti rugi karena penundaan pembayaran oleh orang yang
mampudidasarkan pada kerugian yang terjadi secara riil akibat
penundaan pembayaran dan kerugian itu merupakan akibat logis dari
keterlambatan pembayaran tersebut.”19
d. Pendapat ulama yang membolehkanta’widhsebagaimana dikutip oleh Isham Anas al-Zaftawi :
“Kerugian harus dihilangkan berdasarkan kaidah syariah dan kerugian
itu tidak akan hilang kecuali jika diganti, sedangkan penjatuhan
sanksi atas debitur mampu yang menunda-nunda pembayaran tidak
akan memberikan manfaaat bagi kreditur yang dirugikan. Penundaan
pembayaran hak sama dengan ghashab; karena itu, seyogyanya stastus
hukumnya pun sama, yaitu bahwa pelaku ghashab bertanggung jawab
18
Wahbah Zuhaily, Nazariyah al- Dhaman, 96
19
34
atas manfaat benda yang di-ghasab selama masa ghashab, menurut
mayoritas ulama, disamping ia pun harus menanggung harga (nilai)
barang tersebut bila rusak.”
B. FATWA DSN MUI No.43/DSN-MUI/VIII/2004
1. Profil DSN-MUI
a. Latar Belakang Pembentukan DSN-MUI
MUI adalah wadah yang menghimpun dan mempersatukan
pendapat dan pemikiran ulama Indonesia yang tidak bersifat
operasional tetapi koordinatif. Majelis ini dibentuk pada tanggal 26
Juli 1975 M atau 17 rajab 1395 H dalam suatu pertemuan ulama
nasional, yang kemudian disebut Musyawarah Nasional I Majelis
Ulama Indonesia, yang berlangsung di Jakarta pada tanggal 21-27 Juli
1975.
Motivasi mendirikan MUI Pusat pada saat itu adalah agar
pemerintah mengadakan pembinaan terhadap kegiatan masyarakat
yang dianggap penting. Peran dan tugas MUI Pusat ketika itu hanya
mencari dukungan untuk pemerintah dari pihak ulama.
Pusat dakwah Islam Indonesia yang dibentuk Menteri Agama
RI 14 September 1969 memprakarsai penyelenggaraan loka karya
muballigh se-Indonesia (26-29 November 1974). Loka karya ini melahirkan sebuah konsensus bahwa diperlukan adanya majlis ulama
sebagai wahana yang dapat menjalankan mekanisme yang efektif dan
35
Islam Indonesia terhadap pembangunan. Hal tersebut diperkuat oleh
amanat Presiden Soeharto pada saat itu yang juga mengharapkan
segera dibentuknya Majelis Ulama Indonesia.
Dalam sebuah musyawarah yang dihadiri dua puluh enam
orang ulama yang mewakili 26 Propinsi di Indonesia, 10 orang ulama
yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu
NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al-Washiliyah, Math’laul
Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari
dinas Rohani Islam, AD, AU, AL dan POLRI serta 13 orang tokoh
atau cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan, dihasilkan
sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah bermusyawarahnya para
ulama, Zu’amma dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah “PIAGAM BERDIRINYA MUI” yang ditandatangani oleh
seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah
Nasional Ulama.
Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa
Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30
tahun merdeka, dimana energi bangsa telah banyak terserap dalam
perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap masalah
kesejahteraan rohani umat. Dalam perjalanannya, selama dua puluh
lima tahun, Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para
ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim berusaha untuk :20
20
36
1) Memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam
Indonesia dalam mewujudkan kehidupan beragama dan
bermasyarakat yang diridhoi Allah Swt.
2) Memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan
kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan
kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa
serta
3) Menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan
penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna
mensukseskan pembangunan nasional meningkatkan hubungan serta
kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan
muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada
masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi
dan informasi secara timbal balik.
Akhirnya, melalui Menteri Agama dengan surat yang
bernomor 28, pada tanggal 1 Juli 1975 dibentuklah sebuah panitia
Munas 1 MUI yang kemudian melahirkan keputusan untuk
membentuk MUI dengan memberikan kepercayaan kepada Prof. Dr.
HAMKA sebagai ketuanya. Pembentukan MUI dimaksudkan agar
37
masyarakat yang aman, damai, adil, dan makmur serta diridhoi Alloh
Swt.21
Sampai saat ini Majelis Ulama Indonesia mengalami beberapa
kali kongres atau musyawarah nasional, dan mengalami beberapa kali
pergantian Ketua Umum, dimulai dengan Prof. Dr. Hamka, KH.
Syukri Ghozali, KH. Hasan Basri, Prof. KH. Ali Yafie, KH. M. Sahal
Maffudh dan kini KH Ma’ruf Amin. Ketua Umum MUI yang
pertama, kedua dan ketiga telah meninggal dunia dan mengakhiri
tugas-tugasnya. Sedangkan dua yang terakhir masih terus berkhidmah
untuk memimpin majelis para ulama ini.22
Adapun dasar pemikiran pembentukan DSN adalah:
1) Dengan semakin berkembangnya lembaga-lembaga keuangan
syariah di tanah air akhir-akhir ini dan adanya Dewan Pengawas
Syariah Nasional pada lembaga keuangan, dipandang perlu
didirikan Dewan Syariah Nasional yang akan menampung
berbagai masalah atau kasus yang memerlukan fatwa agar
diperoleh kesamaan dalam penanganannya dari masing-masing
Dewan Pengawas Syariah yang ada di lembaga syariah.
2) Pembentukan Dewan Syariah Nasional merupakan langkah
efisiensi dan koordinasi para ulama dalam menanggapi isu-isu
yang berhubungan dengan masalah ekonomi/keuangan. Dewan
21
Ibid
22
38
Syariah Nasional diharapkan dapat berfungsi untuk mendorong
penerapan ajaran Islam dalam kehidupan ekonomi.
3) Dewan Syariah Nasional berperan secara pro-aktif dalam
menanggapi perkembangan masyarakat Indonesia yang dinamis
dalam bidang ekonomi dan keuangan.
b. Visi Misi
MUI sebagai organisasi yang dilahirkan oleh para ulama, dan
cendikiawan muslim adalah gerakan masyarakat. Dalam hal ini, MUI
tidak berbeda dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan lain
dikalangan umat Islam, yang menjunjung tinggi semangat
kemandirian, oleh karena itu, MUI juga mempunyai visi, misi dan
peran penting MUI sebagai berikut :
1) Visi
Terciptanya kondisi kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan
dan kenegaraan yang baik, memperoleh ridlo dan ampunan Allah
Swt. (baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur) menuju masyarakat
berkualitas (khaira ummah) demi terwujudnya kejayaan Islam dan
kaum muslimin (izzul Islam wal-muslimin) dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai manifestasi dari rahmat bagi
seluru
2) Misi
a) Menggerakkan kepemimpinan dan kelembagaan umat secara
39
hasanah), sehingga mampu mengarahkan dan membina umat Islam dalam menanamkan dan memupuk aqidah Islamiyah,
serta menjalankan syariah Islamiyah
b) Melaksanakan dakwah Islam, amar ma’ruf nahi mungkar dalam mengembangkan akhlak karimah agar terwujud
masyarakat berkualitas (khaira ummah) dalam berbagai aspek
kehidupan
c) Mengembangkan ukhuwah Islamiyah dan kebersamaan dalam
mewujudkan persatuan dan kesatuan umat Islam dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.23
c. Prosedur Penetapan MUI
Metode pembuatan fatwa MUI pertama kali dibuat pada 1975
dan tampak kemudian dalam himpunan fatwa MUI 1995 dan 1997.
Secara umum, petunjuk penetapan fatwa MUI dapat dikemukakan
sebagai berikut:
1) Dasar-dasar fatwa adalah:
a) Al quran
b) Sunnah (tradisi dan kebiasaan nabi)
c) Ijma’(kesepakatan pendapat para ulama)
d) Qiyas (penarikan kesimpulan dengan analogi)
2) Pembahasan masalah yang memerlukan fatwa harus
mempertimbangkan:
23
40
a) Dasar-dasar fatwa merujuk ke atas
b) Pendapat para imam madzhab mengenai hukum Islam dan
pendapat para ulama terkemuka diperoleh melalui penelitian
terhadap penafsiran al-quran.
3) Pembahasan yang merujuk keatas adalah metode untuk
menentukan penafsiran mana yang lebih kuat dan bermanfaat
sebagai fatwa bagi masyarakat Islam.
4) Ketika suatu permasalahan yang memerlukan fatwa tidak dapat
dilakukan seperti prosedur diatas, maka harus ditetapkan dengan
penafsiran dan pertimbangan (ijtihad).
5) Mereka yang mempunyai otoritas untuk menangani fatwa adalah:
a) MUI berkaitan dengan:
1) Masalah-masalah keagamaan yang bersifat umum dan
berkaitan dengan masyarakat Islam Indonesia secara
umum.
2) Masalah-masalah keagamaan yang relevan dengan
wilayah tertentu yang dianggap dapat diterapkan di
wilayah lain.
b) MUI tingkat propinsi berkaitan dengan masalah keagamaan
yang sifatnya local dan kasus kedaerahan, tetapi setelah
berkonsultasi dengan MUI pusat dan komisi fatwa.
6) Sidang komisi fatwa harus dihadiri para anggota komisi fatwa
41
propinsi dengan kemungkinan mengundang para ahli jika dianggap
perlu.
7) Sidang komisi fatwa diselenggarakan ketika:
a) Ada permintaan atau kebutuhan yang dianggap MUI
memerlukan fatwa.
b) Permintaan atau kebutuhan tersebut dapat dari pemerintah,
lembaga-lembaga sosial, dan masyarakat atau MUI sendiri.
8) Sesuai dengan aturan sidang komisi fatwa, bentuk fatwa yang
berkaitan dengan masalah tertentu harus diserahkan ketua komisi
fatwa kepada ketua MUI nasional dan propinsi.
9) Pimpinan pusat MUI nasional/propinsi akan merumuskan kembali
fatwa itu kedalam bentuk sertifikat keputusan penetapan fatwa.24
24
42
2. FATWA DSN MUI No.43/DSN-MUI/VIII/2004 TENTANGTA’WIDH
Ketentuan Umum dan KhususTa’widh
Hal ini mengingatkan secara tradisional, setiap bentuk
penambahan apa pun terhadap pokok pembiayaan merupakan
bentuk-bentuk riba. Namun, PBI No. 7/46/PBI/2005 tentang Akad Perhimpunan dan Penyaluran Dana bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah, yaitu berkenaan dengan pengaturan ganti
kerugian (ta’widh) dalam pembiayaan dimaksud memberi kemungkinan
pengenaan ganti kerugian dalam hal dan dengan ketentuan-ketentuan
sebagai berikut.25
a. Ketentuan umum26
1) Ganti rugi (ta’widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang
dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang
menyimpang dari ketentuan akad dan menimbulkan kerugian
pada pihak lain.
2) Kerugian yang dapat dikenakanta’widhsebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah kerugian riil yang dapat diperhitungkan
dengan jelas.
3) Kerugian riil sebagaimana dimaksud ayat 2 adalah biaya-biaya
riil yang dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yg
seharusnya dibayarkan.
25
Adrian Sutedi, S.H., M.H.,Perbankan Syariah Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum,(Bogor:Ghalia Indonesia, 2009), 64
26
43
4) Besar ganti rugi (ta’widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian
riil (realloss) yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi
tersebut dan bukankerugian yang diperkirakan akan terjadi
(potential loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity
lossataual-furshah al-dhaa-i’ah).
5) Ganti rugi (ta’widh) hanya boleh dikenakan pada transaksi
(akad) yang menimbulkan utang piutang (dain), seperti salam,
istishna’ serta murabahah dan ijarah.
6) Dalam akad Mudharabah dan Musyarakah, ganti rugi hanya
boleh dikenakan oleh shahibul mal atau salah satu pihak dalam
musyarakah apabila bagian keuntungannya sudah jelas tetapi
tidak dibayarkan.
b. Ketentuan khusus
1) Besarnya ganti rugi yang dapat diakui sebagai pendapatan bank
adalah sesesuai dengan nilai kerugian (real loss) yang berkaitan
dengan upaya bank untuk memperoleh pembayaran dari
nasabah dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi
(potensial loss) karena adanya peluang yang hilang
(opportunity loss/al-fursah al-dha’iah).
2) Klausul pengenaan ganti rugi harus ditetapkan secara jelas
dalam akad dan dipahami oleh nasabah.27
27
Bank Indonesia (BI), PBI No. 7/46/PBI/2005 tentang Akad Perhimpunan dan PenyaluranDana bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah,( Jakarta:
44
3) Jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai dengan kerugian
riil dan tata cara pembayarannya tergantung kesepakatan para
pihak.
4) Besarnya ganti rugi ini tidak boleh dicantumkan dalam akad.
5) Pihak yang cedera janji bertanggung jawab atas biaya perkara
dan biaya lainnya yang timbul akibat proses penyelesaian
perkara.28
C. WANPRESTASI
Prestasi adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap
perikatan. Prestasi adalah objek perikatan, sehingga dalam hukum perdata
kewajiban memenuhi prestasi selalu disertai jaminan harta kekayaan debitor.
Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata dinyatakan bahwa harta kekayaan debitur,
baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun
yang akan ada, menjadi jaminan pemenuhan utangnya terhadap kreditur.
Namun, jaminan umum tersebut dapat dibatasi dengan jaminan khusus berupa
benda tertentu yang ditetapkan dalam perjanjian antarpihak.29
Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang berarti prestasi
buruk.30Wanprestasi artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah disepakati
dalam perikatan31. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan
yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi
28
Kamil dan Fauzan,Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah,826
29
Abdulkadir Muhammad,HukumPerdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014, 239
30
Subekti,Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1991, 45.
31
45
prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian32 dan bukan dalam
keadaan memaksa adapun yang menyatakan bahwa wanprestasi adalah tidak
memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan
dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur.33
Wanprestasi berkaitan tidak terpenuhinya kewajiban perikatan atau
dengan perkataan lain berkaitan dengan masalah pembayaran perikatan.
Membayar dalam hukum merupakan suatu istilah teknis, suatu istilah dengan
arti tertentu. Perikatan wajib dipenuhi karena tujuan pokok suatu perikatan.
Tidak memenuhi kewajiban perikatan diluar sepakat kreditur merupakan suatu
pelanggaran. Suatu perikatan jika dipenuhi atau dengan perkataan lain, maka
dibayar oleh debitur sebagaimana disyaratkan, jadi perikatan itu telah
mencapai tujuannya, dengan akibat pada asasnya perikatan itu menjadi
hapus.34
Hak menuntut ganti rugi atas dasar wanprestasi muncul jika debitur
salah berprestasi atau sama sekali tidak berprestasi tanpa ada unsur pembenar.
Dalam kaitannya dengan hak untuk menuntut pembatalan perjanjian disertai
atau tanpadisertai dengan tuntutan ganti rugi. Wanprestasi dikatakan
sebagai keadaan tidak berprestasi yang akibatnya bisa ditanggungkan kepada
debitur. Jika tidak ada tuntutan serta berupa tuntutan untuk mengganti
rugi, tetap saja dikatakan akibat wanprestasi ditanggungkan kepada
32
Nindyo Pramono, Hukum Komersil, 2
33
Dikutip dari: http://rohmadijawi.wordpress.com/hukum-kontrak/ diakses pada tanggal 29Agustus 2016 jam 07:35
34
46
debitur. Salah satu cara untuk menetapkan debitur dalam keadaan
wanprestasi adalah dengan melancarkan pernyataan lalai yang diwujudkan
dalam bentuk suatu somasi. Somasi sebagi sarana untuk menyatakan
debitur dalam keadaan lalai.35
Seorang debitur baru dikatakan wanprestasi apabila ia telah diberikan
somasi oleh kreditur atau Juru Sita. Somasi itu minimal telah dilakukan
sebanyak tiga kali oleh kreditur atau Juru sita. Apabila somasi itu tidak
diindahkannya, maka kreditur berhak membawa persoalan itu ke pengadilan.
Dan pengadilanlah yang akan memutuskan, apakah debitur wanprestasi atau
tidak.36
1. Wujud Wanprestasi
Jika debitur tidak melaksanakan prestasi-prestasi tersebut yang
merupakan kewajibannya, maka perjanjian itu dapat dikatakan cacat atau
katakanlah prestasi yang bur