• Tidak ada hasil yang ditemukan

Agraria-Agustus 2008

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Agraria-Agustus 2008"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

VOLUME VI AGUSTUS 2008

(2)

Berkhas merupakan salah satu media Akatiga yang menyajikan kumpulan berita dari berbagai macam surat kabar, majalah, serta sumber berita lainnya. Jika pada awal penerbitannya kliping yang ditampilkan di Berkhas dilakukan secara konvensional, maka saat ini kliping dilakukan secara elektronik, yaitu dengan men-download berita dari situs-situs suratkabar, majalah, serta situs-situs berita lainnya.

Bertujuan untuk menginformasikan isu aktual yang beredar di Indonesia, Berkhas diharapkan dapat memberi kemudahan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam pencarian data atas isu-isu tertentu. Berkhas yang diterbitkan sebulan sekali ini setiap penerbitannya terdiri dari isu Agraria, Buruh, dan Usaha Kecil.

(3)

D a f t a r I si

Sejak 2004, Tercatat 25 Sengketa Tanah Warga- Militer --- 1

22.870 Ha Tanaman Padi Puso --- 2

Harga Gabah Turun, Daya Beli Petani Rendah--- 3

Puluhan Irigasi Rusak Berat --- 4

Harga Pupuk agar Tetap --- 5

Petani Sempat Bersitegang, Berebut Air Bendung Senjoyo --- 6

Petani Udang Sulitkan Dapatkan Air --- 7

Dibutuhkan Rp 100 Triliun Perbaiki Irigasi --- 8

Harga Gabah di Cirebon Tinggi, Beras Stabil --- 9

Petani Rugi Jutaan Rupiah karena Puso --- 11

Harga Gabah Melambung Tinggi --- 12

Petani Jawa Timur Tuntut Pupuk Murah --- 13

Potensi Rawan Pangan di Sumsel Meluas --- 14

Butuh Rp 100 Triliun untuk Pertanian di Pantura Jawa --- 15

Harga Gabah Melambung Tinggi --- 16

Petani Butuh Kepastian Usaha Mereka --- 17

Benih Gratis untuk Petani --- 18

Kekeringan Terparah 5 Tahun Ini --- 19

Sistem Tanam Aerob Dongkrak Produksi Padi --- 21

Air Irigasi Pertanian Digilir --- 22

Upaya Sulsel Tingkatkan Produksi Beras --- 23

Ratusan Petani Tolak Penggusuran Lahan --- 25

"Kecerdasan" Petani Menghadapi Kemarau --- 26

Petani Unjuk Rasa Minta Pasokan Air --- 27

Saluran Irigasi di Kendal Dipenuhi Endapan --- 28

2009, Bulog Ekspor Beras --- 29

Petani Pilih Jual Gabah ke Tengkulak --- 30

Petani Butuh Bantuan Permodalan --- 31

PU tambah dana rehabilitasi irigasi --- 32

Alokasi untuk Subsidi Pertanian Sebesar Rp 32 Triliun --- 33

Pertama Kali Sejak Krisis, RI Capai Swasembada Beras --- 35

(4)

Gula Petani Menumpuk --- 38

Menjadi Buruh di Tanah Sendiri --- 39

Petani Jember Berebut Pupuk --- 41

Petani Tebu Jabar Tolak Impor Gula --- 42

Petani Tebu Jabar Tolak Impor Gula --- 43

Biaya Naik, Petani Mengeluh --- 44

Pangan Terancam Anjlok --- 46

Ribuan Hektar Sawah Krisis Air --- 48

Jumlah Petani Mudah "Dipermainkan" --- 49

Kekeringan Belum Mengkhawatirkan --- 50

Pupuk Langka, Petani Sawit di Jambi Menjerit --- 52

Tuban Krisis Air --- 53

Bulog Usulkan HPP Gabah dan Beras yang Baru --- 54

Libatkan Masyarakat untuk Atasi Krisis --- 55

Peredaran Beras di Pasar Perlu Diawasi --- 56

Subsidi Pupuk, Pemerintah Siapkan Tambahan Rp7,75 Triliun --- 57

Kelangkaan Pupuk di Bengkulu Meluas --- 58

Bulog Jamin Pasokan Beras Aman --- 59

(5)

Kompas Jumat, 01 Agustus 2008

Hukum

Se j a k 2 0 0 4 , Te r ca t a t 2 5 Se n g k e t a Ta n a h W a r g a

-M ilit e r

Jumat, 1 Agustus 2008 | 01:21 WIB

SURABAYA, KOMPAS - Sejak tahun 2004 hingga saat ini, di Jawa Timur tercatat 25 sengketa tanah yang melibatkan masyarakat dan militer. Luas lahan yang disengketakan 15.374 hektar. Telantarnya penyelesaian sengketa merupakan salah satu pemicu konflik. Karena itu, pemerintah diminta tegas dalam menuntaskan sengketa sehingga kasus kekerasan seperti yang terjadi di Alastlogo, Pasuruan, beberapa waktu lalu tidak terulang.

Pengajar Hukum Tata Negara dan Hak Asasi Manusia Universitas Airlangga, R Herlambang Perdana Wiratrama, mengungkapkan hal itu, Kamis (31/7), di sela diskusi publik ”Sengketa Tanah Masyarakat Vs Militer” di Surabaya, Jawa Timur. Selama ini, kata Herlambang menambahkan, penyelesaian sengketa tanah warga-militer bisa dikatakan secara umum ”gagal” karena Badan Pertanahan Nasional (BPN) tak bisa menjembatani konflik. Salah satu penghambatnya adalah klaim pemilikan militer yang disahkan surat-surat keputusan militer.

”Peraturan Penguasa Perang Pusat (Peperpu) Nomor 011 Tahun 1958 tentang larangan pemakaian tanah tanpa izin pemilik diterbitkan oleh Kepala Staf TNI Angkatan Darat selaku penguasa perang pusat. Karena itu, banyak institusi negara memilih menghindar dari upaya penyelesaian sengketa tanah semacam itu,” kata Herlambang memberi contoh.

Ia berpendapat, hingga kini belum ada mekanisme penyelesaian sengketa tanah yang berpihak pada rakyat, khususnya terkait tanah-tanah yang dikuasai militer.

Kasus Alastlogo

Pada kesempatan serupa, anggota staf peneliti Imparsial, Cahyadi Satria, menguraikan soal sengketa lahan antara TNI Angkatan Laut (AL) dan warga Alastlogo di Pasuruan. Kasus itu, katanya, berawal saat TNI AL hendak menjadikan lahan yang disengketakan sebagai pusat latihan tempur.

Pada 1961, katanya, laporan tahunan TNI AL menyebutkan, lokasi itu tak memenuhi syarat sebagai tempat latihan tempur. Karena itu, pihak TNI AL memberikan kesempatan kepada warga untuk melanjutkan kegiatan bercocok tanam di tempat itu.

(6)

Kompas Jumat, 01 Agustus 2008

2 2 .8 7 0 H a Ta n a m a n Pa d i Pu so

Pe t a ni Ba nt e n Be r a lih M e na na m Pa la w ij a da n Bua h- b u a h a n

Jumat, 1 Agustus 2008 | 01:26 WIB

Indramayu, Kompas - Kemarau dan kekeringan panjang menyebabkan luas tanaman padi yang kekeringan dan gagal panen atau puso di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, terus meningkat. Hingga akhir Juli, luas lahan puso di daerah lumbung beras itu mencapai 22.870 hektar.

Kepala Seksi Rehabilitasi Pertanian Dinas Pertanian dan Peternakan (DPP) Indramayu M Faqih Rizahar, Kamis (31/7), menyebutkan, dari total lahan yang puso itu, seluas 9.086 ha di antaranya terjadi dua pekan ini.

Berdasarkan pantauan DPP, selama dua pekan puso terluas terjadi di Kecamatan Sukra seluas 3.078 ha dan Kecamatan Cikedung seluas 2.686 ha. Hampir semua kecamatan di Indramayu mengalami puso dengan luas mulai dari 36-1.000 ha.

Secara keseluruhan, kata Faqih, luas kekeringan di Indramayu mencapai 40.874 ha. Pada musim gadu (musim tanam padi kedua) 2008, realisasi tanam di daerah itu seluas 96.821 ha.

Toto Kusmarwanto, Kepala Subdinas Tanaman Pangan DPP, menambahkan, puso di Indramayu akan bisa berimbas pada ketahanan pangan nasional. Itu bisa terjadi karena selama ini sebagian kebutuhan beras nasional dipasok dari Indramayu.

”Dari 22.870 ha luas tanaman padi yang puso, dapat menyebabkan produksi gabah tahun ini turun hingga 10 persen. Hitungan kasarnya, produksi 65.000 ton beras hilang karena puso,” kata Toto.

Kekeringan di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, memaksa petani memanen padi lebih cepat. Akibatnya, kualitas hasil panen menurun. Sarmah (40), petani di Kaliwungu Utara, misalnya, memanen tanaman padi yang masih berumur sekitar 90 hari. Padahal, masa panen semestinya ketika padi berusia sekitar 110 hari.

Di Kabupaten Demak, petani membuat sumur di sawah agar bisa mengairi tanaman palawija yang mereka tanam. Juhawir (65), petani di Dusun Rimbu Lor, Rejo Sari, Karangawen, misalnya, terpaksa membuat empat sumur masing-masing sedalam 1,5 meter di lahan tembakau miliknya seluas 500 meter persegi.

Beralih tanaman

(7)

Juenal Nasional Sabtu, 02 Agustus 2008

Ekonomi | Jakarta | Sabtu, 02 Agt 2008 12:32:57 WIB

H a r g a Ga b a h Tu r u n , D a y a Be li Pe t a n i Re n d a h

BADAN Pusat Statistik melaporkan rata-rata harga gabah di tingkat petani selama Juli 2008 untuk semua kualitas mengalami penurunan dibanding Juni 2008.

"Untuk Gabah Kering Giling (GKG) harganya turun 1,56 persen, kualitas Gabah Kering Panen (GKP) harganya turun 2,47 persen dan kualitas rendah harganya turun 1,71 persen," kata Kepala BPS Rusman Heriawan, di Jakarta, akhir pekan.

Harga gabah terendah dengan kualitas terendah dan kualitas GKP di tingkat petani sebesar Rp1.950 per kg dan Rp2.000 per kg dijumpai di Kabupaten Luwu Utara, propinsi Sulawesi Selatan. Sedangkan harga GKG terendah sebesar Rp2.500 dijumpai di Kabupaten Lebak, propinsi Banten.

Secara rata-rata, harga GKP dan GKG di tingkat petani lebih tinggi dari pada Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yaitu masing-masing Rp2.525 per kg dan Rp2.843,93 per kg.

Harga GKP dan GKG tertinggi dijumpai di Kabupaten Bireun, propinsi NAD dan Kabupaten Kapuas, propinsi Kalimantan Tengah masing-masing Rp3.500 per kg dan Rp3.700 per kg.

Nilai Tukar Petani (NTP per indeks daya beli petani) secara gabungan selama Juni menunjukkan peningkatan tipis sebesar 0,48 persen. (Ant)

Namun, NTP petani padi dan palawija adalah yang paling rendah (97,14) dibanding petani holtikultura (100,43), petani tanaman perkebunan rakyat (113,9), peternak (99,43) dan nelayan (100,28).

Indeks NTP merupakan indikator untuk melihat kemampuan atau daya beli petani di pedesaan. NTP juga menunjukkan daya tukar dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi maupun biaya produksi.

Dari 32 propinsi yang dilaporkan, terdapat 17 propinsi yang NTP-nya mengalami kenaikan dan 15 lainnya mengalami penurunan. Kenaikan tertinggi terjadi di propinsi Papua Barat sebesar 3,24 persen sedangkan penurunan NTP terbesar terjadi di provinsi Kepulauan Riau sebesar 2,65 persen.

Rendahnya daya beli petani tersebut kemungkinan disebabkan karena terjadinya inflasi di pedesaan sebesar 2,88 persen yang dipengaruhi kenaikan bahan bakar minyak tang mendorong kenaikan indeks harga tertinggi di sektor transportasi dan komunikasi yaitu sebesar 10,66 persen.

Sementara itu, upah nominal harian buruh tani nasional pada Juni 2008 naik sebesar 20,43 persen dibandung Mei yaitu dari Rp28.986 menjadi Rp34.908 per hari. Secara riil mengalami peningkatan 14,15 persen.

Upah nominal harian buruh bangunan bukan mandro selama Juli naik 0,43 persen dibanding Juni yaitu dari Rp47.198 menjadi Rp47.400 per hari. Namun, secara riil nilai upahnya turun 0,9 persen.

(8)

Pikiran Rakyat Minggu, 03 Agustus 2008

Pu lu h a n I r ig a si Ru sa k Be r a t

Minggu, 03 Agustus 2008 , 19:28:00

SUKABUMI, (PRLM) - Dari 109 Daerah Irigasi (DI) dan Irigasi Desa (ID) hampir 26 buah DI dan ID di Kab. Sukabumi, rusa. Termasuk 2 DI yang dikelola pemerintah pusat. Padahal, DI itu sangat vital untuk dimamfaatkan para petani untuk mengairi lahan persawahannya seluas 7.416 ha.

"Akibat DI Ciletuh dan Cikarang Geusan rusah hampir sebagian besar lahan disana mengalami gagal panen," kata Kasie Operasi, Pembinaan dan Pengawasan Jaringan Irigasi di Dinas Bina Maga dan Pengelolaan Sumeber Daya Air ( BMPSDA) Kab. Hilman BE. Minggu (3/7) .

(9)

Kompas Senin, 04 Agustus 2008

H a r ga Pupuk a ga r Te t a p

Pe t a ni M int a I r iga si D ipe r ba ik i

Senin, 4 Agustus 2008 | 00:21 WIB

Jantho, Kompas - Beberapa kelompok petani di wilayah Banda Aceh dan Aceh Besar menolak jika pemerintah akan menaikkan harga pupuk bersubsidi sebesar 30 persen. Mereka menolak rencana tersebut karena dengan harga pupuk bersubsidi sekarang ini, para petani masih sulit mendapatkan pupuk secara murah.

Sulaiman, Ketua Kelompok Tani Lam Ara, Kabupaten Aceh Besar, Minggu (3/8), mengatakan, alasan pemerintah untuk menaikkan harga pupuk bersubsidi karena menilai para petani menggunakannya secara serampangan, tidak dapat diterima.

Sulaiman mengatakan, selama ini para petani menggunakan pupuk sudah sesuai dengan takaran dan besaran luas lahan yang dimilikinya. Kemungkinan para petani kecil untuk menggunakan pupuk secara serampangan yang berakibat pada pemborosan dalam jumlah besar, menurut Sulaiman, sangat kecil. Bukti-bukti di lapangan menunjukkan kalau para petani, tidak hanya di Aceh, tetapi di seluruh Indonesia juga mengalami kekurangan pupuk dalam jumlah besar, terutama menjelang musim tanam karena produksi yang dikeluarkan oleh produsen sama sekali tidak mencukupi dengan luasan lahan yang ada.

Sulaiman mengakui adanya beberapa petani yang menggunakan pupuk secara berlebihan. Namun, menurut dia, hal itu tidak bisa dijadikan pembenaran bahwa seluruh petani berlebihan dalam penggunaan pupuk yang mengakibatkan terjadinya kelangkaan stok pupuk di lapangan.

”Kalau kenaikan harga pupuk itu direalisasikan, sama saja membuat petani kecil menjadi lebih sengsara. Saat ini para petani sudah kesulitan mendapatkan pupuk dengan harga murah. Apalagi kalau harganya dinaikkan, bagaimana nasib petani nantinya,” kata Sulaiman.

Sulaiman mengatakan, petani tidak bisa menjadi satu pihak yang disalahkan dalam penggunaan pupuk yang tidak tepat. Menurut dia, ketiadaan petugas penyuluh lapangan pertanian di hampir seluruh wilayah di Aceh membuat tingkat pengetahuan petani tentang cara bercocok tanam yang baik menjadi sangat minim. ”Akibatnya ya tadi, penggunaan pupuk secara serampangan,” katanya.

Kepala BKP NAD Silman Haridy sendiri menduga, langkanya pupuk bersubsidi di Aceh karena terjadi pengalihan ke industri-industri, terutama perkebunan. Disparitas harga yang cukup tinggi, yaitu Rp 1.200 (untuk pupuk bersubsidi) dan Rp 9.000 untuk pupuk industri, menurut Silman, membuat kemungkinan terjadinya penyelewengan pupuk bersubsidi sangat besar.

Selain menekankan pada penyediaan pupuk bersubsidi, Sulaiman juga mengingatkan agar pemerintah, terutama dinas-dinas terkait, untuk segera memperbaiki sarana irigasi yang rusak di seluruh Aceh. Menurut dia, penyediaan sarana produksi dan distribusi yang layak tanpa didukung sarana irigasi yang memadai merupakan ketimpangan dalam produksi padi.

Hal senada dikatakan Ketua Kelompok Tani Makmoe Beusare, Syarifuddin. Dia mengatakan, para petani berharap meski musim kemarau melanda, dengan sarana irigasi yang baik, mereka dapat menanam padi di lahan-lahan milik mereka.

(10)

Kompas Senin, 04 Agustus 2008

Pe t a n i Se m p a t Be r sit e g a n g , Be r e b u t Air Be n d u n g

Se nj oy o

Salatiga, Kompas - Puluhan petani dari sejumlah kelurahan di Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga dan Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, sempat bersitegang, Sabtu (2/8), karena memperebutkan aliran air Bendung Senjoyo. Sejumlah petani Tingkir Lor dan Kalibening berupaya membongkar pintu air yang membagi aliran Bendung Senjoyo.

Ketegangan terjadi di Pintu Air Ajiawur yang berada di Desa Tegalwaton, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang. Pintu air itu berfungsi mengatur aliran air dari Bendung Senjoyo ke arah timur, yaitu ke Tingkir Tengah dan sejumlah kelurahan di Kecamatan Suruh, serta arah utara menuju Tingkir Lor dan Kalibening.

Petani dari Tingkir Lor dan Kalibening yang sudah datang sekitar pukul 08.00 dengan membawa palu dan linggis sempat berusaha membongkar pintu air yang menuju arah utara. Itu dilakukan agar aliran air lebih banyak menuju ke wilayah mereka.

Kondisi ini membuat sejumlah petani dari Tingkir Tengah dan sejumlah kelurahan di Suruh tidak puas. Mereka menghalangi sehingga terjadi adu mulut.

”Selama ini meski pintu air rusak, air tetap mengalir ke Tingkir Lor dan Kalibening. Kalau pintu dibobol, kami di arah timur tidak akan kebagian air karena tanah lebih tinggi,” kata Zamzuri (53), petani Tingkir Tengah.

Konflik yang lebih jauh berhasil dicegah setelah petani yang saling memperebutkan air dilerai Kepala Desa Tegalwaton Agus Suranto. ”Kalau ada yang berani merusak fasilitas umum, saya akan laporkan ke polisi,” kata Agus.

Menurut Kepala Ranting Pengairan Kecamatan Tengaran, Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Semarang, Dalwandi, kisruh perebutan air disebabkan pasokan air dari Bendung Senjoyo yang semakin menurun. Saat ini debit air Bendung Senjoyo sekitar 393 liter per detik atau turun separuh daripada saat musim hujan. Bendung itu dimanfaatkan untuk mengaliri 2.904 hektar sawah di arah utara dan 700 hektar sawah di arah timur bendung.

Musim kering ini juga membuat sejumlah petani di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, kian sulit mendapatkan air. Sebagian besar tanah sawah sudah merekah. Untuk menyelamatkan tanaman, mereka terpaksa mengintensifkan penggunaan mesin pompa air sehingga menaikkan biaya produksi.

(11)

Pikiran Rakyat Senin, 04 Agustus 2008

Pe t a n i Ud a n g Su lit k a n D a p a t k a n Air

Senin, 04 Agustus 2008 , 19:42:00

CIAMIS, (PRLM) - Puluhan petani udang galah di Kec. Pamarican, Kab. Ciamis terpaksa memindahkan ternaknya ke daerah lain yang masih menyisakan air untuk kolam udang. Hal itu dilakukan karena sebagian besar kolam pembesaran udang mulai mengering, sedangkan produksi benih udang (benur) terus berlangsung.

"Kalau tidak segera dipindahkan ke kolam yang banyak airnya, udang akan mati. Untuk mengurangi kerugian, kami terpaksa mengungsikannya ke daerah lain. Meski dengan cara ini keuntungan menjadi lebih sedikit, namun masih tetap memberikan hasil," ungkap Ketua kelompok Usaha Bersama (KUB) Mina Sejahtera Pamarican, Wagino Toyib, Senin (4/8).

Beberapa kolam udang galah yang mengalami kekeringan di antaranya terdapat di Desa Pamarican, Bangunsari, Margajaya dan Sukahurip. Sedangkan lokasi pengungsian atau kolam pemeliharaan yang baru ada di Desa Sidamulih, Pasrinagara, Panumbangan, Cisaga dan Tambaksari. "Kita pakai sistem maro (bagi dua) dan persentase. Meski untung kecil, yang penting usaha ini dapat terus berjalan, dan usaha udang galah dapat diselamatkan," tambahnya.

(12)

Suara Pembaruan Senin, 04 Agustus 2008

D ib u t u h k a n Rp 1 0 0 Tr iliu n Pe r b a ik i I r iga si

SP/Ruht Semiono

Warga melintas di atas bebatuan Sungai Cisadane yang bisa dilintasi karena debit air di sungai ini mulai menurun di Tangerang, Banten, beberapa waktu lalu. Penurunan debit air ini karena musim kemarau yang sudah tiba.

[JAKARTA] Biaya yang dibutuhkan untuk perbaikan jaringan infrastruktur pengairan dan irigasi sangat besar. Untuk mengembalikan kondisi pengairan dan irigasi ke posisi mampu berswasembada pangan, dibutuhkan dana sekitar Rp 100 triliun.

Menurut Deputi Menteri Perekonomian Bidang Pertanian dan Kelautan, Bayu Khrisnamurthi, perkiraan tersebut jauh lebih besar dibandingkan perkiraan awal tahun 2008 lalu, yakni sekitar Rp 70 triliun.

"Dana tersebut, membengkak karena penurunan kualitas air, pemeliharaan saluran irigasi yang terbatas, dan cepatnya konversi lahan di beberapa daerah aliran sungai," katanya, Senin (4/8) di Jakarta.

Menurut Bayu, perbaikan jaringan irigasi dan pengairan juga terkendala pertentangan kepentingan antardaerah administratif karena DAS mengalir lintas wilayah. "Persoalan irigasi dan pengairan ini sebagian besar berada di daerah," katanya.

Selain itu, lanjut Bayu, investasi yang ditanamkan untuk sektor itu juga berskala besar dan harus dilakukan sekaligus. "Perbaikan jaringan irigasi tidak bisa dicicil," katanya.

Bayu mencontohkan, pembangunan saluran irigasi dan pengairan besar-besaran pada dekade 1970-an yang kemudian mendukung adanya swasembada pangan pada 1980-an.

Meluas

Sementara itu, kekeringan yang melanda areal pertanian kian meluas. Ketua Umum Kontak Ta-ni dan Nelayan Andalan (KTNA), Winarno Tohir memperkirakan, kekeringan saat ini sudah mencakup arel persawahan seluas 200.000 hektare. Kondisi tersebut, bisa mengancam target produksi beras nasional yang dicanangkan pemerintah.

Winarno menyayangkan lemahnya antisipasi pemerintah terhadap persoalan kekeringan yang selalu berulang setiap tahun. Upaya pemerintah untuk memperbaiki irigasi, menurut Winarno, sepertinya jauh pangang dari api.

(13)

Jurnal Nasional Selasa, 05 Agustus 2008

Nusantara | Cirebon | Selasa, 05 Agt 2008 20:07:32 WIB

H a r ga Ga ba h di Cir e bon Tinggi, Be r a s St a b il

HARGA gabah pada Selasa (5/8 ) sejumlah daerah panen di Kabupaten Cirebon masih tetap tinggi berkisar antara Rp2.800 sampai Rp2.900 per kilogram gabah kering panen (GKP) atau jauh melebihi Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Rp2.000 per kilogram GKP.

Sementara itu, situasi harga beras di Pasar Pagi Cirebon yang merupakan sentra perdagangan beras wilayah III Cirebon, ternyata masih stabil dimana untuk kelas medium berkisar antara Rp4.600 sampai Rp5.000 per kilogram, akibat sepinya permintaan beras.

Beberapa petani di Kecamatan Palimanan, Ciwaringin, Klangenan, Sumber dan Plumbon yang sudah memasuki masa panen mengakui harga gabah saat ini mencapai rekor tertinggi terutama dipicu banyaknya areal padi yang puso baik di Cirebon maupun di Indramayu.

"Gabah saya ini sudah dipesan bandar dari Bakung, Cirebon dengan harga Rp2.850 per kilogram, padahal panen belum semua selesai. Kualitas yang lebih jelek karena serangan wereng masih berani dibeli Rp2.750 per kilogram," kata Rasta, Petani Desa Danawinangun, Kec Klangenan, Kab Cirebon.

Ia mengakui dengan hasil sekitar 6,5 ton gabah kering panen per hektar maka dirinya bisa mengantongi keuntungan bersih Rp12 juta karena biaya tanam sampai panen hanya menghabiskan modal sekitar Rp6,5 juta per hektar.

"Kalau dikurangi biaya sewa sudah dapat Rp10 juta bersih, makanya sekarang ini biaya sewa sawah juga meningkat," katanya.

Hal senada juga petani Muhamad, di Desa Pegagan, Kecamatan Palimanan, yang menjual gabahnya kepada penggilingan padi Rp2.900 per kilogram gabah kering panen.

"Takut tidak mendapat gabah semua tengkulak rebutan mencari dengan alasan banyak sawah yang puso terutama di Indramayu," katanya.

Tingginya harga gabah itu ternyata tidak serta merta mendongkrak harga beras di pasaran, terbukti harga beras di Pasar Pagi masih belum mengalami perubahan sejak sebulan terakhir.

Yuli, salah satu pedagang mengatakan, harga beras masih stabil karena stok pedagang masih banyak sementara permintaan masih normal. "Tanggal muda seperti sekarang biasanya permintaan melonjak tetapi justru masih normal," katanya.

Ia menjelaskan, eceran beras medium masih berkisar antara Rp4.600 sampai Rp5.000 per kilogram, sementara medium super seperti IMR dan Pandanwangi masih berkisar antara Rp5.800 sampai Rp6.000 per kilogram. Sedangkan beras super seperti Delangu masih berkisar antara Rp6.400 sampai Rp6.500 per kilogram.

"Masyarakat sekarang lebih banyak mencari beras yang murah antara Rp4.600 sampai Rp4.800 per kilogram, sementara beras yang lebih mahal dari itu biasanya dibeli restoran," katanya.

(14)

Jurnal Nasional Selasa, 05 Agustus 2008

"Banyak yang untungnya pas-pasan atau hanya sekedar tidak ada buruh yang menganggur," katanya.

Ia bahkan memperkirakan, harga gabah akan terus naik karena luasan puso musim gadu tahun ini lebih parah dibanding tahun-tahun sebelumnya.

(15)

Kompas Selasa, 05 Agustus 2008

Kekeringan

Pe t a n i Ru g i Ju t a a n Ru p ia h k a r e n a Pu so

Selasa, 5 Agustus 2008 | 01:04 WIB

Indramayu, Kompas - Gara-gara gagal panen atau puso di sebagian besar lahan pertanian di Indramayu, Jawa Barat, banyak petani rugi hingga jutaan rupiah karena kehilangan modal tanam. Mereka pun kehilangan peluang memperoleh gabah.

Catu (50), petani di Desa Losarang, Kecamatan Losarang, Senin (4/8), mengaku merugi sekitar Rp 10 juta karena lahannya seluas tiga bahu (sekitar 2,1 hektar) puso. Itu hanya dari modal tanam, sedangkan kerugian dari produksi padi yang gagal diperoleh belum dihitung.

Kerugian sama dialami Sarma (65), petani lain di Losarang. Ia merugi Rp 5 juta untuk sawahnya seluas satu bahu (sekitar 0,7 ha) yang terkena puso. Biaya produksi yang dikeluarkan sudah termasuk membuat sumur pantek senilai Rp 2 juta, yang kemudian tidak berfungsi optimal. ”Air yang keluar dari sumur pantek itu asin dan tidak bisa untuk mengairi sawah,” ujar Sarma.

Demikian pula dengan Suleman (65), petani di Desa Kertasari, Losarang, yang merugi sekitar Rp 15 juta karena sawahnya seluas 3,5 ha puso. Tidak ada satu karung pun padi yang dihasilkan dari sawah yang mulai ditanam Maret lalu. Padahal, sebagian hasil panen musim rendeng lalu habis digunakan untuk modal tanam musim gadu ini.

Sebagian petani ada yang terpaksa utang untuk modal tanam musim gadu. Salah satunya adalah Catu yang utang Rp 2 juta untuk tambahan modal.

Saat puso, umur tanaman padi Sarma, Catu, dan Suleman sekitar 90 hari. Produktivitas dari lahan satu bahu sekitar 4 ton. Dengan harga rata-rata gabah kering panen (GKP) di daerah tersebut Rp 2.700 per kilogram (kg), potensi kerugian dari padi yang seharusnya didapat berkisar Rp 10 juta per bahu.

(16)

Pikiran Rakyat Selasa, 05 Agustus 2008

H a r g a Ga b a h M e la m b u n g Tin g g i

Selasa, 05 Agustus 2008 , 18:29:00

SUMBER, (PRLM).- Harga gabah hasil panen gadu di wilayah Cimajakuning (Cirebon, Majalengka, dan Kuningan) melambung tinggi. Meski sudah mendekati panen raya, gabah masih bertengger pada harga tinggi jauh melampaui harga pembelian pemerintah (HPP).

Berdasarkan pemantauan "PRLM", Selasa (5/8), gabah kering panen (GKP) mendekati Rp 2.700,00 sampai Rp 2.800,00/kg. Jauh di atas HPP yang hanya Rp 2.000,00/kg. Sedangkan gabah kering giling (GKG), yang HPPnya Rp 2.575,00/kg, kini harganya minimal Rp 3.000,00/kg. Harga tersebut tetap bertahan dalam dua minggu terakhir.

Mad Syukur (35), seorang petani Ds. Tukmudal, Kec Cirebon Selatan menuturkan, tingginya harga gabah akibat banyaknya permintaan. Sebelum padi dipanen, sudah banyak bandar gabah yang datang untuk membeli.

"Ini kesempatan bagi saya untuk menjual dengan harga tinggi. Cukup dengan dua hari jemur, gabah saya laku sampai Rp 3.000,00/kg," katanya.

(17)

Jurnal Nasional Rabu, 06 Agustus 2008

Ekonomi | Ponorogo | Rabu, 06 Agt 2008 17:33:52 WIB

Pe t a n i Ja w a Tim u r Tu n t u t Pu p u k M u r a h

SEKITAR 200 petani Jawa Timur yang tergabung dalam Serikat Petani Indonesia (SPI) berunjuk rasa di depan Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten Ponorogo, menuntut kepada pemerintah memberikan pupuk dengan harga yang murah, Rabu (6/8).

Mereka adalah perwakilan dari masing-masing kabupaten di Jawa Timur antara lain dari Trenggalek, Tulungagung, Kediri, Tuban, dan petani dari kabupaten Ponorogo. Sebelumnya peserta aksi melakukan long march sejauh tiga km.

Koordinator aksi dari SPI Jawa Timur, Ruslan mengatakan, selain menuntut pupuk murah, petani di Jawa Timur yang bergabung dalam SPI menutut kepada pemerintah untuk memperluas lahan tanaman pangan melalui program pembaharuan agraria untuk menurunkan jumlah impor dan menjamin ketersediaan pangan dalam negeri.

"Selama ini petani terus mengalami kekalahan. Lahan pertanian yang selama ini menjadi andalan berubah fungsi sehingga kehidupan petani terancam. Untuk itu kami berharap pemerintah bertindak tegas agar petani bisa hidup layak," katanya.

Dia menjelaskan, petani saat ini memerlukan ketersediaan pupuk serta benih yang berkualitas serta ketersediaan lahan pertanian. Pasalnya selama ini petani terutama petani kecli hanya bisa sebagai buruh tani yang berpengahasilan di bawah rata-rata.

Ia menambahkan, pemerintah juga harus mengatur tata niaga bahan pangan dan tidak menyerahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar yang dikusasi oleh swasta.

(18)

Kompas Rabu, 06 Agustus 2008

Pot e n si Ra w a n Pa n g a n d i Su m se l M e lu a s

Rabu, 6 Agustus 2008 | 00:52 WIB

Palembang, Kompas - Potensi rawan pangan di Sumatera Selatan akibat gagal panen padi meluas ke empat kabupaten, yakni Ogan Ilir, Ogan Komering Ulu Timur, Musi Rawas, dan Ogan Komering Ilir. Selain memengaruhi stok pangan tingkat lokal, hal ini juga mengakibatkan terganggunya suplai beras ke luar provinsi itu, terutama Jambi, Bengkulu, dan Lampung.

Menurut Kepala Seksi Bencana Sosial Dinas Kesejahteraan Sosial (Dinkesos) Sumsel Anshori, Selasa (5/8) di Palembang, rawan pangan selalu terjadi tiap tahun, khususnya saat kemarau. Juli lalu potensi rawan pangan terjadi di tiga kabupaten, yakni Ogan Komering Ilir, Ogan Ilir, dan Ogan Komering Ulu Timur. Dari laporan anggota staf Taruna Siaga Bencana (Tagana) di kabupaten/kota awal Agustus 2008, potensi rawan pangan meluas ke empat kabupaten.

”Ada lebih dari 450 hektar lahan sawah lebak dan sawah pasang surut mengalami puso karena kekurangan air pada puncak kemarau ini,” katanya.

Untuk mengantisipasi rawan pangan, Dinkesos Sumsel sudah menyiapkan stok beras 200 ton. Stok bisa ditambah dengan stok milik pemerintah kabupaten/kota sebanyak 100 ton beras.

Berdasarkan pantauan, salah satu sawah lebak yang gagal panen terdapat di kawasan Desa Ibul, Kecamatan Pemulutan, Kabupaten Ogan Ilir. Di kecamatan itu ada sekitar 10 hektar sawah lebak dan rawa yang gagal panen. Daun tanaman padi menguning karena kekurangan air.

Cepat surut

Sholatifah (32), seorang petani, mengatakan, air di sawah lebak miliknya surut lebih cepat dari yang diperkirakan. Dari pola-pola tahunan, bulan Juli dan Agustus biasanya menjadi saat tepat bagi petani untuk menanam padi di sawah lebak.

”Ini karena air sudah surut. Sebagian lahan padi milik saya puso karena kekurangan air. Padahal, di sawah lebak sumber pengairan utama dari resapan air hujan,” katanya.

Mantan Kepala Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Sumsel Trisbani Arief menuturkan, gagal panen akibat kekeringan di Sumsel memang sering terjadi di sawah lebak. Pada tahun ini air di sawah lebak lebih cepat surut karena anomali cuaca.

(19)

Kompas Rabu, 06 Agustus 2008

Bu t u h Rp 1 0 0 Tr iliu n u n t u k Pe r t a n ia n d i Pa n t u r a

Ja w a

Rabu, 6 Agustus 2008 | 00:49 WIB

Jakarta, Kompas - Reinvestasi dalam jangka panjang sebesar Rp 100 triliun sangat dibutuhkan untuk mengembalikan pantai utara Jawa dalam bentuk infrastruktur dasar pertanian agar kembali ke daya dukung pada awal tahun 1990-an.

Besarnya investasi yang sama juga diperlukan jika ingin membuka wilayah-wilayah pertanian di luar Jawa. Lahan pertanian yang sempit bakal sulit memenuhi kebutuhan jumlah penduduk yang terus bertumbuh.

Deputi Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Pertanian dan Kelautan Bayu Krisnamurthi dalam seminar nasional ”Rekonstruksi Kebijakan Perdagangan Pangan untuk Kesejahteraan” di Jakarta, Selasa (5/8), mengatakan, ”Investasi besar-besaran itu sebagai cermin APBN. Artinya, kita harus punya rencana dan keputusan politik untuk investasi jangka panjang karena investasi ini tidak bisa dilakukan dalam satu tahun anggaran. Kita butuh waktu 5-10 tahun.”

Bukan hanya anggaran multi-tahun, tetapi juga multi-komitmen yang harus dilihat secara politis. Pergantian presiden setiap lima tahun sekali merupakan tantangan kebijakan pertanian.

Dari data Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air serta Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pekerjaan Umum terungkap, sebanyak 50 bendung dari total 106 bendung dan 13 dari total 47 bendungan di Pulau Jawa mengalami kerusakan. Sebagian besar kerusakan disebabkan perawatan operasional bangunan yang kurang memadai dan tuanya usia bangunan (Kompas, 28/7).

Bayu mengatakan, jika tahun 1970-an Indonesia membenahi pertanian dengan pinjaman jangka panjang, hal itu pun harus dicermati agar di kemudian hari tidak menjadi beban rakyat.

Investasi besar-besaran ini dibutuhkan untuk meningkatkan atau membangun jaringan irigasi baru dan membenahi sumber daya manusia. Pemerintah daerah pun harus berkomitmen dalam mengalokasikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk sektor pertanian.

”Kalau memang diputuskan tidak mau membenahi sektor pertanian demi ketahanan pangan nasional, ya harus diputuskan tidak,” kata Bayu.

Bayu menjelaskan, pertambahan penduduk Indonesia sekitar tiga juta per tahun. Itu artinya, kalau konsumsi beras 100 kilogram per tahun, minimal dibutuhkan beras sebanyak 300 juta kilogram per tahun.

Tantangan sangat berat

Menteri Pertanian Anton Apriyantono mengatakan, tantangan sektor pertanian memang sangat berat. Potensi lahan sangat kecil untuk bisa meningkatkan produktivitas.

Menurut Anton, dari lahan seluas 7,4 juta hektar, indeks pertanaman di Indonesia rata-rata hanya 1,6 dalam setahun. Artinya, petani baru bisa menanam rata-rata 1,6 kali dalam setahun. Produktivitas gabah kering giling hanya 4,7 ton per hektar.

(20)

Pikiran Rakyat Rabu, 06 Agustus 2008

H a r g a Ga b a h M e la m b u n g Tin g g i

Selasa, 05 Agustus 2008 , 18:29:00

SUMBER, (PRLM).- Harga gabah hasil panen gadu di wilayah Cimajakuning (Cirebon, Majalengka, dan Kuningan) melambung tinggi. Meski sudah mendekati panen raya, gabah masih bertengger pada harga tinggi jauh melampaui harga pembelian pemerintah (HPP).

Berdasarkan pemantauan "PRLM", Selasa (5/8), gabah kering panen (GKP) mendekati Rp 2.700,00 sampai Rp 2.800,00/kg. Jauh di atas HPP yang hanya Rp 2.000,00/kg. Sedangkan gabah kering giling (GKG), yang HPPnya Rp 2.575,00/kg, kini harganya minimal Rp 3.000,00/kg. Harga tersebut tetap bertahan dalam dua minggu terakhir.

Mad Syukur (35), seorang petani Ds. Tukmudal, Kec Cirebon Selatan menuturkan, tingginya harga gabah akibat banyaknya permintaan. Sebelum padi dipanen, sudah banyak bandar gabah yang datang untuk membeli.

"Ini kesempatan bagi saya untuk menjual dengan harga tinggi. Cukup dengan dua hari jemur, gabah saya laku sampai Rp 3.000,00/kg," katanya.

(21)

Kompas Kamis, 07 Agustus 2008

budidaya Kedelai Hitam

Pe t a n i Bu t u h Ke p a st ia n Usa h a M e r e k a

Kamis, 7 Agustus 2008 | 09:43 WIB

WATES, KOMPAS - Petani kedelai hitam di Kecamatan Lendah, Kulon Progo, membutuhkan kepastian tentang masa depan kerja sama dengan PT Unilever Indonesia Tbk karena sejumlah petani mengaku harga jual kedelai hitam jauh lebih rendah dibandingkan dengan kedelai kuning. Saat ini, harga jual kedelai kuning mencapai Rp 7.000 hingga Rp 7.200 per kilogram di tingkat petani. Sedangkan kedelai hitam hanya dihargai Rp 5.400 per kilogram oleh koperasi yang akan menyalurkannya ke PT Unilever Indonesia Tbk sebagai bahan baku kecap manis. Selisih harga ini mengecewakan kalangan petani karena mereka telanjur bekerja sama dengan PT Unilever Indonesia Tbk untuk menanam kedelai hitam agar ada peningkatan pendapatan. Ketua Kelompok Tani Makmur Wahyuharjo Tupiyana menjelaskan, sejumlah anggotanya menyatakan tidak lagi berminat menanam kedelai hitam tahun depan.

(22)

Kompas Jumat, 08 Agustus 2008

Be n ih Gr a t is u n t u k Pe t a n i

Jumat, 8 Agustus 2008 | 00:24 WIB

Medan, Kompas - Gagal panen yang dialami sebagian petani di Kabupaten Langkat dan Karo, Provinsi Sumatera Utara, diduga karena benih gratis yang diberikan kepada mereka palsu. Petani di kedua kabupaten tersebut memanen padi yang bulirnya tak berisi.

Menurut anggota Komisi B Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Utara (daerah pemilihan Langkat), Timbas Tarigan, dia mendapat laporan petani di kedua daerah tersebut mendapat benih yang diduga palsu sehingga panen mereka gagal. Bahkan, sebagian petani terpaksa memotong batang padi karena bulirnya sama sekali tidak berisi.

”Kami sekarang tengah mengevaluasi, apakah benih gratis yang diberikan kepada petani tersebut palsu karena petani mengeluh panen mereka gagal karena benihnya palsu. Benih palsu ini yang mengakibatkan mereka gagal panen,” ujar Timbas di Medan, Kamis (7/8).

Timbas mengungkapkan, dugaan benih gratis palsu yang didapat petani sangat wajar mengingat saat itu kebutuhan benih gratis untuk seluruh petani di Sumut tak bisa dipenuhi semuanya oleh dua produsen benih, PT Pertani dan PT Sang Hyang Sri. Menurut Timbas, ada kemungkinan kedua produsen mendapat sebagian benih gratis hasil penangkaran petani yang kemudian diberi label sebagai benih produksi PT Pertani maupun PT Sang Hyang Sri.

(23)

Kompas Jumat, 08 Agustus 2008

Ke k e r in g a n Te r p a r a h 5 Ta h u n I n i

Puso di Ja ba r 4 8 .7 2 0 H e k t a r

Jumat, 8 Agustus 2008 | 03:00 WIB

Bandung, Kompas - Kekeringan yang melanda areal tanaman padi di Jabar kian meluas. Hingga akhir Juli 2008, lahan yang kekeringan 126.986 hektar. Dari luas itu, 48.720 ha di antaranya puso atau gagal panen. Jika rata-rata produksi 1 ha adalah 5 ton gabah kering giling, total kehilangan akibat puso 243.600 ton.

Adapun kekeringan yang melanda di Jawa Tengah mengakibatkan 6.870 ha tanaman padi puso. Jika rata-rata 1 ha lahan pertanian menghasilkan 5,22 ton gabah kering giling (GKG), jumlah produksi yang gagal 35.861,4 ton GKG atau 20.030,8 ton beras.

Berdasarkan data dari Dinas Pertanian (Dispertan) Jabar, Kamis, areal pertanian yang mengalami kekeringan kategori berat seluas 25.386 ha. Luas areal tanaman padi yang kekeringan pada 2008 lebih besar daripada 2007. Pada 2007 luas kekeringan 98.345 ha, sedangkan tanaman padi yang puso 35.861 ha.

Dari 20 kabupaten/kota di Jabar yang kekeringan, Kabupaten Indramayu mengalami kekeringan terparah dengan luas 40.874 ha. Dari jumlah itu, 6.790 ha termasuk kategori kekeringan berat dan 22.870 ha puso.

Dispertan Jabar memperkirakan luas areal tanaman padi yang puso pada 2008 mencapai 50.000 ha. Jumlah itu di atas rata-rata puso selama lima tahun ini, sekitar 35.000 ha.

Koordinator Petugas Penyuluh Pertanian Dispertan Jabar, Ues Herdiana, di Bandung, Kamis, mengatakan, luas areal tanam di Jabar sejak Januari-Juni 2008 mencapai 1.022.491 ha. Adapun target akselerasi peningkatan produksi padi Dispertan pada tahun ini 10.551.368 ton GKG. Namun melihat kondisi sekarang, estimasi produksi padi Dispertan yakni 10.532.474 ton GKG.

Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Indramayu Apas Fahmi mengakui, kekeringan tahun ini lebih parah daripada beberapa tahun sebelumnya. Namun, ia tetap optimistis produksi padi Jabar dapat tercapai. ”Meskipun produksi padi di Indramayu menurun, di wilayah lain pasti ada yang surplus,” katanya.

Penurunan produksi padi di Indramayu, menurut Apas, diperkirakan 10 persen. Rata-rata produksi padi Indaramayu mencapai 1,2 juta ton GKG per tahun.

Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Jateng mencatat, jumlah persediaan beras di Provinsi Jateng hingga Juni 2008 surplus 1,93 juta ton. Jumlah itu berasal dari realisasi jumlah produksi beras sebesar 3,33 juta ton dikurangi konsumsi masyarakat 1,4 juta ton.

Tak pengaruhi stok

Kepala Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Jateng Aris Budiono, Kamis, mengatakan, kekeringan di 25 kabupaten tak terlalu memengaruhi stok pangan. ”Itu bisa dibandingkan dari keseluruhan luas panen dengan luas lahan yang puso akibat kekeringan,” ujarnya. Luas panen hingga Juni 1,09 juta ha, sedangkan lahan yang puso 6.870 ha.

(24)

Kompas Jumat, 08 Agustus 2008

Di Kabupaten Brebes, 603 ha tanaman padi kekeringan dan 91 ha di antaranya puso.

Di Kabupaten Gresik, Jawa Timur, musim kering ini dinilai tak memengaruhi ketahanan pangan. Kepala Subdinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian Gresik Agus Djoko Waluyo, Kamis, mengatakan, stok pangan aman karena pada musim panen Januari-Februari produksi melebihi target. Dari target produksi rata-rata 6,1 ton per ha terealiasasi 6,8 ton dengan luas tanam padi 53.000 ha.

(25)

Kompas Jumat, 08 Agsutus 2008

Sist e m Ta n a m Ae r ob D on g k r a k Pr od u k si Pa d i

Jumat, 8 Agustus 2008 | 00:52 WIB

Sungguminasa, Kompas - Penanaman padi dengan sistem Intensifikasi Padi Aerob Terkendali Berbasis Organik diujicobakan di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, dan hasilnya dipanen Kamis (7/8). Sawah yang ditanami padi dengan sistem itu menghasilkan rata-rata 7 ton gabah kering giling per hektar, sekitar 52 persen di atas produktivitas rata-rata sistem padi tradisional di Gowa yang 4,6 ton GKG per hektar.

Uji coba Intensifikasi Padi Aerob Terkendali (IPAT) Berbasis Organik (BO) itu dilakukan di 16 hektar sawah yang tersebar di delapan kecamatan di Gowa dan ditanam pada akhir April lalu. Varietas padi yang digunakan dalam uji coba adalah cigeulis.

Kemarin dilakukan panenan pertama di sawah yang berada di Desa Bontobiraeng Selatan, Kecamatan Bontonompo. Panen dilakukan oleh Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo, Panglima Kodam VII/Wirabuana Mayor Jenderal TNI Djoko Susilo Utomo, Asisten Deputi Ilmu Hayati Kementerian Negara Riset dan Teknologi Prasetyo Sunaryo, serta Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo.

Setelah ditimbang, Kepala Subdinas Produksi Padi Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Gowa Abdul Rauf Bilal menyatakan, produktivitas dua blok sawah uji coba masing-masing 6,52 ton dan 7,62 ton gabah kering giling (GKG).

Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo mengatakan, hasil itu jauh lebih banyak dari rata-rata produktivitas sawah tradisional. ”Dengan hasil itu, kami akan membuat sawah uji coba 2 hektar di 167 desa di Gowa,” katanya.

Hemat pupuk dan benih

Dengan sistem IPAT BO, petani cukup menanam serumpun padi di setiap lubang penanaman. Ichsan menyatakan, karena IPAT BO mengontrol penggunaan air secara ketat—sawah hanya dibiarkan becek tanpa tergenang— sistem penanaman itu lebih hemat pupuk dan benih.

(26)

Kompas Senin, 11 Agutsus 2008

Kekeringan

Air I r iga si Pe r t a nia n D igilir

Senin, 11 Agustus 2008 | 01:31 WIB

Ogan Komering Ulu Timur, KompasPetani di Kecamatan Belitang, Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Sumatera Selatan, menerapkan sistem bergiliran air irigasi dari Bendungan Komering ke lahan pertanian sebagai upaya mengatasi dampak kekeringan.

Demikian kesimpulan dari kegiatan ”Panen Padi Gaduh 2008” di Desa Sukanegara, Kecamatan Belitang, Sabtu (9/8), yang dihadiri Bupati Ogan Komering Ulu Timur Herman Deru.

Sukur (42), tokoh petani di Belitang, mengatakan, sistem penggiliran air irigasi merupakan cara yang baru diterapkan di Belitang sehingga pada panen gadu ini baru terlihat hasilnya. Sistem ini diterapkan agar tak ada panen raya yang sering kali merugikan petani karena harga gabah selalu jatuh.

Sementara itu, Kelompok Tani Bangun Mulyo, Desa Kirig, Kecamatan Mejobo, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, Sabtu, memanen padi hasil teknologi system of rice intensification (SRI). Produksinya rata-rata 5 ton gabah kering panen per hektar.

Menurut Dekan Fakultas Pertanian Universitas Muria Kudus Hendi Hendro, teknologi SRI merupakan teknologi budidaya tanaman padi yang hemat air, ramah lingkungan, dan berkelanjutan.

(27)

Suara Pembaruan Senin, 11 Agsutus 2008

Up a y a Su lse l Tin g k a t k a n Pr od u k si Be r a s

SP/M Kiblat Said

Program Intensifikasi Padi Aerob Terkendali Berbasis Organik di Desa Bontonompo, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, berhasil meningkatkan produksi padi dari 4 ton per hektare (ha) menjadi 7,8 ton per ha. Hasil uji coba program itu dipanen bersama, Kamis (7/8) oleh Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo, Pangdam VII/Wirabuana Mayjen TNI Djoko Susilo Utomo, dan Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo.

Berbagai program dipacu untuk membangkitkan semangat petani agar mampu melipatgandakan produksi padi untuk mengejar target surplus beras dua juta ton di Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel). Salah satu program adalah Intensifikasi Padi Aerob Terkendali Berbasis Organik (IPAT-BO) yang berhasil diuji coba di Desa Bontonompo, Kabupaten Gowa.

"Program ini dicoba di 15 lokasi, hasilnya menggembirakan," kata Bupati Gowa, Ichsan Yasin Limpo pada pelaksanaan panen hasil uji coba program IPAT-BO dan pembukaan pelatihan pertanian bagi anggota Bintara Pembina Desa (Babinsa) Kodim 1409/Gowa, Bintara Pembina Keamanan Ketertiban Masyarakat (Babinkamtibmas) Polres Gowa serta Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) Gowa di Gowa, Kamis (7/8).

Hasil uji coba, tambahnya, produksi padi mencapai 7,8 ton gabah kering panen (GKP) per hektare (ha), kalau dikonversi ke gabah kering giling (GKG) menjadi 6,25 ton. Padahal, dengan cara tradisional hanya menghasilkan sekitar 4 ton per ha.

Lebih Hemat

Ichsan mengatakan, model program ini lebih hemat benih karena tiap lubang hanya diisi sebutir padi dengan jarak tanam yang longgar untuk memberi sinar matahari lebih banyak pada tanaman, usianya hingga panen 115 hari, penggunaan air terbatas (aerob) dan juga pupuk. Pelaksanaan percontohan dilakukan petani dibantu Babinsa, Babinkamtibmas, dan PPL.

"Musim tanam Oktober mendatang, program ini dilanjutkan di 167 desa dan kelurahan, masing-masing dibuat percontohan seluas 2 ha. TNI dan Polri bersama PPL diberi tanggung jawab mengelola demplot," jelasnya.

Untuk perluasan program tersebut, TNI dan Polri lebih dulu dimodali pelatihan, tidak seperti latihan yang biasa mereka lakukan di markas kesatuannya. Akan tetapi, 100 Babinsa, 42 Babinkantibmas bersama 36 PPL mengikuti pelatihan pertanian teknologi IPAT-BO yang dibuka Panglima Kodam VII/Wirabuana, Mayjen TNI Djoko Susilo Utomo, Kamis siang, di Bontonompo.

Para prajurit diberi pengetahuan oleh ahli pertanian melalui pelatihan khusus tentang program IPAT-BO. Mereka akan melakukan praktik mengelola percontohan di tiap desa dan kelurahan.

(28)

Suara Pembaruan Senin, 11 Agsutus 2008

Selain melibatkan prajurit, Dinas Pertanian Gowa membuka sekolah tani. Petani tidak hanya sebatas tahu bertani, mereka diberi pemahaman untuk menguasai teknologi pertanian melalui Sekolah Lapang Pengolahan Tanaman Terpadu (SLPTT). Tiap minggu sekali petani mengikuti pertemuan dipandu fasilitator penyuluh dan pengamat hama untuk membahas persoalan yang sering dihadapi di lapangan menghadapi target surplus yang dimulai musim tanam Oktober 2008 hingga Maret 2009, April 2009 hingga September 2009.

(29)

Kompas Selasa, 12 Agustus 2008

Ra t u sa n Pe t a n i Tola k Pe n g g u su r a n La h a n

Selasa, 12 Agustus 2008 | 01:55 WIB

Jambi, Kompas - Sekitar 250 petani di Desa Kemenyan, Kebun Sembilan, Muaro Jambi, berunjuk rasa ke Kantor Gubernur Jambi, Senin (11/8). Mereka menuntut penghentian kegiatan pembangunan Markas Komando Brigadir Mobil Kepolisian Daerah Jambi di desa mereka karena telah mengakibatkan penggusuran sebagian kebun milik petani.

Massa berkumpul sekitar pukul 09.00 di halaman Kantor Gubernur.

Samsul, petani setempat yang menjadi koordinator aksi Persatuan Petani Kemenyan, mengatakan, pembangunan Markas Brimob yang telah berlangsung selama dua bulan terakhir mengakibatkan penggusuran pada kebun warga berupa kebun tebu, karet, dan buah-buahan. Diperkirakan kebun yang telah dibangun untuk kompleks asrama mencapai 40 hektar. Pembangunan tersebut dikhawatirkan bakal terus meluas dan akan semakin menggusur kebun milik petani.

”Karena itu, kami menuntut penghentian aktivitas pembangunan oleh kepolisian daerah sampai ada penyelesaian terhadap nasib kami, para petani,” tuturnya.

Sejak 1982

Samsul melanjutkan, meski status lahan adalah milik pemprov, warga telah menempati wilayah tersebut sejak tahun 1982. Semakin lama semakin banyak pendatang sehingga saat ini diperkirakan sudah bermukim sekitar 1.000 keluarga. Ia sendiri mengaku telah menggarap sekitar dua hektar lahan yang ditanami tebu. ”Kami khawatir lahan yang telah bertahun-tahun kami garap bakal digusur untuk pembangunan asrama,” ujarnya.

Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Jambi Ajun Komisaris Besar Syamsudin Lubis mengatakan, pembangunan mes dilaksanakan oleh polda di atas tanah seluas 40 hektar yang merupakan hibah dari Pemerintah Provinsi Jambi. Hibah tersebut diberikan sekitar satu tahun lalu.

Menurut Lubis, polda sendiri sebelumnya tidak mengetahui bahwa saat tanah dihibahkan ternyata telah diduduki oleh masyarakat petani. Oleh karena itu, pihaknya meminta Pemprov segera menyelesaikan sengketa tanah tersebut dengan masyarakat setempat.

”Kami tidak ingin berkonflik dengan masyarakat. Oleh karena itu, kami berharap Pemprov secepatnya menyelesaikan masalah lahan tersebut,” tuturnya.

(30)

Kompas Selasa, 12 Agustus 2008

" Ke ce r d a sa n " Pe t a n i M e n g h a d a p i Ke m a r a u

Selasa, 12 Agustus 2008 | 01:54 WIB

Sistem giliran air yang diterapkan petani di Kecamatan Belitang, Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, merupakan salah satu bukti ”kecerdasan” mereka dalam menyiasati dan menghadapi dampak negatif musim kemarau. Dengan sistem ini, petani tidak hanya mengubah pola tanam ke arah hasil panen yang lebih produktif, tetapi juga mempertahankan stabilitas harga padi di pasaran.

Seperti diketahui, satu-satunya sumber air irigasi bagi mayoritas lahan persawahan di Kecamatan Belitang berasal dari Sungai Komering yang aliran airnya dialihkan dan dibendung di Bendungan Komering. Sistem irigasi teknis inilah yang mendukung Kecamatan Belitang tetap menjadi sumber produksi padi terbesar di Sumatera Selatan yang tahun lalu mencapai 500.000 ton setara beras.

Menurut Sofyan (32), petani padi dari Desa Sukajadi, Kecamatan Belitang, sebelum sistem giliran air irigasi ini diterapkan, banyak terjadi konflik antarpetani padi akibat berebut mendapatkan air selama menanam di musim kemarau. Baru pada tahun 2006, petani dan pemerintah setempat duduk bersama untuk memecahkan persoalan distribusi air irigasi.

Akhirnya, sistem giliran air tersebut mulai diterapkan pada tahun 2007. Lokasi penerapannya difokuskan pada areal persawahan yang dilewati saluran irigasi Bendungan Komering.

Syukur (44), tokoh petani dari Desa Sukanegara, menambahkan, setelah sistem bergiliran air diterapkan, konflik petani berebut air pada musim kemarau praktis menghilang. Ini terjadi karena semua lahan sawah petani dipastikan memperoleh jatah air irigasi yang sangat cukup sehingga tidak ada lagi cerita padi mati kekeringan.

”Kalau padi diserang hama, ini namanya perkecualian. Namun, setidaknya persoalan padi yang mati kekeringan sudah bisa dihindari,” ucap Syukur.

(31)

Kompas Selasa, 12 Agustus 2008

Pe t a n i Un j u k Ra sa M in t a Pa sok a n Air

Selasa, 12 Agustus 2008 | 01:21 WIB

Subang, Kompas - Puluhan petani dari lima desa di Kecamatan Legonkulon, Pamanukan, dan Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa Barat, Senin (11/8), berunjuk rasa di Kantor Dinas Binamarga Subang dan Perum Jasa Tirta II Divisi III. Mereka meminta pasokan air karena sejak dua bulan lalu pasokan air tak lancar dan mengakibatkan 1.580 hektar sawah siap tanam di daerah itu mengering.

Tarli (50), petani di Desa Bobos, Kecamatan Legonkulon, mengatakan, minimnya pasokan air tidak hanya menyebabkan sawah mengering. Konflik antarpetani sering muncul karena rebutan air dan saling serobot di sepanjang saluran irigasi.

Koordinator aksi dari Forum Masyarakat Legonkulon, Mukti Ali Bonang, menambahkan, sekitar separuh dari 1.580 hektar sawah di Desa Bobos, Pangarengan, Pamanukan Selatan, Mundusari, dan Karangmulya itu telah diolah. Petani juga telah menyiapkan bibit di penyemaian, tetapi kini mayoritas mengering.

Kepala Desa Bobos Teguh Yudha Nugraha menambahkan, kekeringan terjadi hampir setiap musim kemarau. Namun, petani kini tak mampu menyedot air dengan pompa karena tingginya ongkos operasional pascakenaikan harga bahan bakar minyak.

Menanggapi tuntutan itu, Kepala Dinas Binamarga Subang Dondon Rodiatun dan Hudaya yang mewakili PJT II Divisi III berjanji akan memfasilitasi pertemuan antara petani dan petugas di lapangan pada Selasa.

Hudaya menambahkan, debit air yang keluar dari Bendung Salam Dharma menuju sejumlah saluran sekunder, termasuk ke lima desa tersebut, berkurang dari 25 meter kubik per detik menjadi 20 meter kubik per detik akibat menurunnya debit sejak memasuki musim kemarau.

Di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, 8.796 hektar sawah gagal panen akibat kekeringan. Debit air untuk pengairan turun drastis dibandingkan dengan saat normal pada musim hujan. ”Debit air yang tersisa untuk pengairan di seluruh wilayah Kabupaten Sukabumi tinggal 11 persen dibandingkan dengan kondisi normal saat musim hujan,” kata Hilman, Kepala Seksi Operasi dan Pembinaan Jaringan Irigasi, Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Kabupaten Sukabumi, Senin.

Hujan awal November

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) memprediksi, musim kemarau di Indonesia tidak akan berkepanjangan. Berdasarkan hasil penelitian Tim Permodelan Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim (Pusfatsatklim) Lapan, hujan akan mulai turun pada awal November 2008.

(32)

Kompas Rabu, 13 Agustus 2008

Pengairan

Sa lu r a n I r ig a si d i Ke n d a l D ip e n u h i En d a p a n

Rabu, 13 Agustus 2008 | 10:41 WIB

KENDAL, KOMPAS - Saluran irigasi di Kabupaten Kendal terganggu karena dipenuhi material endapan yang dibawa bersama air hujan. Akibatnya, kapasitas air di saluran tersebut tidak optimal.

Kepala Bidang Pengairan Dinas Bina Marga dan Pengairan Kendal Totok Pudjo Buntoro mengatakan, material endapan yang berupa lumpur bercampur pasir itu terbawa oleh air hujan yang mengalir dari ketinggian.

"Hal ini karena daerah tangkapan air di Kendal semakin minim sehingga lebih banyak air yang mengalir di permukaan (ran off) dibandingkan dengan yang terserap," ucap Totok, di Kendal, Selasa (12/8). Kawasan yang minim daerah tangkapan air adalah Limbangan, Singorojo, Boja, Sukorejo, dan Pagaruyung.

Menurut Totok, dari 97 saluran irigasi di Kendal, hampir seluruhnya ada endapan sehingga kapasitas air yang mengalir berkurang sekitar 50 persen. Rata-rata panjang tiap saluran irigasi 5-25 kilometer.

Untuk menanggulangi sedimentasi tersebut, lanjut Totok, Pemerintah Kabupaten Kendal mengalokasikan dana Rp 3,5 miliar untuk pengerukan material dan perbaikan saluran. "Padahal setidaknya dibutuhkan Rp 25 miliar untuk memperbaiki seluruh saluran tersebut," ucap Totok.

Kepala Dinas Bina Marga dan Pengairan Kabupaten Kendal Sugiyono mengatakan, untuk menghilangkan endapan pada saluran irigasi tidak bisa hanya dilakukan dinasnya, tetapi perlu kerja sama dengan instansi terkait.

(33)

Jurnal Nasional Kamis, 14 Agsutus 2008

2 0 0 9 , Bu log Ek sp or Be r a s

by : Wahyu Utomo

PERUM Bulog siap melakukan ekspor beras pada 2009 jika terdapat surplus atau kelebihan di gudang Bulog sebanyak tiga juta ton beras.

Direktur Utama (Dirut) Perum Bulog, Mustafa Abubakar, di Kabupaten Serang, Banten, Rabu, (13/8) mengatakan, dengan meningkatnya harga beras di pasar internasional mengakibatkan munculnya permintaan beras dari negara lain ke Indonesia. “Permintaan dari Filipina, Malaysia, dan Brunei, selain itu kita bisa ekspor ke Hong Kong ataupun Timor Leste,” katanya pada panen raya di Desa Bojong Catang, Kecamatan Tunjung Teja seperti dilansir Antara.

Dalam panen yang juga dihadiri Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah serta Bupati Serang itu, Mustafa mengatakan, selain surplus ekspor beras akan dilakukan jika harga dalam negeri telah stabil serta target peningkatan produksi padi lima persen tahun ini tercapai.

Saat ini, di Sulawesi Selatan telah mengalami surplus sebesar dua juta ton, beberapa daerah lain diharapkan juga akan terjadi kelebihan produksi.

Sementara itu, menyinggung pengadaan beras dalam negeri saat ini, menurut dia, hingga Agustus telah terealisasi sebanyak 2,3 juta ton dari target 2008 sebanyak 3,4 juta ton.

Pengadaan tersebut berasal dari pembelian melalui HPP sebanyak 2,1 juta ton, dan non HPP 240 ribu ton yang antara lain berasal dari Provinsi Jawa Tengah, Jawa Barat, DIY, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan NTB.

(34)

Pikiran Rakyat Kamis, 14 Agustus 2008

Pe t a ni Pilih Jua l Ga ba h k e Te n g k u la k

Kamis, 14 Agustus 2008 , 19:20:00

KARAWANG, (PRLM) - Petani di Kab. Karawang memilih menjual gabah ke tengkulak daripada ke Dolog saat memasuki masa panen di musim gadu. Pasalnya, menurut mereka prosedur penjualan gabah ke tengkulak lebih mudah dengan harga yang relatif tinggi.

"Agak rudet kalau menjual gabah ke Dolog. Kalau ke tengkulak, kan, lebih gampang. Waktu mereka sepakat dengan harga, langsung dibayar," kata Cako Pranolo (48), petani di sepanjang ruas jalan Telagasari-Majalaya Kab. Karawang, Kamis (14/8).

Dari luas sawah 700 ha yang dimilikinya, menghasilkan gabah 4,5 ton. Gabah itu sudah siap dijual ke tengkulak Rp 2.850,00/kg. Sedangkan harga beli di Dolog Rp 2.200,00/kg. Menurut Cako, gabah yang ia jual nantinya setelah menjadi beras akan dijual ke luar Karawang bahkan hingga ke daerah Palembang, Medan, dan Lampung.

Alasan lain Cako menjual ke tengkulak karena uang yang diterimanya nanti mampu menutup biaya operasional selama masa tanam hingga masa panen. "Kalau di Dolog mana mungkin bisa menutup semua biaya operasional," ucapnya.

Selama masa tanam, Cako mengeluarkan banyak biaya seperti menyewa traktor senilai Rp 500 ribu per hektar, biaya pompa saat musim kemarau yang jumlahnya tidak ia ingat, dan mengupah petani penggarap.

Sementara itu, Kepala Subdivre Wilayah V, Karawang, Dadang Edi Jumana, sempat mengaku kesulitan mendapatkan gabah dari petani yang disebabkan harga gabah di pasaran yang melambung tinggi jauh dari harga yang ditetapkan pemerintah. "Pemerintah, kan, menetapkan Rp 2.200,00/kg, tapi harga di pasaran sekarang mencapai Rp 2.900,00/kg," katanya.

(35)

Pikiran Rakyat Jumat, 15 Agustus 2008

Pe t a n i Bu t u h Ba n t u a n Pe r m od a la n

Jum'at, 15 Agustus 2008 , 00:07:00

TASIKMALAYA, (PRLM).- Kredit yang telah disalurkan selama tahun 2008, dari perbankan di wilayah kerja Bank Indonesia (BI) Tasikmalaya, untuk sektor pertanian sangat kecil sekali hanya sebesar Rp 146 miliar atau 2,58 persen. Padahal total kredit yang telah disalurkan selama enam bulan dari Januari sampai akhir Juli 2008 di Tasikmalaya dan sekitarnya, sebesar Rp 5,6 triliun.

Pimpinan BI Tasikmalaya Yoyo Soenaryo, Kamis (14/8), mengatakan, masih minimnya porsi pembiayaan kepada sektor pertanian, tentunya bukan karena petani tidak membutuhkan bantuan permodalan. Namun, dikarenakan banyak yang tidak memiliki agunan sendiri dan kebanyakan petani penggarap.

”Makanya, kredit ke usaha pertanian, saya lihat masih sangat kecil. Lalu, sektor pertanian memiliki karekteristis usaha yang berbeda dengan sektor usaha lain. Sehingga, butuh skim kredit yang khusus dengan grace period yang cukup panjang. Oleh karena itu, perlu dikembangkan pola pembiayaan yang aplikatif untuk menyentuh sektor pertanian, seperti pola inti plasma atau pembiayaan secara kelompok,” kata Yoyo saat membuka lokakarya intemediasi akses permodalan untuk 63 kelompok tani terhadap lembaga keuangan bank di wilayah kerja BI Tasikmalaya.

(36)

Pikiran Rakyat Jumat, 15 Agustus 2008

PU t a m b a h d a n a r e h a b ilit a si ir ig a si

JAKARTA: Departemen Pekerjaan Umum akan menambah alokasi anggaran rehabilitasi jaringan irigasi Bendung Rentang, di Majalengka, Jawa Barat pada tahun depan untuk meningkatkan kapasitasnya.

Menteri PU Djoko Kirmanto mengatakan dalam kondisi normal, Bendung Rentang mampu mengairi 87.000 hektare sawah yang tersebar di Cirebon dan Indramayu. Tahun ini departemen telah mengalokasikan Rp13 miliar untuk program rehabilitasi jaringan irigasi.

"Kami ingin pada saat Waduk Jatigede selesai pada 2011, jaringan irigasinya sudah siap" jelasnya dalam siaran pers, kemarin.

(37)

Kompas Sabtu, 16 Agustus 2008

RAPBN 2009

Alok a si u n t u k Su b sid i Pe r t a n ia n Se b e sa r Rp 3 2

Tr iliun

Sabtu, 16 Agustus 2008 | 00:41 WIB

Jakarta, Kompas - Subsidi pertanian dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau RAPBN 2009 ditetapkan Rp 32 triliun. Anggaran itu dibagi untuk subsidi pangan, benih, dan pupuk.

Hal itu diungkapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato kenegaraan di DPR, Jumat (15/8) di Jakarta. Dikatakan, subsidi pertanian itu untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan mengurangi kemiskinan di pedesaan.

Deputi Menko Perekonomian Bidang Pertanian dan Kelautan Bayu Krisnamurthi sebelumnya menyatakan nilai subsidi pertanian 2008 mencapai Rp 19 triliun. Naiknya anggaran subsidi antara lain karena harga pupuk naik.

Pemberian subsidi untuk benih dan pupuk dimaksudkan untuk mendorong peningkatan produksi beras, jagung, dan kedelai nasional. Direncanakan, pemberian subsidi di masa-masa mendatang bisa lebih tepat sasaran.

Dalam rencana kerja Deptan 2009 terungkap, sasaran pencapaian produk domestik bruto sektor pertanian tahun 2009 sebesar 4,6 persen atau naik 0,40 persen dibandingkan dengan tahun 2008.

Penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian diharapkan mencapai 44,2 juta jiwa, dari sebelumnya 43,4 juta jiwa, atau meningkat 800.000 tenaga kerja.

Adapun tingkat rawan pangan ditargetkan turun 1 persen, nilai tukar petani menjadi 115-120, dan neraca perdagangan pertanian mencapai 16,22 miliar dollar AS, dari sebelumnya 12,41 miliar dollar AS.

Menurut Menteri Pertanian Anton Apriyantono, total alokasi anggaran untuk subsidi pertanian yang disebutkan Presiden itu di luar anggaran yang dialokasikan ke Deptan sebesar Rp 8,3 triliun.

Dari total subsidi Rp 32 triliun, sebesar Rp 20,4 triliun untuk pupuk, Rp 1,5 triliun untuk benih, dan sisanya untuk pangan, antara lain beras untuk rakyat miskin.

Target tetap

Menteri Pertanian mengungkapkan, Deptan menghitung, pembangunan pertanian 2009 memerlukan Rp 9,201 triliun. Namun, dalam RAPBN 2009, Deptan hanya mendapat sekitar Rp 8,3 triliun.

Meski mendapat alokasi lebih rendah dari perhitungan, menurut Anton, Deptan tidak akan mengubah target.

Khusus tanaman pangan, ditargetkan produksi gabah 63-64 juta ton gabah kering giling, jagung 18 juta ton, dan kedelai 1,5 juta ton. Pulau Jawa masih menjadi basis utama produksi.

Untuk meningkatkan produksi beras, pemerintah fokus pada penyediaan benih unggul bermutu bersertifikat dan perluasan pelaksanaan sekolah lapang.

(38)

Kompas Sabtu, 16 Agustus 2008

(39)

Suara Pembaruan Sabtu, 16 Agustus 2008

Pe r t a m a Ka li Se j a k Kr isis, RI Ca p a i Sw a se m b a d a

Be r a s

[JAKARTA] Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan optimismenya tahun ini Indonesia mampu berswasembada beras. Menurut Presiden, pencapaian swasembada merupakan kali pertama terjadi sejak krisis menghantam Indonesia sati dekade terakhir.

Sebelumnya di masa Orde Baru Indonesia pernah mencapai swasembada beras pada tahun 1984. Hal tersebut disampaikan Presiden SBY dalam pembacaan Nota Keuangan dan RAPBN 2009 di Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta, Jumat (15/8).

Dalam kesempatan itu, SBY mengajak bangsa Indonesia bersyukur karena di tengah situasi ekonomi dunia yang tidak menentu, produksi padi Indonesia relatif lebih baik dari banyak negara lain di dunia.

"Mungkin fakta ini belum banyak diketahui masyarakat. Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan kepada sidang dewan dan seluruh rakyat Indonesia, mudah-mudahan pada tahun ini kita kembali mencapai swasembada beras," ujarnya.

Swasembada yang berhasil dicapai untuk pertama kalinya sejak masa Orde Baru, produksi beras nasional lebih tinggi dari konsumsi beras. Dari sisi harga, lanjut Presiden, juga untuk pertama kali sejak masa Orde Baru, harga beras di dalam negeri lebih rendah dari harga beras internasional. "Surplus beras ini harus dipertahankan dan ditingkatkan. Kita harus memperkuat stok beras pangan nasional," ujarnya.

Tahun ini, pemerintah menetapkan stok beras nasional ditingkatkan menjadi 3 juta ton dari sebelumnya hanya 1 juta ton. Stok beras yang kuat ini akan menjamin ketahanan pangan, sekaligus stabilitas harga beras pada tingkatan yang terjangkau pada masyarakat luas.

"Baru setelah itu kita bicara tentang kemungkinan ekspor beras," tuturnya.

(40)

Kompas Senin, 18 Agustus 2008

Ek spe disi 2 0 0 Ta hun Anj e r - Pa na r oe k a n

Ek sp a n si Pe t a n i k e M a j a le n g k a

Senin, 18 Agustus 2008 | 03:00 WIB

Terik matahari terasa menyengat di sebuah gubuk di lahan pertanian Desa Paku Beureum, Majalengka, Jawa Barat, Minggu (17/8) siang. Siang itu Darto (42) menanak nasi ditemani Sonata (50) yang sibuk memotong daun kangkung dan menyiapkan bumbu masak.

Semuanya serba seadanya, gubuk sederhana beratapkan alang-alang dengan terpal plastik sebagai dindingnya. Tungku tanah liat buatan sendiri dan panci peyot dijadikan sebagai alat masak.

Sudah dua minggu Darto dan Sonata tinggal di gubuk terpal di tengah lahan persawahan Desa Paku Beureum. Seluruh aktivitas, seperti memasak, makan, minum, dan tidur, dilakukan di dalam gubuk bersama empat teman mereka.

Enam pria itu meninggalkan kampung halaman mereka di Grinting, Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, untuk bertani bawang merah. Mereka menggarap lahan warga Paku Beureum yang disewa Taryono.

Air menjadi alasan mereka berladang di Paku Beureum. Lahan pertanian mereka di Brebes sudah tak bisa lagi ditanami bawang merah. Kemarau panjang telah membuat lahan petani bawang di Brebes kekeringan. Tak ada lagi air yang bisa mengairi lahan. ”Di Brebes sudah enggak bisa nanem bawang lagi. Airnya kering. Musim kemarau sih,” kata Taryono.

Dengan bantuan kuwu atau kepala desa, Taryono menyewa lahan seluas 2,5 hektar di Paku Beureum. Harga sewa Rp 2,8 juta per hektar sehingga modal sewa tanah yang harus dikeluarkan mencapai Rp 7 juta untuk satu musim tanam.

Modal lain yang harus diserahkan kepada kuwu adalah biaya pengairan sebesar Rp 5 juta per musim. Jika ditambah biaya pembelian bibit dan pupuk, totalnya mencapai lebih kurang Rp 50 juta untuk sekali tanam. Itu belum termasuk biaya lain-lain, seperti biaya keamanan Rp 100.000 dan ”jatah preman” yang besarnya tak bisa ditentukan.

”Kalau ditotal, keuntungan bersihnya paling Rp 5 jutaan soalnya modalnya dapat utang ke tengkulak pupuk. Sisanya dibagi dengan pekerja lain. Walaupun kecil, hasilnya tetap lumayan daripada tak menanam sama sekali,” tutur Taryono.

Demi dapur

(41)

Kompas Senin, 18 Agustus 2008

(42)

Kompas Senin, 18 Agustus 2008

Gu la Pe t a n i M e n u m p u k

Gula Ra fina si Ba ny a k Be r e da r di Pa sa r Tr a disiona l

Senin, 18 Agustus 2008 | 03:00 WIB

Cirebon, Kompas - Sebanyak 170.000 ton gula petani menumpuk di gudang milik sejumlah pabrik gula di Jawa Barat. Hal itu antara lain disebabkan oleh maraknya gula rafinasi yang membanjiri pasar dan menurunnya daya beli masyarakat. Jumlah gula yang menumpuk di gudang diperkirakan terus bertambah.

Itu terjadi karena penyerapan lebih rendah dibandingkan dengan produksi. Padahal, musim giling tahun ini masih akan berlangsung hingga September.

Menumpuknya pasokan gula itu terlihat di gudang penyimpanan PG Rajawali II Unit PG Tersana Baru, Babakan, Cirebon.

Hingga Minggu (17/8) petang, tercatat pasokan gula hasil produksi tahun 2007 masih tersisa 6.500 ton. Di gudang yang lain, tampak tumpukan karung berisi gula hasil produksi musim giling tahun 2008.

Kepala Bagian Pabrikasi PG Tersana Baru Sukarman mengatakan, kondisi seperti itu belum pernah dialami. ”Saya sudah 21 tahun bekerja di pabrik gula, baru kali ini saya melihat gula menumpuk. Kondisi itu juga terjadi di beberapa pabrik gula lainnya,” tutur Sukarman.

Staf Gudang PT Pabrik Gula (PG) Rajawali II Unit PG Tersana Baru, Faridz Rohim, mengatakan, produksi gula mencapai 300 ton per hari.

Namun, jumlah gula yang keluar gudang rata-rata hanya 100 ton per hari. Hingga saat ini, hasil produksi gula musim giling tahun ini telah mencapai 13.450 ton.

Pasokan gula

Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Jawa Barat Anwar Asmali menambahkan, dari total sekitar 170.000 ton gula yang menumpuk, 70.000 ton di antaranya merupakan sisa produksi tahun 2007.

Sebanyak 100.000 ton sisanya diproduksi pada musim giling 2008. ”Masih ada sekitar 70.000 ton lagi yang akan diproduksi hingga September nanti. Jika penyerapan tetap tidak lancar, produsen akan kesulitan menyimpan gula,” ujar Anwar.

(43)

Kompas Senin, 18 Agustus 2008

D a m pa k Pe m ba nguna n

M e n j a d i Bu r u h d i Ta n a h Se n d ir i

Senin, 18 Agustus 2008 | 00:18 WIB

A Handoko dan B Josie Susilo Hardianto

Bayang tubuh petani memanjang di atas benih padi yang menghijau di tanah garapan. Di pinggiran Cianjur, Icoh (50) mencelupkan kaki ke saluran pengairan di bagian yang lebih rendah dari sawah milik juragannya dari Bandung.

Lumpur yang menempel di kakinya larut terbawa arus air. Dibasuhnya pula tangannya dengan air sungai itu. Derasnya arus air meluruhkan sisa tanah itu, sejenak tangannya yang basah dikibas-kibaskan agar cepat mengering.

Ketika waktu makan tiba, dibukanya bekal dari rumah. Sebungkus nasi putih, sambal, dan ikan asin. Nikmatnya melarutkan penat setelah bekerja sejak petak-petak sawah dihujani cahaya matahari pagi.

Bersama tujuh perempuan lain, Icoh datang berombongan dari Desa Jambudipa, Kecamatan Warungkondang, Cianjur, Jawa Barat. Siang itu mereka bersama-sama membuka bekal yang mereka bawa dari rumah. Mereka saling membagikan lauk yang dibawa dari rumah, menikmatinya sambil bercakap-cakap.

Di tanah Cianjur yang subur, Icoh adalah generasi kedua buruh tani di keluarganya. Kakek dan neneknya telah menjual tanah keluarga karena terdesak berbagai kebutuhan. Karena itu pula, Icoh tidak lagi dapat meninggalkan tanah pertanian kepada dua anaknya.

Untuk masa depan, mereka, tutur Icoh, haruslah bekerja sebagai buruh juga, entah sebagai buruh tani atau pekerja di kota. Hal serupa dialami oleh Aep Saepudin (48), warga Desa Songgom, Kecamatan Gekbrong, Jawa Barat. Aep juga buruh tani seperti Icoh. Orangtuanya telah menjual sebidang tanah keluarga semasa Aep kecil.

Icoh dan Aep adalah contoh kecil dari sekian ribu buruh tani yang menjadi bagian dari alur padi di kawasan lumbung padi, seperti Cianjur. Meskipun tidak setiap hari menjual tenaga mereka, dalam sebulan, rata-rata hanya dua sampai tiga minggu tenaga buruh itu dibutuhkan pemilik lahan.

Beralihnya kepemilikan lahan dan perubahan fungsi lahan pertanian menjadi perumahan dan industri membuat warga, seperti Icoh dan Aep, terpinggirkan dalam pertarungan perebutan sumber ekonomi. Sebagai petani, mereka tak memiliki lahan pertanian sebagai modal utama.

Dalam arus itu, mereka hanya menjadi penonton atau sekadar menjadi aktor pinggiran. Proses peralihan kepemilikan lahan dari petani di Cianjur kepada pemodal dari Bandung, Bogor, dan Jakarta telah menciptakan buruh-buruh tani di tanah sendiri. Tidak mengherankan jika saat ini makin sulit menemukan petani yang tengah menggarap tanah mereka sendiri.

Tanpa kepastian

Menjadi buruh tani sebetulnya merupakan hidup tanpa kepastian. Perbedaan antara keberhasilan dan kegagalan panen tipis. Namun, apa daya, makin minimnya luas lahan pertanian dan desakan kebutuhan membuat Icoh dan Aep tidak punya banyak pilihan.

(44)

Kompas Senin, 18 Agustus 2008

Dengan upah sebesar itu, Aep hanya bisa membeli beras dua liter, ikan asin atau teri, garam, dan sedikit minyak goreng. Kebutuhan sekolah anak-anaknya mesti dicukupkan dari upah istrinya yang juga menjadi buruh.

Namun, jika memiliki cukup modal, mereka dapat menyewa lahan dan menggarapnya. Di Cianjur umumnya hubungan pemilik tanah dan penggarap adalah ”maro”. Buruh tani harus menyediakan sendiri prasarana produksi, mulai dari buruh pencangkul, benih, hingga pupuk. Namun, ketika waktu panen tiba, separuh hasil harus penggarap serahkan kepada pemilik lahan. Risikonya, kalau terjadi gagal panen, para penggarap akan kehilangan modal kerja. Sebaliknya, pemilik tanah tidak kehilangan apa pun selain kesempatan mendapatkan hasil paruhan.

Ironisnya, kendati hidup dalam keterbatasan, tak semua buruh dan penggarap itu tersentuh program jaminan sosial dari pemerintah, seperti bantuan langsung tunai, program keluarga harapan, dan beras untuk rakyat miskin. Untuk bertahan hidup, para buruh dan penggarap itu tinggal menggantungkan hidup pada rasa solidaritas dan gotong royong.

Program pemerintah

Kepala Dinas Informasi dan Komunikasi Kabupaten Cianjur Sudradjat Laksana mengakui, hanya keluarga sasaran yang bisa memperoleh fasilitas jaminan sosial dari pemerintah pusat. Keluarga miskin yang tidak memperoleh jaminan sosial itu sesegera mungkin akan dilindungi dengan menggunakan program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM) mandiri.

”PNPM sedang berjalan. Semoga pada triwulan terakhir 2008 ini sudah bisa direalisasikan di masyarakat,” kata Sudradjat.

Menurut dia, PNPM mandiri merupakan program yang mengomunikasikan kebutuhan masyarakat di setiap wilayah sehingga bentuk kebutuhan mereka akan berbeda-beda. Berdasarkan hasil komunikasi itu, pemerintah akan memberikan bantuan yang umumnya untuk menggerakkan ekonomi berbasis usaha mikro.

Pada masa lalu, Cianjur dikenal karena produk pertaniannya, terutama padi. Reiza D Dienaputra dalam buku Sejarah K

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Tugas akhir ini diajukan untuk memenuhi persyaratan Pendidikan Sarjana Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang.. Penulis menyadari tugas akhir ini masih jauh

kelompok kontrol. Kesimpulan dan Saran.. Berdasarkan hasil dari analisa data dan perhitungan uji statistik, dapat diambil kesimpulan bahwa Ada perbedaan pengaruh core

Dapat diilustrasikan bahwa provinsi-provinsi pada kuadran IV, dengan kondisi angka persentase pemenuhan pemberian ASI yang besar memang dapat menurunkan prevalensi baduta

Pengaruh Emosional Branding terhadap pelayanan Konsumen (Koko Srimulyo; A. Mardiyah) 75 responden adalah persepsi mengenai pengalaman pancaindera dengan indikator bahwa

Pada Penelitian berikutnya dengan melihat keterbatasan yang ada, penelitian yang akan datang diharapkan dapat menggunakan lebih dari tiga obyek penelitian dan

[r]

Pengadilan HAM dan segala aspeknya memiliki relevansi yang kuat dengan dunia internasional dikarenakan masalah pengakuan dan penegakan hak asasi manusia sudah menjadi

1) Langkah-langkah menerapkan metode eksperimen melukis pada media telanan yaitu pertama siswa memutuskan objek yang akan dilukis lalu guru menjelaskan cara memilih