• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN FATWA DSN-MUI NO.43/DSN-MUI/VIII/2004 TENTANG TA'WIDH BAGI NASABAH WANPRESTASI : STUDI KASUS PT. BANK BNI SYARIAH SURABAYA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "IMPLEMENTASI KEBIJAKAN FATWA DSN-MUI NO.43/DSN-MUI/VIII/2004 TENTANG TA'WIDH BAGI NASABAH WANPRESTASI : STUDI KASUS PT. BANK BNI SYARIAH SURABAYA."

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN FATWA DSN-MUI NO.

43/DSN-MUI/VIII/2004 TENTANG TA’WIDH BAGI

NASABAH WANPRESTASI

(Studi Kasus PT. Bank BNI Syariah Surabaya)

SKRIPSI

Oleh:

ABDULLAH FAQIHUDDIN NIM: C04212045

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

PRODI EKONOMI SYARIAH

SURABAYA

▸ Baca selengkapnya: cek kode wilayah bank bni

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul Implementasi Kebijakan Fatwa DSN MUI No.43/DSN-MUI/VIII/2004 Tentang Ta’widh Bagi Nasabah Wanprestasi adalah penelitian lapangan. Penelitian ini ingin menjawab pelaksanaan ta’widh pada fatwa DSN MUI No.43/DSN-MUI/VIII/2004 di Bank BNI Syariah Surabaya dan implementasi ta’widh bagi nasabah wanprestasi pada Bank BNI Syariah Surabaya.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, subjek penelitian ini adalah pimpinan dan karyawan Bank BNI Syariah Surabaya Jl. Bukit Darmo Boulevard No. 8A – 8B Surabaya. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik analisis data deskriptif kualitatif, yaitu suatu analisis yang bersifat mendeskripsikan makna data atau fenomena yang dapat ditangkap oleh peneliti, dengan menunjukkan bukti-buktinya. Baik data hasil wawancara, observasi maupun dokumentasi, selama mengadakan penelitian di Bank BNI Syariah Surabaya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwapelaksanaanta’widh pada fatwa DSN MUI No.43/DSN-MUI/VIII/2004 di Bank BNI Syariah Surabaya sudah sesuai dengan ketentuan fatwa DSN MUI No.43/DSN-MUI/VIII/2004. Sedangkan implementasi ta’widh bagi nasabah wanprestasi pada Bank BNI Syariah Surabaya dalam kasus yang ada yaitu Bank BNI Syariah dalam menyelesaikan pembiayaan BNI Griya iB Hasanah bermasalah dengan cara kebijakan menerapkan rescheduling. Karena dengan penerapan kebijakan ini pihak nasabah dapat menyelesaikan pembiayaan BNI iB Griya bermasalah dengan baik, tanpa ada pihak yang merasa dirugikan. Di dalam kasus ini, sebenarnya ganti rugi

(ta’widh) yang seharusnya dikenakan sudah dilakukan dan dihitung kerugiannya,

tetapi melihat dari niat nasabah yang masih mempunyai itikad baik dan juga nasabah dalam keadaanforce majeurmaka atas kebijakan dari Bank BNI Syariah, ganti rugi tersebut ditiadakan.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TRANSLITERASI... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 8

C. Rumusan Masalah... 10

D. Kajian Pustaka ... 10

E. Tujuan Penelitian ... 12

F. Keguanaan Hasil Penelitian ... 13

G. Definisi Operasional ... 13

H. Metode Penelitian ... 19

(8)

BAB II TINJAUAN UMUMTA’WIDH, FATWA DSN MUI

No.43/DSN-MUI/VIII/2004 DAN WANPRESTASI... 26

A.Ta’widh... 26

1. DefinisiTa’widh... 26

2. Ganti Rugi Menurut KUH Perdata ... 27

3. Dasar HukumTa’widh... 29

4. Pendapat Para Ulama MengenaiTa’widh... 31

B. Fatwa DSN MUI No.43/DSN-MUI/VIII/2004... 34

1. Profil DSN-MUI ... 34

2. Fatwa DSN MUI No.43/DSN-MUI/VIII/2004 Tentang Ta’widh... 42

C. Wanprestasi... 44

1. Wujud Wanprestasi... 46

2. Sebab dan Akibat Wanprestasi ... 47

3. Sanksi dan Ganti Rugi Wanprestasi ... 49

BAB III PEMBERLAKUAN TA’WIDH PADA MEKANISME RESCHEDULINGBAGI NASABAH WANPRESTASI 51 A. Gambaran Umum Bank BNI Syariah Surabaya ... 51

1. Sejarah Bank BNI Syariah ... 51

2. Produk dan Layanan Jasa Bank BNI Syariah Surabaya 56 B. MekanismeReschedulingBagi Nasabah Wanprestasi di Bank BNI Syariah Surabaya ... 62

(9)

2. Kebijakan Bank BNI Syariah Surabaya Sebelum Melakukan

Rescheduling... 64

3. Prosedur PelaksanaanReschedulingPada Bank BNI Syariah Surabaya... 66

C. PelaksanaanTa’widhBagi Nasabah Rescheduling Pada Bank BNI Syariah Surabaya ... 69

1. Penggunaan DanaTa’widhBagi Pada Bank BNI Syariah Surabaya... 69

2. PenetapanTa’widhPada Bank BNI Syariah Surabaya 70 D. Studi Kasus ... 72

BAB IV PEMBAHASAN... 81

A. PelaksanaanTa’widhpada Fatwa DSN MUI No. 43/DSN-MUI/VII/2004 di Bank BNI Syariah Surabaya... 81

B. Implementasi Ta’widhBagi Nasabah Wanprestasi Pada Bank BNI Syariah Surabaya... 85

BAB V PENUTUP... 93

A. Kesimpulan ... 93

B. Saran ... 94 DAFTAR PUSTAKA

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kurun waktu dua dasawarsa terakhir, perkembangan perbankan syariah di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup pesat. Terbukti dengan banyaknya bank-bank konvensional yang mulai memiliki anak cabang berbasis syariah. Perbankan syariah terlihat relatif singkat telah mampu memperlihatkan kemajuan yang cukup signifikan yang berhasil mempertahankan eksistensinya dalam perekonomian Indonesia. Perkembangan perbankan syariah di Indonesia memiliki peluang pasar yang cukup luas sesuai dengan mayoritas penduduk bangsa Indonesia yang beragama Islam.

Islam membawa suatu sistem ekonomi syariah yang diperuntukkan untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan serta jauh dari tindakan-tindakan yang merugikan orang lain, baik itu untuk muslim sendiri atau pun non-muslim. Kesempurnaan ajaran Islam yang membawa rahmatan lil’alamin kepada seluruh makhluk di muka bumi ini.

(11)

2

banking di Indonesia, yaitu perbankan konvensional dengan piranti bunga dan perbankan syariah dengan piranti akad-akad yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.1 Ini menunjukkan bahwa legalitas dan dukungan pemerintah terhadap bank syariah menjadi kekuatan tersendiri akan pertumbuhanya dari masa ke masa nantinya.

Seiring dengan perkembangan sejarah kehidupan manusia, tentu akan dibarengi juga dengan perubahan aktivitas manusia yang selalu berubah-ubah. Dalam sistem ekonomi memiliki tujuan-tujuan yang hendak direalisasikan. Sistem Ekonomi Islam lebih komprehensif dan utuh didasarkan pada pandangan-pandangan yang benar terhadap hakekat manusia. Sistem-sistem yang ada memiliki filosofi yang berbeda-beda tentang manusia sekalipun berasal dari yang sama yaitumaterialisme2.

Hal tersebut bisa terjadi karena perubahan struktur dan kondisi alam atau perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan aktivitas manusia tersebut tidak terlepas dari ancaman risiko. Segala macam risiko yang berasal dari musibah dan bencana alam merupakanqadhadanqadhardari Allah Swt. Allah Swt. berfirman dalam surat Luqman (31) Ayat 34 :























1

Ahmad Kamil dan M. Fuazan, “Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan EkonomiSyariah”,(Jakarta: Kencana, 2007) cet. 1, 1

2

(12)

3

Artinya: “… dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakan esok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya A llah maha mengetahui lagi maha mengenal.” (QS.Luqman[31] : 34)3

Dari ayat di atas kita dapat mengambil hikmah bahwa dalam

menghadapi kehidupan yang penuh dengan ketidakpastian, manusia tidak

dapat mengelak dari kehendak Allah Swt., tetapi manusia wajib untuk

berikhtiar untuk dapat mengatasinya.

Pada dasarnya bank syariah dan bank konvesional memiliki fungsi yang

sama yaitu, menghimpun dana (funding), menyalurkan dana (lending), dan

melayani produk jasa(service). Yang membedakannya ialah pada bank syariah

tidak mengenal yang namanya riba. Tapi yang lebih sangat membedakan

antara bank syariah dan bank konvensional adalah terletak pada tiga hal,

yaitu; akad, bunga dan bagi hasil dan juga dewan pengawas.

Dalam menjalankan pembiayaan bank sebagai media intermediasi yaitu

menghimpun dana dari nasabah yang kelebihan dana dan menyalurkannya

kepada nasabah yang kekurangan dana. Yang menjadi perhatian ialah ketika

bank menyalurkan dana atau melakukan pembiayaan kepada nasabah

pembiayaan. Dan terjadilah gagal bayar atau wanprestasi.

Gagal bayar atau wanprestasi merupakan risiko yang dialami bank

syariah dalam melakukan pembiayaan yang dimana risiko tersebut harus

diminimalisir demi mendapatkan keuntungan yang maksimal. Akibat dari

3

(13)

4

wanprestasi itu biasanya dapat dikenakan sanksi ganti, pembatalan kontrak,

peralihan resiko, maupun membayar biaya perkara. Sebagai contoh seorang

debitur dituduh melakukan perbuatan melawan hukum, lalai atau secara

sengaja tidak melaksankan sesuai bunyi yang telah disepakati dalam kontrak,

jika terbukti maka debitur harus mengganti kerugian (termasuk ganti rugi +

bunga+ biaya perkaranya).4

Risiko dalam konteks perbankan merupakan suatu kejadian potensial,

baik yang dapat diperkirakan (anticipated) maupun yang tidak dapat

diperkirakan (unanticipated) yang berdampak negative terhadap pendapatan

dan permodalan bank. Risiko-risiko tersebut tidak dapat dihindarkan, tetapi

dapat dikelola dan dikendalikan.5

Dalam bisnis pasti ada yang diuntungkan dan dirugikan, tapi dalam

Islam sendiri dalam prinsipnya berbagi keuntungan dan kerugian baik antara

pelaku bisnis (mudhorib) atau pemilik uang (shohibul mal), sehingga tidak ada

yang dizalimi satu sama lain. Bank syariah sebagai lembagaintermediary yang

seiring dengan situasi lingkungan eksternal dan internal, mengalami

perkembangan pesat yang akan selalu berhadapan dengan berbagai jenis resiko

dengan tingkat kompleksitas yang beragam dan melekat pada kegiatan

usahanya. Risiko dalam konteks perbankan merupakan suatu kejadian yang

potensial, baik yang diperkirakan maupun yang tidak dapat diperkirakan yang

4

Saefuddin Arif dan azharuddin lathif, Kontrak Bisnis syariah, (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2011),.9

5

(14)

5

berdampak negatif terhadap pendapatan dan permodalan bank. Risiko-risiko

tersebut tidak dapat dihindari, tetapi dapat dikelola dan dikendalikan5.

Dalam Islam kerugian yang harus dipertanggung jawabkan adalah

kerugian riil, hal ini bisa disebabkan oleh adanya wanprestasi atau kelalaian

nasabah dengan menunda-nunda pembayaran.6 Menurut Imam Asy-Syatibi,

sesungguhnya syariah itu bertujuan mewujudkan kemaslahatan di dunia dan di

akhirat. Kemaslahatan, dalam hal ini, diartikan sebagai sesuatu yang

menyangkut rezeki manusia, pemenuhan penghidupan manusia dan perolehan

apa-apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan intelektualnya,

dalam pengertian yang mutlak. Beliau melanjutkan, kemaslahatan ini dapat

terealisasi apabila lima unsur pokok yang harus diwujudkan dan dipelihara,

yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta,7 ini dikenal dengan nama

Maqoosidhu as Syariah.

Hal ini bisa terkait dengan proses memenuhi kebutuhan hidup dalam

berekonomi dengan cara proses transaksi atau jual beli dan akad – akad yang

telah diperjanjikan pun haruslah dipenuhi, agar tidak ada yang dirugikan oleh

masing-masing pihak. Islam menggambarkan dalam al-Quran surat al-Maidah

(5), ayat 1, :















6

Ahmad Kamil dan M. Fauzan,Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan EkonomiSyariah,

(15)

6

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu”.7

Dalam risiko yang dihadapi seperti halnya adanya wanprestasi atau

kelalaian nasabah dengan menunda-nunda pembayaran. Hal ini tentunya

sangat kontradiktif dengan syariah Islam yang sangat melindungi kepentingan

semua pihak yang bertransaksi, baik lembaga keuangan syariah maupun

nasabah, sehingga tidak boleh ada satu pun pihak yang dirugikan hak-haknya.

Salah satu bentuk perlindungan yang ada dalam Syariah Islam adalah adanya

mekanisme ta’widh (pemberian ganti rugi) kepada pihak yang hak-haknya

dilanggar8.

Pengenaan ta’widh adalah berbeda dengan riba jahiliyah. Riba Jahiliyah

tidak membedakan antara debitur yang mampu dan yang tidak mampu.

Sedangkan Islam membagi antara keduanya. Jika telah jelas bahwa debitur

tersebut tidak mampu, maka ta’widhtersebut tidak bisa dikenakan.

Ta’widh adalah berbeda dengan Riba Jahiliyah. Ini karena ta’widhtidak

disyaratkan pada awal akad, sedangkan riba jahiliyah telah ditempatkan

syaratnya pada awal akad. Ta’widh hanya dikenakan ke atas kerugian nyata

yang dialami oleh kreditur selama periode keterlambatan pembayaran

tersebut.9

7

Departemen Agama Republik Indonesia,A l-qur’andan Terjemahnya

8

Ahmad Kamil dan M. Fauzan,Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan EkonomiSyariah,

828

9

http://ketikkanfahmi.blogspot.co.id/2015/10/fikih-muamalah-kontemporer-tawidh-dan.html

(16)

7

Kata al-Ta’widh berasal dari kata ‘Iwadh (ض و ﻋ), yang artinya ganti

atau konpensasi. Sedangkan al-ta’widh sendiri secara bahasa berarti

mengganti (rugi) atau membayar konpensasi.10 Adapun menurut istilah adalah

menutup kerugian yang terjadi akibat pelanggaran atau kekeliruan.11

Secara umum pengertian ta’widh adalah menutup kerugian yang terjadi

akibat pelanggaran atau kekeliruan dengan ketentuan kerugian rill yang dapat

diperhitungkan dengan jelas dengan upaya untuk memperoleh pembayaran dan

bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi karena adanya peluang yang

hilang.12

Perlu dipahami bersama, ta’widh berbeda dengan ta’zir, walaupun

proses yang terjadi memiliki kesamaan dikarenakan kelalaian dengan

menunda-nunda pembayaran.

Hal ini dilakukan agar memberikan manfaat yang lebih luas dan

pemahaman yang baik, agar tidak terjadi kesalahpahaman antara pihak bank

syariah maupun nasabah. Bagi bank syariah membantu pengelolaan dan

kinerja perusahaan, jika hal ini tidak dilakukan akan berdampak kepada

penurunan kolektibilitas terhadap kinerja bank syariah sendiri, karena

kewajiban yang belum dilunasi. Ini juga sebagai kompetitif terhadap bank

konvensional yang menerapkan bunga dengan mengambil konsep kehilangan

10

Atabik dan Ahmad,Kamus Kontemporer A rab-Indonesia,1332

11

Wahbah al-Zuhaili,Nadzaariyah al- Dhamaan,( Damsyiq: Dar al-Fikr, 1998), 87

12

(17)

8

kesempatantime value of money. Ta’widhtentu berbeda yang diterapkan oleh

bank syariah sebagai ganti rugi terhadap segala biaya-biaya riil yang telah

dikeluarkan agar tidak kehilangan ongkos kerja dan diakui sebagai pendapatan

bank syariah.

Dengan konsep ta’widh ini memberikan pembelajaran kepada nasabah

pembiayaan yang nakal dan membantu bank syariah agar mendorong nasabah

untuk melunasi kewajibannya tepat waktu. Bagi nasabah pun akan berpikir

ulang untuk melunasi secepatnya dan sesuai dengan perjanjian.

Dari latar belakang masalah di atas, penulis ingin mengetahui lebih jauh

mengenai proses ta’widh sendiri dan aplikasinya dalam bank syariah dalam

akad-akad yang ada, Oleh karena itu dalam skripsi ini penulis memilih judul :

“IMPLEMENTASI KEBIJAKAN FATWA DSN-MUI NO.

43/DSN-MUI/VIII/2004 TENTANGTA’WIDH BAGI NASABAH WANPRESTASI” (STUDI KASUS PT. BANK BNI SYARIAH SURABAYA)

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Berdasarkan uraian singkat di atas, penulis dapat mengidentifikasi

beberapa masalah terkait nasabah wanprestasi dengan fatwa MUI No.

(18)

9

1. Identifikasi Masalah

a. Ganti rugi (ta’widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang dengan

sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari

ketentuan akad dan menimbulkan kerugian pada pihak lain.

b. Masih banyaknya nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran

dan atau tidak mempunyai kemauan dan itikad baik untuk membayar

hutangnya boleh dikenakan sanksi.

c. Bagaimana cara bank syariah khususnya BNI Syariah dalam

menentukan nasabah yang layak dikenakanta’widh?

d. Sudah sesuaikah penerapan ta’widh pada BNI Syariah dengan fatwa

DSN-MUI?

e. Sudah jelaskah perhitungan riil kerugian yang didapat oleh biaya

ta’widh?

f. Apakah BNI Syariah melakukan analisis pada nasabah sebelum

mengenakanta’widh?

g. Apakah perhitungan dana ta’widh sudah sesuai dengan jumlah kerugian

riil?

2. Batasan Masalah

Untuk mempermudah dalam penulisan, maka penulis memberikan

batasan dalam pembahasan ini hanya berfokus padata’widh atau ganti rugi

(19)

10

C. Rumusan Masalah

Agar mempermudah dalam penyusunan, maka perlu kiranya dirumuskan

beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana pelaksanaan ta’widh pada fatwa DSN MUI No.

43/DSN-MUI/VIII/2004 di bank BNI Syariah Surabaya?

2. Bagaimana implementasi ta’widh bagi nasabah wanprestasi di Bank

BNI Syariah Surabaya?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah deskripsi ringkasan tentang kajian atau penelitian

yang sudah pernah dilakukan terkait masalah yang diteliti, sehingga terlihat

jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan pengulangan atau

duplikasi dari kajian atau penelitian yang telah ada.13

Penelitian ini berjudul Implementasi kebijakan fatwa DSN-MUI No.

43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang ta’widh bagi nasabah wanprestsai. Penelitian

ini tentunya tidak lepas dari penelitian terdahulu yang dijadikan pandangan

dan referensi serta acuan dalam penyusunan skripsi ini.

Penelitian pertama yang diteliti oleh Durroh Abdur Rokhis dengan judul

“Pelaksanaan Recheduling Terhadap Nasabah Wanprestasi Pada Akad

Murabahah (Studi Di BRI Cab. Yogyakarta)”.14 Objek penelitiannya ini

13

Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam UIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi(Surabaya: Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam UIN Sunan Ampel Surabaya, 2015), 8.

14

(20)

11

adalah penyelesaian resiko pada pembiayaan akad murabahah terhadap

nasabah wanprestasi yang berdasarkan data praktik resceduling dan

memberikan penelitian apakah sudah sesuai dengan prinsip-prinsip muamalah.

Perbedaannya dengan penelitian ini adalah denda ta’widh yang dikenakan

pada nasabah yang bermasalah atau wanprestsai.

Penelitian kedua yang dilakukan oleh Muis Hidayat dengan judul

Analisis penerapan fatwa DSN-MUI NO. 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang

ta’widh pada pembiayaan murabahah di PT Bank Syariah bukopin”,15 objek

penelitian ini adalah berfokus pada pemberian sanksi ta’zirdan ta’widh pada

nasabah wanprestasi. Dan bagaimana bank syariah menentukan faktor yang

menjadi pertimbangan untuk pemberian pembiayaan. Perbedaan dengan

penelitian ini adalah berfokus pada masalah denda ganti rugi ta’widh yang

dikenakan pada nasabah wanprestasi.

Penelitian ketiga yang dilakukan oleh Isni Eka Widiati dengan judul

“Pengaruh Tingkat Resiko Pembiayaan Murabahah Terhadap Tingkat

Profitabilitas Bank Syariah (Studi Kasus Pada PT. Bank Muamalat Indonesia,

Tbk Cabang Tasikmalaya)”.16 Objek penelitiannya ini adalah menghitung

pengaruh tingkat resiko pembiayaanmurabahahterhadap tingkat profitabilitas

di Bank Muamalat Tasikmalaya. Persamaan dengan penelitian ini adalah

dengan adanya tingkat risiko pada pembiayaan murabahah maka akan ada

15

Muis Hidayat, A nalisis penerapan fatwa DSN-MUI NO. 43/DSN-MUI/V III/2004 tentang ta’widh pada pembiayaan murabahah di PT Bank Syariah bukopin, Skripsi Jurusan Ekonomi Syariah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakaarta, 2010.

16

(21)

12

potensi risiko juga dalam pengembalianya . Perbedaannya dengan penelitian

ini adalah dengan adanya risiko dalam pengembalian, maka akan timbul juga

denda-denda yang ditimbulkan.

Penelitian keempat dilakukan oleh Arianto Saputra dengan judul

“Analisis pengelolaan dana ta’zirdan ta’widh bagi nasabah wanprestasi pada

PT BRI Syariah”.17 Objek penelitian ini meneliti tentang pengelolaan dana

dana yang didapat dari ta’zir dan ta’widh. Persamaan dengan penelitian ini

adalah sama-sama meneliti tentang dana denda yaitu ta’widh. Perbedaaanya

adalah penulis meneliti tentang konsep dari kebijakan dari fatwa DSN-MUI

No. 43/DSN-MUI/VIII/200

E. Tujuan Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini ada beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh

penulis.

1. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan ta’widh pada fatwa

DSN-MUI No. 43/DSN-DSN-MUI/VIII/2004 di Bank BNI Syariah Surabaya?

2. Untuk mengetahui bagaimana implementasi ta’widh bagi nasabah

wanprestasi di Bank BNI Syariah Surabaya?

17

(22)

13

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat diantaranya:

1. Aspek teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas dan

memberi sumbangsih ilmu pengetahuan terhadap lapisan masyarakat

terkait adanya denda atau ganti rugi bagi nasabah jika menunda-nunda

pembayaran angsuran dan untuk pendisiplinan bagi mereka yang lalai

maupun yang sengaja padahal mampu tapi enggan untuk membayarnya.

2. Aspek praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai

bahan pertimbangan bagi Bank Bni Syariah Surabaya terhadap

meminimalisir risiko yang bisa diakibatkan dari pembiayaan yang ada.

G. Definisi Operasional

Penelitian ini berjudul Impementasi kebijakan fatwa DSN-MUI No.

43/DSN-MUI/VIII/2004 tentangta’widhbagi nasabah wanprestasi. Agar lebih

memudahkan dalam memahami skripsi ini, maka peneliti akan mendefinisikan

beberapa istilah, antara lain :

1. Implementasi

Implementasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai

pelaksanaan atau penerapan. Artinya yang dilaksanakan dan diterapkan

adalah kurikulum yang telah dirancang atau didesain untuk kemudian

dijalankan sepenuhnya.18

18

(23)

14

Pendek kata, digoyang gempa kecil saja sudah membuat arti

implementasi adalah bentuk aksi nyata dalam menjalankan rencana yang

telah dirancang dengan matang sebelumnya. Contohnya: sebuah bangunan

yang merupakan hasil implmentasi dari desain yang sudah dibuat

sebelumnya dengan perhitungan yang matang. Si desainer sudah

memperhitunkan berbagai hal seperti kekuatan bangunan, jumlah

material-material yang diperlukan, kemungkinan banjir dan gempa, dan masih

banyak lagi. Persamaan kata implementasi yaitu aplikasi, pelaksanaan,

pengalaman, pengejawantahan, penjabaran, praktik dan rekayasa.

Implementasi hendaknya dilakukan sesuai dengan rancangan yang

telah dibuat, jika tidak maka hasilnya tidak akan sesuai dengan yang

diharapkan. Seperti dalam pengerjaan bangunan, jika tukang-tukang yang

bekerja tidak mengikuti arahan dari desainer bangunan seperti tinggi

banguna, tentu saja bangunan tersebut tidak sesuai harapan. Bisa saja

karena ketebalan dinding maka bangunan dinding retak. Jika sudah begini

tentu pelanggan akan kecewa dan tidak akan memakai jasa kita lagi.19

2. Fatwa DSN-MUI No. 43/DSN-MUI/VIII/2004

Fatwa DSN 43/DSN-MUI/VIII/2004: Ganti Rugi(Ta’widh)

Pertama: Ketentuan Umum

a. Ganti rugi (ta’widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang

dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang

19

(24)

15

menyimpang dari ketentuan akad dan menimbulkan kerugian pada

pihak lain.

b. Kerugian yang dapat dikenakan ta’widh sebagaimana dimaksud

dalam ayat 1 adalah kerugian riil yang dapat diperhitungkan

dengan jelas.

c. Kerugian riil sebagaimana dimaksud ayat 2 adalah biaya-biaya riil

yg dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yg seharusnya

dibayarkan.

d. Besar ganti rugi (ta’widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian riil

(real loss) yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut

dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss)

karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss atau

al-furshah al-dhaa-i’ah).

e. Ganti rugi (ta’widh) hanya boleh dikenakan pada transaksi (akad)

yang menimbulkan utang piutang (dain), seperti salam, istishna’

serta murabahah danijarah.

f. Dalam akad Mudharabahdan Musyarakah, ganti rugi hanya boleh

dikenakan oleh shaahibul maal atau salah satu pihak dalam

musyarakah apabila bagian keuntungannya sudah jelas tetapi tidak

dibayarkan.

Kedua: Ketentuan Khusus

a. Ganti rugi yang diterima dalam transaksi di LKS dapat diakui

(25)

16

b. Jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai dengan kerugian riil

dan tata cara pembayarannya tergantung kesepakatan para pihak.

c. Besarnya ganti rugi ini tidak boleh dicantumkan dalam akad.

d. Pihak yang cedera janji bertanggung jawab atas biaya perkara dan

biaya lainnya yang timbul akibat proses penyelesaian perkara.

Ketiga: Penyelesaian Perselisihan

Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau terjadi

perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiaannya

dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai

kesepakatan melalui musyawarah.

Keempat: Ketentuan Penutup

Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan, jika

di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan

disempurnakan sebagaimana mestinya.20

3. Ta’widh

a. DefinisiTa’widh

Kataal-ta’widh berasal dari kata‘iwadh(ض ﻮ ﻋ), yang berarti ganti

atau konpensasi. Sedangkan ta’widh sendiri secara bahasa berarti

maengganti (rugi) atau membayar konpensasi. Adapun menurut istilah

adalah menutup kerugian yang terjadi akibat pelanggaran atau

kekeliruan.

20

(26)

17

Dalam kaidah hukum Islam, “bahaya (beban berat) dihilangkan,”

(adh-dharaaru yuzaal), artinya bahaya (beban berat) termasuk di

dalamnya kerugian harus dihilangkan dengan menutup melalui

pemberian ganti rugi. Kerugian disini adalah segala gnagguan yang

menimpa seseorang, baik menyangkut dirinya maupun menyangkut

harta kekayaannya, yang terwujud dalam bentuk berkurangnya

kuantitas, kualitas ataupun manfaatnya.

b. Dasar hukumTa’widh (Istidlal)

a) Q.S Al-Maidah : 1















Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad

itu”21

b) Hadis nabi riwayat ibnu majah dari ‘Ubadah bin Shamit, riwayat

Ahmad dari Ibnu ‘Abbas, dan Malik dari Yahya22:

ر اﺮ ﺿ ﻻ و ر ﺮ ﺿ ﻻ

Artinya: “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak

boleh pula membahayakan orang lain.”

21

Departemen Agama Republik Indonesia,A l-qur’andan Terjemahnya, (Jakarta: Karya Insan Indonesia,2004),

22

(27)

18

4. Wanprestasi

Prestasi adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap

perikatan. Prestasi adalah objek perikatan, sehingga dalam hukum perdata

kewajiban memenuhi prestasi selalu disertai jaminan harta kekayaan

debitor. Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata dinyatakan bahwa harta

kekayaan debitur, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik

yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan pemenuhan

utangnya terhadap kreditur. Namun, jaminan umum tersebut dapat dibatasi

dengan jaminan khusus berupa benda tertentu yang ditetapkan dalam

perjanjian antar pihak.23

Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang berarti prestasi

buruk.24 Wanprestasi artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah

disepakati dalam perikatan.25 Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah

suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak

dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian26

dan bukan dalam keadaan memaksa adapun yang menyatakan bahwa

wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban

sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur

dengan debitur.27

23

Abdulkadir Muhammad,Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014, 239

24

Subekti,Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1991, 45.

25

Ibid, 241

26

Nindyo Pramono, Hukum Komersil, 2

27

(28)

19

H. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah suatu cara untuk mendapatkan data dalam

suatu penelitian. Dengan kata lain, dapat dikatakan suatu cara yang digunakan

untuk memecahkan suatu masalah. Dalam penulisan skripsi ini guna

memperoleh data dan informasi yang obyektif dibutuhkan data-data dan

informasi yang faktual dan relevan.

Sesuai dengan rujukan di atas, maka pendekatan penelitian yang

digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian dengan pendekatan

kualitatif. Karena penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif maka

hasil data akan difokuskan berupa pertanyaan secara deskriptif dan tidak

mengkaji suatu hipotesa serta tidak mengkorelasi variabel.

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Bank BNI Syariah Surabaya.

2. Sumber Data

Sumber data yang dimaksud dalam penelitian ini adalah subyek dari

mana data dapat diperoleh.28 Untuk mempermudah mengidentifikasi

sumber data, penulis mengklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu:

a. Data Primer

Sumber data primer yakni subjek penelitian yang dijadikan sebagai

sumber informasi penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau

pengambilan data secara langsung29 atau yang dikenal dengan istilah

28

Suharsimi Arikunto, Prosedur Peneletian: Suatu Pendekatan Praktis(Jakarta: Rineka Cipta, 1998), 114.

29

(29)

20

interview (wawancara). Dalam hal ini subjek penelitian yang dimaksud

adalah karyawan Bank BNI Syariah Surabaya bagian pembiayaan,

pemasaran dan pimpinan Bank BNI Syariah Surabaya.

b. Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah sumber data kedua sesudah data

primer.30Sumber sekunder merupakan data pendukung yang berasal dari

seminar, buku-buku maupun literature. Data ini digunakan untuk

mendukung informasi dari data primer yang diperoleh dari observasi

langsung ke lapangan.

Penelitian ini juga menggunakan data sekunder sebagai hasil dari

studi pustaka. Dalam studi pustaka, penulis dapat membaca

litelatur-literatur yang dapat menunjang penelitian, yaitu litelatur-literatur-litelatur-literatur yang

berhubungan dengan penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulkan data pada penelitian ini, peneliti akan

menggunakan beberapa metode yaitu :

a. Dokumentasi

Metode dokumentasi adalah catatan peristiwa baik berbentuk

tulisan, gambar, atau karya-karya monumental.31 Menurut Suharsimi

Arikunto bahwa dokumentasi asal katanya adalah dokumen yang artinya

barang-barang tertulis. Oleh karena itu, dalam pelaksanannya peneliti

30

Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial; Format-format Kuantitatif dan Kualitatif

(Surabaya: Airlangga University Press, 2001), 129.

31

(30)

21

harus meneliti benda-benda tertulis, dokumen-dokumen peraturan,

notulen rapat, catatan harian dan sebagainya”.32

b. Wawancara (Interview)

Menurut Esterberg dalam Sugiyono, wawancara merupakan

pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya

jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalamsuatu topik. Ia juga

mengemukakan beberapa macam wawancara, yaitu wawancara

terstruktur, semi terstruktur, dan tidak terstruktur.33

Sukandar Rumidi mengungkapkan bahwa wawancara adalah

proses tanya jawab lisan, di mana dua orang atau lebih berhadapan

secara fisik, yang satu dapat melihat muka yang lain dan mendengar

dengan telinga sendiri dari suaranya.34

Dalam wawancara ini peneliti mengadakan tanya jawab dengan

beberapa pengelola seperti bagian pembiayaan, marketing dan pimpinan

Bank BNI Syariah Surabaya.

4. Teknik Pengolahan Data

Setelah data berhasil dihimpun dari lapangan atau penulisan, maka

peneliti menggunakan teknik pengolahan data dengan tahapan sebagai

berikut :

32

Suharsimi Arikunto,Prosedur Peneletian: Suatu Pendekatan Praktis … ,131.

33

Sugiyono,Metode Penelitian Pendidikan; Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,dan R&D, 317.

34

Sukandarrumidi, Metodologi Penelitian Petunjuk Praktis untuk Peneliti Pemula (Yogyakarta:

(31)

22

a. Editing, yaitu pemeriksaan kembali dari semua data yang

diperoleh terutama dari segi kelengkapannya, kejelasan makna,

keselarasan antara data yang ada dan relevansi dengan

penelitian.35Dalam hal ini penulis akan mengambil data yang akan

dianalisis berdasarkan rumusan masalah saja.

b. Organizing, yaitu menyusun kembali data yang telah didapat

dalam penelitian yang diperlukan dalam kerangka paparan yang

sudah direncanakan dengan rumusan masalah secara sistematis.36

Penulis melakukan pengelompokan data yang dibutuhkan untuk

dianalisis dan menyusun data tersebut dengan sistematis untuk

memudahkan penulis dalam menganalisa data.

c. Coding, yaitu pemberian kode-kode tertentu pada tiap-tiap data

termasuk memberikan kategori untuk jenis data yang sama. Kode

adalah symbol tertentu dalam bentuk huruf atau angka untuk

memberikan identitas data.

d. Penemuan hasil, yaitu dengan menganalisis data yang telah

diperoleh dari penelitian untuk memperoleh kesimpulan mengenai

kebenaran fakta yang ditemukan, yang akhirnya merupakan sebuah

jawaban dari rumusan masalah.37

35

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,dan R&D … ,243. 36

Ibid., 245. 37

(32)

23

5. Teknik Analisis Data

Menurut Bogdan dalam Sugiyono, analisis data adalah proses

mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil

wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain, sehinggadapat mudah

dipahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain.38

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik analisis data

deskriptif kualitatif, yaitu suatu analisis yang bersifat mendeskripsikan

makna data atau fenomena yang dapat ditangkap oleh peneliti, dengan

menunjukkan bukti-buktinya.39 Tujuan dari metode ini adalah untuk

membuat deskripsi atau gambaran mengenai objek penelitian secara

sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta

hubungan antar fenomena yang diselidiki,40 serta teknik ini digunakan

untuk mendeskripsikan data-data yang peneliti kumpulkan baik data hasil

wawancara, observasi maupun dokumentasi, selama mengadakan penelitian

diBank BNI Syaria Surabaya.

Data yang dikumpulkan selanjutnya akan dianalisis dengan

menggunakan analisis isi (content analysis) yaitu metode ilmiah untuk

mengkaji dan menarik kesimpulan atas suatu fenomena dengan

memanfaaatkan dan menggunakan dokumen (teks) sebagai bahan

penelitian.41 Dengan analisis, peneliti akan mengungkapkan hal-hal yang

38

Ibid., 334.

39

Muhammad Ali,Strategi Penelitian Pendidikan(Bandung: Angkasa, 1993), 161.

40

Moh. Nizar,Medode Penelitian(Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), 63.

41

(33)

24

terdapat pada dokumen yang didapatkan dari Bank BNI Syariah Surabaya

terkait kebikan fatwa DSN MUI No.43/DSN-MUI/VIII/2004

I. Sistematika Pembahasan

Penulisan skripsi ini dibagi menjadi lima bab yang terbagi dalam

beberapa sub bab, adapun sistematikanya adalah sebagai berikut:

Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang memuat uraian tentang:

1). latar belakang masalah, 2). Identifikasi dan batasan masalah, 3). Rumusan

masalah, 4). Kajian pustaka, 5). Tujuan penelitian, 6).Kegunaan hasil

penelitian, 7). Definisi operasional, 8). Metode penelitian, dan 9). Sistematika

pembahasan.

Bab kedua merupakan bab kerangka teoritis atau kerangka konsepsional

yang akan mengulas tentang landasan teori konsep ta’widh pada fatwa DSN

MUI No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 dan juga mengulas tentang implementasi

ta’widh pada fatwa DSN MUI No. 43/DSN-MUI/VIII/. Hal ini dimaksudkan

untuk memberikan pengetahuan tentang adanya denda atau ganti rugi bagi

nasabah jika menunda-nunda pembayaran angsuran dan untuk pendisiplinan

bagi mereka yang lalai maupun yang sengaja padahal mampu tapi enggan

untuk membayarnya.

Bab ketiga merupakan data penelitian yang memuat tentang deskripsi

data yang berkenaan dengan variabel yang diteliti secara objektif. Meliputi

proses ta’widh dan juga tentang fatwa DSN MUI No.

(34)

25

mengetahui tentang gambaran umum objek penelitian tersebut dapat

membantu dalam proses penelitian khususnya proses analisis dapat terbantu.

Bab empat merupakan analisis data yang memuat tentang implementasi

kebijakan fatwa DSN MUI No.43/DSN-MUI/VIII/2004 bagi nasabah

wanprestasi.

Bab kelima, yaitu bab terakhir dari keseluruhan rangkaian pembahasan

(35)

BAB II

TINJAUAN UMUMTA’WIDH, FATWA DSN MUI

No.43/DSN-MUI/VIII/2004 DAN WANPRESTASI

A. TA’WIDH

1. DefinisiTa’widh

Kata al-Ta’widh berasal dari kata ‘Iwadh (ض ﻮ ﻋ), yang artinya

ganti atau konpensasi. Sedangkan al-ta’wiidh sendiri secara bahasa

berarti mengganti (rugi) atau membayar konpensasi.1 Adapun menurut

istilah adalah menutup kerugian yang terjadi akibat pelanggaran atau

kekeliruan.2

Adanya dhaman (tanggung jawab) untuk menggantikan atas

sesuatu yang merugikan dasarnya adalah kaidah hukum Islam, “Bahaya

(beban berat) dihilangkan,” (adh-dhararu yuzal), artinya bahaya (beban

berat) termasuk didalamnya kerugian harus dihilangkan dengan menutup

melalui pemberian ganti rugi. Kerugian disini adalah segala gangguan

yang menimpa seseorang, baik menyangkut dirinya maupun menyangkut

harta kekayaannya, yang terwujud dalam bentuk terjadinya pengurangan

kuantitas, kualitas ataupun manfaat.3

Dalam kaitan dengan akad, kerugian yang terjadi lebih banyak

menyangkut harta kekayaan yang memang menjadi objek dari suatu akad

1

Atabik dan Ahmad,Kamus Kontemporer A rab-Indonesia,1332

2

Wahbah al-Zuhaili,Nadzaariyah al- Dhamaan,( Damsyiq: Dar al-Fikr, 1998), 87

3

(36)

27

atau menyangkut fisik seseorang. Sedangkan yang menyangkut moril

kemungkinan sedikit sekali, yaitu kemungkinan terjadinya kerugian

moril. Misalnya seseorang dokter dengan membukakan rahasia pasiennya

yang diminta untuk disembunyikan sehingga menimbulkan rasa malu

pada pasien tersebut.4 Dalam kasus ini tentu saja yang berhubungan

dengan harta kekayaan atau sesuatu yang telah dikeluarkan.

2. Ganti Rugi menurut KUH Perdata

Ada dua sebab timbulnya ganti rugi, yaitu ganti rugi Karena

wanprestasi dan perbuatan melawan hukum.5

Ganti rugi Karena perbuatan melawan hukum adalah suatu bentuk

ganti rugi yang dibebankan kepada orang yang telah menimbulkan

kesalahan kepada pihak yang telah dirugikan. Ganti rugi itu timbul karena

adanya kesalahan, bukan karena adanya perjanjian.6

Ganti rugi karena wanprestasi adalah suatu bentuk ganti rugi yang

dibebankan kepada debitur yang tidak memenuhi isi perjanjian yang telah

dibuat antara debitur dan kreditur. Misalnya, A berjanji akan mengirimkan

barang kepada B pada tanggal 10 januari 2015. Akan tetapi, pada tanggal

yang telah ditentukan, A belum juga mengirimkan barang tersebut kepada

B. supaya B dapat menuntut ganti rugi karena keterlambatan tersebut maka

B harus memberikan peringatan (somasi) kepada A, menimal tiga kali.7

4

Syamsul Anwar,Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori A kad dalam FiqhMuamalah,( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007),. 335

5

Salim H.S, Hukum Kontrak, cet.IV, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), 100.

6

Ibid.,

7

(37)

28

Apabila peringatan atau teguran telah dilakukan, maka barulah B

dapat menuntut kepada A untuk membayar ganti kerugian,. Jadi,

momentum timbulnya ganti rugi pada saat telah dilakukan somasi.8

Ganti kerugian yang dapat dituntut oleh kreditur kepada debitur

adalah sebagai berikut:9

1. Kerugian yang telah dideritanya, yaitu berupa penggantian

biaya-biaya dan kerugian.

2. Keutungan yang sedianya akan diperoleh (pasal 1246 KUH

Perdata), ini ditunjukkan kepada bunga-bunga.

Untuk ketentuan yang nomor dua itu dilarang dalam syariat Islam

karena bunga itu merupakan riba, yang dalam praktiknya bank syariah

mengharamkan dan tidak menerapkan bunga dalam setiap transaksi

perbankan.

Dalam pasal 1249 KUH Perdata ditentukan bahwa penggantian

kerugian yang disebabkan wanprestasi hanya ditentukan dalam bentuk

uang.10

8

Ibid.,

9

Ibid.,101

10

(38)

29

3. Dasar hukumta’widh

a. QS Al-Maidah (5) 1

ð



Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu… ”11

Dalam ayat ini menjelaskan bahwasanya kita sebagai

orang-orang yang beriman, kita diwajibkan untuk memenuhi segala apa yang

telah kita janjikan atau sepakati.

b. QS Al-Baqarah (2) 279-280























Artinya:“kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. Dan jika (orangyang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”12

11

Departemen Agama Republik Indonesia,A l-qur’andan Terjemahnya

12

(39)

30

Dalam ayat ini menjelaskan bahwasanya kita jangan sampai

menyakiti orang lain (membebani), dan jika ada orang yang masih

berhutang kepada kamu maka janganlah persulit, beri dia waktu lebih

untuk memenuhi hutangnya kepada kamu. Dan jikalau kamu

mengetahui, bahwasanya sedehkahkanlah sedikit atau semua utang

itu lebih baik bagi kamu karna kamu telah menolong sesama kamu.

Maksudnya, jangan beri dia beban kecuali kalo memang ada

kerugian riil yang diterima akibatnya.

c. Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari ‘Ubadah bin Shamit, riwayat

Ahmad dari Ibnu ‘Abbas, dan Malik dari Yahya:

ر اﺮ ﺿ ﻻ و ر ﺮ ﺿ ﻻ

Artinya: “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.” (HR. Ibn Majah)13

Dalam hadist ini menjelaskan kepada kita bahwa, kalau

misalnya ada orang yang mempunyai hutang kepada kita, tagihlah dia

dengan sopan jangan sampai dia merasa sangat bersalah dan bisa

memecahkan persaudaraan diantara kita.

13

(40)

31

d. KaidahFiqh:

ﻠﻣ ﻌ ﻣ ﻟا ﻲ ﻓ ل ﺻ ﻷ ا

Artinya: “Pada dasarnya, segala bentuk mu’amalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”14

Dalam kaidah ini dijelaskan segala sesuatu itu semuanya

sebenernya diperbolehkan kecuali ada dalil yang mengharamkanya.

Jadi dalam kaidah ini , adanya ganti rugi itu diperbolehkan selama

yang dituntut dalam kerugianya masih dalam koridor riil atas

beban-beban kreditur dalam menganani masalh ini.

4. Pendapat Para Ulama MengenaiTa’widh

Dalam hal ini ada beberapa Ulama menyampaikan pernyatan

mengenaita’widhatau ganti rugi secara Islam, sebagai berikut :

a. Pendapat Ibnu Qudamah dalam al Mughni, bahwa penundaan

pembayaran kewajiban dapat menimbulkan kerugian dan karenanya

harus dihindarkan, ia menyatakan:15

“Jika orang berhutang (debitur) bermaksud melakukan perjalanan,atau

jika pihak berpiutang (kreditur) bermaksud melarang debitur

(melakukan perjalanan), perlu kita perhatikan sebagai berikut. Apabila

14

http://muslimahpejuangislam.blogspot.co.id/2013/06/hukum-multi-akad.html diakses pada 5 Januari 2017 jam 10:31

15

(41)

32

jatuh tempo utang ternyata sebelum masa kedatangannya dari

perjalanan --misalnya, perjalanan untuk berhaji dimana debitur masih

dalam perjalanan haji sedangkan jatuh tempo utang pada bulan

Muharram atau Dzulhijjah-- maka kreditur boleh melarangnya

melakukan perjalanan. Hal ini karena ia (kreditur) akan menderita

kerugian (dharar) akibat keterlambatan (memperoleh) haknya pada

saat jatuh tempo. Akan tetapi, apabila debitur menunjuk penjamin

atau menyerahkan jaminan yang cukup untuk membayar utangnya

pada saat jatuh tempo, ia boleh melakukan perjalanan tersebut, karena

dengan demikian, kerugian kreditur dapat dihindarkan.”

b. Pendapat Wahbah al-Zuhaili :

“Ta’widh (ganti rugi) adalah menutup kerugian yang terjadi akibat

pelanggaran atau kekeliruan”.16 Ketentuan umum yang berlaku pada

ganti rugi dapat berupa:

1) menutup kerugian dalam bentuk benda (dharar, bahaya), seperti

memperbaiki dinding.

2) memperbaiki benda yang dirusak menjadi utuh kembali seperti

semula selama dimungkinkan, seperti mengembalikan benda yang

dipecahkan menjadi utuh kembali. Apabila hal tersebut sulit

dilakukan, maka wajib menggantinya denganbenda yang sama

(sejenis) atau dengan uang”17

16

Wahbah Zuhaily,Nazariyah al- Dhaman,(Damsyiq:Daar al fikr, 1998), 87

17

(42)

33

Sementara itu, hilangnya keuntungan dan terjadinya kerugian

yang belum pasti di masa akan datang atau kerugian immateriil, maka

menurut ketentuan hukum fiqh hal tersebut tidak dapat diganti (dimintakan ganti rugi). Hal itu karena obyek ganti rugi adalah harta

yang ada dan konkret serta berharga (diijinkan syariat untuk

memanfaat-kannya”.18

c. Pendapat Abd al-Hamid Mahmud al-Ba’li :

“Ganti rugi karena penundaan pembayaran oleh orang yang

mampudidasarkan pada kerugian yang terjadi secara riil akibat

penundaan pembayaran dan kerugian itu merupakan akibat logis dari

keterlambatan pembayaran tersebut.”19

d. Pendapat ulama yang membolehkanta’widhsebagaimana dikutip oleh Isham Anas al-Zaftawi :

“Kerugian harus dihilangkan berdasarkan kaidah syariah dan kerugian

itu tidak akan hilang kecuali jika diganti, sedangkan penjatuhan

sanksi atas debitur mampu yang menunda-nunda pembayaran tidak

akan memberikan manfaaat bagi kreditur yang dirugikan. Penundaan

pembayaran hak sama dengan ghashab; karena itu, seyogyanya stastus

hukumnya pun sama, yaitu bahwa pelaku ghashab bertanggung jawab

18

Wahbah Zuhaily, Nazariyah al- Dhaman, 96

19

(43)

34

atas manfaat benda yang di-ghasab selama masa ghashab, menurut

mayoritas ulama, disamping ia pun harus menanggung harga (nilai)

barang tersebut bila rusak.”

B. FATWA DSN MUI No.43/DSN-MUI/VIII/2004

1. Profil DSN-MUI

a. Latar Belakang Pembentukan DSN-MUI

MUI adalah wadah yang menghimpun dan mempersatukan

pendapat dan pemikiran ulama Indonesia yang tidak bersifat

operasional tetapi koordinatif. Majelis ini dibentuk pada tanggal 26

Juli 1975 M atau 17 rajab 1395 H dalam suatu pertemuan ulama

nasional, yang kemudian disebut Musyawarah Nasional I Majelis

Ulama Indonesia, yang berlangsung di Jakarta pada tanggal 21-27 Juli

1975.

Motivasi mendirikan MUI Pusat pada saat itu adalah agar

pemerintah mengadakan pembinaan terhadap kegiatan masyarakat

yang dianggap penting. Peran dan tugas MUI Pusat ketika itu hanya

mencari dukungan untuk pemerintah dari pihak ulama.

Pusat dakwah Islam Indonesia yang dibentuk Menteri Agama

RI 14 September 1969 memprakarsai penyelenggaraan loka karya

muballigh se-Indonesia (26-29 November 1974). Loka karya ini melahirkan sebuah konsensus bahwa diperlukan adanya majlis ulama

sebagai wahana yang dapat menjalankan mekanisme yang efektif dan

(44)

35

Islam Indonesia terhadap pembangunan. Hal tersebut diperkuat oleh

amanat Presiden Soeharto pada saat itu yang juga mengharapkan

segera dibentuknya Majelis Ulama Indonesia.

Dalam sebuah musyawarah yang dihadiri dua puluh enam

orang ulama yang mewakili 26 Propinsi di Indonesia, 10 orang ulama

yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu

NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al-Washiliyah, Math’laul

Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari

dinas Rohani Islam, AD, AU, AL dan POLRI serta 13 orang tokoh

atau cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan, dihasilkan

sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah bermusyawarahnya para

ulama, Zu’amma dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah “PIAGAM BERDIRINYA MUI” yang ditandatangani oleh

seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah

Nasional Ulama.

Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa

Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30

tahun merdeka, dimana energi bangsa telah banyak terserap dalam

perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap masalah

kesejahteraan rohani umat. Dalam perjalanannya, selama dua puluh

lima tahun, Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para

ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim berusaha untuk :20

20

(45)

36

1) Memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam

Indonesia dalam mewujudkan kehidupan beragama dan

bermasyarakat yang diridhoi Allah Swt.

2) Memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan

kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan

kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa

serta

3) Menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan

penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna

mensukseskan pembangunan nasional meningkatkan hubungan serta

kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan

muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada

masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi

dan informasi secara timbal balik.

Akhirnya, melalui Menteri Agama dengan surat yang

bernomor 28, pada tanggal 1 Juli 1975 dibentuklah sebuah panitia

Munas 1 MUI yang kemudian melahirkan keputusan untuk

membentuk MUI dengan memberikan kepercayaan kepada Prof. Dr.

HAMKA sebagai ketuanya. Pembentukan MUI dimaksudkan agar

(46)

37

masyarakat yang aman, damai, adil, dan makmur serta diridhoi Alloh

Swt.21

Sampai saat ini Majelis Ulama Indonesia mengalami beberapa

kali kongres atau musyawarah nasional, dan mengalami beberapa kali

pergantian Ketua Umum, dimulai dengan Prof. Dr. Hamka, KH.

Syukri Ghozali, KH. Hasan Basri, Prof. KH. Ali Yafie, KH. M. Sahal

Maffudh dan kini KH Ma’ruf Amin. Ketua Umum MUI yang

pertama, kedua dan ketiga telah meninggal dunia dan mengakhiri

tugas-tugasnya. Sedangkan dua yang terakhir masih terus berkhidmah

untuk memimpin majelis para ulama ini.22

Adapun dasar pemikiran pembentukan DSN adalah:

1) Dengan semakin berkembangnya lembaga-lembaga keuangan

syariah di tanah air akhir-akhir ini dan adanya Dewan Pengawas

Syariah Nasional pada lembaga keuangan, dipandang perlu

didirikan Dewan Syariah Nasional yang akan menampung

berbagai masalah atau kasus yang memerlukan fatwa agar

diperoleh kesamaan dalam penanganannya dari masing-masing

Dewan Pengawas Syariah yang ada di lembaga syariah.

2) Pembentukan Dewan Syariah Nasional merupakan langkah

efisiensi dan koordinasi para ulama dalam menanggapi isu-isu

yang berhubungan dengan masalah ekonomi/keuangan. Dewan

21

Ibid

22

(47)

38

Syariah Nasional diharapkan dapat berfungsi untuk mendorong

penerapan ajaran Islam dalam kehidupan ekonomi.

3) Dewan Syariah Nasional berperan secara pro-aktif dalam

menanggapi perkembangan masyarakat Indonesia yang dinamis

dalam bidang ekonomi dan keuangan.

b. Visi Misi

MUI sebagai organisasi yang dilahirkan oleh para ulama, dan

cendikiawan muslim adalah gerakan masyarakat. Dalam hal ini, MUI

tidak berbeda dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan lain

dikalangan umat Islam, yang menjunjung tinggi semangat

kemandirian, oleh karena itu, MUI juga mempunyai visi, misi dan

peran penting MUI sebagai berikut :

1) Visi

Terciptanya kondisi kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan

dan kenegaraan yang baik, memperoleh ridlo dan ampunan Allah

Swt. (baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur) menuju masyarakat

berkualitas (khaira ummah) demi terwujudnya kejayaan Islam dan

kaum muslimin (izzul Islam wal-muslimin) dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai manifestasi dari rahmat bagi

seluru

2) Misi

a) Menggerakkan kepemimpinan dan kelembagaan umat secara

(48)

39

hasanah), sehingga mampu mengarahkan dan membina umat Islam dalam menanamkan dan memupuk aqidah Islamiyah,

serta menjalankan syariah Islamiyah

b) Melaksanakan dakwah Islam, amar ma’ruf nahi mungkar dalam mengembangkan akhlak karimah agar terwujud

masyarakat berkualitas (khaira ummah) dalam berbagai aspek

kehidupan

c) Mengembangkan ukhuwah Islamiyah dan kebersamaan dalam

mewujudkan persatuan dan kesatuan umat Islam dalam wadah

Negara Kesatuan Republik Indonesia.23

c. Prosedur Penetapan MUI

Metode pembuatan fatwa MUI pertama kali dibuat pada 1975

dan tampak kemudian dalam himpunan fatwa MUI 1995 dan 1997.

Secara umum, petunjuk penetapan fatwa MUI dapat dikemukakan

sebagai berikut:

1) Dasar-dasar fatwa adalah:

a) Al quran

b) Sunnah (tradisi dan kebiasaan nabi)

c) Ijma’(kesepakatan pendapat para ulama)

d) Qiyas (penarikan kesimpulan dengan analogi)

2) Pembahasan masalah yang memerlukan fatwa harus

mempertimbangkan:

23

(49)

40

a) Dasar-dasar fatwa merujuk ke atas

b) Pendapat para imam madzhab mengenai hukum Islam dan

pendapat para ulama terkemuka diperoleh melalui penelitian

terhadap penafsiran al-quran.

3) Pembahasan yang merujuk keatas adalah metode untuk

menentukan penafsiran mana yang lebih kuat dan bermanfaat

sebagai fatwa bagi masyarakat Islam.

4) Ketika suatu permasalahan yang memerlukan fatwa tidak dapat

dilakukan seperti prosedur diatas, maka harus ditetapkan dengan

penafsiran dan pertimbangan (ijtihad).

5) Mereka yang mempunyai otoritas untuk menangani fatwa adalah:

a) MUI berkaitan dengan:

1) Masalah-masalah keagamaan yang bersifat umum dan

berkaitan dengan masyarakat Islam Indonesia secara

umum.

2) Masalah-masalah keagamaan yang relevan dengan

wilayah tertentu yang dianggap dapat diterapkan di

wilayah lain.

b) MUI tingkat propinsi berkaitan dengan masalah keagamaan

yang sifatnya local dan kasus kedaerahan, tetapi setelah

berkonsultasi dengan MUI pusat dan komisi fatwa.

6) Sidang komisi fatwa harus dihadiri para anggota komisi fatwa

(50)

41

propinsi dengan kemungkinan mengundang para ahli jika dianggap

perlu.

7) Sidang komisi fatwa diselenggarakan ketika:

a) Ada permintaan atau kebutuhan yang dianggap MUI

memerlukan fatwa.

b) Permintaan atau kebutuhan tersebut dapat dari pemerintah,

lembaga-lembaga sosial, dan masyarakat atau MUI sendiri.

8) Sesuai dengan aturan sidang komisi fatwa, bentuk fatwa yang

berkaitan dengan masalah tertentu harus diserahkan ketua komisi

fatwa kepada ketua MUI nasional dan propinsi.

9) Pimpinan pusat MUI nasional/propinsi akan merumuskan kembali

fatwa itu kedalam bentuk sertifikat keputusan penetapan fatwa.24

24

(51)

42

2. FATWA DSN MUI No.43/DSN-MUI/VIII/2004 TENTANGTA’WIDH

Ketentuan Umum dan KhususTa’widh

Hal ini mengingatkan secara tradisional, setiap bentuk

penambahan apa pun terhadap pokok pembiayaan merupakan

bentuk-bentuk riba. Namun, PBI No. 7/46/PBI/2005 tentang Akad Perhimpunan dan Penyaluran Dana bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha

Berdasarkan Prinsip Syariah, yaitu berkenaan dengan pengaturan ganti

kerugian (ta’widh) dalam pembiayaan dimaksud memberi kemungkinan

pengenaan ganti kerugian dalam hal dan dengan ketentuan-ketentuan

sebagai berikut.25

a. Ketentuan umum26

1) Ganti rugi (ta’widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang

dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang

menyimpang dari ketentuan akad dan menimbulkan kerugian

pada pihak lain.

2) Kerugian yang dapat dikenakanta’widhsebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah kerugian riil yang dapat diperhitungkan

dengan jelas.

3) Kerugian riil sebagaimana dimaksud ayat 2 adalah biaya-biaya

riil yang dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yg

seharusnya dibayarkan.

25

Adrian Sutedi, S.H., M.H.,Perbankan Syariah Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum,(Bogor:Ghalia Indonesia, 2009), 64

26

(52)

43

4) Besar ganti rugi (ta’widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian

riil (realloss) yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi

tersebut dan bukankerugian yang diperkirakan akan terjadi

(potential loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity

lossataual-furshah al-dhaa-i’ah).

5) Ganti rugi (ta’widh) hanya boleh dikenakan pada transaksi

(akad) yang menimbulkan utang piutang (dain), seperti salam,

istishna’ serta murabahah dan ijarah.

6) Dalam akad Mudharabah dan Musyarakah, ganti rugi hanya

boleh dikenakan oleh shahibul mal atau salah satu pihak dalam

musyarakah apabila bagian keuntungannya sudah jelas tetapi

tidak dibayarkan.

b. Ketentuan khusus

1) Besarnya ganti rugi yang dapat diakui sebagai pendapatan bank

adalah sesesuai dengan nilai kerugian (real loss) yang berkaitan

dengan upaya bank untuk memperoleh pembayaran dari

nasabah dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi

(potensial loss) karena adanya peluang yang hilang

(opportunity loss/al-fursah al-dha’iah).

2) Klausul pengenaan ganti rugi harus ditetapkan secara jelas

dalam akad dan dipahami oleh nasabah.27

27

Bank Indonesia (BI), PBI No. 7/46/PBI/2005 tentang Akad Perhimpunan dan PenyaluranDana bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah,( Jakarta:

(53)

44

3) Jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai dengan kerugian

riil dan tata cara pembayarannya tergantung kesepakatan para

pihak.

4) Besarnya ganti rugi ini tidak boleh dicantumkan dalam akad.

5) Pihak yang cedera janji bertanggung jawab atas biaya perkara

dan biaya lainnya yang timbul akibat proses penyelesaian

perkara.28

C. WANPRESTASI

Prestasi adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap

perikatan. Prestasi adalah objek perikatan, sehingga dalam hukum perdata

kewajiban memenuhi prestasi selalu disertai jaminan harta kekayaan debitor.

Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata dinyatakan bahwa harta kekayaan debitur,

baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun

yang akan ada, menjadi jaminan pemenuhan utangnya terhadap kreditur.

Namun, jaminan umum tersebut dapat dibatasi dengan jaminan khusus berupa

benda tertentu yang ditetapkan dalam perjanjian antarpihak.29

Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang berarti prestasi

buruk.30Wanprestasi artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah disepakati

dalam perikatan31. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan

yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi

28

Kamil dan Fauzan,Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah,826

29

Abdulkadir Muhammad,HukumPerdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014, 239

30

Subekti,Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1991, 45.

31

(54)

45

prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian32 dan bukan dalam

keadaan memaksa adapun yang menyatakan bahwa wanprestasi adalah tidak

memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan

dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur.33

Wanprestasi berkaitan tidak terpenuhinya kewajiban perikatan atau

dengan perkataan lain berkaitan dengan masalah pembayaran perikatan.

Membayar dalam hukum merupakan suatu istilah teknis, suatu istilah dengan

arti tertentu. Perikatan wajib dipenuhi karena tujuan pokok suatu perikatan.

Tidak memenuhi kewajiban perikatan diluar sepakat kreditur merupakan suatu

pelanggaran. Suatu perikatan jika dipenuhi atau dengan perkataan lain, maka

dibayar oleh debitur sebagaimana disyaratkan, jadi perikatan itu telah

mencapai tujuannya, dengan akibat pada asasnya perikatan itu menjadi

hapus.34

Hak menuntut ganti rugi atas dasar wanprestasi muncul jika debitur

salah berprestasi atau sama sekali tidak berprestasi tanpa ada unsur pembenar.

Dalam kaitannya dengan hak untuk menuntut pembatalan perjanjian disertai

atau tanpadisertai dengan tuntutan ganti rugi. Wanprestasi dikatakan

sebagai keadaan tidak berprestasi yang akibatnya bisa ditanggungkan kepada

debitur. Jika tidak ada tuntutan serta berupa tuntutan untuk mengganti

rugi, tetap saja dikatakan akibat wanprestasi ditanggungkan kepada

32

Nindyo Pramono, Hukum Komersil, 2

33

Dikutip dari: http://rohmadijawi.wordpress.com/hukum-kontrak/ diakses pada tanggal 29Agustus 2016 jam 07:35

34

(55)

46

debitur. Salah satu cara untuk menetapkan debitur dalam keadaan

wanprestasi adalah dengan melancarkan pernyataan lalai yang diwujudkan

dalam bentuk suatu somasi. Somasi sebagi sarana untuk menyatakan

debitur dalam keadaan lalai.35

Seorang debitur baru dikatakan wanprestasi apabila ia telah diberikan

somasi oleh kreditur atau Juru Sita. Somasi itu minimal telah dilakukan

sebanyak tiga kali oleh kreditur atau Juru sita. Apabila somasi itu tidak

diindahkannya, maka kreditur berhak membawa persoalan itu ke pengadilan.

Dan pengadilanlah yang akan memutuskan, apakah debitur wanprestasi atau

tidak.36

1. Wujud Wanprestasi

Jika debitur tidak melaksanakan prestasi-prestasi tersebut yang

merupakan kewajibannya, maka perjanjian itu dapat dikatakan cacat atau

katakanlah prestasi yang bur

Gambar

Tabel 3.2 Jadwal angsuran nasabah setelah dilakukan rescheduling

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar lempar lembing gaya langkah jingkat dengan modifikasi alat pembelajaran pada peserta didik kelas VIII D

This study, however, should be continued, using more sophisticated instruments and research techniques to find which one of the two types of motivation - instru

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui keaktifan peserta didik saat proses pembelajaran ekonomi dengan menggunakan model pembelajaran CIRC (Cooperative Integrated Reading

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis

Kemunduran benih merupakan proses penurunan mutu benih secara berangsur-angsur dan komulatif serta tidak dapat kembali pada kondisi awal (irreversible) akibat perubahan

Proses pelaporan pajak penghasilan pasal 15 telah sesuai dengan undang-undang KMK 416/KMK.04/1996 tentang Norma Perhitungan Khusus Penghasilan Netto bagi Wajib

Hal ini diduga, antara lain, karena pada sistim kontak yang digunakan (sistim batch), biosorben dengan ukuran partikel yang lebih kecil (lebih ringan) sebagian terapung dalam

Pada tahap ini dilakukan uji coba kelompok terbatas pada 6 (orang siswa) kelas III dengan kemampuan yang berbeda. Ketujuh, revisi produk. Pada tahap ini dilakukan