• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profil berpikir intuitif siswa SMA dalam memecahkan masalah teka-teki matematika ditinjau dari gaya kognitif reflektif dan impulsif siswa.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Profil berpikir intuitif siswa SMA dalam memecahkan masalah teka-teki matematika ditinjau dari gaya kognitif reflektif dan impulsif siswa."

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

PROFIL BERPIKIR INTUITIF SISWA SMA DALAM MEMECAHKAN MASALAH TEKA-TEKI MATEMATIKA DITINJAU DARI GAYA KOGNITIF REFLEKTIF DAN IMPULSIF SISWA

SKRIPSI

Oleh: ABDUL MUIZ NIM D74213046

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

JURUSAN PMIPA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

PROFIL BERPIKIR INTUITIF SISWA SMA DALAM MEMECAHKAN

MASALAH TEKA-TEKI MATEMATIKA DITINJAU DARI GAYA KOGNITIF REFLEKTIF DAN IMPULSIF SISWA

Oleh: ABDUL MUIZ

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan (1) profil berpikir intuitif siswa SMA dalam memecahkan masalah teka-teki matematika ditinjau dari gaya kognitif reflektif, (2) profil berpikir intuitif siswa SMA dalam memecahkan masalah teka-teki matematika ditinjau dari gaya kognitif impulsif. Jenis intuisi yang digunakan adalah jenis intuisi menurut Fischbein. Kategori intuisi menurut Fischbein: (1) Intuisi Afirmatori; (2) Intuisi Antisipatori.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Subjek pada penelitian ini diambil dengan menggunakan purposive sampling. Subjek pada penelitian ini adalah siswa SMA Muhammadiyah 3 Sidoarjo kelas XI semester genap tahun pelajaran 2016/2017. Subjek penelitian ini sebanyak 4 orang yang terdiri dari 2 orang siswa yang memiliki gaya kognitif reflektif dan 2 orang siswa yang memiliki gaya kognitif impulsif. Data penelitian ini berupa profil berpikir intuitif siswa dalam memecahkan masalah teka-teki matematika, dengan sumber data berasal dari hasil tes pemecahan masalah teka-teki matematika siswa dan hasil wawancara. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara berbasis tugas. Instrumen penelitian ini yaitu lembar tes pemecahan masalah teka-teki matematika, dan pedoman wawancara.

Berdasarkan hasil analisis data menunjukkan bahwa profil intuisi siswa SMA dalam memecahkan masalah teka-teki matematika adalah sebagai berikut: (1) Intuisi yang digunakan subjek yang memiliki gaya kognitif reflektif dalam memecahakan masalah teka-teki matematika adalah intuisi afirmatori dengan indikator intuisi yang muncul adalah self evidence, intrinsic centainty, coerciveness, extrapolativeness, dan implicitness. Selain itu subjek yang memiliki gaya kognitif reflektif juga menggunakan intuisi antisipatori dengan indikator intuisi yang muncul adalah globality saja. (2) Intuisi yang digunakan subjek yang memiliki gaya kognitif impulsif dalam memecahakan masalah teka-teki matematika adalah intuisi afirmatoridengan indikator intuisi yang muncul adalah

coerciveness, extrapolativeness, dan implicitness. Selain itu subjek yang memiliki gaya kognitif impulsif juga menggunakan intuisi antisipatori dengan indikator intuisi yang muncul adalah globality, namun salah satu subjek yang memiliki gaya kognitif impulsif juga memenuhi indikator perseverance.

(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... iv

PERSEMBAHAN ... v

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Batasan Penelitian ... 6

F. Definisi Operasional ... 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Berpikir ... 9

B. Berpikir Intuitif ... 10

C. Karakteristik dan Jenis Intuisi ... 12

D. Intuisi dalam Pemecahan Masalah ... 16

E. Teka-Teki Matematika ... 19

(8)

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian ... 27

B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 27

C. Subjek Penelitian ... 27

D. Teknik Pengumpulan Data ... 29

E. Instrumen Penelitian ... 30

F. Teknik Analisis Data ... 31

G. Prosedur Penelitian ... 34

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi dan Analisis Data Intuisi Siswa dengan Gaya Kognitif Reflektif ... 38

B. Deskripsi dan Analisis Data Intuisi Siswa dengan Gaya Kognitif Impulsif ... 59

BAB V PEMBAHASAN A. Profil Berpikir Intuitif Siswa yang Memiliki Gaya Kognitif Reflektif dalam Memecahkan Masalah Teka-Teki Matematika ... 81

B. Profil Berpikir Intuitif Siswa yang Memiliki Gaya Kognitif Impulsif dalam Memecahkan Masalah Teka-Teki Matematika ... 84

BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 89

B. Saran ... 89

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel

2.1 Indikator Jenis Intuisi dalam Pemecahan Masalah ... 18

3.1 Daftar Subjek Penelitian ... 28

3.2 Nama Validator Instrumen Penelitian ... 31

4.1 Hasil Analisis Intuisi Subjek S1 ... 44

4.2 Hasil Analisis Intuisi Subjek S2 ... 55

4.3 Hasil Analisis Intuisi Subjek S3 ... 67

(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar

2.1 Teka-Teki Enam Kandang Domba ... 21

2.2 Solusi Teka-Teki Enam Kandang Domba ... 21

4.1 Jawaban Tertulis Subjek S1 ... 38

4.2 Jawaban Tertulis Subjek S2 ... 48

4.3 Perhitungan Subjek S2 untuk Mencari Luas Bangun Nomor 2 ... 53

4.4 Jawaban Tertulis Subjek S3 ... 60

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Tes MFFT ... 97

Lampiran 2 Lembar Tes PMTTM ... 129

Lampiran 3 Lembar Validasi I Tes PMTTM ... 132

Lampiran 4 Lembar Validasi II Tes PMTTM ... 134

Lampiran 5 Lembar Validasi III Tes PMTTM ... 136

Lampiran 6 Pedoman Wawancara ... 138

Lampiran 7 Lembar Validasi I Pedoman Wawancara ... 141

Lampiran 8 Lembar Validasi II Pedoman Wawancara ... 143

Lampiran 9 Lembar Validasi III Pedoman Wawancara ... 145

Lampiran 10 Hasil Analisis Tes MFFT Kelas XI-IPA-1 ... 147

Lampiran 11 Transkrip Wawancara ... 148

Lampiran 12 Surat Ijin Penelitian ... 155

Lampiran 13 Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian ... 156

Lampiran 14 Surat Tugas ... 157

Lampiran 15 Kartu Konsultasi Skripsi ... 158

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kegiatan pembelajaran matematika tentu tidak akan terlepas dari

masalah matematika. Pemecahan masalah merupakan hal yang sangat penting dalam pembelajaran matematika, kemampuan memecahkan masalah merupakan hal penting yang harus dilatihkan pendidik kepada para siswa. Melalui kegiatan memecahkan masalah, siswa dapat menemukan aturan baru yang lebih tinggi tarafnya sekalipun siswa

mungkin tidak dapat merumuskannya secara verbal1. Keterampilan serta

kemampuan berpikir yang didapat ketika siswa memecahkan masalah diyakini dapat ditransfer atau digunakan siswa tersebut ketika menghadapi masalah di dalam kehidupan sehari-hari. Karena dalam kehidupan sehari-hari setiap siswa, pasti akan ada saat siswa dihadapkan dengan suatu masalah.

Saat siswa dihadapkan pada masalah matematika yang menuntut untuk segera ditemukan penyelesaiannya, mungkin saja siswa dapat menyelesaikan masalah tersebut dengan segera. Siswa dapat menyelesaikan suatu masalah dengan segera apabila mereka telah memiliki pengetahuan dan pengalaman yang baik mengenai masalah tersebut. Sebaliknya ketika mereka mengalami kebuntuan dalam

menyelesaikannya, tentu mereka akan cenderung berusaha

menyajikannya dengan perantara atau model (yang berupa gambar, grafik, atau coretan-coretan lainnya) agar secara intuitif masalah tersebut

mudah diterima dan dipahami2. Pada kondisi seperti inilah kemampuan

intuisi dipandang penting untuk dimiliki siswa, sebab intuisi akan membantu siswa dalam melakukan lompatan pikiran ke arah pemecahan masalah yang diinginkan. Argumen tersebut sesuai dengan pendapat Fischbein yang mengatakan bahwa intuisi dapat dijadikan sebagai

mediating cognitive”. Dalam pengertian ini, intuisi dapat dijadikan jembatan pemahaman seorang siswa sehingga dapat memudahkan dalam mengaitkan objek yang dibayangkan dengan alternatif solusi yang

1 S. Nasution, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar & Mengajar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), 173.

(13)

2

diinginkan3. Dengan kata lain, intuisi mampu membantu menentukan

strategi atau langkah yang harus dilakukan untuk mencapai solusi suatu permasalahan.

Fischbein menjelaskan bahwa intuisi atau biasa disebut sebagai kognisi intuitif, selain berperan untuk membuat dugaan atau klaim dalam suatu pemecahan masalah matematika, intuisi juga memainkan peran dalam pemberian makna atau interpretasi informal terhadap suatu definisi, teorema, rumus dan strategi penyelesaian tertentu. Dimana penggunaan definisi dan teorema adalah ciri dari kognisi formal, sedangkan penggunaan rumus dan strategi penyelesaian adalah ciri dari kognisi algoritmik4. Hal ini menunjukkan bahwa intuisi mendukung peran

kognisi formal dan kognisi algoritmik dalam pemecahan masalah matematis.

Pemecahan masalah dalam matematika adalah suatu aktivitas untuk mencari solusi dari soal matematika yang dihadapi dengan melibatkan semua bekal pengetahuan (telah mempelajari konsep-konsep) dan bekal pengalaman (telah terlatih dan terbiasa menghadapi atau menyelesaikan soal) yang tidak menuntut adanya pola khusus mengenai cara atau strategi penyelesaiannya5. Sehingga proses pemecahan masalah

dapat dibagi menjadi duabagian, yaitu (1) seseorang menempuh melalui

langkah demi langkah yang formal atau analitis (seperti menggunakan

rumus, aturan logika) dan (2) mungkin juga adakalanya apabila

masalahnya dirasa asing atau bahkan sama sekali tidak ada hubungannya dengan pengetahuan informal seseorang dapat menyelesaikan secara langsung, spontan, cepat dan kurang teratur langkah-langkahnya dalam menyelesaikan masalah tersebut6, yang berarti bagian keduaini tergolong

berpikir intuitif.

Secara umum, masalah matematika selalu identik dengan pencacahan dan perhitungan yang mempunyai hasil akhir yang bernilai pasti. Akan tetapi, matematika sebenarnya adalah sebuah ilmu yang menggabungkan logika dalam berpikir, berimajinasi, menganalisis, serta kemampuan menghitung. Hal ini terlihat dari begitu banyaknya cabang ilmu matematika yang menggabungkan seluruh kemampuan tersebut,

3 Ibid, halaman 251. 4 Ibid, halaman 252.

5 Muniri, “Karakteristik Berpikir Intuitif Siswa dalam Menyelesaikan Masalah Matematika”, Makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, Yogyakarta, 9 November 2013, 1.

(14)

3

misalnya statistika, matematika diskrit, matematika kombinatorik, analisis, aljabar, teori bilangan, matematika rekreasi, dan lain-lain7.

Salah satu cabang matematika yang menarik peneliti adalah matematika rekreasi. Matematika rekreasi seringkali digunakan oleh matematikawan untuk bermain-main karena rasa penasarannya yang ingin mengerjakan. Selain itu, matematika rekreasi juga digunakan untuk mengasah logika dalam kesenangan tetapi tetap serius, mengetahui indahnya matematika dalam hidup, mengeksplorasi keajaiban matematika, melacak kebenaran hasil matematika, serta melatih ketelitian. Matematika Rekreasi sering melibatkan teka-teki matematika (puzzle matematika). Teka-teki matematika adalah permainan yang membutuhkan ilmu matematika agar mendapat hasil atau jawaban yang diinginkan. Teka-teki ini memiliki peraturan yang cukup spesifik dan rumit8. Di dalam menyelesaikan teka-teki matematika, pemain harus

menemukan jawaban (solusi) dalam bermain berdasarkan peraturan yang berlaku di permainan tersebut. Sehubungan dengan itu, dalam menyelesaikan masalah teka-teki matematika dibutuhkan kemampuan pemecahan masalah matematis9, karena masalah teka-teki matematika

dirasa asing bagi siswa, akibatnya siswa menyelesaikan secara langsung, spontan, cepat dan kurang teratur langkah-langkahnya (berpikir intuitif) untuk memecahkan masalah teka-teki matematika tersebut.

Banyak faktor yang mempengaruhi individu dalam memecahkan masalah matematika, salah satunya adalah gaya kognitif. Gaya kognitif adalah karakteristik individu dalam penggunaan fungsi kognitif (berpikir, mengingat, memecahkan masalah, membuat keputusan, mengorganisasi dan memproses informasi, dan seterusnya) yang bersifat konsisten dan berlangsung lama. Gaya kognitif menempati posisi yang penting dalam proses pembelajaran. Bahkan gaya kognitif merupakan salah satu variabel belajar yang perlu dipertimbangkan dalam merancang pembelajaran10.

Sebagai salah satu variabel pembelajaran, gaya kognitif mencerminkan

7Endah Dwi Purwantari dan Julan Hernadi, “Strategi Menyelesaikan Puzzle yang Memuat Aspek Matematika”, Jurnal Prodi Pendidikan Matematika, FKIP, Universitas

Muhammadiyah Ponorogo (2015), 1. 8 Ibid, halaman 2.

9 Ibid

10 Budi Usodo, “Profil Intuisi Mahasiswa Dalam Memecahkan Masalah Matematika

Ditinjau Dari Gaya Kognitif Field Dependent dan Field Independe” (Paper presented at

(15)

4

karakteristik siswa, disamping karakteristik lainnya seperti motivasi, sikap, minat, kemampuan berpikir, dan sebagainya.

Sejumlah gaya kognitif sudah diidentifikasi dalam beberapa pustaka, misalnya Abdurrahman mengatakan bahwa salah satu dimensi gaya kognitif yang memperoleh perhatian paling besar dalam pengkajian anak berkesulitan belajar yaitu gaya kognitif reflektif dan gaya kognitif impulsif11. Gaya kognitif reflektif dan gaya kognitif impulsif pertama kali

dikemukakan Jerome Kagan tahun 1965. Kaganmengelompokkan gaya

kognitif anak menjadi 2 kelompok, yakni: gaya kognitifreflektif dan gaya kognitif impulsif. Anak yang memiliki karakteristik lambat dalam menjawab tetapi cermat, sehingga jawaban masalah cenderung betul, disebut memiliki gaya kognitif reflektif sedangkan anak yang memiliki karakteristik cepat dalam menjawab masalah, tetapi tidak cermat sehingga jawaban masalah cenderung salah, disebut memiliki gaya kognitif impulsif12. Dengan demikian dapat disimpulkan dari kedua gaya kognitif

tersebut masing-masing siswa memiliki cara tersendiri dalam menyelesaikan masalah teka-teki matematika.

Sebelumnya juga telah disebutkan bahwa gaya kognitif reflektif dan gaya kognitif impulsif akan terkait dengan teliti atau tidak teliti nya seorang siswa dalam memecahkan masalah. Untuk memecahkan masalah sangat dibutuhkan ketelitian yang tinggi dalam memilih konsep, prinsip dan cara yang tepat agar diperoleh solusi yang tepat pula. Melatih ketelitian siswa dalam pelaksanaan pembelajaran merupakan hal yang cukup penting agar siswa terampil memecahkan masalah matematika.

Alasan pemilihan gaya kognitif ini dikarenakan gaya kognitif impulsif memiliki karakter untuk membuat keputusan dengan cepat dan merespon apa yang terlintas dalam pikiran daripada dengan pemeriksaan yang kritis, hal itu terkait dengan ciri intuisi yang diperoleh secara langsung atau segera, tidak membutuhkan kemampuan mendefinisikan istilah yang digunakan, dan tidak membutuhkan pembenaran atau pembuktian yang ketat. Sementara gaya kognitif reflektif merupakan tipe gaya kognitif yang memiliki karakter untuk menghabiskan lebih banyak waktu untuk memeriksa masalah, mempertimbangkan solusi alternatif, dan akan memeriksa ketepatan dan kelengkapan hipotesis. Dalam hal ini,

11 Mulyono Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar (Jakarta: Rineka Cipta, 1999), 24.

12 Rusmiati Manurung, Skripsi: “Profil Pemecahan Masalah Matematika Open-Ended

Siswa Yang Bergaya Kognitif Impulsif Dan Reflektif”. (Surabaya: UIN Sunan Ampel, 2015),

(16)

5

siswa membutuhkan pengetahuan dan intuisi yang akan digunakan sebagai stimulus dalam memeriksa masalah dan mempertimbangkan solusi alternatif13.

Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Abdul Muin yang menunjukkan bahwa pengetahuan awal yang relevan dan intuisi sangat berguna dalam memecahkan masalah untuk menciptakan situasi yang dapat membawa proses pemikiran reflektif yaitu, pemilihan tindakan atau alternatif solusi, dan pengambilan keputusan mengenai tindakan atau solusi yang dibuat atau diperoleh14.

Budi Usodo juga menyatakan bahwa hanya menggunakan proses berpikir analitik dan logika saja belum tentu selalu diperoleh jawaban dari masalah, karena dalam memecahkan masalah terkadang diperlukan dugaan atau klaim suatu pernyataan tanpa harus membuktikan, yaitu intuisi15. Uraian ini juga cukup kuat dijadikan salah satu alasan dipilihnya

gaya kognitif reflektif dan impulsif untuk dikaji lebih lanjut yang terkait dengan profil berpikir intuitif siswa dalam memecahkan masalah teka-teki matematika.

Dari beberapa uraian di atas kiranya cukup dijadikan alasan yang kuat bagi peneliti untuk melakukan penelitian tentang “Profil Berpikir Intuitif Siswa SMA dalam Memecahkan Masalah Teka-Teki Matematika Ditinjau dari Gaya Kognitif Reflektif dan Impulsif Siswa”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana profil berpikir intuitif siswa SMA yang memiliki gaya kognitif reflektif dalam memecahkan masalah teka-teki matematika? 2. Bagaimana profil berpikir intuitif siswa SMA yang memiliki gaya kognitif impulsif dalam memecahkan masalah teka-teki matematika?

13 Ahmad Nasriadi, “Berpikir Reflektif Siswa SMP dalam memecahkan Masalah Matematika Ditinjau dari Perbedaan Gaya Kognitif”, ISSN 2355-0074, 3: 1 (April, 2016), 18.

14 Abdul Muin,. “The Situations That Can Bring Reflective Thinking Process In Mathematics Learning”, Paper presented at International Seminar and the Fourth National Conference on Mathematics Education, (2011), 157.

(17)

6

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diberikan sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan:

1. Profil berpikir intuitif siswa SMA yang memiliki gaya kognitif reflektif dalam memecahkan masalah teka-teki matematika. 2. Profil berpikir intuitif siswa SMA yang memiliki gaya kognitif

impulsif dalam memecahkan masalah teka-teki matematika.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagi Guru

Deskripsi profil berpikir intuitif siswa SMA dalam memecahkan masalah teka-teki matematika yang memiliki gaya kognitif reflektif dan impulsif dapat digunakan guru sebagai bahan pertimbangan untuk merancang pembelajaran yang dapat mengeksplor dan mengembangkan kemampuan berpikir intuitif siswa dalam upaya perbaikan pengajaran di sekolah.

2. Bagi Siswa

Deskripsi profil berpikir intuitif siswa SMA dalam memecahkan masalah teka-teki matematika yang memiliki gaya kognitif reflektif dan impulsif diharapkan dapat digunakan sebagai acuan bagi siswa untuk melatih berpikir intuitif, dimana efek jangka panjangnya akan meningkatkan kemampuan siswa dalam pemecahan masalah, serta kemampuan berpikir kritis dan berpikir kreatif.

3. Bagi Peneliti Lain

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar lebih lanjut bagi peneliti lain untuk mengembangkan penelitian yang sejenis mengenai profil berpikir intuitif dalam memecahkan masalah teka-teki matematika ditinjau dari gaya kognitif reflektif dan impulsif.

E. Batasan Penelitian

(18)

7

F. Definisi Operasional

Untuk menghindari penafsiran yang berbeda terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka istilah-istilah yang perlu didefinisikan adalah sebagai berikut:

1. Profil adalah gambaran alami dan utuh tentang sesuatu atau

seseorang berupa gambar atau kata-kata yang memberikan informasi yang bermanfaat.

2. Berpikir adalah suatu kegiatan mental untuk mempertimbangkan

dan memutuskan sesuatu yang dialami seseorang bila mereka dihadapkan pada suatu masalah atau situasi yang harus dipecahkan.

3. Berpikir intuitif adalah pemikiran atau kognisi dalam memecahkan

masalah yang diperoleh secara langsung atau segera, tidak membutuhkan kemampuan mendefinisikan istilah yang digunakan, dan tidak membutuhkan pembenaran atau pembuktian yang ketat. 4. Pemecahan masalah adalah suatu usaha mencari jalan keluar dari

kesulitan untuk mencapai suatu tujuan yang tidak dengan segera dapat dicapai.

5. Teka-teki matematika (puzzle matematika) adalah permainan yang

membutuhkan ilmu matematika agar mendapat hasil atau jawaban. Teka-teki ini memiliki peraturan yang cukup spesifik dan rumit.Di dalam menyelesaikan teka-teki matematika, pemain harus menemukan jawaban (solusi) dalam bermain berdasarkan peraturan yang berlaku di permainan tersebut.

6. Gaya kognitif adalah pola perilaku konsisten individu dalam hal cara berpikir, mengingat dan memecahkan masalah sesuai dengan pengalaman dan keterampilan dari buku bacaan dan internet sebagai pengalaman awal

7. Gaya kognitif reflektif adalah kecenderungan siswa untuk

menghabiskan lebih banyak waktu untuk memeriksa masalah, mempertimbangkan solusi alternatif, dan akan memeriksa ketepatan dan kelengkapan hipotesis.

8. Gaya kognitif impulsif adalah kecenderungan siswa untuk membuat

(19)

8

(20)

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Berpikir

Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), arti kata berpikir yaitu menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan

memutuskan sesuatu, menimbang-nimbang di ingatan1. Seseorang akan

berpikir saat mencoba untuk memecahkan ujian yang diberikan oleh guru di kelas. Seseorang juga akan berpikir ketika melamun untuk menunggu bus datang, menulis artikel, membaca koran, memecahkan teka-teki, menulis surat, menulis makalah, merencanakan liburan, memilih menu

makanan, menyusun puzzle, bahkan ketika memecahkan pekerjaan rumah

yang diberikan oleh guru.

Mengenai berpikir, berikut beberapa pendapat dari para ahli. Edward De Bono dalam bukunya Revolusi Berpikir mendefinisikan berpikir sebagai keterampilan mental yang memadukan kecerdasan

dengan pengalaman2. Sedangkan menurut Siswono, berpikir merupakan

suatu kegiatan mental yang dialami seseorang bila mereka dihadapkan pada suatu masalah atau situasi yang harus dipecahkan3.

Tate dan Johnson menegaskan bahwa salah satu indikator guru matematika yang berkualitas adalah bagaimana guru memahami proses berpikir dan penalaran peserta didik tentang matematika dan bagaimana

memperluas kemampuan peserta didik tersebut4. Secara sederhana,

berpikir adalah memproses informasi secara mental atau secara kognitif. Secara lebih formal, berpikir adalah penyusunan ulang atau manipulasi kognitif baik informasi dari lingkungan maupun simbol-simbol yang disimpan dalam long term memory5.

1 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diakses dari http://kbbi.web.id, pada tanggal 20 November 2016

2 Edward de Bono, “Revolusi Berpikir. Diterjemahkan oleh Ida Sitompul dan Fahmy

Yamani”. (Bandung: Kaifa. 2007), 221.

3 Tatag Yuli Eko Siswono. Disertasi. Penjenjangan Kemampuan Berpikir Kreatif dan

Identifikasi berpikir Kreatif Siswa Dalam Memecahkan dan Mengajukan Masalah Matematika. (Surabaya: UNESA, 2007). 25.

4Nisa Nurul Hayati. Tesis: “Profil Berpikir Lateral Siswa Sekolah Menengah Kejuruan

Dalam Menyelesaikan Masalah Matematika Kontekstual Ditinjau Dari Perbedaan

(21)

10

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas, maka berpikir adalah suatu kegiatan mental untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu yang dialami seseorang bila mereka dihadapkan pada suatu masalah atau situasi yang harus dipecahkan.

B. Berpikir Intuitif

Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), intuitif adalah bersifat (secara) intuisi, berdasarkan bisikan (gerak) hati. Selanjutnya arti kata intuisi sendiri adalah daya atau kemampuan mengetahui atau memahami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari, bisikan hati, gerak hati6. Dari pengertian arti kata tersebut dapat disimpulkan bahwa intuitif

adalah kata sifat untuk intuisi. Menurut Nasution, intuisi adalah kemampuan mental untuk menemukan hipotesis pemecahan masalah tanpa melalui langah-langkah analisis7. Menurut Fischbein, tidak ada

definisi intuisi yang diterima secara bersama-sama oleh para ahli. Istilah intuisi biasanya digunakan sebagai istilah primitif dalam matematika, seperti titik, garis, himpunan dan lain-lain.8 Namun demikian para ahli

menerima sifat-sifat secara implisit dari intuisi yaitu self evident yang berlawanan dengan usaha secara logika dan analitis.

Fischbein mendefinisikan intuisi sebagai immediate knowledge

(pengetahuan langsung) yang disetujui secara langsung tanpa pembenaran. Sejalan dengan itu Piaget memandang intuisi sebagai kognisi yang diterima langsung tanpa membutuhkan justifikasi atau menginterpretasi secara eksplisit9. Menurut Kahneman, intuisi adalah

pikiran atau preferensi yang datang dengan sangat cepat dan tanpa banyak melakukan refleksi10. Hogarth mendefinisikan intuisi sebagai suatu

pemikiran yang diperoleh dengan sedikit usaha, dan pada umumnya dibawah sadar. Kadang-kadang melibatkan pertimbangan sadar atau

6 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diakses dari http://kbbi.web.id pada tanggal 20 November 2016.

7 S. Nasution, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar & Mengajar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), 2.

8 Atika Fitrotun Nisa, Skripsi Sarjana : “Karakteristik Intuisi Siswa Cerdas Istimewa

Berbakat Istimewa Dalam Memecahkan Masalah Matematika Ditinjau Dari Perbedaan

Gender”. (Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2014), 11. 9 Ibid.

10Erdyna Dwi Etika, Tesis Magister : “Intuisi Siswa Kelas VII SMPN 1 Nganjuk Dalam

Pemecahan Masalah Matematika DitinjaubDari Adversity Quotient”. (Surakarta:

(22)

11

bahkan tidak sama sekali11. Sehingga intuisi dihasilkan tanpa

mencurahkan banyak usaha dan tidak perlu banyak mencurahkan pikiran karena sebagian besar terjadi dibawah sadar.

Filosof Immanuel Kant membangun pengertian intuisi dengan membedakan antara pertimbangan analitik dan pertimbangan sintetik. Pertimbangan analitik membutuhkan konfirmasi logis serta bersifat tidak membutuhkan konfirmasi empiris untuk menjelaskan mengapa sesuatu

hal dianggap benar. Sedangkan hasil pertimbangan sintetik

dikarakterisasikan oleh tidak adanya kontradiksi dalam diri orang yang

menyatakannya12. Sehingga dapat dikatakan bahwa pertimbangan sintetik

relevan dengan intuisi.

Bruner memaknai intuisi sebagai suatu tindakan untuk mendapatkan suatu makna, signifikansi, struktur atau situasi dari masalah tanpa ketergantungan secara eksplisit pada peralatan analitik yang dimiliki seorang ahli. Bruner memberikan contoh situasi dalam matematika bagaimana intuisi dimaknai13. Contoh pertama, seseorang

dikatakan berpikir secara intuitif bila ia telah banyak bekerja dalam suatu masalah dalam periode waktu lama. Ia dapat segera memberikan solusi masalah didasarkan atas sesuatu yang pernah ia buktikan secara formal sebelumnya. Contoh kedua, seseorang disebut matematikawan intuitif yang baik bila orang lain datang memberikan suatu masalah padanya, dia akan dengan sangat segera memberikan tebakan yang baik untuk solusi masalah tersebut, atau dapat dengan segera memberikan beberapa pendekatan alternatif untuk menyelesaikan masalah tersebut. Menurut Bruner meskipun ada orang yang memiliki talenta istimewa seperti yang telah dicontohkan di atas, namun efektifitas akan tercapai bila ia memiliki pengalaman belajar dan pemahaman terhadap subyek tersebut.

Sementara itu dalam Merriam Webster's Collegiate Dictionary,

intuisi diartikan sebagai pemahaman segera atau kognisi segera14.

Pengertian tersebut tidak jauh berbeda dengan yang diungkapkan oleh Talia dan Jon, bahwa intuisi merupakan pemahaman tiba-tiba akan suatu hal setelah mencoba menyelesaikan suatu masalah, namun tidak juga

11 Ibid.

12 Ibid, halaman 8.

13Maryono, Skripsi Sarjana : “Karakteristik Intuisi Siswa Dalam Memecahkan Masalah

Matematika Pada Pokok Bahasan Perbandingan Ditinjau Dari Gaya Kognitif Dan

Perbedaan Gender”. (Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2014), 14.

(23)

12

berhasil. Dalam hal ini, intuisi disebut semacam “aha! moment15. Demikian juga dengan Hah Roh, yang dalam disertasinya mendefinisikan intuisi sebagai kognisi segera tentang suatu konsep yang tidak disertai pembuktian ketat (rigorous proof)16. Dari uraian tersebut, dapat

disimpulkan bahwa intuisi berlawanan dengan analitik, karena analitik membutuhkan konfirmasi logis (pembuktian) sedangkan intuisi merupakan kognisi segera tentang suatu konsep yang tidak disertai pembuktian ketat.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, disimpulkan intuisi atau berpikir intuitif pada penelitian ini adalah pemikiran atau kognisi dalam memecahkan masalah yang diperoleh secara langsung atau segera, tidak membutuhkan kemampuan mendefinisikan istilah yang digunakan, dan tidak membutuhkan pembenaran atau pembuktian yang ketat.

C. Karakteristik dan Jenis Intuisi

1. Karakteristik Intuisi

Fischbein telah menyajikan karakteristik umum dari kognisi intuitif dalam matematika, yang merupakan sesuatu yang mendasar dan sangat jelas dari suatu kognisi intuitif. Karakteristik intuisi tersebut diuraikan sebagai berikut:17

a. Self Evidance (Kognisi Langsung)

Self evidance (kognisi langsung) yang dimaksud adalah

bahwa intuisi merupakan kognisi yang diterima sebagai feeling

individu tanpa membutuhkan pengecekan dan pembuktian lebih lanjut. Sebagai contoh: jarak terdekat atara dua titik merupakan garis lurus yang menghubungkan kedua titik tersebut. Hal

semacam ini yang dinamakan dengan self evidance, pernyataan

yang kebenarannya diterima secara langsung.

b. Intrinsic Certainty (Kepastian Intrinsik)

15 Talia Ben-Zeev. & Jon Star., Intuitive Mathematics: Theoretical and Educational

Implications, 2002, Diambil dari http://isites.harvard.edu/fs/docs/icb.topic654912.files/ intuition.pdf. Diakses pada 6 Desember 2016

16 Kyeong Hah Roh, Doctoral Dissertation: “Intuitive Understanding Limit Concept”. (Ohio: The Ohio State University, 2005), 9.

17Rani Pratiwi, Tesis Magister: “Profil Intuisi Siswa Kelas IX SMPN 3 Salatiga Dalam

Memecahkan Masalah Kesebangunan Ditinjau Dari Kecerdasan Matematis-Logis,

(24)

13

Kepastian kognisi intuisi biasanya dihubungkan dengan perasaan (feeling) tertentu dari kepastian intrinsik. Pernyataan tentang garis lurus di atas adalah subjektif, terasa seperti sudah menjadi ketentuan. Intrinsik bermakna bahwa tidak ada pendukung eksternal yang diperlukan untuk memperoleh semacam kepastian langsung (baik secara formal atau empiris). Perasaan kepastian tetap menjadi kriteria pada pengetahuan intuitif ini (yaitu kriteria pada pengetahuan untuk memaksakan diri individu bersikap subjektif sebagai sesuatu yang mutlak). c. Perseverance (Ketekunan)

Sangat sering prosedur utama dianjurkan untuk membuat siswa menyadari konflik sehingga siswa lebih memilih intuisi untuk membantu mengembangkan kontrol melalui skema konseptual. Contoh : kita tahu bahwa Bumi bulat, mengelilingi Matahari tetapi tidak bisa merepresentasikan (menjelaskan) secara alami dan jelas.

d. Coerciveness (Memaksa)

Intuisi mempunyai efek memaksa pada strategi penalaran individual, seleksi hipotesis, dan solusi. Hal ini berarti bahwa individu cenderung menolak interpretasi alternatif yang akan mengkontradiksi intuisinya. Biasanya siswa dan bahkan orang dewasa percaya bahwa perkalian akan menjadikan lebih besar dan pembagian akan menjadi lebih kecil. Hal ini karena, pada masa kanak-kanak terbiasa dengan mengoprasikaan bilangan asli. Dikemudian hari setelah belajar bilangan rasional masih dirasa untuk memperoleh keyakinan yang sama, yang secara jelas sudah tidak sesuai lagi. Intuisi ini memaksakan diri individu untuk subjektif pada interpretasi atau representasi unik dari individu sebagai sesuatu yang mutlak.

e. Theory Status

Intuisi adalah teori atau mini teori, tidak hanya keterampilan belaka atau sekedar persepsi dari fakta yang

diberikan. Secara intuitif menerima bahwa “melalui titik

eksternal dari sebuah garis dapat ditarik satu dan hanya satu yang

tegak lurus terhadap garis”. Kami menegaskan bahwa “dua garis

yang berpotongan menentukan pasangan dari sudut yang

berlawanan” dan kami mengklaim bahwa ini adalah jelas. Tentu

(25)

14

Intuisi tidak pernah terbatas hanya menyatakan yang bersifat umum atau persepsi dari fakta tertentu. Intuisi adalah teori yang

menyatakan secara representatif menggunakan model:

paradigma, analogi, diagram, dll.

f. Extrapolativeness (Kemampuan Meramal)

Sifat penting dari kognisi intuitif adalah kemampuan untuk meramalkan melampaui segala dukungan empiris. Sebagai

contoh: pernyataan “melalui satu titik diluar garis hanya dapat digambar satu dan hanya satu garis sejajar dengan garis tersebut”

mengekspresikan kemampuan ekstrapolasi dari intuisi. Tidak ada bukti empiris dan formal yang dapat mendukung pernyataan tersebut. Walaupun demikian, hal tersebut dapat diterima secara intuitif, suatu kepastian, sebagai self evident. Intuisi ini adalah suatu kombinasi dari informasi yang tidak lengkap dan kepastian yang terbaik dari pilihan yang ada. Memandang persoalan yang terdiri atas petunjuk-petunjuk yang dapat dijadikan suatu pola khusus yang dapat menghasilkan fakta atau informasi yang membantu dalam pemecahan masalah.

g. Globality (Keseluruhan)

Intuisi adalah kognisi global yang berlawanan dengan kognisi yang diperoleh secara logika, berurutan dan secara analitis. Sebagai contoh: salah satu anak berumur 4 - 5 tahun diberikan dua lembar kertas A dan B yang sama. Pada kertas A, anak tersebut diminta menggambar titik (P1) dan selanjutnya diminta untuk menggambar titik (P2) pada kertas B yang letaknya sama persis dengan titik P1 di kertas A. Anak tersebut biasanya akan menggambar titik P2 pada kertas B kurang lebih tempatnya sama. Jika anak tersebut diminta untuk menjelaskan mengapa ia meletakkan titik tersebut di kertas B, anak tersebut tidak dapat memberikan penjelasan. Dia memecahkan masalah tersebut secara intuitif, secara langsung melalui perkiraan secara global, dalam arti anak tersebut mampu menjelaskan secara umum saja dan tidak mampu menjelaskannya secara rinci. h. Implicitness (Bersifal Implisit)

(26)

15

2. Jenis Intuisi

Fischbein mengklasifikasikan intuisi berdasarkan intuisi dan solusi yang digolongkan ke dalam intuisi afirmatori, konjektural, dan antisipatori. Intuisi affirmatory adalah representasi atau interpretasi solusi yang secara individual dapat diterima secara langsung, self evident, global dan kecukupan secara intrinsik. Intuisi affirmatory bersifat menegaskan suatu representasi atau interpretasi. Sebagai contoh, dua buah titik menentukan sebuah garis lurus, dianggap orang sebagai pernyataan yang terbukti dengan

sendirinya18. Orang cenderung menganggap bahwa pernyataan

tersebut tidak perlu dibuktikan.

Jenis intuisi yang diklasifikasikan oleh Fischbein yang lain adalah intuisi anticipatory. Intuisi anticipatory adalah suatu langkah awal, merupakan pandangan global yang mendahului analitis, sepenuhnya dikembangkan untuk pemecahan masalah. Fischbein menjelaskan bahwa ciri intuisi anticipatory memenuhi aspek-aspek berikut: a) Mereka muncul saat usaha pemecahan, biasanya muncul tiba-tiba setelah fase pencarian yang intensif. b) Mereka menyajikan karakter global. c) Berbeda dengan menebak biasa atau hipotesis, intuisi ini berhubungan dengan perasaan kepastian, meskipun justifikasi rinci atau bukti belum ditemukan. Fischbein menyatakan bahwa aspek ketiga (c) ini disebut juga sebagai intuisi conjectural19.

Jadi intuisi conjectural masuk ke dalam intuisi anticipatory.

Perbedaan antara intuisi affirmatory dan anticipatory adalah peran masing-masing dalam usaha kognitif. Melalui intuisi affirmatory seseorang menerima secara jelas tentang suatu gagasan. Intuisi anticipatory tidak hanya menyusun fakta yang diberikan, hal itu muncul sebagai sebuah penemuan, sebagai solusi untuk masalah atas usaha pemecahan yang dilakukan sebelumnya. Intuisi anticipatory merupakan fase dalam proses pemecahan masalah (harus diikuti oleh usaha analitis). Sebelum usaha memecahkan masalah, mereka mungkin muncul secara subjektif, seperti pencerahan, secara yakin, jelas, pasti, secara global digenggam

sebagai kebenaran, itulah intuisi anticipatory. Fischbein

menjelaskan bahwa ketika merujuk pada evaluasi yang masuk akal

(27)

16

dari intuisi anticipatory yang muncul, ada usaha untuk

mempertimbangkan dan melakukan pemilihan yang dipahami tanpa dikatakan, pada hipotesis yang dianggap masuk akal20.

D. Intuisi dalam Pemecahan Masalah

1. Pemecahan Masalah

Masalah dapat bersumber dari dalam diri seseorang atau

dari lingkungannya. Menurut Anderson “Problem is a gap or discrepancy between present state and future state or desired goal”21. Masalah adalah suatu kesenjangan antara situasi sekarang dengan situasi yang akan datang atau tujuan yang dinginkan. Menurut Sudjana menyatakan bahwa masalah adalah persoalan yang mengganggu pikiran kita dan menantang untuk mencari pemecahannya22. Masalah akan lebih jelas apabila dirumuskan

dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang kemudian dikaji apa jawabannya dan bagaimana cara memperoleh jawaban. Dengan demikian dituntut adanya analisis dengan penalaran dan informasi yang diperlukan untuk menjawab masalah. Suatu persoalan yang merupakan masalah bagi siswa yang satu belum tentu menjadi masalah bagi siswa yang lain.

Menurut Ruseffendi menyatakan bahwa masalah dalam matematika adalah suatu persoalan yang bisa diselesaikan tanpa menggunakan cara atau algoritma rutin23. Pemecahan masalah

merupakan hal yang sangat penting, bahkan di Indonesia menjadi tujuan pembelajaran matematika dan termasuk dalam kurikulum matematika. Menurut Siswono mengatakan bahwa pemecahan masalah adalah suatu proses atau upaya individu untuk merespon atau mengatasi halangan atau kendala ketika suatu jawaban belum

tampak jelas24. Siswa yang memiliki kemampuan pemecahan

masalah yang baik akan dapat menyelesaikan masalah-masalah

20 Rani Pratiwi, Op. Cit., 14-15.

21Suhama P, “Psikologi Kognitif”. (Jombang: Srikandi. 2005), 283.

22Sudjana, N, “ Penelitian dan Penilaian Pendidikan”. (Bandung: Sinar Baru Algensido, 2001), 9.

(28)

17

matematika yang dihadapinya dengan menggunakan konsep atau pengetahuan yang dimilikinya.

Ruseffendi menyatakan bahwa ada beberapa sebab soal-soal tipe pemecahan masalah diberikan kepada siswa yaitu:25 1)

Dapat menimbulkan keingintahuan dan adanya motivasi, menumbuhkan sifat kreatif, 2) Disamping memiliki pengetahuan dan keterampilan (berhitung, dan lain-lain), diisyaratkan adanya kemampuan untuk terampil membaca dan membuat pertanyaan yang benar, 3) Dapat menimbulkan jawaban yang asli, baru, khas, dan beraneka ragam, dan dapat menambah pengetahuan baru, 4) Dapat meningkatkan aplikasi dari ilmu pengetahuan yang sudah diperolehnya, 5) Mengajak siswa memiliki prosedur pemecahan masalah, mampu membuat analisis dan sintesis, dan dituntut untuk membuat evaluasi terhadap hasil pemecahannya, 6) Merupakan kegiatan yang penting bagi siswa yang melibatkan pelajaran lain di luar pelajaran sekolah untuk merangsang siswa menggunakan segala kemampuan.

Pemecahan masalah didefinisikan oleh Bell sebagai proses penemuan suatu respon yang tepat terhadap situasi yang benar-benar unik dan baru bagi siswa. Menurut Hudojo, pemecahan masalah merupakan strategi belajar mengajar di sekolah yang bertujuan untuk mendorong siswa agar kreatif dalam menyelesaikan soal. Sedangkan menurut Polya, pemecahan masalah adalah suatu usaha mencari jalan keluar dari kesulitan untuk mencapai suatu tujuan yang tidak dengan segera dapat dicapai. Polya juga mengatakan bahwa pemecahan masalah merupakan suatu tingkat aktivitas intelektual yang tinggi, yakni proses psikologi belajar yang melibatkan tidak hanya sekedar aplikasi dalil-dalil atau teorema-teorema yang dipelajari akan tetapi harus didasarkan atas adanya struktur kognitif yang dimiliki siswa26. Dari beberapa pendapat para

ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam memecahkan masalah, siswa memerlukan daya nalar yang tinggi dengan melibatkan keterkaitan konsep-konsep dalam membuat langkah-langkah yang harus ditempuh untuk memperoleh suatu penyelesaian.

25Hidayatun Ni’mah. Skripsi : “Analisis Kesalahan Siswa Kelas V dalam Menyelesaikan Soal Cerita yang Melibatkan Pecahan di SD Negeri Kedondong I”. (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2012), 12.

(29)

18

2. Peran Intuisi dalam Pemecahan Masalah

Mudrika menjelaskan bahwa untuk mengetahui apakah pernyataan, ungkapan dan tulisan subjek menggunakan intuisi atau bukan intuisi dalam menyelesaikan soal tes pemecahan masalah, digunakan jenis karakteristik intuisi yang sudah dijabarkan di atas. Berikut akan dideskripsikan indikator jenis intuisi dalam pemecahan masalah yang diungkapkan oleh Fischbein yang akan diamati seperti pada Tabel 2.1 berikut:27

Tabel 2.1

Indikator Jenis Intuisi dalam Pemecahan Masalah

Jenis Intuisi Indikator

Afirmatori

Siswa menerima pernyataan, interpretasi atau

representasi suatu masalah secara langsung tanpa pembenaran (self evident).

Siswa menganggap pernyataan, interpretasi atau

representasinya sebuah kepastian, tidak perlu ada dukungan eksternal (intrinsic certainty).

Siswa memaksa bahwa kebenaran pernyataan,

interpretasi atau representasinya selalu konsisten dan tidak dapat menerima kebenaran pernyataan,

interpretasi atau representasi alternatif

(coerciveness).

Siswa meramal atau menduga kebenaran pernyataan,

interpretasi, atau representasinya dibalik suatu

pendukung empiris (berdasarkan pengalaman,

percobaan atau pengamatan yang telah dilakukan) (Extrapolativeness).

Siswa membuat kebenaran pernyatan, interpretasi

atau representasinya secara implisit/tersembunyi (Implicitness).

(30)

19

Antisipatori

Siswa memunculkan suatu pemikiran ketika berusaha

keras untuk memecahkan masalah (Perseverance).

Siswa menyatakan secara representatif menggunakan

model: paradigma, analogi, diagram, dll (Theory status).

Siswa Menyajikan secara global terhadap

langkah-langkah dalam pemecahan masalah (Globality).

Dari tabel di atas, peneliti bermaksud menggunakannya sebagai pedoman dalam mengindikasi munculnya intuisi dalam pemecahan masalah.

E. Teka-teki Matematika

Matematika adalah ilmu dasar yang melandasi banyak cabang ilmu pengetahuan lainnya. Sebagai ilmu dasar, pembelajaran matematika di tingkat dasar, menengah, dan atas seringkali merupakan pembelajaran yang abstrak dan proses tidak mengarah kepada pembelajaran pemecahan masalah (problem solving) sehingga kemampuan berpikir kritis, logis, dan analitis dari seseorang yang mempelajari matematika kurang tergali secara baik. Matematika dapat dibuat menjadi suatu rekreasi melalui berbagai macam permainan. Tanpa mengurangi pemahaman akan konsep dasar matematika, pembelajaran matematika akan lebih menarik dipelajari melalui permainan ini28. Proses pemecahan masalah dalam

pembelajaran matematika melalui permainan ini dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam berpikir kritis, logis, dan analitis.

Secara umum, matematika selalu identik dengan masalah pencacahan dan perhitungan yang mempunyai hasil akhir yang bernilai pasti. Akan tetapi, matematika sebenarnya adalah sebuah ilmu yang menggabungkan logika dalam berpikir, berimajinasi, menganalisis, serta kemampuan menghitung. Hal ini terlihat dari begitu banyaknya cabang ilmu matematika yang menggabungkan seluruh kemampuan tersebut, misalnya statistika, matematika diskrit, matematika kombinatorik, aljabar, teori bilangan, matematika rekreasi, dan lain-lain.

28Benny Yong, “Matematika Rekreasi melalui Permainan Kartu”, Journal of Mathematics

(31)

20

Salah satu cabang matematika yang menarik adalah matematika rekreasi. Matematika rekreasi seringkali digunakan oleh matematikawan

untuk bermain-main karena rasa penasarannya yang ingin mengerjakan29.

Selain itu, matematika rekreasi juga digunakan untuk mengasah logika dalam kesenangan tetapi tetap serius, mengetahui indahnya matematika dalam hidup, mengeksplorasi keajaiban matematika, melacak kebenaran hasil matematika, serta melatih ketelitian.

Salah satu topik yang dibahas dalam matematika rekreasi adalah

teka-teki matematika (puzzle matematika). Teka-teki matematika adalah

permainan untuk mengasah pikiran yang membutuhkan ilmu matematika agar mendapat hasil atau jawaban. Teka-teki ini memiliki peraturan yang cukup spesifik dan rumit30. Dalam memecahkan teka-teki matematika,

pemain harus menemukan jawaban (solusi) dalam bermain berdasarkan peraturan yang berlaku di permainan tersebut.

Ada perbedaan yang besar di antara variasi teka-teki, yaitu yang kaitannya dengan kesulitan mereka dan sifat dasar dari teka-teki itu sendiri. Sesuai karakternya, teka-teki dibagi menjadi dua kelompok, yaitu teka-teki sastra (literary puzzle) dan teka-teki murni (pure puzzle). Yang termasuk teka-teki sastra di antaranya teka teki silang, permainan tebak kata, dan peribahasa. Puzzle sastra ini harus ditebak sesuai dengan data atau petunjuk tertentu atau yang sejenisnya. Keterampilan dalam penyelesaian teka-teki sastra bergantung pada kemampuan bawaan sejak lahir yang ditambah dengan pengetahuan geografis dan sejarah. Sedangkan teka-teki murni biasanya berhubungan dengan angka-angka, kadang-kadang juga berisikan geometri31. Pertanyaan pada teka-teki

murni dapat diubah ke dalam berbagai bahasa, dengan tanpa mengubah keaslian teka-teki itu sendiri.

Teka-teki matematika (puzzle matematika) tentu saja memuat aspek matematika sebagai landasan mencari solusi. Oleh karena itu, teka-teki matematika (puzzle matematika) termasuk ke dalam jenis teka-teki murni32. Beberapa topik yang dibahas dalam teka-teki matematika adalah

menempatkan bilangan-bilangan, mengganti huruf dengan angka, membilang banyak bangun geometri, mengambil atau memindahkan

29Endah Dwi Purwantari dan Julan Hernadi, “Strategi Menyelesaikan Puzzle yang Memuat Aspek Matematika”, Jurnal Prodi Pendidikan Matematika, FKIP, Universitas Muhammadiyah Ponorogo (2015), 1.

(32)

21

letak batang korek api, menggambar bangun geometri menentukan bilangan (banyak objek), mengatur operasi bilangan, menentukan strategi atau mengambil keputusan, dan merangkai (mengatur) bangun geometri datar. Dalam penelitian ini teka-teki matematika yang digunakan adalah teka-teki geometri. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), geometri adalah cabang matematika yang menerangkan sifat-sifat garis, sudut, bidang, dan ruang33. Jadi teka-teki geometri adalah teka-teki

matematika yang melibatkan sifat-sifat garis, sudut, bidang dan ruang. Berikut ini adalah salah satu contoh dari teka-teki geometri:

1. Enam Kandang Domba (Contoh Teka –Teki Geometri)

Perhatikan gambar di bawah ini:

Gambar 2.1

Teka-Teki Enam Kandang Domba

Terlihat pada gambar di atas 13 batang kayu dengan ukuran yang sama, menggambarkan pagar-pagar dari kandang seorang peternak, telah ditempatkan sedemikian rupa sehingga membentuk enam kandang domba dengan ukuran yang sama. Sekarang, satu dari pagar itu dicuri, dan peternak itu tetap ingin membentuk enam kandang berukuran sama dengan 12 sisanya. Bagaimana caranya melakukan itu? 12 kayu itu harus digunakan, tidak boleh ada dua atau lebih kayu ditempat yang persis sama dan tidak boleh ada ujung dari kayu yang lepas tak terhubung34.

Penyelesaian :

Gambar 2.2

Solusi Teka-Teki Enam Kandang Domba

33 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diakses dari http://kbbi.web.id, pada tanggal 20 November 2016

(33)

22

Tepat 12 kayu seperti yang terlihat pada gambar di atas, sehingga dapat diperoleh 6 kandang dengan ukuran yang sama35.

Dari gambar yang telah diilustrasikan di atas dapat dipastikan bahwa dengan 12 kayu tanpa menghilangkan 1 kayu pun dapat dibentuk 6 kandang dengan ujung dari kayu tidak ada yang tak terhubung dan antara kandang satu dengan yang lainnya memiliki ukuran yang sama.

F. Gaya Kognitif Reflektif dan Impulsif

1. Pengertian Gaya Kognitif

Setiap siswa memiliki cara tersendiri dalam menyusun apa yang dilihat, diingat dan dipikirkannya. Labunan mengatakan bahwa setiap siswa memiliki cara-cara tersendiri yang dilakukan dalam pikirannya, apa yang dilakukan, dilihat, dan diingat. Siswa akan memiliki cara yang berbeda atas pendekatan yang dilakukannya terhadap situasi belajar, cara mereka belajar, cara mereka menerima, mengorganisasikan, serta menghubungkan pengalaman mereka dan cara mereka dalam merespon terhadap metode pengajaran tertentu. Perbedaan ini bukanlah merupakan suatu tingkat kemampuan siswa dalam memproses metode pengajaran tertentu, namun merupakan suatu bentuk kemampuan siswa untuk tanggap terhadap stimulus yang ada di lingkungannya. Perbedaan setiap siswa dalam mengolah informasi dan menyusunnya dari pengalaman-pengalamannya lebih dikenal dengan gaya kognitif. Jadi, dapat dikatakan gaya kognitif adalah cara setiap siswa dalam menerima, mengorganisasikan, merespon, mengolah informasi, dan menyusunnya berdasarkan

pengalaman yang dialaminya36. Setiap siswa mempunyai gaya

kognitif masing-masing. Banyak ahli yang telah mendefinisikan pengertian gaya kognitif, misalnya Heineman serta Riding dkk mengatakan bahwa gaya kognitif mengacu kepada kecenderungan

karakteristik konsistensi individu37. Tidak berarti bahwa

karakteristik individu tidak dapat diubah dalam hal cara berpikir, mengingat, memproses informasi dan memecahkan masalah.

35 Ibid, halaman 205.

36Mokhammad Jazuli, Skripsi: “Profil Pemecahan Masalah Matematika Kontekstual Siswa SMP Ditinjau Dari Gaya Kognitif Reflektif” (Surabaya: UNESA, 2014), 25.

(34)

23

Coop mengemukakan bahwa istilah gaya kognitif mangacu pada kekonsistenan pola yang ditampilkan seseorang dalam merespon berbagai situasi dan juga mengacu pada pendekatan intelektual atau strategi dalam menyelesaikan masalah38. Sedangkan

menurut Kogan gaya kognitif dapat didefinisikan sebagai variasi siswa dalam cara memandang, mengingat, dan berpikir atau sebagai cara tersendiri dalam hal memahami, menyimpan, mentransformasi, dan menggunakan informasi39. Jadi, setiap siswa memiliki gaya

kognitif yang berbeda dalam memproses informasi atau menghadapi suatu tugas dan masalah.

Perbedaan gaya kognitif bukanlah menunjukkan tingkat intelegensi atau kecakapan tertentu, sebab siswa yang berbeda dengan gaya kognitif yang sama belum tentu tingkat intelegensi atau kemampuannya sama. Apalagi dengan gaya kognitif yang berbeda, kecenderungan perbedaan tingkat intelegensi dan kemampuan yang dimilikinya lebih besar. Woolfok mengatakan di dalam gaya kognitif terdapat suatu cara yang berbeda untuk melihat, mengenal, dan mengorganisir informasi40. Setiap siswa memiliki cara yang

lebih disukai dalam memproses dan mengorganisasi informasi. Kemungkinan ada siswa yang memberikan respon yang lebih cepat, tetapi ada pula yang lebih lambat

Menurut Rahman gaya kognitif dibedakan menjadi tiga dimensi, yaitu (1) perbedaan gaya kognitif secara psikologis, meliputi: gaya kognitif field independence (FI) dan field dependence (FD); (2) perbedaan gaya kognitif secara konseptual tempo, meliputi: gaya kognitif reflektif dan gaya kognitif impulsif; (3) perbedaan kognitif berdasarkan cara berpikir, meliputi: gaya kognitif intuitif-induktif dan logik deduktif41. Sedangkan menurut

Woolfolk gaya kognitif dibedakan berdasarkan dua dimensi, yakni (1) perbedaan aspek psikologis, yang terdiri dari field independence

38R.H Coop & Kinnard White, “Psychological Concepts in The Classroom” (New York: harper & Row Publisher, 1974), 251.

39 I Made Ardana, “Pengembangan Pembelajaran Bilangan Bulat Berorientasi Pada Kecenderungan Kognitif Secara Psikologis Sebagai Upaya Peningkatan Konsep Diri Akademis Matematika Siswa Sekolah Dasar Laboratorium IKIP Negeri Singaraja”, Makalah S3 (Surabaya: Pascasarjana UNESA, 2002), 9.

(35)

24

(FI) dan field dependence (FD); (2) waktu pemahamn konsep, yang

terdiri dari gaya kognitif reflektif dan gaya kognitif impulsif42. Pada

penelitian ini, peneliti tertarik mengkaji gaya kognitif reflektif dan impulsif karena sudah banyak penelitian yang mengkaji gaya kognitif field independence (FI) dan field dependence (FD). Sehingga kajian tentang gaya kognitif reflektif dan impulsif perlu diperluas.

2. Gaya Kognitif Reflektif dan Impulsif

Gaya kognitif reflektif dan impulsif menunjukkan tempo kognitif atau kecepatan berpikir. Penelitian ini difokuskan pada gaya kognitif yang dikemukakan oleh Jarome Kagan yaitu gaya kognitif reflektif-impulsif. Dimensi reflektif impulsif yang dikemukakan oleh Kagan menggambarkan kecenderungan anak yang tetap untuk menunjukkan singkat atau lamanya waktu dalam menjawab suatu masalah dengan ketidakpastian yang tinggi43. Philip mendefinisikan

siswa impulsif adalah siswa yang dengan cepat merespon situai, namun respon pertama yang diberikan sering salah. Sedangkan siswa reflektif mempertimbangkan banyak alternatif sebelum merespon, sehingga tinggi kemungkinan bahwa respon yang

diberikan adalah benar44. Selanjutnya Readance dan Bean

mengatakan anak reflektif biasanya lama dalam merespon, namun mempertimbangkan semua pilihan yang tersedia, mempunyai konsentrasi yang tinggi saat belajar. Sedangkan anak impulsif kurang konsentrasi dalam kelas45. Selain itu Rozencwajg dan

Corroyer mengatakan anak yang bergaya kognitif reflektif adalah anak yang memiliki karakteristik menggunakan waktu yang lama dalam menjawab masalah tetapi cermat atau teliti, sehingga jawaban yang diberikan cenderung benar46. Anak yang bergaya kognitif

impulsif adalah anak yang memiliki karakteristik menggunakan

42Yuli Lestari, Skripsi: “Metakognisi Siswa dalam Memecahkan Masalah Matematika Berdasarkan Gaya Kognitif “ (Surabaya : UNESA. 2012), 4.

43 C.R Reynolds & Janzen, Concise Encyclopedia of Special Education Arefence for The Education of The Handicapped and Other Exceptional Children and Adults (Canada : Published Simultancosly, 2004), cet ke-2, 494.

44Soffil Widadah, “Profil Metakognisi Siswa dalam Menyelesaikan Soal Sistem Persamaan Linier Dua Variabel Berdasarkan Gaya Kognitif”, Jurnal Pendidikan Matematika STKIP PGRI Sidoarjo, 1: 1, (April, 2013), 17.

45 Siti Rahmatina, Op.Cit., 64.

(36)

25

waktu yang singkat dalam menjawab masalah, tetapi tidak atau kurang cermat sehingga jawaban cenderung salah.

Siswa yang memiliki gaya impulsif cenderung memberikan respon secara cepat, tetapi juga melakukan sedikit kesalahan dalam merespon tersebut. Dia juga akan mengambil keputusan dengan cepat tanpa memikirkannya secara mendalam. Sejalan dengan itu, gaya kognitif impulsif merupakan karakteristik gaya kognitif yang dimiliki siswa dalam memecahkan masalah dengan waktu yang singkat tetapi kurang akurat sehingga jawaban cenderung salah47.

Hal ini menunjukkan bahwa siswa yang memiliki gaya kognitif impulsif memiliki ciri akan mengambil keputusan dengan cepat tanpa memikirkannya secara mendalam.

Siswa dengan gaya reflektif cenderung lebih banyak menggunakan waktu untuk merespon dan merenungkan akurasi jawaban. Siswa reflektif sangat lamban dan berhati-hati dalam memberikan respon, tetapi cenderung memberi jawaban benar48.

Siswa yang reflektif mempertimbangkan segala alternatif sebelum mengambil keputusan dalam situasi yang tidak mempunyai penyelesaian masalah. Sejalan dengan itu, gaya kognitif reflektif merupakan karakteristik gaya kognitif yang dimiliki siswa dalam memecahkan masalah dengan waktu yang lama tetapi akurat

sehingga jawaban cenderung benar49. Siswa reflektif

mempertimbangkan segala alternatif sebelum mengambil keputusan dalam situasi yang tidak mempunyai penyelesaian yang mudah dan berpikir dengan cermat. Sedangkan siswa impulsif mengambil keputusan dengan cepat tanpa memikirkannya secara mendalam dan bekerja dengan tergesa-gesa.

Karakteristik siswa reflektif lainnya, yaitu berpikir mendalam, subjek reflektif memiliki tingkat keingintahuan yang besar untuk menyelesaikan masalah berpikir kreatif, karena masalah berpikir kreatif ini membuka banyak kemungkinan jawaban yang bisa mereka dapatkan dan menuntut untuk dapat memberikan bentuk

atau cara baru dalam menyelesaikan masalah50. Hal yang demikian

47Qomaroh, Skripsi: “Profil Pengajuan Masalah Matematika Siswa Ditinjau Dari Gaya

Kognitif Reflektif dan Kognitif Impulsif Kelas VII di MTS Jabal Noer Taman Sidoarjo”,

(37)

26

merupakan suatu yang menantang bagi mereka dan menyenangkan untuk mencari tahu jawabannya.

Kagan dan Kogan mengemukakan bahwa gaya kognitif impulsif menggunakan alternatif-alternatif secara singkat dan cepat

untuk menyelesaikan sesuatu. Siswa impulsif biasanya

menggunakan alternatif yang sudah biasa digunakan dan lebih memilih cara yang lebih mudah dan singkat dalam menyelesaikan masalah51. Karakteristik siswa impulsif lainnya, yaitu tidak berpikir

mendalam, subjek impulsif memiliki tingkat ingin tahu yang biasa saja untuk menyelesaikan masalah berpikir kreatif, masalah yang sulit tidak menjadi tantangan bagi mereka dan lebih memilih untuk meninggalkannya. Mereka memberikan jawaban yang sederhana dan seminimal mungkin sesuai dengan permintaan soal52. Dari

penjelasan gaya kognitif yang telah dijelaskan ada kemungkinan bahwa anak yang mempunyai gaya kognitif yang berbeda akan mempunyai gambaran berpikir intuitif dalam menyelesaikan masalah yang berbeda pula.

51 Siti Rahmatina, Op. Cit., 68.

(38)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang

dapat diamati1. Sedangkan kualitatif dipandang sebagai gambaran

kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dari pandangan responden dan melakukan studi pada situasi yang alami2. Penelitian ini bertujuan

untuk mendeskripsikan profil berpikir intuitif siswa SMA dalam memecahkan masalah teka-teki matematika ditinjau dari gaya kognitif reflektif dan impulsif siswa.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian merupakan tempat diperolehnya data yang dibutuhkan dari masalah yang sedang diteliti. Penelitian ini dilakukan di SMA Muhammadiyah 3 Tulangan pada 17 April sampai 2 Mei 2017 semester genap tahun ajaran 2016 - 2017.

C. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI-IPA-1 SMA Muhammadiyah 3 Tulangan tahun ajaran 2016 - 2017. Pemilihan subjek penelitian diambil dengan memberikan tes gaya kognitif MFFT (Matching Familiar Figure Test) milik Jerome Kagan yang dirancang dan diadopsi oleh Warli yang sudah divalidasi oleh psikolog, yaitu Roni Masaputra, M.Si., MFFT merupakan instrumen yang secara luas banyak digunakan untuk mengukur kecepatan kognitif yang terdiri dari 13 soal3.

Pada MFFT, siswa ditunjukkan sebuah gambar standar dan beberapa gambar variasi yang serupa dimana hanya ada salah satu dari gambar variaasi tersebut sama dengan gambar standar. Kemudian siswa diminta memilih salah satu gambar dari gambar variasi tersebut yang

1 Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), 3.

(39)

28

sama dengan gambar standar. Gambar yang sama dengan gambar standar inilah yang bernilai benar dan harus dicari siswa4. Adapun teknik

pengerjaan MFFT, yaitu dengan meminta satu persatu siswa mengerjakan MFFT dihadapan peneliti kemudian peneliti mencatat waktu pengerjaan tiap siswa, begitu seterusnya sampai seluruh siswa dalam kelas telah mengerjakan MFFT.

Subjek dikatakan memiliki gaya kognitif reflektif jika subjek menggunakan waktu (t) 7,28 menit untuk menyelesaikan tes gaya kognitif yang diberikan, dan banyaknya jawaban benar (f) 7 soal5.

Subjek dikatakan memiliki gaya kognitif impulsif jika subjek menggunakan waktu (t) 7,28 menit untuk menyelesaikan tes gaya kognitif yang diberikan, dan banyaknya jawaban salah (f) 7 soal6.

Berdasarkan hasil tes ini, maka dapat ditentukan siapa saja siswa yang memiliki gaya kognitif reflektif dan yang memiliki gaya kognitif impulsif.

Setelah siswa dikelompokkan berdasarkan gaya kognitif reflektif dan impulsif, peneliti memilih dua siswa dari kelompok gaya kognitif reflektif dan dua siswa dari kelompok gaya kognitif impulsif. Siswa yang dijadikan subjek penelitian diambil dengan pertimbangan dari guru mata pelajaran matematika. Tujuannya untuk mengetahui apakah keempat siswa yang dijadikan subjek penelitian telah sesuai dengan gaya kognitifnya selama ini, selain itu pertimbangan guru dapat digunakan untuk mengetahui apakah siswa yang terpilih sebagai subjek dapat mengkomunikasikan argumen dari pekerjaannya secara lisan. Sehingga diperoleh subjek penelitian sebagai berikut:

Tabel 3.1 Daftar Subjek Penelitian

No Inisial Kode Kelompok Gaya Kognitif

1. NAW S1 Reflektif

2. APR S2 Reflektif

3. NNA S3 Impulsif

4. SM S4 Impulsif

4 Siti Rahmatina, “Tingkat Berpikir Kreatif Siswwa Dalam Menyelesaikan Masalah Matematika Berdasarkan Gaya Kognitif Reflektif dan Impulsif”, Jurnal Didaktik Matematika, 1: 1, (April, 2014), 65.

(40)

29

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode wawancara berbasis tugas. Penelitian ini menggunakan wawancara berbasis tugas untuk mengetahui intuisi siswa dalam

memecahkan masalah teka-teki matematika yang diberikan. Wawancara

berbasis tugas maksudnya pada saat wawancara, peneliti memberikan

lembar tugas pemecahan masalah kepada subjek untuk dikerjakan. Jadi

pelaksanaan wawancara dilakukan pada saat subjek mulai mengerjakan lembar tugas yang diberikan, peneliti meminta subjek menyampaikan apa yang ada dalam pikirannya dan menanyakan beberapa hal terkait untuk mengungkap intuisi subjek melalui wawancara. Wawancara berbasis tugas dipilih karena memungkinkan peneliti mendapatkan data yang lebih banyak untuk mengetahui intuisi siswa dalam memecahakan masalah teka-teki matematika. Wawancara dilakukan dengan berpedoman pada instrumen yang telah dibuat. Dengan demikian jawaban yang diperoleh bisa meliputi semua variabel, dengan keterangan yang lengkap dan mendalam. Wawancara berbasis tugas ini meliputi dua hal yaitu:

1. Tes PMTTM (Pemecahan Masalah Teka-Teki Matematika)

Tes ini bertujuan untuk mengumpulkan data tertulis mengenai intuisi siswa dalam memecahkan masalah teka-teki matematika, agar peneliti dapat menggolongkan siswa ke dalam Intuisi Affirmatory dan Intuisi Anticipatory.

2. Wawancara

(41)

30

E. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian merupakan alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap dan sistematis sehingga lebih mudah diolah7.

Dalam penelitian ini instrumen yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Lembar Tes Pemecahan Masalah Teka-Teki Matematika (PMTTM)

Instrumen pertama yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes tertulis pemecahan masalah teka-teki matematika. Soal tes PMTTM berupa satu soal uraian. Soal uraian dirancang agar memudahkan peneliti untuk mengetahui ide-ide dan langkah-langkah yang ditempuh oleh siswa dalam menyelesaikan soal secara mendalam.

Sebelum tes PMTTM digunakan untuk mengumpulkan data, terlebih dahulu dilakukan validasi. Karena instrumen yang valid berarti alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan data (mengukur) itu valid8. Valid berarti instrumen dapat digunakan

untuk mengukur apa yang seharusnya diukur9. Setelah divalidasi,

dilakukan perbaikan berdasarkan saran dan pendapat validator agar masalah yang akan diberikan layak, valid, dan dapat digunakan untuk mengungkap intuisi siswa dalam memecahkan masalah teka-teki matematika. Setelah dilakukan revisi, maka instrumen tes PMTTM dapat diberikan kepada subjek yang sudah dipilih berdasarkan gaya kognitifnya.

2. Pedoman Wawancara

Instrumen kedua dalam penelitian ini berupa pedoman wawancara. Pedoman wawancara ini dibuat untuk acuan wawancara dalam mengumpulkan data berupa kata-kata hasil wawancara tentang intuisi siswa dalam memecahkan masalah teka-teki matematika. Pedoman wawancara bersifat semi terstruktur dengan tujuan menemukan masalah secara terbuka maksudnya subjek diajak mengemukakan pendapat dan ide-idenya secara langsung berkaitan dengan pemecahan masalah teka-teki matematika yang telah dibuat.

7 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), 151.

8 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitataif dan R & D (Bandung: Alfabeta, 2012), 121.

Gambar

Tabel
Gambar
Tabel 2.1 Indikator Jenis Intuisi dalam Pemecahan Masalah
 Gambar 2.1 Teka-Teki Enam Kandang Domba
+7

Referensi

Dokumen terkait

Infografis dan sign system merupakan solusi yang efektif, dimana infografis dan sign nantinya dibuat untuk menjelaskan tentang peta lokasi wisata dan wisata apa saja

Disiplin Kerja dan Motivasi Kerja secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap Kepuasan Kerja karyawan, sedangkan pengembangan karir tidak berpengaruh

Dilihat dari hasil analisa tersebut nilai pH yang didapat telah sesuai dengan baku mutu limbah cair rumah sakit yang telah ditetapkan oleh pemerintah yaitu sebesar 6 – 9..

Pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh limbah rumah sakit yang mengandung fosfat tinggi yang melebihi baku mutu yang akan menyebabkan masalah lingkungan hidup sehingga

Secara umum yang dimaksud dengan kebugaran jasmani adalah kebugaran fisik (physical fitness), yaitu kemampuan seseorang untuk melakukan kerja sehari-hari secara

Termasuk penggunaan cat sebagai bahan pelapis permukaan batu apung (pumice) untuk mengurangi penyerapan air pada agregat tersebut. Pada penelitian ini objek yang diamati

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan model manajemen zakat produktif pada LAZ Sidogiri serta mengatasi problematika yang dialami LAZ Sidogiri

Penelitian ini menggunakan 3 (tiga) variabel yang telah dimodifikasi dari model penelitian TAM sebelumnya yaitu: Kebermanfaatan (Perceived Usefulness) sebagai variabel bebas