• Tidak ada hasil yang ditemukan

ProdukHukum BankIndonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ProdukHukum BankIndonesia"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 34 Volume 4, Nomor 3, Desember 2006

HAKIKAT KEUANGAN NEGARA DALAM

BANK INDONESIA DAN GAGASAN ARSITEKTUR KEUANGAN PUBLIK SEBAGAI KONSEP PENGATURAN KEUANGAN YANG

BERBASISKAN PADA PRINSIP BADAN HUKUM

Oleh: Dian N. Puji Simatupang, S.H., M.H1

A. PENDAHULUAN

1. Peran Strategis Bank

Indonesia

Eksistensi bank sentral di suatu negara yang diatur dalam konstitusi pada dasarnya menunjukkan pentingnya tugas otoritas di bidang moneter dan dan fungsi lainnnya dari bank sentral. Sebagai institusi yang mempunyai wewenang untuk mengelola moneter itulah, bank sentral wajar jika diberikan kedudukan yang independen guna menjaga kredibilitasnya. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar kebijakannya tidak dipengaruhi oleh institusi lainnya, agar fungsinya dapat dijalankan sebagaimana mestinya tanpa ada tekanan dari pihak manapun.

Dengan demikian, tidak ada kepentingan apapun yang dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan moneter yang diambil bank sentral atau kebijakan pemerintah/lembaga negara lainnya tidak dapat mempengaruhi tugas bank sentral.

Di Indonesia, berdasarkan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004 (UU BI) Bank Indonesia berperan sebagai bank sentral yang mempunyai tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi bank (vide Pasal 8 UU BI).

Apabila dilihat dari kedudukannya di UUD 1945 Amandemen ke IV dan UU BI, Bank Indonesia setara dengan lembaga negara dan berstatus badan hukum publik.

Dalam kedudukannya sebagai bank sentral, Bank Indonesia harus

___________________________________

1

(2)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 35 Volume 4, Nomor 3, Desember 2006 melepaskan fungsi komersialnya

seperti pelayanan jasa perbankan. Dilepaskannya pelayanan jasa perbankan Bank Indonesia dimaksudkan agar bank sentral dapat berkonsentrasi pada upaya menjaga stabilitas moneter dan memperkuat cadangan devisa negara. Dengan dasar pemahaman tersebut, kebijakan dan tindakan Bank Indonesia dalam menjalankan tugas dan wewenangnya pada dasarnya merupakan bagian dari kebijakan penguatan ekonomi nasional. Dengan kata lain, kebijakan dan tindakan Bank Indonesia dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sama sekali tidak dapat dikatagorikan sebagai tindakan komersial atau upaya memperoleh laba sebagai layaknya subyek pajak.

Apabila mendasarkan pada Pasal 8 UU BI, ketiga tugas Bank Indonesia tersebut harus dijalankan dan dilakukan dengan proses dan mekanisme yang tersistem serta terbebas dari pengaruh manapun. Tugas sedemikian strategis dan penting tersebut selayaknya dilakukan secara independen karena menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan nasional yang akan sangat mempengaruhi sistem perekonomian nasional secara keseluruhan.

Oleh sebab itu, kebijakan dan tujuan Bank Indonesia yang diarahkan pada

penguatan sektor moneter membutuhkan konsentrasi yang tinggi agar stabilitas ekonomi yang bertumpu pada fundamental moneter yang sehat tetap terjaga. Oleh sebab itu, Pemerintah dan lembaga negara manapun tidak dapat mendistigmasi Bank Indonesia dalam menjalankan kebijakan untuk mencapai tujuannya, dengan kebijakan yang dibentuk oleh Bank Indonesia itu sendiri. Misalnya, Pemerintah mengeluarkan kebijakan fiskal yang cenderung memperlemah tujuan Bank Indonesia dalam menjalankan fungsinya, yang pada dasarnya juga merupakan sebagian tugas negara.

Dalam konteks ini, semua lembaga negara perlu mendudukkan kebijakan Bank Indonesia yang dijalankannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan ekonomi nasional. Oleh sebab itu, kebijakan lembaga negara dan peraturan perundang-undangan tidak dapat mengesampingkan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang memungkinkan Bank Indonesia untuk secara konsisten dan konsentrasi mencapai tujuannya mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.

(3)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 36 Volume 4, Nomor 3, Desember 2006 sendiri. Akan tetapi, segala tindakan

dan kebijakan dalam urusan ini bersandarkan pada pertimbangan makro-ekonomi.

Dengan demikian, independensi dalam menjalankan kebijakan tersebut sangat penting bagi Bank Indonesia untuk memulihkan perekonomian secara keseluruhan. Hal ini mengingat Bank Indonesia diberikan tugas yang tidak ringan dalam menjaga stabilitas makro perekonomian nasional.

2. Kedudukan Keuangan Negara dalam Bank Indonesia

Sementara itu, kedudukan keuangan dalam Bank Indonesia tetap merupakan keuangan negara. Konsepsi ini dapat dilihat dari kedudukan keuangan negara dalam Bank Indonesia yang modalnya berasal dari negara. Namun, berdasarkan aspek pengelolaan dan pertanggungjawabannya, ada perbedaan mendasar pada risiko yang ditanamkan oleh negara dalam Bank Indonesia. Dengan pembedaan ini, dapat terlihat kedudukan keuangan negara dalam permodalan Bank Indonesia yang digunakan untuk menghadapi risiko yang kemungkinan muncul dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia. Perlu dipahami penanaman modal negara mengandung makna pemerintah

menyisihkan kekayaan negara untuk menambah dan memperkuat struktur permodalan Bank Indonesia dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.

Konsekuensi logis adanya modal negara pada Bank Indonesia, pemerintah sebagai representasi negara harus ikut menjaga agar Bank Indonesia tetap mempunyai struktur modal yang kuat dan didukung dengan cadangan umum yang mampu menanggung risiko yang kemungkinan muncul dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia. Dalam menanggung risiko tersebut, posisi Bank Indonesia harus kuat dalam menjaga cadangan umumnya, sehingga menjadi kewajiban pemerintah dalam turut menjaga posisi cadangan umum Bank Indonesia tetap pada upayanya menjaga kestabilan perekonomian secara keseluruhan.

(4)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 37 Volume 4, Nomor 3, Desember 2006 Bank Indonesia sebagai badan

hukum publik dengan bank umum sebagai badan hukum privat.

Sebagai konsekuensi logis dari adanya pembedaan tersebut, proses penanaman modal tersebut ditetapkan melalui Undang-Undang antara pemerintah dan DPR dalam rangka mewujudkan Bank Indonesia yang kuat dalam menjalankan fungsinya. Dalam proses penanaman modal tersebut, pemerintah menyatakan persetujuannya untuk melakukan kewajiban yang tertera dalam Pasal 6 UU BI tersebut. Dengan ketentuan jika modal Bank Indonesia berkurang, ada penegasan pemerintah harus segera menutup kekurangan tersebut sesuai dengan jumlah kekurangan yang ada, setelah mendapatkan persetujuan DPR.

Dibebankannya tanggung jawab pemenuhan modal Bank Indonesia dan penutupan kekurangan modal Bank Indonesia kepada pemerintah

disebabkan kewenangan

pengelolaan keuangan negara berada pada pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Oleh sebab kewenangan itulah, tindakan menutup kekurangan modal Bank Indonesia maupun menerima kelebihan surplus kegiatan Bank Indonesia harus dipandang sebagai bagian dari

kekuasaan pengelolaan keuangan negara. Dengan demikian, kewenangan itu berada pada lingkup kewenangan publik serta diambil berdasarkan pertimbangan agar pemenuhan kecukupan dana modal Bank Indonesia dari kewajiban moneter tetap tercapai.

Oleh sebab itu, menjadi sangat jelas pemenuhan kecukupan modal Bank Indonesia merupakan tanggung jawab pemerintah sebagai representasi negara agar mewujudkan Bank Indonesia yang kuat. Dengan mendasarkan pada pentingnya kekuatan kecukupan dana tersebut, pemerintah dan DPR menyepakati surplus hasil kegiatan Bank Indonesia tidak dikenakan pajak penghasilan, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 62 ayat (4) UU BI2

. Penetapan tidak kena pajak terhadap surplus Bank Indonesia selain merupakan salah satu bentuk kebijakan jaminan pemerintah dan DPR sebagai garansi politik (political

guarantee) agar Bank Indonesia

dapat menjalankan tugas dan kewenangannya dengan baik. Hal ini secara integral merupakan fungsi dan tanggung jawab pemerintah dan DPR dalam menjamin integritas Bank Indonesia dalam menjaga perekonomian nasional.

2

(5)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 38 Volume 4, Nomor 3, Desember 2006

3. Bank Indonesia sebagai Badan Hukum Publik

Dalam tatanan hukum saat ini, terdapat dua jenis badan hukum, ditinjau dari sudut hak dan kewajiban yang dimilikinya sebagai subyek hukum, yaitu badan hukum publik dan badan hukum perdata. Badan hukum publik dalam melakukan haknya mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan kebijakan publik yang dapat mengikat umum. Sementara itu, badan hukum perdata tidak mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan kebijakan seperti itu.

Meski tidak dinyatakan atau tidak ada aturan tertulisnya, negara dikatagorikan sebagai badan hukum publik dengan mensandarkan pada konstitusi.3

Sebagai badan hukum publik secara derivatif, negara dapat mendirikan badan hukum publik lain maupun badan hukum perdata.

UU BI, sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari ketentuan dalam Pasal 23D UUD 1945, menetapkan Bank Indonesia sebagai badan hukum (publik) (Pasal 4 ayat (3)). Dalam hal ini, negara melalui konstitusi memberikan dasar bagi pembentukan badan hukum publik yang mempunyai kewenangan di bidang moneter, sistem pembayaran, dan perbankan.

3

Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum (Jakaerta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonsia, 2005), hal. 128.

Ada dua pengertian yang terkandung dari penetapan Bank Indonesia sebagai badan hukum publik, yaitu, pertama, Bank Indonesia mempunyai kewenangan penuh di bidang moneter, sistem pembayaran, dan perbankan, dan

untuk melaksanakan

kewenangannya tersebut Bank Indonesia dapat membentuk peraturan yang mengikat umum. Kedua, sebagai badan hukum, Bank Indonesia mempunyai kewenangan dalam mengelola kekayaannya sendiri terlepas dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Pembahasan mengenai hubungan Bank Indonesia dan pemerintah setelah berlakunya UU BI tidak lagi menempatkan Bank Indonesia sebagai bagian dari lembaga yang setingkat dengan departemen pemerintahan. Kedudukannya sebagai lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan Pemerintah dan atau pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam UU BI. Campur tangan yang dimaksud dalam UU BI adalah sebatas pada pengangkatan dan pemilihan anggota Dewan Gubernur yang membutuhkan peran presiden dan DPR.

(6)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 39 Volume 4, Nomor 3, Desember 2006 Indonesia menatausahakan rekening

yang dimiliki oleh pemerintah. Di samping itu, Bank Indonesia untuk dan atas nama pemerintah menerima pinjaman luar negeri. Penerimaan pinjaman luar negeri dilakukan Bank Indonesia dengan konsekuensi Bank Indonesia menatausahakan dan menyelesaikan tagihan dan kewajiban pemerintah tersebut. Hal ini dilakukan berdasarkan perjanjian yang telah dilakukan pemerintah dan pemberi pinjaman.

Dalam hal kebijakan pemerintah dalam bidang perekonomian, khususnya perbankan dan keuangan yang terkait erat dengan tugas Bank Indonesia, pemerintah harus mengundang Bank Indonesia pada saat sidang kabinet yang mengambil kebijakan tersebut. Kehadiran Gubernur Bank Indonesia dalam sidang kabinet bukan berarti masuknya kembali posisi Gubernur Bank Indonesia dalam kabinet pemerintahan. Akan tetapi, lebih bersifat konsultatif di mana Gubernur Bank Indonesia diberikan

kesempatan memberikan

pandangan dan pendapat mengenai kebijakan perekonomian yang akan diambil pemerintah, yang akan terkait erat dengan tugas dan wewenang Bank Indonesia.

Selanjutnya, dalam hal pengajuan Rancangan APBN, Bank Indonesia juga memberikan pendapat dan

pertimbangan kepada pemerintah. Pemerintah harus memperhatikan sungguh-sungguh pertimbangan Bank Indonesia yang biasanya dirumuskan dalam berbagai analisis moneter guna mendukung pelaksanaan APBN.

Pemberian pertimbangan kepada pemerintah dalam penyusunan Rancangan APBN merupakan bagian yang penting dalam rangka pelaksanaan APBN jika disahkan DPR. Sementara itu, dalam hal penerbitan surat utang negara, Pemerintah juga harus berkonsultasi dahulu dengan Bank Indonesia. Konsultasi ini diperlukan agar,

“penerbitan surat utang negara tepat waktu dan tidak berakibat negatif terhadap kebijakan moneter, sehingga pelaksanaan penjualan surat utang tersebut dapat

dilakukan dengan

persyaratan yang dapat diterima pasar serta menguntungkan

pemerintah.”4

Dalam hal ini, pemerintah perlu mempertimbangkan pendapat Bank Indonesia, khususnya dalam rangka menjaga stabilitas moneter Indonesia.

Berdasarkan UU BI tersebut dapat terlihat hubungan Bank Indonesia

4

(7)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 40 Volume 4, Nomor 3, Desember 2006 dan Pemerintah lebih bersifat

konsultatif, dan tidak bersifat subordinatif. Hal demikian menunjukkan independensi Bank Indonesia dalam dua hal pokok, yaitu pertama, bank sentral harus bebas untuk memutuskan cara mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Kedua, keputusan yang diambil itu harus merupakan hal yang sulit bagi bagian dari

pemerintahan untuk

mempengaruhinya.5

Dengan dasar hubungan dengan Pemerintah yang bersifat konsultatif, Bank Indonesia akan terlepas dari kontrol dan pengaruh lembaga lain yang berupaya menekannya dalam pengambilan keputusan. Namun, sifat independensi tersebut tidak melepaskan tanggung jawab Bank Indonesia dalam menjalankan kinerjanya kepada DPR. Hakikat yang diperoleh dari independensi Bank Indonesia adalah dimilikinya kekuatan, kedaulatan, dan kekuasaan untuk merumuskan serta melaksanakan kebijakan moneter, sistem pembayaran, dan perbankan.

5

Hal ini merupakan pendapat yang dikemukakan Alan S. Blinder dalam Central Banking in Theory and Practice

(USA: The MIT Press, 1988), p. 54.

B. PEMBAHASAN

1. Sifat Hukum Keuangan dalam Bank Indonesia

Sebagai badan hukum, Bank Indonesia mempunyai kekayaan sendiri. Berdasarkan Pasal 6 UU BI, modal Bank Indonesia ditetapkan berjumlah sekurang-kurangnya Rp. 2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah). Modal tersebut harus ditambah, sehingga menjadi paling banyak 10% (sepuluh perseratus) dari seluruh kewajiban moneter,6 dengan dana yang berasal dari cadangan umum atau dari hasil revaluasi aset.

Modal Bank Indonesia tersebut berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan yang diperoleh dari penjumlahan dari modal, cadangan umum, cadangan tujuan dan bagian dari laba yang belum dibagi menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 1968. Sebagai kekayaan negara yang dipisahkan dari APBN, terjadi pengalihan keuangan negara ke Bank Indonesia selaku badan hukum publik. Dengan demikian, kekayaan negara tersebut tidak lagi menjadi

6

(8)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 41 Volume 4, Nomor 3, Desember 2006 kewenangan negara7

untuk mengelolanya (dengan kata lain tidak lagi termasuk dalam APBN), tetapi sudah menjadi kekayaan Bank Indonesia dan menjadi kewenangan Bank Indonesia untuk mengelolanya. Sebagai contoh, apabila Bank Indonesia melakukan pinjaman untuk memperkuat posisi neraca

pembayaran, kewajiban

pengembalian utang tersebut menjadi tanggung jawab Bank Indonesia.

Baik cadangan umum maupun cadangan tujuan berasal dari sebagian surplus Bank Indonesia. Adapun yang membedakannya hanyalah tujuan penggunaannya. Cadangan umum dipergunakan untuk menambah modal atau menutup defisit Bank Indonesia. Sementara itu, cadangan tujuan dipergunakan, antara lain, untuk biaya penggantian dan atau pembaruan harta tetap, pengadaan perlengkapan yang diperlukan, dan pengembangan organisasi dan sumber daya manusia dalam melaksanakan tugas dan wewenang Bank Indonesia serta penyertaan yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas Bank Indonesia. Surplus Bank Indonesia yang dimasukkan sebagai

7

Lihat Indonesia (c), Undang-undang tentang Keuangan Negara, UU No. 17 Tahun 2003, LN No. 47 Tahun 2003, TLN No. 4286, ps. 6. Berdasarkan pasal ini, kewenangan pengelolaan keuangan negara berada di tangan Presiden selaku kepala pemerintahan yang sehari-harinya dikuasakan kepada Menteri Keuangan, menteri/pimpinan lembaga, atau diserahkan kepada kepala daerah.

cadangan tujuan adalah sebesar 30% (sepanjang tidak terjadi penyusutan modal (kurang dari yang ditetapkan). Sementara itu, sisanya digunakan secara bertahap untuk menambah cadangan umum. Apabila masih terdapat sisa lebih baru diserahkan kepada pemerintah.8

Berarti surplus Bank Indonesia dimanfaatkan sebagai cadangan untuk menutup defisit Bank Indonesia, bukan merupakan surplus yang menambah kekayaan atau menambah kemampuan ekonomis maupun memupuk laba Bank Indonesia.

Dengan demikian, dilihat dari fungsinya, secara yuridis dan makro-ekonomi, Bank Indonesia sama halnya dengan negara tepat dikatagorikan sebagai badan hukum “nirlaba” di mana surplus yang diperoleh tidak digunakan untuk menambah kemampuan ekonomi. Akan tetapi, semata-mata digunakan untuk memperkuat cadangan devisa negara dan dalam rangka mencapai, menjaga, dan memelihara kestabilan nilai rupiah sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1) UU BI. Kestabilan nilai rupiah sangat penting untuk mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan (sustainable

development) serta meningkatkan

kesejahteraan rakyat.

8

(9)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 42 Volume 4, Nomor 3, Desember 2006 Jika dalam pelaksanaan tugas dan

wewenangnya modal Bank Indonesia mengalami penyusutan kurang dari yang ditetapkan, penutupan penyusutan modal tersebut harus dilakukan melalui surplus tahun berjalan. Apabila cara tersebut belum juga dapat menutup penyusutan, Pemerintah wajib menutupnya setelah mendapat persetujuan DPR. Hal ini mengingat defisit keuangan Bank Indonesia yang berkelanjutan akan berdampak signifikan terhadap perekonomian negara. Oleh karena itu baik Bank Indonesia maupun Pemerintah mempunyai kewajiban bersama yang bersifat komplementer untuk menjaga agar keuangan Bank Indonesia tidak mengalami defisit. Kewajiban pemerintah tersebut menunjukkan bahwa negara bertanggung jawab terhadap berkurangnya modal yang dialami Bank Indonesia sebagai akibat pelaksanaan sebagian fungsi negara dalam bidang moneter.

Namun, di dalam UU BI, pengaturan bahwa surplus Bank Indonesia tidak dikenakan pajak penghasilan tidak diatur secara tegas. Hal ini berarti ada indikasi yang mengarah pada kemungkinan pengenaan pajak penghasilan terhadap surplus Bank Indonesia. Asumsi yang dapat diajukan adalah karena Bank Indonesia mendapatkan surplus dari kegiatannya. Bahkan pihak

pemerintah mendapatkan bunga dan/atau jasa giro atas dana yang disimpan pada Bank Indonesia.9 Dengan demikian, Negara sebagai badan hukum publik pun wajar jika dijadikan objek pajak, meski

merupakan pendapatan

negara/daerah. Padahal surplus Bank Indonesia hanya merupakan dampak ikutan dari kegiatan Bank Indonesia dalam rangka menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah. 10

Pada dasarnya, wacana pembebanan pajak penghasilan terhadap surplus Bank Indonesia lebih merupakan upaya dari tindakan yang harus dilakukan Pemerintah agar defisit APBN dapat dikurangi. Dalam kebijakan tersebut, ada dua pertimbangan yang menjadikan surplus Bank Indonesia dijadikan obyek pajak penghasilan, yaitu pertama, jumlah kelebihan (surplus) dalam hasil kegiatan Bank Indonesia kemungkinan besar dapat mengurangi secara siginifikan defisit APBN; dan kedua, Pemerintah dihadapkan pada keinginan untuk mewujudkan skema kebijakan perpajakan yang tidak ada lagi obyek pajak yang digratiskan (free rider problem), yang pada prinsipnya agar menguntungkan kemampuan

9

Lihat Indonesia (d), Undang-undang tentang Perbendaharaan Negara, UU No. 1 Tahun 2004, LN No. 5 Tahun 2004, TLN No. 4355, ps. 23. dan Indonesia (b), op.cit., ps. 52 ayat (2).

10

(10)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 43 Volume 4, Nomor 3, Desember 2006 negara dalam memajak, yang

ternyata justru sebaliknya.

Upaya tersebut dilakukan Pemerintah (Departemen Keuangan) dalam perubahan konsep obyek perpajakan melalui perubahan UU Perpajakan. Proses tersebut diikuti dengan pengklasifikasian obyek pajak penghasilan yang ditentukan dalam rancangan peraturan perundang-undangan perpajakan. Dalam hal ini, penilaian surplus hasil kegiatan Bank Indonesia yang diklasifikasikan sebagai obyek pajak perlu penelaahan yang mendalam mengingat statusnya sebagai badan hukum publik yang dikecualikan sebagai subjek pajak.

Secara yuridis, surplus hasil kegiatan Bank Indonesia tidak dapat dikatagorikan sebagai obyek pajak mengingat surplus tersebut bukan dimaksudkan sebagai tambahan kemampuan ekonomis Bank Indonesia. Hal demikian disebabkan surplus tersebut digunakan untuk 30 persen untuk cadangan tujuan dan sisanya dipupuk sebagai cadangan umum dalam rangka menjaga fungsi dan wewenang Bank Indonesia.

Dengan demikian, surplus hasil kegiatan Bank Indonesia pada hakikatnya termasuk ke dalam keuangan negara yang menurut Pasal 2 huruf c UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara sebagai, “penerimaan negara.” Surplus Bank Indonesia merupakan

bagian yang akan menjadi penerimaan negara, jika jumlahnya telah melebihi modal cadangan umum Bank Indonesia. Dengan demikian, pengenaan pajak penghasilan terhadap surplus Bank Indonesia akan lebih menjadi tekanan terhadap keuangan negara, khususnya dalam menjalankan kepentingan umum dibandingkan sebagai stimulasi fiskal dalam APBN. Dengan dasar demikian, pajak penghasilan terhadap surplus Bank Indonesia yang juga merupakan keuangan negara dapat dikatagorikan sebagai biaya administrasi (administrative price) terhadap keuangan negara, khususnya dalam melaksanakan kepentingan umum yang dijalankan Bank Indonesia.

Secara teoritis, pengenaan pajak terhadap keuangan negara yang ditujukan kepentingan umum misalnya surplus Bank Indonesia hanya melahirkan pajak bayangan

(shadow taxes) yang kemungkinan

(11)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 44 Volume 4, Nomor 3, Desember 2006 dasarnya untuk meningkatkan

kemampuan negara dalam membangun dan mengusahakan kesejahteraan rakyat.

Berdasarkan uraian tersebut, hakikat keuangan dalam Bank Indonesia tetap merupakan keuangan negara yang diarahkan untuk penyelenggaraan kepentingan umum. Pemerintah (Departemen Keuangan) perlu memberikan kepastian hukum terhadap kemampuan memajak agar tidak menganggu komponen keuangan negara lain di dalamnya. Kekeliruan memahami surplus Bank Indonesia sebagai bagian integral keuangan negara akan mengakibatkan konsep keuangan negara tidak mempunyai bentuk hukum yang pasti. Padahal, dengan adanya ketentuan yang pasti mengenai surplus Bank Indonesia sebagai bagian dari keuangan negara dan dikecualikan dalam pengenaan pajak penghasilan, akan mampu mempengaruhi jaminan keamanan (safety guarantee) dalam sistem perekonomian dan perbankan nasional.

Dengan demikian, peranan surplus Bank Indonesia tidak saja mempunyai pengertian normatif-yuridis dengan cara memberikan dukungan terhadap tugas dan wewenang Bank Indonesia, tetapi juga mengandung pengertian sosial-ekonomis. Dalam pengertian ini titik berat peranan surplus Bank

Indonesia lebih ditekankan kepada kemanfaatan yang dikembalikan untuk tujuan lain yang sebesar-besarnya untuk perekonomian nasional dalam koridor upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Dalam kaitannya dengan rekening pemerintah di Bank Indonesia yang memperoleh bunga, sebenarnya mengindikasikan Bank Indonesia bukanlah subyek pajak. Asumsi

pertama adalah Bank Indonesia telah

memberikan penghasilan berupa penerimaan yang dimasukkan dalam APBN kepada pemerintah dalam bentuk bunga. Hal ini pada dasarnya sudah tepat mengindikasikan Bank Indonesia bukan sebagai subyek pajak, karena bunga yang diperoleh maupun pajak adalah penerimaan negara. Dengan demikian, jika pemerintah sudah memperoleh bunga, tidak dapat lagi dikenakan pajak. Hal ini disebabkan untuk satu lembaga tidak dapat dikenakan kewajiban ganda (bunga dan pajak) yang hanya memberatkan kegiatan usahanya. Asumsi kedua, Bank Indonesia sebagai lembaga non-profit telah memberikan keuntungan bagi negara, sehingga negara tidak sepatutnya mengenakan pajak terhadap lembaga tersebut.

2. Gagasan Arsitektur Keuangan Publik

(12)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 45 Volume 4, Nomor 3, Desember 2006

kepastian hukum dan

penghormatan terhadap doktrin badan hukum. Oleh sebab itu, mendesain arsitektur keuangan publik memerlukan analisis hukum yang mengandung prinsip kehati-hatian yang luar biasa, terutama agar negara tidak melalaikan kewajibannya, warga masyarakat tidak dirugikan haknya, serta badan hukum tidak diingkari kedudukannya.

Namun, peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang mengatur keuangan publik di Indonesia cenderung mengabaikan doktrin badan hukum. Akibatnya, konsep keuangan publik menjadi tidak rasional karena peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang mengatur keuangan publik tidak sejalan dengan teori hukum yang seharusnya. Bahkan, yang sangat memprihatinkan peraturan perundang-undangan dan kebijakan keuangan publik tidak mampu mendukung praktik badan hukum untuk menjalankan hak dan kewajibannya. Dalam konteks seperti itu, tidak diragukan lagi irasionalitas dalam pengaturan keuangan publik dalam praktiknya akan merugikan kedudukan hukum setiap badan hukum. Hal demikian terjadi karena tidak ada batas-batas untuk menentukan keuangan publik tersebut apakah termasuk keuangan negara, keuangan daerah, keuangan

badan usaha milik negara, keuangan badan usaha milik daerah atau keuangan swasta.

Ketidakmampuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang mengatur keuangan publik untuk menentukan garis batas kepunyaannya (domain limitative) merupakan pertanda reinkarnasi manajemen keuangan publik tradisional yang bercirikan rentang kendali yang luas diterapkan di Indonesia. Padahal, sejak abad ke-19, kepunyaan badan hukum memiliki ketegasan batasan apakah termasuk kepunyaan publik (domain

public) atau kepunyaan privat

(domain prive). Keduanya tidak mungkin tunduk pada peraturan perundang-undangan yang sama, baik dalam tata kelola dan tata tanggung jawabnya. Prinsip ini sejalan dengan doktrin badan hukum yang mensyaratkan kekayaan/keuangan yang terpisah, sehingga badan hukum tersebut absah sebagai subyek hukum yang memiliki hak dan kewajiban.

(13)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 46 Volume 4, Nomor 3, Desember 2006 hukum dan hukum positif

merupakan keterkaitan yang bersifat dialikatis. Hal demikian disebabkan teori hukum yang merupakan teori gejala hukum positif (positieve rechtsverschijnsel) dalam kehidupan masyarakat tidak dapat dikesampingkan. Hal ini berarti, desain arsitektur keuangan publik, khususnya pengaturan keuangan dalam bank BUMN hendaknya tidak dipandang dari segi hukum positif saja, tetapi juga dipandang dari segi teori hukumnya.

Dalam ilmu hukum, ada dua jenis badan hukum dipandang dari segi kewenangan yang dimilikinya, yaitu:

1. badan hukum publik (personne morale) yang mempunyai kewenangan mengeluarkan kebijakan publik, baik yang mengikat umum (misalnya UU Perpajakan) dan yang tidak mengikat umum (misalnya UU APBN);

2. badan hukum privat (personne juridique) yang tidak mempunyai kewenangan mengeluarkan kebijakan publik yang mengikat umum.

Dengan pembedaan tersebut, negara dan daerah merupakan badan hukum publik karena memiliki wewenang mengeluarkan kebijakan publik. Sementara itu, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah merupakan

badan hukum privat karena tidak memiliki keleluasaan untuk mengeluarkan kebijakan publik. Setiap badan hukum tersebut harus memiliki persyaratan sebagaimana diatur dalam KUHPerdata, yaitu (1) memiliki kekayaan/keuangan terpisah, (2) memiliki tujuan tertentu, dan (3) memiliki kepentingan tertentu. Dengan persyaratan tersebut, badan hukum memiliki kekayaan/keuangan yang dipisahkan, sehingga status hukum kekayaan/keuangannya tersebut menjadi milik badan hukum itu sendiri dan tidak dapat dikatagorikan sebagai bagian atau milik badan hukum yang lain.

(14)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 47 Volume 4, Nomor 3, Desember 2006 sesuai dengan aturan keuangan

negara.

Kondisi itu yang terjadi di Indonesia dewasa ini sejalan dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang

Keuangan Negara (UU Nomor 17

Tahun 2003). Dalam Pasal 2 UU Nomor 17 Tahun 2003 dinyatakan:

Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 meliputi:

a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang dan melakukan pinjaman;

b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;

c. penerimaan negara;

d. pengeluaran negara;

e. penerimaan daerah;

f. pengeluaran daerah;

g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah;

h. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam

rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;

i. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.

(15)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 48 Volume 4, Nomor 3, Desember 2006 perusahaan tersebut, negara

berkedudukan sama dengan pemilik saham lainnya, dan tidak dapat mengeluarkan kebijakan yang bersifat publik dalam perusahaan tersebut.

Dengan demikian, hukum telah menentukan pembedaan kedudukan negara sebagai badan hukum publik yang tunduk pada peraturan perundang-undangan yang bersifat publik dan negara sebagai badan hukum privat yang tunduk pada ketentuan hukum privat. Negara tidak memiliki keleluasaan untuk mengeluarkan wewenang yang bersifat publik dalam pengelolaan perusahaan negara yang tata kelola dan tata tanggung jawabnya tunduk pada ketentuan privat. Pembedaan ini merupakan konsep hukum modern yang sangat membedakan imunitas publik dan imunitas privat dengan maksud menjelaskan batas-batas keuangan/kekayaan yang dimiliki setiap badan hukum.

Contoh konkret adanya pembedaan yang tegas dalam arsitektur keuangan publik adalah dalam pendirian perseroan terbatas, pemerintah tidak dapat bertindak menggunakan kekuasaan dan kewenangan publiknya untuk mengatur dan mengelola perseroan. Hal demikian disebabkan keikutsertaan pemerintah dalam perseroan bertindak sebagai badan hukum privat, sehingga tanggung

jawab dalam pengelolaannya pun tidak dapat dibebankan pada pemerintah sebagai badan hukum publik. Misalnya, beban pertanggungjawaban perseroan yang sahamnya antara lain dimiliki negara, yang menyebabkan kerugian pada pihak lain tidak dapat dibebankan kepada pemerintah sebagai badan hukum publik. Akan tetapi, dibebankan kepada perseroan untuk menjalankan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata yang menyatakan:

"Setiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut."

Apabila tanggung jawab untuk mengganti rugi tersebut dibebankan kepada pemerintah sebagai badan hukum publik dikhawatirkan pelayanan publik dalam menjalankan fungsi pemerintahan akan terganggu. Demikian pula apabila pembedaan kedudukan hukum (recht positie) pemerintah dalam perseroan terbatas tidak dilakukan, selain kemandirian perseroan terbatas sebagai salah satu unsur good corporate

governance tidak terpenuhi,

(16)

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 49 Volume 4, Nomor 3, Desember 2006 ketidakpastian hukum. Hal ini

disebabkan campur tangan pemerintah yang terlalu dalam dan kepentingan pemerintah sebagai penguasa cenderung akan mengabaikan pemegang saham lain, kreditor, dan pihak lain yang terkait serta kepentingan perseroan itu sendiri.

C. PENUTUP

Tulisan ini pada prinsipnya menunjukkan sudah saatnya Indonesia memiliki aristektur keuangan publik untuk merefleksikan penghormatan terhadap badan hukum, baik badan hukum publik maupun badan hukum privat. Disamping itu, terwujudnya arsitektur keuangan publik menunjukkan sensitivitas negara dalam menjaga posisi setiap masing-masing badan hukum dalam menjalankan hak dan kewajibannya. Negara tidak mungkin dibebani risiko atau beban apapun yang terjadi dalam badan hukum yang lain, demikian juga sebaliknya. Dengan demikian, perlu ada konstruksi yuridis yang tepat untuk memahami status hukum keuangan setiap badan hukum dalam bentuk arsitektur keuangan publik.

Kedudukan Bank Indonesia sebagai lembaga negara telah menempatkan posisinya yang khas dalam tata kelola dan tata tanggung jawab

Referensi

Dokumen terkait

had access to unimproved facilities. Fur- ther study which emphasizes bacteriolo- gical quality of water should be carried out to provide better information on

“ Pengaruh Suhu Operasi Terhadap Persen Yield Produk Bahan Bakar Cair Dari Proses Catalytic Cracking Limbah Pabrik Crumb Rubber ” dengan baik dan sesuai.. pada waktuya, sholawat

Indikator soal : Disajikan sebuah kalimat yang memuat kata ganti tertentu, siswa dapat menentukan jawaban pertanyaan tentang kata rujukan dalam teks dengan tepat..

Pengetahuan tentang Kangaroo Mother Care diharapkan dapat menjadikan ibu memiliki sikap yang baik mengenai perawatan bayi dengan berat badan rendah baik dirumah ataupun dirumah

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh Pengaruh struktur kepemilikan institutional, struktur kepemilikan manajerial, struktur kepemilikan publik, debt

(2006) Hubungan Tinggi Badan Dan Lingkar Kepala Dengan Prestasi Belajar Anak Sekolah Dasar Kelas I Di Kota Mataram. Tesis, Pasca sarjana Universitas Gadjah

Pada kasus perikanan diberikan