ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG KERJASAMA DAN
NISBAH BAGI HASIL ANTARA PEMBORONG MEBEL DAN
CAT DI KELURAHAN TAMBAK WEDI KEC. KENJERAN KOTA
SURABAYA
SKRIPSI
Oleh Hekal Andaru NIM. C72213130
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam
Prodi Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah) Surabaya
ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG KERJASAMA DAN
NISBAH BAGI HASIL ANTARA PEMBORONG MEBEL DAN
CAT DI KELURAHAN TAMBAK WEDI KEC. KENJERAN KOTA
SURABAYA
SKRIPSI Diajukan Kepada
Univesitas Islam Negeri Sunan Ampel Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu Program Studi Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah)
OLEH
Hekal Andaru
NIM. C72213130
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam
Prodi Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah) Surabaya
ABSTRAK
Skripsi ini merupakan hasil penelitian lapangan dengan judul “ANALISIS
HUKUM ISLAM TENTANG KERJASAMA DAN NISBAH BAGI HASIL
ANTARA PEMBORONG MEBEL DAN CAT DI KELURAHAN TAMBAK
WEDI KECAMATAN KENJERAN KOTA SURABAYA”. Skripsi ini bertujuan
menjawab pertanyaan diantaranya adalah: (1) Bagaimana praktik kerjasama dan nisbah bagi hasil antara pihak mebel dan pemborong cat di Kelurahan Tambak Wedi Kec. Kenjeran kota Surabaya. (2) Bagaimana analisis hukum Islam tentang
kerjasama dan nisbah bagi hasil antara pihak mebel dan pemborong cat di
Kelurahan Tambak Wedi Kec. Kenjeran kota Surabaya.
Berkenaan dengan itu metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analistik dengan menggunakan pola pikir deduktif yaitu mengemukakan dalil-dalil atau data-data yang bersifat umum yakni tentang musha>rakah (kerjasama) pihak mebel dan pemborong cat ini, dan kemudian ditarik
pada permasalahan yang lebih bersifat khusus tentang musha>rakah (kerjasama)
tersebut menurut sudut pandang hukum Islam.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa, praktik kerjasama dan nisbah
bagi hasil pihak mebel dan pemborong cat di Kelurahan Tambak wedi Kec. Kenjeran kota Surabaya, memang secara rukun dan syarat sudah sesuai dengan
konsep musha>rakah pada umumnya, yaitu kerjasama antara pihak mebel dengan
pemborong cat, mereka bekerjasama dalam mengeluarkan modal dan keahlian yang artinya sama-sama menjadi pemodal dan pengelola, akan tetapi dalam nisbah bagi hasil yang dilakukan, bila mengalami suatu kerugian maka hanya sepihak yang menanggungnya yaitu pemilik mebel saja. Adapun pada akad perjanjian kerjasama ini pada awalnya sudah menentukan pembagian prosentase bagi keuntungan dan kerugian sesuai kesepakatan yang mereka sepakati, akan tetapi hal ini tidak sesuai dengan kenyataan yang ada di lapangan sehingga dari kerjasama ini ada salah satu pihak yang dirugikan. Menurut pandangan hukum Islam praktik kerjasama yang di lakukan ini tidak sesuai dengan tujuan dari suatu kerjasama ini yaitu saling membantu atau meringankan beban orang lain.
Sejalan dengan praktik yang dilakukan antara keduanya, hendaknya para pihak mebel maupun pemborong cat untuk tetap menyelaraskan mekanisme
pembagian nisbah bagi hasil keuntungan maupun kerugian terutama kepada
pemborong cat yang seharusnya ikut menanggung kerugian yang dialami berdasarkan ketentuan hukum Islam. Dengan demikian lebih tercipta adanya
keseimbangan hak dan kewajiban dari kedua belah pihak, dan diharapkan juga
DAFTAR ISI
HALAMAN
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR TRANSLITERASI ... xii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah Dan Batasan Masalah ... 6
C. Rumusan Masalah ... 7
D. Kajian Pustaka ... 8
E. Tujuan Penelitian ... 10
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 10
G. \Definisi Oprasional ... 11
H. Metode Penelitian ... 12
I. Sistematika Penulisan ... 19
BAB II KONSEP KERJASAMA DALAM ISLAM A. Definisi Musha>rakah ... 21
B. Dasar Hukum Musha>rakah ... 23
C. Macam-Macam Musha>rakah ... 25
D. Rukun dan Syarat Shirkah ... 37
F. Berkhirnya Atau Batalnya Musha>rakah ... 41
BAB III PRAKTIK KERJASAMA DAN NISBAH BAGI HASIL ANTARA PEMBORONG MEBEL DAN CAT DI TAMBAK WEDI KEC. KENJERAN KOTA SURABAYA A. Gambaran Umum Objek Penelitian ... 43
1. Letak Geografis ... 43
2. Keadaan Penduduk ... 44
3. Kepadatan Penduduk ... 45
4. Kehidupan Masyarakat ... 48
B. Praktik Kerjasama Dan Nisbah Bagi Hasil Antara Pemborong Mebel Dan Cat Di Tambak Wedi Kec. Kenjeran Kota Surabaya ... 53
1. Praktik Kerjasama ... 53
2. Akad Kesepakatan Kerjasama ... 58
3. Mekanisme Bagi Hasil ... 62
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG KERJASAMA DAN NISBAH BAGI HASIL ANTARA PIHAK MEBEL DAN CAT DI DAERAH TAMBAK WEDI KECAMATAN KENJERAN KOTA SURABAYA A. Analisis Tentang Praktik Kerjasama Dan Nisbah Bagi Hasil Antara Pihak Mebel Dan Pemborong Cat... 64
B. Tinjauan Hukum Islam Tentang Kerjasama Dan Nisbah Bagi Hasil Antara Pihak Mebel Dan Pemborong Cat ... 68
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 72
B. Saran ... 73
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Fiqih muamalah merupakan hasil dari pengolahan potensi insani
dalam meraih sebanyak mungkin nilai-nilai ilahiyat, yang berkenaan dengan
tata aturan hubungan antara manusia (mahklu>qa>t), secara keseluruhan dapat
dikatakan disiplin ilmu yang tidak mudah untuk dipahami. Karenanya,
diperlukan suatu kajian yang mendalam agar dapat memahami tata aturan
Islam tentang hubungan manusia yang sesungguhnya.1 Hubungan manusia
sebagai mahluk sosial ini dalam Islam di kenal dengan muamalat yaitu yang
mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitannya dengan
pengelolaan harta.2
Di dalam hukum Islam menggambarkan bahwa Islam mengatur dan
melindungi terhadap masing-masing pihak yang melakukan akad kerjasama,
agar tidak terjadi saling merugikan satu sama lainnya sehingga dapat tercapai
tujuan dari akad tersebut. Salah satu contoh bermuamalah dalam Islam adalah
musha>rakah (shirkah) yakni kerjasama antara dua orang atau lebih dalam
sebuah usaha dan konsekuensi keuntungan dan kerugian, ditanggung secara
bersama.3
Praktik ekonomi dalam musha>rakah ini mempunyai landasan syariah
sebagaimana dijelaskan dalam Al Qur’an :
1 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Rajawali Prees, 2011), vii. 2 Qomarul Huda, Fiqih Muamalah, (Yogyakarta: Teras, 2011), 5.
2 ... ...
Artinya: ...Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh..(Qs.Shaad :24).4
Dan juga sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hadist Qudsi, Nabi bersabda:
مَحُ انث ,يِصيِ صِمْلا َناَمْيَلحس حنب حدمَحُ َانَثدَح
حد
ب
ِ زلا حن
,َناَقِرْب
يَح يَأ نع
ْي تلا َنا
ِهيِبَأ نع ,يِم
,
نع
نِإ ُُ :لاق حهَعَ فَر َةَرْ يَرح ِيَأ
:حلوحقَ ي ََاَعَ ت ِه
ِل ََ َََأ
حث
ْيِرَشلا
َأ ْنحََ َماَم َِْْك
حهَبِحاَصاَمحدَح
اَذِإَف
اَمِهِنْيَ ب ْنِم حتْجَرَخ حهَناَخ
((.
Artinya:“Diriwayatkan Muhammad Ibnu Sulaiman Misisi, diteruskan Muhammad Ibnu Zibriqon, dari Abi Khayyan At-Taimiya, dari Abi Huroiroh berkata: (( Sesungguhnya Allah swt. bersabda: Aku orang yang ketiga dari orang yang berserikat, selama salah seorang di antara mereka tidak berkhianat, dan jika salah seorang berkhianat, maka aku keluar dari antara mereka))”.5
Musha>rakah sebagai salah satu jenis perjanjian kerjasama antara
pengelola dan pengusaha, dimana baik pihak pengelola maupun pihak
pengusaha secara bersama membiayai suatu usaha atau proyek yang dikelola
secara bersama pula, atas dasar bagi hasil sesuai dengan penyertaan.6 Adapun
mengenai prinsip-prinsip dasar dalam persoalan muamalah adalah untuk
mewujudkan kemaslahatan umat manusia, dengan memperhatikan dan
4 Kementerian Agama RI, al-Quran dan Terjemahannya, (Jakarta: Bumi Restu, 1976), juz 23,363. 5 Imam Hafid Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats as-Sajstani, Sunan Abu Dawud, juz 2, (Beirut: Darul Kutb al-Ala>miyah ,1696), 462.
3
mempertimbangkan berbagai situasi dan kondisi yang mengitari manusia itu
sendiri, sehingga hukum dasar dari muamalah adalah boleh sampai ditemukan
dalil yang melarangnya. Di samping prinsip-prinsip dasar di atas, ada juga
prinsip dasar yang lain yang harus dipenuhi dalam setiap jenis muamalah, di
antaranya adalah mengandung kemaslahatan, tidak merugikan salah seorang
pihak, menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan, jujur, saling
tolong-menolong, tidak mempersulit dan atas dasar suka sama suka.7
Pokok dari sistem bermuamalah dalam Islam terletak pada akadnya,
yaitu akad diawal transaksi. Secara lughawi, makna al-’aqd adalah perikatan,
perjanjian, pertalian, pemufakatan (al-ittfa>q). Sedangkan secara istilah, akad
didefinisikan pertalian ija>b dan qabu>l dari pihak-pihak yang menyatakan
kehendak sesuai dengan kehendak syariah yang akan memiliki akibat hukum
terhadap obyeknya.8
Adapun salah satu bentuk kagiatan muamalah yang sering dilakukan di
masyarakat adalah kerjasama antara pemborong. Sebagaimana yang dilakukan
oleh beberapa masyarakat di daerah Tambak Wedi Kec. Kenjeran, kota
Surabaya yakni saling bekerjasama dalam usaha membuat atau memproduksi
produk mebel yang berkualitas bagus antara pihak pihak mebel dan
pemborong cat yang keduanya saling berkontribusi dalam jasa pengolahan
maupun modal, pada umumnya pemborong mebel memproduksi mebel dengan
membuat mebel olahan dari kayu jati yang nantinya kayu jati disusun atau
7 Nasron Haroen, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), x.
4
dirancang dengan triplek, lem, dan paku kemudian menghasilkan
barang-barang seperti lemari, pintu, jendela, kursi, meja dan lainnya. Pemborong
mebel disini juga bertindak sebagai penjual mebel yang nantinya hasil mebel
yang sudah jadi siap untuk dijual dan dikirim kepada pembeli atau pemesan.
Dalam praktiknya, pihak pemborong cat juga berkontribusi untuk
memfinishing atau menyelesaikan mebel yang masih berupa kayu biasa
dengan mengolahnya menggunakan dempol kemudian digosok halus sampai
mebel tersebut benar-benar siap untuk di cat dan finising. Akan tetapi dalam
kerjasama, pemborong cat lebih sedikit modal yang dikeluarkan dibandingkan
dengan pemborong mebel yang mengeluarkan banyak modal.
Dalam akad perjanjian kesepakatan, memang tidak disyaratkan berapa
banyak porsi atau prosentase modal yang harus dikeluarkan karena perjanjian
akad hanya terpaku pada keahlian masing-masing pemborong dan modal
kebutuhan bahan pembuatan jadi mebel tersebut. Yang menjadi permasalahan
disini adalah dalam pembagian nisbah bagi hasil kerugian pihak pemborong
cat tidak mau dirugikan, apabila terdapat suatu kerugian yang disebabkan
karena kecacatan mebel maupun pengecetan, maka yang menanggungnya
adalah pihak mebel, karena pihak pemborong mebel juga bertindak sebagai
penjual mebel yang bertanggung jawab atas semua resiko yang terjadi.
Dalam konsep akad musha>rakah nisbah bagi hasil keuntungan dan
kerugian harus ditanggung bersama antara pihak mebel maupun pemborong
cat, namun dalam fakta atau kenyataanya pihak mebel saja yang mengangung
5
adalah pihak mebel 60% sedangakan pemborong cat 40%, kerugian yang
dialami ditanggung oleh pihak mebel 10% diambil dari bagian pihak mebel
jadi disini pihak pemborong cat tidak mau tau atas kerugian yang terjadi.
Melihat dari apa yang terjadi di lapangan, maka menarik sekali untuk
dikaji khususnya mengkaji tentang posisi pihak mebel. Dari segi akad
kerjasamanya, di mana dalam pembagian hasilnya terlihat adanya kesenjangan
antara fakta dengan kaidah keilmuan fiqih muamalah. Selain itu, dari segi
perjanjian kerjasamanya, perjanjian kesepakatan kerjasama ini tidak
dituangkan dalam sebuah akta tertulis, melainkan hanya dilakukan secara
lisan.
Padahal, biasanya dalam perjanjian semacam ini paling tidak terdapat
bukti tertulis yang ditanda tangani oleh masing-masing pihak yang
bersangkutan. Ada beberapa hal yang melatar belakangi penulis untuk
mengangkat masalah ini antara lain mengenai masalah akad kerjasamanya
yang disepakati antara pihak mebel dengan pemborong cat, karena di dalam
pembagiannya nisbah bagi hasil apabila mengalami kerugian pihak mebellah
yang menanggung dengan hasil yang tidak menentu.
Penulis melihat posisi pemborong mebel kurang mendapatkan apresiasi
terutama dilihat dari hasil yang didapatnya. Hal inilah yang berindikasi dapat
merugikan pemborong mebel bila ditinjau dari fiqih muamalah baik dari segi
kejelasan akad maupun bagi hasilnya. Hal lain yang membuat ini semakin
menarik tidak lain adalah pelaku transaksi yang dimana jumlahnya tidak
6
seharusnya meraka tahu tentang tata cara bermu’amalah yang baik dan tidak
mengandung unsur ketidak jelasan.
Dari latar belakang sebagaimana dikemukakan di atas, maka penulis
merasa tertarik untuk mengadakan penelitian dengan mengangkat
permasalahan yang terjadi mengenai “Analisis Hukum Islam Tentang
Kejasama dan Nisbah Bagi Hasil Antara Pemborong Mebel dan Cat Di Daerah
Tambak Wedi Kec. Kenjeran Kota Surabaya ” Ini amat diperlukan dan sangat
bermanfaat untuk penelitian-penelitian tentang praktik muamalah.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Kemungkinan-kemungkinan cakupan yang dapat muncul dalam
penelitian ini dengan melakukan identifikasi dan inventarisasi
sebanyak-banyaknya kemungkinan yang dapat diduga sebagai masalah. Kemudian
ruang lingkup masalah yang telah diidentifikasi itu dibatasi dalam rangka
menetapkan batas-batas masalah secara jelas.9 Dari latar belakang masalah di
atas teridentifikasi masalah yang akan muncul diantaranya adalah sebagai
berikut:
1. Praktik kerjasama dan nisbah bagi hasil pihak mebel dan pemborong cat
di Kelurahan Tambak Wedi Kec. Kenjeran kota Surabaya.
2. Akad kerjasama dan nisbah bagi hasil antara pihak mebel dengan
pemborong cat di Kelurahan Tambak Wedi Kec. Kenjeran kota Surabaya.
7
3. Kesepakatan keuntungan dan resiko yang ditanggung antara pihak mebel
dan cat di Kelurahan Tambak Wedi Kec. Kenjeran kota Surabaya.
4. Pembagian nisbah bagi hasil antara pemborong cat dan pihak mebel di
Kelurahan Tambak Wedi Kec. Kenjeran kota Surabaya.
5. Analisis Hukum Islam tentang kerjasama dan nisbah bagi hasil antara
pihak mebel dan cat di Kelurahan Tambak Wedi Kec. Kenjeran kota
Surabaya.
Dari beberapa identifikasi masalah tersebut, penulis perlu
menjelaskan batasan dan ruang lingkup persoalan yang akan dikaji dalam
penelitian ini agar fokus dan terarah. Adapun batasan dalam skripsi ini
adalah sebagai berikut:
1. Praktik kerjasama dan nisbah bagi hasil pihak mebel dan pemborong cat
di Kelurahan Tambak Wedi Kec. Kenjeran kota Surabaya.
2. Analisis Hukum Islam tentang kerjasama dan nisbah bagi hasil antara
pihak mebel dan pemborong cat di Kelurahan Tambak Wedi Kec.
Kenjeran kota Surabaya.
C. Rumusan Masalah
Sejalan dengan uraian latar belakang dan identifikasi masalah di atas,
maka masalah-masalah yang akan dijawab melalui kajian ini dapat
dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :
1. Bagaimana praktik kerjasama dan nisbah bagi hasil antara pihak mebel
8
2. Bagaimana Analisis Hukum Islam tentang kerjasama dan nisbah bagi
hasil antara pihak mebel dan pemborong cat di Kelurahan Tambak wedi
Kec. Kenjeran kota Surabaya ?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian/penelitian
yang sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang akan diteliti sehingga
terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan
pengulangan atau duplikasi dari kajian/penelitian yang telah ada.10Ada
beberapa karya substansi yang dihasilkan oleh peneliti sebelumnya,
diantaranya sebagai berikut:
1. Hasil penelitian dari Ahmad Sahab, tahun 2014. Dengan Juduln“Analisis
Hukum Islam Terhadap Kerjasama Dan Nisbah Bagi Hasil Antara
Pemilik Modal Dan Perahu Di Desa Pangembangan Kec. Negara Kab.
Jembrana, Bali.” Skripsi ini membahas tentang permasalahan akad serta
nisbah bagi hasil dalam kerja sama antara pemilik modal dengan pemilik
perahu. Pada prinsipnya masih sama-sama membahas tentang bagi hasil,
namun apabila dilihat dari objeknya, dalam halini adalah bagi hasil ikan
tangkapan nelayan.11
2. Hasil penelitian dari Septian Lilis Surianti, tahun 2010. Dengan judul
“Tinjauan Akad Shirkāh terhadap Penanaman Modal dan Bagi Hasil
10 Ibid.,9.
9
Usaha Penggilingan Padi di Desa Krecek, Kab. Kediri”. Adanya
kesenjangan mengenai kontribusi pekerjaan dan pengelolaan usaha yang
diberikan oleh masing-masing anggota, namun dalam bagi hasilnya tetap
disamakan dengan alasan modal yang diinvestasikan juga sama.12
3. Hasil penelitian dari Ernawati, tahun 2008. Dengan judul “Tinjauan
Hukum Islam dan Hukum Perdata terhadap Kegiatan Usaha Bagi Hasil
pada CV. Sugiharto Mobilindo Utama Tropodo Sidoarjo.” Skripsi
tersebut membahas tentang deskripsi usaha bagi hasil ditinjau dari
Hukum Islam dan Hukum Perdata. Dengan kesimpulan bahwa akad
kerjasama yang dilakukan oleh anggota CV. Sugiharto Mobilindo Utomo
tidak sesuai dengan aturan dan norma-norma Hukum Islam maupun
Hukum Perdata. Sebab bagi hasil yang diterima masing-masing anggota
sama besar, padahal penanaman modal mereka berbeda.13
Berbeda dengan penelitian di atas, dalam penelitian ini penyusun
meneliti permasalahan akad serta nisbah bagi hasil dalam kerjasama
antara Pihak mebel dan pemborong cat di Kelurahan Tambak wedi. Pada
prinsipnya masih sama-sama membahas tentang bagi hasil, namun apabila
dilihat dari objeknya, dalam hal ini adalah bagi hasil keuntungan dan
kerugian yang mana apabila mengalami kerugian maka satu pihak yang
12Septian Lilis Surianti, “Tinjauan Akad Syirkah Terhadap Penanaman Modal Dan Bagi Hasil Usaha Penggilingan Padi Di Desa Krecek, Kab. Kediri”. (Skripsi: IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2010).
10
menanggung yaitu pihak mebel, maka permasalahan yang muncul pun
juga akan berbeda.
Berdasarkan penelitian di atas nampak belum ada yang meneliti
tentang “Analisis Hukum Islam Tentang Kerjasama dan Nisbah Bagi
Hasil Antara Pemborong Mebel dan Cat Di Kelurahan Tambak Wedi Kec.
Kenjeran Kota Surabaya ” Sehingga keaslian serta kebenarannya pun bisa
dijamin dan dipertanggung jawabkan oleh peneliti dan juga dari sini
sudah tampak jelas bahwa tidak ada pengulangan atau duplikasi pada
skripsi-skripsi sebelumnya.
E. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang hendak dicapai pada penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana praktik akad kerjasama dan nisbah bagi
hasil antara pihak mebel dan pemborong cat di Kelurahan Tambak wedi
Kec. Kenjeran kota Surabaya !
2. Untuk mengetahui Analisis Hukum Islam tentang akad kerjasama dan
nisbah bagi hasil antara pihak mebel dan pemborong cat di Kelurahan
Tambak wedi Kec. Kenjeran kota Surabaya !
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Adapun Kegunaan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Dari Segi Teoritis.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pengembangan
11
Ekonomi Syari’ah (mu’amalah) untuk dijadikan tambahan referensi dalam
memperluas wawasan yang erat kaitannya dengan praktik kerjasama
antara pemborong yang sama-sama berkontribusi memberikan modal
serta keahlian dan nisbah bagi hasil.
2. Dari Segi Praktis.
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi
penerapan suatu ilmu di lapangan ataupun di dalam masyarakat dan juga
penelitian ini dapat memberikan informasi secara tertulis.
G. Definisi Operasional
Untuk memudahkan dalam memahami judul skripsi “ Analisis Hukum
Islam tentang Kerjasama dan Nisbah Bagi Hasil antara Pemborong Mebel dan
Cat di Kelurahan Tambak wedi Kec. Kenjeran Kota Surabaya. ” Maka dalam
penelitian ini ada beberapa variabel yang perlu didevinisikan, antara lain:
Analisis Hukum Islam : Seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang
prilaku manusia dalam menjalankan system
perekonomiannya atau untuk melakukan transaksi
mengenai obyek suatu benda yang dihalalkan yang
bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah serta
pendapat (ra’yu/ijtihad) para ulama’ ahli fiqih yang
tertuang dalam kaidah-kaidah fiqih.14
14 Ismail Nawawi, Hukum Perjanjian dalam Perspektif Islam, Teori dan Pengantar Praktik
12
Kerja Sama : Perikatan yang ditetapkan dengan ija>b dan qobu>l
berdasarkan ketentuan syari’at yang berdampak
pada obyeknya yang dilakukan oleh dua orang
atau lebih.15 Dalam hal ini kerjasama antara
pemborong mebel dan pemborong cat.
Nisbah Bagi Hasil : Prosentase pembagian laba yang diperoleh dari
pendapatan yang dikurangi beban yang berkaitan
dengan pengelolaan dana.16
Pihak Mebel : Orang yang bekerja memproduksi mebel dengan
membuat mebel olahan dari kayu yang nantinya
menghasilkan barang-barang seperti lemari, pintu,
jendela, kursi, meja dan lainnya. Pemborong
mebel disini juga bertindak sebagai penjual mebel
kepada para konsumen atau pembeli.
Pemborong Cat : Seseorang yang ikut bekerjasama menanamkan
modalnya dan mempunyai keahliannya dalam
pengecatan memproduksi mebel yang berkualitas.
H. Metode Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini untuk kesempurnaannya penyusun
menggunakan metode penelitian sebagai berikut :
15 Ibid., 40.
13
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field risearch)
kualitatif yaitu memperoleh data dari penelitian lapangan langsung
tentang kerjasama dan nisbah bagi hasil antara pihak mebel dan
pemborong cat. Dengan objek penelitian di Kelurahan Tambak Wedi Kec.
Kenjeran kota Surabaya.
2. Pendekatan Masalah
Pendekatan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah
pendekatan normatif yaitu suatu pendekatan hukum yang digunakan
untuk mengkaji data dengan menggunakan kaidah-kaidah hukum Islam
yang sesuai dengan al-Qur’an, hadits, atau pendapat para ulama’.
3. Data yang dikumpulkan
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer,
maupun sekunder yang berasal dari seseorang, dokumen, pustaka, barang,
dan keadaan.17 Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah
hal-hal yang berkenaan dengan masalah yang akan dijawab sesuai dengan
rumusan masalah diantaranya sebagai berikut:
a. Data Primer
1) Pelaku akad
2) Akad yang dilakukan dalam transaksi
3) Praktik kerjasama pihak mebel dan pemborong cat
4) Praktik bagi hasil pihak mebel dan pemborong cat
14
5) Kesepakatan dalam praktik kejasama pihak mebel dan cat
b. Data Sekunder
1) Ayat suci al-Qur’an yang menjelaskan tentang musha>rakah
2) Hadist yang menjelaskan tentang musha>rakah
3) Pendapat para ulama yang menjelaskan tentang musha>rakah
4. Sumber Data
Sumber data adalah semua keterangan seseorang yang dijadikan
responden maupun yang berasal dari dokumen-dokumen baik dalam
bentuk statistik atau dalam bentuk lainnya guna keperluan penelitian
tersebut.18 Sumber data yang dapat digunakan adalah sumber primer dan
sumber skunder, sumber primer adalah sumber data yang langsung
memberikan data kepada pengumpul data, dan sumber skunder adalah
merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data kepada
pengumpul data seperti lewat orang lain atau lewat dokumen.19 Adapun
data yang dipakai dalam penelitian ini sebagai berikut:
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari
masyarakat baik yang dilakukan langsung melalui wawancara,
observasi, dan alat lainnya.20 Diantaranya sebagai berikut:
1) Pihak mebel sebagai pemodal dan sekaligus pembuat mebel
2) Pihak pemborong cat sebagai pemodal dan penggarap mebel
18 Ibid.
15
3) Pekerja atau karyawan dari pihak mebel dan cat
b. Sumber Data Skunder
Sumber data skunder adalah merupakan sumber yang tidak
langsung memberikan data kepada pengumpul data seperti dari bahan
pustaka atau lewat dokumen.21 Adapun sumber data skunder yang
digunakan sebagai berikut:
1) Ibnu Rusyd, Bidayatul ‘I-mujtahid, (Semarang: Asy-Syifa’,
1990).
2) Hendi Suhendi. Fiqih Muamalah, (Jakarta: Rajawali Prees,
2011).
3) Qomarul Huda. Fiqih Muamalah, (Yogyakarta: Teras, 2011).
4) Nasron Haroen, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2007).
5) Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, (Jakarta: Rineka Cipta,
1992).
6) Syafei Rachmat. Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia,
2001).
7) Ismail Nawawi, Hukum Perjanjian dalam Perspektif Islam,
Teori dan Pengantar Praktik Transaksi Bisnis Klasik dan
Kontemporer, (Surabaya: PMN, 2010).
8) M. Iqbal Hasan, Metode Penelitian dan Aplikasinya, (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2002).
16
5. Teknik Pengumpulan Data
Untuk menghimpun keseluruhan data yang diperlukan, peneliti
menggunakan dua metode pengumpulan data yaitu: observasi dan
wawancara. Dengan prosedur sebagai berikut:
a. Observasi
Teknik ini digunakan untuk melakukan pengamatan langsung
dengan cara melihat, memperhatikan, mendengar, ke lokasi yang
dijadikan sebagai objek penelitian dan mencatat secara sistematis
terhadap fenomena yang akan diteliti.22 oleh penyusun yang
digunakan untuk pengumpulan data tentang:
1) Akad yang dilakukan dalam transaksi
2) Praktik kerjasama pihak mebel dan pemborong cat
3) Praktik nisbah bagi hasil pihak mebel dan pemborong cat
b. Wawancara
Penyusun melakukan pengumpulan data dengan jalan
melakukan tanya jawab lisan secara bertatap muka (face to face)
dengan pemborong mebel, dan pemborong cat, serta para pekerja
setempat. Tujuannya adalah untuk memperoleh data-data guna
menganalisis dari pihak, pemborong mebel atau pemborong cat, di
Kelurahan Tambak Wedi. Wawancara yang digunakan dalam
penelitian ini adalah wawancara bebas terpimpin artinya wawancara
tersebut dilaksanakan dengan menggunakan perangkat-perangkat
17
pertanyaan, tetapi tidak menutup kemungkinan muncul pertanyaan
baru yang ada hubungannya dengan permasalahan. Wawancara
tersebut akan di tujukan antara lain kepada:
1) Pihak mebel, untuk mencari data-data tentang bagaimana
kerjasama dan aturan yang berlaku bagi para pemborong cat yang
akan ikut bekerjasama di dalam memproduksi mebel.
2) Pemborong cat, untuk mencari data serta mengetahui respon yang
ditunjukan oleh pemborong terhadap praktik akad kerjasama dan
nisbah bagi hasil antara pemborong mebel.
3) Pekerja mebel dan cat, untuk mencari data-data pendukung agar
supaya data yang didapat menjedi lebih fariatif.
6. Teknik Pengelohan Data
Untuk memudahkan analisis data yang sudah diperoleh perlu
diolah, adapun teknik pengolahan yang di gunakan dalam pengolahan
data, antara lain:
a. Editing
Editing yaitu mempersiapkan naskah yang siap cetak atau siap
terbit (dengan memperhatikan terutama segi ejaan, diksi dan struktur
kalimat). Di dalam skripsi ini penulis memeriksa kelengkapan dan
kesesuian data. Teknik ini digunakan untuk memeriksa kelengkapan
18
b. Organizing
Organizing yaitu menyusun dan mensistematikkan data yang
diperoleh dalam karangan paparan yang telah direncanakan
sebelumnya, untuk memperoleh bukti-bukti dan gambaran secara jelas
tentang praktik kerjasama dan nisbah bagi hasil antara pemborong
mebel dan cat di Kelurahan Tambak Wedi Kec. Kenjeran Surabaya.
c. Analizing
Analizing yaitu suatu proses pengelompokan dan pengkategorian
data yang dikumpulkan secara sistematis.23 Teknik ini digunakan
untuk memberikan analisa dari data yang telah di deskripsikan dan
menarik kesimpulan tentang tinjauan kerjasama dan nisbah bagi hasil
menurut hukum Islam terhadap praktik di lapangan.
7. Metode Analis Data
Pada skripsi ini penulis menggunakan analisis data kualitatif yaitu
suatu analisis berdasarkan data yang diperoleh di lapangan, selanjutnya
dikembangkan menjadi hipotesis. Berdasarkan hipotesis yang dirumuskan
data tersebut, selanjutnya dicarikan data lagi secara berulang-ulang
sehingga selanjutnya dapat disimpulkan apakah hipotesis tersebut
diterima atau ditolak berdasarkan data yang terkumpul.24
Kemudian data tersebut diolah dan dianalisis dengan pola pikir
Deduktif, yaitu dari permasalahan secara umumnya kemudian kepada
khususnya, yang pada akhirnya ditarik kesimpulan. Dalam penelitian ini
19
permasalahan umumnya adalah praktik kerjasama dan nisbah bagi hasil
pihak mebel dan cat di Kelurahan Tambak Wedi Kec. Kenjeran kota
Surabaya, sedangkan permasalahan khususnya adalah mengenai sudut
pandang hukum Islam, Dimana dari praktik kerjasama dan nisbah bagi
hasil tersebut akan dikhususkan ke dalam sudut pandang hukum Islam
dan akhirnya akan ditarik kesimpulan.
I. Sistematika Pembahasan
Pembahasan dalam skripsi ini terdiri dari lima bab, antara satu bab
dengan bab lainnya saling berhubungan, selanjutnya dalam setiap bab terdiri
dari sub bab. Agar dalam penyusunan skripsi dapat terarah dan teratur sesuai
dengan apa yang direncanakan penulis, maka disusunlah sistematika
pembahasan sebagai berikut. Adapun pembahasannya sebagai berikut:
BAB I : Berisikan pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah,
identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian
pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi
operasional, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
BAB II : Merupakan landasan teori yang membahas tentang akad
kerjasama (musha>rakah), berdasarkan sumber-sumber pustaka
yang mencakup tentang definisi, dasar hukum, rukun,
syarat-syarat, bentuk-bentuk, ketentuan- ketentuan dan berakhirnya
20
BAB III : Membahas tentang hasil penelitian yang berisikan tentang
gambaran umum Kelurahan Tambak Wedi Kec. Kenjeran kota
Surabaya. Tentang praktik kerjasama dan nisbah bagi hasil
antara pemborong mebel dengan pemborong cat, serta akibat
adanya akad kerjasama dan nisbah bagi hasil antara pemborong
mebel dengan pemborong cat di Kelurahan Tambak Wedi Kec.
Kenjeran kota Surabaya terhadap perekonomian masyarakat
setempat.
BAB IV : Berisi tentang Analisis Hukum Islam terhadap akad kerjasama
dan nisbah bagi hasil antara pemborong mebel dengan
pemborong cat di Kelurahan Tambak wedi kec. Kenjeran kota
Surabaya.
BAB V : Dalam bab ini berisikan tentang penutup yang terdiri dari
kesimpulan dan di lengkapi dengan saran-saran yang sifatnya
BAB II
KONSEP KERJASAMA DALAM ISLAM
A. Definisi Musha>rakah / Shirkah
Secara harfiah makna musha>rakah adalah penggabungan, pencampuran,
atau serikat. Sedangkan arti pencampuran di sini adalah pencampuran harta
dengan harta orang lain sehingga tidak mungkin untuk dibedakan.1
Shirkah
(
ةكرش
)
dalam bahasa arab adalah :ا
ام ا ِد ح ا ٌط لٌخ ي ا ٌط َِت خِ ْ
ي ِِ ِر خ أ ِِ ِ ي ل
ا مِهِض ع ب ن ع ِنا زا ت َ َ ٌث
Artinya: “Bercampur yakni bercampurnya salah satu dari kedua harta dengan
yang lainnya sehingga tidak dapat dibedakan antara keduanya.”2
Sedangkan menurut Ibrahim Anis dalam kitab al-Mu’jam al-Wasith, juz I
beliau mengemukakan arti shirkah menurut bahasa sebagai berikut :
ٌه ِم ٌب يِص ن ا مٌه ِم ِ لٌكِل نا ك: ًة ك رِش ت كِر ش
Artinya:“Ia bersekutu dalam suatu persekutuan :masing-masing dari kedua
peserta itu memiliki bagian dari padanya.”3
Adapun menurut istilah, ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh
para fuqaha yaitu :
1 Hendi Suhendi, Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2007), 125.
2 Wahbah Az-Zuhaily, al-Fiqh al-Isla>miy wa Adillatuh, (Beirut: Dar al-Fikr , cet III, 1989), 792. 3 Ibrahim Anis, et. al., al-Mu’jam al-Wasith, juz I, (Kairo: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabiy, Cet. II,
22
1. Menururut Ulama Hana>fayah :
ِح برِ لا و ِلام ا ِس أ ر ِِ ِ ي كِرا ش ت ما ِ ي ب ٌد ق ع
Artinya:“Akad antara dua orang yang berserikat pada pokok harta
(modal) dan keuntungan.”4
2. Menurut Ulama Maliki>yah :
ِفٌر ص تلا ِِ ِن ذِا
مٌ َ ٍلا م ِِ ا مِهِسٌف ن ا ِِا مٌ َا
ا
Artinya:“Izin untuk bertindak secara hukum bagi dua orang yang
bekerjasama terhadap harta mereka.”5
3. Menurut Ulama Syafi>’iyah :
ِحا ولا ِئ ي شلا ِِ ِ ق حا ِت و ب ث ن ع ٌة ر ابِع : ِع ر شلا ِِ و
ِد
ِ ي ص خ شِل
Artinya:“Shirkah menurut syara’ adalah suatu ungkapan tentang tetapnya
hak atas suatu barang bagi dua orang atau lebih secara bersama-sama."6
4. Menurut Ulama Hana>bilah :
ا
ِ شل
ر
ٍفر ص ت و ا ٍقا ق حِت سِا ِِ ع امِت ج ِْ ا يِ ة ك
Artinya:“Shirkah adalah berkumpul atau bersama-sama dalam kepemilikan
atau hak tasarruf.”7
Jika dilihat dari beberapa definisi di atas, maka sesungguhnya perbedaan
yang ada hanya bersifat redaksional, akan tetapi secara esensial prinsipnya
4 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, juz III, (Beirut: Dar al-Fikr, 2006), 931. 5 Ibid.
6 Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad, Kifa>yah al-Akhya>r, Juz I, (Surabaya: Dar al-Ilmi, t.t.)
226.
23
sama, yakni suatu bentuk kerjasama antara dua orang atau lebih dalam sebuah
usaha dan konsekuensi keuntungan dan kerugiannya ditanggung secara
bersama sesuai porsi modal masing-masing.
B. Dasar Hukum Musha>rakah
Musha>rakah mempunyai beberapa landasan hukum yang berasal dari
al-Qur’an, al-Hadis, dan ijmak ulama’. Uraian selengkapnya untuk dasar
hukum musha>rakah tersebut adalah sebagai berikut:
1. al-Qur’an
a) Firman allah surat. ash-Sha>d ayat 24:
.. ..
Artinya: ...Dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal yang saleh... (Qs.Shaad :24).8
b) Firman allah surat. an-Nisa ayat 12:
... ...
Artinya: ...Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu..(Qs. an Nisa
ayat 12).9
2. Hadis Nabi
: لو ق ي َا ع ت ه نِإ : لا ق ٌه ع ف ر, ة ر ي رٌ ْ ا ن ع
ِل َ َ أ
ِحا صا َ د ح أ ن ُ َا م ِ ي ك يِر شلا ث
ه ب
ا ٌا و رُ ا مِهِ ي ب نِم ت ج ر خ ه نا خ ا ذِإ ف
ٌ ب و
د ٌوا
و
َد
8 Kementerian Agama RI, al-Quran dan Terjemahannya, juz 23 (Jakarta: Bumi Restu, 1976), 363.
24
Artinya: “Dari Abu Hurairah, Ia merafakkannya kepada Nabi, beliau
bersabda: sesungguhnya Allah berfirman : Aku adalah orang ketiga dari dua orang yang berserikat, selagi salah satunya tidak mengkhianati temannya. Apabila ia berkhianat kepada
temannya, maka Aku akan keluar dari antara keduanya.” ( HR.
Abu Dawud).10
و ع
ن
ع ب
ِد
ِ َا
ب
ِن
م س
ٌع ٍد
ر
ِض
ي
ٌه
ع
ٌه ق
لا
ِا :
ش ت
ر ك
ٌت
ا
َ
و
ع م
ٌرا
و س
ع ٌد
ِف ي
م نا
ِص
ي
ب
ي و
م ب
د ٍر
ف ج
ءا
س ع
ٌد
ِب
ِس
ي ر ي
ِن
و,
َ
ا ِج
ئ
ا َ
و
ع م
را
ِب
ش
ي ٍء
Artinya: “Dari Abdullah bin Mas’ud r.a, Ia berkata: saya bersekutu dengan
Ammar dan Sa’ad dalam hasil yang kami peroleh pada Perang
Badar. Kemudian Sa’ad datang dengan membawa dua orang
tawanan, sedangkan saya dan Ammar datang dengan tidak
membawa apa-apa.” (HR. An-Nasa>’i).11
3. Taqrir Nabi
Taqrir Nabi adalah ketetapan nabi atas sesuatu yang dilakukan oleh
orang lain, dan merupakan salah satu metodologi yang bisa digunakan
untuk menetapkan sebuah hukum. Relevan dengan akad musha>rakah,
setelah Muhammad diutus menjadi nabi dan rosul, masyarakat telah
mempraktikkan kontrak musha>rakah, kemudian rasulullah menetapkan
akad musha>rakah sah untuk digunakan masyarakat, sebagaimana banyak
juga hadiś rasulullah yang menjelaskan keabsahan akad musha>rakah.12
4. Ijmak Ulama
Ijmak menurut pakar ushul fiqih merupakan salah satu prinsip dari
syariat Islam. Ijmak adalah suatu konsensus (kesepakatan) mengenai
10 Abu Dawud, Sulaiman bin al-Asy’ats as-Sajstani, Sunan Abu Dawud, juz III, (Beirut: Dar- al
Fikr, t, t.), 256.
11 Muhammad Bin Isma’il al-Kahlani, Subul as-Salam, Juz III, (Mesir: Maktabah Wa Mathba’ah
Mushthafa al-Babiy al-Halabiy, Cet. IV, 1960), 64.
25
permasalahan hukum Islam baik dinyatakan secara diam maupun secara
nyata, dan merupakan konsensus seluruh ulama (mujtahid) di kalangan
kaum muslimin pada suatu masa setelah Rasulullah Saw wafat atas hukum
syara’ mengenai suatu kejadian.
Dalam konteks musha>rakah, Ibnu Qudamah dalam kitabnya
al-Mughni, mengatakan: “Kaum muslimin telah berkonsensus terhadap
legitimasi musha>rakah secara global walaupun terdapat perbedaan
pendapat dalam beberapa elemen darinya.”13 Tetapi berdasarkan hukum
yang diuraikan di atas, maka secara tegas dapat dikatakan bahwa kegiatan
musha>rakah dalam usaha diperbolehkan dalam Islam, karena dasar
hukumnya telah jelas dan tegas.
5. Kaidah Fiqhiyah
ن ا َِأ ِة ح ِِ َ ا ِت َ ما ع م ا ِِ ل ص أ ا
د ي
ِل د ل
ا هِ َِر َ ى ل ع ٌل ي
Artinya:“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali
ada dalil yang mengharamkan.”14
C. Macam-Macam Musha>rakah
Para ulama fiqih membagi shirkah menjadi dua bagian, Berikut ini
macam-macam musha>rakah dan penjelasan dari kedua shirkah tersebut :
1. Shirkah al-Amlak
Menurut Wahbah Zuhaily, pengertian Shirkah al-Amlak adalah:
13 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani Pers,
2001), 91.
14 MUI, DSN, BI, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, Edisi Kedua, (Jakarta, MUI, DSN,
26
ر ث ك أ ف ِنا ص خ ش ك ل م ت ي ن أ يِ
ِد ق ع ِ ْ غ نِم اً ي ع
ِة ك رِ شلا
Artinya:“Shirkah milik adalah kepemilikan oleh dua orang atau lebih
terhadap satu barang tanpa melalui akad shirkah.”15
Hak kepemilikan tanpa akad itu dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu:
a. Ikhtiya>ri (Shirkah Amlak Ikhtiya>ri)
Yaitu perserikatan yang muncul akibat tindakan hukum orang
yang berserikat, seperti dua orang A dan B membeli sebuah rumah, atau
dihibahi atau diwarisi sebuah rumah oleh orang lain, dan keduanya A
dan B menerima wasiat atau hibah tersebut. Dalam hal ini, A dan B
bersama-sama memiliki sebuah rumah tersebut secara suka rela dan
tanpa paksaan dari pihak lain.
b. Jabari (Shirkah Amlak Jabari)
Yaitu perserikatan yang muncul karena paksaan, bukan
keinginan orang yang berserikat. Artinya, hak milik oleh pihak yang
berserikat tanpa dikehendaki oleh mereka. Seperti harta warisan berupa
sebuah rumah yang diterima oleh A dan B, rumah tersebut dimiliki
bersama oleh A dan B secara otomatis (paksa), dan keduanya tidak bisa
menolak. Menurut para fuqaha hukum kepemilikan shirkah amlak
disesuaikan dengan hak masing-masing yaitu bersifat sendiri-sendiri
secara hukum. Artinya seseorang tidak berhak menggunakan atau
menguasai milik mitranya tanpa izin dari yang bersangkutan Karena
27
masing-masing mempunyai hak yang sama dan setara. Sayyid Sabiq
mengistilahkan bahwa seakan-akan mereka itu orang asing, hukum
yang terkait dengan shirkah amlak ini secara luas dibahas dalam fiqih
bab wasiat, waris, hibah, dan wakaf.16
2. Shirkah U>qu>d
a. Pengertian Menurut Wahbah Zuhailiy, shirkah uqu>d adalah:
ِ
ي
ِع ب
را ٌة
ع
ن
علا
ق ِد
ولا
ِق
ِع
يب
ِا ث
ِ ي
ف أ
ك ث
ر ِل
ِ ل
ِهِ ِِرِو ٍلا م ِِ ِكا ر ت ش
Artinya:“ Shirkah uqud adalah suatu ungkapan tentang akad yang terjadi
antara dua orang atau lebih untuk bersekutu di dalam modal dan
keuntungannya.”17
Macam-macam Shirkah uqu>d terbagi atas beberapa bagian, antara
lain sebagai berikut:
1) Shirkah ‘Ina>n
Pengertian shirkah ‘ina>n menurut Sayid Sabiq adalah:
و ِ
ي
ا ن
ي
ش
ِ ت
ك
ِا ث
ِنا
ِِ
م
ٍلا
َ
م
ع ا
ل
ت ي ن أ ى
ا م ه ي ب ح ب ِ رلا و ِه يِف ا رِج
Artinya:“Shirkah ‘inan adalah suatu persekutuan atau kerja sama
antara dua pihak dalam harta (modal) untuk diperdagangkan
dan keuntungan dibagi diantara mereka.”18
Sedangkan menurut Wahbah Zuhailiy, shirkah ‘ina>n adalah
kontrak antar dua orang atau lebih, setiap pihak memberikan suatu
porsi dari keseluruhan modal dan berpartisipasi dalam kerja. Semua
28
pihak berbagi dalam keuntungan dan kerugian sebagaimana disepakati
diantara mereka, namun porsi masing-masing pihak (baik dalam
kontribusi modal, kerja ataupun bagi hasil) tidaklah harus sama dan
identik, tapi sesuai dengan kesepakatan mereka.19
Dinamakan shirkah ‘ina>n karena adanya kesamaan hak
pengelolaan dan jumlah nominal yang disetorkan. Akan tetapi yang
masyhur dianut adalah bahwa ‘ina>n tidak disyaratkan adanya
kesamaan pengelolaan dan jumlah nominal modal yang disetor,
sehingga memungkinkan adanya perbedaan jumlah nominal modal
yang di setor oleh para pihak. Di samping itu, hak pengelolaan modal
diatur berdasarkan kesepakatan, sementara pembagian keuntungan
diatur secara proporsional berdasarkan besar kecilnya modal yang
disetorkan.20
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa shirkah ‘ina>n
adalah persekutuan dalam modal, keuntungan dan kerugian. Jika modal
yang di investasikan tersebut sama, maka keuntungan yang di bagikan
pada para pihak boleh sama dan boleh berbeda. Hal ini tergantung pada
kesepakatan yang telah dibuat oleh para pihak pada waktu akad.
Sedangkan perhitungan dalam hal kerugian disesuaikan dengan modal
yang diinvestasikan. Hal ini sesuai dengan kaidah yang berbunyi:
19 Wahbah Az-Zuhailiy, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu,Jilid IV,..., 797.
20 Mansur bin Yunus bin Idris al-Buhti, Kasyf al-Qina’an Matn al-Iqna’, (Beirut: Dar al-Fikr, jilid
29
ا ِ رل ب
ح
ع ل
م ى
ش ا
ر ط
و,ا
لا و
ِض
ي ع ة
ع ل
ق ى
د ِر
لا
م لا
ِ ي
Artinya:“Keuntungan diatur sesuai dengan syarat yang mereka
sepakati, sedangkan kerugian tergantung pada besarnya
modal yang di investasikan.”21
Ulama fiqih sepakat membolehkan shirkah jenis ini, hanya
saja mereka berbeda pendapat dalam menentukan persyaratannya,
sebagaimana mereka berbeda pendapat dalam memberikan namanya.
2) Shirkah Mufawwada>h
a) Pengertian
Mufawwada>h menurut bahasa artinya adalah “persamaan”,
dinamakan shirkah mufawwada>h karena di dalamnya terdapat unsur
persamaan dalam modal, keuntungan, melakukan tasarruf (tindakan
hukum), dan lainnya.22 Sedangkan Wahbah Zuhailiy mendefinisikan
shirkah mufawwada>h adalah sebagai berikut:
و ِ
ي
ِِ
ِ ْا
ص
ِط
َ
ِح
ا :
ن
ي ت ع
قا
د
ِا ث
ِنا
ف أ
ك ث
ر
ع ل
أ ى
ن
ي ش
ِ ت ك
ِِا
ع
م ٍل
ِب
ش ر
ِط
أ
ن
ي ك
و َ
م ت
س
وا ي
ِ ي
ِِ
ر أ
ِس
م
َِِا
م
و ا
ت
ص
ر ِف
ِه
ما
و ِد ي
ِ ِه
م
أ ا
ي
ِم ل
ِت ِه
م
و ا
ي ك
و ن
ك
ل
و
حا
ٍد
ًَ يِف ك ا م ه ِم
ٍع يِب و ٍءا رِش نِم ِه ي ل ع ب َ ا م يِف ِرِخ أا ِن ع
Artinya:“ Shirkah mufawwada>h menurut istilah adalah suatu akad
yang di lakukan oleh dua orang atau lebih untuk bersekutu (bersama-sama) dalam mengerjakan suatu perbuatan dengan syarat keduanya sama dalam modal, tasarruf dan agamanya, dan masing-masing peserta menjadi penanggung jawab atas yang lainnya di dalam hal-hal yang wajib di kerjakan, baik
berupa penjualan maupun pembelian.”23
21 Ibid. 22 Ibid.
30
Dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa shirkah
mufawwada>h adalah suatu perjanjian kerjasama antara beberapa orang
untuk mengerjakan suatu pekerjaan, dimana setiap peserta menjadi
penanggung jawab atas peserta yang lainnya, yakni masing-masing
peserta terikat dengan tindakan yang telah dilakukan oleh peserta yang
lain dalam semua hak dan kewajiban, dengan demikian semua peserta
saling menanggung hak dan kewajiban yang berkaitan dengan kegiatan
usaha yang dilakukan.
Dengan demikian, setiap orang akan menjamin yang lain baik
dalam pembelian ataupun penjualan. Orang yang bersekutu tersebut
saling mengisi dalam hak dan kewajibannya. Selain itu, dianggap tidak
sah jika modal salah seorang lebih besar dari pada yang lainnya, antara
anak kecil dengan orang dewasa, juga antara muslim dan kafir, dan
lain-lain. Apabila persyaratan tersebut tidak terpenuhi, maka shirkah
itu berubah menjadi shirkah ‘inan karena tidak adanya kesamaan,
dengan demikian, tindakan hukum peserta yang satu tidak boleh lebih
besar dari pada tindakan hukum peserta yang lainnya.24
b) Hukum Shirkah Mufawwada>h
Para ulama’ berbeda pendapat pula dalam menghukumi shirkah
ini, Ulama’ Hanafi>yah dan Zaidi>yah membolehkan shirkah ini, dengan
didasarkan pada hadiś Nabi Saw:
31
ف أ و
ض
و
ف ا
ِإ ن
ه أ
ع
ِة ك ر ب لِل م ظ
Artinya:“ Samakanlah modal kalian, sebab hal itu lebih memperbesar
barakah”
Ulama’ Maliki membolehkan jenis shirkah ini, namun bukan
pengertian yang dikemukakan Hanafiyah di atas mereka membolehkan
shirkah ini dalam pengertian bahwa masing-masing pihak yang
melangsungkan akad memiliki kewenangan atau kebebasan dalam
mengolah modal tanpa membutuhkan pendapat sekutunya. Sedangkan
jika didasarkan bahwa salah seorang yang bersekutu tidak berhak
mengolah modalnya sendiri, tetapi harus dilakukan secara
bersama-sama, maka menurut ulama’ Malikiyah disebut shirkah ina>n.
Shirkah Mufawwada>h sebagaimana dipahami oleh ulama’
Malikiyah tidak diperdebatkan oleh ulama’ fiqih lainnya akan tetapi,
ulama’ Syafi’iyah, Hanabilah, dan kebanyakan ulama fiqih lainnya
menolak dengan alasan, shirkah semacam ini tidak dibenarkan oleh
syariat disamping itu, untuk merealisasikan adanya kesamaan sebagai
syarat dalam perkongsian ini sangatlah sulit, dan mengundang unsur
garar (penipuan) oleh karena itu, dipandang tidak sah sebagaimana
pada jual beli garar.
Berkaitan dengan hal itu, Imam Syafi>’i berkomentar beliau
mengatakan: “seandainya shirkah mufawwada>h dikatakan tidak batal,
32
disebutkan di atas tidak dikenal (garar ma’ruf) dan tidak diriwayatkan
oleh para ahli hadis asha>b su>nan (ulama’ pengarang kitab-kitab sunan).
Bahkan hadis di atas, tidak dimaksudkan dalam masalah akad
semacam ini.25 Sedangkan Imam Syafi’i tidak membolehkannya.
beliau mengatakan:
ِا ذ
َ ا
ت
ك
ن
ِش ر
ك ة
لا
م ف
وا
ض
ِة
ِ ِط
ل ًة
ف َ
ع أ لِط ِ
ا ي ندلا ِِ ه فِر
Artinya:“ Apabila shirkah mufawwada>h tidak batal, maka tidak ada
lagi sesuatu yang batal yang saya ketahui di dunia ini.”26
Syafi’i berpendapat bahwa shirkah mufawwada>h adalah suatu
akad yang tidak ada dasarnya dalam syara’. Untuk mewujudkan
persamaan dalam berbagai hal merupakan hal yang sulit, karena
didalamnya ada unsur garar (tipuan) dan ketidak jelasan. Sedangkan
hadiś yang digunakan sebagai dasar oleh Hanafiyah merupakan hadiś
yang tidak sohi>h dan tidak dapat diterima.27
3) Shirkah Abdan atau A’mal
a) Pengertian Menurut Sayyid Sabiq, shirkah abdan yaitu:
ِ
ي
أ ن
ي ت
ِف
ق
ِإ ث
ِنا
ع ل
أ ى
ن
ي ت
ق ب
َ
ِم
ن
أا
ع م
ًَ
ع ل
ا ى
ن
ت
ك
و ن
أ
ج ر
ٌة
ذ
اا
ل ع
م ِل
ب ي
ه م
حا
س
ب
ِ ْا
ِ ت ف
ِقا
Artinya:”Shirkah abdan adalah kesepakatan antara dua orang atau
lebih untuk menerima suatu pekerjaan dengan ketentuan upah
kerjanya dibagi diantara mereka sesuai dengan kesepakatan.28
25 Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtaṣ id, juz III, (Bairut: Darul-Qalam, 1988),
248.
26 Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah,Juz III,..., 296. 27 Ibid.
33
Dari definisi diatas sudah sangat jelas dan dapat difahami,
bahwa shirkah Abdan (atau disebut juga dengan shirkah a’mal) adalah
persekutuan antara dua pihak untuk menerima suatu pekerjaan yang
akan dikerjakan bersama-sama, kemudian keuntungan dibagi diantara
keduanya dengan menetapkan persyaratan tertentu. Seperti misalnya
kerjasama antara tukang batu dan tukang kayu untuk mengerjakan
pembangunan sebuah rumah .
b) Hukum Shirkah A’mal/Abdan
(1) Berbentuk Mufawwada>h
Apabila shirkah a’mal berupa shirkah mufawwada>h, maka
semua ketentuan yang berkaitan dengan shirkah mufawwada>h
harus diikuti. Contoh shirkah mufawwada>h: dua orang menerima
suatu pekerjaan dengan cara berserikat, maka keduanya harus
menanggung pekerjaan tersebut secara seimbang. Begitu pula
dalam keuntungan dan kerugian selain itu hendaklah seorang
diantara mereka dapat menjadi penjamin rekannya.
(2) Berbentuk ‘Ina>n
Apabila shirkah abdan ini berbentuk shirkah ‘ina>n, maka
kegiatan dan keputusan yang diambil oleh salah seorang anggota
serikat juga mengikat pada anggota serikat yang lainnya.
Ketetapan pada shirkah ‘ina>n sebenarnya hampir sama dengan
ketetapan pada shirkah mufawwada>h di atas apabila dihubungkan
34
boleh saja menyuruh rekannya kapan saja, sebagaimana rekannya
juga dapat meminta upah kapan saja. Segi kebaikan dari shirkah
ini adalah dapat menuntut pekerjaan dari salah seorang yang
bersekutu, untuk selanjutnya menjadi tanggung jawab bersama.
c) Pembagian Laba (Keuntungan)
Pembagian laba pada shirkah ini bergantung pada tanggungan,
bukan pada pekerjaan. Apabila salah seorang pekerja sedang
melakukan pekerjaannya, sedangkan lainnya tidak bekerja dikarenakan
sakait atau bepergian, maka upah tetap diberikan sesuai dengan
persyaratan yang telah disepakati bersama.
Seperti contoh pekerja catering yang mempekerjakan orang
lain untuk menyelesaikan pesanan kue, disini tanggung jawab atas
borongan pekerjaan ada pada pekerja catering, sehingga meskipun ia
tidak bekerja, maka ia tetap mendapatkan upah. Hal ini dapat dilihat
pada Pasal 1392 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Islam, yang
berbunyi: “Orang yang bermitra berhak atas keuntungan mereka,
karena tanggung jawab mereka untuk melaksanakan pekerjaan. Oleh
karena itu, jika seorang dari mereka tidak melakukan pekerjaan,
misalnya karena sakit atau malas, dan hanya mitranya saja yang
melakukan pekerjaan, sekalipun demikian, keuntungan yang diterima
harus tetap dibagi dengan cara yang sudah disyaratkan.29
35
4) Shirkah Wujuh
a) Pengertian Shirkah wujuh yaitu kerjasama antara dua pihak atau lebih
untuk memperdagangkan suatu barang titipan milik pihak ketiga
disamping memperdagangkan barang titipan, para pihak bisa juga
berserikat dalam pembelian sesuatu dengan pembayaran ditangguhkan
untuk dijual secara tunai.
Dengan demikian, dalam bentuk yang pertama, pihak yang
menerima titipan dapat mengembalikan barang titipan kepada pemilik
barang jika barang tersebuttidak laku dijual. Sementara dalam bentuk
yang kedua barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan.30
Sedangkan menurut Sayyid Sabiq, shirkah wujuh adalah:
ِ
ي أ
ن
ي ش
ِ ت
ي
ِإ ث
ِنا
ف أ
ك ث
ر ِم
ن
لا
ِسا
د
و ن
ا
ن
ي ك
و ن
َ م
ر أ
س
م
ٍلا
ِإ
ع ِت
ما
ًد
ع ا
لى
ج
ِا
ِه م
و ِث ق
ِة
تلا
ج
ِرا
ِِب
م ,
ى ل ع
ة ك رِ شلا ن و ك ت ن ا
ِح بِ رلا ِِ م ه ي ب
Artinya:“ Shirkah wujuh adalah pembelian yang dilakukan oleh dua
orang atau lebih dari orang lain tanpa menggunakan modal, dengan berpedang kepada penampilan mereka dan kepercayaan para pedagang terhadap mereka, dengan
ketentuan mereka bersekutu dalam keuntungan.31
Penamaan wujuh karena tidak terjadi jual beli secara tidak
kontan jika keduanya tidak dianggap sebagai pemimpin dalam
pandangan manusia secara adat. Perserikatan ini pun dikenal sebagai
bentuk perserikatan adanya tanggung jawab bukan karena modal atau
36
pekerjaan.32 Dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa shirkah
wujuh adalah suatu shirkah atau kerjasama antara dua orang atau lebih
untuk membeli suatu barang tanpa menggunakan modal. Mereka
berpegang pada penampilan dan kepercayaan para pedagang terhadap
mereka dengan demikian, transaksi yang diguankan adalah dengan cara
berhutang dengan perjanjian tanpa pekerjaan dan tanpa harta (modal).
b) Syarat-Syarat Shirkah Wujuh
Apabila shirkah wujuh ini berbentuk mufawwada>h, maka yang
berlaku adalah syarat-syarat dari shirkah mufawwada>h yang telah
disebutkan di atas, yang pada intinya harus sama dalam berbagai hal.
Sedangkan jika berbentuk ina>n, maka tidak ada persyaratan
mufawwada>h, dan dibolehkan salah seorang aqid melebihi yang
lainnya hanya saja, keuntungan harus didasarkan pada kadar
tanggungan jika meminta lebih, maka akad batal.33
c) Hukum (Ketetapan Shirkah Wujuh)
Menurut Hanafiyah, Hana>bilah, dan Zaidi>yah, shirkah wujuh
hukumnya boleh, karena bentuknya berupa satu jenis pekerjaan.
Kepemilikan terhadap barang yang dibeli boleh berbeda antara satu
peserta dengan peserta yang lainnya. Sedangkan keuntungan dibagi
diantara para peserta, sesuai dengan besar kecilnya bagian
masing-masing dalam kepemilikan atas barang yang dibeli akan tetapi,
37
Maliki>yah, Syafi>’iyah, dan Ẓahiri>yah berpendapat bahwa shirkah
wujuh hukumnya batal dengan alasan bahwa shirkah selalu berkaitan
dengan harta dan pekerjaan, sedangkan dalam shirkah wujuh, keduanya
(harta dan pekerjaan) tidak ada, yang ada hanya penampilan para
anggota serikat, yang diandalkan untuk mendapatkan kepercayaan dari
para pedagang.34
Ulama’ Hana>bilah meskipun membolehkan shirkah wujuh,
mereka mensyaratkan harus berbentuk ina>n. Jika melarang shirkah
yang berbentuk mufawwada>h, tidak ada ketetapan syariat, sebab
mengandung unsur garar (penipuan).35
D. Rukun dan Syarat Shirkah
1. Rukun Shirkah
Rukun shirkah adalah sesuatu yang harus ada ketika shirkah itu
berlangsung. Ada perbedaan pendapat terkait dengan rukun shirkah
menurut ulama’ Hanafiyah, rukun shirkah hanya ada dua, yaitu ija>b
(ungkapan penawaran melakukan perserikatan) dan qabu>l (ungkapan
penerimaan perserikatan).
Menurut ulama’ Hanafiyah, jika ada yang menambahkan selain ija>b
dan qabu>l dalam rukun shirkah seperti adanya dua belah pihak yang
berakad dan objek akad, maka itu bukan termasuk rukun, akan tetapi hal
38
itu termasuk syarat.36 Sedangkan menurut Abdurrahman al-Jaziri, rukun
shirkah meliputi:
a. Dua orang yang berserikat (aqida>in)
b. Objek akad (ma’qu>d ala>ih) shirkah, baik itu berupa modal, kerja,
keuntungan dan kerugian.
c. Shighat yakni ija>b dan qabu>l.
Adapun menurut jumhur ulama, rukun shirkah sama dengan apa
yang dikemukakan oleh al-Jaziri di atas.37
2. Syarat-Syarat Shirkah
Menurut Hanafiyah, yang ada dalam kitab al-fiqh ‘ala Madzahib
al-Arba’ah, dikatakan bahwa syarat-syarat shirkah terbagi atas tiga macam:
a. Syarat yang berkaitan dengan aqi>d (pihak yang berakad), yakni :
Setiap aqi>d (yang berakad) harus ahli dalam perwakilan dan
jaminan, yakni keduanya harus merdeka, baligh, berakal, sehat, dan
dewasa.
b. Syarat yang berkaitan dengan waktu antara lain :38
1) Penentuan lamanya waktu perjanjian harus disesuaikan dengan
usaha yang dikerjakan.
2) Jika waktu yang ditentukan telah habis dan hasil usahanya belum
diketahui, maka akadnya akan menjadi fasid (rusak).
36 Ibid, 804.
37 Abdurrahman Ghazaly, Dkk., Fiqh Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010), 129.
39
c. Syarat yang terkait dengan ma>l (harta) antara lain :
1) Modal yang dijadikan objek akad shirkah adalah dari alat
pembayaran yang sah (nuqud).
2) Adanya pokok harta (modal) ketika akad berlangsung baik
jumlahnya sama atau berbeda.
d. Syarat berkaitan dengan keuntungan :
1) Harus ada kejelasan dalam pembagian keuntungan jika keuntungan
masih belum jelas, maka akad musha>rakah akan menjadi fasid. Akad
musha>rakah juga bisa menjadi fasid jika keuntungan dibagikan
sebelum diketahui hasil dari usahanya.
2) Menurut Ulama’ Hanafi>yah, pembagian keuntungan bergantung
pada besarnya modal dengan demikian, keuntungan bisa berbeda,
jika modal berbeda-beda, tidak dipengaruhi oleh pekerjaan.
Akan tetapi, menurut Ulama’ Hanafi>yah selain Zufar, boleh
ditetapkan pembagian keuntungan bagi salah satu anggota serikat
berbeda (lebih besar), namun dengan syarat harus disertai dengan
imbalan pekerjaan yang lebih besar dari pada anggota serikat
lainnya.
Hal tersebut dikarenakan menurut mereka pemberian
keuntungan didasarkan atas ma>l (modal), pekerjaan (amal), dan
da>man (tanggung jawab). Dalam hal ini tambahan keuntungan
disebebkan oleh tambahan pekerjaan.39 Ulama’ Hana>bilah seperti
40
pendapat ulama Hanafiyah di atas, membolehkan adanya kelebihan
keuntungan salah seorang aqi>d, tetapi kerugian harus dihitung
berdasarkan modal masing-masing.40
E. Porsi Modal, Teknik Perhitungan Bagi Hasil dalam Musha>rakah
Musha>rakah merupakan kerjasama antara pemilik modal atau lembaga
keuangan dengan pedagang/pengelola, dimana masing-masing pihak
memberikan kontribusi modal dengan keuntungan di bagi menurut
kesepakatan di muka dan apabila rugi ditanggung oleh kedua belah pihak yang
bersepakat. Bagi hasil atau profit loss sharing adalah prinsip pembagian laba
yang diterapkan dalam kemitraan kerja, dimana posisi bagi hasil ditentukan
pada saat akad kerjasama. Jika usaha mendapatkan keuntungan, porsi bagi
hasil adalah sesuai dengan kesepakatan, namun jika terjadi kerugian maka
porsi bagi hasil disesuaikan dengan kontribusi modal masing-masing pihak.
Dasar yang digunakan dalam perhitungan bagi hasil adalah berupa laba
bersih usaha, setelah dikurangi dengan biaya operasional. Pengertian lain
menyatakan bahwa bagi hasil adalah suatu system yang meliputi tata cara
pembagian hasil usaha antara penyedia dana dengan pengelola dana, bagi hasil
usaha ini terjadi antara pihak pemodal dengan pengelola, maupun antara bank
dengan nasabah penerima dana (pengelola), bentuk produk yang berdasarkan
prinsip bagi hasil ini adalah mud}a>rabah dan musha>rakah.41 Profit and loss
sharing, yaitu system bagi hasil keuntungan dan kerugian yang terjadi
41
ditanggung oleh kedua belah pihak, mud}a>rib dan s}ahib al-ma>l.42 Nisbah dapat
ditentukan melalui dua cara:
1. Pembagian keuntungan proposional sesuai modal
Dengan cara ini keuntungan harus dibagi diantara para mitra secara
proposional sesuai modal yang disetorkan.
2. Pembagian keuntungan tidak proposional sesuai dengan modal
Dengan cara ini, dalam penentuan nisbah yang dipertimbangkan
bukan hanya modal yang disetorkan tapi juga tanggung jawab,
pengalaman, kompetensi atau waktu kerja yang lebih panjang.
F. Berkhirnya atau Batalnya Musha>rakah
Perkara yang membatalkan shirkah terbagi atas dua hal, yaitu yang
sifatnya umum dan berlaku untuk semua shirkah , dan ada yang khusus untuk
shirkah tertentu, bukan untuk shirkah yang lainnya.
1. Sebab yang membatalkan shirkah secara umum adalah:
a. Pembatalan dari salah seorang yang berserikat Ini dikarenakan akad
shirkah adalah akad yang jaiz dan gairu lazim, jadi memungkinkan
untuk di fasakh.
b. Meningg